Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab Guru Bimbingan & Konseling SLTA di Salatiga Tidak Melakukan Evaluasi Perencanaan Program T2 942011087 BAB II

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1.

Perencanaan

Program

Bimbingan

&

Konseling

Perencanaan program BK memberikan manfaat yang penting bagi kelangsungan program (Nurihsan & Sudianto, 2005). Pertama, adanya kejelasan arah pelaksanaan program. Kedua, mempermudah pengontrolan dan pengevaluasian kegiatan bimbingan. Ketiga, terlaksananya program BK yang lancar, efektif, dan efisien. Program BK yang disusun tanpa ada perencanaan akan berbahaya bagi pelaksanaan dan hasil program BK itu sendiri. Dengan tidak adanya perencanaan, hasil program yang diharapkan juga tidak bisa ditetapkan dan diukur. Alokasi waktu, biaya, sumber, dan kegiatan pendukung tidak akan bisa dikendalikan efisiensi dan efektivitasnya. Fatalnya, kebutuhan siswa yang harus diakomodasi agar perkembangan kepribadian mereka berkembang dengan baik dapat tidak terakomodasi dalam program BK karena tanpa didahului perencanaan.

Gysbers & Henderson (2006) menjelaskan bahwa perencanaan program BK merupakan sebuah proses asesmen terhadap program BK yang ada saat ini dengan cara mengkaji program dari berbagai sudut. Asesmen ini merupakan suatu proses untuk memperoleh gambaran yang konkret dan detail mengenai program. Dengan menilai program yang ada, guru BK akan mampu


(2)

menentukan apa yang benar-benar dibutuhkan dalam menyusun sebuah program BK.

Terdapat empat hal penting yang harus diperhatikan dalam melakukan perencanaan program BK. Pertama, mengumpulkan informasi mengenai siswa dan komunitas. Kedua, mengidentifikasi keberadaan dan penggunaan sumber yang ada. Ketiga, mempelajari penyampaian program BK yang ada. Keempat, mengumpulkan persepsi mengenai program (Gysbers & Henderson, 2006).

2.1.1Mengumpulkan informasi mengenai siswa dan komunitas

Informasi mengenai siswa berupa apa yang mereka ketahui, mereka pelajari, dan mereka butuhkan. Informasi komunitas yang dimaksud adalah konteks dimana siswa tinggal seperti etnisitas, bahasa, status sosio-ekonomi, dan latar belakang keluarga. Informasi siswa dan komunitas penting untuk menentukan tujuan layanan BK. Ini merupakan langkah awal dalam menyusun program BK. Kebutuhan siswa dalam program BK adalah pencapaian tugas perkembangan dan pemberian bantuan terhadap masalah siswa (Badrujaman, 2011). Tugas perkembangan siswa berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan psikologi dan sosial siswa.

Pada usia siswa SLTA, sekitar 16-18 tahun, tergolong sebagai remaja akhir (Berk, 2012) sehingga tugas perkembangan siswa SLTA berhubungan erat dengan permasalahan yang dihadapi remaja pada


(3)

umumnya. Salah satu contoh tugas perkembangan pada periode usia ini adalah menerima keadaan fisik sendiri. Setiap individu pada periode usia ini harus belajar untuk melaksanakan tugas perkembangan tersebut. Misalnya anak remaja dengan tubuh pendek, ia harus belajar untuk menerima keadaaan fisik tersebut. Jika ia tidak mampu atau gagal, ia akan merasa tidak bahagia.

2.1.2 Mengidentifikasi keberadaan dan penggunaan sumber yang ada

Terdapat tiga sumber yang seharusnya ada dalam program bimbingan, yaitu sumber berupa personel, keuangan, dan kebijakan.

a. Personel

Pada dasarnya personel BK yang dimaksud adalah administrator BK dan konselor itu sendiri tetapi di Indonesia yang umum menjadi personel BK adalah guru BK. Untuk menjadi guru BK yang profesional terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Menurut Permendiknas No. 27 Tahun 2008, seorang konselor sekolah harus minimal merupakan lulusan Program Strata 1 Studi Bimbingan & Konseling atau peserta program Pendidikan Profesi Konselor dari perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. Dalam SK Bersama Menteri


(4)

Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara No. 04331/P/1993 dan No. 25/1993, perbandingan konselor sekolah dan jumlah siswa di setiap sekolah adalah 1:150 atau tidak lebih dari 250 tiap tahun. Hasil penelitian di SLTA di Missouri menunjukkan bahwa rasio guru BK : siswa yang memadai menghasilkan lulusan yang lebih baik dan menurunkan pelanggaran kedisiplinan di kalangan siswa (Lapan et al, 2012 ).

Seorang guru BK juga harus memenuhi empat standar kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Dalam kompetensi pedagogik, guru BK harus (1) Menguasai teori dan praksis pendidikan, (2) Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologis serta perilaku konseli, dan (3) Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenis, dan jenjang satuan pendidikan. Dalam kompetensi kepribadian, guru BK harus mampu (1) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan memilih, (3) Menunjukkan integritasdan stabilitas kepribadian yang kuat, dan (4) Menampilkan kinerja berkualitas tinggi.


(5)

Dalam kompetensi sosial, seorang guru BK dharapkan mampu (1) Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja, (2) Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling, dan (3) Mengimplementasikan kolaborasi antarprofesi. Sejalan dengan pemikiran Gysbers & Henderson (2006) bahwa seorang guru BK haruslah seorang yang profesional dan bersertifikat, kompetensi profesional memberikan tuntutan yang paling banyak dibanding dengan tiga kompetensi lainnya. Guru BK harus mampu (1) Menguasai konsep dan praksis asesmen untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah konseli, (2) Menguasai kerangka teoretik dan praksis bimbingan dan konseling, (3) Merancang program Bimbingan dan Konseling, (4) Mengimplementasikan program Bimbingan dan Konseling yang komprehensif, (5) Menilai proses dan hasil kegiatan Bimbingan dan Konseling, (6) Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional, dan (7) Menguasai konsep dan praksis penelitian dalam bimbingan dan konseling.

Pada kenyataan di lapangan, kompetensi profesional ini menjadi hambatan terbesar dalam melaksanakan program BK sekolah (Winkel & Hastuti, 2004). Guru BK lebih


(6)

sering dianggap sebagai polisi sekolah dibandingkan sebagai pembimbing karena lebih sering bersikap pasif dengan hanya menunggu siswa datang atau staf lain memberikan tugas.

b. Keuangan

Pada praktiknya, anggaran untuk program BK masih minim padahal sumber keuangan ini akan memperlancar pelaksanaan program. Kebanyakan konselor tidak memiliki anggaran yang baik untuk program BK (Schimdt dalam Badrujaman, 2011). Salah satu alasan tidak terlaksananya evaluasi program adalah karena terkendala anggaran yang tidak mencukupi (Shertzer & Stone, 1981).

Kategori sumber keuangan meliputi anggaran, material, perlengkapan, dan fasilitas. Anggaran keuangan digunakan antara lain untuk penyediaan media bimbingan, seperti CD, buku, film, dan penyediaan tes standar. Jika media tidak dapat tersedia akibatnya kegiatan bimbingan tidak akan bervariasi, guru BK akan lebih banyak melakukan ceramah dibanding kegiatan-kegiatan yang lebih mendukung lainnya. Kegiatan evaluasi yang tertunda atau bahkan tidak terlaksana akan mengakibatkan minimnya perbaikan dalam program. Strategi


(7)

yang sudah dipersiapkan tidak akan terlaksana tanpa adanya dukungan anggaran keuangan.

c. Politik

Sumber politik yang dimaksud meliputi kebijakan dari dinas pendidikan lokal dan nasional, sekolah, dan standar dari asosiasi BK. Contohnya adalah dukungan berupa pemberian jam bimbingan klasikal terjadwal dan pemberian ijin melakukan kegiatan bimbingan dari kepala sekolah atau diterbitkannya peraturan dari dinas pendidikan atau menteri mengenai pelaksanaan BK di sekolah.

Sebaiknya waktu yang disediakan bagi konselor adalah delapan jam perhari. Waktu tersebut dimaksudkan agar konselor bisa menyediakan waktu sesudah jam pelajaran sekolah usai. Kegiatan bimbingan dapat dilakukan di dalam atau di luar jam pelajaran tetapi kegiatan di luar jam pelajaran sebanyak-banyaknya 50% dari keseluruhan kegiatan bimbingan. Artinya, kegiatan bimbingan harus lebih banyak dilakukan di dalam jam pelajaran sekolah.

Dalam Buku Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling SMP dan SMA, menyebutkan jam kerja guru BK adalah 18 jam seminggu dengan rincian 12 jam untuk


(8)

kegiatan pendukung dan 6 jam untuk kegiatan evaluasi.

2.1.3Mempelajari penyampaian program BK yang ada

Ada beberapa hal penting yang harus diidentifikasi untuk mengetahui deskripsi mengenai penyampaian program BK, yaitu:

a. aktivitas BK saat ini yang meliputi layanan dasar, layanan responsif, perencanaan individu, dan dukungan sistem

b. bagaimana kompetensi guru BK digunakan c. siapa saja yang dilayani dalam program BK d. hasil program sampai dengan saat ini

e. bagaimana guru BK menggunakan waktu mereka f. jumlah siswa dan klien lain yang saat ini dilayani g. jumlah siswa dan klien lain yang dilayani oleh sub

kelompok

h. jumlah siswa yang mencapai hasil yang diharapkan sampai dengan saat ini.

2.1.4 Mengumpulkan persepsi mengenai program

Pendapat orang tua, guru, kepala sekolah, dan siswa mengenai program BK merupakan informasi yang sangat penting. Apa yang mereka pikirkan mengenai program BK akan bermanfaat bagi guru BK untuk mengetahui apa yang sudah tepat atau apa yang perlu diperbaiki dan diubah mengenai


(9)

program BK. Persepsi mereka bisa diperoleh melalui wawancara atau menyebarkan kuesioner.

2.2 Evaluasi Perencanaan Program Bimbingan & Konseling

Evaluasi program merupakan sebuah metode yang sistematik untuk mengumpulkan, menganalisis, dan memakai informasi untuk menjawab pertanyaan dasar mengenai sebuah program (Wirawan, 2011). Evaluator melakukan kegiatan evaluasi melalui prosedur atau tahapan tertentu dalam mengumpulkan data. Prosedur atau tahapan dimulai dari menentukan tujuan evaluasi diikuti dengan memilih desain evaluasi, menentukan instrumen dan teknik analisis evaluasi, dan diakhiri dengan melaporkan hasil evaluasi. Prosedur tersebut dilakukan berurutan, tidak dengan cara bebas menentukan tahap mana terlebih dahulu yang ingin dilakukan.

Evaluasi program Bimbingan & Konseling (BK) merupakan sebuah proses pemberian penilaian terhadap keberhargaan dan keberhasilan program BK yang dilaksanakan melalui pengumpulan, pengolahan, dan analisis data yang akan dijadikan dasar untuk membuat keputusan (Badrujaman, 2011). Tujuan dilaksanakannya evaluasi program BK adalah untuk memperbaiki praktik penyelenggaraan program BK dan untuk meningkatkan akuntabilitas program di mata stakeholder sekolah. Evaluasi merupakan alat untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan program. Ketika kelebihan dan kekurangan


(10)

program dapat terdeteksi, program akan bisa dikembangkan. Perbaikan dan pengembangan program akan meningkatkan kepercayaan stakeholder. Program yang akuntabel dapat memberikan informasi yang memadai mengapa sebuah program dapat atau tidak dapat dilaksanakan. Informasi akurat tersebut hanya bisa disampaikan jika ada pelaksanaan evaluasi.

Berdasarkan pandangan mengenai evaluasi program dan perencanaan program BK, maka evaluasi perencanaan program BK dapat disimpulkan sebagai sebuah kegiatan mengumpulkan dan menganalisis data mengenai gambaran yang konkret dan detail tentang program BK yang ada sehingga informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk membuat keputusan. Sebelum perencanaan program BK dilaksanakan, harus ada keterlibatan pihak lain selain guru BK yang memberikan penilaian, seperti kepala sekolah, guru dan staf. Keterlibatan ini akan menjadikan program BK sebagai program yang familiar dan tidak hanya menjadi milik staf BK karena pada pelaksanaannya, program BK akan melibatkan semua warga sekolah (Gysbers & Henderson, 2006).

2.3 Program Bimbingan & Konseling Komprehensif

Program Bimbingan dan Konseling merupakan program yang komprehensif karena menyediakan serangkaian aktivitas dan layanan beragam yang melibatkan tim dan bersifat developmental. Program dilaksanakan dengan terencana dan sistematis untuk


(11)

mendampingi/membimbing perkembangan akademis, karier, personal, dan sosial siswa. Untuk dapat melaksanakan program BK dengan baik maka keterlibatan seluruh warga sekolah sangat diperlukan. Guru BK tidak bekerja sendiri dalam merencanakan dan melaksanakan program BK, mereka bekerja sama dengan guru BK yang lain, seluruh staf sekolah, orang tua, dan bahkan anggota masyarakat.

Program BK Komprehensif memiliki empat elemen, seperti yang tergambar di bawah ini:

Gambar 2.1

Elemen Program BK Komprehensif

Sumber: Gysbers & Henderson, 2006

Elemen pertama adalah Konten/Isi Program. Elemen ini berisikan kompetensi atau standar siswa yang disesuaikan dengan tujuan sekolah. Elemen ini mendeskripsikan apa yang seharusnya siswa peroleh, ketrampilan apa yang


(12)

seharusnya siswa kembangkan, dan sikap apa yang seharusnya terbentuk pada diri siswa setelah berpartisipasi dalam keseluruhan program BK. standar dan kompetensi siswa harus meliputi bidang akademik, karier, pribadi, dan sosial siswa.

Elemen kedua adalah kerangka organisasi: struktur, kegiatan, dan waktu. Komponen struktural meliputi definisi, asumsi, dan rasionalisasi. Definisi yang dimaksud adalah definisi tentang program BK menurut daerah/sekolah tertentu. Program BK antara satu sekolah dengan sekolah yang lain berbeda, untuk itu tiap sekolah/daerah seharusnya memiliki definisi tersendiri mengenai program mereka masing-masing. Asumsi merupakan pernyataan-pernyataan mengenai kondisi tertentu dari siswa, staf, dan program terkini. Contoh asumsi mengenai siswa adalah bahwa setiap siswa di sekolah kami memiliki akses yang merata terhadap program BK; asumsi mengenai staf adalah guru BK yang profesional sangat penting bagi sekolah; dan asumsi mengenai program adalah tujuan penting dari program BK adalah untuk membantu siswa sukses dalam bidang akademis. Rasionalisasi fokus pada alasan-alasan mengapa siswa perlu memperoleh kompetensi BK dan memiliki akses terhadap bimbingan yang disediakan dari program.

Komponen program terdiri dari empat hal, yaitu layanan dasar, perencanaan individu, layanan responsif, dan dukungan sistem. Layanan Dasar terdiri dari kompetensi siswa yang ditetapkan sesuai dengan


(13)

kebutuhan siswa dan kegiatan yang terstruktur yang dapat dilaksanakan di dalam kelas ataupun di lingkungan sekolah (di luar kelas). Perencanaan Individual menyediakan kegiatan dan layanan BK untuk membimbing semua siswa dalam merencanakan, memonitor, dan mengelola perkembangan akademik, karier, personal, dan sosial siswa. Perencanaan Individual diimplementasikan melalui strategi penilaian individual, konseling individual, perencanaan peralihan, dan tindak lanjut.

Layanan Responsif bertujuan untuk bekerja sama dengan siswa yang permasalahan pribadinya mengancam perkembangan pendidikan, karier, personal, dan pribadi mereka. Permasalahan pribadi yang dimaksud misalnya kekerasan dalam rumah tangga, kemungkinan drop-out, tertekan, penggunaan zat-zat berbahaya, dan lain-lain. Ada empat strategi dalam pelaksanaan layanan responsif, yaitu konseling individu, konseling kelompok kecil, konsultasi, dan referral. Referral merupakan kegiatan alih tangan dari guru BK kepada pihak-pihak yang lebih ahli jika permasalahan siswa dianggap membutuhkan layanan yang lebih. Dukungan Sistem terdiri dari kegiatan manajemen yang membangun, merawat, dan mengembangkan program BK. Kegiatan manajemen tersebut meliputi penelitian dan pengembangan, pengembangan profesional, hubungan masyarakat, dewan penasihat/komite, komunitas, manajemen program, dan tanggung jawab berbagi tugas. Dukungan sistem ini akan membantu ketiga komponen lainnya bekerja secara efektif.


(14)

Komponen alokasi waktu menyajikan alokasi waktu yang disarankan untuk didistribusikan oleh guru BK dalam menjalankan komponen program. Untuk program BK SLTA, disarankan 15-25 % waktu guru digunakan untuk layanan dasar, 25-35% digunakan untuk perencanaan individu, 25-35 % digunakan untuk layanan responsif, dan 10-15% digunakan untuk dukungan sistem. Distribusi waktu tersebut seharusnya berdampak pada semakin minimnya kegiatan yang dilakukan oleh guru BK yang merupakan kegiatan non-BK. alokasi waktu tersebut tidak bersifat mengikat tetapi disesuaikan dengan situasi dan kondisi di sekolah masing-masing. Elemen yang ketiga adalah elemen sumber. Elemen sumber meliputi sumber personel yang fokus pada kompetensi guru BK dan staf; sumber keuangan yang mengatur alokasi anggaran program BK; dan sumber politik yang berisikan kebijakan dari sekolah atau dinas pendidikan.

Elemen yang keempat adalah pengembangan, manajemen, dan akuntabilitas. Elemen ini berfokus pada kegiatan manajemen program BK yang dimulai dari perencanaan, desain, pelaksanaan, evaluasi, dan pengembangan program. Kegiatan manajemen ini merupakan serangkaian fase yang tidak terputus. Ketika program telah dievaluasi, diharapkan ada pengembangan program berdasarkan dari hasil evaluasi dan dalam pengembangan program ini dibutuhkan lagi kegiatan perencanaan. Serangkaian tugas manajemen tersebut merupakan tuntutan akuntabilitas program yang


(15)

berdampak pada perkembangan akademik, karier, pribadi, dan sosial siswa.

2.4 Alasan Tidak Dilaksanakannya Evaluasi Program Bimbingan & Konseling

Evaluasi merupakan kegiatan yang masih tidak umum di kalangan guru BK (Badrujaman, 2011; Cheramie & Sutter dalam Brown & Trusty, 1993) karena guru BK jarang, bahkan tidak pernah, melakukan evaluasi terhadap programnya. Shertzer & Stone (1981) mengemukakan tujuh kesulitan yang dihadapi guru BK dalam mengevaluasi program BK:

a. Kekurangan waktu

Guru BK merasa kekurangan waktu sehingga tidak sempat melakukan evaluasi, alasan ini dikemukakan oleh Trevisan & Hubert dalam Brown & Trusty (2005). Evaluasi yang mungkin bisa dilakukan adalah evaluasi non formal yang biasanya tidak akurat. Tekanan dalam melaksanakan tugas-tugas yang ada membuat guru BK mengabaikan kegiatan evaluasi (Gysbers & Henderson, 2006). Guru BK terlibat hampir di semua aspek operasional sekolah (Murray, 1995). Hal ini diperburuk dengan guru BK yang terkadang kurang menyadari siapa mereka, apa yang harus mereka lakukan di sekolah, dan seperti apa kebutuhan sekolah terhadap mereka (Gray & McCollum, 2003).

Tugas pokok guru BK adalah di area pengembangan diri peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, dan kepribadian mereka (Dirjen Peningkatan


(16)

Mutu Pendidik & Tenaga Kependidikan, 2009). Guru BK membantu perkembangan pendidikan, karier, personal, dan sosial siswa yang dilayani dalam layanan orientasi, informasi, penempatan & penyaluran, penguasaan konten, konseling perorangan/kelompok, bimbingan perorangan/kelompok, konsultasi, dan mediasi. Tetapi kebanyakan kerangka organisasi (sekolah) menempatkan BK sekolah sebagai tempat layanan dengan sederet daftar tugas sehingga sering terjadi guru BK menerima tugas-tugas yang bukan tugas-tugas BK karena tugas-tugas-tugas-tugas tersebut dianggap sebagai pelayanan kepada seseorang, seperti melayani pendaftaran siswa baru atau mengatur perubahan jadwal.

Gysbers & Henderson (2006) menyarankan prosentase pendistribusian waktu bagi guru BK dalam melaksanakan program sebagai berikut: 15% - 25% untuk kurikulum bimbingan, 25% – 35% untuk perencanaan individu, 25% - 35% untuk layanan responsif, 15% - 20% untuk dukungan sistem, dan 0% untuk kegiatan dan layanan non bimbingan. Artinya, guru BK seharusnya sesedikit mungkin melaksanakan tugas-tugas yang berada di luar area bimbingan dan konseling.

b.Kurangnya pelatihan mengenai penelitian dan evaluasi

Guru BK memiliki pengetahuan yang rendah mengenai evaluasi. Pengetahuan tentang instrumen dan metode evaluasi juga sangat minim. Sebagian guru BK sama sekali tidak mengetahui bahwa terdapat bermacam-macam instrumen yang dapat dimanfaatkan untuk


(17)

melakukan evaluasi. Instrumen tersebut dapat diperoleh dengan membuat sendiri atau mengadaptasi dari instrumen-instrumen yang sudah ada untuk disesuaikan dengan kebutuhan sekolah (Gysbers & Henderson, 2006). Rendahnya pengetahuan guru BK mengenai instrumen evaluasi ini semakin menguat dengan tidak tersedianya training bagi mereka. Guru BK bukannya tidak bersedia mengevaluasi, mereka menunjukkan minat untuk mengevaluasi program mereka secara formal dan detail tetapi mereka membutuhkan pelatihan mengenai prosedur evaluasi program (Astramovich, Coker, Hoskins, 2005).

c. Perilaku manusia tidak mudah diukur

Instrumen dan metode pengukuran pada area personaliti, sikap, dan motivasi seringkali mengalami hambatan. Hasil yang dicapai dari bimbingan kepada siswa tidak dapat didefinisikan atau diukur secara tepat karena berhubungan dengan perkembangan kepribadian sehingga instrumen yang tepat atau setidaknya mendekati ketepatan kurang dipahami guru BK. Evaluator membutuhkan teknik atau alat yang mampu membuat mereka tidak subyektif dalam mengevaluasi.

d. Terbatasnya data sekolah tentang siswa untuk kepentingan evaluasi

Santoadi (2010) mengatakan ada dua macam data yang penting untuk dijadikan dasar mengidentifikasi kebutuhan siswa, yaitu (1) data personal, seperti berbagai macam kemampuan diri (intelegensi, bakat, prestasi), riwayat pendidikan, kepribadian, aspirasi karier, hobi, dan catatan kesehatan) dan (2) data latar belakang sosial


(18)

budaya, seperti etnisitas, keluarga asal, dan komunitas asal. Data-data tersebut penting untuk dimiliki sejak awal siswa masuk sekolah karena akan sangat berguna ketika evaluasi program BK dilaksanakan. Selain itu, setiap guru BK harus mampu menunjukkan data yang konkret dan dapat diukur mengenai hasil kerja mereka dengan siswa sehingga stakeholder bisa melihat dengan jelas pentingnya berpartisipasi dalam program BK (Dahir & Stone, 2003).

Sayangnya data mengenai siswa yang dikumpulkan oleh sekolah biasanya hanya bersifat administratif, berbeda dengan data yang dikumpulkan untuk keperluan evaluasi. Hal ini menyebabkan kesulitan saat melakukan evaluasi yang valid dan reliabel.

e. Dana

Masih menjadi anggapan umum bahwa riset, termasuk di antaranya evaluasi, merupakan hal yang mewah dan membutuhkan banyak dana, sehingga anggaran untuk melakukan evaluasi program seringkali ditiadakan. Administrator sekolah juga tidak cukup memiliki keyakinan mengenai nilai dari hasil evaluasi sehingga alokasi dana lebih sering digunakan untuk hal lain.

f. Kesulitan menemukan kelompok kontrol

Penelitian eksperimental membutuhkan kelompok kontrol dan kelompok ini sulit ditentukan karena harus memiliki kesamaan kemampuan, usia, tingkat, prestasi, jenis kelamin, latar belakang sosial-ekonomi, dan lain-lain. Sehubungan dengan permasalahan ini, penelitian


(19)

longitudinal menjadi alternatif yang lebih akurat meskipun akan lebih menguras dana dan waktu.

g. Kesulitan menentukan kriteria

Kriteria adalah standar yang dipilih untuk tujuan perbandingan untuk menentukan jika terjadi perubahan. Kriteria yang menjadi patokan dalam mengevaluasi masih bersifat subyektif, dalam arti masih berupa pendapat dan penafsiran pembimbing (Winkel & Hastuti, 2004). Menentukan standar siswa dalam program BK harus mempertimbangkan pengetahuan apa yang seharusnya siswa peroleh, ketrampilan apa yang seharusnya siswa kembangkan, dan sikap apa yang seharusnya terbentuk pada siswa setelah berpartisipasi dalam program BK (Gysbers & Henderson, 2006). Karena pada akhir program standar siswa harus diukur tingkat pencapaiannya, maka standar sejak awal harus dirancang sedemikian sehingga bisa diukur pada akhirnya, tanpa lepas dari visi, misi, dan tujuan program BK itu sendiri.

Badrujaman (2011) menyampaikan bahwa tiga hal yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi perencanaan program BK adalah tujuan program, strategi untuk mencapai tujuan, dan sumber-sumber yang ada di sekolah. Nurihsan & Sudianto (2005) juga mengemukakan beberapa aspek kegiatan yang penting dilakukan dalam perencanaan program BK, yaitu (1) analisis kebutuhan dan permasalahan siswa, (2) penentuan tujuan program layanan BK, (3) analisis situasi dan kondisi sekolah, (4) penentuan jenis-jenis kegiatan yang akan dilakukan, (5) penetapan metode dan teknik yang akan digunakan dalam


(20)

kegiatan, (6) penetapan personel yang akan melaksanakan kegiatan, (7) persiapan fasilitas dan biaya, dan (8) perkiraan tentang hambatan yang akan ditemui dan upaya untuk mengatasi hambatan tersebut. Berdasarkan kedua pendapat tersebut di atas maka dari ketujuh alasan yang dikemukakan oleh Shertzer & Stone mengapa evaluasi program BK tidak terlaksana, terdapat dua alasan yang tidak digunakan dalam penelitian ini, yaitu alasan c (perilaku manusia tidak mudah diukur) dan alasan f (kesulitan menemukan kelompok kontrol).

Ketujuh alasan yang dikemukakan oleh Shertzer & Stone tersebut meliputi alasan tidak terlaksananya evaluasi muai dari perencanaan, pelaksanaan hingga hasil. Mengukur perilaku manusia dan kebutuhan akan kelompok kontrol merupakan aspek yang lebih tepat jika digunakan dalam evaluasi hasil program BK, bukan perencanaan program BK. Karena ranah penelitian ini hanya berada pada evaluasi perencanaan program BK maka alasan c dan f tersebut tidak digunakan untuk analisis data.

2.5 Penelitian yang Relevan

Moyer (2011) melakukan penelitian mengenai efek kegiatan non-BK, supervisi, dan rasio guru BK : siswa terhadap burnout yang dialami oleh guru BK. Penelitian ini relevan karena meskipun variabel yang digunakan tidak sama persis, peneliti menggunakan teknik analisis data yang sama, yaitu analisis faktor, hanya saja Moyer menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA)


(21)

sementara penulis menggunakan Exploratory Factor Analysis (EFA). Asumsinya adalah bahwa burnout yang dialami oleh guru BK dalam penelitian Moyer dapat mengakibatkan guru BK tidak melaksanakan evaluasi program BK. Karena menggunakan CFA maka Moyer terlebih dahulu harus menyajikan variabel-variabel prediktor, dan Moyer menggunakan variabel kegiatan non-BK, supervisi, dan rasio guru BK : siswa. Dalam salah satu item skala sikap, peneliti juga menggunakan kegiatan non-BK sebagai instrumen untuk mengumpulkan data. Untuk variabel kegiatan non-BK, responden diminta untuk memberikan respon mengenai jumlah waktu dalam seminggu yang mereka habiskan untuk melakukan kegiatan non-BK. Untuk variabel supervisi, responden diminta mengindikasikan berapa banyak kegiatan supervisi dilakukan dalam sebulan dan untuk variabel rasio guru BK:siswa, responden diminta melaporkan berapa banyak siswa yang dibimbing oleh seorang guru BK.

Hasil penelitian Moyer (2011) menunjukkan bahwa kegiatan non-BK yang dilakukan oleh guru BK menjadi faktor paling besar yang mempengaruhi burnout guru BK dan diikuti oleh faktor supervisi. Hasil menunjukkan bahwa semakin banyak guru BK melakukan kegiatan non-BK, semakin tinggi tingkat burnout mereka dan semakin sering supervisi dilakukan, semakin tinggi tingkat burnout mereka.


(1)

Mutu Pendidik & Tenaga Kependidikan, 2009). Guru BK membantu perkembangan pendidikan, karier, personal, dan sosial siswa yang dilayani dalam layanan orientasi, informasi, penempatan & penyaluran, penguasaan konten, konseling perorangan/kelompok, bimbingan perorangan/kelompok, konsultasi, dan mediasi. Tetapi kebanyakan kerangka organisasi (sekolah) menempatkan BK sekolah sebagai tempat layanan dengan sederet daftar tugas sehingga sering terjadi guru BK menerima tugas-tugas yang bukan tugas-tugas BK karena tugas-tugas-tugas-tugas tersebut dianggap sebagai pelayanan kepada seseorang, seperti melayani pendaftaran siswa baru atau mengatur perubahan jadwal.

Gysbers & Henderson (2006) menyarankan prosentase pendistribusian waktu bagi guru BK dalam melaksanakan program sebagai berikut: 15% - 25% untuk kurikulum bimbingan, 25% – 35% untuk perencanaan individu, 25% - 35% untuk layanan responsif, 15% - 20% untuk dukungan sistem, dan 0% untuk kegiatan dan layanan non bimbingan. Artinya, guru BK seharusnya sesedikit mungkin melaksanakan tugas-tugas yang berada di luar area bimbingan dan konseling.

b.Kurangnya pelatihan mengenai penelitian dan evaluasi

Guru BK memiliki pengetahuan yang rendah mengenai evaluasi. Pengetahuan tentang instrumen dan metode evaluasi juga sangat minim. Sebagian guru BK sama sekali tidak mengetahui bahwa terdapat bermacam-macam instrumen yang dapat dimanfaatkan untuk


(2)

melakukan evaluasi. Instrumen tersebut dapat diperoleh dengan membuat sendiri atau mengadaptasi dari instrumen-instrumen yang sudah ada untuk disesuaikan dengan kebutuhan sekolah (Gysbers & Henderson, 2006). Rendahnya pengetahuan guru BK mengenai instrumen evaluasi ini semakin menguat dengan tidak tersedianya training bagi mereka. Guru BK bukannya tidak bersedia mengevaluasi, mereka menunjukkan minat untuk mengevaluasi program mereka secara formal dan detail tetapi mereka membutuhkan pelatihan mengenai prosedur evaluasi program (Astramovich, Coker, Hoskins, 2005).

c. Perilaku manusia tidak mudah diukur

Instrumen dan metode pengukuran pada area personaliti, sikap, dan motivasi seringkali mengalami hambatan. Hasil yang dicapai dari bimbingan kepada siswa tidak dapat didefinisikan atau diukur secara tepat karena berhubungan dengan perkembangan kepribadian sehingga instrumen yang tepat atau setidaknya mendekati ketepatan kurang dipahami guru BK. Evaluator membutuhkan teknik atau alat yang mampu membuat mereka tidak subyektif dalam mengevaluasi.

d. Terbatasnya data sekolah tentang siswa untuk kepentingan evaluasi

Santoadi (2010) mengatakan ada dua macam data yang penting untuk dijadikan dasar mengidentifikasi kebutuhan siswa, yaitu (1) data personal, seperti berbagai macam kemampuan diri (intelegensi, bakat, prestasi), riwayat pendidikan, kepribadian, aspirasi karier, hobi, dan


(3)

budaya, seperti etnisitas, keluarga asal, dan komunitas asal. Data-data tersebut penting untuk dimiliki sejak awal siswa masuk sekolah karena akan sangat berguna ketika evaluasi program BK dilaksanakan. Selain itu, setiap guru BK harus mampu menunjukkan data yang konkret dan dapat diukur mengenai hasil kerja mereka dengan siswa sehingga stakeholder bisa melihat dengan jelas pentingnya berpartisipasi dalam program BK (Dahir & Stone, 2003).

Sayangnya data mengenai siswa yang dikumpulkan oleh sekolah biasanya hanya bersifat administratif, berbeda dengan data yang dikumpulkan untuk keperluan evaluasi. Hal ini menyebabkan kesulitan saat melakukan evaluasi yang valid dan reliabel.

e. Dana

Masih menjadi anggapan umum bahwa riset, termasuk di antaranya evaluasi, merupakan hal yang mewah dan membutuhkan banyak dana, sehingga anggaran untuk melakukan evaluasi program seringkali ditiadakan. Administrator sekolah juga tidak cukup memiliki keyakinan mengenai nilai dari hasil evaluasi sehingga alokasi dana lebih sering digunakan untuk hal lain.

f. Kesulitan menemukan kelompok kontrol

Penelitian eksperimental membutuhkan kelompok kontrol dan kelompok ini sulit ditentukan karena harus memiliki kesamaan kemampuan, usia, tingkat, prestasi, jenis kelamin, latar belakang sosial-ekonomi, dan lain-lain. Sehubungan dengan permasalahan ini, penelitian


(4)

longitudinal menjadi alternatif yang lebih akurat meskipun akan lebih menguras dana dan waktu.

g. Kesulitan menentukan kriteria

Kriteria adalah standar yang dipilih untuk tujuan perbandingan untuk menentukan jika terjadi perubahan. Kriteria yang menjadi patokan dalam mengevaluasi masih bersifat subyektif, dalam arti masih berupa pendapat dan penafsiran pembimbing (Winkel & Hastuti, 2004). Menentukan standar siswa dalam program BK harus mempertimbangkan pengetahuan apa yang seharusnya siswa peroleh, ketrampilan apa yang seharusnya siswa kembangkan, dan sikap apa yang seharusnya terbentuk pada siswa setelah berpartisipasi dalam program BK (Gysbers & Henderson, 2006). Karena pada akhir program standar siswa harus diukur tingkat pencapaiannya, maka standar sejak awal harus dirancang sedemikian sehingga bisa diukur pada akhirnya, tanpa lepas dari visi, misi, dan tujuan program BK itu sendiri.

Badrujaman (2011) menyampaikan bahwa tiga hal yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi perencanaan program BK adalah tujuan program, strategi untuk mencapai tujuan, dan sumber-sumber yang ada di sekolah. Nurihsan & Sudianto (2005) juga mengemukakan beberapa aspek kegiatan yang penting dilakukan dalam perencanaan program BK, yaitu (1) analisis kebutuhan dan permasalahan siswa, (2) penentuan tujuan program layanan BK, (3) analisis situasi dan kondisi sekolah, (4) penentuan jenis-jenis kegiatan yang akan dilakukan, (5)


(5)

kegiatan, (6) penetapan personel yang akan melaksanakan kegiatan, (7) persiapan fasilitas dan biaya, dan (8) perkiraan tentang hambatan yang akan ditemui dan upaya untuk mengatasi hambatan tersebut. Berdasarkan kedua pendapat tersebut di atas maka dari ketujuh alasan yang dikemukakan oleh Shertzer & Stone mengapa evaluasi program BK tidak terlaksana, terdapat dua alasan yang tidak digunakan dalam penelitian ini, yaitu alasan c (perilaku manusia tidak mudah diukur) dan alasan f (kesulitan menemukan kelompok kontrol).

Ketujuh alasan yang dikemukakan oleh Shertzer & Stone tersebut meliputi alasan tidak terlaksananya evaluasi muai dari perencanaan, pelaksanaan hingga hasil. Mengukur perilaku manusia dan kebutuhan akan kelompok kontrol merupakan aspek yang lebih tepat jika digunakan dalam evaluasi hasil program BK, bukan perencanaan program BK. Karena ranah penelitian ini hanya berada pada evaluasi perencanaan program BK maka alasan c dan f tersebut tidak digunakan untuk analisis data.

2.5 Penelitian yang Relevan

Moyer (2011) melakukan penelitian mengenai efek kegiatan non-BK, supervisi, dan rasio guru BK : siswa terhadap burnout yang dialami oleh guru BK. Penelitian ini relevan karena meskipun variabel yang digunakan tidak sama persis, peneliti menggunakan teknik analisis data yang sama, yaitu analisis faktor, hanya saja Moyer menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA)


(6)

sementara penulis menggunakan Exploratory Factor

Analysis (EFA). Asumsinya adalah bahwa burnout yang

dialami oleh guru BK dalam penelitian Moyer dapat mengakibatkan guru BK tidak melaksanakan evaluasi program BK. Karena menggunakan CFA maka Moyer terlebih dahulu harus menyajikan variabel-variabel prediktor, dan Moyer menggunakan variabel kegiatan non-BK, supervisi, dan rasio guru BK : siswa. Dalam salah satu item skala sikap, peneliti juga menggunakan kegiatan non-BK sebagai instrumen untuk mengumpulkan data. Untuk variabel kegiatan non-BK, responden diminta untuk memberikan respon mengenai jumlah waktu dalam seminggu yang mereka habiskan untuk melakukan kegiatan non-BK. Untuk variabel supervisi, responden diminta mengindikasikan berapa banyak kegiatan supervisi dilakukan dalam sebulan dan untuk variabel rasio guru BK:siswa, responden diminta melaporkan berapa banyak siswa yang dibimbing oleh seorang guru BK.

Hasil penelitian Moyer (2011) menunjukkan bahwa kegiatan non-BK yang dilakukan oleh guru BK menjadi faktor paling besar yang mempengaruhi burnout guru BK dan diikuti oleh faktor supervisi. Hasil menunjukkan bahwa semakin banyak guru BK melakukan kegiatan non-BK, semakin tinggi tingkat burnout mereka dan semakin sering supervisi dilakukan, semakin tinggi tingkat burnout mereka.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab Guru Bimbingan & Konseling SLTA di Salatiga Tidak Melakukan Evaluasi Perencanaan Program T2 942011087 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab Guru Bimbingan & Konseling SLTA di Salatiga Tidak Melakukan Evaluasi Perencanaan Program T2 942011087 BAB IV

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab Guru Bimbingan & Konseling SLTA di Salatiga Tidak Melakukan Evaluasi Perencanaan Program T2 942011087 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab Guru Bimbingan & Konseling SLTA di Salatiga Tidak Melakukan Evaluasi Perencanaan Program

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) SMP MTS Kota Salatiga

0 1 76

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) SMP MTS Kota Salatiga

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) SMP MTS Kota Salatiga T2 942012059 BAB V

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) SMP MTS Kota Salatiga T2 942012059 BAB IV

0 0 43

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) SMP MTS Kota Salatiga T2 942012059 BAB II

1 23 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) SMP MTS Kota Salatiga T2 942012059 BAB I

0 0 13