PEMBAHARUAN ISLAM DI MESIR JAMALUDDIN AL

PEMBAHARUAN ISLAM DI MESIR : JAMALUDDIN AL
AFGHANI, MUHAMMAD ABDUH

A. Pendahuluan
Momentum perkembangan modern Islam terjadi pada abad ke sembilan
belas, meskipun disadari bahwa dasar-dasar perkembangan modern tersebut sudah
muncul sejak beberapa abad sebelumnya. Momentum yang dimaksud ialah
adanya gerakan politik dan intelektual yang mulai bergerak ke berbagai kawasan
negeri-negeri Islam. Tema sentral gerakan itu umumnya berkisar pada dua hal,
protes melawan kemerosotan internal dan serangan eksternal. Kebangkitan itu
tidak berarti bahwa sebelumnya Islam dalam kondisi sedemikian pasif untuk
menghadapi perubahan demi perubahan yang terjadi. Pada kenyataannya suatu
peradaban merupakan hasil akumulasi perjalanan pergumulan pemeluk agama
yang berdimensi historis dengan ajaran wahyu yang bernilai normatif. Proses
dialektis antara keduanya berjalan dari waktu ke waktu dengan diwarnai oleh
tingkat dinamika yang bervariasi, adakalanya berjalan cepat dan menghasilkan
perubahan besar tetapi terkadang juga berjalan lambat dan membawa perubahan
tidak berarti. Diantara faktor terpenting yang menentukan arus perubahan itu
adalah sejauh mana gerakan pembaharuan dapat terimplementasi secara riil dalam
kehidupan sehingga mampu membentuk sebuah peradaban baru.
Dengan demikian pembaharuan memiliki kekuatan yang sangat besar dalam

menciptakan kondisi masyarakat agar sesuai dengan perkembangan modernisme
dengan tidak menanggalkan ide-ide dasar ajaran yang bersifat normatif. Melalui
pemikiran cerdas itulah tokoh-tokoh pembaharu mulai melakukan aplikasi
pemikirannya ke dalam proses kehidupan. Begitu pula, kondisi keberagamaan dan
sosial umat Islam yang terjadi di Mesir pada kurun waktu sebelum abad ke
sembilan belas terjadi kelemahan-kelemahan diberbagai sektor kehidupan akibat
adanya ekspansi Eropa, sehingga kondisi yang demikian memunculkan tokohtokoh muslim untuk melakukan pergeseran pemikiran sehingga mampu merubah
kondisi kehidupan umat Islam.

Dalam makalah ini penulis menitikberatkan pembaharuan di Mesir pada
abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani dan
Muhammad Abduh yang berusaha membangkitkan kesadaran muslim terhadap
ancaman dominasi bangsa Eropa dan untuk menentang penguasa-penguasa
Muslim yang bersekongkol dengan intervensi pihak Kristen.
B.

Pengertian Pembaharuan Dalam Islam
Kata pembaharuan dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah tajdid,

memiliki makna antara lain; proses, cara, perbuatan membaharui.

Secara sederhana gerakan pembaharuan dalam Islam atau sering
diistilahkan dengan tajdid dapat diartikan sebagai upaya, baik secara individual
maupun kelompok pada kurun waktu tertentu untuk mengadakan perubahan dari
persepsi dan praktek keislaman yang telah mapan kepada bentuk pemahaman dan
pengamalan baru. Gerakan pembaharuan ini umumnya berpangkal pada asumsi
bahwa Islam sebagai realitas sosial pada lingkungan tertentu tersebut sudah tidak
lagi relevan atau bahkan menyimpang dari apa yang dipandang sebagai Islam
yang sesungguhnya. Tentu saja bagaimana tafsiran Islam ideal tersebut sangat
dipengaruhi oleh cara pandang, pendekatan, latar belakang sosiokultural dan
keagamaan masing-masing pembaharu. Karena corak epistimologi gerakan yang
beragam inilah maka melahirkan model pembaharuan yang bermacam-macam
yang sering ditipologikan dengan reformisme, modernisme, puritanisme,
fundamentalisme, sekulerisme dan neo-modernisme. Pergeseran pergumulan
gerakan tersebut kemudian memberikan warna baru dalam proses kehidupan yang
lebih modern.
Menurut Harun Nasution pembaharuan merupakan arti dari at-Tajdid
dalam bahasa Arab sebagai perkembangan modernisme yang terjadi di dunia
Barat akibat perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Sehingga pembaharuan dapat dilihat dari
kata modernisme. Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti segala

macam pikiran, aliran, gerakan dan usaha baru untuk mengubah berbagai paham,

adat istiadat, institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru
yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Pembaharuan dalam bentuk modernisme dilakukan dengan mengadopsi
peradaban Barat karena modernitasnya menjadi pola ukuran kemajuan pada saat
itu. Dalam aplikasi pembaharuannya dilakukan dengan membangun interpretasi
baru terhadap sumber nilai fundamen utama yang tertuang dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Al-Qur’an dan Sunnah harus dikembalikan lagi menjadi sumber utama
sebagai tolok ukur pembenar bagi ide Barat karena kemajuan yang dipakai Barat
saat ini disebabkan karena mereka

mengambil kekayaan intelektual dan

historisitas dari pancaran al-Qur’an. Sebaliknya dalam masyarakat Islam
mengalami kemunduran karena meninggalkan ajaran al-Qur’an yang seharusnya
menjadi pembimbing dan penunjuk jalan keberhasilan umat Islam sepanjang
zaman.
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa pembaharuan dalam Islam
memiliki tujuan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan

perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern dengan berpedoman pada ide-ide dasar dalam al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah saw. Dengan demikian pembaharu-pembaharu muslim modern
mengharap dapat melepaskan umat Islam dari suasana yang stagnan –untuk tidak
mengatakan kemunduran- dan selanjutnya dibawa kepada kemajuan sesuai
tuntunan Islam yang sebenarnya. Pemahaman ini menunjukkan bahwa sesuatu
yang akan mengalami proses tajdid adalah sesuatu yang memang telah memiliki
wujud dan dasar yang riil dan jelas. Tajdid di sini tentu bukanlah mengganti atau
mengubah agama, akan tetapi maksudnya adalah mengembalikannya seperti
sediakala dan memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya
disebabkan hawa nafsu manusia sepanjang zaman, memberikan jawaban terhadap
masalah-masalah yang timbul di era kontemporer sesuai dengan Syariat Allah
SWT.

C. Latar Belakang Pembaharuan Islam di Mesir
Latar belakang sejarah Mesir secara historis dapat kita lihat ketika Mesir
berada pada kekuasaan Romawi di Timur dengan Bizantium sebagai ibukotanya
merupakan awal kebangkitan Mesir di abad permulaaan Islam yang berkembang
menjadi kota dan negara tujuan setiap orang. Mesir menjadi sangat menarik pada
masa kekuasaan Romawi tersebut karena ia mempunyai potensi yang secara

tradisional telah berakar di Mesir. Mesir menjadi salah satu pusat peradaban Islam
dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti Fatimiah
(sampai tahun 567 H) yang mendirikan Al-Azhar, dinasti Ayubiyah (567-648 H)
yang terkenal dengan Perang Salib dan perjanjian ramalah mengenai Palestina,
Dinasti Mamluk (648-922 H) sampai ditaklukan oleh Napoleon dan Turki
Usmani.
Pada 2 Juni 1798 Napoleon Bonaparte melakukan pendaratan di Alexandria
sebagai tanda di mulainya ekspedisi Perancis di Mesir. Ekspedisi yang merupakan
rencana lama pemerintahan Louis XIV tentang penyerbuan ke Mesir untuk
menghubungkan Laut Merah dan Laut Tengah sehingga bisa memperluas
kemenangan mereka ke arah Barat. Ekspedisi Perancis tersebut berlangsung
selama tiga tahun dan berakhir pada tanggal 31 Agustus 1801.
Ekspedisi Napoleon di Mesir setidaknya menghasilkan tiga ide baru yaitu :
1.

Sistem pemerintahan republik yang didalamnya kepala negara dipilih untuk
waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan oleh
parlemen. Pada awal abad ke-20 istilah republik muncul terjemahannya yaitu
jumhuriyyah yang artinya orang banyak.


2.

Ide persamaan (egalite) artinya persamaan kedudukan dan turut sertanya
rakyat dalam pemerintahan. Napoleon mendirikan suatu badan terdiri dari
ulama-ulama al-Azhar dan pemuka-pemuka dunia dagang dari Kairo dan
daerah-daerah sekitar. Tugas badan ini adalah membuat undang-undang,
memelihara ketertiban umum dan menjadi perantara antara penguasa Perancis
dan rakyat Mesir. Selain itu juga dibentuk Diwan al Ummah yang dalam
waktu tertentu mengadakan sidang untuk membicarakan hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan nasional.

3. Ide kebangsaan. Dalam maklumat Napoleon dinyatakan bahwa orang Perancis
merupakan satu bangsa (nation) dan bahwa kaum Mamluk adalah orang asing
yang datang ke Mesir dari Caucacus sehingga sekalipun mereka itu orang
Islam tetapi berlainan dengan orang Mesir.
Ide-ide yang dibawa oleh Napoleon ke Mesir pada waktu itu belum
mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat Islam Mesir. Walaupun demikian
ternyata ekspedisi Napoleon telah membuka mata umat Islam Mesir akan
kelemahan dan kemunduran mereka.
Raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir dan mencari jalan untuk

mengembangkan balance of power yang telah pincang dan membahayakan Islam.
Kontak Islam dengan Barat saat itu berlainan dengan kontak Islam dengan Barat
di periode klasik. Pada periode klasik, Islam berada pada masa kejayaannya dan
Barat sedang dalam kegelapan. Namun keadaan itu menjadi terbalik, Islam sedang
dalam kegelapan dan Barat semakin maju dan Islam yang ingin belajar dari Barat.
Dengan demikian timbullah apa yang disebut pemikiran dan aliran pembaharuan
atau

modernisasi

dalam

Islam.

Pemuka-pemuka

Islam

mengeluarkan


pemikirannya bagaimanakah cara membuat umat Islam maju kembali seperti pada
masa periode klasik. Usaha ke arah itu pun mulai dijalankan di kalangan umat
Islam.
Pemikiran pembaharuan di Mesir muncul dari tokoh-tokoh pembaharu
muslim di antaranya yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897)
dan Muhammad Abduh (1849-1905).
D. Biografi Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh
1. Jamaluddin al-Afghani
Menurut Taufiqurrahman dalam bukunya Pemikiran Dan Gerakan
Pembaharuan Islam: Abad Modern dan Kontemporer, Sayyid Jamaluddin alAfghani (1837-1897 M) lahir di As’adabat, Kuna, wilayah timur Afghanistan. Ia
termasuk bangsawan dimana nasabnya sampai kepada Hasan Ibn Ali. Masa kecil
al-Afghani mendapat pengajaran dari ayahnya dalam al-Qur’an dan membacanya.
Kemudian belajar bahasa Persia dan Arab secara konvensional, filsafat dan

tasawuf yang biasa diajarkan bangsa Persia hingga dewasa ini. Ia mempelajari
ilmu pasti dengan cara modern di India dan mengadakan perjalanan keliling dunia
Islam. Al-Afghani menekuni ilmu mantiq, etika, politik dan teologi. Tetapi dalam
biografi yang lain Jamaluddin al-Afghani dikenal lahir di Iran dan berpendidikan
Syi’ah, bukannya seorang Sunni Afghan seperti yang diakuinya. Klaim sebagai
warga Iran ini dalam rangka meyakinkan kesesuaiannya dengan kalangan Muslim

Sunni. Sebagai orang yang terdidik dalam ajaran Syi’ah ia sangat dikenal sebagai
filosof Muslim.
Pada usia dua puluh tahun, al-Afghani menjadi pembantu pangeran Dust
Muhammad Khan di Afghanistan. Tahun 1864 ia menjadi penasehat Sharm Ali
Khan dan beberapa tahun kemudian menjadi Perdana Menteri. Ketika terdesak
oleh Inggris karena mencampuri urusan politik Afghanistan, ia pergi ke India dan
mengenal pendidikan modern. Ketika India jatuh ke tangan Inggris ia pergi ke
Mesir (1871). Di Mesir (1879) ia mempunyai murid seperti Muhammad Abduh
dan Saad Zaghlul. Tahun 1883 al-Afghani pindah ke Paris dan mendirikan
Jamiyat al-Wustqa, beranggotakan orang India, Mesir, Suriah dan Afrika Utara
dengan tujuan memperkuat persaudaraan muslim. Tahun 1889 al-Afghani
diundang ke Rusia untuk menyelesaikan persengketaan antara Rusia dan Persia.
Namun karena ada perselisihan antaranya dengan Syah Nasir al-Din, al-Afghani
dipaksa keluar dari Persia. Kemudian diundang Sultan Abdul Hamid II (1892) dan
menetap di Istambul. Tetapi karena al-Afghani melontarkan ide demokrasi yang
bertentangan dengan kekuasaan Sultan, maka ia di penjara sebagai tahanan politik
dan tidak bisa mengembangkan ide-ide politik dan agama sampai wafatnya tahun
1897.
2. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 M (1265 H) di Mahallah

Nasr, suatu perkampungan agraris termasuk Mesir Hilir di Propinsi Gharbiyyah.
Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Chairullah, seorang berdarah Turki
sedangkan ibunya Junainah binti Utsman al-Kabir mempunyai silsilah keluarga
besar keturunan Umar Bin Khattab. Tahun 1866 Muhammad Abduh pergi ke

Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Ketika berada di Al-Azhar ia bertemu
Jamaluddin al-Afghani yang datang ke Mesir dan kemudian Abduh bergabung
bersama al-Afghani untuk memperluas studinya. Di bawah bimbingan Jamaluddin
al-Afghani, Muhammad Abduh belajar filsafat dan ilmu sosial serta politik.
Termasuk didalamnya terdapat Sa’d Zaghlul. Al-Afghani aktif memberikan
dorongan kepada siswa-siswanya ini untuk menghadapi intervensi Eropa di negeri
mereka dan pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu. Tahun 1878
Muhammad Abduh mendapat tugas mengajar di perguruan tinggi Dar al-‘Ulm
yang baru saja didirikan. Dia memanfaatkan ini sebagai peluang untuk berbicara
dan menulis soal politik dan social, dan khususnya soal pendidikan nasional,
selama periode kesadaran nasional kian tinggi di Mesir. Setahun kemudian Abduh
diberhentikan dari jabatan mengajarnya di Dar al-‘Ulm karena sikap politiknya
yang dianggap terlalu keras. Tetapi kemudian Abduh diangkat oleh perdana
menteri menjadi editor sebuah koran resmi di Mesir yakni Al-Waqa’i’ Al
Mishriyah. Dalam posisi itu Muhammad Abduh menjadi sangat berpengaruh

dalam membentuk pendapat umum. Dengan semakin kritis, posisi Abduh semakin
terancam dan kemudian diasingkan dari Mesir selama tiga tahun. Pada 1888 ia
diizinkan kembali ke Kairo, diangkat menjadi hakim, dan menjadi anggota dewan
administratif Al-Azhar pada 1895. Selain itu ia juga diangkat menjadi Mufti Besar
Mesir. Muhammad Abduh meninggal pada 11 Juli 1905.
E.

Pemikiran Pembaharuan Islam Jamaluddin al-Afghani
Pemikiran

pembaharuan

Islam

Jamaluddin

al-Afghani

berdasarkan

keyakinan bahwa reformasi Islam adalah penting lantaran ia merupakan basis bagi
pencapaian teknik dan ilmiah, solidaritas politik dan kekuasaan.
Dalam pandangan tentang kemunduran umat Islam yang berakibat pada
penguasaan ekonomi dan politik oleh orang Barat, al-Afghani mengatakan bahwa
hal ini disebabkan :
1. Umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti
ajaran yang datang dari luar dan asing bagi Islam. Mereka kehilangan cita-cita

dan menjadi fatalis dan statis karena salah interpretasi tentang arti qadha dan
qadar.
2. Ukhuwah Islamiyah melemah dikalangan umat Islam ditingkat lokal atau
internasional, baik disebabkan oleh perbedaan paham keagamaan Sunni dan
Syiah maupun perpecahan antara alim ulama dan raja-raja Islam.
3. Kemalasan untuk melakukan ijtihad, karena mereka sudah merasa puas
dengan apa yang dihasilkan ulama masa klasik.
4. Mereka menganggap segala yang berasal dari Barat dianggap haram dan
bid’ah atau subhat yang harus diperangi.
Untuk mengobati penyakit umat Islam semacam itu maka al-Afghani
memberikan pemikiran-pemikiran sebagai berikut :
1. Kejayaan kembali umat Islam terwujud kalau kembali kepada ajaran Islam
yang murni dengan meneladani pola hidup sahabat khususnya Khulafa’ al
Rasyidun.
2. Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat secara politik, ekonomi
dan kebudayaan.
3. Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam ilmu dan teknologi, dimana
umat Islam harus belajar tentangnya, yang pada hakikatnya hanya mengambil
kembali apa yang dulu disumbangkan Islam kepada Barat dan kemudian
secara selektif di kritisi menggunakannya untuk kejayaan Islam.
Menurut Jamaluddin al-Afghani, pada intinya Islam sangat tepat
dijadikan sebagai landasan bagi sebuah masyarakat modern. Islam adalah agama
akal dan membebaskan penggunaan akal pikiran. Al-Afghani berdalih,
bahwasanya al-Qur’an harus ditafsirkan dengan akal dan mestilah dibuka
kesempatan bagi penafsiran ulang (reintrepetasi) oleh para individu dalam setiap
zaman. Dengan menekankan penafsiran al-Qur’an secara rasional, al-Afghani
yakin bahwa Islam mampu menjadi dasar bagi sebuah masyarakat ilmiah modern,
sebagaimana ia telah menjadi dasar masyarakat muslim masa pertengahan yang
dibangun berdasarkan keimanan. Selain itu ia juga berdalih bahwa jika dipahami
secara baik Islam merupakan sebuah keyakinan dinamis sebab ia mendorong
sikap aktif, yakni sikap tanggung jawab terhadap urusan dunia.

Terkait dengan penjajahan Barat yang menguasai wilayah Islam
termasuk Mesir, al-Afghani melihat bahwa Barat telah banyak melakukan
pengrusakan terhadap akidah Islam melalui paham Barat seperti evolusialisme dan
materialism. Sebagai bentuk tanggungjawabnya sebagai tokoh ia melakukan dua
sikap: Pertama, menulis buku al-Radd ‘ala al-Dahriyyin, suatu risalah yang
menerangkan suatu kerusakan yang ditimbulkan oleh paham materialisme dan
menetapkan bahwa agama adalah dasar kebudayaan dan kekufuran adalah perusak
kemajuan. Kedua, melakukan upaya menghimpun masyarakat Islam dalam satu
payung pemerintahan. Karena hal ini dirasakan tidak memungkinkan maka alAfghani menggagas untuk menghimpun Negara-negara Islam dalam satu ikatan
yang kokoh. Ide ukhuwawah Islamiyah atau Pan-Islamisme merupakan ide
menyatukan Negara-negara Islam yang otonom, berkeadilan, atas dasar
musyawarah dan diikat oleh perjanjian persahabatan serta dipimpin oleh
pemerintahan yang paling besar dan kuat.
F.

Pemikiran Pembaharuan Islam Muhammad Abduh
Muhammad Abduh memandang bahwa salah satu tugas utamanya

sebagai intelektual muslim adalah memberikan tanggapan kepada orang-orang
Mesir yang –karena terpengaruh oleh keberhasilan Eropa sekuler dan serangannya
terhadap Islam- berpendapat bahwa agama merupakan unsur pokok yang
menghambat masyarakat Muslim. Perhatian utama Abduh adalah problem
kemunduran umat Islam, dan banyaknya dorongan untuk mengubah kemunduran
ini dengan berupaya meniru Barat. Menurut pendapatnya hal ini disebabkan oleh :
1. Umat Islam sendiri yang tidak melaksanakan ajaran Islam dengan benar.
Mereka lebih cenderung pada ajaran tarekat yang ekstrim dan menimbulkan
pengkultusan syeikh tarekat serta dijadikannya perantara dengan Tuhan.
2. Paham fatalisme, menerima qadha dan qadar yang salah-hanya menerima nasib
tanpa usaha. Padahal al-Qur’an mengajarkan dinamisme untuk meraih cita-cita
kesejahteraan duniawi.

3. Taqlid buta, hal ini akan menjadikan kebekuan akal, padahal akal dapat
digunakan untuk memahami kandungan yang bernilai strategis bagi
kemaslahatan umat.
4. Fanatisme madzab yang menyebabkan perpecahan umat.
5. Bid’ah yang menyimpang dari akidah murni.
Untuk memajukan masyarakat, maka perlu dilakukan pembaharuan
agama melalui perbaikan al-Azhar, sebagai pusat ilmu dan dakwah islamiyah.
Dengan perbaikan al-Azhar akan menghasilkan orang yang bergairah terhadap
agama dan bisa menyiarkan agama keseluruh dunia. Pandangan keagamaan
Abduh untuk memperbaiki umat ialah meluruskan akidah dan menghilangkan
kesalahan melalui cara menafsirkan al-Qur’an.
Oleh karena itu, Abduh mengarah pada upaya reformulasi Islam,
memisahkan yang esensial dari yang tidak esensial, mempertahankan aspek
fundamental dan meninggalkan aspek aksidental warisan sejarah Islam. Ia
membenarkan al-Qur’an dan Hadis sebagai petunjuk Tuhan, tetapi ia menyatakan
bahwasanya pemikiran adalah unsur utama dalam hal-hal yang tidak tercantum di
dalam al-Qur’an dan Hadis. Sementara al-Qur’an dan Hadis harus selalu
diterapkan dalam urusan peribadatan, keputusan individu, atau ijtihad adalah
sangat penting untuk menata hubungan-hubungan sosial yang hanya dicapai
dengan ide-ide rasional yang bersifat umum dan dengan pertimbangan rasional.
Dibalik

konsep-konsep

Muhammad

Abduh

tersebut

bersandar

gerakan

internasional reformasi Islam, dan ide membangkitkan semangat masyarakat
Mesir abad delapan belas-sembilan belas terhadap al-Qur’an dan Hadis.
Sebagai theolog yang berpengalaman pada garis-garis tradisional yang
merasa yakin bahwa sains dan Islam tidak mungkin bertentangan, menyatakan
bahwa agama dan pemikiran ilmiah bekerja pada level yang berbeda. Oleh karena
itu ia memandang bahwa tugasnya ialah menyuguhkan ajaran-ajaran dasar Islam
dalam batasan-batasan yang diterima oleh pikiran modern dan mengizinkan
pembaharuan lebih lanjut di satu pihak serta mengizinkan orang mempelajari ilmu
pengetahuan modern di lain pihak. Meskipun Muhammad Abduh dalam materi
aktual penafsiran kembalinya tentang Islam tidak menyuguhkan ide-ide baru

dalam kumpulan ide-ide Islam tradisional namun kedudukannya memberikan
kemajuan kepada pembaharu-pembaharu pra-modern pada dua hal yang penting,
yaitu :
1. Penekanan umum atas peranan akal dalam Islam, yakni ide bahwa walaupun
agama dan akal bekerja pada lapangan yang berbeda, namun keduanya bukan
saja tidak mungkin bertentangan, tapi harus bekerjasama secara positif dalam
memajukan dan menggerakkan manusia.
2. Menyatakan kembali ide-ide dasar Islam dengan cara sedemikian rupa hingga
bisa membuka pintu bagi pengaruh ide-ide baru dan usaha pencarian ilmu
pengetahuan modern pada umumnya.
Sekalipun demikian konsep ide modernisme dan reformasi Islam di
Mesir yang digelorakan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh
memberikan semangat paradigma intelektual dan membuka jalan bagi konsep
nasionalis mengenai identitas dan politik pembaharuan Mesir yang lebih sekuler.
G. Analisis:

Perbedaan

dan

Persamaan

Pemikiran

Pembaharuan

Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh
Berdasarkan kajian atas pemikiran dua tokoh pembaharu Islam yakni
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, dapatlah dipetakan sebagai
berikut :
No. Aspek Pemikiran
1 Kerangka teori

Bentuk Pemikiran
Jamaluddin al-Afghani
Muhammad Abduh
Islam sesuai untuk semua Akal dan wahyu (Islam)
bangsa, zaman, dan keadaan selaras, tidak ber(s}a>lih li kulli zama>n wa tentangan.

2 Metodologi

maka>n).
Reinterpretasi ajaran Islam Reinterpretasi ajaran
dengan kembali kepada Al- Islam (Al-Qur’an dan
Qur’an dan sunnah melalui sunnah) secara rasional.
konsep ijtihad yang sesuai

dengan akal.
3 Dipengaruhi oleh Kondisi terpuruk umat

Gagasan dan pemikiran

Islam akibat kolonialisme
Barat.
4 Konsep reformasi Melenyapkan pola pikir
Islam

pembaruan Islam alAfghani.
Pembaruan teologi Islam;

yang salah terhadap ajaran membebaskan umat Islam
Islam, yakni kembali

dari taklid.

kepada ajaran dasar Islam

Restrukturisasi dan

(al-Qur’an dan hadis).

pembaharuan pendidikan

Mengganti sistem

Islam melalui al-Azhar.

pemerintahan otokrasi

Melakukan reformasi

dengan sistem pemerintahan doktrin Islam berdasarkan
demokratis.

pemikiran modern.

Menggagas Pan-Islamisme,
yakni persatuan seluruh
5 Kontribusi
pemikiran

negara-negara Islam.
Menafsirkan ulang Al-

Rasionalisasi tafsir.

Qur’an dan hadis dengan

Rasionalisasi ajaran dan

cara yang modernis.

teologi Islam.

Membuka kembali pintu
ijtihad.
Berdasarkan analisis diatas, penulis memberikan gambaran bahwa
gagasan pembaharuan Islam di Mesir al-Afghani dan Abduh berangkat dari
kepentingan yang sama untuk membawa umat Islam dari jurang keterpurukan
kepada kemajuan serta melepaskan umat Islam dari belenggu kolonialisme. Ide
awal ini kemudian direalisasikan dengan cara melakukan reinterpretasi ajaran
Islam dengan kembali kepada ide-ide dasar ajaran Islam sebagaimana yang
diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Walaupun tujuan pembaharuan al-Afghani dan Abduh sama, tetapi
konsep dan metode yang mereka gunakan berbeda. Konsep reformasi Islam yang
ditawarkan al-Afghani lebih menekankan pada upaya reformasi di bidang politik
dengan mencetuskan ide Pan-Islamisme, yakni persatuan seluruh umat Islam. Hal

ini mampu memberikan pengaruh yang besar bagi upaya pembaharuan Islam
selanjutnya.
Langkah ini berbeda dengan strategi yang ditempuh oleh muridnya,
yakni Muhammad Abduh. Hal ini bisa dilihat dari gagasan pembaharuan atau
reformasi Islam yang dicanangkan Abduh, yakni pembaharuan teologi Islam,
membebaskan umat Islam dari taklid, restrukturisasi dan pembaharuan pendidikan
Islam, serta melakukan reformasi doktrin Islam berdasarkan pemikiran modern.

H. Penutup
Pemikiran-pemikiran pembaharu yang digagas oleh Jamaluddin alAfghani dan Muhammad Abduh pada awalnya berangkat dari kondisi masyarakat
Islam di Mesir yang mengalami kemunduran karena adanya imperialisme Barat.
Namun demikian, ide-ide cerdas dari kedua tokoh tersebut merupakan
representasi adanya kondisi umat Islam secara makro, sehingga gagasan
pemikiran-pemikiran pembaharu tersebut tidak hanya dapat memberikan
gambaran kondisi umat Islam di Mesir tetapi menjadi kepentingan umat Islam
secara menyeluruh. Hal ini dapat dipahami karena memang kehidupan al-Afghani
dan Abduh secara geografis berada di Mesir dan melakukan perjalanan ke
berbagai wilayah, meskipun kadang dilakukan dengan adanya tekanan penguasa
pada saat itu. Menurut penulis, dengan adanya peristiwa pengembaraan itulah
justru memberikan keleluasaan, kematangan dan kejernihan berfikir bagi alAfghani dan Abduh sendiri.
Sudah satu abad lebih gagasan pembaharuan dan reformasi Islam yang
dicetuskan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Akan tetapi,
kondisi umat Islam masih belum berubah. Kemunduran, kebodohan, bahkan
cengkeraman kolonialisme dengan wajah baru masih menyelimuti tubuh umat
Islam. Hal ini bukan berarti gerakan reformasi Islam yang digagas kedua tokoh
pembaharu ini tidak berhasil. Jika kita memperhatikan dalam beberapa hal
memang sudah membuahkan hasil, meskipun belum tuntas.

Maka, sudah semestinya generasi selanjutnya meneruskan langkah yang
sudah digagas oleh al-Afghani dan Abduh ini. Melanjutkan tidak berarti
mengambilnya secara persis karena zaman sudah berubah, situasi dan kondisi
yang dihadapi pun berbeda. Langkah yang bijak ialah ide-ide cemerlang, cerdas
dan besar tersebut diambil semangatnya untuk kemudian diselaraskan dengan
konteks kekinian. Hal ini dikarenakan pada sisi manusia sebagai jiwa ia memiliki
rasa kesadaran untuk menjalankan kehidupan ini dengan membedakan mana yang
baik dan buruk untuk dipilihnya, sehingga pilihannya tersebut akan menghasilkan
suatu karya moral yang tiada hentinya sampai akhir kehidupannya. Pilihan
tersebut tentunya dengan tetap mengacu pada tujuan awal dalam rangka
reformulasi Islam, yakni mengangkat derajat umat Islam menuju kehidupan
masyarakat muslim yang berkemajuan.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Ahmad Amir, Pembaruan Teologi: Perspektif Modernisme Muhammad
Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman, Yogyakarta: Teras, 2009
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian Ketiga terj. Ghufron A.
Mas’adi Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999
Maryam, Siti dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern,
Yogyakarta: LESFI, 2009
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 2003
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 2000
Rahnema, Ali, Para Perintis Zaman Baru Islam terjemahan dari Pioneers of
Islamic Revival Penerjemah Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1996
Sihbudi, M. Riza dkk., Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, Bandung: PT.
Eresco, 1993
Taufiqurrahman, Pemikiran Dan Gerakan Pembaruan Islam: Abad Modern dan
Kontemporer, Surabaya: Afkar, tt
Toynbee, Arnorld, Sejarah Umat Manusia: Uraian Analitis, Kronologis, Naratif,
dan Komparatif, terj. Agung Prihantoro, dkk. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005)