PENUNDAAN DI PERSIMPANGAN BERSINYAL BERCABANG BANYAK

  

PENUNDAAN DI PERSIMPANGAN BERSINYAL

BERCABANG BANYAK

Bambang Haryadi, Ir., M.Sc .

  

Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang

Gd. G4 Lt. II, Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang

Tel. 082-241-6452; Fax. 024-562651; e-mail: bam_ha

  

ABSTRAK

Persimpangan bercabang banyak bersinyal merupakan hal yang umum di Indonesia. Efektifitas sinyal lalu

lintas pada persimpangan bercabang banyak dengan disain geometri yang kompleks ini perlu dipertanyakan, karena dengan tingginya volume lalu lintas, banyaknya cabang jalan, dan kompleksnya disain geometri akan

mengakibatkan singal phasing yang juga kompleks dan panjang siklus yang lebih lama. Konsekuensinya, hal -hal

tersebut bisa mengakibatkan penundaan yang berle bihan dan tingkat pelayanan yang rendah.

  

Penelitian ini merupakan studi kasus pada persimpangan bercabang banyak yang berlokasi di Kalibanteng,

Semarang, sebuah simpangan dengan bundaran dan enam cabang jalan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui besarnya penundaan rata -rata per kendaraan karena berhenti ( stopped delay) pada sinyal lalu lintas

yang dipasang di persimpangan.

  

Besarnya penundaan diukur dilapangan untuk setiap sinyal lalu lintas yang ada di persimpangan. Lama

periode pengamatan pada setiap sinyal adalah 15 menit. Periode pengamatan dibagi dalam interval waktu 15 detik. Data jumlah kendaraan yang berhenti pada setiap interval, dan jumlah kendaraan yang melintas selama periode pengamatan dicatat. Besarnya penundaan dihitung denga n menggunakan prosedur Highway Capacity Manual (HCM).

  Disimpulkan masing-masing sinyal pada masing-masing cabang jalan di persimpangan Kali Banteng

beroperasi pada Tingkat Pelayanan E menurut kriteria (HCM), dengan besarnya stopped delay rata-rata berkisar

antara 40.8 hingga 50.9 detik per kendaraan. Di persimpangan Kali Banteng juga dapat diamati terjadinya pelanggaran terhadap sinyal yang mencolok, disamping itu masih terjadi konflik lalu lintas sebagaimana yang terjadi pada persimpangan tanpa sinyal.

  

Hasil penelitian menunjukkan perlunya dilakukan redisain persimpangan baik yang menyangkut geometri

maupun timing sinyal persimpangan agar persimpangan dapat beroperasi dengan lebih baik. Selain itu, perlu dikembangkan prosedur disain atau teknik simulasi s inyal lalu lintas yang dapat digunakan untuk perencanaan

timing sinyal padabentuk-bentuk persimpangan yang tak lazim seperti halnya persimpangan bercabang banyak.

  Kata-kata kunci: persimpangan, penundaan, tingkat pelayanan

1. PENDAHULUAN

  Teknologi sinyal lalu lintas telah berkembang pesat dan telah menjadi elemen yang vital dalam teknik pengontrolan lalu -lintas yang aman dan efisien di jalan raya. Dengan memberikan kesempatan (hak) untuk berjalan secara bergantian terhadap berbagai pergerakan lalu-lintas, sinyal lalu lintas memberikan pengaruh secara menyeluruh atas arus lalu -lintas dan dapat beroperasi dengan memberikan keuntungan atau kerugian terhadap kendaraan atau pejalan kaki yang dikontrol. Konsekuensinya, aplikasi, desain, instalasi, operasi, da n perawatan sinyal lalu lintas yang tepat merupakan hal yang vital terhadap kelancaran pergerakan lalu-lintas pada lokasi tertentu dan bisa diharapkan meningkatkan kapasitas dukung persimpangan. Sebaliknya, sinyal lalu lintas yang dipasang secara tidak ben ar (unjustified), dengan disain yang buruk, dioperasikan secara tidak tepat, atau dengan perawatan yang tidak memadai dapat menyebabkan penundaan yang berlebihan yang tidak perlu dan menurunkan kapasitas persimpangan.

  Persimpangan merupakan lokasi yang kr itis dalam suatu sistem lalu -lintas. Pertemuan beberapa ujung jalan menyebabkan suatu situasi yang kompleks. Persimpangan bercabang banyak (multi-leg intersection), yaitu persimpangan jalan raya dengan jumlah cabang lebih dari empat, merupakan suatu kondis i yang sedapatnya dihindari dari sudut pandang teknik lalu-lintas. Karena dengan makin banyaknya cabang akumulasi dan konflik lalu -lintas juga ini seringkali tak dapat dihidari. Hal ini disebabkan antara lain karena struktur kota yang direncanakan tidak dalam struktur blok yang baik.

  Pada volume lalu-lintas yang rendah, persimpangan bercabang banyak tidak menimbulkan masalah. Tetapi dengan semakin berkembangnya lalu -lintas, timbul persoalan lalu lintas yang rumit, karena kapasitas persimpangan tak mampu lagi melayani volume lalu lintas yang ada. Akibatnya mulai timbul kemacetan lalu lintas.

  .

  Persimpangan bercabang banyak bersinyal merupakan hal yang umum di Indonesia Efektifitas sinyal lalu lintas pada persimpangan bercabang banyak dengan disain geometri yang kompleks ini perlu dipertanyakan, karena dengan tingginya volume lalu lintas, banyaknya cabang jalan, dan kompleksnya disain geometri akan mengakibatkan signal

  phasing yang juga kompleks dan panjang siklus yang lebih lama. Konsekuensinya, hal -hal tersebut bisa mengakibatkan penundaan yang berlebihan dan tingkat pelayanan yang rendah.

  Tulisan ini menelaah besarnya penundaan yang terjadi pada persimpangan bercabang ba nyak yang dikontrol oleh sinyal lalu lintas. Besarnya penundaan merupakan salah satu ukuran efektifitas sinyal lalu lintas yang dominan, karena langsung dialami dan dirasakan oleh pengemudi. Besarnya penundaan juga menentukan Tingkat Pelayanan dari sinyal lalu lintas tersebut.

2. PERSIMPANGAN DENGAN BUNDARAN

  Suatu bundaran (rotary intersection atau roundabout) terdiri dari suatu lingkaran di tengah dikelilingi oleh suatu jalan searah. Cabang -cabang jalannya mengarahkan lalu lintasnya untuk memutar kekiri. Semua konflik yang terjadi pada persimpangan iasa diubah menjadi konflik weaving (menyilang) pada bundaran. Di Amerika Serikat, aturan yang berlaku adalah dengan mendahulukan lalu lintas dari sebelah kiri. Berbeda dengan di Indonesia, lalu lintas di Amerik a Serikat berjalan disisi sebelah kanan, sehingga lalu lintas di bundaran berputar ke kanan. Di negara bagian Massachussetts, jalan masuk ke bundaran yang besar sering dikontrol dengan rambu yield (beri kesempatan). Sedangkan di negara bagian Washington D.C., ada bundaran yang dikontrol dengan sinyal lalu lintas (Homburger, et al., 1992).

  Di Inggris dan Australia, menurut, bundaran bukan merupakan prasarana yang diperlengkapi dengan sinyal. Aturan yang berlaku adalah, lalu lintas yang memasuki bundaran harus memberi kesempatan pada lalu lintas yang sudah berada di bundaran (aturan yield-at-

  entry) . Aturan ini disimbolkan dengan marka jalan berupa garis -garis melintang. Di negara

  tersebut, persimpangan dengan bundaran dilaporkan mampu menurunkan kecelakaan se cara drastis, dan mampu menampung lalu lintas pada persimpangan utama di daerah perkotaan.

  Era modern roundabout di Inggris dimulai tahun 196 dengan dibangunnya yield-at-

  entry roundabout (Ourston & Bared, 1995) yang diikuti dengan diberlakukannya peratura n yield-at-entry secara nasional. Hal ini segera diikuti oleh Australia dan negara -negara lain,

  khususnya di Eropa. Amerika Serikat baru memulai membangun bundaran modern pada tahun 1990.

  Menurut Ourston dan Bared (1995), terdapat beberapa karakteristik y ang membedakan bundaran modern dengan bundaran biasa disamping aturan yield-at-entry yang merupakan eleman operasional yang terpenting. Karakteristik penting yang lain adalah pembelokan lintasan kendaraan dan pelebaran jalan masuk. Karakteristik yang lain diantaranya adalah pulau-pulau jalan untuk mengontrol kecepatan masuk dan mencegah belok kanan, serta jarak pandangan, pencahayaan diwaktu malam, dan perambuan yang baik.

  3. SINYAL LALU-LINTAS

  Pada prinsipnya sinyal lalu -lintas mengalokasikan waktu seca ra bergantian untuk gerakan - gerakan lalu-lintas yang saling konflik untuk menggunakan ruangan yang sama. Apabila secara teknis dibenarkan dan didisain dengan tepat, pemasangan suatu sinyal lalu -lintas bisa menghasilkan satu atau lebih keuntungan -keuntungan sebagai berikut (Orcutt, 1993): 1) menurunkan frekuensi tipe kecelakaan tertentu, khususnya tipe right angle (tabrakan siku- siku), 2) melancarkan arus lalu -lintas, 3) memungkinkan arus menerus iring -iringan kendaraan (platoon) melalui koordinasi sinyal -sinyal sepanjang suatu rute jalan, 4) memungkinkan lalu-lintas kendaraan dan pejalan kaki untuk melintas atau menyeberangi arus lalu-lintas yang padat, dan dapat mengatur lalu -lintas secara lebih ekonomis dibanding dengan metode manual.

  Sebaliknya, pemasangan sinyal lalu-lintas yang tidak didukung analisa lalu -lintas yang benar, dengan disain yang buruk, dioperasikan secara tidak tepat, atau tidak dipelihara dengan baik bisa menyebabkan hal -hal sebagai berikut (Pline, 1992): 1) Peningkatan frekuensi kecelakaan, 2) Penundaan yang berlebihan, 3) Pelanggaran terhadap rambu lalu -lintas, dan 4) Beralihnya lalu-lintas ke jalur alternatif.

  Berlawanan dengan kepercayaan umum, sinyal lalu -lintas tidak selalu meningkatkan keamanan dan mengurangi kemacetan. Pengalaman menunjukkan bahwa walaupun pemasangan sinyal mungkin berakibat pada penurunan jumlah tabrakan siku -siku, tetapi di banyak kasus berakibat pada peningkatan frekuensi tabrakan belakang (Homburger, 1982) Lebih lanjut, pemasangan sinyal tidak hanya meningkatk an penundaan total, tetapi juga menurunkan kapasitas persimpangan.

  4. TINGKAT PELAYANAN DAN PENUNDAAN

  Tingkat pelayanan langsung berhubungan dengan nilai penundaan. Dalam penentuan tingkat pelayanan, stopped delay rata-rata per kendaraan diukur untuk t iap cabang. Tingkat Pelayanan suatu persimpangan bersinyal diukur dari penundaan yang terjadi. Penundaan merupakan ukuran efektivitas bagi sinyal lalu -lintas karena merupakan ukuran bagi ketidaknyamanan pengemudi, rasa frustasi, konsumsi bahan bakar, dan k ehilangan waktu perjalanan. Secara spesifik tingkat pelayanan dinyatakan dalam istilah avarage stopped delay (penundaan karena berhenti rata -rata) untuk tiap kendaraan untuk periode analisa 15 menit (TRB, 1985). Kriterianya diberikan pada Tabel 1 berikut i ni.

  • Tabel 1. Kriteria Tingkat Pelayanan Persimpangan Bersinyal Tingkat pelayanan Stopped delay per kendaraan (detik)

  A <= 5.0

  B 5.1 - 15.0

  C 15.1 - 25.0

  D 25.1 - 40.0

  E 40.1 - 60.0

  F > 60.0

  • (TRB, 1985)

  5. METODE

  Untuk mengetahui besarnya penundaan pada bersimpangan bersinyal bercabang banyak diambil kasus di bundaran Kali Banteng, Semarang (Haryadi, dkk., 1999). Survai lapangan dilakukan untuk mengamati kondisi geometri, kondisi operasional aru s lalu-lintas di persimpangan, dan kondisi sinyal. Geometri persimpangan dinyatakan secara diagramatik yang mencakup informasi yang relevan. Pengamatan kondisi lalu lintas meliputi pergerakan lalu lintas di persimpangan dari dan menuju tiap -tiap cabang jalan. Informasi yang lengkap berkaitan dengan sinyal diperlukan. Hal ini meliputi informasi tentang fase, panjang siklus, waktu hijau, kuning, dan merah. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap jumlah kendaraan yang berhenti untuk digunakan dalam perhi tungan penundaan.

  Penundaan berkaitan erat dengan Tingkat Pelayanan yang diberikan oleh sinyal lalu lintas. Tingkat Pelayanan ditentukan berdasarkan besarnya penundaan karena berhenti rata -rata per kendaraan di masing-masing sinyal lalu lintas sesuai deng an kategori yang tercantum pada Tabel 1. Penundaan yang terjadi di persimpangan akan ditentukan dengan cara pengukuran penundaan langsung di lapangan.

  Periode pengamatan untuk setiap sinyal adalah 15 menit. Periode pengamatan ini dibagi dalam interval waktu, I, selama 15 detik. Pada tiap -tiap interval ini jumlah kendaraan, Vs, yang berhenti dihitung dan dicatat. Volume kendaraan total, V, yaitu jumlah kendaraan yang berjalan melewati garis stop dari cabang jalan yang ditinjau memasuki bundaran juga dicata t. Pengamatan dilakukan untuk tiap sinyal yang ada baik di setiap cabang jalan maupun yang berada di dalam bundaran.

  Besarnya penundaan karena berhenti rata -rata tiap kendaraan pada suatu sinyal lalu lintas dihitung dengan persamaan (1) sebagai berikut: (1) d = ( Vs x I) / V dimana : d = penundaan rata -rata per kendaraan karena berhenti di suatu sinyal, detik per kendaraan

   Vs = jumlah kendaraan yang berhenti selama periode pengamatan, kendaraan I = interval waktu pengamatan, detik V = Volume kendaraan total selama periode pengamatan.

6. HASIL

  i an . Y A ra da an . B Jl Jl 8 7 . M 9 ad uk or o Jl. Siliwangi u 5 6 2 1 Jl. Jend. Sudirman Keterangan: No. Sinyal 4 Marka jalan Pemisah jalur S al eh Pa 3 Jl. m an ula Jl . A bd ul R ah m h rsi Gambar 1. Diagram persimpangan Kali Banteng Persimpangnan Kali Banteng mempunyai enam cabang jalan. Keenam cabang jalan tersebut adalah jalan Jendral Sudirman ke arah Timur yang menuju pusat kota, jalan Siliwangi ke arah Barat yang menuju ke Luar kota, Jalan Madukoro yang merupakan jalan arteri yang melayani lalulintas dari dan ke arah pelabuhan dan bagian Timur Semarang, Jalan Bandara Ahmad Yani yang melayani lalulint as dari dan menuju Bandara Ahmad Yani, Jalan Pamularsih dan Jalan Abdul Rahman Saleh.

  Persimpangan Kali Banteng, kecuali dikontrol oleh sebuah Bundaran , juga dikontrol oleh sembilan set sinyal lalulintas. Diagram persimpangan Kali Banteng dengan nomor si nyal disajikan pada Gambar 1. Kesembilan sinyal lalulintas tersebut enam set dipasang pada masing masing cabang jalan sedangkan tiga set yang lain dipasang pada bundaran. Walaupun terdapat jalur lambat yang terdapat pada sisi luar bundaran, tetapi kebera daannya kurang bermanfaat. Dilain pihak, pada persimpangan ini tidak disediakan lajur khusus untuk kendaraan yang menuju ke jalan yang berada di sebelah kiri sehingga lalu lintas ini juga harus berhenti pada saat lampu merah walaupun sebenarnya gerakannya tidak memotong lalu lintas yang lain.

  Pengaturan waktu sinyal (timing signal) untuk persimpangan Kali Banteng disajikan pada Tabel 2. Persimpangan Kali Banteng mempunyai panjang siklus 125 detik. Pada fase pertama, sinyal lalulintas pada jalan Jendral Sud irman (no. 1), jalan Siliwangi (no, 5), dan sinyal no. 7 menyala hijau, sedangkan cabang jalan yang lain menyala merah. Lalulintas dari jalan Sudirman bisa bergerak langsung ke arah jalan Siliwangi, jalan Abdurrahman Saleh dan jalan Pamularsih, sedangkan lalulintas yang akan menuju ke Bandara, jalan Madukoro atau balik ke arah jalan Sudirman harus berhenti di sinyal nomor 6. Lalulintas dari jalan Siliwangi yang menuju ke Bandara, jalan Madukoro dan jalan Sudirman bisa bergerak langsung tanpa berhenti pada lampu merah lain, sedangkan yang menuju ke jalan Pamularsih, jalan Abdurrahman Saleh dan jalan Siliwangi harus berhenti di sinyal nomor 2.

  Tabel 2. Timing sinyal di persimpangan Kali Banteng Fase Sinyal no. Nama Jln. Hijau Kuning Merah Panjang Siklus

  1

  1 Sudirman 50 detik 3 detik 72 detik 125 detik

  5 Siliwangi 50 detik 3 detik 72 detik 125 detik 7 - 76 detik 3 detik 46 detik 125 detik

  2

  3 Pamularsih 25 detik 3 detik 97 detik 125 detik

  4 Abd. R.S. 25 detik 3 detik 97 detik 125 detik

  6 - 70 detik 3 detik 52 detik 125 detik

  3 2 36 detik 3 detik 86 detik 125 detik -

  8 Bandara A.Y. 14 detik 3 detik 107 detik 125 detik

  4

  9 Madukoro 18 detik 3 detik 104 detik 125 detik Pada fase ke dua, sinyal lalulintas no. 3 (di jalan Pamularsih), no. 4 (di jal an Abdul

  Rahman Saleh ), dan no. 6 menyala hijau. Sementara itu sinyal no.7 juga masih berwarna hijau, sedangkan yang lain berwarna merah. Pada fase ini diasumsikan, lalu lintas dari jalan Pamularsih maupun dari jalan Abdul Rahman Saleh hanya terhenti pa da sinyal no. 2. Jadi lalu lintas ini bisa langsung berjalan menuju ke arah semua arah, kecuali yang berputar ke arah jalan Pamularsih, tanpa perlu terhenti oleh lampu merah lain. Tetapi pada kenyataannya terjadi konflik yang parah antara lalu lintas dari jalan Pamularsih yang menuju ke jalan Siliwangi dan lalu lintas dari jalan Abdul Rahman Saleh yang menuju ke arah lain selain ke jalan Siliwangi. Akibatnya terjadi kemacetan di dalam bundaran karena lalu lintas dari jalan Pamularsih harus berhenti dan mena nti sampai tersedia gap yang cukup untuk lewat.

  Pada fase ke tiga, sinyal no. 2 dan no. 8 (di jalan Bandara) mulai menyala hijau. Sinyal no. 6 juga masih menyala hijau. Sedangkan sinyal yang lain menyala merah. Sehingga kendaraan dari jalan Bandara maupu n kendaraan yang terhenti pada sinyal no. 2 bisa berjalan. Pada fase ke empat, sinyal no. 9 di jalan Madukoro menyala hijau. Sementara itu sinyal no. 2 dan no. 6 juga masih menyala hijau. Pada saat ini lalu lintas dari jalan Madukoro diberi kesempatan untuk berjalan.

  Tabel 3 menyajikan besarnya penundaan berhenti rata -rata per kendaraan dan kriteria Tingkat Pelayanan pada masing -masing sinyal pada persimpangan Kali Banteng. Kalau hanya kita perhatikan sinyal lalu lintas yang ada pada ujung -ujung cabang jalan terlihat besarnya penundaan berkisar dari yang terendah 40.80 det/kend. yang terjadi pada jalan Pamularsih hingga yang terbesar 50.85 det/kend. pada jalan Madukoro. Ditinjau Tingkat Pelayanannya, kinerja sinyal lalu lintas tersebut termasuk dalam kri teria Tingkat Pelayanan E, yang mengindikasikan tingkat pelayanan yang buruk. Tingkat Pelayanan E, yang mempunyai rentang penundaan antara 40.1 hingga 60.0 detik per kendaraan, menurut Highway Capacity Manual (TRB, 1985) dianggap merupakan batas yang bisa diterima oleh pengemudi.

  Besarnya penundaan rata-rata pada masing-masing sinyal lalu lintas ini kemungkinan besar disebabkan oleh besarnya panjang siklus. Tabel 3. Penundaan berhenti rata -rata dan Tingkat Pelayanan sinyal lalu lintas di persimpangan Kali Banteng

  Sinyal Nama Jalan Penundaan Rata-rata Tingkat Pelayanan No. (detik/kendaraan)

  1 Sudirman

  49.83 E 2 -

  20.75 C

  3 Pamularsih

  40.80 E

  4 Abdul Rahman Saleh

  43.56 E

  5 Siliwangi

  41.67 E

  6 7.39 - B 7 -

  4.78 A

  8 Bandara A. Yani

  42.73 E

  9 Madukoro

  50.85 E

7. PEMBAHASAN

  Disain dan sistem operasi sinyal lalu lintas di persimpangan Kali Banteng telah merubah kesederhanaan sistem operasi suatu bundaraan menjadi suatu situasi yang sangat kompleks, dimana seolah-olah terdapat beberapa persimpanga n dalam lokasi yang berdekatan, sehingga kendaraan dari dan menuju arah tertentu kemungkinan harus berhenti lebih dari satu kali. Hal seperti ini tidak hanya terjadi di bundaran Kali Banteng, tetapi sangat umum dijumpai di kota - kota besar di Indonesia. Beb erapa kasus persimpangan bersinyal bercabang banyak lain yang distudi juga menunjukkan tingkat penundaan yang besar (Haryadi, dkk., 1999).

  Besarnya penundaan (stopped delay) rata-rata seperti yang tercantum dalam Tabel 3 adalah penundaan yang terjadi pad a masing-masing sinyal, bukan penandaan rata -rata tiap kendaraan di persimpangan. Besarnya penundaan rata -rata total (total delay) yang dialami tiap kendaraan di persimpangan tentunya lebih besar. Sebagai contoh, kendaraan yang datang dari arah jalan Siliwangi menuju ke jalan Pamularsih harus tertunda karena berhenti di sinyal no. 5 dan no. 2.

  Dari contoh diatas terlihat bahwa untuk kasus persimpangan bercabang banyak dengan bundaran, penggunaan besaran stopped delay sebagai dasar penentuan tingkat pelay anan persimpangan bersinyal seperti yang diusulkan Highway Capacity Manual (TRB, 1985) dirasa tidak tepat. Dalam kasus semacam ini, besaran total delay lebih realistis dalam menggambarkan tingkat pelayanan persimpangan bersinyal. Disini penundaan total didefinisikan sebagai besarnya penundaan yang terjadi di persimpangan bersinyal dari dan menuju arah tertentu.

  Pada kasus di persimpangan Kali Banteng, pada fase ke dua, sinyal lalulintas no. 3 (di jalan Pamularsih), no. 4 (di jalan Abdul Rahman Saleh ) , dan no. 6 menyala hijau. Sementara itu sinyal no.7 juga masih berwarna hijau, sedangkan yang lain berwarna merah. Pada fase ini diasumsikan, lalu lintas dari jalan Pamularsih maupun dari jalan Abdul Rahman Saleh hanya terhenti pada sinyal no. 2. Jadi la lu lintas ini bisa langsung berjalan menuju ke arah semua arah, kecuali yang berputar ke arah jalan Pamularsih, tanpa perlu terhenti oleh lampu merah lain. Tetapi pada kenyataannya terjadi konflik yang parah antara lalu lintas dari jalan Pamularsih yang menuju ke jalan Siliwangi dan lalu lintas dari jalan Abdul Rahman Saleh yang menuju ke arah lain selain ke jalan Siliwangi. Akibatnya terjadi kemacetan di dalam bundaran karena lalu lintas dari jalan Pamularsih harus berhenti dan menanti sampai tersedia gap yang cukup untuk lewat.

  Pelanggaran terhadap rambu lalu lintas yang terus menerus terjadi pada fase ini, dimana lalu lintas yang berhenti pada sinyal no. 2 mulai berjalan walaupun sinyal masih menyala merah. Walaupun kuantitas pelanggaran sangat tinggi t etapi tidak ada upaya penegakan oleh petugas POLANTAS. Pelanggaran oleh pengemudi cukup beralasan karena pengemudi tidak melihat adanya potensi konflik maupun bahaya. Hal ini dikarenakan pada fase ini lalu lintas yang bersilangan (yang berasal dari jalan S udirman) berhenti karena sinyal no. 1 menyala merah.

8. KESIMPULAN DAN SARAN

  Tingkat Pelayanan masing-masing sinyal lalu lintas di persimpangan Kalibanteng termasuk kategori yang sangat rendah (Tingkat Pelayanan E). Besarnya penundaan berhenti rata-rata termasuk tinggi (berkisar antara 40 - 50 detik per kendaraan). Terjadi pelanggaran terhadap sinyal yang disebabkan oleh disain sinyal yang tidak logis. Masih terjadi konflik lalu lintas sebagaimana yang terjadi pada persimpangan tanpa sinyal. Jumlah fase y ang banyak (empat fase) dan panjang siklus yang besar (125 detik) diduga sebagai penyebab besarnya penundaan.

  Hasil penelitian mengisyaratkan perlunya dilakukan redisain baik yang menyangkut geometri persimpangan maupun timing sinyal agar persimpangan ter sebut dapat beroperasi dengan lebih baik. Disamping itu tidak adanya pedoman perancangan sinyal mendesak perlunya dikembangkannya prosedur disain atau teknik simulasi sinyal lalu lintas yang dapat digunakan untuk perencanaan timing sinyal pada bentuk -bentuk persimpangan yang tidak lazim seperti halnya persimpangan bercabang banyak. Dalam hal ini juga perlu dipertimbangkan untuk mengadopsi apa yang disebut dengan Bundaran Modern (Ourston & Bared, 1995) di Indonesia, mengingat keberhasilannya dalam menurunkan angka kecelakaan dan meningkatkan kapasitas persimpangan di negara -negara yang telah menerapkannya.

DAFTAR PUSTAKA

  Haryadi, B., dkk., 1999, Efektivitas Traffic Signal di Persimpangan Bercabang Banyak , Laporan Penelitian, FPTK, Institut Keguruan dan Il mu Pendidikan, Semarang. Orcutt, F.L., Jr., 1993, The Traffic Signal Book, Prentice-Hall, Englewod Cliffs, New Jersey. Ourston, L. & J.G. Bared, 1995, Roundabouts: A Direct Way to Safer Highways, Public Roads, Auntumn 1995, Internet. TRB, 1985, Highway Capacity Manual, Special Report 209, Transportation Research Board, Washington, D.C. Homburger, W.S., ed., et. al., 1982, Transportation and Traffic Engineering Handbook, nd.

  2 ed., Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

  th.

  Pline, J.L., ed.,1992, Traffic Engineering Handbook, 4 ed., Institute of Transportation Engineers, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.