PRODUKSI TANAMAN KARET PADA PEMBERIAN
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
ISSN 1858-4330
PRODUKSI TANAMAN KARET PADA PEMBERIAN
STIMULAN ETEPHON
LATEX PRODUCTION IN RELATION TO ETEPHON APPLICATION
Nasaruddin dan Deasy Maulana
Jurusan Budidaya Tanaman Faperta Unhas
Jl. Perintis Kemerdekaan KM 10 Tamalanrea, Makassar
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan karet PT. PP London Sumatra, Balombissie
Estate, Bulukumba yang berlangsung mulai Februari sampai April 2009. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari pengaruh stimulan etephon terhadap produksi tanaman karet
jika diberikan stimulan etephon dengan dosis yang berbeda. Praktik lapang ini
dilaksanakan dalam bentuk percobaan berdasarkan rancangan acak lengkap. Pemberian
etephon dilakukan sebanyak dua kali yaitu pemberian etephon pertama dilakukan tanggal
20 Februari 2009 dan pemberian etephon kedua tanggal 20 Maret 2009. Dengan lima
ulangan dimana perlakuannya terdiri dari satu faktor dengan 5 taraf yaitu: kontrol (tanpa
pemberian etephon), pemberian etephon dosis 0,3 cc pohon-1, pemberian etephon dosis 0,6
cc pohon-1, pemberian etephon dosis 0,9 cc pohon-1 dan pemberian etephon dosis 1,2 cc
pohon-1 pada klon karet RRIM 600 dan klon PB 260. Hasil penelitian menunjukkan untuk
klon PB 260 pada dosis 0,9 cc pohon-1 pada komponen lateks yang terbentuk 628 g
(pemberian bulan pertama) dan 776 g (pemberian bulan kedua), lump yang terbentuk 120 g
(pemberian bulan pertama) 128 g (pemberian bulan kedua). Untuk kadar karet kering hasil
terbaik ditunjukkan pada tanaman kontrol yakni 29,40% (pemberian bulan pertama) dan
30% (pemberian bulan kedua).
Kata kunci: Karet, stimulan stephon.
ABSTRACT
This research was executed at rubber plantation PT's PP is Sumatra's London, Balombissie
Estate, Bulukumba. Starting from February until April 2009. This research intent to study
the effect of stimulan etephon's as stimulan on latex production under various dosage. The
treatment was arranged in completely randomized design. Etephon's application is done as
much two-time which is application etephon first done on 20 February 2009 and etephon's
second applications on 20 March 2009. With five replication, where treatment consisted
one factors with 5 levels i.e: control (without application etephon), etephon's application
dose 0,3 cc plant-1, etephon's application dose 0,6 cc plant-1, etephon's application dose 0,9
cc plant-1 and etephon's application dose 1,2 cc plant-1 on RRIM'S 600 rubber clone and
PB's 260 clones. On the other side PB's 260 clone on dose 0,9 cc plant-1 latex component
628 g (first application) and 776 g (second application), lump 120 g (first application) 128
g (second application). Highest dry rubber was on control's plant namely 29,40% (first
application) and 30% (second application).
Keywords: Rubber, stimulan stephon.
89
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
PENDAHULUAN
Perekonomian Indonesia akan mendapat
tekanan yang cukup berat sebagai imbas
dari ancaman penurunan pertumbuhan
ekonomi dunia akibat krisis keuangan. Penurunan pertumbuhan ekonomi di negaranegara industri memberikan tekanan yang
cukup besar terhadap kinerja ekspor komoditas, namun diharapkan dengan pangsa pasar yang cukup besar dan adanya
perbaikan perekonomian dunia dalam 2 –
3 tahun ke depan, ekspor komoditas masih
tetap menjadi tumpuan perekonomian dalam jangka panjang. Adapun kinerja ekspor komoditas pertanian menunjukkan
pertumbuhan yang cukup baik khususnya
hasil-hasil perkebunan. Salah satu komoditas yang selama ini menjadi andalan
ekspor adalah tanaman karet (Anonim,
2008a).
Tanaman karet berasal dari bahasa latin
Hevea yang berasal dari Negara Brazil.
Karet merupakan kebutuhan vital bagi
kehidupan manusia sehari-hari, hal ini
terkait dengan mobilitas manusia dan
barang yang memerlukan komponen yang
terbuat dari karet seperti ban kendaraan,
conveyor belt, sabuk transmisi, dock
fender, sepatu dan sandal karet (Anwar,
2006).
Karet merupakan salah satu komoditas
pertanian di Indonesia. Komoditas ini dibudidayakan relatif lebih lama daripada
komoditas perkebunan lainnya. Tanaman
ini di introduksi pada tahun 1864. Dalam
kurun waktu sekitar 150 tahun sejak
dikembangkan pertama kalinya, luas areal
perkebunan karet di Indonesia telah mencapai 3.262.291 hektar. Dari total area
perkebunan di Indonesia tersebut 84,5%
milik perkebunan rakyat, 8,4% milik
swasta, dan hanya 7,1% merupakan milik
negara (Heru dan Andoko, 2008).
Karet merupakan komoditi ekspor yang
mampu memberikan konstribusi di dalam
upaya peningkatan devisa Indonesia. Eks-
90
ISSN 1858-4330
por karet selama 20 tahun terakhir terus
menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0
juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta
ton pada tahun 1995 dan 1.9 juta ton pada
tahu 2004. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2004 mencapai US$
2.25 milyar, yang merupakan 5% dari
pendapatan Negara (Anwar, 2006).
Khusus di Provinsi Sulawesi Selatan salah
satu daerah penghasil karet adalah Kabupaten Bulukumba. Daerah ini mempunyai
kesesuaian lahan, iklim, dan topografi
yang cocok untuk pertumbuhan tanaman
karet. Posisi Kabupaten Bulukumba di
jazirah selatan Provinsi Sulawesi Selatan,
yang secara geografis wilayahnya berada
pada 5,20° 5,40° LS dan antara 119,58°
120,28° BT dengan batas wilayah meliputi
sebelah selatan dengan Kabupaten Selayar
dan Laut Flores, sebelah Utara dengan
Kabupaten Sinjai, Sebelah Timur dengan
Teluk Bone, dan sebelah barat dengan
Kabupaten Bantaeng (Anonim, 2007).
Pada tahun 2006 luas areal tanaman karet
di Sulawesi mencapai 19,475.00 ha dengan ketersediaan lahan di kabupaten
Bulukumba 19,390 ha, produksi sekitar
7,958.00 ton sedangkan produktivitas
yang dicapai sekitar 1.256,89 kg ha-1
(Anonim, 2007). Tanaman karet khusus
PT. PP London Sumatra Indonesia divisi
Balombissie Estate pada tahun 2007
sekitar 1.784,94 kg karet kering ha-1 dan
produksi 3097 ton karet kering, dengan
produksi 1,74 ton ha-1 (Anonim 2009).
Hasil tanaman karet yang diambil berupa
produksi lateks. Produksi lateks dari
tanaman karet disamping ditentukan oleh
keadaan tanah dan pertumbuhan tanaman,
klon unggul, juga dipengaruhi oleh teknik
dan manajemen penyadapan. Selama ini
usaha peningkatan produksi lateks dilaksanakan melalui berbagai usaha antara
lain melaksanakan teknis budidaya yang
baik seperti menanam klon unggul,
pemupukan dengan dosis yang tepat dan
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
teratur, sistem penanaman dan pemeliharaan yang baik dan sebagainya.
Dalam dua sampai tiga dasa warsa terakhir ini telah dikembangkan pula penggunaan stimulan. Penggunaan stimulan
bertujuan untuk menggenjot produksi lateks tanaman dan memperpanjang masa
pengaliran lateks karet. Stimulan adalah
suatu campuran yang terdiri dari minyak
nabati (misalnya minyak kelapa sawit)
dengan gemuk alami (disebut carrier
stimulan) dan hormon atau bahan aktif
lainnya (Setyamidjaja, 1993).
Stimulasi lateks umumnya dilaksanakan
pada tanaman karet yang telah dewasa
dengan tujuan untuk mendapatkan kenaikan hasil lateks sehingga diperoleh tambahan keuntungan bagi pengusaha perkebunan karet. Pemberian stimulan tanpa
menurunkan intensitas sadapan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman,
terutama tanaman yang masih muda.
Karenanya tanaman karet hanya bisa dipacu produksinya dengan stimulan jika
telah berumur 15 tahun atau 10 tahun jika
disadap
dengan
intensitas
rendah
(Setyamidjaja, 1993).
Bahan perangsang yang biasa dipakai
untuk perangsangan dengan cara oles
adalah stimulan berbahan aktif ethepon
dengan berbagai merek dagang seperti
Ethrel, ELS dan Cepha. Bahan aktif ini
mengeluarkan gas etilen yang jika diaplikasikan akan meresap ke dalam pembuluh lateks. Di dalam pembuluh lateks
gas tersebut menyerap air dari sel-sel yang
ada di sekitarnya. Penyerapan air ini
menyebabkan tekanan turgor naik yang
diiringi dengan derasnya aliran lateks.
Aplikasi stimulan pada tanaman karet,
tidak semua memberikan respons yang
diharapkan. Hal ini tergantung pada masing-masing klon karet. Menurut Heru dan
Andoko (2006), sebagai ukuran jika kadar
karet kering lateks lebih kecil dari 30%
dengan pemberian stimulan artinya responnya terhadap stimulan kurang berarti.
ISSN 1858-4330
Sehingga perlu diketahui jenis-jenis klon
yang mempunyai respon yang baik terhadap stimulan berupa zat perangsang
tumbuh ethrel yang berbahan aktif
ethepon.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka dilakukan praktik lapang untuk
mengetahui produksi dua klon karet terhadap pemberian berbagai dosis stimulan
etephon.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan
PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk,
Divisi Balombissie Estate Kelurahan
Tanete, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Penelitian ini berlangsung dari bulan
Februari sampai April 2009.
Percobaan ini dilaksanakan dalam bentuk
percobaan Rancangan gabungan dalam
rancangan acak lengkap. Yang jika sidik
ragam gabungannya tidak homogen maka
dihomogenkan dengan indicator Fhomogen =
Nilai KTgalat terbesar dibagi dengan nilai
KTgalat terkecil. Pemberian etephon dilakukan sebanyak dua kali yaitu pemberian etephon pertama dilakukan tanggal
20 Februari 2009 dan pemberian etephon
kedua tanggal 20 Maret 2009
Pada penelitian ini terdiri 5 perlakuan
yang dicobakan pada Klon RRIM 600 dan
Klon PB 260. Setiap perlakuan terdiri 5
ulangan dan setiap perlakuan digunakan 5
tanaman sehingga terdapat 125 unit
tanaman
Perlakuan yang dicobakan pada setiap
klon adalah :
- e0 = 0 cc klon-1 (0 cc pohon-1)
- e1 = 7,5 cc klon-1 (0,3 cc pohon-1)
- e2 = 15 cc klon-1 ( 0,6 cc pohon-1)
- e3 = 22,5 cc klon-1 (0,9 cc pohon-1)
- e4 = 30 cc klon-1 ( 1,2 cc pohon-1)
Penelitian ini dimulai dengan penentuan
pohon karet yang akan dijadikan sampel.
91
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
Pohon karet yang digunakan adalah pohon
karet dengan sistem sadap normal (1/2
lilitan). Kemudian penempelan label pada
pohon sampel. Pengenceran pada etephon
yakni dengan mencampur ethrel konsentrasi 10% dengan air dengan perbandingan
3 : 1 menjadi konsentrasi 2,5 % kemudian
mengambil spoit ukuran untuk mengukur
dosis tersebut juga diberikan pada klon
RRIM 600 dan klon PB 260, kemudian
memasukkan dalam 4 wadah plastik untuk
selanjutnya diaplikasikan.
Pengaplikasian stimulan etephon dilakukan sehari setelah tanaman sampel di
deres agar stimulan yang dioleskan meresap optimal masuk kedalam pembuluh
lateks. Aplikasi dilakukan pada pagi hari
untuk menghindari suhu udara (temperatur) dan penguapan air yang terlalu
tinggi dan menggunakan sistem scrapping
aplication yakni stimulan dioleskan menggunakan kuas kecil sesuai dengan dosis
yang ditentukan. Aplikasi etephon dilakukan di awal pengamatan dan dilakukan
lagi pada bulan kedua.
Parameter pengamatan adalah sebagai
berikut :
1. Lateks yang keluar (gram), yang dihitung setiap 3 hari sekali.
2. Lump yang terbentuk (gram), yang dihitung setiap 2 hari setelah pengambilan lateks.
3. Kadar karet kering (%) yang diukur 3
hari sekali, bersamaan dengan pengukuran lateks.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lateks
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa dosis
etephon 0,9 cc pohon-1 (e3) menghasilkan
rata-rata lateks yang keluar tertinggi pada
klon RRIM 600 (654,00 g) dan sangat
berbeda nyata dibandingkan dengan dosis
etephon 0 cc pohon-1 (e0) dan 0,3 cc
pohon-1 (e1) tetapi tidak berbeda nyata
92
ISSN 1858-4330
dengan dengan dosis etephon 0,6 cc
pohon-1 (e2) dan 1,2 cc pohon-1 (e4).
Sidik ragam gabungan menunjukkan bahwa hubungan dosis etephon dengan lateks
yang keluar bersifat kuadratik, dan pengaruh dosis etephon tidak berbeda nyata
dua klon tanaman karet. Hubungan antara
dosis etephon dengan lateks yang keluar
pada bulan pertama pada dua klon tanaman karet yang berbeda disajikan pada
Gambar 1.
Gambar 2 menunjukkan bahwa pengaruh
dosis etephon terhadap lateks yang keluar
dari pohon karet bersifat kuadratik. Dosis
etephon maksimum pada klon RRIM 600
adalah 0,7646 cc pohon-1 yang menghasilkan lateks sebanyak 683,143 g (rklon I =
0.9975**), sedangkan pada Klon PB 260
dosis etephon maksimum adalah 0,8178
cc pohon-1 yang menghasilkan lateks sebanyak 709,076 g (rklon II = 0.8978*).
Lump
Tabel 1 menunjukkan dosis etephon 0,9 cc
pohon-1 (e3) menghasilkan rata-rata lump
yang terbentuk tertinggi pada klon RRIM
600 (58,00 g) dan sangat berbeda nyata
dibandingkan dengan dosis etephon 0 cc
pohon-1 (e0) dan 0,3 cc pohon-1 (e1) tetapi
tidak berbeda nyata dengan dengan dosis
etephon 0,6 cc pohon-1 (e2) dan 1,2 cc
pohon-1 (e4). Demikian pula pada klon PB
260, dosis etephon 0,9 cc pohon-1 (e3)
menghasilkan rata-rata lump yang terbentuk tertinggi (120,00 g) dan berbeda
nyata dibandingkan dengan dosis etephon
0 cc pohon-1 (e0) dan 0,3 cc pohon-1 (e1)
tetapi tidak berbeda nyata dengan dengan
dosis etephon 0,6 cc pohon-1 (e2) dan 1,2
cc pohon-1 (e4).
Sidik ragam gabungan II menunjukkan
bahwa hubungan dosis etephon dengan
lump yang terbentuk pada bersifat linear
dan pengaruh dosis etephon berbeda nyata
terhadap dua klon. Hubungan antara dosis
etephon dengan lump yang terbentuk pada
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
bulan pertama pada dua klon tanaman
karet yang berbeda disajikan pada
Gambar 3.
ISSN 1858-4330
ningkatkan lump yang terbentuk. Setiap
penambahan 0,1 cc dosis etephon pada
klon RRIM 600 akan menghasilkan lump
10,333 g (rklon I = 0.6011), sedangkan pada
klon PB 260 dengan setiap penambahan
0,1 cc dosis etephon akan menghasilkan
lump 22 g (rklon II = 0.8909*).
Gambar 3 menunjukkan bahwa pengaruh
dosis etephon terhadap lump yang terbentuk pada pohon karet pada bersifat
linear artinya semakin tinggi dosis
etephon yang diberikan akan semakin me-
700.00
700.00
600.00
500.00
400.00
y = 323.49 + 543.43x - 298.41x
300.00
r = 0.8742
Lateks (g)
Lateks (g)
600.00
2
tn
500.00
y = 424.74 + 435.71x - 271.43x
400.00
200.00
100.00
2
r = 0.9625**
300.00
0
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
0
-1
Dosis Etephon (cc pohon
)
Dosis Ethreel (cc pohon-1)
(1a)
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
-1
-1
pohon
)
(1b)
Dosis Etephon
Dosis Ethreel (cc
(cc pohon )
700.00
800.00
600.00
700.00
y = 452.17 + 606.86x - 396.83x
500.00
Lateks (g)
Lateks (g)
Gambar 1. Hubungan rata rata lateks yang keluar dari pohon karet dengan dosis etephon
klon RRIM 600 (a) dan PB 260 (b) pada bulan pertama.
2
r = 0.9975**
400.00
y = 479.49 + 560.76x - 342.86x
500.00
2
r = 0.8978*
400.00
300.00
300.00
0
(2a)
600.00
0.3
0.6
0.9
1.2
-1
-1
Dosis Etephon
pohon
Dosis Ethreel (cc
(cc pohon
) )
1.5
0
(2b)
0.3
0.6
0.9
1.2
-1
Dosis Etephon
(cc
pohon
Dosis Ethreel (cc
pohon
)
1
)
1.5
-
Gambar 2. Hubungan rata-rata lateks yang keluar dari pohon karet dengan dosis etephon
klon RRIM 600 (a) dan PB 260 (b) pada bulan kedua.
93
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
ISSN 1858-4330
Tabel 1. Rata-rata lateks yang keluar, lump yang terbentuk dan kadar karet kering pada tanaman karet klon RRIM 600 dan klon PB 260
Perlakuan
Rata-rata
lateks (g) yang
keluar bulan
pertama
Dosis etephon
Klon
RRIM 600
Klon
RRIM 600
Klon
PB 260
Klon
RRIM 600
Klon
PB260
Klon
RRIM 600
Klon
PB 260
Klon
RRIM 600
Klon
PB 260
Klon
RRIM 600
Klon
PB 260
0 cc pohon-1
(e0)
354,00c
452,00b
490,00c
37,00c
92,00c
58,00c
86,00b
30,00a
29,40a
31,80a
30,00a
0,3 cc pohon-1
(e1)
406,00bc
596,00ab
612,00bc
43,00bc
98,00bc
70,00bc
106,00ab
29,60ab
28,40ab
30,40ab
29,20ab
0,6 cc pohon-1
(e2)
520,00ab
682,00a
644,00ab
52,00ab
112,00ab
92,00ab
116,00a
28,20bc
28,00abc
28,60bc
27,00b
0,9 cc pohon-1
(e3)
654,00a
668,00a
776,00a
58,00a
120,00a
106,00a
128,00a
27,60c
26,60c
27,20c
27,00b
1,2 cc pohon-1
(e4)
508,00abc
612,00a
632,00b
45,00abc
114,00ab
80,00abc
108,00ab
29,40ab
27,40bc
29,00bc
27,60ab
NP BNT0,01/0,05
212,7569
154,2497
140,4971
13,4642
19,1262
27,7705
28,5282
1,6089
1,7300
1,8005
2,5729
Rata-rata lateks (g)
yang keluar bulan
kedua
Rata-rata lump (g)
yang terbentuk bulan
pertama
Rata-rata lump (g)
yang terbentuk bulan
kedua
Rata-rata kadar karet
kering (%) yang
terbentuk bulan
pertama
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT
94
=0,05/0,01
Rata-rata kadar
karet kering (%)
yang terbentuk
bulan kedua
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
ISSN 1858-4330
y klon II = 94 + 22x , r = 0.8909*
140.00
Lump (g)
120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
y klon I = 40.8 + 10.333x , r = 0.6011
20.00
tn
0.00
0
0.3
0.6
0.9
1.2
-1 -1
Dosis
Etephon
(ccpohon
pohon) )
Dosis
Ethreel (cc
Keterangan :
= Klon I
= Klon II
Gambar 3. Hubungan rata-rata lump yang terbentuk pada pohon karet dengan dosis
etephon klon RRIM 600 dan klon PB 260 pada bulan pertama
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa dosis
etephon 0,9 cc pohon-1 (e3) menghasilkan
rata-rata lump yang terbentuk tertinggi
pada klon RRIM 600 (106,00 g) dan
sangat berbeda nyata dibandingkan dengan dosis etephon 0 cc pohon-1 (e0) dan
0,3 cc pohon-1 (e1) tetapi tidak berbeda
nyata dengan dengan dosis etephon 0,6 cc
pohon-1 (e2) dan 1,2 cc pohon-1 (e4).
Demikian pula pada klon PB 260, dosis
etephon 0,9 cc pohon-1 (e3) menghasilkan
rata-rata lump yang terbentuk tertinggi
(128,00 g) dan sangat berbeda nyata dibandingkan dengan dosis etephon 0 cc
pohon-1 (e0), tetapi tidak berbeda nyata
dengan dengan dosis etephon 0,3 cc
pohon-1 (e1), 0,6 cc pohon-1 (e2) dan 1,2 cc
pohon-1 (e4).
Dosis etephon maksimum pada klon
RRIM 600 adalah 0,80 cc pohon-1 yang
menghasilkan lump 95,861 g (rklon I =
0.9050*), sedangkan pada klon PB 260
dosis etephon maksimum adalah 0,777 cc
pohon-1 yang menghasilkan lump 121,897
g (rklon II = 0.9577*).
Kadar Karet Kering (DRC)
Sidik ragam gabungan menunjukkan bahwa hubungan dosis etephon dengan lump
yang terbentuk bersifat kuadratik, pengaruh dosis etephon tidak berbeda nyata
terhadap dua klon. Hubungan antara dosis
etephon dengan lump yang terbentuk pada
bulan kedua pada dua klon tanaman karet
yang berbeda disajikan pada Gambar 4.
Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian
dosis etephon 0,9 cc pohon-1 (e3) menghasilkan rata-rata kadar karet kering terendah pada klon RRIM 600 (27,60 %)
dan berbeda nyata dibandingkan dengan
dosis etephon 0 cc pohon-1 (e0), 0,3 cc
pohon-1 (e1) dan 0,6 cc pohon-1 (e2) tetapi
tidak berbeda nyata dengan dengan dosis
etephon dan 1,2 cc pohon-1 (e4). Demikian
pula pada klon PB 260, dosis etephon 0,9
cc pohon-1 (e3) menghasilkan rata-rata
kadar karet kering terendah (26,60%)
berbeda nyata dibandingkan dengan dosis
etephon 0 cc pohon-1 (e0) dan 0,3 cc
pohon-1 (e1), tetapi tidak berbeda nyata
dengan dengan dosis etephon 0,6 cc
pohon-1 (e2) dan 1,2 cc pohon-1 (e4).
Gambar 4 menunjukkan bahwa pengaruh
dosis etephon terhadap lump yang terbentuk pada pohon karet bersifat kuadratik.
Sidik ragam gabungan menunjukkan
bahwa hubungan dosis etephon dengan
kadar karet kering yang terbentuk bersifat
95
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
ISSN 1858-4330
kuadratik dan pengaruh dosis etephon
tidak berbeda nyata terhadap dua klon
pada. Hubungan antara dosis etephon
dengan kadar karet kering yang terbentuk
pada bulan pertama pada dua klon tanaman karet yang berbeda disajikan pada
Gambar 5.
Tabel 1 menunjukkan bahwa dosis etephon
0,9 cc pohon-1 (e3) menghasilkan rata-rata
kadar karet kering terendah pada klon
RRIM 600 (27,20) dan sangat berbeda
nyata dibandingkan dengan dosis etephon
0 cc pohon-1 (e0) dan 0,3 cc pohon-1 (e1),
tetapi tidak berbeda nyata dengan dengan
dosis etephon dan 0,6 cc pohon-1 (e2) dan
1,2 cc pohon-1 (e4). Demikian pula pada
klon PB 260, dosis etephon 0,9 cc pohon-1
(e3) menghasilkan rata-rata kadar karet
kering terendah (27,00 %) sangat berbeda
nyata dibandingkan dengan dosis etephon
0 cc pohon-1 (e0), tetapi tidak berbeda
nyata dengan dengan dosis etephon 0,3 cc
pohon-1 (e1), 0,6 cc pohon-1 (e2) dan 1,2 cc
pohon-1 (e4).
Gambar 5 menunjukkan bahwa pengaruh
dosis etephon terhadap kadar karet kering
yang terbentuk pada pohon karet pada
bersifat kuadratik. Dosis etephon maksimum pada klon RRIM 600 adalah 0,7292
cc pohon-1 yang menghasilkan kadar karet
kering 28,1484 % (rklon I = 0.8478tn),
sedangkan pada klon PB 260 dosis
etephon maksimum adalah 1,069 cc
pohon-1 yang menghasilkan kadar karet
kering 31,847 % (rklon II = 0.9317*)
150.00
125.00
125.00
Lump (g)
Lump (g)
100.00
75.00
y = 53.2 + 106.67x - 66.667x
50.00
2
r = 0.9050*
y = 84.457 + 96.286x - 61.905x
75.00
2
r = 0.9577*
50.00
25.00
25.00
0
(4a)
100.00
0.3
0.6
0.9
1.2
-1
1.5
-1
Dosis Dosis
Etephon
pohon
)
Ethreel (cc(cc
pohon
)
0
(4b)
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
-1
-1
DosisDosis
Etephon
pohon
Ethreel (ccccpohon
) )
Gambar 4. Hubungan rata-rata lump yang terbentuk pada pohon karet dengan dosis
etephon klon RRIM 600 (a) dan PB 260 (b) pada bulan kedua
Sidik ragam gabungan menunjukkan bahwa hubungan dosis etephon dengan kadar
karet kering yang terbentuk bersifat
kuadratik dan pengaruh dosis etephon
tidak berbeda nyata terhadap dua klon.
Hubungan antara dosis etephon dengan
kadar karet kering yang terbentuk pada
bulan kedua pada dua klon tanaman karet
yang berbeda disajikan pada Gambar 6.
96
Gambar 6 menunjukkan bahwa pengaruh
dosis etephon terhadap dari kadar karet
kering yang terjadi pada pohon karet
bersifat kuadratik. Dosis etephon maksimum pada klon RRIM 600 adalah 0,9561
cc pohon-1 yang menghasilkan kadar karet
kering 27,6398 % (rklon I = 0.9232*),
sedangkan pada klon PB 260 dosis
etephon maksimum adalah 0,9325 cc
pohon-1 yang menghasilkan kadar karet
kering 26,7333 % (rklon II = 0.9661**).
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
y = 30.343 - 6.019x + 4.127x
32.00
r = 8478
2
tn
30.00
28.00
26.00
24.00
0
0.3
0.6
0.9
1.2
-1
32.00
y = 29.491 - 4.4095x + 2.0635x
2
r = 0.9317*
30.00
28.00
26.00
24.00
1.5
-1
Dosis Ethreel (cc
(cc pohon
) )
Dosis Etephon
pohon
(5a)
34.00
Kadar Karet Kering (DRC)
Kadar Karet Kering (DRC)
34.00
ISSN 1858-4330
0
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
-1 -1
Dosis Ethreel
pohon ) )
Dosis Etephon
(cc(ccpohon
(5b)
34.00
32.00
y = 32.131 - 9.4095x + 5.3968x
30.00
r = 0.9439*
Kadar Karet Kering (DRC)
Kadar Karet Kering (DRC)
Gambar 5. Hubungan rata-rata kadar karet kering yang terbentuk pada pohon karet dengan
dosis etephon klon RRIM 600 (a) dan PB 260 (b)
2
28.00
26.00
24.00
0
(6a)
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
-1
Dosis Etephon (cc pohon
)
Dosis Ethreel (cc pohon-1)
31.00
y = 30.274 - 7.0952x + 3.9683x
30.00
29.00
2
r = 0.9459*
28.00
27.00
26.00
25.00
24.00
0
(6b)
(43b)
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
-1
-1
Dosis Etephon
pohon
Dosis Ethreel (cc
(cc pohon
) )
Gambar 6. Hubungan persentase rata-rata kadar karet kering pada pohon karet dengan
dosis etephon klon RRIM 600 (a) dan PB 260 (b).
Klon RRIM 600
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian dosis etephon 0,9 cc
pohon-1 memberikan hasil terbaik pada
parameter jumlah lateks yang keluar, lump
yang terbentuk, sedangkan pada parameter
kadar karet kering (Tabel 1) memberikan
hasil terbaik tanpa pemberian dosis
etephon baik pada bulan I dan ke II.
Pemberian dosis etephon 0,9 cc pohon-1
menunjukkan hasil terbaik dibandingkan
dosis yang lain pada pengamatan lateks
yang keluar, hal ini disebabkan karena
adanya pemberian stimulan pada tanaman
karet yang dapat menggenjot produksi
lateks tanaman karet. Hal ini sesuai
dengan pendapat Setyamidjaja (1993)
yakni dosis stimulan pada tiap pohon
tergantung pada besarnya bagian pohon
yang distimulasi dan sistem sadapnya.
Secara umum pada sistem panel aplikasi:
0,6 – 1,0 gram pohon-1. Hal ini sesuai
dengan pendapat Siregar (1995) bahwa
pemberian stimulansia berfungsi memperpanjang masa pengaliran lateks sehingga produksi yang diperoleh pada
penyadapan d/3 dan d/4 masih lebih tinggi
dibandingkan dengan penyadapan d/2,
97
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
apalagi jika didukung dengan dosis yang
tepat untuk memenuhi persyaratan.
Hal ini juga sesuai dengan pendapat Heru
dan Andoko (2008), bahwa bahan aktif
stimulan mengeluarkan gas etilen yang
jika diaplikasikan akan meresap ke dalam
pembuluh lateks. Di dalam pembuluh
lateks, gas tersebut menyerap air dari sel
sel yang ada di sekitarnya. Penyerapan air
ini menyebabkan tekanan turgor naik yang
diiringi dengan derasnya aliran lateks. Tekanan turgor adalah tekanan pada dinding
sel oleh isi sel, banyak sedikitnya isi sel
berhubungan dengan besar kecilnya tekanan pada dinding sel (Siregar, 1995).
Berdasarkan hasil pengamatan lateks yang
keluar memperlihatkan adanya respon tanaman karet terhadap pemberian stimulan
etephon. Hal ini memperjelas bahwa pertumbuhan suatu tanaman dapat diatur
melalui pengaturan lingkungan tumbuh
dan pemberian unsur hara, selain itu tanaman mempunyai kemampuan internal
untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan melalui zat pengatur tumbuh.
Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa
atau zat yang dibutuhkan oleh tanaman,
namun karena tidak semua kondisi
hormon yang ada pada suatu tanaman
tersedia cukup maka penambahan ZPT
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
kerja hormon tersebut (Heddy, 1996).
Stimulasi lateks umumnya dilaksanakan
pada tanaman karet yang telah dewasa
dengan tujuan untuk mendapatkan kenaikan hasil lateks sehingga dapat diperoleh
tambahan keuntungan bagi pengusaha
perkebunan karet. Pada perkebunan rakyat
penggunaan stimulan mungkin belum biasa karena adanya kekurangtahuan terhadap stimulan tersebut sehingga hanya
menerapkan sistem eksploitasi konvensional (Setyamidjaja 1993).
Pemberian etephon 0,9 cc-1 memberikan
hasil terbaik pada pengamatan lump. Ini
terlihat dengan banyaknya lump yang
98
ISSN 1858-4330
terbentuk. Hal ini disebabkan karena lateks yang keluar biasanya sebanding tidak
jauh berbeda dengan lump yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Heru dan Andoko (2008) semakin banyak
lateks yang keluar maka lump yang
terbentuk akan semakin banyak.
Pengamatan kadar karet kering tidak
memperlihatkan adanya respon dengan
pemberian dosis etephon. Hal ini karena
pemberian stimulan dapat menurunkan
kadar karet kering. Hal ini sesuai dengan
pendapat Siregar (1995) yakni aplikasi
stimulansia akan mengurangi kebutuhan
air dan menaiknya tekanan turgor sehingga dapat mengakibatkan pengurasan
lateks apabila diaplikasikan terhadap areal
pertanaman karet yang disadap dengan
frekuensi tinggi seperti satu kali dua hari.
Lateks yang dieksploitasi secara berlebihan akan memicu proses transpirasi
lebih cepat sehingga tanaman menjadi
kerdil dan mudah terserang hama penyakit. Hal ini sesuai dengan Dwidjoseputro
(1984), bahwa Jika proses transpirasi ini
cukup besar dan penyerapan air tidak
dapat mengimbanginya, maka tanaman
tersebut akan mengalami kelayuan sementara (transcient wilting), sedang tanaman
akan mengalami kelayuan tetap, apabila
keadaan air dalam tanah telah mencapai
permanent wilting percentage. Tanaman
dalam keadaan ini sudah sulit untuk berproduksi karena sebagaian besar selselnya telah mengalami plasmolisis.
Klon PB 260
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian stimulan pada dosis ethrel
0,9 cc pohon-1 memberikan hasil terbaik
pada parameter jumlah lateks yang keluar
(g), lump yang terbentuk (g), sedangkan
tanpa pemberian dosis etephon memberikan hasil terbaik pada pengamatan kadar
karet kering (%) pada Tabel 1.
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
Pengamatan lateks yang keluar memberikan hasil terbaik pada pemberian dosis
etephon 0,9 cc pohon-1. Hal ini dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi lateks Hal ini
didukung oleh (Anonim, 2009) Produksi
lateks per satuan luas dalam kurun waktu
tertentu dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain klon karet yang digunakan,
kesesuaian lahan dan agroklimatologi,
pemeliharaan tanaman belum menghasilkan, sistem dan manajemen sadap, dan
lainnya
Produksi tanaman karet pada pengaplikasian ke dua tidak jauh berbeda
dengan pengaplikasian pertama, ini disebabkan dosis yang diberikan pada pengaplikasian kedua sama dengan pengaplikasian bulan I dapat dilihat bahwa
nilai rata rata klon PB 260 lebih tinggi
dibandingkan klon RRIM 600 hal ini disebabkan perbedaan jenis klon yang digunakan. Klon PB 260 adalah klon penghasil
lateks dengan daya metabolisme tinggi,
cepat mencapai puncak produksi, memungkinkan untuk disadap pada umur
yang lebih muda tanpa harus menunggu
ukuran lilit batang terlebih dahulu (Anonim, 2007).
Penggunaan klon dapat menaikkan produksi yang cukup tinggi dibandingkan dengan tanaman asal biji. Pusat penelitian
perkebunan Sembawa (1990), menetapkan
anjuran bahan tanaman karet yang berguna bagi praktisi perkebunan, para penyuluh lapangan, dan petani. Klon-klon
yang dianjurkan tersebut terbagi menjadi
tiga kelompok yaitu klon skala besar,
skala kecil dan skala percobaan.
(Djoehana, 1993).
Pengamatan Lump yang terbentuk menunjukkan bahwa hasilnya sama antara klon
RRIM 600 dan PB 260. Hal ini disebabkan karena lateks yang keluar biasanya
tidak jauh berbeda dengan lump yang
dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Heru dan Andoko (2008) Jenis Klon yang
ISSN 1858-4330
dipasarkan oleh balai benih merupakan
jenis klon yang tahan terhadap beberapa
jenis penyakit dan menunjukkan peningkatan produksi lateks jika diberikan stimulan.
Kadar karet kering pada klon RRIM 600
dan PB 260 menunjukkan hasil yang
hampir sama yaitu memperlihatkan respon yang baik tanpa pemberian dosis
etephon (Tabel 5 dan Tabel 6). Ini dikarenakan tidak adanya pengaruh stimulan pada tanaman tersebut. Klon PB
260 menunjukkan hasil yang lebih rendah
dibanding klon RRIM 600. Hal ini sesuai
dengan Anonim (2007), bahwa untuk
menghindari penyadapan yang terlalu sering dan mengurangi pemakaian Etephon
terutama pada klon yang rentan terhadap
penyakit kering alur sadap (KAS) yaitu
BPM 1, PB 235, PB 260, PB 330, PR 261,
dan RRIC 100. Bila terjadi penurunan
kadar karet kering yang terus menerus
pada lateks yang dipungut serta peningkatan jumlah pohon yang terkena kering
alur sadap sampai 10% Pada seluruh areal
pertanaman.
Stimulan memperpanjang waktu aliran
dan menghambat pembentukan sumbat
pada akar sadap. Karena waktu mengalirnya lateks diperpanjang, maka volume
lateks menjadi lebih besar dan bertambahnya volume cairan maka jumlah kadar
karet kering juga bertambah. Menurut
Daryanto (1990) bahwa hubungan antara
pengaruh stimulan dengan Kadar Karet
Kering (KKK) berbanding terbalik.
KESIMPULAN
1. Pemberian dosis etephon 0,9 cc pohon-1
memberikan hasil terbaik pada jumlah
lateks yang keluar serta lump yang terbentuk baik pada klon RRIM 600 dan
Klon PB 260 dan bersifat kuadratik
baik pada pemberian etephon bulan
pertama maupun bulan kedua.
99
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
2. Tanpa pemberian stimulan etephon
memberikan hasil terbaik pada pengamatan kadar karet kering pada klon
RRIM 600 dan PB 260 serta bersifat
kuadratik baik pada pemberian etephon
bulan pertama maupun bulan kedua.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2005. Deskripsi Klon. [diakses
13 Juli 2009 pada situs http:
//www.worldagroforestry.org/sea/Pr
ojects/CFC/Downloadle/Leaflet%20
4-Deskripsi.pdf.
______, 2007, Statistik Perkebunan
Indonesia, Departemen Pertanian
Direktorat Jendral Perkebunan.
[diakses 20 Juli 2009 pada situs
http://www.bulukumbakab.go.id/?id
=72#13].
______, 2008a. Potret Karet Alam Di
Indonesia. [diakses 22 Januari 2009
pada situs http://www.bni.co.id/
Portals/0/Document/Ulasan%20Eko
nomi/Artikel%20Ekonomi%20dan
%20Bisnis/Karet-sep08.pdf.].
ISSN 1858-4330
//arwansp.wordpress.com/2008/11/0
4/kajian-fisiologi-dan-sifat-karetklon-pb-260-menjelang-bukasadap/].
Darjanto, 1989. Tinjauan Problema dalam
Perbanyakan Vegetatif pada Tanaman Karet. Menara Perkebunan 2
(43) : 93 – 104.
Dewi, A, I, R. 2008. Peranan dan Fungsi
Fitohormon bagi Pertumbuhan Tanaman. Makalah pada Fakultas
Pertanian Universitas Padjadjaran
Bandung (Tidak dipublikasikan)
Dewilde. 1990. Practical Application of
Ethrel in Agricultural Production.
information Sheet. Amchem Product, Inc. Ambler.
Bondad, N.D. 1996. Respon of Some
Tropical and Subtropical Fruit to Pre
and Post Harvest Applications of
Ethephon. Economic Botany 30: 67
– 80.
Heru, D.S dan A. Andoko. 2005.
Petunjuk Lengkap Budidaya
Karet. Agromedia Pustaka, Jakarta.
______, 2008b. Karet. [diakses tanggal 22
Januari 2009 pada situs http://
id.wikipedia.org/wiki/Karet].
_____. 2008. Petunjuk Lengkap
Budidaya Karet Edisi Revisi.
Agromedia Pustaka, Jakarta.
______, 2009. Pengelolaan Penyakit
KAS, Peningkatan Produksi dan
Kualitas Tanaman Lateks. [Diakses
17 Juli 2009 pada situs http:
//abuumayah.blogspot.com/2009/02/
pengelolaan-penyakit-kas
peningkatan.html]
Widyastuti, N., dan D. Tjokrokusumo.
2007. Peranan Beberapa Zat
Pengatur Tumbuh (ZPT) Tanaman
Pada Kultur In Vitro. J. Sains dan
Teknologi Indonesia 3 (5); 55 – 63.
Anwar, C. 2006. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet Medan. [diakses 22
Januari 2009 pada situs http:
//www.ipard.com/art_perkebun.
Arief, S dan Sumarmadji, 2007. Kajian
Fisiologi dan Sifat Karet Klon PB
260 Menjelang Buka Sadap.[diakse
22 Januari 2009 pada situs http:
100
Setyamidjaja, D. 1993. Karet Budidaya
Dan Pengolahan. Kanisius, Yogyakarta.
Sophian, T, 2008. Produksi Tanaman
Karet (Hevea Brasiliensis) Di
Daerah Bercurah Hujan Tinggi Di
Kabupaten Bogor. [diakses 22
Januari 2009 pada situs http://io.ppi
jepang.org/article.php?id=242].
Santoso, B dan Basuki, 1992. Masalah
pengawetan dan Penyimpanan Biji
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
Karet. Pertemuan Teknik Perkebunan II, Surakarta.
Siregar, T. 1995. Tekhnik Penyadapan
Karet. Kanisius, Yogyakarta
ISSN 1858-4330
Weaver, R.J. 1992. Plant Growth
Substance in Agriculture. W.H.
Freeman and Company. San
Fransisco.
101
ISSN 1858-4330
PRODUKSI TANAMAN KARET PADA PEMBERIAN
STIMULAN ETEPHON
LATEX PRODUCTION IN RELATION TO ETEPHON APPLICATION
Nasaruddin dan Deasy Maulana
Jurusan Budidaya Tanaman Faperta Unhas
Jl. Perintis Kemerdekaan KM 10 Tamalanrea, Makassar
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan karet PT. PP London Sumatra, Balombissie
Estate, Bulukumba yang berlangsung mulai Februari sampai April 2009. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari pengaruh stimulan etephon terhadap produksi tanaman karet
jika diberikan stimulan etephon dengan dosis yang berbeda. Praktik lapang ini
dilaksanakan dalam bentuk percobaan berdasarkan rancangan acak lengkap. Pemberian
etephon dilakukan sebanyak dua kali yaitu pemberian etephon pertama dilakukan tanggal
20 Februari 2009 dan pemberian etephon kedua tanggal 20 Maret 2009. Dengan lima
ulangan dimana perlakuannya terdiri dari satu faktor dengan 5 taraf yaitu: kontrol (tanpa
pemberian etephon), pemberian etephon dosis 0,3 cc pohon-1, pemberian etephon dosis 0,6
cc pohon-1, pemberian etephon dosis 0,9 cc pohon-1 dan pemberian etephon dosis 1,2 cc
pohon-1 pada klon karet RRIM 600 dan klon PB 260. Hasil penelitian menunjukkan untuk
klon PB 260 pada dosis 0,9 cc pohon-1 pada komponen lateks yang terbentuk 628 g
(pemberian bulan pertama) dan 776 g (pemberian bulan kedua), lump yang terbentuk 120 g
(pemberian bulan pertama) 128 g (pemberian bulan kedua). Untuk kadar karet kering hasil
terbaik ditunjukkan pada tanaman kontrol yakni 29,40% (pemberian bulan pertama) dan
30% (pemberian bulan kedua).
Kata kunci: Karet, stimulan stephon.
ABSTRACT
This research was executed at rubber plantation PT's PP is Sumatra's London, Balombissie
Estate, Bulukumba. Starting from February until April 2009. This research intent to study
the effect of stimulan etephon's as stimulan on latex production under various dosage. The
treatment was arranged in completely randomized design. Etephon's application is done as
much two-time which is application etephon first done on 20 February 2009 and etephon's
second applications on 20 March 2009. With five replication, where treatment consisted
one factors with 5 levels i.e: control (without application etephon), etephon's application
dose 0,3 cc plant-1, etephon's application dose 0,6 cc plant-1, etephon's application dose 0,9
cc plant-1 and etephon's application dose 1,2 cc plant-1 on RRIM'S 600 rubber clone and
PB's 260 clones. On the other side PB's 260 clone on dose 0,9 cc plant-1 latex component
628 g (first application) and 776 g (second application), lump 120 g (first application) 128
g (second application). Highest dry rubber was on control's plant namely 29,40% (first
application) and 30% (second application).
Keywords: Rubber, stimulan stephon.
89
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
PENDAHULUAN
Perekonomian Indonesia akan mendapat
tekanan yang cukup berat sebagai imbas
dari ancaman penurunan pertumbuhan
ekonomi dunia akibat krisis keuangan. Penurunan pertumbuhan ekonomi di negaranegara industri memberikan tekanan yang
cukup besar terhadap kinerja ekspor komoditas, namun diharapkan dengan pangsa pasar yang cukup besar dan adanya
perbaikan perekonomian dunia dalam 2 –
3 tahun ke depan, ekspor komoditas masih
tetap menjadi tumpuan perekonomian dalam jangka panjang. Adapun kinerja ekspor komoditas pertanian menunjukkan
pertumbuhan yang cukup baik khususnya
hasil-hasil perkebunan. Salah satu komoditas yang selama ini menjadi andalan
ekspor adalah tanaman karet (Anonim,
2008a).
Tanaman karet berasal dari bahasa latin
Hevea yang berasal dari Negara Brazil.
Karet merupakan kebutuhan vital bagi
kehidupan manusia sehari-hari, hal ini
terkait dengan mobilitas manusia dan
barang yang memerlukan komponen yang
terbuat dari karet seperti ban kendaraan,
conveyor belt, sabuk transmisi, dock
fender, sepatu dan sandal karet (Anwar,
2006).
Karet merupakan salah satu komoditas
pertanian di Indonesia. Komoditas ini dibudidayakan relatif lebih lama daripada
komoditas perkebunan lainnya. Tanaman
ini di introduksi pada tahun 1864. Dalam
kurun waktu sekitar 150 tahun sejak
dikembangkan pertama kalinya, luas areal
perkebunan karet di Indonesia telah mencapai 3.262.291 hektar. Dari total area
perkebunan di Indonesia tersebut 84,5%
milik perkebunan rakyat, 8,4% milik
swasta, dan hanya 7,1% merupakan milik
negara (Heru dan Andoko, 2008).
Karet merupakan komoditi ekspor yang
mampu memberikan konstribusi di dalam
upaya peningkatan devisa Indonesia. Eks-
90
ISSN 1858-4330
por karet selama 20 tahun terakhir terus
menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0
juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta
ton pada tahun 1995 dan 1.9 juta ton pada
tahu 2004. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2004 mencapai US$
2.25 milyar, yang merupakan 5% dari
pendapatan Negara (Anwar, 2006).
Khusus di Provinsi Sulawesi Selatan salah
satu daerah penghasil karet adalah Kabupaten Bulukumba. Daerah ini mempunyai
kesesuaian lahan, iklim, dan topografi
yang cocok untuk pertumbuhan tanaman
karet. Posisi Kabupaten Bulukumba di
jazirah selatan Provinsi Sulawesi Selatan,
yang secara geografis wilayahnya berada
pada 5,20° 5,40° LS dan antara 119,58°
120,28° BT dengan batas wilayah meliputi
sebelah selatan dengan Kabupaten Selayar
dan Laut Flores, sebelah Utara dengan
Kabupaten Sinjai, Sebelah Timur dengan
Teluk Bone, dan sebelah barat dengan
Kabupaten Bantaeng (Anonim, 2007).
Pada tahun 2006 luas areal tanaman karet
di Sulawesi mencapai 19,475.00 ha dengan ketersediaan lahan di kabupaten
Bulukumba 19,390 ha, produksi sekitar
7,958.00 ton sedangkan produktivitas
yang dicapai sekitar 1.256,89 kg ha-1
(Anonim, 2007). Tanaman karet khusus
PT. PP London Sumatra Indonesia divisi
Balombissie Estate pada tahun 2007
sekitar 1.784,94 kg karet kering ha-1 dan
produksi 3097 ton karet kering, dengan
produksi 1,74 ton ha-1 (Anonim 2009).
Hasil tanaman karet yang diambil berupa
produksi lateks. Produksi lateks dari
tanaman karet disamping ditentukan oleh
keadaan tanah dan pertumbuhan tanaman,
klon unggul, juga dipengaruhi oleh teknik
dan manajemen penyadapan. Selama ini
usaha peningkatan produksi lateks dilaksanakan melalui berbagai usaha antara
lain melaksanakan teknis budidaya yang
baik seperti menanam klon unggul,
pemupukan dengan dosis yang tepat dan
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
teratur, sistem penanaman dan pemeliharaan yang baik dan sebagainya.
Dalam dua sampai tiga dasa warsa terakhir ini telah dikembangkan pula penggunaan stimulan. Penggunaan stimulan
bertujuan untuk menggenjot produksi lateks tanaman dan memperpanjang masa
pengaliran lateks karet. Stimulan adalah
suatu campuran yang terdiri dari minyak
nabati (misalnya minyak kelapa sawit)
dengan gemuk alami (disebut carrier
stimulan) dan hormon atau bahan aktif
lainnya (Setyamidjaja, 1993).
Stimulasi lateks umumnya dilaksanakan
pada tanaman karet yang telah dewasa
dengan tujuan untuk mendapatkan kenaikan hasil lateks sehingga diperoleh tambahan keuntungan bagi pengusaha perkebunan karet. Pemberian stimulan tanpa
menurunkan intensitas sadapan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman,
terutama tanaman yang masih muda.
Karenanya tanaman karet hanya bisa dipacu produksinya dengan stimulan jika
telah berumur 15 tahun atau 10 tahun jika
disadap
dengan
intensitas
rendah
(Setyamidjaja, 1993).
Bahan perangsang yang biasa dipakai
untuk perangsangan dengan cara oles
adalah stimulan berbahan aktif ethepon
dengan berbagai merek dagang seperti
Ethrel, ELS dan Cepha. Bahan aktif ini
mengeluarkan gas etilen yang jika diaplikasikan akan meresap ke dalam pembuluh lateks. Di dalam pembuluh lateks
gas tersebut menyerap air dari sel-sel yang
ada di sekitarnya. Penyerapan air ini
menyebabkan tekanan turgor naik yang
diiringi dengan derasnya aliran lateks.
Aplikasi stimulan pada tanaman karet,
tidak semua memberikan respons yang
diharapkan. Hal ini tergantung pada masing-masing klon karet. Menurut Heru dan
Andoko (2006), sebagai ukuran jika kadar
karet kering lateks lebih kecil dari 30%
dengan pemberian stimulan artinya responnya terhadap stimulan kurang berarti.
ISSN 1858-4330
Sehingga perlu diketahui jenis-jenis klon
yang mempunyai respon yang baik terhadap stimulan berupa zat perangsang
tumbuh ethrel yang berbahan aktif
ethepon.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka dilakukan praktik lapang untuk
mengetahui produksi dua klon karet terhadap pemberian berbagai dosis stimulan
etephon.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan
PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk,
Divisi Balombissie Estate Kelurahan
Tanete, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Penelitian ini berlangsung dari bulan
Februari sampai April 2009.
Percobaan ini dilaksanakan dalam bentuk
percobaan Rancangan gabungan dalam
rancangan acak lengkap. Yang jika sidik
ragam gabungannya tidak homogen maka
dihomogenkan dengan indicator Fhomogen =
Nilai KTgalat terbesar dibagi dengan nilai
KTgalat terkecil. Pemberian etephon dilakukan sebanyak dua kali yaitu pemberian etephon pertama dilakukan tanggal
20 Februari 2009 dan pemberian etephon
kedua tanggal 20 Maret 2009
Pada penelitian ini terdiri 5 perlakuan
yang dicobakan pada Klon RRIM 600 dan
Klon PB 260. Setiap perlakuan terdiri 5
ulangan dan setiap perlakuan digunakan 5
tanaman sehingga terdapat 125 unit
tanaman
Perlakuan yang dicobakan pada setiap
klon adalah :
- e0 = 0 cc klon-1 (0 cc pohon-1)
- e1 = 7,5 cc klon-1 (0,3 cc pohon-1)
- e2 = 15 cc klon-1 ( 0,6 cc pohon-1)
- e3 = 22,5 cc klon-1 (0,9 cc pohon-1)
- e4 = 30 cc klon-1 ( 1,2 cc pohon-1)
Penelitian ini dimulai dengan penentuan
pohon karet yang akan dijadikan sampel.
91
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
Pohon karet yang digunakan adalah pohon
karet dengan sistem sadap normal (1/2
lilitan). Kemudian penempelan label pada
pohon sampel. Pengenceran pada etephon
yakni dengan mencampur ethrel konsentrasi 10% dengan air dengan perbandingan
3 : 1 menjadi konsentrasi 2,5 % kemudian
mengambil spoit ukuran untuk mengukur
dosis tersebut juga diberikan pada klon
RRIM 600 dan klon PB 260, kemudian
memasukkan dalam 4 wadah plastik untuk
selanjutnya diaplikasikan.
Pengaplikasian stimulan etephon dilakukan sehari setelah tanaman sampel di
deres agar stimulan yang dioleskan meresap optimal masuk kedalam pembuluh
lateks. Aplikasi dilakukan pada pagi hari
untuk menghindari suhu udara (temperatur) dan penguapan air yang terlalu
tinggi dan menggunakan sistem scrapping
aplication yakni stimulan dioleskan menggunakan kuas kecil sesuai dengan dosis
yang ditentukan. Aplikasi etephon dilakukan di awal pengamatan dan dilakukan
lagi pada bulan kedua.
Parameter pengamatan adalah sebagai
berikut :
1. Lateks yang keluar (gram), yang dihitung setiap 3 hari sekali.
2. Lump yang terbentuk (gram), yang dihitung setiap 2 hari setelah pengambilan lateks.
3. Kadar karet kering (%) yang diukur 3
hari sekali, bersamaan dengan pengukuran lateks.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lateks
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa dosis
etephon 0,9 cc pohon-1 (e3) menghasilkan
rata-rata lateks yang keluar tertinggi pada
klon RRIM 600 (654,00 g) dan sangat
berbeda nyata dibandingkan dengan dosis
etephon 0 cc pohon-1 (e0) dan 0,3 cc
pohon-1 (e1) tetapi tidak berbeda nyata
92
ISSN 1858-4330
dengan dengan dosis etephon 0,6 cc
pohon-1 (e2) dan 1,2 cc pohon-1 (e4).
Sidik ragam gabungan menunjukkan bahwa hubungan dosis etephon dengan lateks
yang keluar bersifat kuadratik, dan pengaruh dosis etephon tidak berbeda nyata
dua klon tanaman karet. Hubungan antara
dosis etephon dengan lateks yang keluar
pada bulan pertama pada dua klon tanaman karet yang berbeda disajikan pada
Gambar 1.
Gambar 2 menunjukkan bahwa pengaruh
dosis etephon terhadap lateks yang keluar
dari pohon karet bersifat kuadratik. Dosis
etephon maksimum pada klon RRIM 600
adalah 0,7646 cc pohon-1 yang menghasilkan lateks sebanyak 683,143 g (rklon I =
0.9975**), sedangkan pada Klon PB 260
dosis etephon maksimum adalah 0,8178
cc pohon-1 yang menghasilkan lateks sebanyak 709,076 g (rklon II = 0.8978*).
Lump
Tabel 1 menunjukkan dosis etephon 0,9 cc
pohon-1 (e3) menghasilkan rata-rata lump
yang terbentuk tertinggi pada klon RRIM
600 (58,00 g) dan sangat berbeda nyata
dibandingkan dengan dosis etephon 0 cc
pohon-1 (e0) dan 0,3 cc pohon-1 (e1) tetapi
tidak berbeda nyata dengan dengan dosis
etephon 0,6 cc pohon-1 (e2) dan 1,2 cc
pohon-1 (e4). Demikian pula pada klon PB
260, dosis etephon 0,9 cc pohon-1 (e3)
menghasilkan rata-rata lump yang terbentuk tertinggi (120,00 g) dan berbeda
nyata dibandingkan dengan dosis etephon
0 cc pohon-1 (e0) dan 0,3 cc pohon-1 (e1)
tetapi tidak berbeda nyata dengan dengan
dosis etephon 0,6 cc pohon-1 (e2) dan 1,2
cc pohon-1 (e4).
Sidik ragam gabungan II menunjukkan
bahwa hubungan dosis etephon dengan
lump yang terbentuk pada bersifat linear
dan pengaruh dosis etephon berbeda nyata
terhadap dua klon. Hubungan antara dosis
etephon dengan lump yang terbentuk pada
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
bulan pertama pada dua klon tanaman
karet yang berbeda disajikan pada
Gambar 3.
ISSN 1858-4330
ningkatkan lump yang terbentuk. Setiap
penambahan 0,1 cc dosis etephon pada
klon RRIM 600 akan menghasilkan lump
10,333 g (rklon I = 0.6011), sedangkan pada
klon PB 260 dengan setiap penambahan
0,1 cc dosis etephon akan menghasilkan
lump 22 g (rklon II = 0.8909*).
Gambar 3 menunjukkan bahwa pengaruh
dosis etephon terhadap lump yang terbentuk pada pohon karet pada bersifat
linear artinya semakin tinggi dosis
etephon yang diberikan akan semakin me-
700.00
700.00
600.00
500.00
400.00
y = 323.49 + 543.43x - 298.41x
300.00
r = 0.8742
Lateks (g)
Lateks (g)
600.00
2
tn
500.00
y = 424.74 + 435.71x - 271.43x
400.00
200.00
100.00
2
r = 0.9625**
300.00
0
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
0
-1
Dosis Etephon (cc pohon
)
Dosis Ethreel (cc pohon-1)
(1a)
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
-1
-1
pohon
)
(1b)
Dosis Etephon
Dosis Ethreel (cc
(cc pohon )
700.00
800.00
600.00
700.00
y = 452.17 + 606.86x - 396.83x
500.00
Lateks (g)
Lateks (g)
Gambar 1. Hubungan rata rata lateks yang keluar dari pohon karet dengan dosis etephon
klon RRIM 600 (a) dan PB 260 (b) pada bulan pertama.
2
r = 0.9975**
400.00
y = 479.49 + 560.76x - 342.86x
500.00
2
r = 0.8978*
400.00
300.00
300.00
0
(2a)
600.00
0.3
0.6
0.9
1.2
-1
-1
Dosis Etephon
pohon
Dosis Ethreel (cc
(cc pohon
) )
1.5
0
(2b)
0.3
0.6
0.9
1.2
-1
Dosis Etephon
(cc
pohon
Dosis Ethreel (cc
pohon
)
1
)
1.5
-
Gambar 2. Hubungan rata-rata lateks yang keluar dari pohon karet dengan dosis etephon
klon RRIM 600 (a) dan PB 260 (b) pada bulan kedua.
93
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
ISSN 1858-4330
Tabel 1. Rata-rata lateks yang keluar, lump yang terbentuk dan kadar karet kering pada tanaman karet klon RRIM 600 dan klon PB 260
Perlakuan
Rata-rata
lateks (g) yang
keluar bulan
pertama
Dosis etephon
Klon
RRIM 600
Klon
RRIM 600
Klon
PB 260
Klon
RRIM 600
Klon
PB260
Klon
RRIM 600
Klon
PB 260
Klon
RRIM 600
Klon
PB 260
Klon
RRIM 600
Klon
PB 260
0 cc pohon-1
(e0)
354,00c
452,00b
490,00c
37,00c
92,00c
58,00c
86,00b
30,00a
29,40a
31,80a
30,00a
0,3 cc pohon-1
(e1)
406,00bc
596,00ab
612,00bc
43,00bc
98,00bc
70,00bc
106,00ab
29,60ab
28,40ab
30,40ab
29,20ab
0,6 cc pohon-1
(e2)
520,00ab
682,00a
644,00ab
52,00ab
112,00ab
92,00ab
116,00a
28,20bc
28,00abc
28,60bc
27,00b
0,9 cc pohon-1
(e3)
654,00a
668,00a
776,00a
58,00a
120,00a
106,00a
128,00a
27,60c
26,60c
27,20c
27,00b
1,2 cc pohon-1
(e4)
508,00abc
612,00a
632,00b
45,00abc
114,00ab
80,00abc
108,00ab
29,40ab
27,40bc
29,00bc
27,60ab
NP BNT0,01/0,05
212,7569
154,2497
140,4971
13,4642
19,1262
27,7705
28,5282
1,6089
1,7300
1,8005
2,5729
Rata-rata lateks (g)
yang keluar bulan
kedua
Rata-rata lump (g)
yang terbentuk bulan
pertama
Rata-rata lump (g)
yang terbentuk bulan
kedua
Rata-rata kadar karet
kering (%) yang
terbentuk bulan
pertama
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT
94
=0,05/0,01
Rata-rata kadar
karet kering (%)
yang terbentuk
bulan kedua
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
ISSN 1858-4330
y klon II = 94 + 22x , r = 0.8909*
140.00
Lump (g)
120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
y klon I = 40.8 + 10.333x , r = 0.6011
20.00
tn
0.00
0
0.3
0.6
0.9
1.2
-1 -1
Dosis
Etephon
(ccpohon
pohon) )
Dosis
Ethreel (cc
Keterangan :
= Klon I
= Klon II
Gambar 3. Hubungan rata-rata lump yang terbentuk pada pohon karet dengan dosis
etephon klon RRIM 600 dan klon PB 260 pada bulan pertama
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa dosis
etephon 0,9 cc pohon-1 (e3) menghasilkan
rata-rata lump yang terbentuk tertinggi
pada klon RRIM 600 (106,00 g) dan
sangat berbeda nyata dibandingkan dengan dosis etephon 0 cc pohon-1 (e0) dan
0,3 cc pohon-1 (e1) tetapi tidak berbeda
nyata dengan dengan dosis etephon 0,6 cc
pohon-1 (e2) dan 1,2 cc pohon-1 (e4).
Demikian pula pada klon PB 260, dosis
etephon 0,9 cc pohon-1 (e3) menghasilkan
rata-rata lump yang terbentuk tertinggi
(128,00 g) dan sangat berbeda nyata dibandingkan dengan dosis etephon 0 cc
pohon-1 (e0), tetapi tidak berbeda nyata
dengan dengan dosis etephon 0,3 cc
pohon-1 (e1), 0,6 cc pohon-1 (e2) dan 1,2 cc
pohon-1 (e4).
Dosis etephon maksimum pada klon
RRIM 600 adalah 0,80 cc pohon-1 yang
menghasilkan lump 95,861 g (rklon I =
0.9050*), sedangkan pada klon PB 260
dosis etephon maksimum adalah 0,777 cc
pohon-1 yang menghasilkan lump 121,897
g (rklon II = 0.9577*).
Kadar Karet Kering (DRC)
Sidik ragam gabungan menunjukkan bahwa hubungan dosis etephon dengan lump
yang terbentuk bersifat kuadratik, pengaruh dosis etephon tidak berbeda nyata
terhadap dua klon. Hubungan antara dosis
etephon dengan lump yang terbentuk pada
bulan kedua pada dua klon tanaman karet
yang berbeda disajikan pada Gambar 4.
Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian
dosis etephon 0,9 cc pohon-1 (e3) menghasilkan rata-rata kadar karet kering terendah pada klon RRIM 600 (27,60 %)
dan berbeda nyata dibandingkan dengan
dosis etephon 0 cc pohon-1 (e0), 0,3 cc
pohon-1 (e1) dan 0,6 cc pohon-1 (e2) tetapi
tidak berbeda nyata dengan dengan dosis
etephon dan 1,2 cc pohon-1 (e4). Demikian
pula pada klon PB 260, dosis etephon 0,9
cc pohon-1 (e3) menghasilkan rata-rata
kadar karet kering terendah (26,60%)
berbeda nyata dibandingkan dengan dosis
etephon 0 cc pohon-1 (e0) dan 0,3 cc
pohon-1 (e1), tetapi tidak berbeda nyata
dengan dengan dosis etephon 0,6 cc
pohon-1 (e2) dan 1,2 cc pohon-1 (e4).
Gambar 4 menunjukkan bahwa pengaruh
dosis etephon terhadap lump yang terbentuk pada pohon karet bersifat kuadratik.
Sidik ragam gabungan menunjukkan
bahwa hubungan dosis etephon dengan
kadar karet kering yang terbentuk bersifat
95
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
ISSN 1858-4330
kuadratik dan pengaruh dosis etephon
tidak berbeda nyata terhadap dua klon
pada. Hubungan antara dosis etephon
dengan kadar karet kering yang terbentuk
pada bulan pertama pada dua klon tanaman karet yang berbeda disajikan pada
Gambar 5.
Tabel 1 menunjukkan bahwa dosis etephon
0,9 cc pohon-1 (e3) menghasilkan rata-rata
kadar karet kering terendah pada klon
RRIM 600 (27,20) dan sangat berbeda
nyata dibandingkan dengan dosis etephon
0 cc pohon-1 (e0) dan 0,3 cc pohon-1 (e1),
tetapi tidak berbeda nyata dengan dengan
dosis etephon dan 0,6 cc pohon-1 (e2) dan
1,2 cc pohon-1 (e4). Demikian pula pada
klon PB 260, dosis etephon 0,9 cc pohon-1
(e3) menghasilkan rata-rata kadar karet
kering terendah (27,00 %) sangat berbeda
nyata dibandingkan dengan dosis etephon
0 cc pohon-1 (e0), tetapi tidak berbeda
nyata dengan dengan dosis etephon 0,3 cc
pohon-1 (e1), 0,6 cc pohon-1 (e2) dan 1,2 cc
pohon-1 (e4).
Gambar 5 menunjukkan bahwa pengaruh
dosis etephon terhadap kadar karet kering
yang terbentuk pada pohon karet pada
bersifat kuadratik. Dosis etephon maksimum pada klon RRIM 600 adalah 0,7292
cc pohon-1 yang menghasilkan kadar karet
kering 28,1484 % (rklon I = 0.8478tn),
sedangkan pada klon PB 260 dosis
etephon maksimum adalah 1,069 cc
pohon-1 yang menghasilkan kadar karet
kering 31,847 % (rklon II = 0.9317*)
150.00
125.00
125.00
Lump (g)
Lump (g)
100.00
75.00
y = 53.2 + 106.67x - 66.667x
50.00
2
r = 0.9050*
y = 84.457 + 96.286x - 61.905x
75.00
2
r = 0.9577*
50.00
25.00
25.00
0
(4a)
100.00
0.3
0.6
0.9
1.2
-1
1.5
-1
Dosis Dosis
Etephon
pohon
)
Ethreel (cc(cc
pohon
)
0
(4b)
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
-1
-1
DosisDosis
Etephon
pohon
Ethreel (ccccpohon
) )
Gambar 4. Hubungan rata-rata lump yang terbentuk pada pohon karet dengan dosis
etephon klon RRIM 600 (a) dan PB 260 (b) pada bulan kedua
Sidik ragam gabungan menunjukkan bahwa hubungan dosis etephon dengan kadar
karet kering yang terbentuk bersifat
kuadratik dan pengaruh dosis etephon
tidak berbeda nyata terhadap dua klon.
Hubungan antara dosis etephon dengan
kadar karet kering yang terbentuk pada
bulan kedua pada dua klon tanaman karet
yang berbeda disajikan pada Gambar 6.
96
Gambar 6 menunjukkan bahwa pengaruh
dosis etephon terhadap dari kadar karet
kering yang terjadi pada pohon karet
bersifat kuadratik. Dosis etephon maksimum pada klon RRIM 600 adalah 0,9561
cc pohon-1 yang menghasilkan kadar karet
kering 27,6398 % (rklon I = 0.9232*),
sedangkan pada klon PB 260 dosis
etephon maksimum adalah 0,9325 cc
pohon-1 yang menghasilkan kadar karet
kering 26,7333 % (rklon II = 0.9661**).
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
y = 30.343 - 6.019x + 4.127x
32.00
r = 8478
2
tn
30.00
28.00
26.00
24.00
0
0.3
0.6
0.9
1.2
-1
32.00
y = 29.491 - 4.4095x + 2.0635x
2
r = 0.9317*
30.00
28.00
26.00
24.00
1.5
-1
Dosis Ethreel (cc
(cc pohon
) )
Dosis Etephon
pohon
(5a)
34.00
Kadar Karet Kering (DRC)
Kadar Karet Kering (DRC)
34.00
ISSN 1858-4330
0
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
-1 -1
Dosis Ethreel
pohon ) )
Dosis Etephon
(cc(ccpohon
(5b)
34.00
32.00
y = 32.131 - 9.4095x + 5.3968x
30.00
r = 0.9439*
Kadar Karet Kering (DRC)
Kadar Karet Kering (DRC)
Gambar 5. Hubungan rata-rata kadar karet kering yang terbentuk pada pohon karet dengan
dosis etephon klon RRIM 600 (a) dan PB 260 (b)
2
28.00
26.00
24.00
0
(6a)
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
-1
Dosis Etephon (cc pohon
)
Dosis Ethreel (cc pohon-1)
31.00
y = 30.274 - 7.0952x + 3.9683x
30.00
29.00
2
r = 0.9459*
28.00
27.00
26.00
25.00
24.00
0
(6b)
(43b)
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
-1
-1
Dosis Etephon
pohon
Dosis Ethreel (cc
(cc pohon
) )
Gambar 6. Hubungan persentase rata-rata kadar karet kering pada pohon karet dengan
dosis etephon klon RRIM 600 (a) dan PB 260 (b).
Klon RRIM 600
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian dosis etephon 0,9 cc
pohon-1 memberikan hasil terbaik pada
parameter jumlah lateks yang keluar, lump
yang terbentuk, sedangkan pada parameter
kadar karet kering (Tabel 1) memberikan
hasil terbaik tanpa pemberian dosis
etephon baik pada bulan I dan ke II.
Pemberian dosis etephon 0,9 cc pohon-1
menunjukkan hasil terbaik dibandingkan
dosis yang lain pada pengamatan lateks
yang keluar, hal ini disebabkan karena
adanya pemberian stimulan pada tanaman
karet yang dapat menggenjot produksi
lateks tanaman karet. Hal ini sesuai
dengan pendapat Setyamidjaja (1993)
yakni dosis stimulan pada tiap pohon
tergantung pada besarnya bagian pohon
yang distimulasi dan sistem sadapnya.
Secara umum pada sistem panel aplikasi:
0,6 – 1,0 gram pohon-1. Hal ini sesuai
dengan pendapat Siregar (1995) bahwa
pemberian stimulansia berfungsi memperpanjang masa pengaliran lateks sehingga produksi yang diperoleh pada
penyadapan d/3 dan d/4 masih lebih tinggi
dibandingkan dengan penyadapan d/2,
97
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
apalagi jika didukung dengan dosis yang
tepat untuk memenuhi persyaratan.
Hal ini juga sesuai dengan pendapat Heru
dan Andoko (2008), bahwa bahan aktif
stimulan mengeluarkan gas etilen yang
jika diaplikasikan akan meresap ke dalam
pembuluh lateks. Di dalam pembuluh
lateks, gas tersebut menyerap air dari sel
sel yang ada di sekitarnya. Penyerapan air
ini menyebabkan tekanan turgor naik yang
diiringi dengan derasnya aliran lateks. Tekanan turgor adalah tekanan pada dinding
sel oleh isi sel, banyak sedikitnya isi sel
berhubungan dengan besar kecilnya tekanan pada dinding sel (Siregar, 1995).
Berdasarkan hasil pengamatan lateks yang
keluar memperlihatkan adanya respon tanaman karet terhadap pemberian stimulan
etephon. Hal ini memperjelas bahwa pertumbuhan suatu tanaman dapat diatur
melalui pengaturan lingkungan tumbuh
dan pemberian unsur hara, selain itu tanaman mempunyai kemampuan internal
untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan melalui zat pengatur tumbuh.
Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa
atau zat yang dibutuhkan oleh tanaman,
namun karena tidak semua kondisi
hormon yang ada pada suatu tanaman
tersedia cukup maka penambahan ZPT
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
kerja hormon tersebut (Heddy, 1996).
Stimulasi lateks umumnya dilaksanakan
pada tanaman karet yang telah dewasa
dengan tujuan untuk mendapatkan kenaikan hasil lateks sehingga dapat diperoleh
tambahan keuntungan bagi pengusaha
perkebunan karet. Pada perkebunan rakyat
penggunaan stimulan mungkin belum biasa karena adanya kekurangtahuan terhadap stimulan tersebut sehingga hanya
menerapkan sistem eksploitasi konvensional (Setyamidjaja 1993).
Pemberian etephon 0,9 cc-1 memberikan
hasil terbaik pada pengamatan lump. Ini
terlihat dengan banyaknya lump yang
98
ISSN 1858-4330
terbentuk. Hal ini disebabkan karena lateks yang keluar biasanya sebanding tidak
jauh berbeda dengan lump yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Heru dan Andoko (2008) semakin banyak
lateks yang keluar maka lump yang
terbentuk akan semakin banyak.
Pengamatan kadar karet kering tidak
memperlihatkan adanya respon dengan
pemberian dosis etephon. Hal ini karena
pemberian stimulan dapat menurunkan
kadar karet kering. Hal ini sesuai dengan
pendapat Siregar (1995) yakni aplikasi
stimulansia akan mengurangi kebutuhan
air dan menaiknya tekanan turgor sehingga dapat mengakibatkan pengurasan
lateks apabila diaplikasikan terhadap areal
pertanaman karet yang disadap dengan
frekuensi tinggi seperti satu kali dua hari.
Lateks yang dieksploitasi secara berlebihan akan memicu proses transpirasi
lebih cepat sehingga tanaman menjadi
kerdil dan mudah terserang hama penyakit. Hal ini sesuai dengan Dwidjoseputro
(1984), bahwa Jika proses transpirasi ini
cukup besar dan penyerapan air tidak
dapat mengimbanginya, maka tanaman
tersebut akan mengalami kelayuan sementara (transcient wilting), sedang tanaman
akan mengalami kelayuan tetap, apabila
keadaan air dalam tanah telah mencapai
permanent wilting percentage. Tanaman
dalam keadaan ini sudah sulit untuk berproduksi karena sebagaian besar selselnya telah mengalami plasmolisis.
Klon PB 260
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian stimulan pada dosis ethrel
0,9 cc pohon-1 memberikan hasil terbaik
pada parameter jumlah lateks yang keluar
(g), lump yang terbentuk (g), sedangkan
tanpa pemberian dosis etephon memberikan hasil terbaik pada pengamatan kadar
karet kering (%) pada Tabel 1.
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
Pengamatan lateks yang keluar memberikan hasil terbaik pada pemberian dosis
etephon 0,9 cc pohon-1. Hal ini dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi lateks Hal ini
didukung oleh (Anonim, 2009) Produksi
lateks per satuan luas dalam kurun waktu
tertentu dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain klon karet yang digunakan,
kesesuaian lahan dan agroklimatologi,
pemeliharaan tanaman belum menghasilkan, sistem dan manajemen sadap, dan
lainnya
Produksi tanaman karet pada pengaplikasian ke dua tidak jauh berbeda
dengan pengaplikasian pertama, ini disebabkan dosis yang diberikan pada pengaplikasian kedua sama dengan pengaplikasian bulan I dapat dilihat bahwa
nilai rata rata klon PB 260 lebih tinggi
dibandingkan klon RRIM 600 hal ini disebabkan perbedaan jenis klon yang digunakan. Klon PB 260 adalah klon penghasil
lateks dengan daya metabolisme tinggi,
cepat mencapai puncak produksi, memungkinkan untuk disadap pada umur
yang lebih muda tanpa harus menunggu
ukuran lilit batang terlebih dahulu (Anonim, 2007).
Penggunaan klon dapat menaikkan produksi yang cukup tinggi dibandingkan dengan tanaman asal biji. Pusat penelitian
perkebunan Sembawa (1990), menetapkan
anjuran bahan tanaman karet yang berguna bagi praktisi perkebunan, para penyuluh lapangan, dan petani. Klon-klon
yang dianjurkan tersebut terbagi menjadi
tiga kelompok yaitu klon skala besar,
skala kecil dan skala percobaan.
(Djoehana, 1993).
Pengamatan Lump yang terbentuk menunjukkan bahwa hasilnya sama antara klon
RRIM 600 dan PB 260. Hal ini disebabkan karena lateks yang keluar biasanya
tidak jauh berbeda dengan lump yang
dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Heru dan Andoko (2008) Jenis Klon yang
ISSN 1858-4330
dipasarkan oleh balai benih merupakan
jenis klon yang tahan terhadap beberapa
jenis penyakit dan menunjukkan peningkatan produksi lateks jika diberikan stimulan.
Kadar karet kering pada klon RRIM 600
dan PB 260 menunjukkan hasil yang
hampir sama yaitu memperlihatkan respon yang baik tanpa pemberian dosis
etephon (Tabel 5 dan Tabel 6). Ini dikarenakan tidak adanya pengaruh stimulan pada tanaman tersebut. Klon PB
260 menunjukkan hasil yang lebih rendah
dibanding klon RRIM 600. Hal ini sesuai
dengan Anonim (2007), bahwa untuk
menghindari penyadapan yang terlalu sering dan mengurangi pemakaian Etephon
terutama pada klon yang rentan terhadap
penyakit kering alur sadap (KAS) yaitu
BPM 1, PB 235, PB 260, PB 330, PR 261,
dan RRIC 100. Bila terjadi penurunan
kadar karet kering yang terus menerus
pada lateks yang dipungut serta peningkatan jumlah pohon yang terkena kering
alur sadap sampai 10% Pada seluruh areal
pertanaman.
Stimulan memperpanjang waktu aliran
dan menghambat pembentukan sumbat
pada akar sadap. Karena waktu mengalirnya lateks diperpanjang, maka volume
lateks menjadi lebih besar dan bertambahnya volume cairan maka jumlah kadar
karet kering juga bertambah. Menurut
Daryanto (1990) bahwa hubungan antara
pengaruh stimulan dengan Kadar Karet
Kering (KKK) berbanding terbalik.
KESIMPULAN
1. Pemberian dosis etephon 0,9 cc pohon-1
memberikan hasil terbaik pada jumlah
lateks yang keluar serta lump yang terbentuk baik pada klon RRIM 600 dan
Klon PB 260 dan bersifat kuadratik
baik pada pemberian etephon bulan
pertama maupun bulan kedua.
99
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
2. Tanpa pemberian stimulan etephon
memberikan hasil terbaik pada pengamatan kadar karet kering pada klon
RRIM 600 dan PB 260 serta bersifat
kuadratik baik pada pemberian etephon
bulan pertama maupun bulan kedua.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2005. Deskripsi Klon. [diakses
13 Juli 2009 pada situs http:
//www.worldagroforestry.org/sea/Pr
ojects/CFC/Downloadle/Leaflet%20
4-Deskripsi.pdf.
______, 2007, Statistik Perkebunan
Indonesia, Departemen Pertanian
Direktorat Jendral Perkebunan.
[diakses 20 Juli 2009 pada situs
http://www.bulukumbakab.go.id/?id
=72#13].
______, 2008a. Potret Karet Alam Di
Indonesia. [diakses 22 Januari 2009
pada situs http://www.bni.co.id/
Portals/0/Document/Ulasan%20Eko
nomi/Artikel%20Ekonomi%20dan
%20Bisnis/Karet-sep08.pdf.].
ISSN 1858-4330
//arwansp.wordpress.com/2008/11/0
4/kajian-fisiologi-dan-sifat-karetklon-pb-260-menjelang-bukasadap/].
Darjanto, 1989. Tinjauan Problema dalam
Perbanyakan Vegetatif pada Tanaman Karet. Menara Perkebunan 2
(43) : 93 – 104.
Dewi, A, I, R. 2008. Peranan dan Fungsi
Fitohormon bagi Pertumbuhan Tanaman. Makalah pada Fakultas
Pertanian Universitas Padjadjaran
Bandung (Tidak dipublikasikan)
Dewilde. 1990. Practical Application of
Ethrel in Agricultural Production.
information Sheet. Amchem Product, Inc. Ambler.
Bondad, N.D. 1996. Respon of Some
Tropical and Subtropical Fruit to Pre
and Post Harvest Applications of
Ethephon. Economic Botany 30: 67
– 80.
Heru, D.S dan A. Andoko. 2005.
Petunjuk Lengkap Budidaya
Karet. Agromedia Pustaka, Jakarta.
______, 2008b. Karet. [diakses tanggal 22
Januari 2009 pada situs http://
id.wikipedia.org/wiki/Karet].
_____. 2008. Petunjuk Lengkap
Budidaya Karet Edisi Revisi.
Agromedia Pustaka, Jakarta.
______, 2009. Pengelolaan Penyakit
KAS, Peningkatan Produksi dan
Kualitas Tanaman Lateks. [Diakses
17 Juli 2009 pada situs http:
//abuumayah.blogspot.com/2009/02/
pengelolaan-penyakit-kas
peningkatan.html]
Widyastuti, N., dan D. Tjokrokusumo.
2007. Peranan Beberapa Zat
Pengatur Tumbuh (ZPT) Tanaman
Pada Kultur In Vitro. J. Sains dan
Teknologi Indonesia 3 (5); 55 – 63.
Anwar, C. 2006. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet Medan. [diakses 22
Januari 2009 pada situs http:
//www.ipard.com/art_perkebun.
Arief, S dan Sumarmadji, 2007. Kajian
Fisiologi dan Sifat Karet Klon PB
260 Menjelang Buka Sadap.[diakse
22 Januari 2009 pada situs http:
100
Setyamidjaja, D. 1993. Karet Budidaya
Dan Pengolahan. Kanisius, Yogyakarta.
Sophian, T, 2008. Produksi Tanaman
Karet (Hevea Brasiliensis) Di
Daerah Bercurah Hujan Tinggi Di
Kabupaten Bogor. [diakses 22
Januari 2009 pada situs http://io.ppi
jepang.org/article.php?id=242].
Santoso, B dan Basuki, 1992. Masalah
pengawetan dan Penyimpanan Biji
Jurnal Agrisistem, Desember 2009, Vol. 5 No. 2
Karet. Pertemuan Teknik Perkebunan II, Surakarta.
Siregar, T. 1995. Tekhnik Penyadapan
Karet. Kanisius, Yogyakarta
ISSN 1858-4330
Weaver, R.J. 1992. Plant Growth
Substance in Agriculture. W.H.
Freeman and Company. San
Fransisco.
101