PENGARUH UPAH BURUH TERHADAP PERMINTAAN TENAGA KERJA DI SEKTOR PERKEBUNAN KARET RAKYAT (STUDI KASUS DI KABUPATEN BANYUASIN-SUMATERA SELATAN) Muhammad Rizka Maulana Effendi Administrasi Niaga - Politeknik Negeri Sriwijaya

Orasi Bisnis Edisi ke-2

PENGARUH UPAH BURUH TERHADAP PERMINTAAN TENAGA KERJA DI
SEKTOR PERKEBUNAN KARET RAKYAT
(STUDI KASUS DI KABUPATEN BANYUASIN-SUMATERA SELATAN)
Muhammad Rizka Maulana Effendi
Administrasi Niaga - Politeknik Negeri Sriwijaya

Abstract

This study aims to evaluate the
demand for labor/employee in the
district Banyuasin. Respondents
are rubber farmers, with the
following
criteria:
basic
livelihood as a farmer and has
rubber-5 ha of rubber plantations
and the farmers who joined the
farmers' groups. Respondents

determined by purposive sampling
method. Qualitative analysis
techniques and quantitative-descriptive-inductive used for wage assessment
parameters, the value of capital and production values that contribute to the
production value in employment. to increase the production value of rubber
plantation in the district Banyuasin to do repairs on the maintenance and
processing system in accordance with the results of the technical guidance of
rubber cultivation, and marketing systems. This research needs to be evaluated
further in larger scale or by adding another variable.
Key words: cover crop hevea brasiliensis, labor/employee, and land clearing

PENDAHULUAN
Selama ini keterkaitan sektor
pertanian
dicerminkan
oleh
ketergantungannya yang relatif tinggi
pada sektor industri. Oleh karena itu,
pembangunan
ekonomi

dengan
pemberian prioritas khusus kepada
sektor pertanian merupakan garis
kebijakan yang tepat dan ke depan
mulai dipikirkan untuk meletakkan
pertanian sebagai sektor yang mandiri.
Apalagi petani di sebagian besar
Propinsi Sumatera Selatan termasuk
kedalam kelompok petani kecil (yang
memiliki omset kurang atau sama
dengan 1 milyar per tahun) dan petani
menengah (dengan pendapatan diatas 1
PENGARUH UPAH BURUH TERHADAP PERMINTAAN TENAGA KERJA DI SEKTOR PERKEBUNAN KARET
RAKYAT (STUDI KASUS KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN)

82

Orasi Bisnis Edisi ke-2

milyar sampai dengan 5 milyar pertahun). Pembangunan pertanian haruslah memainkan

peranan yang sangat penting dalam menentukan kerangka bagi industrialisasi. Misalnya,
sektor pertanian harus menyediakan input bagi industri-industri, menyediakan pangan
bagi penduduk industrial di perkotaan, dan harus memberikan kontribusi bagi pasar
berupa barang-barang industrial jika permintaan akan barang-barang tersebut cukup
memadai. Salah satu subsektor pertanian yang cukup memainkan peranan penting dalam
menentukan kerangka bagi industrialisasi di Indonesia adalah subsektor perkebunan
karet. Di Propinsi Sumatera Selatan, karet atau Hevea Brasiliensis ini masih tetap
merupakan komoditi strategis yang utama dalam kehidupan sosial ekonomi yaitu sebagai
sumber pendapatan sebagian besar masyarakat/petani, penyedia bahan baku olah industri,
penyedia lapangan pekerjaan, sumber pendapatan devisa dan turut membantu kondisi
ekologis dan lingkungan hidup karena karet merupakan jenis tanaman berumur panjang
(perennial crops).
Sumatera Selatan dikenal
merupakan salah satu propinsi
dimana luas perkebunan karet rakyat
dan produksi yang dihasilkan lebih
tinggi dibandingkan produksi yang
dihasilkan oleh Perkebunan Besar
Swasta (PBS), Perkebunan Besar
Negara (PBN), dan Perusahaan Inti

Rakyat Perkebunan (PIR-BUN).
Pada tahun 1999 luas areal
perkebunan karet di Propinsi
Sumatera Selatan (termasuk Bangka,
Belitung) seluas 867.562 ha dan
meningkat menjadi 893.651 ha pada tahun 2000 atau terjadi peningkatan sebesar 3%.
Dimana dari luas tersebut 80% berupa perkebunan rakyat.
Sejalan dengan
pengembangan areal tersebut maka terjadi peningkatan produksi karet dari 432.128 ton
pada tahun 1999 menjadi 455.273 ton pada tahun 2000 atau meningkat 5,4%. Begitu pula
halnya dengan volume (kg) dan nilai ekspor (US $) komoditi perkebunan di Propinsi
Sumatera Selatan tiap tahunnya masih didominasi oleh karet. Perkembangan ekspor
komoditi perkebunanan di Propinsi Sumatera Selatan pada tahun 2001 juga menunjukkan
bahwa dari volume ekspor yang mencapai 644.667.666 kg dengan nilai US $
245.107.210, didominasi oleh karet 0,78%, lada 0,12% dan kopi 0,02% serta sisanya lainlain sebesar 0,08% (Dinas Perkebunan Prop. Sumsel). Disamping itu jika dilihat dari segi
penyerapan tenaga kerja pada subsektor perkebunan rakyat di Propinsi Sumatera Selatan,
perkebunan karet rakyat juga mendominasi.
Salah satu kabupaten yang turut
diperhitungkan sebagai penghasil karet terbesar di Propinsi Sumatera Selatan adalah
Kabupaten Banyuasin. Resmi sebagai kabupaten pada tanggal 2 Juli 2002, kabupaten

baru yang beribukota di Pangkalan Balai mencakup 11 kecamatan ini terbentuk sebagai
hasil pemekaran wilayah dari Kabupaten Musi Banyuasin. Luas wilayah Kabupaten
Banyuasin adalah 11.832,99 km2 dengan jumlah penduduk 790.148 jiwa dengan
kepadatan penduduk rata-rata 67 juta jiwa per km2. Tanaman perkebunan telah menjadi
primadona sejak lama di kabupaten ini. Adapun tanaman perkebunan yang terbukti
potensial dikembangkan antara lain karet dan kelapa sawit (di lahan kering), kelapa, kopi,
kakao, lada, cengkeh (varietas tertentu) dan kelapa sawit (di lahan pasang surut)
(Bappeda Pemkab.Banyuasin, 2002).
Perkebunan karet yang ada terdiri dari perkebunan besar dan perkebunan rakyat.
Dimana luas perkebunan karet negara seluas 6.265 ha dengan produksi 7.811 ton. Areal
PENGARUH UPAH BURUH TERHADAP PERMINTAAN TENAGA KERJA DI SEKTOR PERKEBUNAN KARET
RAKYAT (STUDI KASUS KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN)

83

Orasi Bisnis Edisi ke-2

perkebunan swasta nasional (PMDN) seluas 3.283,20 ha dengan produksi 18.057 ton,
sedangkan areal perkebunan karet swasta asing (PMA) seluas 2.350 ha dengan produksi
2.389 ton. Perkebunan rakyat yang ada sebagian besar telah dibina oleh Dinas Kehutanan

dan Perkebunan. Oleh karena perkebunan karet rakyat diusahakan oleh petani rakyat
maka tenaga kerja pada perkebunan ini sebagian besar terdiri dari tenaga kerja anggota
keluarga. Penggunaan tenaga kerja keluarga merupakan penghematan biaya usahatani
karena tidak dinilai dengan uang, sehingga semakin besar jumlah tenaga kerja yang
dimiliki oleh petani akan menentukan luas usahatani yang diusahakan. Perkebunan karet
rakyatpun juga menyerap tenaga kerja di luar anggota keluarga. Oleh karena
pengusahaan tanaman karet terdiri dari kegiatan-kegiatan yang relatif banyak melibatkan
tenaga kerja seperti: Land Clearing/pembersihan lahan (tebas, tebang dan bakar),
memancang/ngajir dan membuat lubang, penanaman bibit, penanaman cover crop,
pembuatan parit/teras dan sarana jalan, penyulaman, pemupukan, penyiangan gulma di
jalur tanaman karet, peyemprotan alang-alang dan penyadapan. Upah tenaga kerja untuk
setiap kegiatan tersebut bervariasi bahkan terkadang ditemui juga untuk kegiatan yang
sama upah tenaga kerja di desa yang satu berbeda dengan desa yang lain. Jadi jika
dihubungkan dengan penciptaan kesempatan kerja, maka perkebunan karet rakyat cukup
dapat diandalkan.
Namun,
masalah upah tenaga kerja
masih kurang diperhatikan.
Disamping itu, petani rakyat
sebagian besar tidak bisa

menentukan
besarnya
pengeluaran, padahal karet
memerlukan penanganan yang
sebaik-baiknya
agar
menguntungkan. Penanganan
yang baik bisa menaikkan
produksi yang sekaligus bisa
menaikkan pendapatan petani.
Peningkatan
produksi
membutuhkan beberapa faktor
lain disamping tenaga kerja,
antara lain adalah modal, keahlian, luas lahan. Oleh karena tanaman karet merupakan
tanaman yang berumur panjang maka tidak sedikit modal yang dibutuhkan. Menurut
Sigit (1981) modal adalah sejumlah atau bagian dari kekayaan atau yang dikorbankan
dalam usahatani untuk memperoleh keuntungan atau laba. Soegiarto et al., (2000)
mengemukakan bahwa modal atau biaya produksi yang sering disebut input produksi
dibedakan menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Selanjutnya dikemukakan

oleh Nurmalinda et al., (1994) biaya yang dikeluarkan dalam usahatani terdiri dari biaya
langsung berhubungan dengan biaya proses produksi seperti biaya bibit, pupuk, pestisida
dan tenaga kerja. Biaya tetap adalah biaya yang tetap dikeluarkan walaupun tidak
dilakukan proses produksi seperti biaya sewa lahan, biaya peralatan dan pajak tanah.
Oleh karena itu dalam usahatani perlu diperhitungkan biaya atau modal yang dikeluarkan
guna berproduksi secara cermat dan teliti (Soetiarso, 1994).
Berbagai penggolongan modal yang disebutkan di atas, pada prinsipnya dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu: Barang-barang yang tidak habis dalam sekali proses
produksi, misalnya peralatan pertanian dan bangunan, serta barang-barang yang langsung
habis dalam sekali proses produksi, misalnya pupuk dan insektisida. Oleh karena itu
untuk menyiapkan faktor yang saling menopang untuk menghasilkan keuntungan
PENGARUH UPAH BURUH TERHADAP PERMINTAAN TENAGA KERJA DI SEKTOR PERKEBUNAN KARET
RAKYAT (STUDI KASUS KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN)

84

Orasi Bisnis Edisi ke-2

diperlukan biaya yang tidak sedikit. Akan tetapi di dalam pengelolaan lahan selama ini,
boleh dibilang pengelolaan yang dilakukan hanya seadanya. Setelah ditanam, karet

dibiarkan tumbuh begitu saja, perawatannya kurang diperhatikan. Tanaman karet tua
jarang yang diremajakan dengan varietas (bibit karet unggul) baru. Bahkan, varietas baru
yang mampu menghasilkan produksi lebih baik jarang mereka kenal. Peralatan yang
dimiliki serta teknologi pengolahan diketahui masih sangat rendah. Itulah sebabnya
produktivitas perkebunan karet rakyat masih sangat rendah, yang lebih memprihatinkan
lagi adalah mutu karet olahan yang dihasilkan. Mutu karet yang memenuhi standar dan
memiliki harga jual yang tinggi serta mampu memenuhi keinginan pasar rata-rata
dihasilkan oleh perkebunan besar milik pemerintah dan swasta (Dinas Perkebunan Prop.
Sumsel). Oleh karena itu, pemerintah melalui Dinas Perkebunan dan Balai Penelitian
Karet semakin meningkatkan fungsinya untuk memperbaiki teknologi dan manajemen
pengusahaan tanaman karet rakyat.
TUJUAN DAN MANFAAT
Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui pengaruh variabel upah tenaga
kerja terhadap permintaan tenaga kerja pada perkebunan karet rakyat di Kabupaten
Banyuasin. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam menganalisis permintaan tenaga
kerja di sektor pertanian pada perkebunan karet rakyat.
PERUMUSAN MASALAH
Sejalan dengan latar belakang yang telah dikemukakan, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah : “Apakah variabel upah tenaga kerja pada

perkebunan karet rakyat mempunyai pengaruh terhadap permintaan tenaga kerja ?”
HIPOTESIS

H0 =Variabel upah tenaga kerja berpengaruh positif terhadap permintaan tenaga
kerja
H1 = Variabel upah tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap permintaan tenaga
kerja
LANDASAN TEORI
Teori Permintaan Tenaga Kerja
Permintaan adalah suatu hubungan antara harga dan kuantitas (Bellante dan
Jackson, 1990). Jika dihubungkan dengan tenaga kerja, maka permintaan merupakan
hubungan antara tingkat upah dan kuantitas tenaga kerja yang dikehendaki oleh
pengusaha untuk dipekerjakan. Oleh seorang pengusaha, tingkat upah tersebut adalah
merupakan harga dari tenaga kerja yang dipekerjakannya. Permintaan terhadap tenaga
kerja menggambarkan jumlah maksimum tenaga kerja yang seorang pengusaha bersedia
untuk mempekerjakannya pada setiap kemungkinan tingkat upah dalam jangka waktu
tertentu. Dalam aktivitasnya berproduksi, pengusaha menghadapi kendala biaya dan
harga input. Menghadapi kendala demikian pengusaha berusaha mengoptimumkan
penggunaan input untuk mendapatkan tingkat produksi yang maksimal. Prinsip yang
digunakan adalah bahwa produk pisik marginal per-rupiah dari setiap input adalah sama

(Wijaya, 1990).

MPPL
MPPK

w
v
Figure 1

PENGARUH UPAH BURUH TERHADAP PERMINTAAN TENAGA KERJA DI SEKTOR PERKEBUNAN KARET
RAKYAT (STUDI KASUS KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN)

85

Orasi Bisnis Edisi ke-2

Produk Pisik Marginal (MPPi) adalah besarnya produk tambahan yang dihasilkan
dari penambahan satu unit input i. Secara matematis merupakan derivasi pertama dari
fungsi produksi, yaitu:

MPPL 

Q
Q
dan MPPK 
L
K

Prinsip persamaan di atas selain memenuhi syarat produk yang maksimal juga
memenuhi syarat kombinasi input dengan biaya yang minimal (Least Cost Combination).
Hal ini karena sifat dual produksi dan biaya (Bilas, 1971). Sebelumnya telah dijelaskan
bahwa tujuan rasional pengusaha adalah mendapatkan keuntungan maksimum.
Keuntungan merupakan selisih daripada pendapatan dengan biaya produksi. Pendapatan
adalah hasil kali produk dengan harganya, sedangkan biaya produksi ialah seluruh biaya
input yang dikeluarkan untuk memproduksi output. Secara matematis dapat dinyatakan
sebagai berikut : π = P.Q – (vK + wL), dimana : π adalah keuntungan, P adalah harga
produk, Q adalah jumlah output, K adalah jumlah input modal, L adalah jumlah input
tenaga kerja, v adalah harga input modal dan w adalah harga input tenaga kerja. Syarat
untuk mendapatkan keuntungan maksimum adalah jika hasil penjualan tambahan yang
diperoleh dari produksi tambahan yang diciptakan oleh faktor produksi tersebut adalah
sama dengan biaya produksi tambahan yang dibayarkan kepada faktor produksi tersebut
(Sukirno, 1982). Hasil penjualan dari tambahan produk yang dihasilkan oleh penambahan
satu unit input adalah nilai produk marginal yang merupakan hasil kali dari produk pisik
marginal dengan harga produk. Sedangkan biaya produksi tambahan karena penambahan
satu unit input adalah sama dengan harga dari input itu sendiri. Bagi input modal adalah
harga modal (v) dan bagi input tenaga kerja adalah harga tenaga kerja atau sama dengan
upah tenaga kerja (w).
P . MPPL = w
P . MPPK = v atau
MR = MC
Fungsi permintaan tenaga kerja di atas didasarkan kepada teori produksi Neoklasik yaitu
teori Produktivitas Marginal tentang Permintaan Tenaga Kerja dalam Pasar Kompetisi
(Simanjuntak, 1985). Dalam pasar kompetisi, setiap perusahaan diasumsikan tidak dapat
mempengaruhi terhadap harga output yang dijual maupun terhadap harga input yang
diperlukan dalam proses produksi (Price Taker) dimana porsi perusahaan baik dalam
pasar input maupun pasar output sangat kecil. Bagi industri dalam keseimbangan jangka
panjang, tingkat harga adalah sama dengan rata-rata minimum biaya total untuk setiap
perusahaan (Fleisher dan Kniesner, 1984).

(a) perusahaan

(b) industri

Gambar: Harga dan Output dalam Industri yang Kompetitif
PENGARUH UPAH BURUH TERHADAP PERMINTAAN TENAGA KERJA DI SEKTOR PERKEBUNAN KARET
RAKYAT (STUDI KASUS KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN)

86

Orasi Bisnis Edisi ke-2

Panel (b) pada Gambar 1. di depan terlihat keseimbangan tingkat harga (Po) dan
output industri (Qo) dipengaruhi oleh penawaran (Sp) dan permintaan industri (D p).
Sedang bagi suatu perusahaan dengan tingkat harga tersebut akan menetapkan tingkat
outputnya untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal melalui teknik produksi
dengan biaya produksi yang minimal.
Ada dua aspek yang dilakukan oleh perusahaan berkenaan dengan penggunaan
input dalam jangka panjang (Fleisher dan Kneisner, 1984). Pertama, perusahaan harus
menentukan kemungkinan kombinasi input tenaga kerja dan modal dengan biaya yang
minimal untuk setiap tingkat produksi untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Pendekatan maksimisasi biaya dimaksudkan bahwa dengan suatu output tertentu
diusahakan melalui suatu kombinasi penggunaan input dengan biaya minimal. Untuk
melihatnya digunakan konsep isoquant dan isocost. Garis isocost adalah titik-titik
berbagai kemungkinan kombinasi input dengan biaya yang sama.

Gambar: Metode Produksi dengan Biaya Terendah
Secara teknikal, perusahaan dapat memproduksi Q dengan kombinasi La dan Ka
pada titik A. Perusahaan yang kompetitif tidak akan memilih pada titik A karena dengan
tingkat produksi Q masih dapat diusahakan pengurangan biaya produksi. Perusahaan
kompetitif akan mensubstitusikan input K dengan input L sampai pada titik B yang
merupakan titik singgung antara garis isocost I dengan isoquant yang merupakan titik
optimal bagi tingkat produksi Q dengan biaya minimal.
Dari Gambar 2. digambarkan pada titik singgung isoquant sama dengan garis
isocost yang berarti bahwa slop isoquant sama dengan slop garis isocost.

Gambar: Jalur Ekspansi Perusahaan
PENGARUH UPAH BURUH TERHADAP PERMINTAAN TENAGA KERJA DI SEKTOR PERKEBUNAN KARET
RAKYAT (STUDI KASUS KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN)

87

Orasi Bisnis Edisi ke-2

Hanya ada satu kombinasi input tenaga kerja dan modal untuk memproduksi
suatu tingkat output dengan biaya minimal. Pada Gambar 3. terdapat tiga tingkat output
q1, q2, dan q3 yang diproduksi dengan biaya minimal melalui kombinasi input (L1,K1);
(L2,K2); dan (L3;K3). Titik-titik kombinasi input tenaga kerja dan modal dengan biaya
minimal tersebut merupakan jalur ekspansi perusahaan yang berupa garis lurus dari titik
origin ke kanan atas (OA). Slop garis lurus jalur ekspansi yang positif berarti kenaikan
tingkat output membutuhkan kenaikan pula pada penggunaan input tenaga kerja maupun
modal.
Semua faktor produksi
berubah dalam jangka panjang.
Teori produksi menyebutkan bahwa
pengaruh substitusi dan pengaruh
pendapatan
disebut
sebagai
substitution effect dan output effect.
Penjumlahan dari kedua pengaruh
tersebut disebut pengaruh total yang
merupakan akibat dari perubahan
tingkat upah atau harga tenaga
kerja.
Ada dua hal yang
mempengaruhi perusahaan apabila
terjadi perubahan tingkat upah.
Pertama, perubahan tingkat upah
akan mempengaruhi biaya produksi. Dengan asumsi harga produk yang konstan, maka
perubahan biaya produksi ini akan mempengaruhi pula terhadap tingkat output yang
memaksimalkan keuntungan. Gejala demikian disebut sebagai efek output dari
perubahan tingkat upah. Gejala ini biasanya terjadi dalam jangka pendek dimana
perusahaan melakukan penyesuaian jumlah penggunaan input tenaga kerja atas tingkat
output yang ditetapkan untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Perusahaan bergerak
disepanjang jalur ekspansi ke tingkat output yang mensyaratkan biaya produksi yang
sama dengan semula (Solberg, 1982). Kedua, dengan berubahnya tingkat upah berarti
pula harga relatif tenaga kerja w/v berubah pula. Hal demikian berarti garis isocost
mengalami perubahan pula. Sebagai akibatnya setiap kemungkinan tingkat output akan
dihasilkan dengan suatu kombinasi input yang meminimumkan biaya yaitu dengan
mensubstitusikan input yang mahal dengan input produksi yang lebih murah. Gejala ini
disebut sebagai efek substitusi dari perubahan tingkat upah. Berdasarkan konsep produk
marginal, kenaikan jumlah tenaga kerja selalu disertai dengan peningkatan produktivitas.
Penggunaan jumlah tenaga kerja tertentu menyebabkan produktivitas menjadi maksimum.
Kemudian penambahan tenaga kerja dengan input lainnya konstan, maka terjadi
penurunan dalam tingkat produktivitas. Jadi, produktivitas tenaga kerja marginal
menentukan permintaan tenaga kerja dan kurva permintaan tenaga kerja adalah negatif
jika hanya satu faktor yang berubah. Perubahan dalam jangka panjang dalam penggunaan
tenaga kerja karena perubahan tingkat upah haruslah lebih banyak daripada perubahan
dalam jangka pendek (Bellante dan Jackson, 1990). Besarnya pengaruh perubahan harga
tenaga kerja terhadap penggunaan tenaga kerja tergantung pada bekerjanya efek substitusi
dan efek output disamping faktor-faktor lain seperti permintaan barang, interaksi antara
tenaga kerja, modal dan teknologi (Nicholson, 1978). Setiap pengusaha menginginkan
bentuk kombinasi modal dan tenaga kerja yang memaksimumkan keuntungan dan
meminimumkan biaya dalam jangka panjang. Biaya bagi seorang tenaga kerja

PENGARUH UPAH BURUH TERHADAP PERMINTAAN TENAGA KERJA DI SEKTOR PERKEBUNAN KARET
RAKYAT (STUDI KASUS KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN)

88

Orasi Bisnis Edisi ke-2

merupakan upah sehari-hari ditambah biaya per hari bagi setiap batas keuntungan
ditunjukkan pada Gambar 4. berikut ini:

Gambar: Kombinasi Modal Dan Tenaga Kerja dalam Jangka Panjang
Gambar tersebut menunjukkan bahwa kombinasi tenaga kerja dan modal yang
memberikan biaya paling rendah. Kombinasi yang dipilih oleh pengusaha adalah titik X
dan bukan titik Y, karena titik tersebut merupakan kombinasi paling murah untuk
menghasilkan tenaga kerja sebanyak OL1 dan modal sebesar OK1. Garis Isocost (IC 1,
IC2, dan IC3) menunjukkan bahwa semakin jauh letaknya dari posisi semula, semakin
mahal biaya kombinasi tenaga kerja dan modal yang diberikan oleh garis tersebut.

Gambar: Kurva Permintaan Tenaga Kerja dalam Jangka Pendek dan Panjang
Gambar 5. berikut ini akan menjelaskan mengenai kurva permintaan tenaga kerja
jangka pendek dan jangka panjang akibat naiknya tingkat upah. Pengusaha berada pada
posisi keseimbangan dengan tingkat upah w1 dan jumlah tenaga kerja L1 dalam jangka
pendek. Kemudian tingkat upah naik menjadi w2. Pada posisi tersebut pengusaha
mengalami kenaikan akan biaya produksinya, sehingga pengusaha tersebut mengurangi
jumlah tenaga kerja sampai L 2 (sepanjang kurva VMPL). Namun, dalam jangka panjang
pengusaha tersebut akan melakukan penyesuaian yaitu dengan cara menggantikan tenaga
kerja dengan modal. Jumlah tenaga kerja yang digunakannya akan berkurang sampai ke
PENGARUH UPAH BURUH TERHADAP PERMINTAAN TENAGA KERJA DI SEKTOR PERKEBUNAN KARET
RAKYAT (STUDI KASUS KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN)

89

Orasi Bisnis Edisi ke-2

titik L. Berdasarkan uraian di atas ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, antara lain
(Bellante dan Jackson, 1990) :
1. Karena fleksibilitas yang ditambahkan oleh pengusaha tersebut dalam jangka
panjang, maka permintaan tenaga kerjanya akan bersifat lebih responsif terhadap
perubahan suatu tingkat upah dibandingkan dengan permintaan tenaga kerja dalam
jangka pendek.
2. Pengusaha yang berada pada keseimbangan jangka panjang haruslah juga berada
pada keseimbangan jangka pendek. Hal ini disebabkan kurva permintaan tenaga
kerja dalam jangka panjang menunjukkan jumlah tenaga kerja yang digunakan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan tenaga kerja antara lain jumlah
tenaga kerja yang tersedia, harga jual produk yang dihasilkan oleh tenaga kerja tersebut,
biaya pemeliharaan, dan teknologi. Adapun kesimpulan dari permintaan tenaga kerja
baik itu jangka pendek maupun jangka panjang adalah jumlah tenaga kerja yang diminta
mempunyai hubungan negatif dengan tingkat upah.
Elastisitas Permintaan Tenaga Kerja
Elastisitas adalah suatu pengertian yang menggambarkan derajat kepekaan.
Elastisitas permintaan menggambarkan derajat kepekaan fungsi permintaan terhadap
perubahan yang terjadi pada variabel-variabel yang mempengaruhinya (Sudarsono,
1989). Adapun elastisitas permintaan tenaga kerja merupakan persentase perubahan
permintaan akan tenaga kerja sehubungan dengan perubahan satu persen pada tingkat
upah (Simanjuntak, 1985). Secara umum dituliskan dalam persamaan:

 

N / N
w / w

dimana:  adalah elastisitas permintaan tenaga kerja, ΔN adalah perubahan jumlah
tenaga kerja yang terjadi, N adalah jumlah tenaga kerja yang bekerja mula-mula, Δw
adalah besarnya perubahan tingkat upah dan w adalah tingkat upah yang sedang berlaku.
Persamaan tersebut dapat ditulis dalam bentuk:



N w
. atau
w N



dN w
.
dw N

Jika tingkat upah naik, jumlah orang yang dipekerjakan (permintaan tenaga kerja)
menurun begitu juga sebaliknya apabila tingkat upah turun maka permintaan tenaga kerja
akan meningkat. Hal ini mengakibatkan persamaan di atas negatif, sehingga elastisitas
permintaan tenaga kerja juga negatif. Selain daripada itu elastisitas permintaan tenaga
kerja juga dapat dilihat dari sudut tingkat produksi yaitu elastisitas permintaan tenaga
kerja terhadap perubahan tingkat produksi merupakan persentase permintaan tenaga kerja
sehubungan dengan perubahan pada satu persen perubahan tingkat produksi.

etk .q 

dL Q
.
dQ L

dimana:etk.q = elastisitas permintaan tenaga kerja terhadap perubahan tingkat produksi
L = jumlah tenaga kerja
Q = tingkat produksi
Tingkat produksi akan ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan.
Peningkatan produksi akan menuntut pada penambahan jumlah tenaga kerja. Dengan
demikian positif. Elastisitas permintaan tenaga kerja terhadap tingkat produksi
mencerminkan produktivitas tenaga kerja. Jadi, konsep elastisitas sangat bermanfaat
PENGARUH UPAH BURUH TERHADAP PERMINTAAN TENAGA KERJA DI SEKTOR PERKEBUNAN KARET
RAKYAT (STUDI KASUS KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN)

90

Orasi Bisnis Edisi ke-2

dalam menganalisa pengaruh pertumbuhan produktivitas terhadap permintaan tenaga
kerja dan alokasi tenaga kerja di berbagai industri (Bellante dan Jackson, 1990). Besar
kecilnya elastisitas permintaan tenaga kerja tergantung pada 4 kriteria berikut
(Simanjuntak, 1985):
1. Kemungkinan substitusi tenaga kerja dengan faktor yang lain, misal modal.
2. Elastisitas permintaan terhadap barang yang dihasilkan.
3. Proporsi biaya karyawan terhadap seluruh biaya produksi.
4. Elastisitas persediaan dan faktor produksi pelengkap lainnya.
Penjelasan pertama, semakin kecil
kemungkinan mensubstitusikan modal
terhadap tenaga kerja, semakin kecil
elastisitas permintaan tenaga kerja. Jika
suatu teknik produksi menggunakan modal
dan tenaga kerja dalam perbandingan yang
tetap, maka perubahan tingkat upah tidak
akan mempengaruhi permintaan tenaga
kerja (dalam jangka pendek). Elastisitas
semakin kecil
jika
keahlian atau
keterampilan golongan tenaga kerja
semakin tinggi dan semakin khusus.
Penjelasan kedua, kenaikan harga jual barang akan menurunkan jumlah
permintaan masyarakat akan hasil produksi. Penurunan tersebut akan menimbulkan
penurunan pula dalam jumlah permintaan tenaga kerja. Semakin besar elastisitas
permintaan tenaga kerja terhadap hasil produksi, semakin besar elastisitas permintaan
tenaga kerja. Penjelasan ketiga, elastisitas permintaan tenaga kerja relatif tinggi bila
proporsi biaya pekerja (labor cost) terhadap biaya produksi keseluruhan (total cost) juga
besar. Penjelasan keempat, elastisitas permintaan tenaga kerja tergantung pada elastisitas
penyediaan dari bahan-bahan pelengkap dalam produksi seperti modal, transportasi
(kendaraan pengangkut), penyediaan pupuk, obat pembasmi hama, dan lain-lain untuk
perkebunan karet. Semakin besar elastisitas penyediaan faktor pelengkap dalam
produksi, semakin besar elastisitas permintaan tenaga kerja.
Proses perubahan atau penyesuaian memerlukan waktu. Dalam jangka pendek,
pengusaha tidak dapat dengan mudah mengurangi atau menambah jumlah tenaga kerja
sebagai akibat perubahan dalam tingkat upah. Hal ini disebabkan perlunya penyesuaian
dalam bidang-bidang yang lain seperti penggunaan modal, transportasi (kendaraan
pengangkut), penyediaan pupuk, obat pembasmi hama, dan lain-lain untuk perkebunan
karet. Dalam jangka panjang, penyesuaian atau perubahan dapat dilakukan secara
berangsur-angsur. Jadi, setiap alternatif yang dipilih oleh pengusaha, elastisitas
permintaan tenaga kerja selalu lebih besar dalam jangka pendek jika dibandingkan
dengan jangka panjang (Simanjuntak, 1985). Elastisitas permintaan tenaga kerja juga
dapat dilihat dari sudut tingkat produksi. Elastisitas permintaan tenaga kerja terhadap
perubahan tingkat produksi adalah persentase perubahan permintaan tenaga kerja
sehubungan dengan perubahan persentase tingkat produksi. Adapun tingkat produksi
ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. Peningkatan dalam produksi
akan menyebabkan penambahan jumlah tenaga kerja, sehingga hubungan antara tingkat
produksi dengan permintaan tenaga kerja bersifat positif. Jadi, elastisitas permintaan
tenaga kerja terhadap tingkat produksi mencerminkan produktivitas tenaga kerja.

PENGARUH UPAH BURUH TERHADAP PERMINTAAN TENAGA KERJA DI SEKTOR PERKEBUNAN KARET
RAKYAT (STUDI KASUS KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN)

91

Orasi Bisnis Edisi ke-2

Elastisitas Substitusi
Suatu gejala umum yang sering terjadi pada negara-negara berkembang adalah
pertumbuhan kesempatan kerja lebih kecil daripada pertumbuhan outputnya. Tingkat
investasi berkembang dengan pesat, sedangkan penyerapan tenaga kerja tidak boleh
konstan. Kenyataan ini dapat dilihat melalui kecenderungan rasio kapital-tenaga kerja
yang meningkat. Kenaikan tingkat upah dapat memperkecil pertumbuhan kesempatan
kerja, akan tetapi tergantung pada perubahan relatif tingkat upah terhadap modal serta
nilai elastisitas substitusi. Pengertian elastisitas substitusi adalah (  ) sebuah ukuran yang
bertujuan untuk memperlihatkan pengaruh relatif dari perubahan marginal rate of
technical substitution (MRTS) terhadap perubahan rasio modal (K) terhadap tenaga kerja
(L), (Syahruddin,). Secara matematis ditulis sebagai berikut:
 

( K / L) ( MRTS )
:
MRTS
( K / L)

atau



( K / L) MRTS
x
( MRTS ) ( K / L)

Jika elastisitas substitusi sama dengan satu maka setiap 1% perubahan MRTS
akan menyebabkan K/L berubah sebesar 1% pula. Tinggi atau rendahnya nilai elastisitas
substitusi ini bertujuan untuk menjelaskan kemungkinan pertukaran K dan L dalam
proses produksi dan perubahan penerimaan relatif faktor masing-masing, jika terjadi
kenaikan atau penurunan tingkat upah (Syahruddin, 1991). Selain itu, besar kecilnya nilai
elastisitas substitusi merefleksikan kepekaan untuk bersubstitusi dan mengestimasikan
sumbangan upah terhadap nilai tambah. Fungsi Cobb-Douglas menyatakan bahwa
elastisitas substitusinya adalah satu (unity) berarti perubahan atau sumbangan tingkat
upah terhadap nilai tambah selalu konstan. Hal ini terjadi karena w / v (tingkat upah
terhadap biaya modal) akan berubah dengan proporsi yang sama dengan perubahan K/L
berarti sumbangan relatif modal dan tenaga kerja (vK/wL) tetap konstan.
Nilai  > 1 (elastis) adalah substitusi antara faktor produksi relatif mudah.
Kenaikan rasio modal tenaga kerja (K/L) akan melebihi peningkatan w / v, sehingga
sumbangan modal terhadap penerimaan total akan naik sebagaimana rasio modal-tenaga
kerja. Namun, jika  < 1 (inelastis) berarti substitusi antara faktor produksi relatif sukar.
Kondisi menunjukkan bahwa sumbangan modal cenderung menurun karena harga relatif
tenaga kerja naik lebih cepat menanggapi peningkatan jumlah modal per tenaga kerja
(vK/L). Adanya peningkatan rasio modal-tenaga kerja (K/L) menunjukkan pula
sumbangan upah terhadap nilai tambah juga meningkat. Pengetahuan tentang elastisitas
substitusi di sektor industri dapat digunakan sebagai salah satu indikator dalam membuat
kebijaksanaan kesempatan kerja. Apabila elastisitas substitusi bersifat elastis (  > 1) dan
input modal dapat dicari, maka pengusaha dapat didorong untuk menambah tenaga kerja
dengan menaikkan suku bunga relatif lebih besar daripada kenaikan tingkat upah, dengan
asumsi cateris paribus. Namun, jika elastisitas substitusi bersifat inelastis (  Ftabel sehingga
H0 ditolak dan menerima hipotesis H1. Diterimanya H1 menunjukkan bahwa variabel
bebas yaitu upah tenaga kerja berpengaruh terhadap variabel terikat pada tingkat
kepercayaan 99%. Hal ini juga ditunjukkan oleh nilai P-value sebesar 0.000. Dengan
menggunakan tingkat kepercayaan 99% maka didapat t tabel 2,617 dan setelah
dibandingkan dengan tstatistik maka didapat kesimpulan bahwa variabel upah tenaga kerja
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap variabel permintaan tenaga kerja.
KESIMPULAN
Karena elastisitas upah dari permintaan tenaga kerja adalah negative, maka hal
ini menunjukkan bahwa sifat perkebunan karet rakyat relatif cukup sensitif terhadap
adanya perubahan tingkat upah dalam struktur biaya produksinya. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa perkebunan karet rakyat cenderung padat karya. Dimana nilai
penerimaan yang relatif tinggi yang mendukung peningkatan permintaan tenaga kerja ini
disebabkan karena dari beberapa sampel telah melaksanakan budidaya tanaman karet
sesuai dengan petunjuk teknis sehingga memungkinkan kalau hasil produksinya dalam
jumlah yang banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Pemkab. Banyuasin. 2002. Kabupaten Banyuasin: Membangun dan
Melestarikan Banyuasin untuk Kesejahteraan Rakyat.
Bellante, Don dan Mark Jackson. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan, Jakarta: LPFEUI.
Biro Pusat Statistik. 1998. Sumatera Selatan Dalam Angka 1998. Sumsel: Biro Pusat
Statistik.
Billas, Richard A. 1971. Micro Economic Theory, Tokyo: McGraw Hill Kogakusha, Ltd.
PENGARUH UPAH BURUH TERHADAP PERMINTAAN TENAGA KERJA DI SEKTOR PERKEBUNAN KARET
RAKYAT (STUDI KASUS KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN)

93

Orasi Bisnis Edisi ke-2

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyuasin. 2003. Perkebunan dalam
Angka/Data Statistik, beberapa edisi. Palembang: Dinas Kehutanan &
Perkebunan.
Fleisher, Belton M and Thomas J Kneisner. 1984. Labor Economics, Theory, Evidence
and Policy, New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Haidy, N. A. Pasay dan Salman Taufik. 1990. Produktivitas Pekerja di Industri
Pengolahan. Dalam Arsyad Anwar dan Iwan Jaya Aziz (ed). Prospek Ekonomi
Indonesia Tahun 1990-1991 dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta:
LPFE UI.
J., Payaman Simajuntak. 1985. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, Jakarta:
LPFE UI.
Nicholson, Walter. 1978. Microeconomic Theory, Basic Principles and Extensions, 2 nd
Edt, Illionis: The Dryden Press.
Solberg, Eric J. 1982. Intermediate Microeconomics, Texas: Bisnis Publication Inc.
Sugiarto, S. Kelana, Teddy H., R. Sudjana, dan Bastoro. 2000. Ekonomi Mikro Suatu
Pendekatan Praktis. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Sukirno, Sadono. 1985. Pengantar Teori Ekonomi Mikro, Jakarta: LPFE UI.
Syahruddin. 1991. Dasar-dasar Teori Ekonomi Mikro, Jakarta: LPFE UI.
Teguh, Muhammad. 1999. Metodologi Penelitian Ekonomi Teori dan Aplikasi, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

PENGARUH UPAH BURUH TERHADAP PERMINTAAN TENAGA KERJA DI SEKTOR PERKEBUNAN KARET
RAKYAT (STUDI KASUS KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN)

94