SANKSI TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT KAJIAN KUHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM : STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.726k/Pid./2008.

(1)

i

SANKSI TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT KAJIAN

KUHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM

(Studi Putusan Mahkamah Agung No.726K/Pid./2008)

SKRIPSI

Oleh :

Amiruddin

Nim : C03211005

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM PRODI SIYASAH JINAYAH

SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

vi ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan yang berjudul Sanksi Tindak Pidana Perzinaan Menurut Kajian KUHP dan Hukum Pidana Islam. Dengan menjawab pertanyaan: Bagaimana sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung No.726K /Pid/2008 dalam perspektif Hukum Pidana Islam.

Penelitian dalam penulisan skripsi ini melalui pembacaan dokumen Negara, yaitu penelitian dengan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen atau arsip hukum berupa putusan Mahkamah Agung yang menjadi pembahasan dalam putusan kasus perzinaan dengan diskriptif dan dianalisis menurut pandangan Hukum Pidana Islam.

Hasil penelitian menyimpulkan pertama bahwa Putusan Mahkamah Agung dengan putusan No.726K/pid./2008. tanggal 17 September 2008, menolak pengajuan kasasi dengan maksud memperkuat putusan Pengadilan Negeri Bangkalan dan pengadilan Tinggi Negeri Surabaya. Pengadilan Negeri Bangkalan dengan nomer putusan No.115/Pid.B/2007/PN.Bl. tanggal 24 Mei2007, memutuskan EP dan SW bersalah melakukan tindak pidana perzinaaan. Dengan putusan masing-masing 6 (enam) bulan penjara. Karena menurut pertimbangan hakim terdapat hal-hal yang dapat meringankan, yaitu mengakuai perbutannya dan tidak berbelit-belit dalam persidangan mulai awal sampai perkara diputuskan. Hal-hal yang dapat memberatkan adalah retaknya hubungan kekeluargaan, yaitu terjadi perceraian sehingga pelaku zina jika disanksi dengan 6 (enam) bulan penjara. Hukuman ini lebih ringan karena dalam KUHP pasal 248 hukumannya adalah maksimal sembilan (9) bulan. Karena tindak pidana yang dilakukan oleh SW dan EP selain merusak moral juga menjadi sebab retaknya hubungan kekeluargaan, maka hakim seharusnya bisa memberikan hukuman yang lebih berat. kedua Pandangan Hukum Pidana Islam terhadap putusan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung terlalu ringan, karena sanksi perzinaan terhadap kasus di EP seharusnya dijatuhi sanksi 100 kali jlid, dan

SW dirajam, karena tindak pidana perzinaan adalah perbuatan keji dan dosa besar

yang menjadi penyebab rusaknya ahlak dan martabat sebagai.

Seharusnya pemerintah dan dewan perwakilan rakyat memandang perzinaan merupakan masalah yang berat dan harus dikenai sanksi yang berat, untuk menciptakan generasi yang baik, dan melanjutkan peradaban, menjaga norma kesusilaan, adat-istiadat dan bangsa yang beradab berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sesuai dengan falsafah bangsa kita, yaitu Pancasila. Sehingga sudah sepatutnya RUU KUHP yang baru segera disahkan.


(6)

ix DAFTAR ISI

Halaman 6$038/'$/$0««««««««««««««««««««««««L 3(51<$7$$1.($6/,$1««««««««««««««««««««LL 3(56(78-8$13(0%,0%,1*««««««««««««««««««LLL 3(1*(6$+$17,03(1*8-,««««««««««««««««««LY ABSTR$.«««««««««««««««««««««««««««v KATA PENG$17$5«««««««««««««««.«««««««Yi DAFTAR ISI«««««««««««««««««««««««««..viii DAFTAR TRANSL,7(5$6,««««««««««««««««««««[

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah«««««««««««««««««« B. Identifikasi Masalah«««««««««««««««««..«..« C. Batasan Masalah««««««««««««««««««.«..« D. Rumusan Masalah«««««««««««««««««.««....10 E. Kajian Pustaka«««««««««««««««««.«.««....10 F. Tujuan Penelitian««««««««««««««.«««««.« G. Kegunaan Penelitian««««««««««««««««...«..« H. Definisi Operasional«««««««««««««««««...« I. Metode Penelitian««««««««««««««««««...«.13 J. Sistematika Pembahasan«««««««««««««««.«...17

BAB II SANKSI TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT KUHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Tindak Pidana Perzinaan Menurut KUHP

1. Pengertian Overspel««««««««««««««««««.« 2. Syarat Pertanggung jawaban Overspel««««««««««««.19 3. Prosedur Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Pidana Penjara

atau Kurungan ««««««««««««««««««««.« 4. Pelaksanaan Pidana Penjara««««««««««««««««


(7)

x

B. Tindak Pidana Perzinaan Menurut Hukum Pidana Islam«««««

1. Pengertian Jarimah Zina««««««.««««««««««...« 2. Syarat Pertanggung jawaban Jarimah Zina«««««««««««.27 3. Sanksi Jarimah zina«««««««««««««««««.««...29 4. Tata cara Pelaksanaan Sanksi Jarimah Zina«««.«««««««... 35

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.726K/Pid./2008«««..38

A. Sejarah Mahkamah Agung«««««««««««««««««.«« B. Putusan Mahkamah Agung No.726k/pid./2008«««««««««..« C. Kronologi Persidangan Kasus Tindak Pidana Perzinaan«««««..««

BAB IV ANALISIS SANKSI TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT

KHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM«««««««««««.««54

A. Analisis Sanksi Pemidanaan Tindak Pidana Perzinaan dalam Putusan Kasasi dari Pengadilan Tinggi Surabaya dan Pengadilan Negeri Bangkalan«« B. Analisis Sanksi Pemidanaan Tindak Pidana Perzinaan Dalam Putusan Kasasi

Mahkamah Agung No.726K /Pid/2008 Dalam Perspektif hukum Pidana Islam

««««««««««««««««««««««««««««««57

BAB V PENUTUP...«««««««««««««««««««

A. Kesimpulan ««««««««««««««««««««««««« B. Saran-saran««««««««««««««««««««««««

Daftar Pustaka Lampiran


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hidup bermasyarakat mengharuskan manusia membuat aturan-aturan hidup yang diberlakukan diantara mereka sebagai suatu alat untuk menjaga keharmonisan hubungan dan kehidupan bermasyarakat yang aman, damai dan tentram. Kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak kebutuhan pemuas diri bahkan untuk menpertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan dapat dipenuhi, walaupun tidak seluruhnya dan harus dipenuhi dengan segera, biasanya sering dilakukan dengan pertimbangan yang tidak matang dan merugikan. Pertimbangan yang tidak matang itulah maka ada manusia yang melakukan pemenuhan kebutuhan dengan merugikan lingkungan dan orang lain seperti halnya dalam memenuhi kebutuhan seksual merupakan kebutuhan dasar pada diri manusia, menurut Sigmund Freud kebutuhan seksual manusia dalam ilmu biologi terungkap lewat asumsi mengenai instink seksual, instink ini disamakan dengan insting mencari makan dan minum yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan merupakan bagian dari kehidupan manusia itu sendiri1. Karena kebutuhan seksual itu tidak bisa dipisahkan maka ada dari manusia itu untuk memenuhi kebutuhan seksulanya merugikan orang lain dan linkungannya sepeti dalam kasus perzinaan dalam penulisan skripsi ini.

1

Abdul Wahid, Perlindungan Terhadap Korban Kekersan Seksual, (Bandung: Refika Aditama, 2001), 32.


(9)

2

Penulisan skripsi ini termasuk dalam permasalahan kasus perzinaan yang merupakan putusan Pengadilan Negeri Bangkalan sampai tingkat kasasi yang akan dikaji dalam hukum pidana Islam, kronologi tentang duduk perkaranya berawal pada hari Jumat tanggal 2 Februari 2007 dirumah kontrakan Sri Fatima Utami di Jalan Letnan Ramli Kelurahan Kraton, Kecamatan/Kabupaten Bangkalan skitar pukul 20:30 wib. Sri Wahyuniningsih mengajak Edi Purnomo menonton perayaan pawai lampion. Kemudian pada waktu setelah mahgrib sekitar

jam 19:00 Edi Purnomo SMS Sriwahyuniningsih “apakah jadi yang akan

menonton perayaan pawai lampion?”. Kemudian Sri Wahyuniningsih menjawab agar berangkat terlebih dahulu karena akan berangkat dengan anak-anaknya dengan menaik motor. Setelah itu Edi Purnomo berangkat menuju ke-rumah Sri Fatima Utami bibik Sri Wahyuniningsih dengan teman-temanya Lia, Eva dan Hendrik, setelah samapai dirumah Sri Fatimah Utami, Edi Purnomo dan teman-temanya, Sri Fatimah Utami menelpon Sri Wahyuniningsih mengabarkan Edi Purnomo dan teman-temannya ada dirumahnya, lalu Sri Fatima Utami menitipkan rumahnya kepada Edi Purnomo dan teman-temannya karena akan berangkat terlebih dahulu menonton perayaan pawai lampion. Lalu Sri Wahyuniningsih berangkat menuju ke-rumah Sri Fatimah Utami, sesampai dirumah Sri Fatima Utami, Sri Wahyuniningsih mengobrol bersama Edi Purnomo dan teman-temannya, tidak lama kemudian mereka keluar kecuali Edi Purnomo dan Sri Wahyuniningsih2

2


(10)

3

Karena hanya mereka berdua di dalam rumah kontrakan Sri Fatima Utami Edi Purnomo mulai melakukan perbuatan mesum dengan mencium leher dan pipi Sri wahyuniningsih lalu Edi purnomo membuka ikat pinggang celana, kancing, dan resliting Sri Wahyuniningsih dan celana Sri Wahyuniningsih membuka sendiri sampai pada lutut berikut celana dalamnya juga sampai pada lutut. Kemudian Edi Purnomo membuka celana luar dan dalamnya sampai pada lutut, setelah terbuka Edi Purnomo menindih Sri Wahyuniningsih terjadilah persetubuhan. Disaat pertenganhan persetubuhan mereka datanglah seorang tetangga Sri Fatima Utami bernama Suaji yang sejak awal mengetahui mereka berdua masuk kerumah Sri Fatima Utami karena mereka mencurigakan Suaji masuk merggokin mereka yang

sedang besetubuh dengan mengatakan “kalian kira disini Hotel” lalu Suaji

mengambil celana dalam Sri Wahyuniningsih dibawa lari, dengan kejadian tersebut Edi Purnomo mengejar Suaji karena jaraknya jauh Edi Purnomo kemabli kerumah kontrakan Sri Fatima Utami 3

Dengan kejadian yang diliahat, Suaji melaporkan Ke-Rt dengan memabawa bukti celana dalam Sri Wahyuniningsih, Rt lansung memanggil warganya utuk mergokin apa yang dikatakan Suaji, bahwa ada laki-laki dan perempuan tidak dikenal melakukan persetubuhan dirumah kontrakan tetangganya yaitu Sri Fatima Utami, Rt dan warga setempat berangkat kerumah Sri Fatima Utami setelah sampai dirumah kontrakan Sri Fatima Utami, Rt Dan warga menanyakan tentang persetubuhan tersebut, dengan nada ketakutan mereka

3


(11)

4

mengakui perbuatannya lalu Rt bersama warga setempat membawa Edi Purnomo dan Sri Wahyuniningsih Ke-Polres Bangkalan.4

Dengan kejadian yang dilaporkan oleh Rt bersama warga setempat pihak kepolisian menahan mereka berdua untuk diperiksa, dan segera menagbil tindakan peninjauan TKP (tempat kejadian perkara), saat ke-TKP Polisi menemukan bebrapa barang bukti yang berupa celana jeans warna biru merek bunga, celana dalam mutif kembang-kembang, sprei warna kuning milik Sri Wahyuniningsih. Celana jeans warna biru motif garis-garis merek maxmilian, celana dalam warna biru merek YSL milik Edi Purnomo. Kemuadia pihak kepolisian memanggil para saksi guna untuk memberikan keterangan atas kejadian kasus tersebut antara lain:

1. Mat Ruji merupakan suami Sri Wahyuniningsih memberikan keterangan bahwa Sri wayuniningsih adalah istrinya yang masih sah dengan bukti menunjukan Surat nikah No : L 246/05/X/1994. atas nama Mat Ruji dan Sri Wahyuniningsih. Dan Mat Ruji tidak terima atas perselingkuhan yang dilakukan istrinya menuntut agar istrinya dihukum sesuai dengan hukum yang belaku.

2. Suaji adalah tetangga Sri Fatima Utami memberikan ketrangan melihat langsung pada persetubuhan yang dilakukan oleh Edi Purnomo dan Sri Wahyuniningsih pada hari Jumat tanggal 2 Februari 2007 dirumah kontrakan Sri Fatima Utami di Jalan Letnan Ramli Klurahan Kraton, Kecamatan/Kabupaten Bangkalan skitar pukul 20:00 wib.

4


(12)

5

3. Sri Fatima Utami adalah bibik Sri Wahyuniningsih pemilik rumah yang dikontrak memberikan keterangan membenarkan perbuatan Edi Purnomo dan Sri Wahyuniningsih yang diberitahukan tetangganya bahwa Edi Purnomo dan Sri Wahyuniningsih telah melakukan perzinaan karena Sri Wahyuniningsih masih istri dari Mat Ruji 5

Setelah alat bukti terkumpul dan para saksi memberikan keterangan dengan jelas pihak kepolisian mengklafikasikan bahwa perkara tersebut adalah tindak piana perzinaan yang terdapat dalam KUHP pasal 284 pasal (1). Setelah selesai BAP (berita acara pemeriksaan) selesai pihak kepolisian menyerahkan BAP kepada Jaksa. Jaksa sebagai penuntud umum membuat surat dakwaan bahwa Edi purnomo sebagai terdakwa I dan Sri Wahyuniningsih sebagai terdakwa II dituntut dengan tujuh (7) bulan penjara, perbuatan mereka sebagaimana diatur dan diancam pidana penjara dalam pasal 284 ayat (1) KUHP yang menyatakan dihukum penjara selama-lamanya Sembilan bulan6:

1. a. laki-laki yang beristri, berbuat zina, sedang diketahuinya, bahwa pasal 27 kitab Undang-undang Hukum Perdata (sipil) berlaku padanya:

b. Perempuan yang bersuami, berbuat zina:7

Penagdialn Negeri Bangkalan dalam putusannya Sri Wahyuniningsih dan Edi Purnomo bersalah melakukan tindak pidana perzinaan dengan hukuman enam (6)

5

BPA (berita acara pemeriksaan) Polres Bangkalan 19 April 2007.

6 Direktori, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia”, No. 726K/Pid/2008, dalam Direktori Putusan - Pengadilan Mahkamah Agung , diakses 25 september 2014 , 3. 7

R. Sosilo Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap


(13)

6

bulan penjara karena Sri Wahyuniningsih tidak merasa puas dengan putusan pengadilan Negeri Bangkalan, Sri Wahyuniningsih mengajukan permohonan banding ke- Pengadilan Tinggi Surabaya. Pengadilan Tinggi memutuskan menerima permohonan banding dari Sri Wahyuniningsih dan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Bangkalan. Putusan Pengadilan Tinggi tidak merubah putusan Pengadilan Negeri Bangakalan sehingga Sri Wahyuniningsih masih tidak merasa puas maka menagjukan permohonan kasasi ke-Mahkamah Agung pada tanggal 30 januari 2007 dengan alasan sebagai berikut:

1. Dalam persidangan saya sebagai terdakwa tidak memberikan keterangan yang berbelit-belit dan mengakui kesalahannya dan perbuatan zina dengan terdakwa Edy Purnomo tersebut hanya 2 (dua) kali saja.

2. Dalam perkara ini saya sebagai terdakwa Sri Wahyuningsih dan terdakwa Edy Purnomo, dan didalam persidangan saksi korban yaitu Mat Ruji ( suami Sri Wahyuningsih) tidak datang dan hanya memberikan selembar surat pernyataan bahwa saksi korban Mat Ruji tidak akan menuntut saya (Sri Wahyuningsih) sebagai mantan istrinya.

3. Bahwa selain dengan terdakwa Edy Purnomo saya sebagai terdakwa Sri Wahyuningsih tidak pernah melakukan perbuatan zina dan perbuatan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan 4. Bahwa dalam persidangan saya sebagai terdakwa selalu hadir dan tidak

mempersulit persidangan.

5. Bahwa sejak kejadian tersebut, terdakwa Sri Wahyuningsih diceraikan oleh suaminya yaitu Mat Ruji dan oleh karena itu terdakwa Sri


(14)

7

Wahyuningsih sampai saat ini menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga yang menghidupi 2 (dua) anak yang masih dibawah umur dan masih sekolah dasar ( SD)8

Dengan alasan yang diajukan oleh Sri Wahyuniningsih Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan 1-5 tidak dapat dibenarkan, oleh karena itu Pengadilan Tinggi tidak salah menerapakan hukum dan mengenai berat ringannya penerapan hukuman adalah wewenang Pengadilan Tinggi yang tidak tunduk pada kasasi kecuali pengadilan tinnggi menerapkan hukum yang tidak diatur dalam perundang-undagan yang belaku atau menerapkan hukum tanpa mempertimbangkan dengan cukup sehingga salah dalam mengambil keputusan.9

Dalam kasus putusan perzinaan oleh Mahkamah Agung di atas yang menolak atas penagajuan Kasasi dengan maksud memperkuat putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Dalam putusan Pengadilan Negeri Bangkalan terdakwa I Sri Wahyunininsih dan terdakwa II Edi Purnomo masing-masing dihukum 6 (enam) bulan penjara, berdasarkan KUHP.

Kasus perzinaan di atas jika dikaji dengan pandangan hukum Islam perbuatan zina merupakan perbuatan yang keji sehingga harus dihukum dengan berat, karena merusak moral dan sistem kemasyarakatan, dan mengancam keselamatannya. Zina merupakan pelanggaran atas sistem kekeluargaan, sedangkan keluarga merupakan dasar untuk berdirinya masyarakat10. Tindak

8 Direktori, Putusan Mahkamah…, 7 9 Direktori, Putusan Mahkamah…, 6 10


(15)

8

pidana perzinaan kasus di atas adalah perbuatan keji dan merupakan dosa besar yang diancam dengan hukuman cambuk dan rajam. Bagi pelaku zina muhshan (Sudah menikah), maka ia dibebani hukum rajam, yakni dilempari batu sampai mati. Hukuman kedua berlaku bagi pelaku zina ghairu muhsan (Belum menikah) yakni dihukum dengan hukuman cambuk atau dera sebanyak 100 kali. Hal ini sesuai dengan dalam (QS. al-Nur/24: 2)

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya 100 (seratus) kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman11.

Sedangkan dalam hadis Nabi Muhammad saw. sebagai berikut:

(

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, bahwa Beliau memerintahkan bagi siapa yang berzina dan belum pernah menikah agar dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. (HR. Bukhari ).12

11

Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahnya, (Surabaya: Karya Utama, 2000), 543. 12

Lidwa pusaka, shofwer Hadis Kitab 9 Imam dan Terjemahnya versi 1, (Jakarta: Telkom, 2010), 2455


(16)

9

Dari uraian di atas diketahui bahwa kasus perzinaan yang diputus oleh hakim, dijatuhi hukuman 6 (enam) bulan penjara berdasarkan hukum positif. Dalam hukum Islam sanksi atas kasus perzinaan di atas dicambuk seratus kali dan dirajam. Dengan perbedaan sanksi yang diterapkan maka dapat di identifikasi masalahnya dan implikasi sanksi yang berbeda

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasikan masalah bahwa penemuan tertentu adalah sabagai berikut

1. Putusan Mahkamah Agung No 726K /Pid/2008. terhadap kasus perzinaan

2. Konsep tindak pidana perzinaan menurut hukum positif 3. Konsep perzinaan menurut hukum pidana Islam

4. Sanksi perzinaan menurut KUHP pasal 284 ayat (1) dan hukum pidana Islam

5. Sanksi perzinaan menurut hukum pidana Islam 6. Faktor penyebab tindak pidana perzinaan

C. Batasan Masalah

1. Sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi dari Pengadilan Tinggi Surabaya dan Pengadilan Negeri Bangkalan


(17)

10

2. Sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung No.726K /Pid/2008 dalam perspektif hukum pidana Islam

D. Rumusan Masalah:

1. Bagaimana sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi dari Pengadilan Tinggi Surabaya dan putusan Pengadilan Negeri Bangkalan?

2. Bagaimana sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung No.726K /Pid/2008 dalam perspektif hukum pidana Islam?

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada dasarnya adalah deskripsi penelitian terdahulu yang terkait, agar dalam penelitian yang dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikat. Skripsi yang membahas tentang tindak pidana zina sebelumnya sudah ada yang menuliskannya, namun obyek kajiannya berbeda antara lain:

1. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan No.35/PID.SUS.2012/PN.Jmb. tentang Tindak Pidana Membujuk Melakukan Persetubuhan Disertai Penaganiayaan Anak di Bawah Umur. Membuju melakukan persetubuhan dan penganiayaan merupakan berupa


(18)

11

meyakinkan seorang untuk melakukan tindak pidana hubungan suami istri yang disertai dengan penyiksaan atau penindaskan. Putusan No.35/PID.SUS.2012/PN.Jmb. tentang tindak pidana membujuk melakukan persetubuhan disertai penaganiayaan anak dibawah umur kesimpulanya tindak pidana yang dilakukan termasuk dalam pidana islam dalam katagori sebagai jarimah zina ghairu muhsan dan jarima penaganiayaan sanksinya didera 100 kali dan diasingkan selama satu tahun karena terdakwa belum terikat pernikahan13.

2. Studi Komprasi Anatara KUHP Pasal 294 ayat (1) dan Hukum Pidana Islam tentang Sanksi Hukum bagi Seorang ayah/ibu yang Melakukan Tindak pidana Incest dengan Anak Kandung. Perkawinan incest dalam hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang masih mempunyai hbungan darah dekat, hal ini tidak boleh dilakukan sebagai mana dalam pasal 30, 31 Sub 1e dan 2e BW. kesimpulannya dalam hukum pidana islam incest adalah perkawinan yang dilakukan oleh orang yang dilarang akibat adanya hubungan mahram, baik mahram nasab atau mahram rida' dan mahram musaharah pidana sanksi bagi pelaku incest ialah rajam sebagaimana sanksi zina muhsan sedangkan dalam KUHP pasal 294 berupa penjara maksiamal 7 tahun. 14

13

AnziAfrianti.W.A, “Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Putusan NO.35/PID.SUS/2012/PN.Jmb. tentang Tindak Membujuk Melakukan Persetubuhan Disertai Penganiayaan Anak di Bawah Umur”, ( Skripsi-- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013), 85. 14

Khoirul Amin, “Studi Komparatif antara KUHP pasal 294 ayat (1) dan Hukum Pidana Islam tentang Sanksi Hukum Bagi Seorang Ayah/Ibu yang Melakukan Tindak Pidana Incest dengan Anak Kandung”, ( Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2010), 83.


(19)

12

Hal -hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya ialah penelitian ini membahas fokus pada sanksi zina dalam kajian hukum pidana Islam dan hukum pidana positif (Studi Putusan Mahkamah Agung No.726/Pid/2008).

F. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi dari Pengadilan Tinggi Surabaya dan Pengadilan Negeri Bangkalan

2. Untuk mengetahui sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung No.726K /Pid/2008 dalam perspektif hukum pidana Islam

G. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diaharapkan dan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi disiplin keilmuan secara umum, dan minimal dapat digunakan untuk dua aspek sebagai berikut :

1. Dari segi teoritis, dapat dimanfaatkan untuk pengembangan dan kepentingan ilmiah dalam studi hukum khususnya dalam tindak pidana perzinaan hukum pidana Islam

2. Dari segi praktis, dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dan bahan penyuluhan hukum secara intensif dan informasi kepada masyarakat tentang masalah tindak pidan perzinaan


(20)

13

H. Definisi Oprasioanal

Untuk mempermudah pemahaman dan salah pengertian terhadap istilah dalam skripsi ini, maka penulis akan memaparkan beberapa istilah yang terdapat dalam penulisan skripsi ini

1. Hukum Pidana Islam: perbuatan yang dilarang dilakukan dan sudah

ada ketentuannya dalam syara’ yang disertai sanksi yang bersumber dari al-Quran dan Hadis dan pendapat ulama15

2. Persetubuhan (zina) menurut KUHP seorang laki-laki atau seorang perempuan yang telah kawin melakukan persetubuhan dengan seseorang yang bukan suami atu istrinya.16

3. Zina menurut hukum pidana Islam adalah masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan tanpa adanya suatu ikatan pernikahan17

4. Pidana dalam hukum Islam: perbuatan yang dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa akal, dan harta benda 18

5. Pidana dalam hukum pidana positif: perbuatan yang dilarang dalam hukum yang berlaku disuatau Negara19 dan tentang sanksi zina

15

Ahmad Wardi Muslich, Pengatar dan Asas Hukum Pidana Islam (jakarta: sinar Grafika, 2004), 9.

16

R. Sosilo, kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap

pasal demipsal, (Bogor: polita, 2001), 209.

17

Ahmad Wardi Muslich, pengatar dan asas,…, IX.

18


(21)

14

I. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk memperoleh data-data dengan tujuan dan kegunaan tertentu sebagai alat untuk menggali suatu informasi yang terkait dengan judul penelitian secara teoristis dan praktis.20

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dokumentasi, yaitu penelitian data yang diperoleh dari dokumen-dokumen atau arsip hukum, yang berupa putusan Mahkamah Agung yang menjadi pembahasan dalam putusan kasus perzinaan. Untuk mendukung data yang dijadikan pembahasan dalam skripsi ini adalah keputusan yang terkait dengan pembahasan skripsi ini dengan penulusuran dan menelaah data yang ada hubungannya dengan tindak pidana perzinaan. 2. Sumber Data

Sumber data merupakan subyek dari mana data yang dapat diperoleh, sebagai brikut

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari sumber asli (melalui dokumen Negara secara resmi), antara lain:

1. Keputusan PengadilanNegeri Bangkalan tentang perzinaan 2. Putusan Mahkamah Agung NO.726K /Pid./2008.

19

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka cipta2009), 2. 20


(22)

15

3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

b. Sumber Data Skunder

Sumber data skunder adalah sumber data yang diperoleh secara tidak langsung yang terdiri dari beberapa refrensi yang terkait dengan pembahasan skripsi ini antara lain:

1. Ahmad Wardi Muslich, Pengatar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Refika Aditama, 2001).

2. R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidan, (KUHP). serta komentar-komentarnya Lengkap pasal demi pasal (Bogor: polita, 2001).

3. Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2013).

4. Moejatno, Asas-asas Hukum Pidana, (jakarta: Renika cipta, 2009).

5. Departemen kehakiman, Pedoman Pelaksnaan KUHP, (Bandung: Refika Aditama, 2001).

6. Moh. Daud Ali., Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008). 7. Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam,

(Jakarta: PT. Karisma Ilmu, 2008). c. Tehnik Penggalian Data


(23)

16

Mengingat penelitian ini bersifat kepustakaan atau leteratur, maka data yang dikumpulkan data kepustakaan:

a. Studi putusan/studi dokumen

b. Ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana zina dalam KUHP c. Ketentuan hukum pidana Islam tentang sanksi bagi pelaku zina d. Data persamaan dan perbedaan sanksi tindak pidana perzinaan

menurut hukum positif dan hukum pidana Islam e. Teknik Pengelolaan Data

Data yang sudah didapat dari dokumen dianalisa. Dan tahapan-tahapnnya sebagi berikut :

a. Editing yaitu pemeriksaan kembali terhadap data yang telah ditelaah dari Leteratur primer maupun skunder tentang perzinaan putusan Mahkamah Agung No.726K /Pid./2008 21 b. Organzing : yaitu menyusun data secara sistematis data yang

yang terkait dengan putusan dan dukumen yang relevan

f. Tehnik Analisa Data

Dalam menganalisis data penelitian ini, penulis menganalisis dokument (content analisys), yaitu memaparkan dan menggambarkan tentang isi putusan dalam kasus perzinaan yang diputus oleh Penagadilan Negeri Bangkalan yang diperkuat oleh

21


(24)

17

Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, kemudian kasus tersebut dianalisis dalam hukum pidana Islam22

J. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan sikripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab. Pada masing-masing bab terbagi dalam beberapa sub bab, sehingga mempermudah pembaca untuk mengetahui gambaran secara ringkas mengenai uraian yang di kemukakan dalam tiap bab

Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, definisi oprasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi landasan teoritis yang membahas tentang gambaran umum tindak pidana perzinaan dalam perspektif hukum pidana islam

Bab ketiga berisi data yang memuat deskripsi kasus perzinaan dari putusan Pengadilan Negeri Bangkalan dan putusan Pengadilan Tinggi yang menjadi pertimbangan putusan Mahkamah Agung tingkat ksasi

Bab keempat merupakan analisis kasus terkait dasar pertimbangan putusan Mahkamah Agung Tingkat kasasi dalam perspektif hukum pidana Islam

22


(25)

18

Bab kelima berisi penutup yang didalamnya berisi tentang kesimpulan yang merupakan upaya menjawab atas rumusan masalah.


(26)

19

BAB II

TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT KUHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Tindak Pidana Perzinaan Menurut KUHP 1. Pengertian Overspel

Dari berbagai terjemahan KUHP di berbagai buku refrensi, para pakar hukum Indonesia berbeda pendapat mengenai penggunaan istilah pengganti dari overspel. Hal ini dikarenakan bahasa asli yang digunakan dalam KUHP adalah bahasa Belanda. Ada pendapat yang menggunakan istilah zina. Sedangkan pendapat lain menggunakan kata istilah mukah atau gendak. Hal ini tampak dalam terjemahan KUHP hasil karya Moelyatno, Andi Hamzah, R. Soesilo, Soenarto Soerodibroto atau terjemahan KUHP dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman. Menurut Van Dale’s Groat Woorden Boek Nederlanche Taag kata overspel berarti echbreuk, schending ing der huwelijk strouw yang berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan.23 Menurut Noyon Langemayer yang menegaskan bahwa overspel: kanaller door een gehuwde gepleegd woorden deangehuwde met wie het gepleegd wordt is volgent de wet medepleger, yang artinya perzinaan hanya dapat dilakukan oleh orang yang menikah, sedangkan orang yang tidak terikat pernikaan dalam perbuatan itu adalah turut serta (medepleger)24. Oleh karena itu, melihat ketentuan pasal 284 sedemikian rupa, maka overspel yang dapat dikenai sanksi pidana menurut KUHP adalah:

23

Topo Santosa, Seksualitas dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ind-Hill, 1997), 92. 24


(27)

20

a. persetubuhan dilakukan oleh mereka yang sudah menikah saja. Apabila pasangan ini belum menikah kedua-duanya, maka persetubuhan mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai overspel, hal ini berbeda dengan pengertian berzina yang menganggap persetubuhan antara pasangan yang belum menikah juga termasuk di dalamnya.

b. pasangan yang disetubuhi, yang belum menikah hanya dianggap sebagai peserta pelaku (medepleger). Dengan demikian apabila pasangan yang disetubuhi telah menikah juga, pasangannya tersebut dianggap bukan sebagai peserta melainkan sebagai pelaku.

c. persetubuhan tidak diizinkan oleh suami atau pun isteri yang bersangkutan. Dengan demikian maka tidak dapat dikatakan overspel, jika persetubuhan itu direstui oleh suami atau istri yang bersangkutan, maka itu bukan termasuk overspel.25

2. Syarat Pertanggung jawaban Overspel

Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan

25

Sahetapy .B. Mardjono Reksodiputro, Parados dalam Kriminologi, (Jakarta: Rajawali, 1989), 60.


(28)

21

perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah ( Subjective guilt). Di sini berlaku apa yang di sebut di atas “tiada pidana tanpa kesalahan”(keine strafe ohne schhuld atau geen straf zonder schuld ) atau nulla poena sine culpa ( “Culpa” di sini dalam arti luas meliputi kesengajaan). Dari apa yang telah disebutkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur ialah :

a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat (Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahigkeit) : artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal

b. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatanya berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) : ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.

c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

Kalau ketiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa dipidana. Sekalipun kesalahan telah diterima sebagai unsur yang menentukan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana, tetapi mengenai bagaimana memaknai kesalahan masih terjadi saling perdebatan di kalangan para ahli. Pemahaman yang berbeda mengenai makna kesalahan, dapat menyebakan perbedaan dalam penerapanya26.

26


(29)

22

3. Prosedur pelaksanaan putusan pengadilan terhadap pidana penjara atau kurungan antara lain :

1. Menerima salinan putusan pengadilan dan panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan dalam waktu 1 minggu untuk perkara biasa dan 14 hari untuk perkara dengan acara singkat

2. Kepala kejaksaan menggunakan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan

3. Menyerahkan terpidana kepada Lembaga Pemasyarakatan. 4. Membuat laporan pelaksanaan

Berdasarkan prosedur pelaksanaan putusan pengadilan terhadap pidana penjara atau kurungan pada poin 2 disebutkan bahwa kepala kejaksaan Negeri mengeluarkan surat perintah pelaksanaan putusan Pengadilan, dengan dikeluarkannya perintah tersebut maka jaksa segera menjalankan tugasnya untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan Pengadilan. Kemudian apabila seorang terpidana dipidana penjara atau kurungan lebih dari satu putusan, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu (Pasal 273 KUHAP)27.

27


(30)

23

4. pelaksanaan pidana penjara:28 a) Tahap pertama

Lembaga Pemasyarakatan melakukan penelitian terhadap narapidana atau sebab dilakukannya suatu pelanggaran. Pembinaan ini dilaksanakan saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) masa pidananya. Masa ini juga merupakan masa orientasi berupa masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan yang dilakukan paling lama 1 (satu) bulan. Di sini para narapidana mendapatkan pembinaan kepribadian diantaranya adalah:

a) Pembinaan kesadaran beragama

b) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara c) Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan) d) Pembinaan kesadaran hukum

Pada tahap ini, pembinaan dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan dengan pengawasan maksimum

b) Tahap kedua

Apabila narapidana tersebut dianggap sudah mencapai cukup kemajuan, maka kepada narapidana diberikan kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan pada lembaga pemasyarakatan dalam pengawasan medium security. Narapidana yang telah menunjukkan kemajuan disini adalah sudah terlihat keinsyafan, perbaikan diri, disiplin, dan patuh kepada peraturan tata tertib yang belaku di

28 Jane Angriani Achmad “Pelaksanaan Pidana Penjara dan Pidana Kurungan di Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar”, (Skripsi--Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, 2013), 56.


(31)

24

dalam Lembaga Pemasyarakatan. Tahap ini dilakukan setelah narapidana menjalani 1/3 sampai ½ masa pidana. Disini narapidana mendapatkan pembinaan kepribadian lanjutan serta pembinaan kemandirian antara lain :

a) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri

b) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil

c) Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing

d) Keterampilan yang mendukung usaha-usaha industri seperti pertanian dan perkebunan

c) Tahap ketiga

Selanjutnya dalam tahap ketiga ini adalah tahap asimilasi yang dilakukan setelah, menjalani ½ dari masa pidana yang sebenarnya, pelaksanaannya terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ dari masa pidananya. Pada bagian ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan sistem pengawasan menengah (medium security). Sedangkan bagian kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidananya. Dalam bagian lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap asimilasi atau biasa disebut dengan asimilasi korvey, dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum


(32)

25

Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan. Pembinaan tahap akhir yaitu bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas (CMB) atau pembebasan bersyarat (PB). Pembinaan dilakukan di luar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan. Setelah tahap-tahap tersebut narapidana siap untuk dikembalikan ke masyarakat dan diharapkan menjadi manusia yang mandiri, tidak melakukan tindak pidana lagi, serta dapat berperan aktif dalam masyarakat. Namun setelah pembebasan bersyarat ini habis, maka terpidana tersebut kembali ke-Lembaga Pemasyarakatan untuk mengurus atau menyelesaikan surat bebas atau surat lepasnya.

B. Tindak Pidana Perzinaan Menurut Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Jarimah Zina

Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur subhat29. Ibnu Rusyd mendefinisikan zina sebagai setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena semu (subhat)30 dan bukan pula karena pemilikan terhadap budak.31 Secara garis besar pengertian ini telah disepakati oleh para ulama, meski mereka masih berselisih pendapat tentang manakah yang dikatakan syubhat (semu/mirip) yang menghindarkan hukuman had dan mana pula yang tidak menghindarkan

29

Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr), 109. 30

Tidak jelas hukumya (menyetubuhi istri yang ditalak dengan sindiran) 31


(33)

26

Hukuman tersebut. Namun Imam Taqiyuddin memberikan definisi zina sebagai perbuatan persetubuhan dengan memasukan zakar ke dalam vagina dengan cara apapun yang diharamkan oleh syara’ dan bukan wath’i subhat.32. Sedangkan Sayyid Sabiq menggambarkan zina sebagai hubungan kelamin sesaat yang tidak bertanggung jawab33. Definisi zina yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam tersebut secara esensi tidak ada perbedaan yang signifikan, karena pada dasarnya perbuatan zina ada dua unsur yang harus terpenuhi yaitu;

a. Adanya persetubuhan antar dua orang yang berlainan jenis.

b. Adapun laki-laki atau perempuan tersebut tidak dalam ikatan yang sah.

Oleh karena itu apabila ada seorang laki-laki dan wanita yang bermesraan dan atau bertelanjang di atas tempat tidur belum bisa dikategorikan sebagai perbuatan zina. Di sini dibutuhkan persaksian yang melihat langsung pada saat terjadi perzinaa sebagai justifikasi apakah sudah terjadi zina atau belum. Perlu diketahui sebagai catatan bahwa ada perbedaan yang sangat esensial mengenai definisi zina di dalam hukum positif Indonesia (KUHP) dengan hukum Islam. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia pasal 284 dinyatakan bahwa zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Dan supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.34

32

Imam Taqiyuddin, Kifayah al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Kitab al-Alamin, 1995), 619. 33

Sayyid Sabiq , Fiqih Sunnah, terjemah: M. Syafi'i, jilid ix, (Kairo: Penerbit: Pena Publishing ), 90.

34


(34)

27

Kenyataan tersebut menunjukkan betapa jauh perbedaan antara hukum Islam dengan hukum positif. Walaupun sama-sama bertujuan untuk memelihara kepentingan dan ketenteraman masyarakat, serta menjamin kelangsungan hidup namun hukum Islam lebih memperhatikan soal akhlak, dimana tiap-tiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak yang tinggi tentu diancam hukuman. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan hukum positif yang boleh dikatakan telah mengabaikan soal-soal akhlak sama sekali dan baru mengambil tindakan, apabila perbuatan tersebut membawa kerugian langsung bagi perorangan atau ketentuan masyarakat.35 Sebagai contoh adalah perbuatan zina. Hukum positif tidak menghukum perbuatan tersebut, kecuali apabila terjadi perkosaan terhadap salah satu pihak atau tanpa kerelaan salah satunya. Karena dalam keadaan demikian, perbuatan tersebut merugikan perorangan maupun ketenteraman umum. Akan tetapi syari’at menghukum perbuatan zina dalam keadaan dan bentuk bagaimanapun juga, karena zina di pandang bertentangan dengan akhlak dan apabila akhlak sudah rusak maka rusaklah masyarakat.

2. Syarat Pertangungjawaban Jarimah Perzinaan

Pelaku zina tentunya akan mendapatkan sanksi yang berat berdasarkan ketentuan yang telah digariskan al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw. hukuman bagi pelaku zina tersebut haruslah memenuhi beberapa syarat pokok. Namun dalam penjelasan mengenai persyaratan ini terdapat dua bagian, yakni

35


(35)

28

syarat yang muttafaq dan syarat yang mukhtalaf. Adapun syarat syarat tersebut yakni sebagai berikut :

a. Baligh, maka tidak ada had bagi anak yang belum baligh.

b. Berakal, tidak berlaku had bagi orang gila. Jika orang berakal berzina dengan orang gila atau sebaliknya, maka yang mendapat hukuman had adalah orang yang berakal.

c. Muslim.

d. Tidak dalam paksaan. Para ulama berbeda pendapat apakah orang yang dipaksa mendapat hukuman had atau tidak. Ulama mengungkapkan bahwa tidak ada had bagi orang yang dipaksa. Ulama Hanabilah mengungkapkan tetap berlaku had meskipun dipaksa, jika masih memungkinkan menghindar, jika tidak mungkin maka tidak berlaku had.

e. Pelaku berbuat zina dengan sesama manusia, jika ia menyetubuhi hewan maka tidak ada had baginya namun berlaku hukum ta’zir.

f. Pelaku zina (sekufu) maka tidak ada had zina jika menyetubuhi anak anak menurut satu pendapat. Namun pendapat jumhur mengatakan bahwa tetap berlaku had dalam hal ini selama masih memungkinkan menegakkannya. g. Tidak ada unsur syubhat dalam perbuatan tersebut. Misalnya seorang laki

laki menyetubuhi wanita yang disangka adalah istrinya atau budaknya. Namun ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Abu Yusuf mengatakan bahwa tetap berlaku had, meskipun ada syubhat.


(36)

29

h. Pelaku tersebut mengetahui bahwa zina diharamkan. Jika ia tidak mengetahui keharaman itu, maka ulama berbeda pendapat, namun pendapat yang rajih dalam hal ini adalah gugurnya had.

i. Melakukan perbuatan zina dengan wanita yang masih hidup, jika menyetubuhi mayat, maka jumhur berpendapat bahwa tidak berlaku had, namun dalam pendapat yang masyhur di kalangan Malikiyah mengatakan tetap berlaku had.

j. Jelas bahwa telah terjadi perzinahan. Yakni dengan kadar masuknya penis ke vagina walaupun separuh hasyafah (penis). Adapun jika terjadi persetubuhan melalui dubur, maka tidak berlaku had, namun jatuh hukum

ta’zir menurut Hanafiyah, dan tetap berlaku had sebagaimana had zina36

Wahbah Az-Zuhaili menyatakan dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam Waadillatahu bahwa syarat-syarat agar dapat ditegakkannya had terbagi dua, yang pertama syarat yang harus ada untuk tegaknya had secara menyeluruh yakni adanya imamah (pemerintahan islam). Adapun yang kedua yakni syarat yang khusus harus ada dalam penegakan had rajam, yakni adanya saksi perbuatan tersebut, dan dalam hal ini imam (pemerintah setempat) yang menegakkan hukumnya, sama halnya dengan had jilid. Berdasarkan keterangan di atas, dapat difahami bahwa perbuatan jarimah dikategorikan jarimah zina, apabila telah memenuhi persyaratan-persyaratan di atas secara menyeluruh, apabila ada salah satu syarat yang tidak terpenuhi, maka perbuatan jarimah tersebut tidak

36 Ibnu taimiyah Ta’liq Siyasah syaiyah terjemah Muhammad bin Shalih Al-utsaimi,(Bogor: Griya Ilmu 2009), 224.


(37)

30

dikategorikan zina. Misalnya melakukan persetubuhan melalui dubur, maka perbuatan perbuatan ini menurut ulama Hanafiyah tidak disebut zina, berbeda halnya dengan kalangan sahabat, ulama Syafi’iyah, Hanabilah dan Malikiyah yang tetap mengkategorikan perbuatan tersebut dalam kategori zina.37

3. Sanksi Jarimah Perzinaan

Perbuatan zina adalah perbuatan keji dan merupakan dosa besar yang diancam dengan hukuman cambuk dan rajam. Bagi pelaku zina muhshan (Sudah menikah), maka ia dibebani hukum rajam, yakni dilempari batu sampai mati. Hukuman kedua berlaku bagi pelaku zina ghairu muhsan (Belum menikah) yakni dihukum dengan hukuman cambuk atau dera sebanyak 100 kali. Hal ini sesuai dengan dalam (QS. al-Nur/24: 2). Pakar hukum pidana islam membagi hukuman tindak pidana zina dibagi menjadi dua kategori yaitu:

a. Bagi pelaku zina yng belum berkeluarga (ghayru muhsan)

b. Bagi pelaku zina yang sudah pernah berkeluarga (muhsan)

37

Wahbah Az-Zuhaili. Al-Fiqhi Al-Islami wa Adillatuhu, Terjemah Syed Ahmad juz 7. (Jakarta: Gema, 2011) , 5350


(38)

31

Ancaman hukuman yang diberikan kepada pelaku zina yang belum berkeluarga

adalah seratus kali dera. Tetapi Abdul Qadir Audah menetapkan hukum jarimah

itu tiga macam yaitu :38

a. Hukuman Dera (cambuk)

Hukum dera 100 kali di jatuhkan kepda semua pelaku zina baik laki laki maupun perempuan baik yang telah kawin maupun yang belum berdasarkan (QS. al-Nur/24: 2)

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman39.

Sedangkan hukuman rajam dan pengasingan salama satu tahun ditetapkan berdasarkan sunah Rasulullah saw. Dalam hal hukuman bagi pelaku zina yang sudah nikah seratus kali jilid terdapat perbedaan pendapat di kalangan imam mazhab. Menurut golongan Khawarij, bahwa hukuman bagi pelaku zina yang sudah nikah adalah dera/jilid 100 kali, sedangkan hukuman rajam tidak

38

Eldin H Zainal, Hukum pidana Islam, (Bandung cipta pustaka media perintis, 2011), 111 39


(39)

32

disyari’atkan oleh Allah swt.40 Golongan Ahlul al-Zahir, Ishak dan Ahmad, pada salah satu riwayat mengatakan bahwa hukumannya adalah jilid dan rajam. Tetapi fuqaha sepakat bahwa bagi budak yang sudah kawin adalah jilid, seperti bagi budak yang statusnya gadis dan hukuman rajam tidak dikenakan kepada budak atau hamba tersebut.41 Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa pelaku zina yang belum kawin hanya di jilid 100 kali dan tidak ada hukuman pengasingan. Sedangkan golongan Hanafiyah hukuman pengasingan selama satu tahun tidak mutlak seperti hukuman dera. Pengasingan bisa dijatuhkan manakala dipandang perlu tetapi jangka waktunya ditetapkan menurut kebijakan hakim sendiri42

b. Hukuman pengasingan (Taghrib)

Bagi pelaku zina yang ghairu muhsan (belum menikah) dikenakan hukuman pengasingan selama satu tahun selain hukuman jilid sebgaimana tersebut di atas. Ketentuan ini bersumber kepada hadis nabi yang artinya: lajang dan gadis jilid seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Dalam konteks ini ulama berbeda pendapat menurut Imam Abu Hanifah dan murid muridnya hadis tersebut telah di batalkan (mansukh) atau tidak dikenal (ghairu mahsyur). Hukuman pengasingan bukan hukuman had, melainkan hukuman ta’zir yang menjadi otoritas kepala Negara karena hadis yang memerintahkan hukuman pengasingan sebelum turunya (QS. al-Nur/24: 2). Imam Malik berpendapat bahwa pengasingan merupakan hukuman yang harus dijatuhkan baik kepada laki laki

40

Muhammad Ali al-Sayis, tafsir Ayatu al-Ahkam jilid III, (Al azhar , Mesir .1373H), 106 41

Ibid, 108 42


(40)

33

maupun perempuan. Sedangkan imam Syafii mengangap hukuman pengasingan adalah hukuman had terhadap pelaku zina ghairu muhsan (belum nikah).43

c. Hukuman Rajam

Dalam buku fiqih sunnah Para ulama telah sepakat bahwa hukuman yang diberikan kepada pelaku zina muhsan adalah dirajam sampai mati. Menurut al-Mundziri, Khalifah Abu Bakar , Ali ra, al-Auzai, Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) berpendapat bahwa pelaku zina yang belum nikah hukumannya didera dan diasingkan. sedangkan bagi yang telah nikah hukumannya dirajam. Abdul qadir Audah berpendapat bahwa pelaku zina yang muhsan (sudah menikah) dijatuhi hukuman rajam, karena perbuatan tersebut merupakan contoh yang sangat buruk bagi orang lain dan tidak pantas hidup di keluarga muslim, sebab lembaga perkawinan yang merupakan wadah penyaluran nafsu birahi bagi suami istri dapat mengantisifasi terjadinya perbuatan zina, akan tetapi kalau juga masih terjadi, maka harus dijatuhi hukuman berat yaitu rajam. Berdasarkan pendapat para mazhab di atas, timbul pro dan kontra dalam pelaksanaan hukum rajam tersebut. Karena dianggap bertentangan dengan nash al-Qur’an hal ini terjadi berbeda pandang dalam memahami hadis tentang rajam dikaitkan dengan nash (QS. al-Nur/24: 2).

Namun dari kesepakatan para ulama fiqih, hukuman untuk tindak pidana zina terbagi dua kategori. Pertama bagi pezina yang belum nikah (ghairu Muhsan)

43


(41)

34

hukumannya adalah 100 kali cambuk, kemudian diasingkan keluar daerah selama satu tahu berdasarkan hadis Rasulullah saw.

)

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa Beliau memerintahkan bagi siapa yang berzina dan belum pernah menikah agar dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. (HR. Bukhari)44

Sedangkan kedua: bagi pelaku zina yang telah nikah (Muhsan) hukumannya adalah rajam atau dilempar dengan batu sampai mati yang telah memenuhi syarat orang yang telah baliq, berakal, merdeka (bukan budak) dan telah menikah, baik masih terikat perkawinan maupun yang telah bercerai.45 Para ulama telah bersepakat, bahwa hukuman yang dikenakan atas diri pelaku zina muhsan adalah dirajam. Pendapat ini didasarkanatas hadis Rasulullah saw. Sebagai berikut:

44

Lidwa pusaka, shofwer Hadis Kitab 9 Imam dan Terjemahnya versi 1, (Jakarta: Telkom, 2010), 2455

45


(42)

35

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ashbagh Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahab dari Yunus dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman dari Jabir bahwa seorang laki-laki dari Bani Aslam mendatangi Nabi saw. yang saat itu sedang berada di dalam Masjid. Laki-laki itu mengatakan bahwa ia telah,berzina namun beliau berpaling darinya. Maka laki-laki itu menghadap ke arah wajah beliau seraya bersaksi atas dirinya dengan empat orang saksi. Akhirnya beliau memanggil laki-laki itu dan bertanya: "Apakah kamu memiliki penyakit gila?" ia menjawab, "Tidak." Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu telah menikah?" ia menjawab, "Ya." Akhirnya beliau memerintahkan untuk merajamnya di lapangan luas. Dan ketika lemparan batu telah mengenainya, ia berlari hingga ditangkap dan dirajam kembali hingga meninggal. (HR. Bukhari)46

Para fuqaha sepakat bahwa pelaksanan hukuman had harus dilakukan oleh imam atau wakilnya (pejabat yang ditunjuk) hal ini disebabkan karena hukuman had itu merupakan hak Allah (masyarakat) dan sudah selayaknya dilakukan oleh imam atau wakil dari masyarakat.

4. Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Jarimah Zina

a. Cara Pelaksanaan Hukuman Rajam

Apabila orang yang akan dirajam itu laki laki, hukuman dilaksanakan dengan berdiri tampa dimasukkan kedalam lubang dan tampa dipegang atau di ikat. Hal ini didasarkan kepada hadits Rasulullah saw. Ketika merajamMa’iz dan orang yahudi. Dari Abi Sa’id ia berkata: Ketika Rasulullah saw. Memerintahkan

46


(43)

36

kepada kami untuk merajamMa’iz ibn Malik, maka kami membawanya ke Baqi’. Demi Allah kami tidak memasukkan kedalam lubang dan tidak pula mengikatnya, melainkan ia tetap berdiri. Maka kami melemparinya dengan tulang. Apabila melarikan diri dan pembuktiannya dengan pengakuan, maka ia tidak perlu dikejar dan hukumannya dihentikan. Dan jika pembuktiannya dengan kesaksian maka ia harus dikejar, dan hukuman rajam diteruskan sampai mati. Apabila orang yang akan dirajam itu wanita, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i maka ia boleh dipendam sampai dada, karena cara yang demikian itu lebih menutupi auratnya. Sedangkan menurut pendapat Imam Malik dan pendapat rajih dalam mahzah hambali wanita juga tidak dipendam sama halnya dengan laki-laki. Dalam hukuman rajam adalam hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu atau benda benda lain. Menurut imam Abu Hanifah lemparan pertama dilakukan oleh parea saksi apabila pembuktiannya dengan persaksian. Kemudian diikuti oleh imam atau pejabat yang ditunjukdan kemudian diteruskan oleh masyarakat. Apabila jarimah zina sudah bisa dibuktikan dan tidak ada syubhat maka hakim harus memutuskannya dengan menjatuhkan hukuman had, yaitu rajam bagi zina muhsan dan dera (cambuk) seratus kali ditambah pengasingan selama satu tahun bagi pezina ghairu muhsan. Dalam hukum Islam menurut para fuqaha sepakat bahwa pelaksanaan hukuman harus dilakukan oleh imam atau wakilnya (pejabat yang ditunjuk). Dalam zaman Rasulullah saw. selalu memerintahkan kepada para sahabat untuk melaksanakan hukuman. Pelaksanaan hukuman rajam dengan cara dipendam kedalam tanah sampai bagian dada kemudian dilempari batu sampai mati, lemparan pertama dilakukan oleh saksi yang memberikan kesaksian setalah


(44)

37

itu diteruskan oleh imam dan pejabat kemudian masyarakat. Hukuman ini bebas dilakukan kapanpun baik siang atau malam baik panas atau dingin namun bagi wanita hamil ditunda hingga melahirkan.47

b. Cara pelaksanaan Hukuman Dera dan Pengasingan

Hukuman dera atau jilid dilaksanakan dengan menggunakan cambuk, dengan pukulan yang sedang sebanyak 100 kali cambukan, disyaratkan cambuk yang digunakan harus kering, tidak boleh basah, karena bisa menimbulkan luka, disyaratkan cambukan itu tidak boleh lebih dari satu, apabila ekor cambuknya lebih dari satu, maka pukulan cambuknya dihitung sebanyak ekornya. Apabila yang dihukum laki laki maka bajunya harus dibuka kecuali yang menutupi auratnya. Hukuman dera tidak boleh menimbulkan bahaya terhadap orang yang terhukum. Karena hukuman itu bersifat pencegahan. Oleh karena itu hukuman tidak boleh dilakukan pada saat cuaca panas dan cuaca dingin dan tidak boleh dilakukan pada orang yang sakit sampai ia sembuh, dan wanita yang hamil sampai ia melahirkan48

Sedangkan hukuman kedua yaitu pengasingan pelaksanaan hukuman pengasingan menurut Imam Syafii dan Imam Hambali dikeluarkan dari keluarganya dengan tujuan bisa merasakan tidak diakui dalam keluarganya sendiri karena telah melakukan perbuatan yang dilaranag selama satu tahun. Sedangkan menurut Imam Ahmad dan Imam Malik diasingkan dengan artian dikeluarkan dari

47

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), 57 48


(45)

38

kelaurga muslim ke-non muslim dengan tujaun bisa bertobat, setelah bertobat dapat kemabli kekluarga muslim dan dapat berkelakuan baik.49

49


(46)

39

BAB III

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No. 726K/Pid/2008

A. 1. Sejarah Mahkamah Agung Republik Indonesia

Masa penjajahan Belanda atas bumi pertiwi Indonesia, selain mempengaruhi roda pemerintahan juga sangat besar pengaruhnya terhadap Peradilan di Indonesia. Dari masa dijajah oleh Belanda (Mr. Herman Willem Daendels-Tahun 1807), kemudian oleh Inggris (Mr. Thomas Stanford Raffles-Tahun 1811 Letnan Jenderal) dan masa kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1842).50 Pada masa penjajahan Belanda Hoogerechtshoof merupakan Pengadilan Tertinggi dan berkedudukan di Jakarta dengan wilayah hukum meliputi seluruh Indonesia. Hoogerechtshoof beranggotakan seorang Ketua, 2 orang anggota, seorang pokrol Jenderal, 2 orang Advokat Jenderal dan seorang Panitera dimana perlu dibantu seorang Panitera Muda atau lebih. Jika perlu Gubernur Jenderal dapat menambah susunan Hoogerechtshoof dengan seorang Wakil dan seorang atau lebih anggota.51

Setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 19 Agustus 1945, Presiden Soekarno melantik/mengangkat Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pertama. Hari pengangkatan itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Mahkamah Agung, melalui Surat Keputusan KMA/043/SK/VIII/1999 tentang Penetapan Hari Jadi Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tanggal 19 Agustus 1945 juga merupakan tanggal

50 Wikipedia bahasa Indonesia, “Mahkamah Agung Republik Indonesia”, dalam , diakses pada 30 Maret 2015.

51 Ibid., 1


(47)

40

disahkannya UUD 1945 beserta pembentukan dan pengangkatan Kabinet Presidentil Pertama di Indonesia. Mahkamah Agung terus mengalami dinamika sesuai dinamika ketatanegaraan. Antara tahun 1946 sampai dengan 1950 Mahkamah Agung pindah ke Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia. Pada saat itu terdapat dua Lembaga Peradilan Tertinggi di Indonesia yaitu :52 Hoogerechtshof di Jakarta

Ketua : Dr. Mr. Wirjers

Anggota Indonesia : Mr. Notosubagio, Koesnoen

Anggota belanda : Mr. Peter, Mr. Bruins

Procureur General : Mr. Urip Kartodirdjo

Mahkamah Agung Republik Indonesia di Yogyakarta

Ketua : Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja

Wakil : Mr. R. Satochid Kartanegara

Anggota : Mr. Husen Tirtaamidjaja, Mr. Wirjono Prodjodikoro, Sutan Kali Malikul Adil

Panitera : Mr. Soebekti

Kepala TU : Ranuatmadja

52


(48)

41

Kemudian terjadi kapitulasi Jepang, yang merupakan Badan Tertinggi disebut Saikoo Hooin yang kemudian dihapus dengan Osamu Seirei (Undang-Undang No. 2 Tahun 1944). Pada tanggal 1 Januari 1950 Mahkamah Agung kembali ke Jakarta dan mengambil alih (mengoper) gedung dan personil serta pekerjaan Hoogerechtschof. Dengan demikian maka para anggota Hoogerechtschof dan Procureur General meletakkan jabatan masing-masing dan pekerjaannya diteruskan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat (MA-RIS) dengan susunan:53

Ketua : Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja

Wakil : Mr. Satochid Kartanegar

Anggota : Mr. Husen Tirtaamidjaja, Mr. Wirjono Prodjodikoro, Sutan Kali Malikul Adil

Panitera : Mr. Soebekti

Jaksa Agung : Mr. Tirtawinata

Dapat dikatakan sejak diangkatnya Mr. Dr. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua Mahkamah Agung, secara operasional pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman di bidang Pengadilan Negara Tertinggi adalah sejak disahkannya Kekuasaan dan Hukum Acara Mahkamah Agung yang ditetapkan tanggal 9 Mei 1950 dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang. Susunan Kekuasaan dan Jalan

53


(49)

42

Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia.54 Dalam kurun waktu tersebut Mahkamah Agung telah dua kali melantik dan mengambil sumpah Presiden Soekarno, yaitu tanggal 19 Agustus 1945 sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia dan tanggal 27 Desember 1945 sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS).55

Waktu terus berjalan dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 sudah harus diganti, maka pada tanggal 17 Desember 1970 lahirlah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang Pasal 10 ayat (2) menyebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai Badan Pengadilan Kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan di bawahnya, yaitu Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding yang meliputi 4 (empat) Lingkungan Peradilan56 : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan TUN (Tata Usaha Negara).

Sejak Tahun 1970 tersebut kedudukan Mahkamah Agung mulai kuat dan terlebih dengan keluarnya Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka kedudukan Mahkamah Agung sudah mulai mapan, dalam menjalankan tugas-tugasnya yang mempunyai 5 fungsi, yaitu57: Peradilan, Pengawasan, Pengaturan, Memberi Nasehat, Administrasi

54

Ibid,. 2 55

Iibid,.3 56

Ibid,. 4 57


(50)

43

Situasi semakin berkembang dan kebutuhan baik teknis maupun non teknis semakin meningkat, Mahkamah Agung harus bisa mengatur organisasi, administrasi dan keuangan sendiri tidak bergabung dengan Departemen Kehakiman (sekarang Kementerian Hukum dan HAM). Waktu terus berjalan, gagasan agar badan Kehakiman sepenuhnya ditempatkan di bawah pengorganisasian Mahkamah Agung terpisah dari Kementerian Kehakiman58. Pada Mei 1998 di Indonesia terjadi perubahan politik yang radikal dikenal dengan lahirnya Era Reformasi. Konsep Peradilan Satu Atap dapat diterima yang ditandai dengan lahirnya TAP MPR No. X/MPR/1998 yang menentukan Kekuasaan Kehakiman bebas dan terpisah dari Kekuasaan Eksekutif. Ketetapan ini kemudian dilanjutkan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang tersebut memberi batas waktu lima tahun untuk pengalihannya sebagaimana tertuang dalam Pasal II ayat (1) yang berbunyi :“Pengalihan Organisasi, administrasi dan Finansial dilaksanakan secara bertahap paling lama 5 Tahun sejak Undang-Undang ini berlaku”. Berawal dari Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 inilah kemudian konsep Satu Atap dijabarkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.59 Pada tanggal 23 Maret 2004 lahirlah Keputusan Presiden RI No. 21 Tahun 2004 tentang pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dan lingkungan Peradilan Umum

58 Ibit ,. d

59 Wikipedia bahasa Indonesia, “Mahkamah Agung Republik Indonesia”, dalam

Artikel:"Hatta Ali


(51)

44

dan Tata Usaha Negara, Pengadilan Agama ke Mahkamah Agung, yang ditindaklanjuti dengan :

1. Serah terima Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dari Departemen Kehakiman dan HAM ke Mahkamah Agung pada tanggal 31 Maret 2004.

2. Serah terima Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial lingkungan Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung yang dilaksanakan tanggal 30 Juni 2004.60

2. Wewenang Mahkamah Agung

1. Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan

2. Mahkamah Agung menguji peraturan secara materiil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang

3. Melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman

60


(52)

45

3. Struktur Organisasi Mahkamah Agung

Mahkamah Agung terdiri dari pimpinan hakim anggota, kepaniteraan Mahkamah Agung, dan sekretariat Mahkamah Agung. pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung. jumlah hakim agung paling banyak 60 (enam puluh) orang

a. Pimpinan Daftar Ketua Mahkamah Agung Indonesia

Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial. wakil ketua bidang yudisial yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua


(53)

46

muda agama, dan ketua muda tata usaha negara sedangkan wakil ketua bidang nonyudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden.

Pada tanggal 8 Februari 2012, Hatta Ali terpilih menjadi Ketua MA,

menggantikan Harifin A. Tumpa, dengan mendapatkan suara mayoritas yaitu 28

suara dari 54 hakim agung. Urutan kedua, Ahmad Kamil 15 suara, Abdul Kadir Mappong 5 suara dan M. Saleh 3 suara dan Paulus Effendi Lotulung 1 suara dan suara tidak sah 3 orang 61

Hakim anggota Mahkamah Agung adalah hakim Agung. Pada Mahkamah

Agung terdapat hakim agung sebanyak maksimal 60 orang. Hakim agung dapat

berasal dari sistem karier atau sistem non karier. Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada dewan perwakilan rakyat, untuk kemudian mendapat

persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.

.

b. Kepaniteraan Mahkamah Agung

Kepaniteraan Mahkamah Agung mempunyai tugas melaksanakan pemberian dukungan di bidang teknis dan administrasi justisial kepada Majelis Hakim Agung dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, serta melaksanakan administrasi penyelesaian putusan Mahkamah Agung. Kepaniteraan Mahkamah

Agung dipimpin oleh satu orang Panitera dan dibantu oleh 7 Panitera Muda yakni

61 Ibid,.5


(54)

47

1. Panitera Muda Perdata,

2. Panitera Muda Perdata Khusus

3. Panitera Muda Pidana

4. Panitera Muda Pidana Khusus

5. Panitera Muda Perdata Agama

6. Panitera Muda Pidana Militer

7. Panitera Muda Tata Usaha Negara.

c. Sekretariat Mahkamah Agung

Sekretariat Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang Sekretaris dan dibantu oleh 6 unit eselon satu yakni :

1. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum

2. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama

3. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha

Negara

4. Badan Pengawasan

5. Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan


(55)

48

6. Badan Urusan Administrasi

a. Pengadilan Tingkat Banding

Pengadilan tingkat banding yang berada di bawah Mahkamah Agung terdiri :

1. Pengadilan Tinggi

2. Pengadilan Tinggi Agama

3. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

4. Pengadilan Militer Utama

5. Pengadilan Militer Tinggi

b. Pengadilan Tingkat Pertama

Pengadilan tingkat pertama yang berada di bawah Mahkamah Agung terdiri :

Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara,

Pengadilan Militer.62

B. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No. 726K/Pid/2008

62 Sofyan, “sejarah-mahkamah-agung” dalam http/www.zamroni.com/40-sejarah-mahkamah-agung.html, diakses tanggal 30 maret 2015


(56)

49

Penagdialn Negeri Bangkalan dalam putusannya Sri Wahyuniningsih dan Edi Purnomo bersalah melakukan tindak pidana perzinaan dengan hukuman enam (6) bulan penjara karena Sri Wahyuniningsih tidak merasa puas dengan putusan pengadilan Negeri Bangkalan, Sri Wahyuniningsih mengajukan permohonan banding ke- Pengadilan Tinggi Surabaya. Pengadilan Tinggi memutuskan menerima permohonan banding dari Sri Wahyuniningsih dan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Bangkalan. Putusan Pengadilan Tinggi tidak merubah putusan Pengadilan Negeri Bangakalan sehingga Sri Wahyuniningsih masih tidak merasa puas maka menagjukan permohonan kasasi ke-Mahkamah Agung pada tanggal 30 januari 2007 dengan alasan sebagai berikut:

6. Dalam persidangan saya sebagai terdakwa tidak memberikan keterangan yang berbelit-belit dan mengakui kesalahannya dan perbuatan zina dengan terdakwa Edy Purnomo tersebut hanya 2 (dua) kali saja.

7. Dalam perkara ini saya sebagai terdakwa Sri Wahyuningsih dan terdakwa Edy Purnomo, dan didalam persidangan saksi korban yaitu Mat Ruji ( suami Sri Wahyuningsih) tidak datang dan hanya memberikan selembar surat pernyataan bahwa saksi korban Mat Ruji tidak akan menuntut saya (Sri Wahyuningsih) sebagai mantan istrinya.

8. Bahwa selain dengan terdakwa Edy Purnomo saya sebagai terdakwa Sri Wahyuningsih tidak pernah melakukan perbuatan zina dan perbuatan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan 9. Bahwa dalam persidangan saya sebagai terdakwa selalu hadir dan tidak


(57)

50

10.Bahwa sejak kejadian tersebut, terdakwa Sri Wahyuningsih diceraikan oleh suaminya yaitu Mat Ruji dan oleh karena itu terdakwa Sri Wahyuningsih sampai saat ini menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga yang menghidupi 2 (dua) anak yang masih dibawah umur dan masih sekolah dasar ( SD)63

Dengan alasan yang diajukan oleh Sri Wahyuniningsih Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan 1-5 tidak dapat dibenarkan, oleh karena itu Pengadilan Tinggi tidak salah menerapakan hukum dan mengenai berat ringannya penerapan hukuman adalah wewenang Pengadilan Tinggi yang tidak tunduk pada kasasi kecuali pengadilan tinnggi menerapkan hukum yang tidak diatur dalam perundang-undagan yang belaku atau menerapkan hukum tanpa mempertimbangkan dengan cukup sehingga salah dalam mengambil keputusan.64

Dalam kasus putusan perzinaan oleh Mahkamah Agung di atas yang menolak atas penagajuan Kasasi dengan maksud memperkuat putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Dalam putusan Pengadilan Negeri Bangkalan terdakwa I Sri Wahyunininsih dan terdakwa II Edi Purnomo masing-masing dihukum 6 (enam) bulan penjara, berdasarkan KUHP.

C. Krononologi Kasus Tindak Pidana Perzinaan

pada hari Jumat tanggal 2 Februari 2007 dirumah kontrakan Sri Fatima Utami di Jalan Letnan Ramli Kelurahan Kraton, Kecamatan/Kabupaten

63 Direktori, Putusan Mahkamah…, 7 64 Direktori, Putusan Mahkamah…, 6


(58)

51

Bangkalan skitar pukul 20:30 wib. Sri Wahyuniningsih mengajak Edi Purnomo menonton perayaan pawai lampion. Kemudian pada waktu setelah mahgrib sekitar

jam 19:00 Edi Purnomo SMS Sriwahyuniningsih “apakah jadi yang akan

menonton perayaan pawai lampion?”. Kemudian Sri Wahyuniningsih menjawab agar berangkat terlebih dahulu karena akan berangkat dengan anak-anaknya dengan menaik motor. Setelah itu Edi Purnomo berangkat ke-rumah kontrakan bibik Sri Wahyunininsih yaitu Sri Fatima Utami denagan teman-temanya Lia, Eva dan Hendrik, sesampai dirumah kontrakan Sri Fatimah Utami, Edi Purnomo dan teman-temanya Sri Fatimah Utami menelpon Sri Wahyuniningsih menagabarkan Edi Purnomo dan teman-temannya ada dirumahnya lalu Sri Fatima Utami menitipkan rumahnya kepada Edi Purnomo dan teman-temannya karena akan berangkat terlebih dahulu menonton perayaan pawai lampion. Lalu Sri Wahyuniningsih berangkat menuju krumah Sri Fatimah Utami, sesampai dirumah Sri Fatima Utami, Sri Wahyuniningsih mengobrol bersama Edi Purnomo dan teman-temannya, tidak lama kemudian mereka keluar kecuali Edi Purnomo dan Sri Wahyuniningsih65

Karena hanya mereka berdua di dalam rumah kontrakan Sri Fatima Utami Edi Purnomo mulai melakukan perbuatan mesum dengan mencium leher dan pipi Sri wahyuniningsih lalu Edi purnomo membuka ikat pinggang celana, kancing, dan resliting Sri Wahyuniningsih dan celana Sri Wahyuniningsih membuka sendiri sampai pada lutut berikut celana dalamnya juga sampai pada lutut. Kemudian Edi Purnomo membuka celana luar dan dalamnya sampai pada lutut,

65


(59)

52

setelah terbuka Edi Purnomo menindih Sri Wahyuniningsih terjadilah persetubuhan. Disaat pertenganhan persetubuhan mereka datanglah seorang tetangga Sri Fatima Utami bernama Suaji yang sejak awal mengetahui mereka berdua masuk kerumah Sri Fatima Utami karena mereka mencurigakan Suaji

masuk merggokin mereka yang sedang besetubuh dengan mengatakan “kalian kira disini Hotel” lalu Suaji mengambil celana dalam Sri Wahyuniningsi dibawa lari, dengan kejadian tersebut Edi Purnomo mengejar Suaji karena jaraknya jauh Edi Purnomo kemabli kerumah kontrakan Sri Fatima Utami 66

Dengan kejadian yang diliahat, Suaji melaporkan Ke-Rt dengan memabawa bukti celana dalam Sri Wahyuniningsih, Rt lansung memanggil warganya utuk mergokin apa yang dikatakan Suaji, bahwa ada laki-laki dan perempuan tidak dikenal melakukan persetubuhan dirumah kontrakan tetangganya yaitu Sri Fatima Utami, Rt dan warga setempat berangkat kerumah Sri Fatima Utami sesampai dirumah kontrakan Sri Fatima Utami, Rt menanyakan tentang persetubuhan tersebut, dengan nada ketakutan mereka mengakui perbuatannya lalu Rt bersama warga setempat membawa Edi Purnomo dan Sri Wahyuniningsih Ke-Polres Bangkalan.67

Dengan kejadian yang dilaporkan oleh Rt bersama warga setempat pihak kepolisian menahan mereka berdua untuk dipriksa, dan segera menagbil tindakan peninjauan TKP (tempat kejadian perkara), saat ke-TKP Polisi menemukan bebrapa barang bukti yang berupa celana jeans warna biru merek bunga, celana

66

BPA (berita acara pemeriksaan) Polres Bangkalan 17 April 2007. 67


(60)

53

dalam mutif kembang-kembang, sprei warna kuning milik Sri Wahyuniningsih. Celana jeans warna biru motif garis-garis merek maxmilian, celana dalam warna biru merek YSL milik Edi Purnomo. Kemuadia pihak kepolisian memanggil para saksi guna untuk memberikan keterangan atas kejadian kasus tersebut.68

68


(61)

54

BAB IV PEMBAHASAN

1. Sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi dari Pengadilan Tinggi Surabaya dan Pengadilan Negeri Bangkalan

Hukuman yang diterapkan terhadap Edi Purnomo dan Sri Wahyuniningsih masing-masing enanm (6) bulan penjara karena menurut pendapat hakim Pengadilan Negeri Bangkalan dari fakta persidangan dengan adanya bukti dan saksi yang dapat membuat meyakinkan hakim untuk memetuskan bahwa Sri Wahyuniningsih dan Edi Purnomo bersalah melakukan tindak pidana perzinaan. Putusan 6 bulan penjara karena menurut pendapat hakim hal-hal yang dapat meringankan adalah mengakui perbuatan yang dilakukan mulai awal persidangan perkara sampai perkara diputus. Sedangkan hal-hal yang memberatkan dari perbuatan menjadi penyebab retaknya suatu keluarga. Dari putusan penagdilan Negeri Bangkalan Sri Wahyuniningsih merasa keberatan maka Sri Wahyuniningsih menagajukan banding ke-Penagdilan Tinggi Surabaya pada tanggal 24 oktober 2007. Atas penagjuan Banding Sri Wahyuniningsih Pengadilan Tinggi juga berpendapat seperti halnya Penagdilan Negeri Bangkalan denagan putusan menerima permohonan banding dari Sri Wahyuniningsih dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bangkalan. Dari kedua putusan yang dikeluarkan oleh Penagadilan Negeri Bangkalan dan Pengadilan Tinggi Surabya Sri Wahyuniningsih masih tidak merasa puas dengan menagajukan kasasi ke-Mahkamah Agung pada 30 Januari 2007 dengan alasan yang diajukan sebagai berikut:


(1)

59

pendapat Imam Malik dan pendapat rajih dalam mahzah Hambali wanita juga

tidak dipendam sama halnya dengan laki-laki. Dalam hukuman rajam adalah

hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu atau benda benda lain.

Menurut imam Abu Hanifah lemparan pertama dilakukan oleh para saksi apabila

pembuktiannya dengan persaksian. Kemudian diikuti oleh imam atau pejabat yang

ditunjukdan kemudian diteruskan oleh masyarakat75 .

Sedangkan terdakwa I Edi Purnumo karena belum menikah dalam

pandangan hukum pidana Islam di disebut zina (ghairuMuhsan) bagi pezina yang

belum nikah (ghairu Muhsan) hukumannya adalah 100 kali cambuk kemudian

dibuang keluar daerah (diasingkan) selama satu tahun berdasarkan (QS.

al-Nur/24: 2)

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah

tiap-tiap seorang dari keduanya 100 (seratus) kali dera, dan janganlah belas

kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari

orang-orang yang beriman76

Pelaksanaan hukuman dera atau cambuk atas terdakwa I kasus di atas

yang bernama Edi Purnomo karena seorang laki-laki maka bajunya harus dibuka

kecuali yang menutupi auratnya, dicambuk dengan cambukan yang sedang 100

75

Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana…, 58 76


(2)

60

kali cambukan, disyaratkan cambuk yang digunakan harus kering, tidak boleh

basah, karena bisa menimbulkan luka, apabila ekor cambuknya lebih dari satu

ekor maka pukulan cambuknya dihitung sebanyak ekornya. Hukuman dera atau

cambuk tidak boleh menimbulkan bahaya terhadap orang yang terhukum, karena

hukuman itu bersifat pencegahan, oleh karena itu hukuman tidak boleh

dilaksanakan pada saat cuaca panas atau cuaca dingin dan tidak boleh dilakukan

pada orang yang sakit sampai ia sembuh, dan wanita yang hamil sampai ia

melahirkan.77

Cara pelaksanaan hukuman pengasingan menurut Imam Syafii dan Imam

Hambali dikeluarkan dari keluarganya dengan tujuan bisa merasakan tidak diakui

dalam keluarganya sendiri karena telah melakukan perbuatan yang dilaranag

selama satu tahun. Sedangkan menurut Imam Ahmad dan Imam Malik diasingkan

dengan artian dikeluarkan dari kelaurga muslim ke non muslim denagan tujuan

bisa bertobat, setelah bertobat dapat kemabli kekluarga muslim dan dapat

berkelakuan baik sperti orang-orang mulim lainya. 78

77

Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana..., 59 78


(3)

61

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penulisan skripsi ini dapat disimpulkan dengan dua kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dalam skripsi ini yang berjudul sanksi tindak pidana perzinaan menurut kajian KUHP dan hukum pidana Islam antara lain:

1. Putusan Mahkamah Agung dengan putusan No.726K/pid./2008. tanggal

17 September 2008 menolak pengajuan Kasasi dengan maksud

memperkuat putusan Pengadilan Negeri Bangkalan dan pengadilan

Tinggi Negeri Surabaya. Pengadilan Negeri Bangkalan dengan nomer

putusan No.115/Pid.B/2007/PN.Bl. tanggal 24 Mei2007, memutuskan

terdakwa I Edy Purnomo dan terdakwa II Sri Wahyuningsih bersalah

melakukan tindak pidana perzinaaan. Dengan putusan masing-masing 6

(enam) bulan penjara.

2. Pandangan hukum pidana Islam terhadap putusan yang telah ditetapkan

oleh Mahkamah Agung terlalu ringan, karena sanksi perzinaan terhadap

kasus di terdakwa I Edy Purnomo seharusnya dijatuhi sanksi 100 kali

jlid, dan terdakwa II Sri Wahyuningsih dirajam, karena tindak pidana

perzinaan adalah perbuatan keji dan dosa besar.

B. Saran

Seharusnya pemerintah dan dewan perwakila rakyat memandang


(4)

62

yang berat juga, karena untuk menciptakan generasi bangsa yang baik

dan melanjutkan peradaban bangsa Indonesia dengan menjaga norma


(5)

63

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid.Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual. Bandung:

Refika Aditama, 2001.

Abdul Qodir Audah. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. Jakarta: Karisma Ilmu.

2008.

Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. Bogor: pustakaIbnu. 2011.

Ahmad WardiMuslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2005

Ahmad WardiMuslich. Pengatar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar

Grafika 2004.

Ahmad Hanafi. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1993.

Abu Zahrah. Al-Jarimahwa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr. t. t.

Anzi Afrianti. W. A. “Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Putusan

NO.35/PID.SUS/2012/PN.Jmb. tentang Tindak Membujuk Melakukan

Persetubuhan Disertai Penganiayaan Anak di Bawah Umur”, Skripsi—Fakultas

Syari’ah IAIN Sunan Ampel, Surabaya. 2011.

Andi Hamzah. KUHP dan KUHAP. Jakarta: Renika Cipta. 2011.

Direktori.“Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 726K/Pid/2008.

Departemen Agama RI. .Al-Quran dan terjemahnya. Surabaya: KaryaUtama. 2000.

Eldin H Zainal. Hukumpidana Islam. Bandung: ciptapustaka media perintis. 2011.

Ibnu Rusyd. Bidayah al- Mujtahid. Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Islamiyah.

1990.

Jane Angriani Achmad. Pelaksanaan Pidana di Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar. Skripsi—Fakultas hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, 2013.

Khoirul Amin. Studi Komparatif antara KUHP pasal 294 ayat (1) dan Hukum Pidana Islam tentang Sanksi Hukum Bagi Seorang Ayah/Ibu yang MelakukanTindak

Pidana Incest dengan Anak Kandung. Skripsi—Fakultas Syari’ah IAIN Sunan

Ampel, Surabaya, 2010.

Lidwapusaka. Shoftwer Hadis Kitab 9 Imam dan Terjemahnya. versi 1. Jakarta: Telkom, 2010.

Muhammad Ali. al-Sayis. Tafsir Ayatu al-Ahkam.jilid III. al-Azhar. Mesir.1373 H.

Mustofa Hasan. Beni Ahmad Saebani Hukum Pidana Islam Bandung: Pustaka Setia.


(6)

64

Moejatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. 2009.

M.Amirin. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Raawali. 1990.

R. Susilo. Kitab Undang-undang HukumPidana (KUHP) serta

Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: plita, 2001.

Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah, (terjemah) M. Syafi'i. jilid ix. Kairo: Pena Publishing

2010.

Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabet, 2008.

Sahetapy. Mardjono Reksodiputro. Parados dalam Kriminologi. Jakarta: Rajawali,

1989.

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni. 19810.

Topo Santosa. Seksualitas dan Hukum Pidana. Jakarta: Ind-Hill. 1997.

Taqiyuddin. Kifayah al-Akhyar. Beirut: Dar al-Kitab al-Alamin. 1995.

Waluyo. Penelitian Hukum Dalam peraktek. Jakarta: Sinar Grafika. 1996.

Wikipedia bahasa Indonesia, “Mahkamah Agung Republik Indonesia”, dalam

Artikel: "Hatta Ali Terpilih JadiKetuaMA " di detik.com/ , diaksespada 30 Maret 2015.

Zuhaili. Al-Fiqhi Al-Islami Waadillatuhu (Terjemah) Sayed Ahmad, juz 7. Jakarta:


Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

6 166 101

Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

3 71 101

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

1 72 106

STUDI KOMPARATIF PEMIDANAAN TINDAK PIDANA PERZINAAN DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA, RUU KUHP, DAN HUKUM PIDANA ISLAM

1 37 75