MEMBANGUN KALSEL DALAM LINTASAN SEJARAH

MEMBANGUN KALIMANTAN SELATAN
DALAM LINTASAN SEJARAH

DARI PENULIS
Sejarah yang hampir selalu berada pada frame masa-masa sulit dan
berbagai bentuk keterbatasan seringkali membuat saya terkagum-kagum
terhadap para pelaku sejarah dengan segala bentuk keputusan dan
tindakan yang mereka buat, apalagi jika di kemudian hari saya
menyaksikan sendiri buah keberhasilan dari keputusan dan tindakan
tersebut. Sejarah tidak hanya terbatas pada sekumpulan kisah heroik
jaman perjuangan negeri ini ataupun kisah-kisah kebesaran kerajaan dan
kesultanan di masa lampau, namun segala bentuk peristiwa yang
terlewati oleh waktu meskipun itu hanya satu detik berlalu adalah sebuah
sejarah.
Sejarah pembangunan lokal sangat jarang diekspose dan terdokumentasi,
sehingga menarik perhatian saya menggali dan menuangkannya ke dalam
sebuah tulisan. Dalam menyusun tulisan ini, saya merasa seperti
menyusun sebuah mosaik cerita dari serpihan-serpihan kisah yang
terserak dari berbagai macam sumber dokumen sehingga menjadi sebuah
satu kesatuan cerita yang utuh. Sebagai seorang yang bukan pelaku
sejarah, maka perlu ada catatan bahwa tulisan ini lebih mengarah pada

rewrite dari semua serpihan-serpihan kisah tersebut.
Proyek-proyek besar yang digagas dan dilaksanakan di
Kalimantan
Selatan oleh para pendahulu beberapa diantaranya memiliki pengaruh
yang amat significant terhadap kemajuan daerah serta memberikan
kontribusi yang tidak kecil terhadap perekonomian secara nasional,
meskipun begitu ada pula yang berakhir seperti yang tidak diharapkan.
Penilaian sukses atau gagal dari semua usaha pembangunan yang telah
dilakukan dalam upaya memajukan daerah ini di masa lalu tidaklah
menjadi hal yang teramat penting artinya, karena memang sudah
selayaknya sejarah diposisikan menjadi sebuah pengalaman untuk
bertindak lebih bijak dan bersikap yang lebih baik ke depan.

Erwan Nurindarto
Banjarbaru - Desember 2010

2

DAFTAR ISI
DARI PENULIS


2

DAFTAR ISI

3

LADANG MINYAK TABALONG (1898 – SEKARANG)

4

PABRIK GULA PELAIHARI (1982 – 2002)

9

PABRIK KERTAS MARTAPURA (1960 – 1978)

13

PROYEK BESI BAJA KALIMANTAN (1956 – 1965)


16

PIONER INDUSTRI KAYU LAPIS KALIMANTAN SELATAN (1971 –
2008)

20

WADUK RIAM KANAN (1958 – SEKARANG)

27

DAFTAR PUSTAKA

32

3

LADANG MINYAK TABALONG
(1898 – SEKARANG)

Minyak bumi atau petroleum berasal dari kata “petros” dalam bahasa
Yunani berarti batu dan “oleum” dalam bahasa Latin berarti minyak. Jauh
sebelum minyak bumi dieksploitasi dan dipergunakan secara luas pada
abad 19, pemanfaatan mineral bumi diawali dengan penambangan aspal
alami oleh bangsa Iraq di tepian sungai Euphrate pada tahun 4.000
sebelum Masehi. Aspal alami ini digunakan sebagai mortar atau peluru api
dalam peperangan dan juga digunakan sebagai penambal anti air di
kapal, tempat-tempat penampungan serta bangunan. Kemudian berabadabad setelah itu minyak bumi mulai ditambang dan dimanfaatkan oleh
bangsa Cina pada tahun 347 Masehi, minyak bumi di Cina ini ditemukan
pada kedalaman 240 meter dan ditambang secara sederhana dengan
menggunakan bambu. Dan tercatat juga pada tahun 1594 minyak bumi
ditambang dengan penggalian secara manual oleh bangsa Persia di
daerah bernama Baku dan minyak bumi ditemukan pada kedalaman 35
meter.
Sampai pada akhir abad 19, hasil utama olahan minyak bumi yang
dimanfaatkan hanya berupa paraffin untuk pemanas dan kerosene
(minyak tanah) untuk penerangan/lampu. Akan tetapi ternyata minyak
bumi yang berasal dari Indonesia terutama Sumatera banyak
mengandung gasoline (bensin) yang kemudian banyak dimanfaatkan
sebagai bahan bakar kendaraan di Eropa. Baru pada awal abad 20 pada

saat perang dunia kedua berkecamuk ditemukan diversifikasi baru olahan
minyak bumi yang menghasilkan minyak dengan oktan tinggi berupa
avtur untuk bahan bakar pesawat terbang serta butadiene sebagai bahan
baku karet sintetis.
Ketenaran nama kabupaten Tabalong yang sudah dikenal sejak dahulu
juga tidak lepas dari kekayaan sumber alamnya yang melimpah terutama
kekayaan mineralnya yang berupa minyak, gas bumi serta batu bara.
Sumber alam mineral terutama minyak bumi di bumi Tabalong telah
diambil dan dimanfaatkan lebih dari 1 abad yang lalu sejak jaman Hindia
Belanda hingga kini. Sekilas tentang Tabalong, menilik sejarah dari
mitologi suku Maanyan yang merupakan suku tertua di Kalimantan
Selatan bahwa di daerah Tabalong hingga Paser Kalimantan Timur pernah
berkuasa sebuah kerajaan kuno yang bernama kerajaan Nan Sarunai.
Meskipun agak sulit diterima mengingat letak geografis kerajaan ini yang
jauh dari pesisir laut, menurut mitologi suku Maanyan menceritakan
kerajaan ini pada masa-masa keemasannya telah melakukan hubungan
hingga ke kepulauan Madagaskar, dan salah satu buktinya adalah
kemiripan bahasa Maanyan dengan bahasa Malagasy yang dipakai oleh
orang Madagaskar. Salah satu peninggalan arkeologis kerajaan ini berupa
situs candi Hindu yang bernama Candi Agung di daerah Amuntai Hulu

4

Sungai Utara, menurut uji karbon C 14 pada tahun 1996 candi ini
diperkirakan berdiri sekitar tahun 242 – 226 sebelum Masehi. Persilangan
budaya dan ras antara suku Dayak (Maanyan, Bukit, Ngaju) dengan suku
Melayu terjadi setelah kedatangan para imigran Melayu asal kerajaan
Sriwijaya (Palembang) pada sekitar tahun 400 – 500 Masehi, dari
pertemuan kedua suku tersebut sehingga terbentuklah kerajaan yang
lebih maju yakni kerajaan Tanjungpuri.
Tidak ada catatan yang pasti tentang akhir eksistensi kerajaan
Tanjungpuri ini hingga akhirnya wilayah kekuasaan kerajaan ini beralih
pada keturunan mereka yaitu Kesultanan Banjar pada abad 17 Masehi,
kesultanan Banjar memiliki batas teritorial paling Barat adalah Kerajaan
Sambas dan paling Timur Kerajaan Kerasikan. Tidak pernah ada klaim dari
kesultanan Banjar di Kalimantan bagian Utara yang merupakan wilayah
teritorial kerajaan Brunei. Ada dua versi cerita yang menceritakan asal
muasal nama Tabalong, versi pertama adalah menurut cerita lisan dari
mulut ke mulut, bermula dari cerita para perambah hutan jaman dahulu
yang ketika membuka areal perladangan di dalam hutan dan kaki mereka
terinjak duri-duri Tataba sejenis pohon yang seluruh batangnya berduri

keras. Mereka menjerit kesakitan ketika terinjak duri Tataba tersebut, jerit
kesakitan ini dalam bahasa Banjar Hulu dikatakan dengan tahalulung atau
melolong, maka inilah akhirnya menjadi penyebutan nama Tabalong.
Cerita versi kedua adalah berasal dari hikayat Datu Banua Lima yang
menceritakan tentang nama Tabalong tersebut berasal dari salah satu
lima bersaudara putera dari Datu Intingan (saudara Datu Dayuhan kepala
suku Dayak Meratus) dan Dayang Baiduri (putri imigran dari kerajaan
Sriwijaya) yang menjadi panglima di kerajaan Tanjungpuri. Kelima
bersaudara itu adalah Panglima Alai, Panglima Tabalong, Panglima
Balangan dan dua kembar bersaudara Panglima Hamandit & Panglima
Tapin.
Sejak runtuhnya kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860, maka
daerah Kalimantan Selatan menjadi wilayah administratif pemerintahan
Hindia Belanda. Hingga tahun 50 an Tabalong masih merupakan wilayah
Kawedanan (satu tingkat di bawah kabupaten) di dalam wilayah
kabupaten Hulu Sungai Utara yang dipimpin oleh seorang Wedana.
Gagasan untuk menjadikan Tabalong menjadi kabupaten diprakarsai oleh
bapak Baharuddin Akhmid yang saat itu menjabat sebagai asisten
Wedana kecamatan Tabalong Selatan. Dan pada tanggal 15 Maret 1958
mulai dibentuk Panitia Sementara Penuntutan Daerah Swatantra Tingkat II

Tabalong. Selanjutnya pada tanggal 5 Mei 1959 dalam sidang Pleno
terbuka DPRD Hulu Sungai Utara telah memutuskan menyetujui tuntutan
rakyat Tabalong agar kewedanaan Tabalong dapat dijadikan daerah
Swatantra Tingkat II Tabalong dengan ibu kota Tanjung. Pada tanggal 5
September 1964 Kewedanaan Tabalong telah ditingkatkan statusnya
menjadi daerah persiapan Tingkat II Tabalong dengan kepala kantornya
Usman Dundrung yang seorang mantan Wedana Barabai. Kabupaten
Tabalong dibentuk dan diresmikan pada tanggal 1 Desember 1965, oleh
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Bapak Dr.Soemarno Sosro
5

Atmodjo. Sedangkan Bupati pertama pemerintah daerah kabupaten
Tabalong yang masa itu disebut sebagai Penguasa Daerah yaitu Bapak
Usman Dundrung, dilantik pada tanggal 1 Desember 1965 dan mengakhiri
masa jabatan pada 14 Maret 1972.
Masa-masa awal eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi di Indonesia
dimulai pada kurun waktu 1871 – 1885, seorang pengusaha perkebunan
tembakau Belanda bernama A.J Zijkler memulai pengeboran minyak bumi
di desa Telaga Said wilayah Kesultanan Langkat Sumatera Utara dan
berhasil mengeluarkan minyak dari dalam bumi tepatnya tanggal 15 Juni

1885 pada kedalaman 121 meter dengan hasil minyak yang diperoleh 180
barrel per hari (1 barrel = 159 liter). Dan saat itulah pertama kali minyak
bumi di Indonesia berhasil dieksploitasi dan diusahakan secara komersial.
Sumur minyak pertama di Indonesia tersebut ditinggalkan pada tahun
1934, dan kini pada tempat tersebut berdiri sebuah monumen berupa
tugu Telaga Tunggal.
Untuk wilayah Kalimantan, konsesi komersial minyak bumi pertama
adalah konsesi milik Sultan Kutai Kalimantan Timur dengan orang Belanda
bernama JH Meeten di daerah Sanga sanga pada tahun 1888. Karena
besarnya potensi minyak bumi di Kalimantan maka pemerintah Hindia
Belanda merasa perlu untuk membangun sebuah instalasi penyulingan
minyak yang dekat dengan pelabuhan sehingga memudahkan untuk
kegiatan ekspor minyaknya, sehingga pada tahun 1894 dibangunlah
kilang minyak di Balikpapan oleh perusahaan minyak Belanda bernama
Royal Dutch Shell dan kilang minyak ini mulai beroperasi pada tahun
1898. Pemerintah Hindia Belanda saat itu terus giat melakukan eksplorasi
sumber-sumber minyak baru di wilayah Kalimantan, hingga pada tahun
1898 dilakukan pengeboran lapangan minyak baru di Tanjung Kalimantan
Selatan oleh perusahaan bernama Minj Bouw Maatschapij Martapoera.
Minj Bouw Maatschapij Martapoera beroperasi di Tanjung yang berakhir

masa kontraknya tahun 1912, dan kemudian sumur minyak lapangan
Tanjung beralih pengelolaannya oleh Dotsche Petroleum Maatschapij
hingga awal tahun 1930 an.
Pada tahun 1930 itu pula kegiatan eksploitasi minyak bumi di Tanjung
beralih pengelolaannya kepada sebuah perusahaan bernama NV
Baatatsch Petroleum Maatschappij atau BPM. BPM adalah sebuah
perusahaan afiliasi dari Royal Dutch Shell yang mengkhususkan
kegiatannya pada eksploitasi dan produksi, sedangkan Royal Dutch Shell
sendiri merupakan merger dari dua perusahaan yaitu Royal Petroleum
Company (De Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij) dengan
Shell Transport and Trading Company pada tahun 1907. Untuk kegiatan
pemasaran dilakukan oleh perusahaan afiliasi BPM yaitu Asiatic Petroleum
sedangkan untuk transportasi ditangani oleh perusahaan afiliasi BPM yang
lain yaitu Anglo Saxon Petroleum Company. BPM pada saat itu memiliki
wilayah konsesi minyak di Sumatera Utara (Telaga Said & Perlak),
Kalimantan (Sanga sanga, Tarakan, Samboja, Bunyu dan Tanjung) serta
Jawa (Cepu). Selain menangani operasional dan produksi, BPM juga
6

memiliki unit kerja yang lain yaitu instalasi pipa-pipa penyalur serta

operasional pengolahan berupa kilang-kilang penyulingan minyak bumi.
Pada rentang waktu tahun 1930 – 1939 di bawah pengelolaan BPM, di
daerah Tabalong ditemukan pula sumur-sumur minyak yang lain yaitu
lapangan Warukin, lapangan Dahor dan lapangan Kambitin.
Pada periode 1942 – 1945 saat perang dunia kedua pecah yang ditandai
dengan invasi masif balatentara Jepang yang bergerak dari Filipina,
Sarawak dan masuk wilayah Kalimantan Indonesia melalui Tarakan hingga
akhirnya menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda, maka secara
otomatis unit-unit bisnis milik kerajaan Belanda jatuh ke tangan Jepang
termasuk lapangan minyak Tanjung. Pada periode ini kegiatan operasional
oleh BPM terhenti, akan tetapi aktivitas eksploitasi tetap dilanjutkan oleh
Jepang dengan tetap memakai tenaga kerja lokal yang ada. Aktivitas
eksploitasi di lapangan Tanjung oleh Jepang pun berakhir seiring dengan
bertekuk lututnya balatentara Jepang oleh tentara sekutu pada tahun
1945.
Setelah berakhir perang dunia kedua tahun 1945, BPM kembali beroperasi
di lapangan Tanjung hingga tahun 1961. Setelah kembali dioperasikan
oleh BPM, maka dimulailah pekerjaan instalasi pipa penyalur minyak
mentah dengan diameter 20 inchi dari sumur-sumur minyak dari
beberapa lokasi di Tabalong menuju tempat penimbunan di Manunggul
dan kemudian disalurkan melalui pipa bertekanan tinggi menuju tempat
penyulingan di Balikpapan Kalimantan Timur, pekerjaan instalasi pipa
penyalur ini akhirnya selesai dikerjakan pada akhir tahun 1961 dengan
total panjang pipa 246 km yang beberapa km diantaranya terpasang di
dasar laut. Dapat dibayangkan betapa beratnya pekerjaan instalasi pipa
penyaluran minyak ini pada saat itu, selain menembus lebatnya hutan
juga harus melewati topografi yang berat melintasi lembah dan
perbukitan serta laut di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Pada tahun 1960, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang
no. 44 Prp Tahun 1960 tanggal 26 Oktober 1960 tentang Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi. Dalam undang –undang ini dinyatakan bahwa
segala bahan galian minyak dan gas bumi yang ada di wilayah Indonesia
merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara, serta
pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi dilakukan oleh
perusahaan negara. Namun dalam hal ini negara dapat saja memberikan
kuasa pertambangan (kontrak) kepada pihak swasta apabila perusahaan
negara belum mampu melakukan sendiri
pekerjaan pertambangan
minyak dan gas bumi. Dengan dikeluarkannya UU no. 44 tahun 1960 ini
maka undang-undang lama jaman Hindia Belanda berupa Indische Mijn
Wet dalam Staatsblad nomor 214 tahun 1899 tidak berlaku lagi. Yang
mana dalam undang-undang Hindia Belanda ini dinyatakan bahwa
pengusahaan dan pertambangan diatur dalam wilayah konsesi
penambangan serta pola kerjasama dengan pengakuan hak secara
individual lebih menonjol.

7

Pada masa Hindia Belanda wilayah konsesi penambangan minyak di
Sumatera, Jawa, Kalimantan serta Papua dikuasai oleh beberapa
perusahaan Belanda yaitu Baatatsch Petroleum Maatschappij (BPM),
Nederlandsch Indische Ardolie MU (NIAM), Standard Vacuum Petroleum
Maatschappij (SVPM) serta Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum
Maatschappij (NNGPM). Undang-undang no. 44 tahun 1960 ini menjadi
dasar pemerintah Indonesia untuk melikuidasi BPM dan membentuk PN
Permindo, dimana sebagian saham PN Permindo adalah milik PT. Shell
Indonesia. Namun dalam hal ini PT. Shell Indonesia lah yang
melaksanakan kegiatan operasional di Tabalong. PN Permindo adalah
perusahaan negara hasil likuidasi dari perusahaan Belanda NIAM,
sedangkan PT. Shell Indonesia adalah bentukan baru dari BPM. Kerjasama
ini tidak berlangsung lama karena pada tahun 1961 pemerintah Indonesia
mengambil alih saham PT. Shell Indonesia, dan mendirikan sebuah
perusahaan negara dengan nama PN Pertambangan Minyak Nasional
(PERMINA) atas dasar PP no. 198 tahun 1961. Dan pada tanggal 31
Desember 1965 pemerintah Republik Indonesia telah membeli
perusahaan PT. Shell Indonesia dengan harga US$ 110 juta sehingga
seluruh unit-unit PT. Shell di Indonesia menjadi milik organisasi PN
Permina. Setelah dua perusahaan negara PN Permina dan PN Pertamin
yang bergerak di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilebur
menjadi satu perusahaan dengan nama PN Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi Nasional (Pertamina) dengan dasar Peraturan Pemerintah no. 27
tahun 1968 tanggal 20 Agustus 1968, maka seluruh kegiatan
penambangan minyak dan gas di wilayah Indonesia telah dikontrol dan
diorganisasikan oleh perusahaan pemerintah Republik Indonesia.
Di era akhir tahun 60 an hingga akhir tahun 80 an adalah masa kejayaan
Pertamina di Tabalong karena keuntungan dari semua hasil produksi
menjadi milik Pertamina, namun karena telah sedemikian lamanya
eksploitasi dilakukan maka sumur-sumur minyak bumi yang ada di
Tabalong pun mulai menurun produksinya. Dalam hal ini diperlukan suatu
teknologi eksploitasi minyak bumi yang harus diadopsi untuk kembali
meningkatkan produksi sumur-sumur minyak di Tanjung. Nama dari
teknologi ini adalah Enhanced Oil Recovery (EOR), teknik ini bertujuan
agar minyak bumi dalam sebuah sumur dapat berproduksi kembali
dengan cara memberikan sebuah energi tekan berupa bahan kimia, air
atau lainnya yang diinjeksikan ke dalam sebuah sumur minyak sehingga
minyak bumi dapat memancar ke permukaan tanah. Dan pada tahun
1989 Pertamina Tanjung kembali harus menggandeng perusahaan asing
untuk melaksanakan EOR yang ditandai dengan ditanda tanganinya
kontrak EOR selama 15 tahun antara Pertamina Tanjung dengan 2
perusahaan mitra yaitu Southern Cross (Tanjung) Ltd dan Bonham
(Tanjung) Ltd pada tanggal 11 September 1989.
Pada tahun 1992 terjadi pengalihan hak dan kewajiban EOR dari mitra
Southern Cross (Tanjung) Ltd dan Bonham (Tanjung) Ltd kepada Bow
Valley (Tanjung) Ltd, dan pada bulan Agustus 1994 kontrak EOR kembali
beralih kepada Talisman (Tanjung) Ltd dengan Participating Interest 50%
8

Pertamina dan 50% Talisman Energy – Canada. Kontrak EOR dengan
Talisman Energy telah berakhir pada tahun 2003. Setelah usai kontrak
EOR selama 15 tahun dengan perusahaan asing dan transfer teknologi
sudah dianggap memadai maka pada tanggal 11 September 2004 terbit
SK Direktur Utama no. Prin-848/Cooooo/2004-S1 tanggal 3 November
2004 tentang pelaksanaan alih kelola Blok Tanjung paska kontrak EOR JOB
(Joint Operation Body) antara Pertamina - Talisman (Tanjung) Ltd kepada
PT. Pertamina Unit Bisnis EP (Tanjung).
Saat ini lokasi dan jumlah sumur-sumur minyak di Tabalong yang tersebar
di beberapa tempat adalah; Tanjung Raya & Murung Pudak dengan jumlah
lebih dari 250 sumur minyak, Warukin Selatan 11 sumur minyak, Warukin
Tengah 6 sumur minyak, Tapian Timur 8 sumur minyak serta Kambitin
dengan 2 sumur minyak. Pada tahun 2007 sumur-sumur minyak yang
terdapat di Tabalong mampu menghasilkan minyak mentah 4.800 barrel
per hari, jumlah produksi ini menyumbangkan 4,6% dari total rata-rata
produksi nasional sebesar 103.000 barrel per hari. Kebutuhan minyak
nasional menurut data dari www.esdm.go.id hingga tahun 2007
memperlihatkan bahwa jumlah konsumsi dan ekspor nasional selalu lebih
tinggi dari jumlah produksi nasional, sehingga meskipun Indonesia
merupakan produsen minyak akan tetapi Indonesia juga tetap melakukan
impor minyak dari luar negeri. Salah satu contoh data produksi dan
kebutuhan minyak nasional tahun 2007 adalah; produksi nasional
347.493.172 barrel, tingkat konsumsi nasional 321.302.814 barrel,
keperluan ekspor 127.134.792 barrel dan impor minyak dari luar negeri
110.448.506,36 barrel.
Di tahun 2010 ini kebutuhan minyak nasional sudah mencapai 1,4 juta
barrel per hari, oleh sebab itu PT. Pertamina (Persero) mencanangkan
target produksi 1 juta berrel per hari. Sebuah tantangan yang berat bagi
PT. Pertamina untuk dapat memenuhi kebutuhan minyak nasional dan
kebutuhan ekspor serta sekaligus mengurangi beban impor minyak dari
luar negeri. Akan tetapi bukankah negeri ini telah diberkahi dengan
kekayaan alam yang sangat besar, tanaman dengan begitu mudahnya
tumbuh dan menghasilkan sehingga sudah saatnya sedikit demi sedikit
kita mengurangi ketergantungan kita dengan minyak fosil dan segera
mengkonversinya dengan biofuel yang berasal dari berbagai macam
tanaman seperti jarak, sawit, tebu bahkan singkong.

PABRIK GULA PELAIHARI
(1982 – 2002)

9

“Ada gula ada semut” demikian kata pepatah lama yang amat tepat untuk
menggambarkan betapa manisnya gula sehingga mengundang banyak
hasrat untuk mencicipinya. Demikian pula besarnya hasrat orang-orang
Eropa pada beberapa abad yang lalu telah mulai mengembangkan
perkebunan-perkebunan tebu berikut industri pengolahan gula di kolonikoloni mereka di daerah tropis seperti Indonesia, India, Filipina, Kepulauan
Karibia dan Kepulauan Pasifik lainnya. Akan tetapi sebenarnya tanaman
tebu pertama kali ditemukan dan dimanfaatkan oleh orang Polinesia yang
kemudian menyebar ke India. Keberadaan tanaman ini sempat
dirahasiakan oleh raja Persia yang menguasai India sekitar tahun 510
sebelum Masehi karena hasil olahannya berharga sangat tinggi pada
masa itu. Namun akhirnya rahasia tanaman tebu terbongkar oleh prajuritprajurit Arab pada abad 7 Masehi, mereka mulai membudidayakan
tanaman tebu dan mempelajari cara pengolahannya sehingga mereka
mulai mendirikan tempat-tempat pengolahan di wilayah yang mereka
kuasai termasuk Afrika Utara dan Spanyol.
Kabupaten Tanah Laut dengan ibu kota Pelaihari sebelum era maraknya
pertambangan batu bara dan mineral lainnya saat ini, memang sudah
dikenal sebagai daerah penghasil produk-produk pertanian baik itu
komoditas pangan, ternak dan perkebunan. Dan salah satu tonggak
bersejarah dikenalnya Pelaihari sebagai salah satu daerah industri
pertanian di Kalimantan Selatan adalah dengan dibangunnya proyek
pabrik gula Pelaihari. Proyek pengembangan pabrik gula Pelaihari secara
formal pada awalnya dikelola oleh PT. Perkebunan XXIV – XXV (PERSERO)
yang mana pendirian Persero ini dilandasi dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 15 Tahun 1975 tanggal 28 April 1975.
Sedikit tentang PT. Perkebunan XXIV-XXV, perusahaan negara ini memang
telah sejak lama berkecimpung dalam perkebunan tebu dan pabrik gula.
Berawal dari perkebunan milik Belanda yang beroperasi tahun 1830
dengan nama Anamaet & Co yang berada di Kecamatan Pajarakan
Probolinggo Jawa Timur. Pabrik ini terus beroperasi hingga awal
pendudukan Jepang tahun 1942, pada masa pendudukan Jepang pabrik
ini tidak beroperasi karena pabriknya beralih fungsi menjadi markas
tentara Jepang. Baru pada tahun 1948 pabrik gula ini diambil alih kembali
oleh sebuah perusahaan Belanda yang bernama Javanch Kultur Matchapij
NV dan baru beroperasi tahun 1951 karena banyak kerusakan akibat
perang. Namun perusahaan Belanda ini tidak beroperasi lama karena ada
keputusan politik nasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia
oleh pemerintah Indonesia termasuk pabrik ini pada tahun 1957
berdasarkan
Surat
Penguasa
Militer/
Menteri
Pertahanan
No.1063/PMT/1957 tanggal 5 Desember 1957. Dan kemudian setelah
nasionalisasi perusahaan perkebunan ini berganti nama menjadi
Perusahaan Perkebunan Negara Baru atau disingkat PPN Baru yang
menjadi cikal bakal PT. Perkebunan XXIX-XXV.
Pembangunan pabrik gula Pelaihari pada saat itu dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan gula nasional yang kian meningkat serta menuju ke
10

arah swasembada gula. Sedangkan ide pembangunan pabrik gula
Pelaihari sendiri adalah merupakan aspirasi masyarakat Tanah Laut
kepada pemerintah pusat melalui memorandum DPRD II Tanah Laut
Kalimantan Selatan Nomor 02/MEMO/DPRD-TL tanggal 2 November 1980
yang ditanda tangani oleh Ketua DPRD KH Abdul Wahab (alm). Memo
tersebut berisi desakan kepada pemerintah pusat agar segera
membangun pabrik gula di Pelaihari untuk penyerapan tenaga kerja dan
mempercepat swasembada gula. Dengan ketersediaan lahan seluas
22.000 ha pemerintah pusat menanggapi positip aspirasi masyarakat ini
dan mulai merealisasikan pembangunan pabrik gula Pelaihari pada tahun
1982 dengan biaya keseluruhan mencapai US$ 130,2 juta yang mana 60%
nya merupakan dana pinjaman dari Bank Dunia, serta menunjuk PT.
Perkebunan XXIV-XXV sebagai pengelola proyek pengembangan ini
dengan pola perkebunan inti rakyat (PIR). Namun proses pembangunan
pabrik ini bukan tanpa kendala di lapangan, kendala yang cukup serius
adalah klaim atas lahan 22.000 ha areal perkebunan dimana 11.000 ha
nya adalah tanah milik warga. Sehingga gubernur Kalimantan Selatan HM
Said saat itu harus turun tangan dengan mengundang Tim Optibsus
penertiban pertanahan di Tanah Laut untuk melakukan investigasi dengan
hasil 648 sertifikat tanah dinyatakan cacat hukum. Sehingga pada
akhirnya giling perdana pabrik gula Pelaihari dari hasil panen 2.350 ha
dapat terlaksana pada tahun 1985.
Dengan berdirinya pabrik gula Pelaihari geliat roda ekonomi Tanah Laut
menjadi sangat terasa, tercatat pada tahun 1986 jumlah uang beredar di
Tanah Laut berupa Tabanas, giro dan pengiriman uang naik dengan pesat
80% per tahun dari Rp. 500 juta menjadi Rp. 1,4 milyar dalam kurun
waktu 1982-1985. Dan untuk deposito berjangka naik 2.000 % dari Rp.8,4
juta pada tahun 1982 menjadi Rp. 194 juta pada tahun 1985. Hal ini
disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk sehubungan dengan
segala aktivitas yang ada di pabrik gula, di dalam wilayah kerja pabrik
telah bermukim 700 kk petani plasma eks transmigran ditambah dengan
1.437 orang karyawan pabrik tidak termasuk buruh tebang dan tenaga
borongan lainnya. Jumlah ini masih akan bertambah dengan rencana
kedatangan 400 kk lagi petani plasma serta 350 orang khusus penebang
tebu guna memenuhi keperluan tenaga masa giling 1986 dari hasil panen
seluas 4.350 ha. Perlu diketahui pada saat itu kota Pelaihari masih
tergolong kota kecil dengan jumlah penduduk
sekitar 38.000 jiwa.
Pertambahan penduduk akibat aktivitas pabrik gula ini juga
mempengaruhi sektor-sektor perdagangan non formal lain seperti
bertambahnya kios dan toko baru, bengkel-bengkel motor, serta jasa
angkutan umum lainnya.
Namun sayangnya geliat roda ekonomi Tanah Laut yang amat positip pada
era tersebut tidak diikuti dengan semakin membaiknya pula kondisi
manajemen pabrik gula Pelaihari. Adalah wajar apabila pada tahun-tahun
pertama sebuah industri belum bisa meraup untung akan tetapi paling
tidak hasil produksinya harus bisa menutupi ongkos-ongkos produksi
seperti gaji karyawan dan pembayaran cicilan hutang. Tetapi apabila hasil
11

produksinya tidak bisa menutupi ongkos-ongkos tersebut patutlah
dicemaskan kelangsungan bisnis yang telah dibangun. Seperti halnya
pabrik gula Pelaihari tercatat sejak giling perdana tahun 1985 hingga
tahun 1996, pabrik ini cenderung merugi.
Pada tahun 1996 keluar pula Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 1996
tentang merger PT. Perkebunan XX dan PT. Perkebunan XXIV – XXV
menjadi PT. Perkebunan Nusantara XI, dimana masih ada beban hutang
dari PT. Perkebunan XX yang harus diselesaikan dan setelah merger
hutang tersebut menjadi beban hutang PT. Perkebunan Nusantara XI. Ada
beberapa alasan yang dikemukakan oleh pihak manajemen tentang kisah
meruginya pabrik ini. Mulai dari masalah teknis budidaya yaitu
permasalahan kurang suburnya lahan perkebunan, curah hujan yang
sangat tinggi 1.600 – 3.500 mm per tahun, kebakaran pada saat kemarau,
serangan hama penyakit, serta kurangnya tenaga kerja. Pada tahun 1997
tercatat beberapa kerusakan kebun tebu yang diakibatkan beberapa hal,
antara lain kerusakan akibat kebakaran 300 – 4.000 ha per tahun,
kerusakan akibat serangan hama 400 – 2.000 ha per tahun dan kerusakan
akibat hal lain yang mengakibatkan tebu tak layak giling seluas 400 –
2.500 ha per tahun. Tentang masalah tenaga kerja, sebenarnya ada
sekitar 5.000 petani peserta PIR gula namun dari jumlah tersebut hanya
40% saja yang mampu memanen sehingga masih diperlukan sekitar
2.000 – 3.000 orang untuk tenaga panen. Hal tersebut masih diperparah
dengan ulah tak terpuji oleh segelintir oknum PTP dengan
menyelewengkan pupuk dan fasilitas perawatan lainnya yang seharusnya
sampai ke lahan tebu melalui para petani peserta PIR. Ini semua
mengakibatkan produksi yang tak maksimal dari kapasitas giling
terpasang pabrik tebu yang seharusnya sehari bisa menggiling 4.600 ton
namun hanya mampu menggiling maksimal 80 % saja dari kapasitas
tersebut.
Bukan tidak ada usaha yang dilakukan oleh pihak manajemen PTP untuk
mengatasi semua hal tersebut, terobosan pernah dilakukan dengan
memanfaatkan Inpres Nomor 9 tahun 1975 tanggal 22 April 1975 tentang
Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Inpres ini dikeluarkan dengan maksud
meningkatkan produksi gula dan meningkatkan pendapatkan petani tebu.
Konkritnya, inpres ini adalah dukungan pemerintah kepada masyarakat
dengan menyediakan fasilitas kredit perbankan untuk kegiatan usaha
tebu. Peliknya permasalahan internal manajemen pabrik ini menghasilkan
suatu rumusan bahwa TRI murni tidak dapat dilaksanakan sehingga
diperlukan skema TRI khusus bagi pabrik ini. Skema TRI pola khusus ini
didasarkan oleh SK Dirjen Perkebunan Nomor 44 tahun 1993 tentang TRI
PIR gula Pelaihari. Hal ini setidaknya memberikan angin segar bagi PIR
tebu, sehingga pihak manajemen saat itu memperkirakan bahwa kelak
pada tahun 2000 pabrik akan mulai meraih keuntungan.
Terobosan tersebut ternyata tidak cukup manjur untuk mengatasi
permasalahan pabrik gula Pelaihari. Hingga pada tahun 2001 pabrik gula
sudah tidak mampu lagi mendanai penanaman tebu di lahan plasma,
12

kemungkinan yang terjadi adalah bahwa kredit TRI pola khusus yang
disalurkan melalui Bank Rakyat Indonesia sudah tidak dapat dikucurkan
lagi. Hal ini mengakibatkan dari total 7.450 ha lahan plasma hanya dapat
tertanam 1.050 ha saja. Hal lain yang memberatkan dalam sistem plasma,
selama 15 tahun beroperasi pabrik gula Pelaihari memiliki kewajiban
untuk membayar bagi hasil minimum kepada semua petani peserta
plasma termasuk kepada petani yang tidak mau menanam tebu. Baru
pada musim tanam 2000/2001 diterapkan pola bagi hasil 65 : 35 kepada
petani yang mau menanam tebu, dan jika terjadi kebakaran kerugian
ditanggung bersama antara petani dan pabrik gula. Dan ketentuan baru
ini dirasakan beresiko bagi para petani plasma sehingga banyak diantara
mereka yang menelantarkan lahannya, menjual kepada penambang emas
tradisional atau menanaminya dengan komoditas lain. Mengenai petani
plasma yang menanami lahannya dengan komoditas lain tidak dapat
sepenuhnya dipersalahkan karena ada Undang-Undang no 12 tahun 1992
tentang sistem budidaya tanaman yang telah membebaskan petani untuk
mengusahakan lahannya dengan komoditas pertanian berdasarkan
pertimbangan ekonomisnya. Dikeluarkannya undang-undang tersebut
menambah terpuruknya bukan hanya pabrik gula Pelaihari akan tetapi
industri gula secara nasional.
Setelah segala daya dan upaya dikerahkan untuk kelangsungan pabrik
gula Pelaihari, akhirnya pabrik ini harus menyerah kepada keadaan
sehingga pabrik ini resmi dilikuidasi oleh pemerintah pada tanggal 25
Oktober 2002. PT. Perkebunan Nusantara XI mundur teratur dari bumi
Tanah Laut, dan kabarnya PTPN XI pada tahun 2006 lalu
telah
menggandeng pihak Perum Perhutani dan Asosiasi Petani Tebu Rakyat
Indonesia (APTRI) untuk membangun pabrik gula baru di Banyuwangi Jawa
Timur dengan memanfaatkan mesin-mesin eks pabrik gula Pelaihari. Kini,
paska mundurnya PT. Perkebunan Nusantara XI di Tanah Laut, pada areal
eks tebu dan pabriknya telah didirikan kilang minyak sawit berikut
hamparan kebun sawitnya yang diresmikan oleh Gubernur Kalimantan
Selatan Rudy Arifin pada tanggal 11 November 2009. Perkebunan sawit
beserta kilang minyak sawit ini dikelola oleh saudara kandung PTPN XI
yaitu PTPN XIII.

13

PABRIK KERTAS MARTAPURA
(1960 – 1978)
Meskipun teknologi digital saat ini sudah menjadi hal yang lumrah dan
sudah menggantikan sebagian fungsi kertas sebagai media komunikasi
tertulis, namun tetap saja tidak dapat menggantikan sepenuhnya fungsi
kertas di dalam keseharian aktivitas manusia. Kelebihan media kertas
sebagai dokumen dibandingkan dengan media digital adalah akses yang
lebih mudah dan fleksibel tanpa memerlukan teknologi tinggi, mengakses
dokumen dalam format buku cetak relatif tidak cepat melelahkan bila
dibandingkan bila harus menghadapi layar komputer dalam waktu yang
lama. Selain berfungsi sebagai media komunikasi tertulis, kertas juga
memiliki fungsi-fungsi lain yang tak kalah penting di dunia modern ini
misalnya sebagai bahan pembungkus & pengemas barang, kertas tissue
hingga kertas-kertas khusus yang dipergunakan sebagai bahan pembuat
dokumen-dokumen berharga dan mata uang.
Bahan dasar pembuatan kertas adalah dari zat selulosa yang banyak
terdapat pada organ tanaman umumnya batang (kayu), namun kertas
juga dapat dibuat dari bahan tanaman lain seperti bambu, merang padi,
enceng gondok, batang pisang, ampas tebu dan lain-lain. Jauh sebelum
kertas ditemukan, manusia telah melakukan dokumentasi melalui tulisan
atau lukisan dengan berbagai macam media seperti kulit hewan ataupun
14

papyrus. Namun tentunya media tulis tersebut disamping mahal juga
tentunya sulit didapatkan dalam jumlah besar.
Kertas pertama kali diciptakan oleh seorang yang bernama Tsai Lun dari
China yang hidup di tahun 105 M pada masa pemerintahan Kaisar Ho Ti.
Tsai Lun adalah seorang pegawai pengadilan kerajaan yang
mempersembahkan penemuannya kepada kaisar Ho Ti, yang mana
kemudian atas jasa tersebut Tsai Lun mendapatkan kenaikan pangkat dan
gelar kebangsawanan. Kertas ciptaan Tsai Lun ini dibuat dengan bahan
dasar bambu yang ditumbuk hingga lumat, kemudian bubur bambu
tersebut disaring dan dicampur dengan kapur, terakhir campuran bubur &
kapur dicetak
dalam bentuk lembaran-lembaran dan dikeringkan.
Penemuan bangsa Cina ini menjadi lahan bisnis yang besar hingga Cina
mampu mengekspor produk kertasnya ke negara-negara Asia pada masa
itu. Cara pembuatan kertas ini sendiri dirahasiakan selama berabad-abad
lamanya oleh bangsa Cina, hingga pada akhirnya pada tahun 751 M
beberapa tenaga ahli pembuat kertas Cina tertawan oleh bangsa Arab
sehingga kemudian dengan cepat kertas diproduksi di Bagdad dan
Samarkhand. Dunia barat baru mengenal teknologi ini di abad 12, dan
kemudian teknologi ini berkembang pesat di barat dengan diciptakannya
mesin pencetak kertas oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama
Johannes Gensfleisch zur Laden zum Gutenberg atau yang lebih dikenal
sebagai Gutenberg saja pada tahun 1450.
Puluhan tahun yang lalu di Kalimantan Selatan pernah berdiri sebuah
proyek pemerintah yang cukup ambisius, kontroversial dan bernuansa
politis berupa Pabrik Kertas Martapura. Ambisius, dengan keterbatasan
keterampilan dan keahlian tenaga lokal bidang pulp dan kertas pada saat
itu. Kontroversial, lokasi yang tidak tepat jauh dari sumber bahan baku
dan seharusnya mendekati alur sungai besar karena umumnya jalur
transportasi barang dan jasa di daerah Kalimantan didominasi melalui
sungai.
Dasar pemikiran dan pertimbangan pendirian pabrik kertas Martapura
adalah tak lepas dari pertimbangan secara politis bahwa daerah
Kalimantan Selatan adalah daerah yang pernah bergolak oleh
pemberontakan militer oleh Ibnu Hajar yang cukup legendaris pada kurun
waktu tahun 1950 an. Sehingga dalam hal ini pemerintah pusat merasa
perlu memberikan “sentuhan” pembangunan dengan didirikannya pabrik
kertas ini. Setting awal pabrik kertas ini didirikan mirip dengan pabrik
kertas terdahulu yang ada di Pematang Siantar Sumatera Utara dengan
menggunakan kayu Pinus merkusii yang banyak terdapat di sekitar danau
Toba sebagai bahan bakunya. Secara formal pendirian pabrik ini sendiri
didasari oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
1974 tanggal 1 April 1974 yang menetapkan berdirinya Perusahaan
Umum Kertas Martapura, akan tetapi sebenarnya pabrik ini sudah mulai
dibangun sejak awal tahun 1960 dan terus melaksanakan pembangunan
pabrik serta instalasi mesin yang sempat terhenti selama 4 tahun pada
masa pemberontakan G 30 S PKI.
Dan pabrik ini akhirnya selesai
dibangun dan mulai beroperasi pada tahun 1970. Modal awal pendirian
15

pabrik ini adalah berasal dari dana pampasan perang Jepang yang
tertuang dalam kontrak antara pemerintah Indonesia dengan Nomura
Trading Co Ltd tanggal 30 Januari 1959, dimana di dalamnya tertuang
tentang suplai tenaga technical advisor, mesin-mesin beserta suku
cadangnya.
Dalam perkembangannya operasional pabrik kertas ini tidak cukup
menggembirakan, persoalan utamanya adalah lokasi pabrik yang tidak
tepat sehingga suplai baik bahan baku berupa kayu ataupun bahan-bahan
prosesing lain sering tersendat. Hal ini bisa dipahami karena pada masa
itu kondisi infrastruktur jalan dan pelabuhan belum cukup memadai. Pada
awalnya sumber bahan baku kertas berupa kayu, digunakan kayu yang
serat kayunya mirip dengan Pinus yaitu jenis Agathis yang disuplai dari
Buntok daerah hulu sungai Barito yang pada saat itu masih masuk
wilayah Kalimantan Selatan. Dan di daerah Buntok pula saat itu bibit-bibit
Pinus merkusii mulai ditanami guna keperluan
suplai bahan baku
selanjutnya. Pernah pula dilakukan suplai kayu Agathis untuk pabrik
kertas ini oleh PT. Sampit Dayak sebuah perusahaan patungan swasta
dan BPU Perhutani yang telah mengambil alih NV Bruinzeel Dayak
Houtbedrijven (BDH) sebuah perusahaan konsesi kayu milik Belanda yang
telah beroperasi sejak tahun 1948 di Sampit Kalimantan Tengah. Jika
menilik dari kondisi fisik populasi pohon-pohon pinus yang ada sekarang
di kawasan Mentaos Banjarbaru, maka hampir dapat dipastikan bahwa
populasi pohon pinus tersebut adalah peninggalan proyek pabrik kertas
Martapura.
Sengketa administratif wilayah Buntok yang kemudian masuk menjadi
wilayah Kalimantan Tengah telah menimbulkan persoalan baru terhadap
suplai bahan baku, sehingga perlu inovasi dalam mengatasi masalah
bahan baku ini. Dan ternyata para manajer pabrik kertas ini cukup jeli dan
cerdik sehingga sebagai gantinya dipakailah batang-batang kayu karet tua
yang akan diremajakan dari ribuan hektar areal Perusahaan Perkebunan
Negara Danau Salak sebagai bahan baku pengganti, dengan konsekuensi
kapasitas produksinya menjadi jauh menurun hanya 5 ton per hari dan
mutu kertasnya juga lebih rendah. Peristiwa itu terjadi pada sekitar tahun
1972, dan pada saat itu tercatat ada sekitar 150 orang karyawan yang
bekerja pada pabrik kertas ini. Meskipun dinilai merugi dengan biaya
operasional yang tinggi dengan tingkat produksi yang rendah, pabrik
kertas ini masih dapat beroperasi karena mendapatkan sokongan dana
pemerintah melalui anggaran Pembangunan Lima Tahun (Pelita).
Keadaan menjadi semakin buruk terjadi sekitar tahun 1976, pada saat itu
pabrik kertas ini total berhenti beroperasi dengan tetap menggaji 227
orang karyawannya sambil menunggu penyelesaian selanjutnya. PT.
Goenawan dari Surabaya sebagai investor dalam negeri pada tahun 1978
pernah disebut-sebut akan membeli perusahaan ini, sedangkan PT.
Goenawan sendiri adalah pemegang pemasaran dari produk pabrik kertas
ini berupa kertas HVS, duplikator (kertas buram) serta kertas
pembungkus. Keresahanpun terjadi diantara para karyawan pabrik kertas
16

ini jika kepemilikan perusahaan beralih, karena mayoritas karyawan
mengharapkan agar perumahan yang berjumlah 120 unit yang mereka
tempati saat itu dapat mereka beli dengan uang pesangon mereka.
Hingga pada puncaknya setelah menimbang secara teknis dan ekonomis
bahwa perusahaan pabrik kertas ini tidak dapat dipertahankan lagi maka
pemerintah mengambil keputusan untuk membubarkan perusahaan ini
melalui Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1978 tanggal 23 September
1978 tentang Pembubaran Perusahaan Umum Kertas Martapura, dan
dengan demikian semua aset dan kekayaan perusahaan tersebut diambil
kembali oleh negara. Dan kini pada lokasi eks Pabrik Kertas Martapura
tersebut telah berdiri megah sebuah Rumah Sakit Umum Daerah Ratu
Zalecha Martapura.
Secara praktis pabrik kertas Martapura beroperasi dan berproduksi hanya
dalam waktu yang tidak lama yaitu selama 6 tahun dan tidak pernah
mencapai puncak kejayaannya sebagaimana layaknya sebuah pabrik.
Untuk ukuran sebuah pabrik besar, waktu 6 tahun pasti belumlah ada
profit yang didapatkan bahkan titik impas pun mungkin belumlah tercapai.
Sementara hal yang berbeda terjadi pada beberapa industri yang bermula
dari industri rumah tangga (jamu atau rokok) dan kemudian membesar
menjadi sebuah industri skala nasional yang telah diwariskan oleh
beberapa generasi terdahulu dan terus bertahan hingga hari ini. Sangat
disayangkan memang jika pada akhirnya pabrik kertas Martapura tidak
berumur panjang, karena hingga saat ini bisnis industri bubur kertas
masih tetap menggiurkan terutama bagi dua raksasa pulp Indonesia yaitu
Sinar Mas Group dan Raja Garuda Mas Group yang keduanya giat
berekspansi untuk memperluas areal tanaman mereka.

17

PROYEK BESI BAJA KALIMANTAN
(1956 – 1965)
Hubungan antar negara Indonesia dan Uni Sovyet memang sering
mengalami pasang surut, adalah hal yang biasa dalam hubungan antar
negara yang dipengaruhi oleh suhu politik dan keamanan internasional.
Jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia kontak diplomatik telah
dilakukan oleh Kesultanan Aceh pada masa perang Aceh (1874–1904)
terhadap negara Uni Sovyet, kontak pertama dilakukan tahun 1879 oleh
para wakil pejuang Aceh kepada pemerintah Uni Sovyet yang meminta
agar mereka dapat diterima menjadi warga negara Uni Sovyet. Peristiwa
tersebut terjadi ketika kapal Uni Sovyet Vsadnik sedang bersandar di
pelabuhan Penang Malaysia, namun Tsar tidak dapat mengabulkan
permintaan tersebut karena menghindari kesalahpahaman diplomatik
antara kerajaan Belanda dengan Uni Sovyet. Surat permohonan resmi
Sultan Aceh kembali disampaikan pada Nikolai II melalui Rudanovskiy
sebagai konsulat Uni Sovyet di Singapura pada tanggal 15 Februari 1904,
yang isi suratnya menyatakan permohonan agar wilayah kesultanan Aceh
mendapatkan perlindungan dari Uni Sovyet. Namun kembali permohonan
ini ditolak dengan halus dan ramah oleh Uni Sovyet dengan alasan bahwa
mengabulkan permohonan ini nantinya akan menyulitkan hubungan Uni
Sovyet dan Belanda.
Uni Sovyet yang telah bersimpati dengan Indonesia mengajukan sebuah
resolusi kepada dewan keamanan PBB pada tanggal 21 Januari 1946
melalui Manuilsky seorang wakil Uni Sovyet di PBB, resolusi tersebut
menuntut kepada dewan keamanan PBB untuk melakukan investigasi
terhadap serbuan tentara Inggris di Surabaya tanggal 10 November 1945
serta mengupayakan perdamaian di Indonesia. Namun rancangan resolusi
tersebut ditolak oleh PBB. Pada kurun waktu selanjutnya hubungan
Indonesia dengan Uni Sovyet sempat menurun setelah terjadi
pemberontakan komunis yang dipimpin tokoh komunis Muso di Madiun
pada bulan September 1948. Hubungan diplomatik kembali mulai
membaik setelah Perdana Menteri M Hatta (merangkap Menlu) waktu itu
menerima berita kawat dari Menteri Luar Negeri Sovyet Vashinsky tanggal
25 Januari 1950 yang berisi pengakuan atas pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS), yang mana sebelumnya Uni Sovyet menganggap
bahwa RIS hanyalah negara boneka bentukan kerajaan Belanda. Republik
Indonesia Serikat (RIS) sendiri adalah hasil dari perundingan antara
Indonesia dengan kerajaan Belanda atau yang dikenal dengan Konferensi
Meja Bundar (KMB) dari tanggal 23 Agustus 1949 hingga 2 November
1949,
dimana dalam perundingan disebutkan tentang pengakuan
kerajaan Belanda atas kedaulatan Indonesia di luar Irian Barat.
Kepercayaan dan simpati Uni Sovyet semakin besar setelah kantor
kedutaaan besar masing-masing negara dibuka di Moskow dan Jakarta
tanggal 13 April 1954 serta Indonesia sukses menyelenggarakan
18

Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung April 1955, dan terlebih lagi partai
komunis diikutsertakan dalam pemilu pertama Indonesia pada akhir tahun
1955. Hubungan mesra ini berlanjut hingga ditanda tangani perjanjian
kerjasama pembangunan antara menteri luar negeri Indonesia Roeslan
Abdulgani dan menteri luar negeri Uni Sovyet Andrey Gromyko tanggal 11
September 1956, dimana diantaranya adalah proyek pembangunan jalan
di Kalimantan Tengah dan industri besi baja di Kalimantan Selatan.
Bumi Kalimantan Selatan memang amat kaya dengan berbagai macam
kandungan mineral selain minyak bumi, batu bara, emas dan lain-lain
salah satu diantaranya adalah biji besi, biji besi di Kalimantan Selatan
pertama kali ditemukan pada masa kolonial Belanda tahun 1847 di daerah
Pelaihari Tanah Laut. Dan pada tahun 1942 pada saat pendudukan Jepang,
di Pelaihari pernah dilakukan pembuatan tanur peleburan biji besi, namun
usaha percobaan pemerintah Jepang ini tidak memberikan hasil yang
maksimal. Logam besi baja merupakan material yang amat vital dalam
kehidupan modern manusia sehingga dikategorikan kedalam sebuah
industri strategis, dimana dari material besi baja ini dimanfaatkan
utamanya untuk berbagai keperluan industri konstruksi, peralatan rumah
tangga hingga industri lain seperti otomotif & perkapalan.
Kalimantan Selatan memiliki goresan sejarah tersendiri tentang industri
strategis besi dan baja ini, dimana cikal bakal indusri nasional besi baja
pernah di setting untuk dibangun di daerah ini atas sokongan dana serta
bantuan teknis dari negara Uni Sovyet. Memang amat tepat jika industri
besi baja kala itu direncanakan akan dibangun di Kalimantan Selatan,
mengingat daerah ini memiliki sumber daya mineral berupa bahan baku
dan energi yang melimpah untuk mendukung industri tersebut. Meskipun
begitu kenyataan sejarah berbicara lain sehingga akhirnya industri
raksasa ini tidak terealisasi dibangun di bumi Kalimantan Selatan.
Sebuah tim telah dibentuk oleh pemerintah Indonesia setelah ditanda
tanganinya kontrak antara pemerintah Indonesia dan Uni Sovyet 11
September 1956, dan yang ditunjuk sebagai kepala tim proyek
pembangunan pabrik besi baja ini adalah Drs. Soetjipto dengan dibantu
oleh Ir. A. Sayoeti, Ir. Tan Boem Liam dan RJK Wiriasoeganda. Pada tahun
itu pula dilakukan survey penyelidikan sumber biji besi di beberapa
wilayah seperti Jampang Kulon (Jawa Barat), Lampung, Sungai Dua dan
Pulau Sebuku (Kalimantan Selatan) serta persediaan batubara di
daerah Bayah (Jawa Barat), Bukit Asam (Sumatera Selatan), Pulau Laut
(Kalimantan Selatan) dan Gunung Batu Besar (Kalimantan Timur).
Survey ini dilakukan oleh Biro Perancang Negara dan Jawatan Geologi
yang dibantu oleh konsultan Jerman Barat Wedexro (Westdeutsches
Ingenieur Büro) di bawah pimpinan Dr. Rohland KG.
Di dalam laporannya Wedexro merekomendasikan bahwa pembangunan
industri besi baja dapat dilakukan dalam 2 fase; fase pertama dibangun 2
buah pabrik besi baja dengan kapsitas masing-masing 50.000 ton per
19

tahun dengan memanfaatkan besi-besi tua (scrap) yang cukup banyak
tersedia saat itu ditambah impor sementara besi kasar (pig iron). Fase
kedua adalah membangun industri baja yang lebih besar dengan
kapasitas 250.000 ton per tahun dengan menggunakan bahan baku yang
berasal dari lokasi hasil survey yang telah dilakukan. Dalam
pembangunan fase kedua ini Wedexro merekomendasikan untuk
membangun industrinya di Lampung, namun rekomendasi ini tidak
disetujui oleh pemerintah Indonesia yang lebih cenderung memilih
Kalimantan Selatan sebagai lokasi industri pabrik baja dengan
pertimbangan ketersediaan bahan baku biji besi dan energi berupa
batubara yang melimpah.
Pada tahun 1959 tim proyek Indonesia bersama beberapa tenaga ahli dari
Uni Sovyet kembali melakukan survey untuk mencari lokasi yang paling
layak untuk didirikan industri pabrik baja fase pertama, dimana salah satu
syarat yang harus dipenuhi agar dapat didirikan sebuah industri pabrik
baja adalah adanya pelabuhan samudera yang cukup dalam agar mampu
disandari oleh kapal-kapal bertonase besar. Dan pada akhirnya setelah
melalui berbagai macam pertimbangan teknis dipilihlah Cilegon Banten
sebagai lokasi industri baja yang dikenal sebagai PT. Krakatau Steel saat
ini. Kontrak pembangunan pabrik baja Cilegon ini ditandatangani pada
tanggal 7 Juni 1960 antara pemerintah Indonesia dengan Tjazpromex Pert
of Moskwa dan proyek pembangunan ini diresmikan pada tanggal 20 Mei
1962 dengan target penyelesaian proyek sebelum tahun 1968. Namun
kemudian proyek ini berhenti total pada tahun 1965 saat terjadinya
pemberontakan G 30 S PKI. Dan pada akhirnya proyek Krakatau Steel
dilanjutkan pembangunanya di era pemerintahan Presiden Soeharto tahun
1970 dan diresmikan beroperasi pada tahun 27 Juli 1977.
Demikian pula dengan rencana fase kedua pembangunan pabrik baja di
Kalimantan Selatan yang akhirnya tidak terealisasi dengan adanya
peristiwa G 30 S PKI. Yang terjadi di Kalimantan Selatan sehubungan
dengan rencana fase kedua proyek pabrik besi baja tersebut adalah
kegiatan survey sumber-sumber biji besi di Kalimantan Selatan dan
sekitarnya oleh para ekspatriat Uni Sovyet, dan kota Banjarbaru dipilih
sebagai home base mereka untuk tempat tinggal, kantor, dan
pergudangan. Dalam melakukan survey para ekspatriat ini menggunakan
2 pesawat helikopter untuk menjelajahi wilayah-wilayah yang diduga
memiliki potensi sumber biji besi beserta cadangan energi untuk
mendukung industrinya. Diperkirakan helikopter yang mereka pergunakan
tersebut adalah jenis MI 4 versi sipil. Para surveyor ekspatriat Uni Sovyet
di Banjarbaru tinggal di sebuah mess milik TNI AU yang dikenal sebagai
Mess L (karena bentuknya seperti huruf L) berlokasi di belakang museum
Banjarbaru yang kini kondisinya sangat memprihatinkan, sedangkan
untuk perkantoran dan gudang lokasinya adalah di Jl. Rahayu tepatnya
adalah di lokasi sekolah teknik menengah swasta STM YPK sekarang.
Semua fasilitas yang ada tersebut
kemudian ditinggalkan paska
pemberontakan PKI tahun 1965, termasuk peninggalan kedua pesawat
helikopter MI 4 yang kemudian sempat menjadi monumen di taman kota
20

yang sekarang menjadi kolam renang Idaman Banjarbaru, dan satu lagi
berada di lapangan STM YPK sekarang. Kedua monumen tersebut sempat
penulis saksikan pada tahun 1988, dan di awal-awal tahun 90 an kedua
monumen ini sudah tidak berada lagi pada tempatnya.
Sementara itu kompleks perkantoran dan gudang eks proyek besi baja
yang terbengkalai dimanfaatkan sebagai sekolah teknik menengah. Ada
cerita tersendiri mengenai berubahnya kompleks perkantoran dan gudang
eks proyek besi baja tersebut menjadi sekolah teknik menengah. Berawal
dari sebuah keprihatinan seorang Indonesianis Belanda bernama Van der
Pijl yang sudah menjadi warga Banjarbaru kala itu, dimana beliau sebagai
pejabat dinas pekerjaan umum Kalimantan Selatan dimasa pemerintahan
Gubernur dr. Moerdjani merasa sangat kesulitan untuk mendapatkan
tenaga-tenaga berkualifikasi teknik. Hingga pada akhirnya muncullah ide
di benak Van der Pijl untuk membuat sekolah teknik menengah dengan
memanfaatkan bangunan perkantoran serta gudang eks proyek besi baja
tersebut, dan ide tersebut terealisasi pada tahun 1968 dengan berdirinya
sebuah sekolah teknik menengah swasta yang diasuh sendiri oleh Van der
Pijl. Sekolah teknik menengah tersebut masih bertahan hingga kini dan
dikenal sebagai STM YPK Banjarbaru.
Kini setelah lebih 50 tahun berselang ‘blue print’ pembangunan pabrik
baja di Kalimantan S