MILITER DALAM NOVEL NOVEL INDONESIA

LAPORAN EKSEKUTIF
MILITER DALAM NOVEL-NOVEL INDONESIA
Oleh Aprinus Salam1, Ramayda Akmal,2 dan Ary Budiyanto3
1. Pengantar
Dari awal kelahirannya, novel-novel Indonesia sudah “cukup
akrab” dengan militer, baik sebagai tokoh maupun sebagai persoalan.
Hal itu sudah terlihat dari Siti Nurbaya dan Sengsara Membawa Nikmat
hingga Bilangan Fu. Persoalannya, bagaimana keberadaan militer
diceritakan dan direpresentasikan? Konteks sosial politik dan
kewacanaan apa yang mengondisikan penceritaan dan representasi
tersebut?
Pengertian militer memiliki cakupan yang luas. Militer merupakan
sekelompok orang yang diorganisasi suatu negara dengan berbagai
aturan dan kedisiplinan untuk melakukan pertempuran dan pertahanan
(Finer, 1962; Muhaimin, 2002). Di samping itu, persoalan militer juga
tidak semata berkaitan dengan fungsi defensi ataupun ekspansinya,
tetapi mencakup kehidupan personal orang-orang di dalamnya,
terutama menyangkut semangat, ideologi, kondisi psikologis, dan
persepsi-persepsi mereka terhadap dunia.
Di Indonesia, novel tidak bisa menceritakan militer secara bebas.
Negara akan sangat peduli dan memperhatikan bagaimana citra militer

di mata masyarakat. Berbagai tindak pembredelan, pelarangan, dan
bahkan pembakaran adalah sekelumit tindak represif negara terhadap
novel-novel yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan negara.
Perkembangan cerita dan representasi militer dalam novel-novel dapat
dijadikan cara melihat bagaimana negara ikut “mengendalikan”
keberadaan novel.
2. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian terhadap wacana militer dalam novel-novel pasca Orde
Baru ini memiliki dua tujuan, yaitu, tujuan teoretis dan tujuan praktis.
Tujuan teoretis penelitian ini adalah menarasikan dan mendeskripsikan
wacana militer dalam novel-novel pasca Orde Baru serta menelusuri
konteks
yang
melahirkan
wacana-wacana
tersebut.
Dengan
menggunakan pendekatan analisis wacana Foucault dan piranti-piranti
teori pendukung lainnya, kemunculan wacana militer dalam novel-novel,
kaitannya dengan konteks, serta ideologi di dalam teksnya dapat

diformulasikan.
Tujuan praktis penelitian ini adalah memberikan alternatif
pemahaman kepada pembaca dengan memunculkan perspektif yang
lebih beragam tentang wacana-wacana militer dalam novel-novel pasca
Orde Baru. Jika selama ini pemahaman pembaca tentang militer
diseragamkan oleh wacana yang diproduksi kekuasaan dalam novelnovel Orde Baru dan sebelumnya, maka penelitian ini ditujukan untuk
1

Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM.
Asisten Dosen di Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM.
3
Mahasiswa S3 CRCS di Sekolah Pasca Sarja UGM, Yogyakarta
2

2

memaparkan perspektif lain tentang militer yang terdapat dalam novelnovel pasca Orde Baru.
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh peneliti selanjutnya
yang hendak mengkaji lebih jauh wacana-wacana militer di dalam novel.
Bagaimana konstelasi antara kekuasaan, negara, sastrawan, dan karya

sastra dalam proses pewacanaan pada penelitian ini juga dapat
dijadikan sumbangan untuk penelitian sejenis.
3. Zaman Kolonial: Yang Militer itu Tentara Kolonial
Seperti telah disinggung, novel modern awal yang memperlihatkan
aspek militer adalah Sitti Nurbaya—SN (1922) karya Marah Rusli.
Selanjutnya adalah Sengsara Membawa Nikmat--SMN (1929) karya Tulis
Sutan Sati, dan Hulubalang Raja--HR (1934) karya Nur Sutan Iskandar.
Ketiga novel ini terbit pada masa akhir pendudukan kolonial Belanda.
Corak militer yang ditampilkan ketiga novel tersebut hampir sama, yaitu
menghadirkan seorang tokoh pribumi yang menjadi tentara Belanda.
Syamsul Bahri dalam SN adalah serdadu Belanda dengan pangkat
letnan. Ia memimpin pasukan Belanda dalam meredam pemberontakan
pribumi di Padang. Sebagai seorang tentara, Samsulbahri dikenal baik
budinya, peramah, penolong tanpa melihat rupa dan bangsa. Dalam
ketentaraan ia adalah Letnan Mas yang gagah berani dan telah
menolong pemerintahan (Belanda) dalam beberapa kesulitan
peperangan (SN, 331). Dalam posisi yang berbeda, Datuk Maringgih,
ditempatkan sebagai pemimpin pemberontak terhadap Belanda (yang
berarti pejuang Indonesia). Walaupun tindakan dan fungsi gerakaan
pejuang itu seperti militer, tetapi sebagai organisasi mereka tidak dapat

disebut militer.
Selain itu, Midun dalam SMN digambarkan sebagai anak lelaki yang
baik, alim, dan disukai oleh semua orang (SMN, 10). Parasnya tampan,
tubuhnya kuat dan sehat (SMN, 11). Oleh karena itu, ia diangkat
menjadi polisi di Tanjung Priok. Bahkan, oleh komisaris Belanda ia
diangkat menjadi asisten demang. Tokoh terakhir adalah Sultan
Malakewi dalam HR. Sultan Malekewi muncul sebagai penglima perang
yang tangkas, gagah berani, dan rendah hati yang berdampingan
dengan Belanda (HR, 119, 137, 140). Ia bekerjasama dengan Belanda
untuk melumpuhkan pemberontakan rakyat Sumatera.
Dari penelusuran terhadap tiga novel ini, terdapat dua kesimpulan
menarik mengenai keberadaan militer. Pertama, tentara yang gagah
berani adalah tentara Belanda (pemerintah yang berkuasa pada waktu
itu). Orang-orang pribumi yang baik budinya dan gagah perkasa
menjadi bagian dari tentara itu. Mereka berada di pihak Belanda yang
akan selalu melindungi Belanda. Setiap orang ingin menjadi tentara
Belanda karena mereka dianggap gagah, cerdik dan baik. Kedua, yang
dikatakan musuh dan pemberontak adalah orang-orang pribumi yang
tidak mau tunduk dan bekerjasama dengan Belanda (yang berarti
adalah pejuang kemerdekaan Indonesia). Pemberontak ini diceritakan

sebagai kaum yang jahat, bebal (tidak mau bekerja sama), dan bodoh.
Berdasarkan konteks awal novel Indonesia modern (zaman kolonial
Belanda dan pendudukan Jepang) di atas, maka pengertian militer
dalam novel Indonesia modern berarti segala wacana menyangkut
orang-orang atau pasukan dengan persenjataan tertentu untuk

3

melindungi, merebut, menaklukan, bahkan menghancurkan area atau
kedaulatan tertentu.
Novel-novel dengan aspek militer di atas adalah novel yang
berhasil terbit dan lulus sensor kolonial. Alur cerita, tokoh-tokoh, dan
aspek militer yang dihadirkan sesuai dengan kepentingan Belanda.
Terhadap karya sastra, pemerintah kolonial melakukan kontrol dengan
menciptakan berbagai peraturan atau undang-undang. Salah satunya
adalah persbreidelordonnantie 1930 (Jaringan Kerja Budaya/JKB, 1999:
16). Berdasarkan peraturan dan undang-undang ini pemerintah kolonial
bebas melakukan tindakan represif berupa pelarangan ataupun
pembredelan terhadap novel-novel yang dianggap membahayakan
ataupun melawan negara (kolonial).

Kontrol ini dipakai untuk melindungi kepentingan kolonial Belanda
yang tidak menginginkan perubahan yang dapat mengancam
kedudukan dan dominasi politiknya. Balai Pustaka didirikan untuk
mendukung kontrol ini dengan memonopoli penerbitan bahan bacaan
bagi anak-anak sekolah zaman penjajahan. Kriteria bacaan yang baik
ditentukan oleh badan ini (Sumardjo, 1999: 110).
4. Zaman Jepang: Rezim Tentara Jepang
Pada tahun 1942, Indonesia dikuasai oleh Jepang. Paling tidak
terdapat dua novel yang terbit pada waktu-waktu itu, yaitu, Cinta Tanah
Air--CTA (1944) karya Nur Sutan Iskandar dan Palawija (1944) karya
Karim Halim. Kedua-duanya sarat wacana militer dan propaganda.
Amirrudin, tokoh utama dalam CTA merupakan anggota PETA yang
begitu mengagumi Jepang terutama semangat bushido-nya. Amirrudin
begitu takjub kepada kehebatan tentara Jepang, baik itu Seinendan
(CTA, 11), Keibodan (CTA, 21), maupun Heiho (CTA, 72). Oleh karena
ketakjubannya itu ia kemudian masuk PETA. Bala tentara Dai Nippon tak
mau mundur, bahkan tak tahu arti mundur (CTA, 77). Bala tentara
Nippon memiliki semangat kesatria yang tak takut mati (CTA, 109).
Akibat kemenangan Nippon terhadap Rusia, dunia Timur menjadi
bangkit (CTA, 65). Pemerintah bala tentara Nippon juga membuka

banyak lapangan pekerjaan. ...pemerintah bala tentara segera
mengatur penghidupan rakyat dengan sebaik-baiknya. Bermacammacam kerja dan usaha diadakan. Mana yang mau bertani diberi
tanah...” (CTA, 64).
Ia juga mempercayai bahwa Jepang merupakan penolong
Indonesia dari penjajahan Belanda. Jepang datang sebagai saudara tua
Indonesia. Menurut mereka, Indonesia dan Jepang sama-sama kulit
berwarna [yang berarti oposisi dari kulit putih] (CTA, 77). Mereka sangat
membenci Belanda. Belanda hanya mementingkan kepentingan sendiri,
tidak peduli kepada rakyat Indonesia. Belanda jahat dan sangat kejam
kepada rakyat Indonesia.Jepang menawarkan kesamarataan dan
keadilan. Tidak ada pembedaan kelas asing atau ‘inlander’ (CTA, 28).
Jepang dikirimkan oleh Allah untuk membantu Indonesia merdeka (CTA,
122). Mereka memiliki semboyan; Amerika kita setrika, Inggris kita
linggis, Sekutu kita sapu (CTA, 165). Begitu pula dengan Sumardi, tokoh
utama novel Palawija. Ia adalah anggota PETA yang ikut berjuang
bersama Jepang untuk mengusir Belanda dari Indonesia.

4

Pada zaman pendudukan Jepang ini peranan Balai Pustaka masih

besar. Namun, sensor redaktur sudah tidak bersifat kolonial lagi,
terbukti dari terbitnya novel-novel yang “melawan Belanda” (Sumardjo,
1999:119). Jepang ingin merebut simpati Indonesia dengan
menempatkan diri sebagai pahlawan yang membantu mengusir
Belanda. Pemerintah Jepang mendirikan satu lembaga yang disebut
Pusat Kebudayaan atau Keimin Bunka Shidoso untuk menghimpun
tenaga sastrawan dan seniman, agar mereka dapat dimanfaatkan bagi
kepentingan perang Asia Timur Raya. Lembaga ini melaksanakan sensor
keras terhadap penerbitan, menghasilkan karya sastra yang sejalan
dengan “pesanan” pemerintah, sehingga dalam berbagai karya
sastrawan yang dihasilkan, unsur propaganda tidak dapat dielakkan.
5. Zaman Orde Lama: Tentara-Tentara Revolusi
Setelah Indonesia merdeka, novel dengan muatan militer baru
muncul sekitar tahun 1950-an, ditandai dengan novel Surapati (1950)
karya Abdul Muis. Selanjutnya secara berturut-turut, novel Perburuan
(1950), Keluarga Gerilya (1950), Di Tepi Kali Bekasi (1951), Mereka yang
Dilumpuhkan (1951) karya Pramoedya Ananta Toer; Djokja Diduduki
(1950) karya Muhamad Dimyati; Menunggu Bedug Berbunji (1950)
karya Hamka; Jalan Tak Ada Ujung (1952) karya Mochtar Lubis; Robert
Anak Surapati (1953) karya Abdul Muis; Telaga Darah (1956) karya

Damhoeri; Pulang (1958) karya Toha Muchtar; Pagar Kawat Berduri
(1963) karya Trisnoyuwono; Sepasang Suami Istri (1964) karya
Satyagraha Hoerip; dan Tanah Kesayangan (1965) karya Bokor
Hutasuhut .
Pemerintahan Soekarno mendapat dukungan dari negara-negara
sosialis di Eropa dan Asia Timur. Ia melancarkan kampanye menentang
pengaruh imperialisme dalam kehidupan masyarakat Indonesia
(JKB,1999:24 ; Kahin, 1995). Kedekatan Soekarno dengan negara-negara
sosialis Eropa Timur ini berimplikasi pada banyak hal. Salah satunya
kehidupan pers dan karya sastra. Segala buku (karya sastra) yang
berasal atau berbau Barat dilarang terbit dan dibredel bagi yang sudah
terbit. Undang-undang yang mendasari pelarangan tersebut antara lain,
Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer No.
PKM/001/9/1956 dan Penetapan Presiden No.4/1963 (JKB, 1999:16,21).
Implikasinya terhadap wacana militer dalam novel-novel yang
terbit pada masa itu adalah terjadinya booming tema-tema revolusi
yang menyoroti perjuangan tentara nasional melawan penjajah seperti
telah diungkapkan di atas. Novel-novel bertema revolusi ini sangat
dianjurkan untuk memupuk rasa nasionalisme rakyat, yang berarti
langgengnya kekuasaan pemerintahan/Soekarno.

Berbagai kriteria seorang pejuang (militer) yang ideal dihadirkan.
Tokoh Hardo dalam novel Perburuan, tokoh Hazil dalam Jalan Tak Ada
Ujung, dan tokoh Herman serta Toto dalam Pagar Kawat Berduri adalah
orang-orang yang memiliki semangat juang sangat tinggi dan rela
mengorbankan apa saja demi tanah air.. Mereka juga penuh kasih
sayang dan berjiwa besar. Sebagai contohnya adalah Hardo. Ia adalah
serdadu Peta yang memberontak dan gagal dan akhirnya diburu-buru
(PB, 1949: 59). Dalam pengejarannya, Hardo menemukan kenyataan
bahwa orang-orang telah berkhianat padanya, mereka tunduk pada

5

Jepang, mereka pengecut dan pecundang. Namun, Hardo tetap
mempertahankan prinsipnya untuk memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia, memaafkan orang-orang yang telah berkhianat (PB,
1949:123), dan tetap memelihara cintanya pada sang kekasih. Hazil
juga menampakkan sifat-sifat yang sama dengan Hardo.
Bagi Hazil, individu adalah tujuan, dan bukan alat mencapai
tujuan. Kebahagiaan manusia adalah dalam perkembangan orangseorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain. Negara
hanya alat. Dan individu tidak boleh diletakkan di bawah negara. Ini

musik hidupku. Ini perjuanganku. Ini jalan tak ada ujung yang
kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai
kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya alat memperkaya
kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia (JTU, 40).
Karakter Hardo dan Hazil di atas bertentangan sekali dengan
karakter serdadu-serdadu musuh (Belanda atau Jepang). Dalam Pagar
Kawat Berduri, ada seorang serdadu Belanda bernama letnan de Groot
(ia memang besar dan tegap) yang berpedoman pada kekerasan untuk
melaksanakan kewajibannya, sebab ia percaya hanya dengan
kekerasan bisa tercapai keberesan dan kerapihan dalam mengurus
tawanan...ia memperlakukan para tawanan sebagai sekumpulan
binatang yang keras kepala dan angkuh (PKB, 22).
Tokoh-tokoh pejuang di atas adalah tokoh-tokoh pemuda yang
terpelajar, cerdik, dan gagah. Herman dan Toto sebagai contohnya.
Mereka menjadi telik sandi yang tugasnya menyelundup untuk
berhubungan dengan orang-orang tertentu. Mereka berani dan cerdik
(PKB, 2). Toto pernah menunjukkan keberaniannya ketika ia dan Herman
dalam suatu pasukan terjebak patroli Belanda. Herman yang menuntun
menyelamatkan pasukan dan Toto seorang diri memancing
menyesatkan serdadu-serdadu Belanda dan kemudian menembakinya
(PKB, 2).
Mereka berada setingkat lebih terpelajar dan beradab dibanding
dengan pejuang-pejuang lain yang cenderung gegabah, tidak berpikir
panjang, dan dalam tataran tertentu mereka sangat kejam. Hal ini
tampak pada perilaku teman-teman seperjuangan Hazil dalam novel
Jalan Tak Ada Ujung. Mereka melakukan kekerasan dan kekejaman
membabi buta terhadap semua orang yang dicurigai sebagai mata-mata
musuh. ...dua orang perempuan Tionghoa. Kita potong tiga hari yang
lalu. Ketangkap lagi lewat kampung. Diperiksa tidak mau mengaku,
katanya mau menagih hutang. Hutang apa—hah, terus dibeginiin. Dia
menggerakan tangannya seakan orang yang hendak mencabut golok,
kemudian dengan jari telunjuknya digoresnya lehernya (JTU, 66).
Secara keseluruhan wacana-wacana militer yang berkembang
masih berkisar tentang kebiadaban penjajahan Belanda ataupun Jepang.
Corak militer yang dihadirkan adalah corak militer masa lalu. Selain
karena pada masa itu semangat revolusi masih sangat dominan dalam
alam pikiran seluruh rakyat Indonesia, keadaan militer pada masa awal
kemerdekaan juga belum stabil, masih dalam taraf mencari bentuk.
Dalam proses tersebut terjadi berbagai macam ketegangan dan friksi di
tubuh intern militer Indonesia sehingga kedudukannya dalam
pemerintahan belum jelas dan mantap. Oleh karena itu, militer
Indonesia—dalam pengertian militer yang dimiliki secara resmi oleh

6

suatu negara merdeka—belum muncul atau diwacanakan dalam novelnovel.
Namun, ada perubahan posisi, dan bahkan ada perubahan
kriteria dan sikap-sikap di dalam militer dibandingkan dengan citra-citra
militer pada novel-novel terdahulu. Perubahan posisi terlihat jelas, jika
dalam novel-novel pada masa penjajahan, pejuang dianggap musuh
maka kini berlaku sebaliknya. Perubahan sikap berkaitan dengan
semangat humanisme yang diusung oleh tokoh-tokoh seperti Hardo dan
Hazil. Mereka militer yang manusiawi, yang berperasaan, dan setia.
Gambaran militer demikian tidak terlalu tampak dalam novel-novel
pada masa sebelumnya (masa kolonial dan pendudukan Jepang).
6. Zaman Orde Baru: Militer Pahlawan Segalanya
Novel (karya sastra) merupakan bagian dari ISAs, maka
keberadaannya perlu dikendalikan. Secara eksternal, Orde Baru
mengendalikan novel-novel dengan menggunakan peralatan RSAs
berupa UU, peraturan, dan aparat yang berhak melakukan pembredelan
dan pelarangan terhadap sebuah novel yang dianggap membahayakan.
Haryanto (1999) mengungkapkan ada beberapa UU yang digunakan
untuk melarang sebuah novel, antara lain, UU Antisubversi (UU
no.11/63), Haatzai Artikelen dalam KUHP, dan UU Pertahanan Keamanan
Negara. Pelarangan tersebut berlaku pada novel-novel yang muatannya
dapat mengancam keamanan negara, mengganggu ketertiban umum,
dan membahayakan stabilitas nasional.
Dapat dipastikan kendali Orde Baru ini menghasilkan novel-novel
yang kompromis terutama yang berkaitan dengan wacana militer.
Novel-novel ini menghadirkan wacana militer ‘sesuai jalur’ Orde Baru.
Secara historis, pada masa Orde Baru militer hampir berada di setiap
lini kehidupan masyarakat. Demikian pula yang digambarkan dalam
novel-novelnya. Militer adalah pahlawan, pembela rakyat, dan penjaga
kedaulatan negara dari pemberontak (terutama PKI). Misalnya, peranan
ABRI menumpas PKI dan PRRI dalam novel Pergolakan. Musuh militer
adalah musuh rakyat, seperti terlihat dalam novel Si Bongkok, Kubah,
dan Dari Hari ke Hari. Menjadi bagian dari militer adalah kebanggaan
setiap orang seperti dialami tokoh Muladi dalam Masa Bergolak, seorang
insinyur yang rela menjadi tentara untuk membela negara. Militer
dihormati banyak orang seperti tokoh Rasus dalam Ronggeng Dukuh
Paruk. Militer mempunyai masa depan yang cerah, kedudukan sosial
tinggi di masyarakat, dan lain-lain.
Rasus dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah fenomena
paling menarik dan sekaligus paling mewakili gambaran citra militer
dalam novel yang sesuai dengan ‘keinginan negara’. Sebelum menjadi
tentara, Rasus adalah warga biasa yang miskin dan bodoh. Namun ia
memiliki kekaguman luar biasa pada tentara. Bisa berjalan bersama
tentara, atau hanya memakai baju bekas mereka adalah suatu
kehormatan bagi Rasus (TRDP, 91-92). Tentara hadir di desa Rasus
untuk menumpas pemberontak, dan mereka berhasil. Desa menjadi
aman kembali. Rasus diajari membaca dan menulis oleh Sersan Slamet,
komandan kompi tentara tersebut (TRDP, 93-94). Dapat dikatakan
Rasus berguru padanya. Rasus juga menjadi rajin beribadah sejak
bergabung dengan tentara-tentara itu. Dari orang yang biasa Rasus
menjadi orang yang sangat dihormati. Semua hendak melayaninya.

7

Jadi, militer dalam novel-novel Orde Baru digambarkan sebagai
orang-orang yang nyaris sempurna. Peranannya tidak hanya sekedar
pertahanan, tetapi juga secara kemasyarakatan. Tentara—dalam kasus
Rasus—menjadikan seseorang sebagai ‘manusia sempurna’, baik secara
pendidikan maupun secara spiritual. Dalam hal status tentara sendiri
merupakan status yang tinggi, yang dinginkan dan dihormati setiap
orang. Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dan lain-lain yang
menggambarkan militer dengan kriteria-kriteria di atas adalah novel
kompromis, novel yang menyesuaikan ceritanya dengan misi negara.
Jika tidak kompromis, maka wacana militer muncul secara
simbolis-strategis. Novel-novel simbolis strategis mencoba lepas dari
hegemoni, tetapi berusaha menyiasati dengan mewacanakan militer
melalui berbagai simbol dalam unsur-unsur intrinsiknya. Selain itu,
strategi lain seperti mengubah latar dan merekayasa tokoh. Novel Tuyet
dan Lembah Membara menceritakan otoriter dan kekerasan dalam
dunia militer. Namun latar yang digunakan di luar negeri (Vietnam dan
Eropa). Kekerasan militer juga dihadirkan melalui tokoh-tokoh kecil
yang tidak penting, jauh dari teritorial pemerintah (penguasa), atau
bahkan dihadirkan melalui musuh penguasa.
Baik novel kompromis maupun novel strategis, kedua-duanya
merupakan produk pengendalian Orde Baru. Jika disimpulkan, meskipun
dalam kurun waktu empat zaman di atas Indonesia menjalankan sistem
pemerintahan dengan ideologi, peraturan, kecenderungan, dan
kepentingan yang berbeda-beda, tetapi kekuasaan pada empat zaman
tersebut memiliki kesamaan dalam hal kendali terhadap novel-novel—
yang berarti juga terhadap wacana-wacana militer di dalamnya.
Meskipun kriteria-kriteria menyangkut apa yang boleh dan apa yang
tidak itu berbeda-beda sesuai dengan ideologi masing-masing zaman,
alasan utama mereka tetap sama, yaitu, menjaga ketertiban dan
keamanan negara yang berarti untuk menjaga kepentingan penguasa.
7. Zaman Reformasi: Militer Orde Baru Itu Payah
Berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 ditandai dengan
reformasi besar-besaran dalam sistem pemerintahan dan perundangundangan.
Salah
satunya
adalah
penghapusan
UU
Nomor
11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi melalui
PUU No.26 tahun 1999. Penghapusan undang-undang ini menjadi
semacam gerbang kebebasan. Novel-novel yang selama masa-masa
sebelumnya dilarang kemudian diterbitkan dan beredar bebas di
pasaran. Wacana-wacana militer yang dulu tidak diceritakan
mendapatkan tempatnya kembali.
Terjadi perubahan mekanisme produksi wacana militer. Militer yang
dulu dianggap sebagai pahlawan, guru, orang terhormat, bahkan dalam
taraf tertentu seperti kiai, berubah menjadi orang yang gampang
membunuh, suka menculik, penyebar kebohongan, korupsi dan
sebagainya. Ayu Utami dalam kedua novelnya, Saman (1998) dan
Larung (2001) memaparkan dengan jelas bagaimana militer memiliki
otoritas penuh untuk menuduh seseorang adalah musuh negara. Dalam
Saman militer sebagai aparat keamanan bebas melakukan pembunuhan
terhadap seseorang hanya lantaran dicurigai mengajarkan paham
komunisme di Indonesia. Sementara itu, Larung menceritakan

8

bagaimana militer sebagai intelejen negara telah menyebarkan ingatan
palsu/buatan kepada masyarakat tentang peristiwa G30S PKI
Intrik politik dan kekerasan yang dilakukan oleh militer di Penjara
Nusakambangan, Penjara Sukamiskin, Institut Teknologi Bandung (ITB),
Universitas Indonesia (UI), Kuil Yasukuni Tokyo, hingga ke Hiroshima,
Kamp Konsentrasi Nazi Sachsenhausen dan Holocaust Memorial Berlin
diungkap dengan jelas dalam novel Bulan Jingga dalam Kepala (2007)
karya Fadjroel Rachman. Penculikan militer terhadap mahasiswa dan
orang-orang yang dianggap berbahaya juga dipaparkan dalam novel
Epigram (2005) karya Jamal. Nada-nada sejenis tentang militer juga
dipaparkan oleh novel-novel lainnya.
Namun, perlu diketahui bahwa militer yang diceritakan lebih
terbuka dalam novel-novel pasca Orde Baru adalah gambaran militer
masa lalu (khususnya militer masa Orde Baru). Sampai tahun 2009 ini
berdasarkan penelusuran penulis, wacana militer pasca Orde Baru tidak
diceritakan dalam novel-novel. Hal ini disebabkan oleh beberapa
kemungkinan. Pertama, berbagai tekanan dan pengendalian yang ketat
dari negara pada masa Orde Baru membuat sastrawan tak bisa
menceritakan militer dengan bebas. Hal itu baru bisa dilakukan setelah
Orde Baru runtuh.
Kedua, perlu diperhatikan bahwa keruntuhan Orde Baru ditandai
oleh reformasi besar-besaran terhadap berbagai konsep, kebijakan,
ataupun undang-undang. Salah satunya adalah penghapusan Dwi fungsi
ABRI. Hal ini disambut baik oleh seluruh masyarakat karena selama ini
Dwi Fungsi ABRI merupakan payung hukum bagi militer untuk
melakukan berbagai tindakan yang dirasa masyarakat telah melampaui
hak-hak dan kewajibannya. Implikasi lain yang lebih penting adalah
adanya harapan dan kepercayaan baru terhadap militer dari kalangan
sipil, termasuk sastrawan. Berbagai perubahan dan reposisi militer
dalam negara menjanjikan citra yang lebih baik bagi diri militer sendiri.
Oleh karena itu sastrawan merasa tidak lagi berkepentingan
mendiskreditkan militer melalui karya-karyanya. Jika pada waktu-waktu
kemudian militer diceritakan dalam novel, maka tidak menutup
kemungkinan militer akan dicitrakan lebih baik daripada wacanawacana yang sudah lebih dulu muncul.
8. Kesimpulan
Relasi antara militer, negara, dan karya sastra di Indonesia
menunjukkan keterkaitan yang signifikan. Kekuasaan menjadi benang
merah yang menghubungkan dan menyejajarkan ketiganya. Dikatakan
sejajar ketika negara melalui militer, atau militer sebagai representasi
negara, mengendalikan karya sastra agar mendukung kekuasaannya.
Suara karya sastra mengalami apropriasi (pencocokan, pemantasan)
sesuai dengan suara negara. Militer yang diwacanakan dalam karya
sastra adalah militer negara. Sejak Indonesia memasuki era
kesusastraan modern, kecenderungan demikian telah terjadi. Perlu
diketahui pula, sejak Indonesia mengenal konsep negara, sejak itu pula
militer menjadi penting dan kelak tidak terpisahkan dalam berbagai
bidang kehidupan.
Ketika Belanda berkuasa maka wacana tentang militer menjadi
berpihak pada kepentingan “negara” Belanda. Segala kriteria dalam

9

kemiliteran berkiblat pada Belanda. Musuh-musuh militer kala itu adalah
kelompok-kelompok laskar rakyat yang kini biasa disebut sebagai
pejuang dan pahlawan kemerdekaan. Namun dalam novel-novel yang
terbit pada masa penjajahan Belanda, yang disebut pejuang atau
pahlawan adalah militer-militer yang berpihak ke Belanda. Artinya,
novel-novel kala itu tidak mengikuti arus perjuangan revolusi. Padahal,
seluruh novel ditulis oleh pengarang-pengarang pribumi.
Hal di atas mengindikasikan bahwa kesusastraan dan juga militer
menjadi bagian penting bagi Belanda untuk mempertahankan
kekuasaan. Hal ini juga menunjukkan keberhasilan kerja hegemoni
Belanda terhadap pengarang-pengarang waktu itu. Sementara itu,
posisi kesusastraan berdasarkan kenyataan ini berada dalam lingkungan
penguasa (Belanda), bukan pada sisi rakyat yang kala itu berjuang demi
kemerdekaan Indonesia.
Jepang mengulangi apa yang dilakukan Belanda terhadap
kesusastraan Indonesia, bahkan terkesan lebih ‘kejam’. Pemerintahan
Jepang di Indonesia adalah pemerintahan militer. Oleh karena itu, segala
urusan ditangani oleh dan secara militer. Kesusastraan pada masa ini
benar-benar kehilangan eksistensi dan fungsi hakikinya. Novel dan
karya sastra lain dipersamakan dengan senjata yang dianggap hanya
sebagai alat. Novel harus mempropagandakan kehebatan Jepang,
bahwa Jepang adalah wakil Tuhan di dunia.
Dalam situasi yang keseluruhannya represif ini dapat
dibayangkan bagaimana posisi karya sastra dan lebih khusus lagi
bagaimana militer diceritakan di dalamnya. Semuanya tentang
kehebatan Jepang, tidak ada wacana tandingan, tidak ada perlawanan.
Setelah Indonesia merdeka, posisi militer, karya sastra, dan
tentunya negara mengalami perubahan—untuk tidak menyebut
pembaruan (karena dalam banyak hal
kebiasaan dan aturan
Belanda/Jepang masih digunakan). Negara diperintah oleh orang
Indonesia sendiri, demikian pula militer. Yang lebih pasti mengalami
perubahan adalah karya sastranya, terutama yang berkaitan dengan
wacana militer. Pejuang-pejuang yang dulu dianggap musuh, dalam
novel-novel zaman ini disebut pahlawan revolusi. Mereka menjadi
‘militer-militer baru’.
Pada awal kemerdekaan ini pula, ada kekuatan baru yang
mengimbangi militer dalam menjalankan pemerintahan dan otomatis
dalam konstelasi kekuasaannya juga. Kekuatan itu adalah sipil.
Pemahaman bahwa militer itu berbeda dengan sipil mulai menjadi
pertimbangan dan landasan berbagai macam strategi pemerintahan.
Akan tetapi, dalam banyak hal sipil tampak lebih mendominasi. Hal ini
kemudian berimplikasi kepada wacana militer dalam novel-novel yang
sebagian besar lahir dari tangan sipil pula. Banyak militer yang
diceritakan humanis, tidak menyukai kekerasan, demokratis dan
diplomatif. Sifat-sifat seperti itu selama ini diklaim milik sipil yang
dianggap bertentangan dengan corak
militer. Persaingan antara
pemikiran sipil dan militer mulai tampak dalam novel, terutama
berkenaan dengan penilaian tentang militer.
Substansi yang terpenting adalah novel masih tetap berada pada
jalur penguasa. Saat itu, selain sikap anti Barat dan represi yang
berkaitan dengannya, Soekarno sedang begitu gencar mengagungkan

10

revolusi sebagai modal untuk menjalankan pemerintahan. Pada masa
itu, hampir seluruh novel mewacanakan hal yang sama. Wacana
tentang militer berarti wacana tentang militer revolusi.
Militer akhirnya memenangkan persaingan itu, dan lahirlah Orde
Baru. Sipil sangat tersubordinat sepanjang rezim yang militeristik ini.
Militer menguasai hampir seluruh kehidupan dan menjadi penjaga
stabilitas penguasa dalam kehidupan tersebut. Dengan menggunakan
ideologi Pancasila dan jargon pembangunan, Orde Baru meredam
segala kemungkinan yang dapat membahayakan kekuasaannya.
Tindakan-tindakan yang berbahaya akan disebut “tidak sesuai dengan
ideologi Pancasila” atau “menghambat pembangunan”. Semuanya
sudah terkategori dalam apa yang disebut AGHT (Ancaman, Gangguan,
Hambatan, dan Tantangan).
Demikian pula yang terjadi dalam karya sastra. Militer yang
diwacanakan dalam novel adalah militer pembela ideologi dan militer
sebagai bagian dari pembangunan. Militer di dalam novel adalah militer
yang melawan pemberontak (komunis misalnya), militer yang
mencerdaskan warga desa, militer yang meningkatkan peradaban, dan
sejenisnya. Hampir sama ketika pada zaman Jepang, militer Orde Baru
adalah manusia-manusia unggul yang menguasai seluruh aspek
kehidupan. Kepada wacana yang tidak sesuai, Orde Baru melakukan
tindak represi besar-besaran. Sama sekali tidak ada kesempatan untuk
bebas berwacana. Represi dari rezim yang bertahan lebih dari tiga
dekade ini meninggalkan semacam dendam dalam dunia kesusastraan
sehingga ketika kekuasaan mereka runtuh, wacana yang selama itu
dibangun ikut hancur. Inilah yang terjadi pada masa reformasi dan
setelahnya.
Pada era reformasi, wacana tentang militer yang sejak seratus
tahun sebelumnya selalu digambarkan baik telah berubah. Meskipun
kriteria tentang militer ‘baik’ itu berbeda-beda, bergantung kepada
siapa pihak yang tengah berkuasa, tetapi pada intinya militer yang
diwacanakan dalam novel tidak pernah jauh berbeda dengan apa yang
juga diwacanakan oleh penguasa. Wacana-wacana itu seragam,
mendukung satu kepentingan. Pada era reformasi, muncul gejala-gejala
baru. Militer sebagian besar diceritakan (“dicitrakan”) dalam konotasi
yang buruk. Jika ada militer yang baik, maka ia akan bernasib buruk.
Novel bebas untuk mempersepsikan bahkan mendiskreditkan militer.
Ada beberapa indikasi yang melatari munculnya gejala-gejala tersebut.
Pertama, kebebasan yang ditebus oleh reformasi membuat
segala hal yang dulu tidak bisa diwacanakan menjadi bermunculan,
termasuk wacana tentang militer. Jadi, wacana-wacana yang muncul di
era reformasi adalah submerged atau marginalized discourse yang ada
pada masa sebelumnya. Indikasi ini bertalian dengan indikasi kedua,
yaitu di era reformasi militer tidak lagi mempunyai kuasa sehingga tidak
mampu meredam wacana-wacana yang mendiskreditkan mereka.
Pemerintahan di era reformasi mungkin sekali sangat mendukung
wacana-wacana baru tentang militer ini guna semakin menguatkan
kekuasaannya. Dengan membiarkan rakyat melampiaskan dendam
masa lalu, pemerintah pada era reformasi berharap mendapatkan lebih
banyak simpati.

11

Ketiga, wacana militer yang dimunculkan dalam novel-novel era
reformasi adalah wacana militer masa lalu (Orde Baru), sampai
penelitian ini berakhir belum ditemukan novel yang mewacanakan
militer pada era reformasi. Fakta ini merujuk kepada dua kemungkinan,
pemerintah dengan kekuasaannya tetap melakukan tindak represi
sehingga wacana tentang dirinya dibatasi termasuk tentang militer
pada masa pemerintahannya. Seperti yang telah diungkapkan di atas,
mereka tidak peduli dengan masa lalu, yang terpenting diri mereka
tidak terusik.
Kemungkinan lain, tidak ada atau belum ada peristiwa-peristiwa
berkaitan dengan kehidupan militer di era reformasi yang perlu
diwacanakan. Artinya, besar kemungkinan militer sampai saat ini telah
menjalankan tugasnya dengan baik. Jika dikaitkan dengan dikotomi sipilmiliter, kedua belah pihak telah menyadari fungsi dan hak masingmasing sehingga tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan.
Daftar Pustaka
Finer, SE. 1962. The man On Horseback: The Role of the Military in
Politics. New York, N.Y: Frederick A. Praeger.
Haryanto, Ignatius. 1999. Kejahatan Negara, Telaah tentang Penerapan
Delik Keamanan Negara. Jakarta: ELSAM
Jaringan Kerja Budaya (JKB). 1999. Menentang Peradaban, Pelarangan
Buku di Indonesia. Jakarta: ELSAM
Kahin, Audrey dan George McTurnan Kahin. 1997. Subversi sebagai
Politik Luar Negeri. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Press
Jassin, HB. 1975. Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Jakarta: Balai
Pustaka
Muhaimin, Yahya A. 2002. Perkembangan Militer dalam Politik di
Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Liddle, R. William. 2001. “Rezim Orde Baru” dalam Indonesia Beyond
Soeharto. Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Donald K.
Emmerson (ed). Jakarta: Gramedia.
Sumardjo, Jakob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977.
Bandung: penerbit Alumni
Novel-Novel
Halim, Karim. 1944. Palawija. Jakarta: Balai Pustaka.
Iskandar, Nur St. 1984. Hulubalang Raja (Cet. 8). Jakarta: Balai Pustaka
Iskandar, Nur St. 1963. Cinta Tanah Air (Cet. 4). Jakarta: Balai Pustaka
Jamal. 2005. Epigram. Jakarta: Gramedia
Juwono, Trisno. Pagar Kawat Berduri. Jakarta: Djambatan
Lubis, Mochtar. 1952. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta: Balai Pustaka
Moerwanto. 1984. Lembah Membara. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rachman, Fadjroel.2007. Bulan Jingga dalam Kepala. Jakarta: Gramedia
Rasuanto, Bur. 1978. Tuyet. Jakarta: Gramedia
Rusli, Marah. 1990. Sitti Nurbaya (cet.20). Jakarta: Balai Pustaka
Salmoen, MA. 1964. Masa Bergolak. Jakarta: Balai Pustaka
Sati, Tulis Sutan. 1972 Sengsara Membawa Nikmat (Cet. 2). Jakarta :
Balai Pustaka

12

Toer, Pramoedya Ananta. 1952. Perburuan (cet.2). Jakarta: Balai Pustaka
Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk (Trilogi, Cet.2). Jakarta:
Gramedia
Utami, Ayu. 2002. Saman (cet.20). Jakarta: KPG
Utami, Ayu. 2002. Larung (cet.2). Jakarta: KPG
Yatim, Wildan. 1974. Pergolakan. Jakarta: Pustaka Jaya.