MKALAH HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM

A. Pendahuluan
Batal atau rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan
seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnnya yang telah
ditetapkan oleh syarak. Itu, dilarang atau diharamkan oleh agama. Jadi, secara
umum, batalnya perkawinan adalah rusak atau tidak sahnya perkawinan
karena tidak memenuhi salah satu syarat atau diharamkan oleh agama.
Contoh perkawinan yang batal atau tidak sah yaitu perkawinan yang
dilangsungkan tanpa calon mempelai laki-laki atau calon mempelai
perempuan. Perkwaninan semacam ini batal karena tidak terpenuhi salah satu
rukunnya, yaitu tanpa calon mempelai laki-laki atau calon mempelai
perempuan. Contoh lain, perkawinan yang saksinya orang gila, atau
perkawinan yang walinya bukan muslim atau masih anak-anak, atau saudara
kandung perempuan.

B. Pembahasan
1. Pengertian
Batalnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Fasakh artinya
putus atau batal.1 Bila ada kata-kata fasakh ba’I berarti pembatalan akad
jual beli karena ada suatu sebab , illat atau cela, sedangkan fasakh nikah
adalah pembatalan perkawinan oleh isteri


karena antara suami isteri

terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau si suami
tidak

member

nafkah

atau

belanja,

menganiaya,

murtad,

dan

sebagainya.2yang dimaksud dengan Fasakh nikah adalah memutuskan atau

membatalkan ikatan hubungan antara suami dan isteri.
Kalau pada prinsipnya talak merupakan hak suami dn khulu’
merupakan hak isteri, maka fasakh adalah adakalanya merupakan hak
allah dan adakalanya merupakan hak istri atau suami.
Dasar pokok dari hukum fasakh ialah seorang atau kedua suami
isteri merasa dirugikan oleh pihak yang lain dalam perkawinannya karena
ia tidak memperoleh hak-hak yang ditentukan oleh syara’ sebagai seorang
suami atau sebagai seorang isteri. Akibatnya salah seorang atau kedua
suami isteri itu tidak sanggup lagi melanjutkan perkawinannya atau
kalaupun perkwainan itu dilanjutkan juga keadaan kehidupan rumah
tangga di duga akan bertambah buruk, pihak yang dirugikan bertambah
buruk keadaannya.
Perceraian dalam bentuk fasakh termasuk perceraian dengan
proses

pengadilan.3

Hakimlah

yang


member

keputusan

tentang

kelangsungan perkawinan atu terjadinya perceraian. Karena itu pihak
1 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakhat, (Jakarta : Raja Wali pers, 2014), h. 195 lihat
juga Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 2, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), h. 73
2 Abdul MUjib dkk, Kamus Itilah Fikih, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), h. 75
3 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang,
1993), h. 212

penggugat dalam perkara fasalkh ini haruslah mempunyai alat butki yang
lengkap dan alat bukti yang dapat menimbulkan keyakinan bagi hakim
yang mengaddilinya. Keputusan hakim didasarkan kepada kebenaran alatalat bukti tersebut.
Dalam hal suami atau isetri yang telah ada pada mereka alat bukti
untuk memfasakh perkawinan mereka, hakim tidak dapat menceraikan
mereka selama mereka rela dengan keadaan yang demikian dan tidak

mengajukan gugatannya. Kecuali alas an fasakh itu berhubungan dengan
hak allah.4
Menurut Ahmad Azhar Basyir, fasakh ada yang memerlukan
putusan pengadilan seperti misalnya karena isteri musyrik. Dan fasakh
yang tidak melalui putusan pengadilan yaitu fasakh yang ada hal-hal
cukup jelas misalnya diketahui mahram antara suami isteri karena
hubungan susuan.5
Jadi arti fasakh disini adalah diputuskannya hubungan perkawinan
atas permintaan salah satu pihak karena menemui cacat celanya pada
pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum
berlangsungnya perkawinan. Perkwaninan yang telah ada adalah sah
dengan segala akibatnya dan dengan difasakhkannya oleh hakim
pengadilan agama maka bubarlah hubungan perkawinan itu, hal ini berarti
pelaksanaan putusnya hubungan perkwaninan dalam hal pihak lain merasa
tertipu dalam perkawinan itu mengajukan permintaan kepada hakim
pengadilan agama.

4 Ibid, h. 213
5 Azhar Ahmad Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : UII Pers, 1980), h. 78


Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika
berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang dating kemudian
dan membatalkan kelangsungan perkawinan.
1. Fasakh atau batalnya perkawinan karena syarat-syarat yang tidak
terpenuhi ketika akad nikah
a. Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa isterinya adalah
saudara kandung atau saudara susuan pihak suami.
b. Suami isteri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain
ayah atau kakeknya, kemudian setelah dewasa, ia berhak
meneruskan perkwaninannya yang dulu atau mengakhirinya. Cara
seperti ini disebut khiyar balig. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan
suami isteri, maka hal ini disebut fasakh balig.
2. Fasakh karena hal-hal yang dating setalh akad
a. Bila salah seorang dari suamimurtad atau keluar dari agama islam
dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal karena
kemurtadan yang terajdi belakangan.
b. Jika suami, yang tadinya kafir masuk islam, tetapi isteri masih
tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka
akadnya batal. Lain halnya kalau isteri adalah ahli kitab. Maka,
akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinannya dengan

ahli kitab dari semula dipandang sah.6
2. Sebab-sebab Terjadi Batalnya Perkawinan
Di samping terjadi karena dua syarat-syarat tersebut di atas, maka
ada beberapa hal yang menyebabkan juga terjadinya batal perkawinan
yaitu sebgaai berikut :
a. Karena cacat atau penyakit.7
6 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 2, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), h.
73
7 Kamal Mukhtar, Op.,Cit, h. 213

Yang dimakssud dengan cacat di sini adalah cacat jasmani dan
cacat rohani yang tidak dapat dihilangkan atau dapat dihilangkan tetapi
dalam waktu yang lama. Berkaitan hal ini, Rasulullah saw bersabda :
‫عن كعب بن زيد رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم تزوج امرأة من‬
‫بني غفار فلما دخل عليها فوضع على الفراش أبصر بكشحها بياضا فا نحا زعن الفراش‬
‫)ثم قا ل خدى عليك ثيابك ولم يأخد مما أتا ها شيئا )رواه أحمد والبيهقي‬
Artinya :
Dari ka’ab bin zaid r.a bahwa Rasulullah saw pernah menikahi
seorang perempuan Bani Gifa. Maka, tatkala bagaimana akan
bersetubuh dan perempuan itu telah meletakkan kainnya dan ia duduk

di atas pelaminan, terlihatlah putih (balak) di almbungnya, lalu beliau
berpaling seraya berkata : ambillah kainmu, tutuplah badanmu, dan
belaiu tidak menyuruh mengambil kembali barang yang telah
diberikan kepada perempuan. (H.R Ahmad dan Baihaqi)
Para ahli fiqh berbeda pendapat tentang menjadikan cacat sebagai
alas an untuk memfasakh perkawinan. Imam ibnu hazm berpendapat tidak
membolehkan cacat sebagai alasan untuk memfasakh perkawinan, 8 sedang
kebanyakan para ahli fikih membolehkan cacat sebagai alasan untuk
bercerai tetapi mereka berbeda pendapat tentang macam-macam cacat
yang dapat dijadikan alasan itu.9
Sahabat ali bin abi thalib dan umar ibn khattab menetapkan empat
macam penyakit yang dapat dijadikan alasan untuk memfasakh
perkawinan yaitu lemah syahwat, gila, penyakit menular, dan penyakit
sopak. Demikian pula imam hanafi, syafi’I, dan malik menyebutkan pula
beberapa cacat yang dapat dijadikan alasan untuk fasakh.10
Menurut ibnu qayyim : cacat yang dapat memfasakhkan
perkawinan adalah semua cacat yang menyebabkan suami isteri saling
8 Ibnu rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Jil 2 (Dar al-‘Aqidah, 2004), h. 59
9 Ibid, h. 59
10 Ibid, h. 60


menjauhi, tidak dapat mewujudkan tujuan perkawinan, tidak ada rasa
kasih saying dan saling mencintai, dapat dijadikan alasan untuk memilih
apakah ia akan tetap melangungkan perkawinannya atau bercerai.11
Menurut undang-undang Mesir No. 25 Tahun 1920 :
Pasal : 9 pihak isteri tidak boleh mengajukan tuntutan perceraian
anataranya dan antara suaminya apabila suaminya mempunyai cacat yang
tetap yang tidak mungkin disembuhkan atau mungkin dapat sembuh
sesudah waktu yang lama, dan tidak mngkin ia bergaul dengan suaminya
kecuali dalam kesengsaraan, seperti penyakit gula, kusta, sopak, apakah
cacat ada sebelum perkawinan dan tidak diketahui oleh isteri atau cacat itu
adanya setelah perkawinan, sedang pihak isteri tidak menyukainya. Maka
jika isteri mengetahui cacat suami di waktu perkwaninan atau terjadi cacat
setelah akad nikah sedangkan pihak isteri merelakannya baik secara
langsung atau tidak setelah mengetahuinya, maka cacat tersebut tidak
dapat dijadikan alasan untuk bercerai.
Pasal : 10 perceraian karena alasan cacat dihukum talak ba’in.
Menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974, apabila aib itu
datangnya setelah akad nikah, dan telah diketahui oleh pihak yang lain,
maka aib itu dapat dijadikan alasan untuk bercerai. Bila aib itu telah ada

setelah akad nikah dan pihak yang lain telah tahu pula sedang ia tidak
mengajukan gugatan kepada hakim, maka dapat dianggap bahwa
diamnnya itu merupakan tanda persetujuan dan kerelaan daripadanya.
b. Suami tidak memberi nafkah.12

11 Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, Jil. 4, h. 43
12 Ibnu rusyd, Op.,Cit, h. 61 lihat juga Kamal Mukhtar, Op.,Cit, h. 216, lihat juga Nazar
Bakry, Fiqh Keluarga Muslim, (Padang : t.p, 1999), h. 111

Akad nikah antara suami isteri menimbulkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dari pihak yang satu terhadap ppihak yang lain di
anatara kewajiban-kewajiban itu termasuk kewajiban suami memeberi
nafkah kepada isterinya. Suami yang berkewjiban memeberi nafkah itu
adakalanya ia seorang yang mampu dan adakalanya ia seorang yang tidak
mampu.
Pada asasnya apabila suami tidak membayar nafkah kepada
isterinya, maka pihak isteri boleh mengajukan gugatan untuk bercerai
dengan suaminya kepada pengadilan.
Dalam hal suami yang tidak member nafkah isterinya, tetapi ia
mempunyai harta yang disimpan oleh isterinya, maka isteri nya tidak

berhak mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan, karena pihak
isteri dibolehkan agama mengambil harta suaminya yang ada padanya
sekedar keperluan nafkahnyadan anak-anaknya, sesuai tindakan rasulullah
saw terhadap abu sufyan yang tidak member nafkah isterinya hindun dan
anaknya.
Para ahli fikih selain golongan hanafiayah dan ahli zhahiri
membagi suami yang tidak memberi nafkah isterinya kepada tiga macam
yaitu suami yang hadir dan mampu, suami yang hadir dan tidak mampu,
dan sumi yang ghaib.
Apabila suami yang tidak bersedia member nafkah isteri itu ada
dan ia mampu, menurut pendapat imam syafi’I pihak isteri tidak berhak
mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan, hakim hanya dapat
memerinthakn agar suami melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada
isterinya.menurut imam malik dan imam ahmad isteri mempunyai hak
untuk mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan.

Apabila suami ada dan ia tidak mampu, menurut pendapat abu
hurairah said bin musa dan asy-syafi’I pihak isteri boleh memilih antara
bersabar sambil menunggu suami menjadi mampu atau menuntut agar
hakim memberikan keputusan perceraian. Selanjutnya golongan ini

mengatakan apabila hakim boleh memutuskan dengan alasan cacat tentu
saja

alasan

tidak

mampu

member

nafkah

lebih

dapat

dipertanggungjawabkan karena ertaa hubungannya dengan kelangsungan
hidup rumah tangga.
Mengenai suami yang ghaib menurut pendapat imam malik dan
imam ahmad, sama hukumnya dengan suami yang hadir, sedangkan
menurut syafi’I pihak isteri tidak berhak mengajukan tuntutan perceraian
kepada pengadilan selama belum terbukti tentang ketidak mampuann
suami yang ghaib itu member nafkah isterinya.
c. Meninggalkan tempat kediaman bersama.13
Ahli fikih berbeda pendapat tentang pihak isteri mengajukan
tuntutan bercerai kepada hakim dengan alasan suami nya meninggalkan
tempat kediaman bersama yang berakibat menimbulkan kemudharatan
baginya.
Menurut imam abu hanifah dan imam syafi’I tindakan suami
meninggalkan tempat kediaman bersamaitu tidak dapat dijadikan alasan
ntuk mengajukan tuntutan perceraian kepada hakim karena tidak
mempunyai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Imam malik dan imam ahmad membolehkan untuk menjadikan
tindakan suami itu sebagai alasan untuk bercerai, sekalipun suami
meninggalkan harta yang dpat dijadikan nafkah oleh suaminya. Dasrnya
13 Kamal Mukhtar, Op.,Cit, h. 219

adalah bahwa di samping nafkah isteri juga berhak mendapatkan
pergaulan yang baik dari suaminya, hidup dalam rumah tangga yang
diliputi kasih saying dan sebagainya.
Menurut undang-undang Mesir No. 25 Tahun 1929
Pasal : 12 apabila suami meninggalkan isterinya setahun atau lebih
tanpa alasan yang dapat dieterima, isteri dengan alasan tersebut boleh
mengajukan tuntutan untuk bercerai kepada pengadilan, jika ia merasa
dirugikan sepeninggal suami itu, walaupun ada padanya harta suami yang
dapat dijadikan sebagai pembayar nafkahnya.
Pasal : 13 jika ada kemungkinan sampai suart kepada suami yang
meninggalkan

isterinya,

hakim

mengirim

surat

kepadanya

dan

menetapkan waktu tertentu, menyatakan bahwa hakim akan member
keputusan perceraian apabila suami tidak kembali menggauli isterinya
atau membawa isteri pindah bersamanya, atau mentalaknya. Apabila
waktu yang ditentukan telah habis sedang suami tidak menentukan
sikapnya dan tidak mengemukakan alasannya yang dapat diterima, hakim
member keputusan perceraian antara kleduanya dengan talak bain. Dan
jika tidak mungkin surat sampai kepada suami yang meninggalkan
isterinya itu hakim member keputusan perceraian tanpa mengemukakan
alasan dan memberikan keputusan waktu kepada suami.
d. Menganiaya berat.14
Allah memerintahkan agar suami isteri masing-masing menggauli
pihak yang lain secara baik, atau seandainya tidak sanggup menegakkan
hukum allah yang berhubungan dengan kehidupan suami isteri, sebaiknya
mereka bercerai secara baik pula.
14 Ibid, h. 220

Friman allah swt dalam surat al-baqrah ayat 229 :





     





    
      
     
     
     
    
 
Artinya :
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak
ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
Itulah orang-orang yang zalim.(al-Baqarah : 229)

e. Suami tak mampu bayar mahar.15
Bila suami tak mampu memenuhi hak isteri, maka adalah pantas
kalau isteri berhak untuk melepaskan diri dari suami yang tak mampu itu,
lalu jika isteri boleh menuntut fasakh kepada hakim bila suami tak mampu
member nafkah yang merupakan haknya, maka demikian pula isteri boleh
menuntut fasakh kalau suami tak mampu membayar mahar yang juga

15 Nazar Bakry, Fiqh Keluarga Muslim, (Padang : t.p, 1999), h.113

merupakan haknya, namun variasi pendapat mengenai ini sama dengan
pada pendapat dalam hal suami tak mampu membayar nafkah.
3. Pelaksanaan Pembatalan Perkawinan
Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh iu jelas dan
dibenarkan syarak, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan
pututsan pengadilan, misalnya terbukti bahwa suami isteri masih saudara
kandung, atau saudara susuan.
Akan

tetapi

jika

terjadi

seperti

hal-hal

berikut,

maka

pelaksanaannya16 adalah :
a. Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya,
sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk itu, maka dalam hal
ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang,
seperti qadi nikah di pengadilan agama supaya yang berwenang dapat
menyelesaikaan sebagaimana semestinya.
b. Setelah hakim memberi janji kepada suami sekurang-kurangnya tiga
hari, sejak dari isteri itu mengadu, jika masa perjanjian itu telah habis,
sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim
memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di
muka hakim setelah diizinkan olehnya.
4. Akibat Hukum Fasakh
Pisah suami isteri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan
oleh talak.17 Sebab, talak ada talak ba’in dan ada talak raj’i. talak raj’i.
talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami isteri dengan seketika.
Sedangkan talak ba’in mengakhiri seketika itu juga. Adapun fasakh, baik
karena hal-hal yang dating belakangan ataupun karena adanya syarat16 Tihami dan Sohari Sahrani, Op.,Cit, h. 202-203 lihat juga Slamet Abidin dan Aminudin,
Op.,Cit, h. 79-80
17 Ibid, h. 314

syarat yang tidak terpenuhi, maka hal itu mengakhiri ikatan pernikahan
seketika iu.
Pisah suami isteri karena fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi
bilangan talak, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar balig, kemudian
kedua suami isteri tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka suami
tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak.18
contoh bunyi lafal fasakh yaitu : “aku fasakhkan nikahmu dari
suamimu yang bernama…. Bin.. pada hari ini.” Kalau fasakh

itu

dilakukan oleh isteri sendiri dengan mengangkat perkaranya di depan
hakim, maka isteri tersebut berkata : “aku fasakhkan nikahku dari suamiku
yang bernama …..bin…pada hari ini.” Setelah fasakh itu dilakukan, maka
perceraian itu dinamakan talak ba’in.19 kalau hendak kembali kepadanya,
maka harus dengan nikah lagi dan akad baru, sedang iddahnya seabagai
iddah talak biasa.

C. Kesimpulan
1. Fasakh adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara
suami dan isteri
2. Sebab-sebab Terjadi Batalnya Perkawinan
a. Karena cacat atau penyakit
b. Suami tidak memberi nafkah
c. Meninggalkan tempat kediaman bersama.
d. Menganiaya berat
e. Suami tak mampu bayar mahar
3. Fasakh yang dilakukan berakibat hukum talak ba’in.

18 Ibid, h. 314
19 Ibid, h. 315