PERAN LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM MENDORONG (1)

PERAN LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM MENDORONG
PENEGAKAN DAN PEMENUHAN HAK ASASI MANUSIA DI
INDONESIA

Mata Kuliah : Hukum dan HAM
Dosen Pengampu : Ridwan Arifin, S.H, LL.M.
Di susun oleh:
AYU PURWATI

8111416094

ADITYA BAGUS PRADANA

8111416101

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017

Kata Pengantar


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan

rahmat,

karunia,

serta

taufik

dan

hidayah-Nya

kami

dapat

menyelesaikan makalah dengan baik. Dan juga kami berterima kasih pada

Bapak Ridwan Arifin, S.H, LI.m. selaku dosen mata kuliah Hukum dan HAM yang
telah memberikan tugas ini kepada kami.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum
dan HAM. Dalam makalah ini mengulas tentang Peran Lembaga Kepolisian
dalam Mendorong Penegakan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Tak lupa kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini. Kami juga
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang membangun
sangat

kami

harapkan

dari

para

pembaca


guna

meningkatkan

dan

memperbaiki pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu
mendatang.

Semarang, 2 Oktober 2017

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... .... .....

i

DAFTAR ISI ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... .........

1

B. Rumusan Masalah ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ....

2

C. Metode Penelitian ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... .....

3

BAB II PEMBAHASAN
A. Pembahasan I ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... .....

4

B. Pembahasan II ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ....


6

C. Pembahasan III ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ...

9

D. Pembahasan IV . .... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... .... ..... ..... ..... .... 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ...

14

B. Daftar Pustaka ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... .....

15

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri

manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang
Maha Esa meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan
diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan
hak kesejahteraan yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
Sejak bulan Januari tahun 1999, perhatian terhadap hak asasi manusia dan
penegakan hukumnya di Indonesia menunjukkan arah peningkatan yang
menggembirakan. HAM telah dinyatakan sebagai salah satu kebutuhan yang
mendasar

dalam

konsep

pembangunan

kemanusian

terhadap

seluruh


masyarakat. Saat ini HAM merupakan permasalahan yang hangat dalam
tingkatan nasional suatu negara maupun internasional. HAM bukan lagi
dianggap sebagai masalah domestik atau dalam negeri tetapi HAM sudah
menjadi permasalahan yang bersifat universal dan masyarakat internasional.
Hak Asasi Manusia pada hakikatnya adalah hak-hak dasar yang dimiliki
setiap manusia yang dibawanya sejak lahir. Hak ini tidak dapat diganggu gugat
oleh siapapun dengan sewenang-wenang, sebab dengan adanya perlindungan
dan penghormatan terhadap hak-hak dasar ini, setiap orang dapat menjalani
kehidupannya secara bermartabat.1 Sebaliknya, pelanggaran terhadap hak-hak
dasar ini menyebabkan manusia tidak akan bisa hidup secara bermartabat.
Konsep tentang Hak Asasi Manusia diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara agar tujuan negara mewujudkan kehidupan masyarakat yang
bermartabat dapat tercapai. Adanya konsepsi tentang HAM diharapkan dapat
membatasi kesewenang-wenangan penguasa, sehingga sebagian besar negara
di dunia menempatkan konsepsi tentang HAM dalam konstitusi negaranya.2
Secara mendasar HAM sebagai suatu konsep telah diakui secara
internasional

namun


terkadang

konsepsi

tersebut

menjadi

bias

dan

dipersepsikan secara sepihak sehingga kita sering melihat bahwa setiap pihak
yang berhadapan masing-masing mengklaim dirinya sedang menegakkan
1 Marbun, BN. 2000. Penegakan Hukum dan Hak Asasi di Indonesia. Bina Cipta. Jakarta. Hlm 67
2 Hutauruk, M. 1982. Hak Asasi Manusia dan Warga Negara. Erlangga. Jakarta. Hlm 13

HAM-nya. Akan tetapi memang perlu diperhatikan bahwa konsepsi HAM
mempunyai jangkauan yang luas dan komplek, tetapi kenyataannya hanya

menyentuh para aparat pemerintahan saja khususnya para penegak hukum.
Batas antara kewenangan tugas alat negara/penegak hukum yang merupakan
representasi negara sebagai otoritas kekuasaan dan penyelenggara negara
dengan pelanggaran HAM sangat tipis, untuk itu perlu pemahaman yang
mendalam dari penegak hukum dan alat negara terhadap konsep HAM. Hukum
HAM memusatkan fokus kepada kepentingan pribadi dan kelompok pribadi
dengan pemerintah dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hakhak asasi dan kebebasan pribadi atas penyalahgunaan kekuasaan oleh
pemerintah dan aparat penegak hukum.3
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah kekuatan yang selalu
dibutuhkan masyarakat untuk mengawasi masyarakat yang melanggar aturan
masyarakat yang telah disepakati oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu
dengan kehadiran Polri, diharapkan ketertiban dan rasa aman dapat terjamin
sebagaimana mestinya. Fungsi utama dari Polri adalah penegakan hukum dan
pengayom seta pelindung masyarakat. Dengan diberikannya kewenangan yang
besar

harus

diimbangi


oleh

kontrol

sosial

yang

memadai

sebagai

pertanggungjawaban yang dilaksanakan Polri. Polri memiliki kewenangan
dalam melakukan penegakan hukum yang didasarkan pada hukum positif yaitu
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang
Kepolisian Republik Indonesia (UU No. 2 Tahun 2002). Dalam penegakan hukum
ini acapkali mengandung dua dimensi yaitu memberikan perlindungan hukum
kepada masyarakat namun dimensi lain memiliki potensi untuk disalahgunakan
dan cenderung merugikan masyarakat. Banyak kasus-kasus hukum yang
ditangani oleh polisi yang mendapat apresiasi dari masyarakat namun tidak

sedikit pula mendapat kritik dari masyakarat. KUHAP memberikan kewenangan
yang cukup besar kepada kepolisian untuk melakukan langkah-langkah hukum
terhadap tersangka. Jika kewenangan tersebut tidak amanah dan tidak diawasi
maka berpotensi untuk digunakan secara berlebihan.

B. Rumusan Masalah
3 Senoadji, Indriyanto. 1998. Penyidikan dan HAM dalam Prospektif KUHAP Bidang Penyidikan.
Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Hlm 92.

a. Apa saja tugas Lembaga Kepolisian dalam upaya Pemenuhan Hak Asasi
Manusia di Indonesia?
b. Bagaimana peran Lembaga Kepolisian dalam upaya Perlindungan Hak Asasi
Manusia dan Penegakan Hukumnya?
c. Bagaimana implementasi penegakan dan pemenuhan HAM oleh Lembaga
Kepolisian dalam menangani kasus pelanggaran HAM yang ada dalam
masyarakat?
d. Bagaimana upaya pencegahan pelanggaran HAM di Indonesia?
C. Metode Penulisan
Metode yang di pakai dalam karya tulis ini adalah Metode Pustaka.
Metode Pustaka yaitu metode yang dilakukan dengan mempelajari dan
mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan dengan alat, baik berupa
buku maupun informasi di berbagai media. Data yang di peroleh dari hasil
penelitian dianalisis berdasarkan lima tugas
yang dimiliki oleh ilmu dogmatig sebagai ilmu hukum normatif, lima
tugas
tersebut yakni :
a. Deskripsi hukum positif. Yang meliputi isi maupun struktur hukum positif
mengenai uraian tentang penghakiman massa dari bahan hukum primer.
b. Melakukan sistematisasi hukum positif secara horizontal meliputi 55,
56,

338, 339, 340, 351, 353, 354,355, KUHP, UU No 39 tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian.
Melakukan analisis hukum secara horizontal dengan penalaran non
kontradiksi yaitu antara suatu peraturan perundang-undangan tidak
bertentangan dengan mengatur hal yang sama melainkan dilihat sesuai
azas hukum lex specialis derogat legi generalis yaitu pabila terdapat
antara suatu peraturan perundang-undangan yang sifatnya umum
dengan peraturan perundang-undangan

yang

sifatnya khusus yang

mengatur mengenai materi yang sama, maka yang

dipakai adalah

peraturan yang lebih khusus mengaturnya. Melakukan interprestasi
hukum, dengan menggunakan metode:
i.

Interprestasi gramatikal, yaitu mengartikan suatu tema hukum atau
suatu

bagian

kalimat

dalam

bahan-bahan

menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum.

hukum

primer

ii.

Interprestasi sistematis, secara horizontal yaitu dengan titik
tolak dari sistem aturan mengartikan suatu ketentuan hukum.

c. Menilai hukum positif, bahwa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan

dengan

penghakiman massa mengandung beberapa

penilaian yang mana hal tersebut menyangkut nilai keadilan, nilai
kemanusiaan dan nilai kepastian hukum.
Bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku, hasil penelitian
pendapat hukum

para

ahli

kemudian dideskripsikan sehingga

didapat suatu pengertian yang dijadikan dasar melaksanakan analisis
terhadap dasar

pertimbangan hakim dalam memutus penghakiman

massa. Bahan hukum primer yang berkaitan dengan penghakiman
massa, yang berupa peraturan perundang-undangan dibandingkan
dengan bahan hukum sekunder yang berupa

buku, hasil

penelitian,

pendapat hukum, artikel, majalah sehingga dapat diketahui bahwa das
sein dengan das sollen atau sebalik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tugas

Polri

dalam

upaya

Pemenuhan

Hak

Asasi

Manusia

di

Indonesia
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri memuat
tugas pokok Polri yaitu memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan
hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelaksanaan
kepada masyarakat, untuk itu Polri dituntut harus senantiasa tampil simpatik
dan menyenangkan hati masyarakat, sedangkan dalam tugas penegakan
hukum Polri harus tegas, kuat dan perkasa walaupun terpaksa dengan
menggunakan kekerasan. Kepada polisi diberikan peran tertentu yang tidak
diberikan kepada orang lain. Kepadanya diberikan kekuatan dan hak yang tidak
diberikan kepada orang biasa. Oleh karena keistimewaan tersebut, kepada
polisi dihadapkan tuntutan-tuntutan yang tidak diminta dari warga negara
biasa. Polisi harus berani menghadapi bahaya dan kekerasan, sedang rakyat
dibenarkan menghindari bahaya tersebut. Sebagai manusia biasa, polisi akan
menghadapinya dengan perasaan takut, marah, kecurigaan, dibanding dengan

orang lain pada pekerjaan yang berbeda. Polisi dituntut untuk memberikan
respon terhadap emosi-emosi tersebut secara memadai, seperti menunjukkan
keberanian, keuletan dan kehati-hatian.4
Upaya yang bersifat memaksa tersebut tidak jarang melahirkan tindakantindakan kekerasan,yang didialam masyarakat modern sering diteropong
tajam. Disinilah dilema pelaksanaan tugas Polri itu sering menajam; karena
disatu pihak tindakan kekerasan itu harus dilakukan, sedang dipihak lain
masyarakat memandang tindak kekerasan itu seharusnya tidak dilakukan.
Pada

hakekatnya

polisi

memang

harus

berwajah

ganda.

Dalam

pengertian penulis berwajah ganda hampir sama dengan pengertian dua sisi
dalam satu mata uang logam, dimana satu sisi sebagai penegak hukum yang
harus senantias loyal terhadap hukum dan menegakkannya dan disatu sisi
sebagai pengayom masyarakat yang dengan budaya bangsa kita yang ramah
dan penuh gotong royong. Sehingga melahirkan konsep pelayanan yang
dikenal dengan senyum, sapa dan salam. Disinilah diperlukan kemampuan
anggota Polri untuk melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya dengan
memenuhi

atau

mematuhi

peraturan

perundang-undangan

yang

telah

ditetapkan, agar didalam pelaksanaan tugasnya bertentangan dengan harapan
dan keinginan masyarakat, yang selanjutnya dikatakan sebagai kesalahan
prosedur. Benarkah hal itu dikatakan sebagai kesalahan prosedur ataukah ada
alasan

lain

yang

lebih

mendasar

yang

sebenarnya

memang

terjadi

pelanggaran tersebut.
Masyarakat mengklaim bahwa polri merupakan lembaga yang tidak
memiliki sumberdaya manusia yang profesional untuk melaksanakan tuntutan
tugasnya. Klaim masyarakay dapat dimengerti karena bagaimana tidak hal itu
terjadi. Sebagi bahan pemikiran bahwa pelaksana-pelaksana Polri dilapangan
adalah tamtama dan Bintara, smentara mereka tidak pernah mengetahui
bahkan mempelajari mengenai hak Asasi manusia it sendiri, sperti disampaikan
tadi barangkali hal itu bisa dijadikan bahan pemikiran bagi Polri. Dewasa ini
meskipun HAM telah menjadi isu yang kontroversial namun sampai saat ini
Ham massih merupakan pengetahuan yang berada dalam tataran kaum
intelektual.5 Dikatakan demikaian karena masyarakat Polri secara umum belum
4 Ibid.,
5 Alamsyah, Nur. 2000. Peradilan Terhadap Pelaku Kejahatan HAM Yang Berat. LBH Medan, hlm
44-46

mengetahui secara jelas esensi yang terkandung didalam HAM yang berkaitan
dengan tugas-tugas Kepolisian Umum. Secara khusus HAM tidak terdapat
dalam kurikulum pengajaran yang diberikan kepada para Siswa calon tamtama
atau bintara yang nantinya sebagai petugas pelaksana dilapangan.
Menurut Kunarto, bahwa pandangan masyarakat perlu dikajisecara jujur,
hampir

keseluruhan

mengandung

kebenaran.

Polri

dalam

menjalankan

tugasnya selalu menghadapi kerancuan dan hambatan serta seiring melalaikan
ketentuan-ketentuan mendasar dari aturan yang mengikat dirinya, hal ini
memang sering terjadi
Polisi sebagai hukum yang hidup berusaha untuk menerapkan peraturan
perundang-undangan teoritik ditengah-tengah masyarakat yang majemuk. Hal
ini sangatlah berbeda dengan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa,
hakim, pejabat lembaga pemasyarakatan dan advokat. Polisi terjun langsung
untuk mencari dan mengungkap kasus yang terjadi dengan taruhan pangkat
dan nyawa di dalam kehidupan masyarakat.6 Polisi biasanya menghadapi
berbagai pilihan untuk mencapai tujuan dalam menyelesaikan pekerjaannya,
maka penilaian terhadap polisi didasarkan pada bagaimana ia mampu
membuat pilihan tindakan yang benar untuk tujuan yang benar. Secara singkat,
polisi yang baik mampu menjadikan moralitas sebagai bagian yang integral
dari

pekerjaannya. Pekerjaan polisi yang boleh menggunakan kekerasan

ditujukan untuk mencapai satu dari sekian banyak tujuan moral, yaitu
kelangsungan hidup manusia. Dihadapkan kepada tuntutan yang demikian itu
banyak pekerjaan polisi yang secara moral menjadi problematik. Berikut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia Pasal 14 yang mengatur tentang tugas Kepolisian: 7
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas di jalan;

6 Atmasasmitha, Romli. 2001. Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum.
Mandar Maju. Bandung, hlm 78.

7 Nggeboe, Ferdricka. 2012. Tinjuan Tentang Peran Penegak Hukum dan Perlindungan HAM.
JILS, vol 3, no 8. Hlm 82-90

c. Membina

masyarakat

untuk

meningkatkan

partisipasi

masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap
hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f.

Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa;

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya;
h. Menyelenggarakan

identifikasi

kepolisian,

kedokteran

kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian;
i.

Melindungi

keselamatan

jiwa

raga,

harta

benda,

masyarakat,

dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia;
j.

Melayani

kepentingan

warga

masyarakat

untuk

sementara

sebelum

ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya
dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l.

Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

B. Implementasi Peranan Polri dalam upaya Penegakan hukum dan
Hak Asasi Manusia dimasa depan
Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan hukum
yang dicita-citakan yang bersifat abstrak menjadi wujud yang konkrit, dimana
peran Polri adalah untuk mengkonkritkan hal tersebut. Penegakan hukum
mempunyai tujuan mewujudkan cita-cita hukum berupa ketertiban, kepastian
hukum dan keadilan. Penegakan hukum yang dilakukan tanpa disertai
penegakan terhadap HAM hanya akan mempertahankan otoritas kekuasaan
terhadap kepentingan kekuasaan dan hukum secara luas. Penegakan hukum
sangat

rentan

terhadap

perkembangan

politik

suatu

negara

sehingga

terkadang hukum dapat dikooptasi untuk kepentingan politik atau penguasa

untuk mempertahankan kekuasaannya. Polri sebagai salah satu komponen
fungsi terdepan dalam penegakan hukum

berhadapan langsung dengan

berbagai macam kompleksitas kemasyarakatan didalam Sistem Peradilan
Pidana (Criminal Justice System), namun dalam penegakan hukum yang
dilakukan oleh Polri dalam pelaksanaan tugasnya banyak menemui hambatanhambatan.8
Penegakan hukum mempunyai perbedaan dengan Penegakan HAM,
penegakan hukum bertujuan mewujudkan cita-cita hukum berupa ketertiban,
kepastian

hukum

dan

keadilan

sedangkan

penegakan

HAM

bertujuan

mewujudkan nilai-nilai etika dan moral didalam kehidupan manusia secara
universal, didalam nilai etika dan moral tersebut secara implisit terkandung
nilai penegakan hukum. HAM sebagai suatu bentuk kejahatan yang melibatkan
otoritas kekuasaan sebagai pribadi maupun kelompok, dengan implikasinya
kejahatan ini sulit dideteksi karena pada prinsipnya pelanggaran HAM ini
adalah bentuk kooptasi politik terhadap hukum, dalam prakteknya kejahatan
ini terjadi secara terencana dan sistematis dimana kejahatan atau pelanggaran
ini didukung oleh sistem sosial lainnya sebagai bagian dari sistem politik
negara. Pelanggaran akan terungkap manakala rezim suatu pemerintahan
berakhir atau tumbang sehingga sistem

pendukung lainnya juga tidak

berfungsi.
Institusi pemerintah yang sering terlibat langsung dengan permasalahan HAM
adalah

Polri.

Tujuan

strategi

Polri

dalam

menghadapi

kejahatan

atau

pelanggaran HAM adalah untuk menciptakan anggota Polri yang professional
dengan menguasai pelaksanaan tugas khususnya dibidang penegakan hukum
yang mencakup pelaksanaan tugas dibidang penyelidikan dan penyidikan yang
mempunyai aspek yang berhubungan dengan HAM yang diakui secara
internasional sebagai kejahatan internasional. Sebagai penyidik dan penyelidik
yang melaksanakan tugas penyidikan yang merupakan penyidik utama dalam
KUHAP, Polri mempunyai peran yang besar dalam penegakan hukum yang
berhubungan dengan HAM. Dalam menghadapi pelanggaran HAM Polri sebagai
aparat

penegak hukum perlu melaksanakannya secara terencana serta

didukung oleh kebijaksanaan strategi yang jelas. Dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia telah diintrodusir suatu mekanisme peradilan dimana
8 Malarangeng, Andi Bau. 2012. Solusi Praperadilan Oleh Hakim Komisaris. Jurnal Pandecta, vol
11, no 5, hlm 70

penyidikan dan penuntutan merupakan suatu sub sistem yang berdiri sendiri.
Penyidikan

sebagai

gerbang

proses

dalam

sistem

peradilan

pidana

dilaksanakan oleh lembaga Polri dan dalam proses penyidikan secara umum
dilakukan oleh Polri dan Pegawai Negeri Sipil tertentu sesuai dengan lingkup
kewenangannya, dalam KUHAP pula dinyatakan bahwa Polri merupakan
penyidik

utama

dan

sekaligus

sebagai

coordinator

penyidikan

lainnya,

walaupun hal tersebut diingkari oleh beberapa undang-undang lainnya seperti
UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, UU No. 9 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, namun secara
menyeluruh penyidikan terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan
penegakan HAM dilakukan oleh Polri.
Secara substansial dan formal kelembagaan Polri pada prinsipnya telah
melaksanakan penegakan hukum sebagai rangkaian penegakan terhadap HAM,
namun dalam praktek masih ditemukan kendala-kendala yang bersifat
eksternal dan internal, untuk menyikapi hal tersebut selain upaya untuk
meniadakan

kendala

eksternal

maka

Polri

secara

kelembagaan

perlu

membenahi diri secara internal.9
Peran Polisi dalam Membina Keamanan Masyarakat
Pembinaan yang dimaksud adalah pembinaan segala usaha dan kegiatan
membimbing, mendorong mengarahkan dan menggerakan agar sesuatu dapat
terlaksana dengan baik, rapi menurut rencana atau program pelaksanaan
untuk mencapai hasil yang diharapkan secara maksimal. Sementara yang
dimaksud masyarakat adalah segenap manusia Indonesia, baik individu
maupun

kelompok

di

wilayah

hukum

Indonesia.

Pembinaan

keamanan

masyarakat melaksanakan tugas pokok diatas dengan cara mengadakan
bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai hukum, mengadakan
pendidikan

dan

ketereampilan

pelatihan

untuk

agar

menjaga

masyarakat
keamanan

memiliki

dan

kemampuan

ketertiban

dan

masyarakat.

Pembinaan masyarakat juga melakukan pelayanan kepada masyarakat, seperti
pelayanan laporan, dan pelayanan bantuan Polisi. Para Pembina masyarakat
dari polri berperan membina dan mengembangkan daya tangkal, daya cegah,
daya penanggulangan, dan daya penyesuaian masyarakat.

9 Mercury Benedict, Polish and Human Rights, International Journal and Educations and the Art, 2012, vol 18, no 6,
hlm 304

Seorang anggota polisi dituntut untuk menentukan sikap yang tegas
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Apabila salah satu tidak tepat
dalam menentukan atau mengambil sikap, maka tidak mustahil aka mendapat
cercaan, hujatan, dan celaan dari masyarakat. oleh karena itu dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya harus berlandaskan pada etika moral
dan hukum, bahkan menjadi komitmen dalam batin dan nurani bagi setiap
insan polisi, sehingga penyelenggaraan fungsi, tugas dan wewenang kepolisian
bisa bersih dan baik. Dengan demikian akan terwujud konsep good police
sebagai prasyarat menuju good-governance.
Dalam melaksanakan tugasnya terutama dalam melakukan pemeriksaan,
polisi kadangkala mempunyai hambatan-hambatan dalam menjaga supremasi
HAM, tetapi polisi tetap harus menghormati hak-hak tersangka, yaitu antara
lain:
1. Hak

untuk

dilakukan

pemeriksaan

dengan

segera,

penuntutan

di

pengadilan.
2. Hak untuk menjelaskan kepada penyelidik dan hakim dengan bebas.
3. Hak untuk mempunyai penerjemah.
4. Hak

untuk

didampingi

pengacara/penasehathukum

dalam

setiap

pemeriksaan.
5. Hak WNA untuk menghubungi Kedutaan negaranya ketika mereka menjadi
tersangka dalam suatu kasus kejahatan.
6. Hak untuk menghubungi dokter.
7. Hak untuk didampingi pengacaraketika tersangka ditahan dan untuk
mendampinginya selama proses di pengadilan.
Hal yang patut disayangkan saat ini ialah banyaknya polisi yang masih
belum bisa menjalankan fungsi dan perannya secara baik dan benar. Polisi
yang

seharusnya

berfungsi

sebagai

pihak

penegak

hukum

justeru

memanfaatkan setatusnya tersebut untuk melanggar hukum, membela pihak
yang salah asalkan ada kompensasi dan menelantarkan pihak yang benar yang
mestinya mendapatkan pembelaan.
C. Implementasi Penegakan dan Pemenuhan HAM oleh Lembaga
Kepolisian dalam Menangani Kasus yang berkaitan dengan HAM
yang ada di dalam Masyarakat

Pada Kasus Proses Peradilan Komando Jihad, bentuk pelanggaran yang
dilakukan oleh aparat Kepolisian ialah tidak menjalankan fungsi penyelidikan
dan penyidikan sebagaimana mestinya dalam perkara ini. 10 Tugas kepolisian
diambil alih oleh Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban)
dan Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah). Tidak terdapat dokumen yang
menunjukkan sikap independensi dan profesional dari Polri terhadap langkahlangkah pelanggaran undang-undang tentang kepolisian yang dilakukan oleh
komkamtib/laksusda.
Peran Lembaga Kepolisan dalam Kasus Pesta Miras yang kerap terjadi di
masyarakat.
Dalam menangani sebuah masalah sosial dibutuhkan kerjasama dari seluruh
pihak terkait baik pemerintah maupun masyarakat. Sukses tidaknya upaya
mengatasi masalah sosial bergantung pada komitmen masing-masing pihak
untutk menjalankan perannya dengan maksimal sehingga masalah tersebut
dapat teratasi. Begitu juga Polri sebagai salah satu pengemban fungsi
pemerintahan yang mempunyai tugas menegakkan hukum harus benar-benar
melaksanakan perannya dengan maksimal. Meningkatkan peran serta Polri
dalam memecahkan masalah sosial pesta miras ini dapat dilakukan denan cara
mengevaluasi pelaksanaan tugas yang telah dilaksanakan selama ini dan
melakukan

peningkatan

kinerja.

Upaya-upaya

yang

dapat

mendorong

penanganan pesta miras antara lain:
1.

Melakukan razia terhadap peredaran miras ilegal.

2.

Melakukan penertiban terhadap penjual miras yang tidak sesuai dengan
aturan.

3.

Memberi masukan kepada pemerintah untuk membuat peraturan yang
lebih ketat. Contohmya tentang penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan
No. 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap
Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Peraturan
Menteri

ini

terbit

menyempurnakan

Peraturan

Menteri

sebelumnya

mengenai peredaran minuman beralkohol dimana sejak diberlakukannya
Permendag No 6 Tahun 2015 ini maka minimarket dan toko kecil dilarang
10 Herry, Susilowati. 2011. Kedudukan Hirarki Prosedur Tetap Bagi Anggota Kepolisian NKRI
Dalam Menangani Kerusuhan Massa dan Hubungannya Dengan HAM. Jurnal Perspektif. Vol 16,
no 1. Hlm 39-45.

menjual minuman beralkohol. Dapat kita lihat bahwa berdasarkan feedback
dari bawah maka pemerintah menyempurnakan kebijakan publik yang
dikeluarkannya. Untuk itu sangat perlu kiranya bagi Polri untuk memberikan
masukan kepada pemerintah untuk membuat peraturan perundangundangan yang lebih ketat sehingga dapat menekan kejadian pesta miras
di masyarakat.
4.

Menggalakkan

sambang

kepada

masyarakat

untuk

menyampaikan

himbauan agar menghindari pesta miras.
Yang berikutunya mengenai kasus kecelakaan lalu lintas jika sang korban tidak
melapor, bagaimanakah polisi dalam menangani hal tersebut?
Untuk mengetahui apakah kasus kecelakaan lalu lintas tetap diproses hukum
meski korban tidak melaporkannya ke polisi, maka kita perlu mengetahui jenis
delik (tindak pidana) dalam kecelakaan lalu lintas itu termasuk delik biasa
(laporan) atau delik aduan.
Pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara
digantungkan pada jenis deliknya. Ada dua jenis delik sehubungan dengan
pemrosesan perkara, yaitu delik biasa (laporan) dan delik aduan. Dalam delik
biasa, perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari pihak yang
dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada
pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara
tersebut.
Berbeda dengan delik biasa. Dalam artikel Adakah Delik Aduan yang
Tetap Diproses Meski Pengaduannya Sudah Dicabut? dikatakan bahwa delik
aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau
laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr. Drs. E
Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan penuntutan
terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan
(korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut
laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah
terjadi suatu perdamaian.
Kasus kecelakaan lalu lintas merupakan delik biasa (laporan). Hal ini
dapat kita ketahui dari Pasal 232 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan(“UU LLAJ”):
Setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya
Kecelakaan Lalu Lintas wajib:

a.
b.

memberikan pertolongan kepada korban Kecelakaan Lalu Lintas;
melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara Republik

Indonesia; dan/atau
c.

memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Karena merupakan delik biasa (laporan), maka menjawab pertanyaan

Anda, kasus kecelakaan lalu lintas dapat diproses hukum oleh pihak kepolisian
meskipun si korban tidak melapor. Hal ini juga dikarenakan diprosesnya kasus
kecelakaan lalu lintas tidak bergantung pada pengaduan dari korban.
Adapun jika korban memaafkan pelaku dengan sepakat untuk berdamai,
maka pada dasarnya perdamaian juga tidak menghapuskan tuntutan pidana.
Hal ini dapat kita temukan pengaturannya dalam Pasal 235 UU LLAJ yang
berbunyi:
(1) Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat(1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau
Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris
korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak
menggugurkan tuntutan perkara pidana.
(2) Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat
Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf
b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum
wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan
tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.
Penjelasan lebih lanjut mengenai pasal ini dapat Anda simak dalam
artikel Apakah Perdamaian dalam Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Menggugurkan
Tuntutan?
Jadi pada dasarnya, tanpa adanya pengaduan dari korban kecelakaan lalu
lintas, proses hukum tetap dapat dilakukan karena kecelakaan lalu lintas
adalah delik biasa.
Dasar hukumnya adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
D. BAGAIMANA

UPAYA

PENCEGAHAN

PELANGGARAN

HAM

DI

INDONESIA?
1.

Pendekatan security yang terjadi di era orde baru dengan

mengedepankan upaya refresif menghasilkan stabilitas keamanan semu dan

berpeluang besar menimbulkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia
tidak boleh terulang kembali, untuk itu
Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011,
ISSN 1693-3559
supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan, pendekatan hukum dan
dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.

Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini terbukti tidak memuaskan

masyarakat, bahkan berdampak terhadap timbulnya berbagai pelanggaran hak
asasi manusia, untuk itu desentralisasi melalui otonomi daerah dengan
penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah perlu dilanjutkan, otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi
ketidakadilan tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindak lanjuti dan
dilakukan pembenahan atas segala kekurangan yang terjadi.
3.

Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa

menjadi pelayan masyarakat dengan cara mengadakan reformasi di bidang
struktural,

invromental,

dan

kultural

mutlak

dilakukan

dalam

rangka

meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai
bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah.
4.

Perlu penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik

vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang
melanggara hak asasi manusia baik oleh sesame kelompok masyarakat dengan
cara

menyelesaikan

akar

permasalahan

secara

terencana,

adil

dan

menyeluruh.
5.

Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan

perlindungan yang sama bagi semua ahak asasi manusia di bidang, politik,
ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan bidang lainnya, termasuk hak untuk hidup,
persamaan, kebebasan dan keamanan pribadi, perlindungan yang sama
menurut hukum, bebas dari diskriminasi, kondisi kerja yang adil. Untuk itu
badan-badan penegak hukum tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap
perempuan,

lebih

konsekuen

dalam

mematuhi

Konvensi

Perempuan

sebagaimana yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1984,
mengaktifkan fungsi Komnas anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Harus
dibuat

peraturan

perundang-undangan

yang

memadai

yang

menjamin

perlindungan hak asasi perempuan dengan mencantumkan sanksi yang
memadai terhadap semua jenis pelanggarannya.
Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011,
ISSN 1693-3559
6.

Anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan

manfaat dari semua jaminan hak asasi manusia yang tersedia bagi orang
dewasa. Anak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan
harga dirinya, yang memudahkan mereka berinteraksi didalam masyarakat,
anak tidak boleh dikenai siksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam dan
tidak manusiawi, pemenjaraan atau penahanan terhadap anak merupakan
tindakan ekstrim terakhir, perlakuan hukum terhadap anak harus berbeda
dengan orang dewasa, anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam
rangka menumbuhkan suasana phisik dan psikologis yangmemungkinkan anak
berkembang secara normal dengan baik, untuk itu perlu dibuat aturan hukum
yang memberikan perlindungan hak asasi anak, setiap pelanggaran terhadap
aturan harus ditegakkan secara professional tanpa padang bulu.
7.

Supremasi hukum harus ditegakkan, sistem peradilan harus berjalan

dengan baik dan adil, para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban
tugas yang dibebankan kepadanya dengan memberikan layanan yang baik dan
adil kepada masyarakat penari keadilan, memberikan perlindungan kepada
semua orang dari perbuatan melawan hukum, menghindari tindakan kekerasan
yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum.
8.

Perlu adanya control dari masyarakat (social control) dan pengawasan

dari lembaga politik terhadap upaya-upaya penegakan hak asasi manusia yang
dilakukan oleh pemerintah
BAB III
KESIMPULAN
Perhatian terhadap hak asasi manusia dan penegakan hukumnya di
Indonesia menunjukkan arah peningkatan yang menggembirakan. HAM telah
dinyatakan sebagai salah satu kebutuhan yang mendasar dalam konsep
pembangunan kemanusian terhadap seluruh masyarakat. Saat ini HAM
merupakan permasalahan yang hangat dalam tingkatan nasional suatu negara
maupun internasional.

Polri

memiliki

kewenangan

dalam

melakukan

penegakan

hukum

yang

didasarkan pada hukum positif yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (UU No. 2
Tahun 2002). Dalam penegakan hukum ini acapkali mengandung dua dimensi
yaitu memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat namun dimensi
lain

memiliki

potensi

untuk

disalahgunakan

dan

cenderung

merugikan

masyarakat. Banyak kasus-kasus hukum yang ditangani oleh polisi yang
mendapat apresiasi dari masyarakat namun tidak sedikit pula mendapat kritik
dari masyakarat. KUHAP memberikan kewenangan yang cukup besar kepada
kepolisian untuk melakukan langkah-langkah hukum terhadap tersangka. Jika
kewenangan tersebut tidak amanah dan tidak diawasi maka berpotensi untuk
digunakan secara berlebihan.
Strategi polri dalam menghadapi pelanggaran HAM dapat dinyatakan
sebagai upaya profesionalitas dibidang penegakan hukum, penegakkan HAM
secara latent merupakan penegakkan hukum yang baik secara sistematis
merupakan strategi

penegakan HAM, selain itu pula anggota Polri perlu

diberikan pengetahuan tentang hak dan kewajibannya dalam menegakkan
hukum sesuai dengan hukum nasional maupun standar internasional, sehingga
terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas
kepolisian
Untuk menanggulangi semakin meningkatnya serta mencegah agar
pelanggaran hak asasi manusia dimasa lalu tidak terulang kembali dimasa
sekarang dan masa yang akan datang merupakan sudah menjadi kewajiban
bersama

segenap

komponen

bangsa

sehingga

diharapkan

dengan

berpartisipasinya masyarakat Indonesia akan mendorong suasana yang
kondusif dan akomodatif terhadap penegakan HAM.

Daftar Pustaka
Marbun, BN. 2000. Penegakan Hukum dan Hak Asasi di Indonesia. Bina
Cipta. Jakarta.
Hutauruk, M. 1982. Hak Asasi Manusia dan Warga Negara. Erlangga.
Jakarta.
Senoadji, Indriyanto. 1998. Penyidikan dan HAM dalam Prospektif KUHAP
Bidang Penyidikan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Alamsyah, Nur. 2000. Peradilan Terhadap Pelaku Kejahatan HAM Yang
Berat. LBH Medan
Atmasasmitha, Romli. 2001. Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia dan
Penegakan Hukum. Mandar Maju. Bandung
Nggeboe, Ferdricka. 2012. Tinjuan Tentang Peran Penegak Hukum dan
Perlindungan HAM. JILS.
Benedict, Mercury A. 2012. Polish and Human Rights. International Jurnal
and Educations and The Arts
Malarangeng, Andi Bau. 2012. Solusi Praperadilan Oleh Hakim Komisaris.
Jurnal Pandecta.
Herry, Susilowati. 2011. Kedudukan Hirarki Prosedur Tetap Bagi Anggota
Kepolisian NKRI Dalam Menangani Kerusuhan Massa dan Hubungannya Dengan
HAM. Jurnal Perspektif