RESUME JURNAL PERAN AGAMA DALAM PENGELOL (1)

RESUME JURNAL
PERAN AGAMA DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
BERBASIS MASYARAKAT
(The Role of Religion in Community-Based Natural Resource Management
By Michael Cox, Sergio Villamayor-Tomas and Yasha Hartberg)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Lingkungan
(Dosen: Sunardi, M.Si, Ph.D)

Disusun oleh:
KELOMPOK I
Novis Ezuar
Febriani Wijayanti
Dikarama Kaula
Yuki Alandra
Lukmanul Hakim

250120160010
250120160011
250120160015
250120160019

250120160023

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Telah cukup dipahami bahwa masyarakat mempunyai peran penting dalam
manajemen (pengelolaan) sumber daya alam. Banyak penelitian yang telah dilakukan
untuk membuktikan hal tersebut, termasuk upaya-upaya yang dilakukan oleh suatu
kelompok masyarakat dalam mencegah kerusakan/degradasi sumber daya dan
lingkungan. Di sisi lain berkembang pula pendapat bahwa peran serta masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya alam tidak dapat serta merta diimplementasikan karena akan
terikat dengan aturan/ketentuan dalam suatu sistem tata kelola SDA yang menaungi
masyarakat itu sendiri. Konsep pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat
(community-based resource management/CBRM) yang dikembangkan oleh sebagian
besar institusi tata kelola SDA banyak dikritik karena terindikasi kurang memberi
perhatian terhadap aspek budaya/kultur masyarakat yang sebenarnya dapat

mengakomodir fungsi pemerintah dalam mendukung implementasi konsep tersebut.
Berdasarkan hal di atas, maka bagaimana fungsi suatu tata kelola dalam
pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat merupakan topik yang menarik
(penting) untuk dibahas lebih lanjut. Banyak sistem tata kelola SDA yang mengabaikan
pengetahuan dan kepercayaan (agama) lokal yang sebetulnya memainkan peran penting
dalam pengelolaan sumber daya alam (Scott, 1998). Penelitian ini dilakukan dalam
rangka mengeksplorasi betapa pentingnya implementasi fungsi tata kelola SDA dalam
pengelolaan sumber daya alam (melalui metode meta-analisis atau analisis kuantitatif
terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang membahas permasalahan sejenis), serta
untuk mengetahui:
1. Apakah ada fungsi/sistem tata kelola SDA yang menerima (memberi ruang terhadap)
nuansa keagamaan dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat?
2. Apakah implementasi fungsi tata kelola SDA yang religius dapat dikaitkan dengan
hasil sosial dan ekologis yang lebih luas dari suatu pengelolaan sumber daya alam
berbasis masyarakat?
Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini mengacu pada beberapa jenis
penelitian dengan bahasan terkait CBRM serta hubungan antara agama, evolusi dan
perilaku manusia. Hubungan antara spiritualitas (keagamaan) dan manajemen sumber
daya telah menerima banyak perhatian dari berbagai organisasi/kesepakatan internasional,
seperti International Union of Concerned Scientist (IUCN), World Wildlife Fund (WWF)

dan Formulir Yale terkait agama dan ekologi.
Terdapat dua tantangan dalam implementasi CBRM (terutama untuk sumber daya
alam yang dimiliki/dikuasai banyak orang atau common-pool resources/CPRs), yakni
subtraktabilitas dan biaya tinggi pada kondisi tertentu (Ostrom, Gardner, & Walker,
1994). Subtraktabilitas berarti suatu pola konsumsi sumber daya oleh satu atau
sekelompok orang dapat mempengaruhi/mengurangi ketersediaan sumber daya tersebut
untuk orang/pengguna lain. Sedangkan biaya tinggi dalam hal ini adalah terkait
kewajiban/obligasi yang harus diterapkan kepada sekelompok pengguna sumber daya
guna mencegah konsumsi/eksploitasi oleh pihak yang tidak berkepentingan terhadap
sumber daya tersebut. Kedua hal ini membawa pengaruh terhadap kecenderungan
1

permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan sumber daya, dan memicu ketimpangan
antara kepentingan individu/sekelompok orang dan masyarakat.
Metodologi dasar dari penelitian ini mengacu pada pembahasan terkait CBRM
yang dikembangkan pada workshop tentang ‘Political Theory and Policy Analysis’ di
Universitas Indiana. Untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai akibat dari kelemahan
dari penelitian-penelitian sebelumnya terkait CBRM yang tidak dapat menggeneralisasi
permasalahan dan temuan, maka dilakukan meta-analisis dengan melakukan analisis dan
perbandingan hasil beberapa penelitian tersebut dan merumuskan suatu

kesimpulan/kecenderungan yang terjadi. Untuk mengetahui keberhasilan dalam
pengelolaan CPRs, terdapat tiga variabel yang dapat diamati, yaitu kelembagaan, atribut
komunitas/masyarakat dan karakteristik sumber daya.
Selain analisis terhadap CBRM, penelitian ini juga dimotivasi oleh
perkembangan dalam evolusi ilmu agama. Agama dan kepercayaan, meskipun dalam
kerangka rasionalistik terkadang bersifat irasional, dalam kenyataannya dapat
memberikan pengaruh terhadap perilaku adaptasi manusia dalam menghadapi perubahan
lingkungan/seleksi alam.
Perilaku adaptif sekelompok orang/manusia akan menentukan keberlangsungan
hidupnya. Dalam beradaptasi dengan lingkungan, individu/manusia akan/dapat
melakukan interaksi dan kerjasama dalam komunitasnya (Wilson & Kniffin, 1999).
Sebagai contoh, suatu komunitas yang dapat memecahkan masalah-masalah yang
berhubungan dengan kerjasama dapat mengumpulkan lebih banyak sumber daya dari
pada komunitas yang kurang kooperatif. Jadi, dalam hal ini agama dan kepercayaan dapat
mendukung fungsi adaptif melalui implementasi perilaku/ nilai-nilai kerjasama suatu
komunitas masyarakat dalam implementasi CBRM.
Agama dapat mengatasi masalah mendasar dari kerjasama dalam berbagai cara,
yang dalam hal ini sangat menghargai komitmen dari penganutnya (Irons, 1996; Sosis &
Bressler, 2003). Misalnya dalam upacara keagamaan, kehadiran dan partisipasi
masyarakat dalam kegiatan tersebut menunjukkan sebuah komitmen sebagai penganut

agama/kepercayaan yang diyakini komunitas mereka. Adanya komitmen dari anggota
suatu komunitas akan menumbuhkan perilaku kooperatif/kerjasama diantara mereka,
terutama dalam menghadapi suatu permasalahan. Eksplorasi bagaimana peran agama
diaktifkan dalam pelaksanaan CBRM tidak hanya akan menyediakan kesempatan untuk
lebih memahami sistem komunitas/tata kelola SDA tradisional, tetapi juga untuk
mengetahui kemampuan agama dalam memfasilitasi kerjasama pihak-pihak terkait dalam
mengatasi berbagai permasalahan dalam lingkup/sistem yang lebih luas.

2

BAB II
METODOLOGI

2.1 Metode
Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah meta analisis dari studi
kasus (Geist & Lambin, 2002; Rudel, 2008;. Young dkk, 2006). Beberapa kasus mengenai
CBRM yang telah diteliti sebelumnya, dikumpulkan dan dilakukan analisis statistik
secara kuantitatif. Metodologi ini membedakan antara “studi dan kasus”, dimana studi
merupakan kumpulan hasil penelitian sebelumnya (jurnal, buku, dan lain-lain), sementara
kasus merupakan pengelompokkan hasil penelitian tersebut menjadi beberapa variabelvariabel yang akan di ukur nantinya. Dari hasil review 47 hasil penelitian, dapat

dikelompokkan sebanyak 48 fokus utama dalam kasus yang akan diteliti.
Penelitian ini akan membahas mengenai peranan agama dalam pengelolaan
sumber daya alam berbasis masyarakat. Kriteria yang mendefiniskan kasus terdiri dari
satu atau lebih kondisi masyarakat yang secara geografis hampir sama, dalam (1)
pengelolaan sumberdaya (2) memiliki keyakinan agama yang cukup sama dan strategi
pengelolaan sumber daya alam yang terkait untuk memungkinkan analisis mereka sebagai
sistem tunggal.
2.2 Pengambilan dan pengukuran data
Ada dua metode utama yang digunakan untuk menentukan variabel apa yang
harus dioperasionalkan dalam penelitian ini, yaitu: (1) variabel yang telah dipilih dari
literatur CBRM dan endogen untuk praktik keagamaan, (2) berdasarkan kajian penelitian
yang telah ada, dengan variabel induksi yang baru muncul di beberapa kasus. Setelah itu
dianalisis menggunakan perangkat lunak (software) Nvivo yang dapat mengkodekan data.
Tabel 1 menyajikan ringkasan dari masing-masing variabel institusional/
kelembagaan yang dianalisis.
Tabel 1. Deskripsi Variabel Kelembagaan
Variabel

Jenis


Deskripsi

Batas-batas
pengguna

Kelembagaan

Batas-batas yang jelas antara pengguna yang sah
dan non-pengguna harus jelas didefinisikan

Batas-batas
sumber daya

Sumber daya

Batas-batas yang jelas adalah saat yang
menentukan sistem sumber daya dan terpisah
dari lebih besar biofisik lingkungan

Sesuai dengan

kondisi setempat

Kelembagaan/
sumber daya

Perambahan dan ketentuan peraturan selaras
dengan sosial lokal dan kondisi lingkungan

Perbandingan

Kelembagaan

Manfaat diperoleh oleh pengguna dari CPR
sebanding dengan jumlah input diperlukan
dalam bentuk tenaga kerja, bahan, atau uang

Kolektif-pilihan
pengaturan

Kelembagaan


Kebanyakan individu dipengaruhi oleh aturan
operasional dapat berpartisipasi dalam
memodifikasi aturan operasional

Pemantauan
sosial

Kelembagaan

Monitor memantau tingkat perambahan dan
penyediaan pengguna

3

Variabel

Jenis

Deskripsi


Pemantauan
sumber

Kelembagaan

Monitor memonitor kondisi di sumber

Sanksi

Kelembagaan

Appropriators yang melanggar peraturan tata
kelola sumber daya cenderung dinilai sanksi

Mekanisme
penyelesaian
konflik

Kelembagaan


Appropriators dan officials mereka memiliki
akses ke arena lokal berbiaya rendah untuk
menyelesaikan konflik antara pengguna sumber
daya

Otonomi daerah

Kelembagaan

Hak-hak sumber daya untuk merancang
lembaga-lembaga mereka sendiri tidak ditantang
oleh eksternal pemerintah otoritas

Perusahaanperusahaan SDA

Kelembagaan

Tata kelola SDA penting kegiatan yang
diselenggarakan di beberapa lapisan dari
perusahaan-perusahaan SDA

Apropriasi

Kelembagaan

Ada aturan mengenai peruntukan sumberdaya
alam dan cara tertentu oleh apropriasi yang
dibatasi

Manfaat

Kelembagaan

Manfaat yang disediakan untuk sumber daya
pengguna Selain bahan manfaat yang diperoleh
melalui penggunaan normal dari sumber

Kepemimpinan

Kelompok

Posisi kepemimpinan dengan otoritas mengenai
penggunaan sumber daya alam dan tata kelola
SDA

Kelompok

Modal sosial yang kuat antara sumber daya
pengguna ada yang memfasilitasi efektivitas
manajemen sumber daya

Modal sosial

Akhirnya, selain variabel institusional/kelembagaan, juga mengkodekan tiga
variabel yang lebih berorientasi pada hasil, yaitu (1) Kondisi Ekologi Terbaru (REC) dan
(2) Kondisi Sosial Terbaru (RSC) dan (3) Target Konservasi (TC).

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

4

3.1 Hasil
Pembahasan dimulai dengan menguraikan data yang diperoleh. Data 48 kasus
dikelompokkan dari 47 penelitian. Tabel 2 menunjukkan distribusi kasus oleh apa yang
kita disebut sebagai fokus utama atau fenomena alam yang menjadi sasaran perhatian dari
tata kelola SDA dan agama. Fokus utama yang paling sering dijumpai dalam literatur
yakni hutan.
Tabel 2. Fokus Utama
Fokus Utama

Kasus

Hutan

31

Air

4

Perikanan

3

Satwa liar

3

Gunung

2

Campuran

2

Lahan pertanian

1

Lembah

1

Lahan basah

1

Total

48

Kolom kedua ("pelaksanaan agama") menunjukkan jumlah kasus dimana agama
digunakan untuk melaksanakan fungsi tata kelolanya. Ini termasuk kasus-kasus dimana
agama menjadi satu-satunya yang digunakan dalam pelaksanaan dan kasus dimana agama
maupun mekanisme sekuler digunakan. Berikutnya, pada kolom ketiga menunjukkan
persentase kasus dari total 48 yang menunjukkan implementasi agama. Pada akhirnya,
kolom keempat menunjukkan persentase dari kasus yang disediakan cukup informasi
tentang fungsi tata kelola SDA untuk menjamin kode non-standar ("tidak cukup
informasi"). Dalam diskusi berikutnya kami mengacu pada kasus yang memberikan
informasi yang cukup untuk menjamin pengkodean apapun selain nilai default "tidak
cukup informasi" sebagai "kasus informatif. "
Dengan memeriksa data ini mengungkapkan variabilitas yang luas di tingkat
fungsi tata kelola SDA yang digambarkan sebagai implementasi dari agama. Yang paling
sering diimplementasikan adalah pemberian (88%), sanksi (81%), modal sosial (77%),
batas-batas sumber daya (75%), kepemimpinan (67%), dan manfaat (60%). Setelah
variabel penting ini ada, substantial drop-off untuk batas-batas pengguna (42%) dan
sosial monitoring (31%), dengan sisa fungsi yang jarang disebutkan.

Tabel 3. Adanya Fungsi Tata kelola SDA
Fungsi Tata Kelolanya
Batas-batas pengguna
Batas-batas sumber daya
Kesesuaian dengan

Agama
Dilaksanakan
20
36
1

Persen dari Total
Kasus (%)
42
75
2

Persen dari Kasus
Informatif (%)
77
88
33

5

kondisi setempat
Perbandingan
Kolektif-pilihan
pengaturan
Pemantauan sosial
Pemantauan sumber
Sanksi
Mekanisme penyelesaian
konflik
Otonomi daerah
Perusahaan sumber daya
Apropriasi
Manfaat
Kepemimpinan
Modal sosial

4

8

100

3

6

30

15
2
39

31
4
81

83
40
95

5

10

42

2
2
42
29
32
37

4
4
88
60
67
77

14
50
91
88
82
95

Tabel 4. Hasil
Variabel Hasil

Negatif

Positif

Target konservasi (TC)

0

32

Kondisi ekologi terbaru (REC)

24

4

Kondisi sosial terbaru (RSC)

23

9

Tabel. 5 Analisis Korelasional
Lembaga-Lembaga Keagamaan
(RI)

Lembaga-lembaga keagamaan

REC

RSC

1

REC

0.4519

1

RSC

0.2467

0.4503

1

Tabel 3 merupakan jawaban pertanyaan penelitian pertama yang menunjukkan
adanya masing-masing variabel di seluruh 48 kasus. Data di kolom akhir memperkuat
bukti-bukti bahwa agama memainkan peran penting dalam menerapkan beberapa fungsi
tata kelola SDA, terutama untuk hal "perbandingan," dan sebaliknya memiliki bukti yang
lemah dalam mendukung peran agama dalam implementasinya.
Dari Tabel 4, diketahui bahwa 32 dari 48 kasus mempunyai nilai ‘positif’ untuk
TC, sementara sisanya ‘tidak cukup informasi’. Tidak ada studi melaporkan bahwa tata
kelola SDA beragama memiliki pengaruh negatif pada konservasi fokus utama. Nilai
positif tidak berarti bahwa sistem sumber daya dilakukan dengan baik (seperti yang kita
lihat di tabel berikut). Apa yang dilaporkan dalam banyak kasus bahwa, sementara
sumber daya di bawah tata kelola SDA beragama mungkin telah menurun, dan itu
menurun jauh lebih sedikit daripada sumber daya yang tidak menjadi subjek dari tata
kelola SDA agama.
Tabel 4 juga menunjukkan bahwa penelitian mencatat tren negatif pada kondisi
sosial dan ekologi jauh lebih sering daripada tren positif. Ini memperkuat kesan bahwa
kami berdasarkan membaca studi kasus dimana banyak sistem tradisional yang memiliki
6

kesulitan dalam adaptasi untuk menjadi lebih terintegrasi ke dalam sistem sosial dan
ekonomi yang lebih besar. Sementara kami melakukan tidak secara eksplisit kode untuk
gangguan ini, contoh-contoh anekdot yang menonjol termasuk pengenalan agama baru
dan budaya ke suatu daerah, intervensi kebijakan publik dan perkembangan pasar skala
besar dalam sumber daya dan tenaga kerja. Secara sistematis mengidentifikasi proses ini
adalah tujuan dari pekerjaan masa depan.
Data pada Tabel 5 menunjukkan korelasi positif antara REC dan RSC, serta
korelasi positif antara masing-masing dan variabel RI. Dalam kasus hubungan antara RI
dan REC, memperlihatkan hasil yang wajar untuk menyimpulkan bahwa lembaga yang
kuat, dalam kasus ini lembaga keagamaan, telah menyebabkan hasil-hasil ekologi yang
kuat dalam kurun waktu terakhir. Nilai koefisien Pearson untuk hubungan ini cukup
tinggi mengingat semua faktor relevan yang berpotensi lain tidak masuk hitungan.
Hubungan antara RI dan RSC adalah lebih rumit, sebagian besar karena
kemungkinan bahwa dua variabel tumpang tindih dalam fenomena yang mereka teliti.
Hal wajar yang dapat dikatakan adalah bahwa tampak adanya hubungan saling
memperkuat yang positif antara adanya fungsi pengelolaan pemerintah spesifik dan
kohesi sosial yang lebih luas dalam sistem ini. Menariknya, dari tiga korelasi tersebut,
korelasi antara RI dan RSC adalah yang paling lemah. Masing-masing memiliki
hubungan yang lebih kuat untuk REC.
3.2 Pembahasan (Diskusi Fungsi Khusus Tata kelola SDA)
Dalam bagian ini kita membahas masing-masing fungsi tata kelola SDA,
menekankan cara-cara khusus di mana kasus cenderung untuk mengimplementasikan
fungsi tata kelola SDA. Kami telah mengatur diskusi ini berdasarkan urutan fungsi yang
disajikan dalam Tabel 3, dimulai dengan variabel-variabel yang hanya disebutkan sebagai
figur yang menonjol dalam data. Kita ikuti ini dengan diskusi lebih luas dari variabel
yang kurang lazim (kondisi setempat, proporsionalitas, pilihan kolektif, pemantauan
sumber daya, resolusi konflik, otonomi daerah dan cadangan).
a. Batas-batas pengguna
Batas-batas pengguna menunjukkan adanya penegakan aturan yang membedakan
antara yang merupakan anggota dari kelompok pengguna dan yang tidak. Aturan seperti
itu penting karena keanggotaan biasanya disertai dengan hak mengakses CPR (sumber
daya milik bersama). Membatasi keanggotaan adalah salah satu cara utama untuk
menghindari tekanan yang berlebihan pada sumber daya alam. Selain itu, batas-batas
sosial didefinisikan dengan baik dapat berkontribusi terhadap munculnya dan ketahanan
norma timbal balik dan kepercayaan di antara anggota masyarakat ( Gibson & Koontz,
1998). Batas-batas pengguna dilaksanakan dengan cara agama 42% dari semua kasus, dan
77% dari kasus-kasus yang informatif.
Agama dapat memediasi pelaksanaan dari batas-batas sosial dalam tiga cara.
Pertama, agama dapat memberikan wewenang kepada tokoh kunci dalam masyarakat
(misalnya, para pemimpin, para imam, dukun, rahsia dan tua-tua) untuk memberikan
batas yang jelas perbedaan antar kelompok dalam komunitas. Ini adalah metode utama
pengaruh keagamaan antara kasus-kasus dimana agama memediasi pelaksanaan batasbatas sosial. Kedua, agama dapat memberikan tambahan signifikan untuk karakteristik
kelompok pada batas-batas sosial yang akhirnya dibatasi (misalnya, kasta, jenis kelamin,
7

atau anggota keluarga dan klan). Sebagai contoh, agama mungkin melarang wanita atau
pria mengakses bagian tertentu dari sumber daya alam, atau hanya memungkinkan tua-tua
untuk masuk.
Akhirnya, ritual keagamaan digunakan sebagai penghalang untuk masuk,
memisahkan mereka yang melakukan ritual yang diperlukan dan juga memiliki akses ke
sumberdaya dari mereka yang tidak. Sejumlah besar kasus-kasus dimana agama penting
untuk batas-batas sosial jatuh ke dalam jenis ini. Misalnya, dua sistem irigasi di Izucar,
Meksiko yang secara tradisional dibagi menjadi beberapa bagian, masing-masing
didedikasikan untuk seorang pemuka agama yang melayani petani dalam pertukaran hak
mereka untuk menggunakan air. "Mereka terikat untuk melayani petani, misalnya, dengan
memberikan kontribusi untuk pesta agama, massa dan prosesi dan pemeliharaan Jemaat" (
Nederlof & Van Wayjen, 1996, ms. 77).
b. Batas-batas sumber daya
Menurut teori, adanya pemahaman yang baik mengenai batas-batas fisik yang
memisahkan sebuah sumberdaya dari lingkungan bio-fisik yang lebih besar, memainkan
peran yang sama dengan batas-batas pengguna, yang membantu meyakinkan bahwa ada
satu kelompok pengguna dan sumber daya tertentu. Tanpa ini, bahkan dengan batas-batas
pengguna yang terbentuk dengan baik, tidak mungkin jelas siapa yang dapat mengakses
sumber daya, yang dapat mengakibatkan eksternalitas negatif dan kerusakan sumber
daya. Batas-batas sumber daya adalah salah satu paling sering dilaporkan dalam fungsi
tata kelola SDA, dengan 75% dari semua kasus dan 88% dari kasus-kasus yang informatif
yang dilaporkan dalam pelaksanaan agama.
Untuk menilai pengaruh agama pada keberadaan batas-batas sumber daya kami
mencatat informasi tentang adanya tanda-tanda agama dan/atau pemahaman umum
diantara pengguna tentang batas-batas sumberdaya yang suci/sakral. Sebagian besar studi
dimana agama memainkan peran dalam menggambarkan batas-batas sumberdaya
melaporkan adanya tanda-tanda yang alami dan buatan dari makna keagamaan. Ini
termasuk fenomena alam dan buatan yang termasuk batu-batu keramat, gua, bukit, dan
puncak-puncak pegunungan, serta monolit, makam, Kuil, istana, biara-biara dan kuil-kuil.
Tengo¨ et al. (2007 ) memberikan contoh dari tanda-tanda seperti ini di wilayah selatan
Madagaskar, merupakan daerah kering yang dihuni oleh kelompok yang dikenal sebagai
Tandroy : "Pohon, terutama Alluaudia procera dan Moeringia sp., ditanam di sekitar
kuburan, dan hutan larangan sering dikelilingi oleh marga Kaktus, Opuntia ficus indica"
(687). Dalam beberapa kasus ini, kesucian sumber daya dan batas-batasnya bergantung
pada adanya sumber daya lain. Itulah yang terjadi, misalnya, di sejumlah hutan di mana
batas-batas didefinisikan sepanjang sungai suci atau dengan adanya kolam air, spesies
tanaman, atau binatang seperti singa dan monyet.
c. Ketepatan
Keberadaan batas-batas sumber daya yang jelas dan pemahaman yang jelas
tentang siapa yang dapat dan yang tidak dapat akses ke sumberdaya tidak perlu sampai
menghambat orang-orang yang memiliki akses dari over eksploitasi. Salah satu cara
untuk melakukannya adalah design dan penegakan aturan yang tepat yang meresepkan
metode, waktu, dan tingkat ekstraksi sumber daya. Aturan yang tepat merupakan suatu
aspek kritis dari pengelolaan sumber daya alam, dan bahwa agama sangat setuju dalam
8

pelaksanaannya, ditunjukkan oleh 88% dari semua kasus dan 91% informatif kasus yang
dilaporkan implementasi tersebut.
Banyak aturan yang tepat yang dilaksanakan melalui otoritas keagamaan yang
fokus pada larangan pemanenan atau menggunakan sumber daya tertentu dan di lokasi
tertentu. Ini adalah paling sering dalam kasus hutan, dimana aturan yang tepat berlaku
untuk wilayah hutan tertentu dan produk-produk seperti tanaman suci, hewan, dan spesies
pohon tertentu. Sebagai contoh, dalam tradisi-tradisi orang Shona di dataran Choa
Mozambik, "memotong pohon hidup atau cabang, membakar, dan membuka lahan
dilarang. Di sisi lain mengumpulkan kayu mati, buah-buahan, dan jamur, dan bahkan
merumput ternak diperbolehkan kecuali di daerah inti tersuci tempat upacara diadakan"
( Virtanen, 2002, halaman 232).
Larangan secara agama dalam tipe penggunaan yang spesifik juga sering
dilakukan, misalnya, larangan mengotori atau bertani di hutan keramat, atau mandi di
sungai-sungai suci. Sejumlah kasus juga melaporkan aturan agama mengatur waktu
penggunaan, terutama dalam kasus perikanan. Dalam kasus ini panen atau kegiatan
berburu hanya dapat dilaksanakan pada musim tertentu yang ditandai oleh kelender
agama, sering dibuka dan ditutup melalui perayaan upacara keagamaan yang penting.
Sebagai contoh, di Provinsi Binh Thu-an dari Viet Nam, masyarakat nelayan mengikuti
tradisi chai van mengadakan festival untuk dewa laut lima kali per tahun, termasuk
"'Festival musim semi' (bulan ke-2), 'Festival musim panas' (bulan ke-4) untuk menandai
awal hujan barat daya atau musim memancing, 'Festival musim gugur' (bulan ke-6),
berdoa untuk Festival ikan' (bulan ke-7); dan 'Southwest Monsoon Fishing atau musim
transisi' (bulan ke-8)" ( Ruddle, 1998, 11). Menariknya, kita tidak menemukan aturan
apropriasi yang membatasi jenis teknologi yang dilaksanakan melalui otoritas
keagamaan.
d. Pemantauan sosial
Pemantauan sosial dalam konteks ini menunjukkan apakah ada atau tidak
kegiatan ekstraktif sumber daya yang diamati oleh anggota. Hal ini sangat penting dalam
membujuk anggota komunitas dalam menentukan jumlah yang berlebihan dalam
ekstraksi sumber daya dari perspektif kelompok. Seperti dapat dilihat di tabel 3, agama
dikodekan dengan memainkan peran dalam pemantauan sosial hanya 31% dari semua
kasus. Untuk berbagai alasan kami percaya ini adalah meremehkan. Pertama, sosial
monitoring apapun hanya disebutkan dalam total 19 kasus. Peneliti melihat pentingnya
fungsi tata kelola SDA ini dalam analisis. Kenyataan bahwa agama memainkan peran
dalam 83% kasus informatif menyarankan bahwa pemantauan mungkin peran yang
sangat penting untuk agama untuk bermain di CBRM, tetapi penelitian lebih lanjut akan
diperlukan untuk membangun sejauh mana kasus ini.
Agama memainkan peran penting dalam Sanksi. Sulit untuk membayangkan
bagaimana sanksi dapat dijatuhkan tanpa beberapa metode untuk memantau pelanggaran.
Sebagai contoh, tidak jarang memerlukan korban binatang atau ritual keagamaan lainnya
sebelum ekstraksi sumber daya dari hutan keramat. Upacara tersebut dilakukan untuk
umum dan hal ini akan mudah untuk mengetahui jika seseorang yang berada di hutan
tanpa izin jika tidak ada korban telah dilakukan. Sayangnya, kami tidak memiliki
informasi yang cukup saat ini untuk mengetahui bagaimana agama dilaksanakan fungsi
9

tata kelola SDA mungkin mendukung satu sama lain.
Pemantauan sosial keagamaan mengambil berbagai bentuk. Dalam beberapa
kasus, pemimpin agama seperti imam atau biksu aktif patroli pada sumber daya yang
bersangkutan. Dalam kasus lain, masyarakat diharapkan untuk melaporkan pelanggaran
kepada otoritas keagamaan. Dalam sebagian besar kasus, pengguna percaya bahwa
sumber daya yang bersangkutan diisi dengan entitas supranatural seperti roh leluhur yang
mengamati moral pelanggaran. Misalnya, Kodi di Pulau Sumba di Indonesia:
"Dewa/Roh Leluhur memiliki kekuatan untuk mengendalikan proses lingkungan
seperti pola curah hujan dan panen. Tetapi mereka sangat tertarik pada sumber daya alam
mereka yang suci. Dewa/Roh Leluhur memonitor dan mengarahkan cara untuk orang
Kodi dalam menggunakan sumber daya Suci "( Fowler, 2003, p. 309).
e. Sanksi
Sanksi adalah sebuah fungsi yang dilakukan setelah monitoring dan memberikan
kekuatan dalam pemantauan. Seperti dapat dilihat di tabel 3, agama jelas memainkan
peran penting dalam sanksi, yang dikodekan sebagai penting dalam 81% dari semua
kasus dan 95% dari kasus-kasus yang informatif.
Sanksi ini mempunyai banyak bentuk yang berbeda. Dalam beberapa contoh,
pemimpin agama yang bertanggung jawab untuk menentukan besarnya denda. Dalam
sistem lain, pelanggaran harus ditebus melalui korban untuk entitas supranatural. Dalam
pandangan ini, mereka yakin entitas supranatural yang mendiami sumber daya mampu
memberikan balas dendam terhadap mereka yang melanggar aturan. Di Mongolia,
misalnya:
"Tempat-tempat khusus yang ditemukan dalam keadaan alami dan hewan langka
dan tanaman diberi label 'tempat keramat.' Ditempat itu dilarang untuk mengubah tanah,
memotong pohon, atau tanaman, atau berburu di tempat-tempat ini. Orang-orang percaya
sejak dari masa kecil bahwa pelanggaran terhadap aturan tersebut akan membuat Tuhan
tanah dan air marah — membawa kemalangan, penyakit, dan nasib buruk untuk semua
"( urtnasah, 2003, ms. 97).
Menariknya, sanksi supranatural sering digambarkan oleh penulis dengan cara
yang disarankan bahwa hukuman yang diterima lebih parah dari pelanggaran yang
dilakukan. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi material seperti mengorbankan hewan
yang berharga atau menjadi sakit dan sanksi imaterial, seperti pengucilan sosial atau
menimbulkan nasib buruk. Dari 36 kasus yang ada, semua termasuk sanksi material dan
18 kasus sanksi material dan imaterial.

f.

Manfaat

Seperti sanksi, memberikan manfaat dilakukan dengan meningkatkan manfaat
kerjasama bukan membesarkan biaya non-kooperasi. Dalam variabel ini kami sangat
tertarik dengan manfaat tidak langsung yang dapat memberikan tambahan motivasi untuk
anggota untuk bekerja sama dengan orang lain untuk mempertahankan sumber daya.
Temuan untuk peran agama dalam melaksanakan fungsi ini cukup kuat: 60% dari semua
kasus dan 88% dari kasus informatif dilaporkan dalam implementasi tersebut.
10

Seperti sanksi, perbedaan yang dibuat dalam fasa pengkodean antara manfaat
yang material dan imaterial. Dari semua kasus yang dilaporkan adanya pendekatan agama
mendatangkan manfaat, termasuk keuntungan materi, sementara beberapa kasus secara
eksplisit gabungan material dan manfaat non-materi. Sebagai contoh, Barber dan Jackson
(2011, p. 28)) menggambarkan pentingnya rohaniah dan jasmaniah pohon tertentu seperti
yang dirasakan oleh orang-orang Junggayi Nigeria:
"Junggayi sering memukul atau tepuk pohon-pohon yang mewakili orang dan
mungkin menggosok mereka dengan Lumpur sebagai bagian dari prosedur meminta
kesuburan."
Banyak manfaat itu hanya merupakan pembalikan dari salah satu sanksi yang
diamati. Sebagai contoh, hal itu biasa bagi pengguna untuk percaya bahwa objek tertentu
yang terkait dengan sumber daya alam (mata air, tumbuhan obat) bisa menyembuhkan
penyakit dan menghapus kutukan.
g. Kepemimpinan
Sebagian besar masyarakat yang mengelola sumber daya alam melakukannya
melalui diversifikasi peran oleh anggota. Diversifikasi ini umumnya memberikan
beberapa anggota tingkat otoritas tambahan terhadap sumberdaya alam dan kegiatan
anggota lainnya sehubungan dengan sumber daya. Pemimpin agama memainkan peran
penting dalam fungsi tata kelola SDA. Agama yang berperan dalam menciptakan posisi
kepemimpinan di 67% dari semua kasus dan 82% kasus informatif, masing-masing,
menyediakan bukti yang kuat akan pentingnya agama dalam melaksanakan fungsi tata
kelola SDA ini.
Peran yang dimainkan agama terhadap kepemimpinan adalah penyediaan otoritas
(agama) kepada pemimpin, yang pada gilirannya menyelesaikan tugas-tugas penting tata
kelola SDA. Para pemimpin agama ini sering disebut sebagai penyembuh, imam, dukun,
dan berbagai macam istilah khusus untuk sistem kepercayaan lokal. Selain bermain peran
yang kuat dalam pengelolaan sumber daya alam, fungsi paling menonjol yang dimainkan
pemimpin termasuk umum: ritual (1) melaksanakan ritual, penting untuk memperoleh
manfaat sosial (2) berkomunikasi atas nama komunitas dengan entitas supernatural bahwa
diri mereka yang diyakini memiliki beberapa otoritas terhadap sumber daya alam.
Sebagai contoh, Khumbongmayum et al. (2005, p. 1578) menjelaskan pentingnya
pemimpin dalam melakukan ritual untuk menenangkan dewa-dewa yang bersemayam
dalam Rumputan suci di Manipur, India:
" Lai Harouba,' dirayakan untuk menghormati dewa sylvan (Umanglais) berada
di rumputan Suci masih dilakukan di sebagian besar rumputan yang suci. Tujuan dari 'Lai
Haraoba' adalah untuk menyenangkan dewa dengan melakukan ritual adat yang terutama
dilakukan oleh Maiba (imam orang) dan Maibi (imam wanita) untuk mendapatkan
mendukung mereka."
h. Modal sosial
Modal sosial sangat membantu kelompok dalam memelihara kerjasama dan
melestarikan sumber daya alam. Modal sosial dilakukan dengan menurunkan kebutuhan
dan biayanya, serta fungsi tata kelola SDA lainnya. Jika individu memiliki tingkat
kepercayaan tinggi, maka akan ada sedikit yang melanggar aturan. Sebaliknya, dengan
tingkat kepercayaan rendah, anggota harus terus-menerus berada untuk menjaga terhadap
pelanggaran aturan. Dengan demikian, modal sosial memainkan peran yang sama sebagai
11

kepemimpinan dengan menghargai pengelolaan sumber daya alam: ini dapat membantu
pelaksanaan fungsi tata kelola SDA lainnya; Meskipun dalam banyak kasus banyak
menyingkirkan kebutuhan untuk fungsi yang sama. Setelah apropriasi dan sanksi, bukti
untuk peran agama dalam melaksanakan fungsi ini adalah yang terkuat dari semua
variabel yang kami menganalisis: 77% dari semua kasus dan 95% dari kasus informatif
melaporkan bahwa agama itu membantu untuk melaksanakan fungsi ini.
Cara dimana agama berperan dalam membangun modal sosial terhadap
pengelolaan sumber daya alam terjadi ketika sumber daya alam memainkan peran sebagai
situs suci dimana ritual keagamaan terjadi. Kejadian tersebut membuat koneksi erat
antara perlindungan sumber daya alam dan pemeliharaan ikatan sosial. Sebagai contoh,
asrama-Adzobu dan Veit (1991, ms. 13) menjelaskan bagaimana ritual meningkatkan
penghormatan terhadap hutan dikenal sebagai Malshegu Suci di utara Ghana:
"menyediakan makanan, ayam, ayam mutiara dan kambing yang dibuat oleh
keluarga untuk dewa-dewa mereka. Roh binatang dilepaskan dengan menyembelihnya,
mengalirkan dan mengoleskan darah dalam sebuah kerucut. Praktek-praktek seperti itu
memperkuat kepercayaan-kepercayaan lokal dalam agama traditional dan menambah
usaha dalam penghormatan kepada tuhan Kpalevorgu dan situs sucinya. "
Cara umum lain di mana agama dilaksanakan sebagai modal sosial adalah secara
tidak langsung; dalam banyak kasus agama sebagai sarana untuk sumber daya pengguna
untuk mengumpulkan tidak selalu secara eksplisit berorientasi disekitar isu sumber daya
alam. Berdasarkan literatur dan pengalaman kita sendiri bekerja dengan sumber daya
masyarakat pengguna, banyak kasus seperti itu tidak hanya penting menciptakan dan
menbentuk ikatan sosial, tapi banyak obrolan informal yang cukup relevan untuk
pengelolaan sumber daya alam. Jadi, ketika membangun modal sosial tidak memberikan
insentif untuk pengelolaan sumberdaya alam secara langsung seperti ritual sakral dalam
sumber-sumber tersebut, namun dapat bermain peran yang sangat penting dalam
pengelolaan sumber daya.
i. Variabel lain
Data variabel untuk tata kelola SDA yang lain (kecocokan dengan kondisi
setempat, proporsionalitas, kolektif-pilihan, pemantauan sumber daya, penyelesaian
konflik, otonomi daerah dan cadangan) adalah sulit untuk menafsirkan. Sebagian besar,
kita lakukan tidak memberikan cukup informasi untuk variabel ini untuk menarik
kesimpulan yang kuat apapun, sekali lagi membawa kita untuk percaya bahwa meskipun
variabel tersebut sering dibahas dalam literatur CBRM, mereka umumnya tidak
dilaksanakan dalam agama atau tidak rutin dianalisis oleh peneliti yang meneliti di
bidang manajemen sumber daya tradisional. Kemungkinan kedua ini tampaknya
khususnya dalam resolusi konflik hanya 12 kasus, sesuai dengan kondisi setempat,
disebutkan hanya dalam tiga kasus, dan secara proporsional, disebutkan hanya dalam
empat kasus.

BAB IV
KESIMPULAN

12

Dari analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa agama memainkan peran penting
dalam manajemen sumber daya alam berbasis masyarakat, yang mana pada awalnya
agama dipandang sebelah mata, dan merupakan suatu bentuk yang abstrak dan tidak
nyata. Hal ini mendukung argumen sebelumnya yang menyebutkan pentingnya institusi
lokal dan budaya dalam manajemen SDA. Dan kedepannya dengan penambahan variabel
dan analisis kita bisa mengevaluasi penyebab kerusakan sosial dan ekologi, serta
mengedepankan pendekatan interaksi agama dan fenomena sosial untuk saling bekerja
sama dalam manajemen SDA.

13