LELAKI DI KAKI GUNUNG ASDARAKEN

LELAKI DI KAKI GUNUNG ASDARAKEN
Oleh: Fadly Pratama
“Adakah engkau tahu siapa orang yang tinggal di rumah kecil di atas kaki gunung itu?”
“Apakah kau yakin ada orang disana?” Heh??? Mengapa pria ini malah menanya balik.
Lelaki pengayuh becak yang telah memangku puluhan usia di wajah mencondongkan duduknya
kearahku. Dia ingin membunuh. Membunuh segantang niat yang menuntunku hingga sampailah
di tempat ini.
“Aku sungguh amat yakin atas pendengaranku yang masih jernih ini,” mantab kutangkis
pertanyaan yang akan segera memerosokku ke dalam lembah keputus-asaan yang diam. Nyaris
saja.
Mengenai seseorang yang tinggal di kaki gunung Asdaraken, kuketahui mampu
mengajarkan segala hal yang diinginkan orang yang berkunjung ketempatnya. Hal itu kudengar
dari sorang tua yang mengaku pernah bertemu, dan sekarang orang tua itu selalu terlihat
bahagia. Namun, aku merasa aneh. Ataukah sekedar keirianku saja? Mungkin benar bila aku
belumlah bahagia.
“Ya.Aku sungguh sangat mengerti dengan semangat muda yang terpancar dari matamu itu.
Yang riaknya seperti wajah amuk samudra lepas.” Ia diam sekejap dengan mata menancap pada
sosokku, nanap. Saling tatap telah benar-benar menegangkan urat saraf keingin-tahuanku.
Setelah lepas, ia memiuhkan seutas angin pada lenguh lalu kemudian melempar jauh titik
matanya kesalah satu titik di kaki gunung.
“Maksudmu lelaki paruh baya di yang tinggal disana?” sebilah lengan dengan telunjuk

yang tegak menuntun mataku.
“Mungkin.” Kujawab seadanya. Karena titik yang ditunjuknya tertutup kabut. Sayang
sekali.
“Kau bukan orang sini?” Ia memergoki kondisi asalku.

“Iya, Pak.”
“Kau, Nak,” ia memulai gelagat seperti ingin mendikteku, ”tak harus pergi dan
meninggalkan asalmu hanya untuk bertemu dengan lelaki yang di kaki bukit itu. Sia-sia saja.
Apa yang kau cari atau yang kau inginkan dari lelaki itu, tak akan kau dapatkan darinya. Ia
hanya hidup seorang diri, dengan rumah yang nyaris segala isinya telah memilih beranjak pergi
meninggalkannya. Lebih baik kau datang ke saudagar yang tinggal tepat di tengah kota kecil ini.
Dia memiliki rumah yang megah. Diisi perabot mahal dan berkelas, baik luar maupun dari
dalam negeri.Kekayaannya sungguh melimpah. Konon, setelah tujuh turunan pun keluarganya
pasti hidup makmur. Meskipun dilimpahi kekayaan, ia tak seperti orang kaya yang pernah
kukenal. Ia baik sekali. Oleh karena itu, dia mungkin akan memberi apapun yang kau minta,
selama ia berkenan untuk memenuhinya. Karena banyak juga orang sepertimu yang lebih
memilih bertandang kerumahnya dibanding lelaki di kaki bukit itu.”
Selama penjelasan itu aku tersihir menjadi bocah laki-laki yang manis. Dengan mata yang
bulat berpendar, imajinasiku mekar atas perkataan si pria tua. Nafsu yang bersarang di perutku
tergidik dan sekelebat terasa ada api meliuk, kobar, dan memanaskannya. Khayalanku malah

telah lebih dahulu sampai di tempat saudagar yang dimaksudkan.
“Jadi?”
“Baiklah, Pak.” Pria itu kutinggalkan dengan senyum yang masih segar merekah.
Langkahku kembali mulai beradu. Tali ransel yang mengait kutarik sehingga benar
menumpu di punggung bagian atas. Agar tak terasa berat. Dihadapanku telah membentang jalan
menuju jantung kota dimana saudagar kaya itu tinggal.
Sampailah aku di bibir kota kecil dibawah kaki bukit. Seketika denyut bayang akan
perkebunan yang sungguh subur, sawah yang tak berhenti dialiri angin yang berpuntir, aliran
sungai jernih dan deras, udara rimbun sehingga menggigil tulang, senyap. Runtuh sehingga
serpih yang berserak dan debunya yang layap kemudian menguap jadi semacam tunas berbentuk
serapah. Sungguh muda dan berair.

Liur yang baru saja kutemukan mata airnya karena petunjuk pria pengayuh becak, menjadi
selongsong yang seperti diterjangi kemarau berabad nan parau. Kosong dan menggemakan
kekecewaan.
Kota ini sungguh rimbun dengan jejamur gubuk reot yang tak mengepulkan jelaga.
Kerontang. Berlumut. Dan ilalang meratakan pandang. Gang demi gang tak bertiup sedikitpun
semilir angin. Bahkan cicit tikus, decak kagum cicak, begitupun dengung sayap nyamuk. Jalan
utama beraspal tebal inilah yang satu-satunya terjaga hitam. Jalan menuju si Saudagar kaya.
Mungkin sudah jutaan orang datang dan melintasi jalan ini tiap jamnya untuk menuju ke sebuah

tempat yang mulai tampak olehku mahkota sebuah rumah yang benar megahnya.
Dari tiap langkah yang menuju rumah sang Saudagar, terus mengalir kagum atas rumah
yang sedikit demi sedikit menunjukan keutuhan sebutan megah yang layak dipangku. Tembok
yang tegap, tinggi dan kelihatan sungguh kokoh sepertinya dibangun melingkupi rumah itu.
Kini aku ingin menyebutnya istana. Ada empat menara utama yan menjulang, yang kurasa,
sebagai menara pengawas yang dapat melihat hingga ke bibir kota.
Benar-benar takjub. Gerbang utama saja hampir setinggi tembok. Dan sungguh teramat
takjubnya mataku saat melihat banyak sekali tumbuh bunga kemiskinan. Terperangah oleh
ketimpangan. Kelopak yang mekar ataupun yang masih kuncup menawarkan keindahan alami
karena tak perlu disibukkan oleh aktivitas berpikir untuk memperpanjang usia. Batang yang
tambun, karena tak pernah keringat meleleh untuk mengganjal rasa lapar. Tangkai yang elok
dengan daun yang tumbuh seperti daun mangkok, hijau dan penuh dengan tetesan embun.
Sedang akar kerontang. Susut sesusut-susutnya. Tak menancap kedalam tanah.“Ya, untuk apa
lagi punya akar.” Oceh mulutku yang terus menguyah selembar serapah hingga lumat.
“Tok!” sebilah kayu menerjang tempurung kepala belakangku. Nyaring sekali. Aku
mengaduh dan mengusap kepala berulang kali.
“Siapa gerangan yang…,” mataku tercekat pada sesosok lelaki paruh baya yang terus saja
berjalan dengan sebilah kayu mengayun-ayun di genggam kanannya, namun tak terlalu jauh.

“Hei!” teriakku.

Ia terus saja berjalan tanpa memperdulikanku. Lebih tepatnya kegeramanku akan lakunya
yang tiba-tiba saja memukulkan kayu ke kepalaku. Sesuka hatinya.Dengan alasan itu aku terus
membuntutinya.Ia tak berhenti, dan terus saja berjalan. Bahkan setiap aku berteriak ia tak
sedikitpun menoleh. Kegeramanku terpupuk kian tinggi.Sehingga kuputuskan berlari
mengejarnya.Sayang, lenguh nafas terlalu cepat bertalu.“Ransel ini terlalu berat,” keluhku.
Sadar si lelaki itu kian jauh, maka kupaksakan langkah terayun. Kini cukup dengan
berjalan untuk terus membututinya. Toh, dia tak pernah sedikitpun terlihat ingin berlari.
Terus berjalan, kini si lelaki itu mematah arah langkahnya lewat setapak yang tertutup
ilalang setinggi lutut. Keluhku sepertinya semakin mengaduh, jalan yang di ambilnya penuh
dengan hal tak terduga. Kadang lankahku terperosok ke dalam lubang, menapaki kerikil yang
teramat tajam, semak berduri, genangan air berbaur endapan lumpur. Akibatnya si lelaki itu
menjadi terlihat jauh, meski dapat kukais sosoknya yang terus saja berjalan.
“Ransel?” langkahku piuh. Oleh karena itu, kurogoh isi ransel dan mengambil barangbarang yang penting saja. Seperti beberapa potong baju yang langsung kupakai karena udara
merangkak kearah malam. Pakaian dalam kusumpalkan ke kantong-kantong jaket dan celana.
Dompet dan sebotol air mineral. Baik. “Mana lelaki itu. Akh…”
Aku sudah terlanjur kehilangan jejak. Namun, kini aku dapat berlari dengan lepas. Maka
sembari berlari, kutajamkan pandang yang mulai ditutupi kabut tipis.“Aha, awas kau!”
Ah. Dia kembali mematah arah, dan menuruni sebuah lembah. Sudah, bayang si lelaki
sudah lumayan dekat. Sementara lelah yang kuredam, melunjak sejadinya. Istirahat sebentar
akan membantu, pikirku. Perlahan nafasku mulai tertata rapi kembali. Setelah terasa cukup,

saatnya kembali melanjutkan pengejaran ini. Alangkah pangling, ketika kudapati si lelaki itu
telah melintasi lembah dan mulai memanjat tebing meskipun tak terlalu curam, seteguk liur telah
jatuh melewati tenggorokan.

Tarikan nafas panjang, lalu mengendapkannya jauh di bawah perut, dan bermuara kembali
ke udara lepas, agaknya telah sedikit menenangkanku. Tak peduli setangguh apa lelaki itu, aku
harus mengejarnya. Lembah yang licin dan sebaris aliran sungai telah pun kuretas, kini sebidang
tebing siap untuk di taklukkan. Aku mesti lebih berhati-hati karena sebagian tebing berselimut
lumtu. Salah-salah aku akan bersarang di bebongkah batu dibawah sana. Semoga sampai di
puncak tebing ini. Darahku degup dan desir yang laju.
Oh. Lega sudah rasa takutku ketika puncak tebing telah tergapai. Dengan penuh semangat
kutolak pijakanku agar bias melompat dan segera berdiri tegak di atas. Hap. Pinjakanku telah
mantap mendarat diatas. Serpihan batu tebing berlarian kebawah, dan menimbulkan gemuruh
kecil. Itu pasti akibat lompatan yang terakhir tadi.
Di lain hal, kini tubuhku mengerang, lalu rubuh. Aku terlentang menatap rerimbun daun
yang penuh dan memendarkan senja. Kujahit seluruh rasa lelah melalui jarum nafas yang pacu.
Tubuhku terasa hangat, penuh dengan peluh yang mengalahkan serbuan dingin yang segera
bermusik alam malam. Lamat. Kudengar suara langkah merayap lewat tanah.

Terus dan


semakin mendekat. Siapa?
Dekat. Mungkin tinggal sepuluh langkah lagi ia akan sampai. Binatang buaskah? Tidak,
ianya tak berderap empat. Ah. Aku sudah sedemikian penat. Aku ingin segera melahap kantuk.
Aku tak sanggup mengais bentuknya. Meski sekejap. Sudahlah. Biarlah. Dimanapun aku akan
bermuara, telah kulepas dan melesat jauh di balik batas angkasa.
“Tok!”Lagi.
“Bangunlah, Nak. Tak seharusnya kau tidur di sini.Silahkan, masuk ke rumahku yang
sederhana, telah kusiapkan teh dan penganan untuk menyambutmu.Dan setelah itu kau dapat
segera bermain di alam mimpimu.”
Ah, seorang lelaki paruh baya. Di kaki bukit.“Apakah?”

“Simpulkanlah, Nak. Karena dengan begitu kau akan menjadi lebih mengerti jawaban
yang kau cari sehingga kau mencariku.”
Kemudian dia memapah tubuhku yang telah redam masuk kedalam rumah, dan
menyampaikan selisan maaf. Sesampainya di mulut pintu, ternyata benar apa kata si pengayuh
becak. Nyaris tak ada ornamen atau perabot. Kemudian, dengan perlahan dia memapahku duduk
dimana telah tersedia dua gelas teh yang mengepulkan kehangatan beserta teko dan sepiring
penganan di atas nampan.
“Minumlah!” merekah sepasang pipi, menarik tepian bibir.

Medan (RumCay), November 2011

Fadly Pratama
Lahir di Tanjungbalai, 3 Desember 1988. Mahasiswa Pendidikan
Bahasa Inggris di Unimed semenjak 2006. Aktif bergelut di dunia
kepenulisan sejak bergabung ke dalam UKM Teater LKK Unimed.
Juga tergabung dalam UKM Kreatif dan FLP Sumut.