MASALAH MASALAH PERTANIAN DI SULAWESI

TUGAS
PEMBANGUNAN MASYARAKAT AGRIBISNIS
“MASALAH-MASALAH PERTANIAN DI SULAWESI TENGGARA DAN
PEMECAHAN MASALAHNYA”

ERNA
D1A113008
AGRIBISNIS A 013

JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor pertanian merupakan sektor terbesar penyerap tenaga kerja dan
menyumbang pendapatan daerah dan nasional. Pada pertengahan tahun 1980-an
Indonesia berhasil mencapai swasembada beras, 41% dari semua lahan pertanian
ditanami padi, sementara saat ini hanya 38%, suatu perubahan yang tidak terlalu

besar dalam periode 17 tahun. Beberapa tahun terakhir terjadi penurunan produksi
pertanian terutama produksi bahan pangan seperti beras, jagung, kedelai dan lainlain.
Berbagai masalah dihadapi oleh masyarakat petani terkait kebijakan
pemerintah daerah dan pusat yang kurang memerhatikan pembangunan sektor
pertanian dibandingkan dengan pembangunan sektor jasa dan pertambangan serta
saranan dan prasarana pertanian yang mulai tidak memadai dan mulai rusak.
Sebut saja masalah bendungan, irigasi, saluran pertanian primer sampai tersier,
konversi lahan pertanian yang dialih fungsikan untuk pembangunan perumahan
dan usaha pertambangan yang merusak lingkungan serta masalah-masalah
lainnya.
Namun dengan melihat keberhasilan pembangunan pertanian di beberapa
daerah dan Negara yang maju tentunya kita dapat menemukan solusi dari berbagai
masalah yang menghadang pembangunan pertanian di Indonesia. Untuk itu,
semoga dengan penulisan makalah ini dapat membuat mahasiswa dan dosen
Fakultas Pertanian lebih kritis terhadap permasalahan pertanian di Indonesia
khususnya di Sulawesi Tenggara dan bagaimana solusi atau program yang harus
dijalankan oleh pemerintah daerah dan pusat serta pihak-pihak terkait untuk
mengatasi masalah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam
makalah ini adalah sebagai berikut :
Apa saja masalah dalam pembangunan agribisnis di Indonesia dan
program yang harus dilaksanakan untuk mengatasi masalah tersebut ?
Apa masalah yang dihadapi oleh masyarakat petani di beberapa daerah
di Sulawesi Tenggara dan bagaimana cara untuk mengatasi masalah
tersebut ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penulisan makalah
ini yakni :
 Untuk mengetahui masalah dalam pembangunan agribisnis di
Indonesia dan program yang harus dilaksanakan untuk mengatasi


masalah tersebut.
Untuk mengetahui masalah yang dihadapi oleh masyarakat petani di
beberapa daerah di Sulawesi Tenggara dan mencari pemecahan
masalah tersebut.

BAB II IDENTIFIKASI MASALAH

2.1 Berbagai Masalah dalam Pembangunan Agribisnis Di Indonesia
Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menyatakan bahwa Negara
Indonesia masih dihadapkan pada berbagai masalah pertanian mulai dari produksi
sampai pada harga pangan pertanian itu sendiri. Padahal, jika dilihat dari sisi luas
wilayah pertaniannya, Indonesia merupakan salah satu negara dengan luas lahan
pertanian terbesar di Asia Tenggara.
Pertama, masalah lahan pertanian yang berfragmentasi. Lahan pertanian
para petani Indonesia sempit, karena lahan pertanian yang hanya sebesar 2.000
meter persegi dikelola oleh sebuah keluarga. Kemudian setelah anak petani
tersebut berkeluarga, lahan sawah tersebut terbagi-bagi. Kedua, adalah masalah
saluran irigasi dan bendungan yang di mana 40 persen di antaranya tidak normal
sehingga menghambat produksi pangan pertanian.
Sedangkan menurut Ketua Umum Himpunan Alumni Institut Pertanian
Bogor (HA-IPB) Bambang Hendroyono bahwa ada dua masalah pertanian di
Indonesia yaitu pertama, konversi lahan (pertanian) yang setiap tahunnya
mencapai 100.000 hektar. Kedua, kecenderungan perilaku generasi muda di
pedesaan yang tidak lagi tertarik ikut serta dalam kegiatan pertanian padi karena
dianggap tidak menarik. Persoalan itu sangat disayangkan karena faktanya hampir
90 % rakyat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok sehari-hari.
Bahkan, selama hampir tujuh dekade Indonesia merdeka, kebijakan pemerintah

telah menjadikan beras sebagai pengganti keragaman bahan makanan pokok
rakyat Indonesia.
Data Biro Pusat Statistik 2013 menyebutkan bahwa sekitar 20,4 juta orang
terlibat dalam pertanian pangan. Dari kisaran tersebut, sekitar 18 juta orang
kemungkinan

terlibat

dalam

kegiatan

pertanian

padi.

Dalam

kegiatan


pascapanennya, pertanian padi melibatkan tidak kurang dari 200.000 pabrik
penggilingan yang tersebar di seluruh Indonesia. Ironisnya, dari jumlah penduduk
miskin Indonesia yang 28,07 juta, sekitar 13 juta orang adalah mereka yang
bekerja sebagai petani dan berstatus miskin.
Data BPS menyebutkan pada tahun 2004, terdapat 40,61 juta orang berusia
15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian, sementara pada tahun 2013,

angkanya menyusut menjadi 39,96 juta orang. Hal ini disinyalir karena dukungan
infrastruktur pertanian seperti bendungan, irigasi, saluran pertanian primer sampai
tersier bagi peningkatan produktivitas pertanian nasional masih sangat minim.
Hal tersebut diperparah dengan kerusakan saluran irigasi di berbagai
wilayah yang kurang mendapat perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Rendahnya produktivitas pertanian Indonesia menunjukkan telah terjadi
marjinalisasi pertanian dan petani Indonesia dalam kebijakan nasional dan daerah.
Akibat kurangnya perhatian pemerintah pusat dan daerah dan kesalahankesalahan kebijakan

dalam bidang pertanian sehingga Indonesia terpaksa

melakukan kebijakan impor pangan, terutama beras, jagung, kedelai dan daging.
Hal tersebut menjadi penghambat dalam pembangunan agribisnis khususnya

dalam bidang pertanian padahal Indonesia dikenal sebagai Negara agraris.
2.2 Ketidaktersediaan Saluran Irigasi Padi Sawah Di Beberapa Kabupaten
Di Sulawesi Tenggara
Agar tanaman dapat tumbuh dengan subur, selain dipengaruhi oleh faktor
cuaca dan kandungan unsur hara didalam tanah, juga harus memperoleh cukup air.
Pemberian air yang mencukupi merupakan faktor penting bagi pertumbuhan
tanaman. Demikian pula halnya dengan usaha meningkatkan produktivitas suatu
lahan pertanian. Ketersediaan air merupakan faktor penting, tanpa air yang cukup
produktivitas suatu lahan tidak maksimal. Salah satu upaya penyediaan air bagi
lahan pertanian adalah dengan membangun irigasi. Irigasi merupakan usaha
pengadaan dan pengaturan air secara buatan, baik air tanah maupun air permukaan
untuk menunjang pertanian.
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
menjadi penghasil beras. Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Sultra,
Muhammad Nasir mengatakan, dari 121 ribu hektar sawah di Provinsi Sultra,
hanya 94.500 ha yang merupakan sawah irigasi, dan sekitar 26.500 hektar sawah
belum memiliki sistem jaringan irigasi atau sawah non irigasi. Sawah non irigasi
tersebut hanya tergantung dengan musim hujan atau biasa disebut dengan sistem
tadah hujan sehingga petani hanya bisa melakukan penanaman sekali dalam
setahun.


Studi kasus di Kabupaten Konawe Selatan dan Muna Barat yang jaringan
irigasinya telah rusak, yakni irigasi di Roraya-3 dan Laeya di Kabupaten Konawe
Selatan serta irigasi di Kecamatan Tikep yang terletak di Kabupaten Muna Barat.
Akibat rusaknya irigasi di Kecamatan Tikep yang memanfaatkan Sungai Tiworo
banyak yang rusak sehingga hanya mampu mengairi sawah seluas 800-900 hektar,
padahal potensi persawahan di wilayah tersebut mencapai kisaran 2.000-2.500
hektar.
Berdasarkan hasil penelitian Mahasiswa Agribisnis, Fakultas Pertanian
Universitas Halu Oleo pada tanggal 6 Juni 2015 yang bertempat di Desa Sindang
Kasih Kecamatan Konawe Selatan bahwa para petani yang menanam padi sawah
hanya dapat melakukan penanaman satu kali dalam setahun karena hanya
mengandalkan air tadah hujan, sekalipun di Desa Sindang Kasih terdapat beberapa
bendungan akan tetapi bendungan tersebut mengalami kekeringan pada saat
musim kemarau. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu petani yang
telah bekerja sebagai petani selama 46 tahun mengatakan bahwa puluhan tahun
yang lalu mereka dapat memproduksi 5 ton gabah/ha dan sekarang hanya berkisar
3 sampai 3,5 ton gabah/ha. Walaupun dari pemerintah telah membangun beberapa
sumur bor untuk mengairi sawah tapi usaha tersebut tidak berhasil karena sumber
mata air sangat dalam sehingga air dari sumur bor sangat sedikit, dan bahkan

sekarang sudah tidak digunakan lagi.
2.3 Kerusakan Lahan Pertanian Akibat Aktifitas Pertambangan di
Kabupaten Konawe
Desa Wonua Morome, Kecamatan Puriala, Kabupaten Konawe, Sulawesi
Tenggara (Sultra), merupakan desa pemekaran. Induknya adalah Desa Sonai.
Berpenduduk 467 jiwa, desa yang mayoritas warganya beretnis Jawa ini terbagi
dalam 186 kepala keluarga (KK). Mereka merupakan warga transmigran di era
pemerintahan Presiden Soeharto yang kini menjalani hidup sebagai petani padi
sawah.
Pada tahun 2009 lalu, Desa Wonua Morome memiliki lahan sawah seluas
195 hektar dengan produktifitas gabah antara 5-6 ton per hektar. Sehingga
perekonomian di desa tersebut cukup sejahtera. Akan tetapi kehidupan petani

mulai berubah pada pertengahan juni 2012 semenjak Pemerintah Daerah (Pemda)
Konawe mengizinkan investor tambang beroperasi di desa itu. Sebuah perusahaan
asal Tiongkok, PT. Cahaya Modern Metal Industri (CMMI) mulai melakukan
eksplorasi pada pertengahan tahun 2013 lalu. Seiring beroperasinya perusahaan
ini, petani setempat tidak lagi dapat mengolah sawahnya karena sumber daya air
berkurang.
PT. CMMI merupakan salah satu perusahaan dari sekian perusahaan

tambang yang akan dan telah beroperasi di daerah itu sebagai bagian dari ambisi
besar Bupati Konawe Kerry Syaiful Konggoasa yang akan menjadikan daerah
yang dipimpinnya sebagai kawasan proyek mega industri pertambangan.
Kabupaten Konawe ditetapkan sebagai satu dari 11 kawasan pengembangan
proyek mega industri oleh pemerintah pusat melalui instruksi presiden. Bahkan
Konawe berada diurutan ketiga skala prioritas pembangunan kawasan yang akan
menghabiskan anggaran hingga Rp 8 triliun. Nantinya pusat industri tambang
akan ditempatkan di dua kecamatan yakni, Kecamatan Bondoala dan Kecamatan
Morosi.
Puluhan

alat

berat

digerakkan

untuk

mengeksploitasi


kawasan

pegunungan yang hanya berjarak sekitar satu kilometer dari pemukiman
masyarakat. Satu persatu sawah di Desa Wonua Morome mulai hilang akibat
tersumbatnya saluran irigasi karena aktifitas pertambangan. Sehingga hasil panen
para petani sudah tidak memadai dan masyarakat sekitar dan para petani semakin
menderita.
Salah satu petani di desa yang bernama Sutisna, terpaksa merelakan 12
hektar sawah miliknya tidak produktif lagi. Produktifitas sawahnya yang dulu bisa
mencapai 6 ton gabah/hektar, tahun 2015 ini hanya mampu menghasilkan 3 ton
gabah/hektar. Dari 12 hektar sawah yang ditanami hanya 7 hektar yang berhasil
panen karena yang lainnya mati akibat kekurangan air. Sehingga petani di Desa
Wonua Morome sudah tidak bisa mengandalkan air irigasi melainkan hanya air
tadah hujan.
Selain Desa Wonua Morame yang merasakan dampak buruk dari aktifitas
pertambangan juga terdapat desa lain yang mengalami krisis air bersih dan gagal
panen yaitu Desa Puusangi dan Desa Sonai.

Akibat dari masuknya perusahaan tambang di daerah penghasil beras

dengan tidak merealisasikan kewajiban-kewajiban perusahaan seperti Corporate
Social Responsibility (CSR) serta tidak bertanggung jawab atas kerugian dan
kerusakan alam sekitar yang merugikan masyarakat dan petani akibat kekurangan
sumber air bersih pada akhirnya menyebabkan penurunan kesejahteraan hidup
masyarakat dan penurunan produksi beras secara drastis.

BAB III PENETAPAN PROGRAM
3.1 Solusi Untuk Berbagai Masalah Pembangunan Agribisnis Di Indonesia
a. Menjamin Berlangsungnya Manajemen Irigasi
Departemen Pertanian berperanan penting dalam kerjasama dengan
institusi terkait lainnya dalam menghadapi masalah utama ini yaitu bertambah
langkanya sumber air yang mengakibatkan lambatnya pertumbuhan hasil
pertanian yang teririgasi.
Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah Indonesia telah mengembangkan
model pengelolaan air lokal yang menempatkan perkumpulan pengguna sumber
air sebagai pusat pengambilan keputusan, di dalam suatu kerjasama yang erat
dengan pemerintah setempat. Pengalaman menunjukan bahwa jenis asosiasi
tersebut

efektif

dalam

meningkatkan

efektifitas

penggunaan

air,

yang

mengakibatkan produktivitas lebih tinggi, penggunaan air yang inovatif
(diversifikasi pertanian, pengembangan perikanan, dan lain-lain), kesempatan
lebih baik untuk menciptakan penghasilan, mempertahankan usaha pencegahan,
dan kerjasama yang lebih positif antara pemerintah setempat, komunitas petani
dan perwakilan di tingkat nasional.
Model ini telah diuji-coba dan disebarkan secara bertahap ke banyak
provinsi di Indonesia. Walau begitu, karena aktivitas ini mempunyai karakter
antar-sektor, Departemen Pertanian didorong untuk mengembangkan lebih jauh
keberhasilan tersebut, serta memperluas kerjasama dan koordinasi dengan
perwakilan lainnya yang memiliki otoritas per sektor dalam pertanian irigasi dan
dukungan terhadap pemerintah setempat, khususnya dengan Departemen
Pekerjaan Umum, serta Departemen Dalam Negeri. Hal ini akan memerlukan
pemantapan manajemen sumber air melalui organisasi yang sedang berkembang
(Balai

PSDAS)

agar

dapat

mengelola

sumber

air

yang

langka

dan

mengalokasikannya secara optimal.
b. Meningkatkan Pengeluaran Untuk Penelitian Pertanian
Berdasarkan pada pembahasan dalam Bab II bahwa tahun 2013
masyarakat yang bekerja di sector pertanian berjumlah 39,96 juta orang
mengalami penurunan dari tahun 2004 yang berjumlah 40,61 juta orang karena
menurunnya minat masyarakat untuk bekerja di sector pertanian akibat rendahnya

sarana dan prasarana pertanian dan dukungan terhadap penelitian pertanian.
penelitian Penelitian pertanian yang kuat dan sistim penyuluhan sangat penting
untuk menggerakan produktivitas ke jalur pertumbuhan yang lebih pesat. Sistim
penelitian pertanian di Indonesia terdiri dari pusat penelitian komoditas nasional
dan institut adaptasi di tingkat wilayah. Akan tetapi, pengeluaran untuk penelitian
pertanian di Indonesia turun secara drastis sejak awal tahun 1990an dibandingkan
dengan negara tetangga. Pengeluaran riil untuk penelitian pertanian umum di
2001 tidak lebih besar dari tahun 1995. Saat ini, kedudukan tingkat pengeluaran
untuk penelitian pertanian tersebut, dihitung dalam persentasi dari PDB dan total
pengeluaran negara untuk pertanian, termasuk paling rendah di antara negara asia
lainnya. Indonesia menyediakan sekitar 0,1% dari PDB sektor pertanian untuk
membiayai penelitian pertanian di dalam negeri (bahkan lebih rendah
dibandingkan dengan Bangladesh, dan jauh dibawah tingkat rekomendasi 1%)
dan, jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang menyediakan lebih
dari 10% dari total pengeluaran negara untuk sektor pertanian untuk mendukung
penelitian pertanian, maka porsi di Indonesia kurang dari 4%.
Tantangan yang langsung dihadapi di dalam sistim penelitian pertanian
adalah untuk: (i) menaikkan tingkat total pengeluaran umum untuk membiayai
penelitian berskala nasional walaupun saat ini terdapat berbagai proyek penelitian
yang dibatalkan, (ii) menjelaskan tanggung jawab pembiayaan publik untuk
institusi adaptasi di tingkat wilayah, (iii) melawan efek Prioritas Masalah
Pertanian di Indonesia desentralisasi atas kenaikan biaya operasional administrasi
di tingkat local, (iv) meremajakan proporsi besar peneliti senior yang akan segera
pension, (v) mengintegrasi kapasitas penelitian pertanian sektor swasta sebagai
bagian dari strategi nasional, (vi) memperkuat strategi penelitian bioteknologi,
dan (vii) sementara menggalakan penggunaan dan penelitian pada berbagai jenis
beras, perlu pula menyeimbangkan pengembangan komoditas selain beras.
c. Mencanangkan Alternatif Pangan Selain Beras dan Diversifikasi Produk
Pertanian
Selama tujuh dekade Indonesia merdeka, kebijakan pemerintah telah
menjadikan beras sebagai pengganti keragaman bahan makanan pokok rakyat
Indonesia. Sehingga ketika harga beras naik banyak masyarakat yang kesulitan

dan kelaparan. Oleh karena itu, kebijakan yang menjadikan beras sebagai bahan
makanan pokok rakyat Indonesia harus diganti dengan alternative pangan lainnya
seperti jagung, singkong, sagu, kacang-kacangan dan lain-lain. Selain itu, tidak
semua daerah di Indonesia cocok untuk budidaya padi sawah sehingga perlu
menganekaragamkan produksi pangan di Indonesia dan mensosialisasikan kepada
masyarakat untuk mengkonsumsi pangan lain selain beras. Selain untuk
menurunkan permintaan beras juga akan meningkatkan permintaan produk
pangan lain yang harganya rendah seperti jagung dan singkong sehingga harganya
bisa normal dan petani jagung dan singkong dapat memperoleh kesejahteraannya.
Agar dapat menganekaragamkan pangan yang dikonsumsi tentu harus
ditunjang dengan upaya diversifikasi produk pertanian yaitu dengan menanam
beragam jenis tanaman dalam lahan yang sama. Misalnya menanam tanaman
kacang-kacangan di pematang sawah, sehingga petani akan panen padi sawah dan
juga kacang-kacangan. Dengan demikian penghasilan petani dalam sekali panen
bisa bertambah dibandingkan hanya menanam satu jenis tanaman.
3.2 Program Pembangunan Saluran Irigasi Di Beberapa Kabupaten Di
Sulawesi Tenggara
Akibat kekurangan air produksi beras di Sultra menurun. Untuk itu,
persawahan di Sulawesi Tenggara harus didukung dengan infrastruktur sistem
jaringan irigasi sehingga bisa lebih meningkatkan produksi beras di Sultra.
Kerjasama dan koordinasi antara Dinas Petanian, Dinas Pekerjaan Umum, dan
Dinas Pengairan dan Irigasi perlu ditingkatkan untuk membuat suatu sistem
jaringan irigasi yang baik. Jaringan irigasi yang baik akan meningkatkan
produktivitas padi dan meningkatkan indeks pertanaman padi. Tahun 2015 ini,
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Sultra, Muhammad Nasir mengatakan
bahwa Sultra mendapat bantuan pengembangan jaringan irigasi yang bersumber
dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang bertujuan
meningkatkan produksi petani.
Adapun daerah-daerah yang mendapatkan bantuan pengembangan
jaringan irigasi tersebut adalah Kabupaten Konawe Selatan dengan luas 6.800
hektare, Kabupaten Kolaka 3.900 hektare. Kabupaten Konawe seluas 5.000

hektare, Kabupaten Buton Utara 1.000 hektare, Kabupaten Kolaka Utara 2.400
hektare, Kabupaten Buton 250 hektare, Kabupaten Bombana seluas 4.000 hektare,
Kabupaten Konawe Utara seluas 2.000, Kota Baubau seluas 150 hektare dan
Kabupaten Kolaka Timur seluas 4.000 hektare. Bantuan pengembangan jaringan
irigasi tersebut nantinya akan mengairi lahan persawahan dengan total luas 29.500
hektare.
Dengan melaksanakan program pembangunan jaringan irigasi tersebut
maka ketersediaan air di beberapa sentral penghasil beras di Sultra akan terjamin
sehingga para petani padi sawah dapat melakukan penanaman dua sampai tiga kali
setahun. Dengan demikian produksi beras sultra akan berlipat ganda dan tentunya
akan menurunkan harga beras di pasaran yang pada beberapa tahun terakhir
sangat mahal. Dengan melakukan program pembangunan jaringan irigasi ini
bukan hanya menolong para petani Sultra tetapi juga masyarakat Sultra pada
umumnya yang kesulitan karena naiknya harga beras. Dan pada akhirnya dapat
meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat.
3.3 Pelaksanaan CSR Oleh Perusahaan Pertambangan Sebagai Wujud
Tanggung Jawab Terhadap Kerugian Petani Di Kabupaten Konawe
Corporate Social Responsibility

menurut World Business Council on

Sustainable Development adalah komitmen dari bisnis/perusahaan untuk
berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya,
komunitas lokal dan masyarakat luas.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas bahwa selain BUMN, saat ini Perseroan Terbatas (PT)
yang mengelola atau operasional terkait dengan Sumber Daya Alam (SDA)
diwajibkan melaksanakan program CSR. Berdasarkan peraturan perundanganundangan tersebut maka setiap badan usaha dan perseroan terbatas di Indonesia
harus menjalankan program-program CSR untuk memeberdayakan karyawan
dalam perusahaan, masyarakat sekitar yang secara langsung maupun tidak
langsung terkena dampak dari aktifitas perusahaan dan membantu pemerintah
daerah dan pemerintah pusat untuk meningkatakan kesejahteraaan masyarakat.

Berdasarkan pada UU RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
maka wajib bagi perusahaan pertambangan termaksud PT. Cahaya Modern Metal
Industri (CMMI) yang beroperasi di Desa Wonua Morame untuk melaksanakan
CSR bagi masyarakat sekitar dan para petani yang mengalami kerugian akibat
aktivitas pertambangan tersebut. Hendaknya PT. Cahaya Modern Metal Industri
melaksanaan CSR seperti yang telah dilakukan oleh PT. Vale Indonesia yang
beroperasi di Desa Lamedai Kecamatan Tangketada, Kabupaten Kolaka, Sulawesi
Tenggara.

PT. Vale

Indonesia

menyerahkan

bantuan

Corporate

Social

Responsibility (CSR) pada tahun 2014 untuk bidang infrastruktur senilai sekitar
Rp 3 miliar kepada masyarakat melalui Bupati Kolaka. Bantuan CSR bidang
infrastruktur digunakan untuk pembangunan saluran irigasi, bendung pembagi air,
jembatan jalan usaha tani, normalisasi sungai Okooko, dan penguatan tebing
Sungai Okooko dengan pemasangan bronjong. CSR bidang infrastruktur ini,
merupakan

usulan

masyarakat

setempat

melalui

musyawarah

rencana

pembangunan (Musrenbang) yang dimulai dari bawah, kemudian dievaluasi oleh
komite percepatan yang beranggotakan Pemkab Kolaka, PT Vale Indonesia, dan
perwakilan masyarakat. Hingga akhirnya dapat direalisasikan pada hari Selasa 6
Januari 2015.
Berdasarkan pada masalah di Desa Wonua Morame oleh PT. Cahaya
Modern Metal Industri (CMMI) dan melihat implementasi CSR oleh PT. Vale
Indonesia di Desa Lamedai maka dapat ditarik kesimpulan untuk pemecahan
masalah di Desa Wonua Morame hendaknya masyarakat yang telah mengadukan
keluhannya pada pemerintah daerah harus segera ditanggapi oleh pemerintah
daerah baik Bupati Konawe dan Gubernur Sultra. PT. Cahaya Modern Metal
Industri harus memberikan bantuan kepada masyarakat dan petani dengan
membangun saluran irigasi yang telah rusak akibat aktivitas tambang dan
menyerahkan uang ganti rugi akibat gagal panen serta bantuan kesehatan. Apabila
PT. Cahaya Modern Metal Industri tidak mematuhi teguran dan memperdulikan
aspirasi masyarakat dengan segera maka perusahaan tersebut harus dikenakan
sanksi oleh pemerintah daerah baik pemberhentian sementara operasi tambang
atau pun pencabutan izin usaha tambang.

Saya mengharapkan agar pemerintah daerah, bupati dan kepala desa di
berbagai kabupaten di Sultra agar bertindak tegas kepada pihak perusahaan yang
tidak memberikan CSR kepada masyarakat sekitar lokasi tambang dan tidak ikut
serta membantu pembangunan daerah serta menyebabkan kerusakan-kerusakan
alam khususnya kerusakan dalam usaha pertanian rakyat yang memiliki peran
penting dalam pembangunan Indonesia. Dibandingkan dengan usaha tambang
yang hanya memberikan sedikit sumbangan kepada pembangunan nasional dan
kesejahteraan masyarakat Indonesia, sektor pertanian lebih unggul dan harus lebih
diutamakan keberadaannya sebagai sumber mata pencaharian masyarakat.

BAB IV KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada Bab I dan Bab II dapat disimpulkan :
1. Berbagai masalah pertanian di Indonesia yang meliputi masalah rusaknya
saluran irigasi, kurangnya pembangunan sarana dan prasarana dalam
sektor pertanian dan impor beras dari luar negeri akibat tingginya
permintaan beras, dapat diselesaikan dengan melaksanakan program
berikut :
a. Menjamin berlangsungnya manajemen irigasi,
b. Meningkatkan pengeluaran untuk penelitian pertanian, dan
c. Mencanangkan alternatif pangan selain beras dan diversifikasi produk
pertanian
2. Masalah ketidaktersediaan saluran irigasi padi sawah di beberapa
kabupaten di sulawesi tenggara yang masih berkisar 26.500 hektar, dengan
melaksanakan program pembangunan saluran irigasi di berbagai daerah
yang meliputi : Kabupaten Konawe Selatan dengan luas 6.800 hektare,
Kabupaten Kolaka 3.900 hektare. Kabupaten Konawe seluas 5.000
hektare, Kabupaten Buton Utara 1.000 hektare, Kabupaten Kolaka Utara
2.400 hektare, Kabupaten Buton 250 hektare, Kabupaten Bombana seluas
4.000 hektare, Kabupaten Konawe Utara seluas 2.000, Kota Baubau seluas
150 hektare dan Kabupaten Kolaka Timur seluas 4.000 hektare.
3. Masalah kerusakan lahan pertanian akibat aktifitas pertambangan di
kabupaten konawe yang disebabkan oleh eksploitasi alam oleh PT. Cahaya
Modern Metal Industri (CMMI) dapat diselesaikan dengan mengharuskan
perusahaan tersebut menjalankan CSR dang anti rugi atas kerugian
masyarakat dan petani sekitar. Jika hal tersebut tidak ditanggapi oleh PT.
Cahaya Modern Metal Industri maka sebaiknya izin usaha tambang
miliknya hendaknya dicabut karena telah merugikan banyak pihak.
Dengan melaksanakan berbagai program di atas maka masalah-masalah
dalam bidang pertanian di Indonesia dan Sultra khususnya sedikit banyak dapat
diatasi. Dan pada akhirnya dapat meningkatkan produksi bahan pangan di
Indonesia dan mensejahterakan masyarakat petani dan diperoleh kemandirian
pangan atau tidak perlu impor pangan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Senong. 2014. Irigasi Konawe Selatan Muna Barat Prioritas 2015.
http://www.antarasultra.com/berita/275033/irigasi-konawe-selatan-munabarat-prioritas-2015 Diakses tanggal 7 Juni 2015.
Abdul Azis Senong. 2015. 26.500 Hektar Sawah Di Sultra Belum Beririgasi.
http://www.antarasultra.com/berita/276860/26500-hektare-sawah-disultra-belum-beririgasi Diakses tanggal 7 Juni 2015.
Dwi Murdaningsih. 2015. 26 Ribu Sawah di Sultra Belum Miliki Irigasi.
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/02/15/njshqx-26ribu-hektare-sawah-di-sultra-belum-miliki-irigasi Diakes tanggal 7 Juni
2015.
Indonesia Policy Briefs. Ide-ide Program 100 Hari.
Jumriati. 2015. Wonua Morome, Kampung Subur yang Tinggal Kenangan.
http://www.zonasultra.com/2014a/content/blogcategory/20/509/ Diakses
tanggal 7 Juni 2015.
Kurniasih Miftakhul Jannah. 2014. Ragam Permasalahan Sektor Pertanian.
http://economy.okezone.com/read/2014/09/04/320/1034356/ragampermasalahan-sektor-pertanian-ri Diakses tanggal 7 Juni 2015.
Sarjono. 2015. 10 Kabupaten/Kota Sultra Dibantu Jaringan Irigasi.
http://www.antarasultra.com/berita/276841/10-kabupatenkota-sultradibantu-jaringan-irigasi Diakses tanggal 7 Juni 2015.