PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA

PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA

Tugas Akhir

di susun oleh

Dwi Hermanto
11.11.4695
Kelompok C
Drs. Tahajudin sudibyo

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER
AMIKOM
YOGYAKARTA
2011

PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA
Tugas Akhir
Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Akhir Semester
Kuliah Pendidikan Pancasila


di susun oleh
Dwi Hermanto
11.11.4695
Kelompok C
Drs. Tahajudin sudibyo

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER
AMIKOM
YOGYAKARTA
2011

ABSTRAK
Pendidikan Di indonesia Memiliki kelemahan di bidang akademik sekarang pada masa
Orde baru pendidikan hanya mementingkan Status atau Kualitas Sekolah yang lebih
unggul di bandingkan dengan Kualitas Peserta didik yang harusnya lebih di utamakan.
pendidikan budaya dan karakter bangsa memiliki makna sebagai pendidikan yang
mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga
nilai-nilai dan karakter tersebut dapat tertanam di dalam diri mereka serta

mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan pribadinya, sebagai anggota
masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif.

1. Latar Belakang
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa kini menjadi hal yang perlu di perhatikan karena
banyaknya hal- hal yang dapat mempengaruhi penurunan dalam Kredibilitas Suatu
Instansi Negara yang menangani hal tersebut, tidak hanya itu dapat menghambat kemajuan
dalam Bidang Pendidikan, Kebudayaan, teknologi dan karakter bangsa itu sendiri.
Persoalan yang dapat menimbulkan

permasalahan Pendidikan budaya dan karakter

Bangsa yang muncul di Masyarakat seperti Kekerasan, Pelecehan Seksual, Korupsi,
Tindak Kriminal, Perkelahian Masa, Kehidupan Ekonomi Yang konsumtif, Kehidupan
Politik yang tidak Produktif dan Sebagainya..
Berbagai hal Yang dapat pemerintah Upayakan untuk mengurangi permasalahan yang
dapat menurunkan Kredibilitas Negara Dalam Hal Pendidikan Budaya dan karakter
Bangsa antara lain diajukan Seperti peraturan, Undang- undang, peningkatan upaya
pelaksanaan dan Penerapan Hukum yang Lebih Kuat.
Usaha lain yang telah di upayakan oleh pemerintah antara lain pendidikan. Yang dapat

mengurangi masalah Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, pendidikan adalah salah
satu alternatif yang besifat preventif karena pendidikan adalah aspek yang dapat
membangun generasi bangsa yang lebih Baik dari generasi yang sebelumnya. Pendidikan
di harapkan dapat mengembangkan Kualitas Generasi Muda Bangsa yang dapat
mengurangi dan Memperkecil faktor berbagai masalah Pendidikan Budaya Dan karakter
Bangsa. Pendidkan adalah faktor yang memiliki daya tahan dan dampak yang lebih kuat di
dalam Masyarakat.
Kepedulian masyarakat terhadap Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa telah menjadi
kepedulian Pemerintah, Berbagai upaya telah dilakukan guna dapat meningkatkan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Di negara Kita ini. Bebagai Upaya untuk

mengembangkan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa telah di lakukan di berbagai
Instansi Pemerintahan ataupun direktorat terutama di berbagai Unit kementrian pendidikan
Nasional. Keinginan Masyarakat dan Kepedulian pemerintah mengenai Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa dan menjadi salah satu Program unggulan Pemerintah,
pedoman sekolah ini adalah rancangan operasionalisasi kebijakan pemerintah dalam
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.

a. Pengertian Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Memiliki makna sebagai pendidikan yang

mengembangkan Nilai- nilai Budaya dan Karakter Bangsa pada diri Peserta didik sehingga
nilai- nilai dan Karakter tersebut dapat tertanam di dalam diri mereka serta
mengimplementasikan Nilai-nilai tersebut dalam pribadinya, sebagai Anggota masyarakat,
dan Warganegara yang Religius, Nasional, Produktif dan Kreatif. Sehingga dapat
memberikan aparesiasi kepada seluruh kalangan istitusi atapun lembaga- lembaga yang
bersangkutan agar dapat memberikan hasil yang bisa membanggakan Negara dengan di
dukungnya pendidikan dan Karakter bangsa yang Memadai.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan
potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam
mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan
bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan
budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu,
pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan
juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas
kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang.
Budaya adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai, norma, moral dan keyakinan (bilief)
yang dihasilkan masyarakat. Karakter adalah tabiat, watak, atau kepribadian seseorang
yang terbentuk dari proses internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakininya dan
digunakannya sebagai landasan, cara pandang, berpikir, dan bertindak. Jadi karakter dan
budaya adalah sebuah sistem yang erat berkaitan antara produk dan sistem untuk

mendapatkan produk budaya dan masyarakat.
Karakter Bangsa adalah suatu sistem yang digunakan untuk mengatur suatu tata letak
atau susunan pemerintahan Bangsa yang di gunakan untuk memperjelas suatu pemikiran
dan keadaan yang akan di gunakan dalam menjalankan pemerintahan tersebut.

Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Pada dasarnya adalah Pengembangan Nilainilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi Bangsa Indonesia, Agama, budaya,
dan Nilai- nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan Nasional.

2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat di simpulkan beberapa Masalah yang terdapat dalam
Latar belakang tersebut antara lain :
1. Tingginya Harga Pendidikan Pada Zaman Sekarang
2. Kurangnnya Kesadaran dalam Pendidikan udaya dan Karakter Bangsa
3. Mahalnya Biaya Sekolah yang Memiliki Status RSBI dan SBI walaupun Sebenarnya
tidak jauh Beda dengan Sekolah Reguler lainnya dalam segi kualitas, kuantitas dan
Moralitas.

3. Pendekaatan
a. Historis
Pendidikan sebagai suatu proses berkesinambungan yang ada sejak manusia itu ada,

memiliki suatu perkembangan yang dinamis sesuai dengan jiwa zaman (zeitgist)
dalam suatu masa tertentu. Pendidikan mengikuti pola kehidupan masyarakat dan
sistem kebudayaan yang melatarbelakanginya. Sehingga tidak jarang peralihan atau
pergantian dari suatu sistem kekuasaan akan mengakibatkan pula perubahan substansi
dalam bidang pendidikan. Dari zaman prasejarah, zaman kuno, zaman pertengahan
sampai pada zaman modern pendidikan mengalami suatu perubahan secara dinamis
sampai pada rezim orde baru di bawah kekuasaan Soeharto.
Setelah Rezim orde baru mengalami keruntuhan pada tahun 1998 maka dimulaialah
suatu zaman perubahan (Reformasi) yang tentu saja ikut merubah tatanan sistem
pendidikan di Indonesia. Ketidakteraturan politik, ekonomi, sosial dan budaya
Indonesia pada saat itu hingga sekarang mengalami perubahan – perubahan secara
signifikan. Seiring dengan hal tersebut, pendidikan juga tidak terlepas dari dampak
perubahan politik. Untuk mengkaji dan mengidentifikasi permasalahan tersebut, maka
kami mencoba memaparkan hasil tinjauan pustaka mengenai perkembangan
pendidikan pada jaman reformasi hingga sekarang.

b. Sosiologis
Menurut Nasution (1999:2-4)
sosiologi pendidikan di atas menunjukkan bahwa aktivitas masyarakat dalam
pendidikan merupakan sebuah proses sehingga pendidikan dapat dijadikan instrument

oleh individu untuk dapat berintraksi secara tepat di komunitas dan masyarakatnya.
Pada sisi yang lain, sosiologi pendidikan akan memberikan penjelasan yang relevan
dengan kondisi kekinian masyarakat, sehingga setiap individu sebagai anggota
masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan
berbagai fenomena yang muncul dalam masyarakatnya.
Namun demikian, pertumbuhan dan perkembangan masyarakat merupakan
bentuk lain dari pola budaya yang dibentuk oleh suatu masyarakat. Pendidikan
tugasnya tentu saja memberi penjelasan mengapa suatu fenomena terjadi, apakah
fenomena tersebut merupakan sesuatu yang harus terjadi, dan bagaimana mengatasi
segala implikasi yang bersifat buruk dari berkembangnya fenomena tersebut,
sekaligus memelihara implikasi dari berbagai fenomena yang ada.
c. Yuridis
Pendekatan Yuridis Perkuliahan Pendidikan Pancasila di pendidikan tinggi
tertuang dalam undang- undang No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan
Nasional berdasarkan Pancasila.
Dalam SK Dikti No.43/Dkti/Kep/2006, dijelaskan Bahwa Misi pendidikan
Kewarganegaraan adalah untuk memantapkan kepribadian mahasiswa agaar secara
konsisten mampu mewujudkan nillai- nilai dasar pancasila.rasa Kebangsaan Cinta
tanah air dalam menguasai dan mengembangkan Ilmu pengetahuan dan Teknologi.
Jadi sesua dengan SK Dikti No.43/Dikti/kep/2006 tersebut maka secara material

melalui pendidikan kewarganegaraan maka materi pancasila bahkan filsafat pancasila
adalah wajib diberikan di pendidikan tinggi, dan secara eksplisit terdapat dalam
rambu- rambu pendidikan kepribadian.

4. Pembahasan
Menurut, Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si
Selasa, 21 Juni 2011 03:01
Runtuhnya Karakter Bangsa dan Urgensi Pendidikan Pancasila (2 Habis)
Selain terus terjadinya pergeseran kebijakan pendidikan Pancasila dari masa ke masa,
persoalan lain yang tidak kalah pentingnya dalam menyumbang menurunnya karakter bangsa
adalah kebijakan mengenai sekolah-sekolah unggulan, seperti RSBI (Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional), SBI (Sekolah Bertaraf Internasional), program akselerasi, sekolah
favorit dan sebagainya.

Sebagaimana saya tulis beberapa kali sebelumnya, terdapat

kesalahan konsep yang sangat mendasar tentang kebijakan SBI atau RSBI. Saya tidak tahu
dari mana kesalahan pemahaman mulai terjadi. Tetapi akibat dari kesalahan itu sangat fatal.
Status RSBI sejatinya hanya pencitraan publik dan melegitimasi penarikan beaya yang besar
dari masyarakat.

Sebagaimana diketahui, kebijakan mengenai RSBI dan SBI berawal dari Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 50 ayat 3 yang
menyatakan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan
menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. Tampaknya, kata “bertaraf internasional”
menjadi kata kunci yang disalahartikan. Dengan hanya menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar, sekolah sudah menyebut dirinya sebagai
sekolah internasional atau bertaraf internasional. Bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa
internasional memang jelas. Tetapi menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar
dalam pengajaran dan karena itu berstatus RSBI tentu tidak tepat. Internasionalisasi sekolah
atau menjadikan sekolah “go international” mestinya meliputi semua komponen, mulai
sistem pendidikan, kurikulum, dan kualitasnya yang internasional.
Lagi pula tidak perlu semua sekolah diarahkan menjadi SBI atau RSBI. Kenyataannya di
lapangan kelas SBI atau RSBI sama saja dengan kelas-kelas reguler. Banyak guru yang
belum siap mengajar di kelas internasional dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar. Yang jelas perbedaannya adalah sekolah dengan status RSBI memungut
beaya jauh lebih tinggi daripada sekolah biasa dengan alasan untuk membiayai program
mandiri seperti kunjungan ke sekolah mitra di luar negeri, program pertukaran siswa di luar
negeri, dan mengikuti ujian bersertifikat internasional seperti Cambridge di mana setiap mata

pelajaran siswa dipungut beaya sekitar Rp. 1 juta. Karena itu, beaya yang diperlukan untuk

mengikuti sertifikat internasional ya tinggal menghitung berapa mata pelajaran yang diambil.
Beberapa sekolah berstatus RSBI memungut siswa rata-rata Rp. 25 juta. Beaya itu terlalu
mahal untuk ukuran masyarakat Indonesia. Memang ada yang mampu membayar beaya
sebesar itu, tetapi jumlahnya tidak banyak. Karena itu, tanpa disadari praktik pendidikan
semacam itu melahirkan kelas ekslusif yang hanya bisa dinikmati oleh hanya segelintir orang.
Banyak sekolah yang tadinya baik dan menjadi kebanggaan masyarakat kemudian setelah
berubah menjadi sekolah RSBI sulit diakses oleh masyarakat luas, terutama yang tidak
mampu secara ekonomis. Padahal, pendidikan adalah hajat hidup semua anggota masyarakat,
bukan oleh sekelompok orang saja.
Pendidikan adalah hak setiap warga negara dan merupakan kebutuhan sangat mendasar setiap
warga negara. Karena itu, adalah kewajiban pemerintah untuk memberikan kesempatan
kepada semua warga negara memperoleh pendidikan yang layak. Pendidikan bukan monopoli
anggota masyarakat yang berduit. Ada gejala program internasionalisasi pendidikan di
sekolah-sekolah kita berpotensi melahirkan ketidakadilan memperoleh pendidikan. Kalaupun
sekarang ada kebijakan subsidi silang di RSBI untuk menutupi beaya operasional bagi siswa
yang tidak mampu sebanyak 20% dari keseluruhan siswa, maka artinya yang 80% hanya akan
diisi oleh siswa yang mampu saja. Di sini terjadi praktik liberalisasi pendidikan dari sekolah
publik yang tadinya sekolah unggulan menjadi sekolah mahal dan elitis berpayung RSBI.
Jika di sekolah siswa sudah hidup dalam praktik pendidikan elitis, maka wajar jika sudah
lulus dan menjadi anggota masyarakat sikap mereka juga elitis. Mereka tidak mau

berinteraksi dengan anggota masyarakat yang lain dan tidak merasa perlu, karena
kebutuhannya sudah terpenuhi. Padahal, pendidikan bukan sekadar praktik pengajaran
(mengajarkan ilmu ke anak didik) dari tidak tahu menjadi tahu, melainkan pula proses
pembangunan watak anak didik dari yang tidak berbudaya menjadi orang yang berbudi
pekerti luhur.
Persoalan mendasar bagi dunia pendidikan diIndonesia adalah masalah mutu atau kualitas
dan pemerataan. Faktor utama paling utama yang menentukan mutu tidaknya pendidikan
adalah pendidik atau guru. Di tangan guru yang berkualitas, saya sangat yakin akan lahir
anak didik yang berkualitas. Sebaliknya, jika guru tidak berkualitas, maka program apapun
yang dikembangkan sekolah tidak akan banyak berdampak. Karena itu, untuk meningkatkan

mutu, guru harus menjadi prioritas program pendidikan, bukan menginternasionalisasikan
sekolah. Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan kualitas pendidik
sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah dengan lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Lewat undang-undang tersebut, hak dan kewajiban guru
diuraikan dengan jelas. Salah satu program untuk mengimplementasikan undang-undang
tersebut adalah program sertifikasi guru yang saat ini sedang berjalan. Sayang program ini
juga dirasa tidak banyak berdampak untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Mulai proses
sertifikasi, penilaiannya hingga pasca-sertifikasi tidak direncanakan dengan baik. Semuanya
hanya formalitas. Bahkan setelah lulus sertifikasi, guru kembali lagi ke kondisi sebelumnya.
Kedisplinan kurang, jam wajib mengajar tidak dipenuhi, semangat untuk meningkatkan ilmu
terkait dengan bidang studinya juga tidak sebagaimana diharapkan. Malah ada guru yang
sudah lulus sertifikasi membagi jam wajib mengajarnya dengan guru honorer dan
memberinya imbalan dari tunjangan yang diperoleh. Jika kondisi semacam ini terus
berlangsung, maka betapa tragisnya dunia pendidikan kita.
Padahal, akibat kebijakan tersebut, pemerintah mengeluarkan dana dalam jumlah yang
sangat besar, karena sesuai undang-undang setiap guru yang sudah lulus sertifikasi akan
memperoleh tunjangan sebesar satu kali gaji pokok. Harapan pemerintah adalah dengan gaji
yang memadai, guru akan bisa bekerja penuh konsentrasi. Tidak ada lagi guru yang
melakukan pekerjaan sambilan di luar mengajar. Sebagai profesi, maka guru harus
memperoleh penghasilan yang layak. Nafas undang-undang sudah sangat baik. Tetapi
implementasi di lapangan menyimpang dari tujuan semula. Perubahan yang nyata yang bisa
kita saksikan hanyalah semua guru yang disertifikasi sudah berkualifikasi pendidikan S1. Di
sini pun juga ada persoalan. Sebab, tidak sedikit guru yang mengejar pendidikan S1 lewat
program pendidikan asal-asalan. Kuliah di kantor-kantor pada hari Sabtu – Minggu, dua
tahun sudah lulus sarjana asal bayar sejumlah uang, skripsi sebagai karya ilmiah akhir
dibuatkan. Para guru mengejar pendidikan S1 hanya untuk memenuhi syarat agar bisa ikut
sertifikasi, bukan untuk meningkatkan kompetensi keilmuannya.
Untuk memenuhi undang-undang guru dan dosen, pemerintah mengeluarkan dana yang tidak
sedikit. Dalam perhitungan kasar, jika semua guru sudah lulus sertifikasi pada tahun 2015,
beaya yang dikeluarkan pemerintah untuk tunjangan sertifikasi mencapai Rp. 200 trilyun
lebih. Beaya sebesar itu sebenarnya cukup untuk membangun pendidikan yang berkualitas,
asal dengan perencanaan yang sangat baik dan dikelola oleh orang-orang yang bertanggung

jawab. Kebijakan pemerintah dengan mengembangkan sekolah-sekolah unggulan seperti
diurakan di atas perlu segera dievaluasi. Sungguh sebuah ironi jika memudarnya karakter
bangsa sebagaimana kita rasakan akhir-akhir ini justru berawal dari praktik pendidikan yang
mestinya menjadi lokomotif pembangunan manusia unggul, tidak hanya secara akademik,
tetapi juga moral dan nilai-nilai luhur bangsa.
Diakui bahwa era globalisasi sekarang ini memang menuntut kualitas unggul, mandiri, dan
inovatif. Tetapi tidak berarti pendidikan karakter dan penanaman nilai ditinggalkan. Bangsa
besar bukan sekadar maju secara teknologi dan ilmu pengetahuan, tetapi juga yang
berkarakter dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang telah ada. Sekolah unggul juga
bukan sekadar berlabel internasional dan ekslusif dengan segudang prestasi akademik, tetapi
juga berkarakter. Ini bisa dicapai jika pendidikan dijalankan dengan landasan falsafah hidup
bangsa secara jernih. Berbagai gejala sosial sebagaimana digambarkan pada awal tulisan
sebelumnya tampaknya tidak lepas dari kebijakan dan praktik pendidikan yang berlangsung
beberapa kurun waktu terakhir. Karena itu, saya mengajak semua pihak yang terpanggil
untuk membenahi pendidikan kita merenung dan memberikan masukan ke pemerintah demi
terwujudnya pendidikan yang kita harapkan. Masih sangat banyak pekerjaan rumah yang
harus kita lakukan untuk membenahi pendidikan kita.
5. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Pendidikan pada zaman reformasi mengalami suatu perkembangan yang pada dasarnya
lebih maju daripada pendidikan pada zaman orde baru. Pendidikan pada zaman reformasi
mengutamakan pada perkembangan peserta didik yang lebih terfokus pada pengelolaan
masing – masing daerah (otonomi pendidikan). Dalam hal tenaga kependidikan
diberlakukan suatu kualifikasi profesional untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan
Indonesia. Sedangkan sarana dan prasarana juga sudah mengalami suatu peningkatan yang
baik.
Namun daripada hal tersebut pendidikan yang ada di Indonesia masih belum mengalami
suatu pemerataan. Ini terlihat dari adanya beberapa sekolah –sekolah terutama di daerah
pedalaman masih terdapat keterbatasan dalam berbagai aspek penyelenggaraannya.
Dinamika sosial politik Indonesia yang juga berdampak pada perubahan kurikulum

merupakan suatu bentuk penyempurnaan dalam bidang pendidikan untuk meningkatan
mutu pendidikan di Indonesia.
Saran
Pendidikan Di Negara Indonesia kurang Berkembang sebab adanya Perbedaan Status
Antara sekolah yang satu dengan yang lain di karenakan adanya sistem akreditasi yang
membedakan antara sekolah reguler dan RSBI ataupun SBI, karena semua itu hanya di
jadikan Sebagai patokan Beban Biaya yang akan di pungut sekolah tersebut. Sekolah SBI
ataupun RSBI tidak ada bedanya terhadap sekolah- sekolah Reguler lainnya. Semua itu
hanya di jadikan ajang Gengsi Para Masyarakat kalangan Atas yang lebih mampu.
Kemampuan Siswa juga sangat berperan namun kenyataannya semua siswa RSBI ataupun
SBI memiliki kesamaan Kemampuan dalam bidang Akademik. Jadi saya berharap mohon
di pertimbangkan adanya Akreditasi SBI maupun RSBI dengan Sekolah yang Reguler
Biasa.
6. Referensi
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: PSNP

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. 2003. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional