Konstruksi mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur'an tentang nilai-nilai al-Qur'an dalam kehidupan sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S. Sos) dalam Bidang Sosiologi

Oleh:

DEVI ROSYIDA

NIM. B95213069

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU SOSIAL

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Devi Rosyida, 2017. Kontruksi Mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an Tentang Nilai-nilai al-Qur’an Dalam Kehidupan Sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya “ Skripsi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya.”

Kata kunci:Upaya Mahasiswa Tahfidzul Qur’an, Nilai-nilai Al-Qur’an

Semakin banyak masyarakat yang menghafalkan al-Qur’an. Namun semakin banyak pula dizaman saat ini yang mampu dalam mengaplikasikan nilai-nilai dalam al-Qur’an, peneliti membatasi rumusan masalah yang hendak dikaji dalam skripsi ini yaitu: Bagaimana mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an Mengkontruksi Nilai-Nilai al-Qur’an dalam Kehidupan Sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya ? dan Bagaimana Tipologi Mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an dalam mengkontruksi sosial dengan nilai-nilai al-Qur’ani dalam kehidupan sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya?

Metode yang digunakan oleh peneliti adalah kualitatif deskriptif, dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara dan dokumentasi. Metode ini dipilih agar diperoleh data penelitian yang bersifat mendalam dan menyeluruh mengenai upaya mahasiswa tahfidzul Qur’an dalam mengaplikasikan nilai-nilai yang al-Qur’an di UIN Sunan Ampel Surabaya. Teori yang digunakan dalam menganalisis data yang diperoleh adalah teori konstruksi sosial oleh Peter L Berger.

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwasannya Upaya-upaya yang di lakukan oleh mahsiswa UPTQ dalam mengkontruksi nilai-nilai al-Qur’ani yaitu berhati-hati dalam ucapan dan perbuatan, tidak membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat apalagi yang dapat menimbulkan dosa, akttif dalam kegiatan bersama masyarakat seperti khataman, menjaga silaturahmi, tadabbur alam, mengadakan bakti sosial, mengadakan sosialisasi, dan menjadi pengajar di sebuah yayasan.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENULISAN SKRIPSI ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Definisi Konseptual ... 11

F. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II : KONTRUKSI SOSIAL-PETER L BERGER ... 20

A. Penelitian Terdahulu ... 20

B. Kajian Pustaka ... 25

a. Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an ... 26

b. Aplikasi Nilai-nilai al-Qur’an ... 26

c. Kerangka Teori... 32


(8)

A. Jenis Penelitian ... 51

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 53

C. Pemilihan Subyek Penelitian ... 53

D. Tahap-Tahap Penelitian ... 55

E. Teknik Pengumpulan Data ... 57

F. Teknik Analisis Data ... 58

G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 60

BAB IV : UPAYA MAHASISWA DALAM MENGAPLIKASIKAN NILAI-NILAI AL-QUR’AN TENTANG KEHIDUPAN SOSIAL ... 60

A. Profil UPTQ ... 60

B. Sejarah UIN Sunan Ampel ... 63

C. Bentuk Upaya mahasiswa UPTQ dalam Mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an ... 72

D. Analisis Data Upaya Mahasiswa UPTQ dalam Teori KONSTRUKSI SOSIAL ... 88

BAB IV : PENUTUP ... 95

A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Pedoman Wawancara

2. Dokumen lain yang relevan 3. Jadwal Penelitian

4. Surat Keterangan (bukti melakukan penelitian) 5. Biodata Peneliti


(9)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an merupakan kitab suci yang berisikan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat jibril secara berangsur-angsur yang terjamin keshahihanya, dan tidak ada keraguan didalamnya dan yang hanya membacanya sudah bernilai ibadah. Al-Qur’an menjadi pegangan wajib umat Islam sebagai penuntun dan landasan hidup untuk menjalani dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dunia dan sebagai petunjuk untuk menuju jalan pada kebahagian yang haqiqi. Isi yang terkandung dalam al- Qur’an sudah memberikan petunjuk yang sangat lengkap beserta dengan hukumnya untuk kesejahteraan umat manusia dalam segala perkembangan zaman, bahkan al-Qur’an seringkali sudah lebih dulu menjelaskan atau menggambarkan kejadian yang saat ini terjadi sementara al-Qur’an sudah berabad-abad lalu diturunkan oleh Allah SWT.Al-Qur’an merupakan sumber hukum dan petujuk yang tiada tandinganya, bagi siapa saja yang selalu mengakrabkan diri dengan al-Qur’an dan mengamalkan nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari sudah jelas tak akan salah dalam memilih jalan dan akan selalu merasakan kebahagiaaan dan kedamaiaan dalam menjalani hidup. Sementara bagi mereka yang jauh dengan al-Qur’an akan slalu merasakan kecemasan dan kebingungan setiap kali permasalahn hidup datang mengampiri hingga akhirnya memeka memilih jalan yang salah untuk memecahkan permasalahan mereka dan


(10)

1

menjadikan mereka semakin jauh dengan jalan yang penuh dengan ridho Allah SWT. Sudah menjadi kewajiban umat islam untuk mempelajri dan memahami ayat-ayat al-Qur’an, karena al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat islam yang di yakini kebenaranya, karena didalamnya terdapat kandungan-kandungan hukum tata hidup manusia.

Kaum muslimin mengkaji kitab sucinya dengan berbagai hal. Mulai dari sekedar membaca dan memahami artinya hingga menghafal dan menafsirkan al-qur’an secara jelas dan terperinci.Salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan al-Qur’an adalah menghafalnya. Hati, fikiran, sikap, dan perilaku seseorang akan senantiasa teriringi nilai-nilai spiritual dengan menghafal al-Qur’an sehingga akhlak al-Qur’an akan melekat pada diri orang tersebut. Sebagaimana Aisyah RA menyampaikan bagaimana akhlak Rasulullah, "نٰاْرقْلا هقلخ ناك" yang artinya akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an.1 Menghafal al-Qur’an merupakan ciri khas masyarakat muslim terbukti jumlah penghafal al-Qur’an di dunia ini mencapai angka yang fantastis. Penghafal al-Qur’an di Pakistan mencapai angka 7 juta orang dari sekitar 134 juta penduduk, jalur Gaza Palestina 60 ribu orang, Libya 1 juta orang dari 7 juta penduduk, Arab Saudi 6 ribu orang, dan Indonesia sendiri jumlah penghafalnya 30 ribu dari sekitar 250 juta penduduk. Data jumlah penghafal al-Qur’an di Indonesia yang diketahui ada sekitar 0,01% dari total 250 juta penduduk. Jumlah minimnya penghafal al-Qur’an disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya; kondisi keislaman

1Khairul akhmad, “ensiklopedi akhlak nabi SAW: akhlak nabi adalah al

-Qur’an”, http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/02/01/lype7n-ensiklopedi-akhlak-nabi-saw-akhlak-nabi-adalah-alQur’an (kamis, 12 januari 2017 07.00)


(11)

1

orang tua, sedikitnya jumlah muhafizh (guru hafalan), ketersediaan sarana menghafal al-Qur’an, dan minimnya lembaga Tahfizhul Qur’an.2

Wilayah yang memiliki para penghafal al-Qur’an dan menyumbang angka 0,01% tersebut diantaranya di daerah Surakarta. Jumlah tersebut lebih banyak ditemukan di pondok pesantren daripada di rumah-rumah. Pesantren-pesantren tersebut memiliki kiprah yang besar dalam mencetak generasi-generasi penghafal al-Qur’an. Terdapat beberapa pesantren tempat menghafal para santri yang sering dinamakan dengan pesantren Tahfizhul Qur’an yaitu; Baitul Hikmah, Isykarima, Baitul Qur’an, Ulul Albab, Ibadurrahman,Pesantren Kota Barat, Darul Qur’an, Al Manar Kleco dan lain sebagainya. Banyak ayat yang menerangkan keutamaan menjadi penghafal al-Qur’an, salah satunya terdapat dalam al-Qur’an Surat Faathir ayat 32 yang artinya:

kemudian kitab ini kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih diantara hamba-hamba kami”3

Ada juga hadist yang menerangkan bahwa al-Qur’an dapat menolong 7 saudara dari api neraka. Menghafalkan al-Qur’an selain berniali ibadah, bagi penghafalnya juga akan mendapatkan manfaat secara nyata langsung didunia, yaitu berupa:

1. Hafalan al-Qur’an bisa menjadi mahar pernikahan

2

Yuwa to, ”Ju lah Pe ghafal”,

file:///E:/Final%20Exam/go!!!/Aaa_Pasca%20KOMPRE/Jumlah%20Penghafal%20Alquran%20Indon esia%20terbanyak%20di%20Dunia%20%20%20Republika%20Online.htm (Rabu, 11 Januari 2017, 20.25).

3


(12)

1

2. Akan mendapatkan berkah dan kenikmatan dalam hidup

3. Orang-orang yang di istimewakan oleh Nabi Muhammad SAW 4. Merupakan ciri orang yang diberi ilmu

5. Mendapatkan keistimewaan sebagai keluarga Allah di bumi

6. Apabila menghormati penghafal al-Qur’an berarti mengagungkan Allah.4 Begitu besar keutamaan yang akan di peroleh bagi penghafal al-Qur’an bukan hanya terjamin hidup di dunia pasti juga akan mulia ketika di akhirat nanti. Dan manfaatnya pun buka hanya dirasakan oleh penghafal al-Qur’an tetapi juga bisa menolong orang tua dan saudaranya ketika di akhirat nanti. Hal ini seringkali menjadi motivasi bagi para penghafal al-Qur’an, selain untuk mencari ridho Allah juga bertujuan untuk bisa menjadi penolong dan sebagai rasa balas budi terhadap orang tua agar orang tuanya di muliakan di dunia hingga akhirat. Seorang yang menghafal al-Qur’an diumpamakan seperti buat limau buahnya harum dan rasanya enak. Mengapa buah limau sebagai perumpamaan dibandingkan dengan buah-buah yang lainnya yang sama-sama memiliki rasa yang enak dan bau yang harum adalah dikarenakan kulitnya bisa dipergunakan untuk berobat dan bijinya bisa mengeluarkan minyak dan berbagai macam manfa’at. Bahwa jin tidak akan masuk rumah yang di dalamnya terdapat buah limau, maka cocok sekali bila al-Qur’an diperumpamakan dengannya, yang mana syetan tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada bacaan Al-Qur’an. Kulit luarnya berwarna putih disesuaikan dengan hati seorang mukmin. Dan di dalamnya juga terdapat banyak keistimewaan yang diantaranya bentuknya besar,

4


(13)

1

terlihat bagus, warnanya membuat orang senang, sentuhannya halus, dan jika dimakan rasanya enak, dan membaguskan pencernaan otak dan lambung.

Para penghafal al-Qur’an pun beragam mulai dari kalangan remaja dan orang-orang dewasa keinginan untuk menghafal dan mengkaji makna yang terkandung dalam al-Qur’an pun semakin meningkat, bahkan banyak anak-anak yang masih kecil sudah dibiasakan untuk membaca al-Qur’an dan menghafal surat-surat pendek. Menghafal al-Qur’an Menurut etimologi, kata menghafal berasal dari kata dasar hafal yang dalam bahasa Arab dikatakan al-Hifdz dan memiliki arti ingat. Maka kata menghafal juga dapat diartikan dengan mengingat. Dalam terminologi, istilah menghafal mempunyai arti sebagai, tindakan yang berusaha meresapkan ke dalam pikiran agar selalu ingat. Menghafal adalah suatu aktifitas menanamkan suatu materi di dalam ingatan, sehingga nantinya dapat diingat kembali secara harfiah, sesuai dengan materi yang asli. Menghafal merupakan proses mental untuk mencamkan dan menyimpan kesan-kesan, yang suatu waktu dapat diingat kembali ke alam sadar.

Didukung dengan semakin banyaknya kemajuan teknologi yang menyediakan fitir-fitur lengkap untuk membantu memudahkan seorang dalam mengkaji dan menghafal isi dalam al-Qur’an.Namun banyak juga yang masih mempelajari al-Qur’an dengan setengah-setengah sehingga tak jarang yang salah menafsirkan makna al-Qur’an hingga menimbulkan banyak menimbulkan perselisihan. Seseorang yang menghafal Qur’an harus memiliki rasa ikhlas dan rela menjauhi maksiat, hal ini merupakan modal utama yang harus di miliki oleh seorang yang akan menghafalkan al-Qur’an. Seseorang yang paham betul dan menguasai


(14)

1

makna yang terkandung dalam isi al-Qur’an tidak akan mecari pengakuan orang lain untuk dikatakann sebagai seorang yang pandai dalam ilmu al-Qur’an tidak berdebat kesana-kemari untuk mematahkan argumen orang lain karna meresa dirinya paling benar dan tidak memancing perselisihan, justru orang yang benar-benar menguasai makna al-Qur’an akan mengerti waktu dan tempat yang sesuai kapan ia harus menyampaikan makna yang terkadung dalam al-Qur’an, memberikan petunjuk kepada mereka yang salah dan tidak melihat permasalahan hanya dalam satu sisi. Orang-orang seperti inilah yang sangat dibutuhkan saat ini untuk tetap memberikan petunjuk menuju jalan terang dan tidak mengarahkan pada kesesatan. Dan untuk tetap menjaga hafalanya seorang penghafal al-Qur’an harus selalu bisa menjaga dirinya dari segala perbuatana maksiat dan dosa. Karan hal itu bisa mempengaruhi bagus dan buruknya hafalan seseorang. Seperti diterangkan dalam oleh imam syafi’i:

Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukkan untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.5

Di zaman modern saat ini banyak yang sudah mengabaikan dan meninggalkan al-Qur’an,terbukti dengan masih langka nilai-nilai al-Qur’an yang membudaya dan menyatu dalam kehidupan. Tanpa di sadari bahwa lebih sering membaca dan mengkaji al-Qur’an lebih banyak memberikan manfaat untuk diri sendiri maupun orang lain daripada meghabiskan waktu dengan aktivitas yang bersifat duniawi. Banyak orang-orang yang saat ini lebih asyik bermain dengan gadged mereka yang

5


(15)

1

serba canggih lengkap dengan berbagai media sosial sebagai sarana untuk berbagi cerita dan informasi serta untuk menambah jaringan pertemanan sehingga banyak yang dapat memuaskan dan memenuhi setiap keingin tahuan mereka terhadap perkembangan zaman. Informasi apapun bisa mereka dapatkan hanya dengan melalui gadget canggih mereka.

Tak sedikit orang yang menghabiskan banyak waktu untuk selalu mengup-date segala kegiatan mereka disosial media agar tidak dikatakan kurang pergaulan atau ketinggalan jaman. Mereka sudah tak punya waktu untuk membaca dan mengkaji makna al-Qur’an, hingga al-Qur’an menjadi suatu hal yang asing bagi mereka. Banyak sekali larangan dalam al-Qur’an yang sudah diabaikan dan tidak diperdulikan lagi. Saat ini para muslimat yang lebih bangga memperlihatkan auratnya, bahkan banyak yang memakai jilbab namun menampakkan sertiap lekuk tubuhnya, laki-laki dan perempuan bergaul secara bebas tanpa menghiraukan batasan-batasan pergaulan yang semestinya mereka patuhi dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan, banyak orang-orang yang saat ini tidak merasa bersalah ketika meninggalkan sholat bahkan melakukan sholat hanya ketika mereka ingin melakukan saja, sementara jika tidak ingin mereka dengan mudah dan ringan meninggalkan sholat yang sudah menjadi kewajiban setiap muslimnya.

Banyak yang melakukan hal sesuai kehendak mereka tanpa menghiraun aturan-aturan yang ada dengan mengatakan bahwa mereka tidak ingin menjadi munafik dengan berpura-pura baik namun masih banyak melakukan kesalahan, pemikiran tersebut perlu di luruskan bahwasanya setiap manusia tempat salah dan


(16)

1

lupa, memiliki hawa nafsu yang beragam dan banyak mencari kepuasan duniawi, maka sebagai manusia yang berakal dan berilmu harus bisa mengendalikan hawa nafsu dan selalu memperbaiki diri meskipun belum sepenuhnya bisa menjadi baik. Hal ini merupakan beberapa contoh dari sekian banyak ajaran al-Qur’an yang belum dilaksanakan oleh jutaan kaum muslimin baik di negeri ini maupun di negeri muslim lainnya.6

Seorang penghafal al-Qur’an yang notabenenya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih tentang makna yang terkandung daalam al-Qur’an secara jelas dan terperinci di harapkan bisa membantu memberikan petunjuk kepada orang lain untuk membantu dalam memperbaiki akhlak dan hidup mereka yang masih banyak melakukan salah. Sesorang penghafal al-Qur’an bukan berarti seorang yang sempurna jauh dari kekurangan dan kesalahan, penghafal al -Qur’an juga tetap manusia biasa memiliki nafsu yang selalu ingin terpenuhi dan selalu melakukan hal-hal yang bisa memberikan kepuasan dalam setiap keinginanya, namun mereka telah banyak mengkaji dan mengetahui pemahaman tentang makna al-Qur’an yang seharusnya mereka lebih baik dalam berperilaku dan menjalalani hidup sesuai dengan ajaran-ajaran yang ada di dalam al-Qur’an. Karena seorang penghafal al-Qur’an memiliki kewajiban untuk mengamalkan isi kandungan dalam al-Qur’an yang telah mereka pelajari dan memberikan

6

Abdul Azis Abdul Rauf Al Hafizh, Kiat Sukses Menjadi Hafizh Qur’anDa’iyah(Bandung:PT.SyaamilCiptaMedia,2004),hlm.2.


(17)

1

peringatan dan petunjuk kepada seseorang yang masih melakukan berada dijalan yang salah.

Mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an UIN Sunan Ampel contohnya, sudah banyak dari mereka yang memiliki hafalan al-Qur’an, baik yang sudah selesai menghafal maupun masih dalam tingkat penyelesaian hafalanya. Tidak hanya kegiatan meroja’ah dan setor hafalan, mahasiswa di UIN Sunan Ampel juga memiliki banyak kegiatan yang dipersiapkan untuk bekal ketika hidup di dalam masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut sudah tersruktur ketika mereka berada dalam lingkungan kampus UIN Sunan Ampel, namun bagaimana kehidupan mereka di luar kegitan yang mengatur mereka yang mewajibkan mereka untuk tetap mempertahankan dan mengamalkan hafalan mereka, bagaimana mereka mengatur pergaulan mereka dengan lawan jenis dan bagaimana mereka menyesuaikan obrolan mereka ketika bersama dengan mahasiswa yang bukan penghafal al-Qur’an. Hal ini menarik untuk diteliti karena untuk mengetahui bagaimana upaya seorang penghafal al-Qur’an dalam mengaplikasikan nilai-nial al-Qur’an yang telah mereka kaji dan mereka hafalkan, mereka terapkan dalam kehidupan sosialnya bersama masyarakat yang mana masyarakat pada era globalisasi ini banyak yang sudah mengabaikan kitab suci al-Qur’an sebagai pedoman dan pegangan hidup. Karena peranan seorang penghafal al-Qur’an diharapkan sedikit banyak dapat mengajarkan ilmu mereka sebagai petunjuk dan penuntun masyarakat yang lebih baik dalam menjalani kehidupan dengan perpegang dengan al-Qur’an.


(18)

1

Dengan adanya berbagai latar belakang di atas, upaya yang dilakukan mahasiswa penghafal al-Qur’an dalam mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an tentang kehidupan sosialdalam menjalani kehidupan sosial pastinya sangatlah beragam. Upaya tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengamalkan ilmu yang mereka dpatkan dari menghafal al-Qur’an. Maka dalam hal ini peneliti akan mengangkat

judul “KONTRUKSI MAHASISWA UNIT PENGEMBANGAN TAHFIDZUL

QUR’AN TENTANG NILAI-NILAI AL-QUR’AN DALAM KEHIDUPAN

SOSIAL DI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an Mengkontruksi Nilai-Nilai al-Qur’an dalam Kehidupan Sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya ?

2. Bagaimana Tipologi Mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an dalam mengkontruksi sosial dengan nilai-nilai al-Qur’ani dalam kehidupan sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an dalam mengkontruksi Nilai-nilai al-Qur’an dalam Kehidupan Sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya

2. Untuk mengetahui tipologi mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an dalam mengkontruksi sosial dengan nilai-nilai al-Qur’ani dalam kehidupan sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya


(19)

1 D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini, diharapkan dapat memenuhi, antara lain: 1. Secara teoritis, hasil ini dapat memotivasi para penghafal qur’an dapat berperan

aktif dimasyarakat dan memotivasi seseorang untuk lebih giat belajar dan mengkaji kandungan dari al-Qur’an dan mengakrabkan diri dengan Al-qur’an dalam kehidupan sehari-hari

2. Penelitian ini akan memberikan pengalaman kepada mahasiswa, bagaimana cara peneliti dan bagaimana cara menggunakan teori sebagai kacamata untuk melakukan penelitian.

3. Penelitian ini juga merupakan kesempatan bagi penulis untuk belajar mengaplikasikan teori-teori yang telah penulis dapatkan selama ini dibangku perkuliahan, khususnya prodi sosiologi.

Hasil penelitian ini akan memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa penghafal Al-qur’an dapat mengaplikasikan keilmuannya untuk membantu mensejahterakan dan menjadikan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.

E. Definisi Konseptual

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang arah penulisan skripsi ini maka penulis menjelaskan terlebih dahulu definisi istilah dalam pemilihan judul ini yaitu :


(20)

1

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiaupaya berarti usaha, ikhtiar (untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar).7 Berdasarkan makna dalam kamus Besar Bahasa Indonesia itu , dapat disimpulkan bahwa kata upaya memiliki kesamaan arti dengan kata usaha, dan demikian pula dengan kata ikhtiar, dan upaya dilakukan dalam rangka mencapai suatu maksud, memecahkan masalah, mencari jalan keluar dan sebagainya.

Adapun yang dimaksudkan upaya disini adalah upaya seorang mahasiswa tahfidzul qur’an yang telah banyak memahami isi dan makna dalam al-Qur’an untuk mereka amalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Bagaimana usaha seorang tahfidzul Qur’an tetap bisa mempertahankan nilai-nilai yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan tetap mnjaga keharmonisan dalam hubungan sosialnya dimasyarakat.

2. Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an (UPTQ)

Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an atau sering disebut UPTQ merupakan suatu unit kegiatan mahasiswa di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya yang merupakan tempat berkumpulnya para hafidz dan hafidzah sebagai wadah bagi mahasiswa yang ingin menghafalkan al-Qur’an maupun yang sudah memiliki hafalan al-Qura’an untuk menyelesaikan dan menjaga hafalan mereka dengan berbagai kegiatan sebagai pembelajaran dan memperbanyak bekal ketika mereka hidup bermasyarakat.

7

Hasan Alwi, et.al, (ed), “upaya”, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), ed. 3, Cet. Ke-4, hal.1250


(21)

1

UPTQ sampai sekarang memiliki kurang lebih memiliki anggota aktif 120 mahasiswa dari berbagai jurusan. Dalam setiap tahunya UPTQ membuka pendaftaran keanggotanya setahun setahun sekali dan syarat untuk menjadi anggota hanya bisa membaca al-Qur’an dan berniat untuk menghafalkan al-Qur’an. Disamping itu UPTQ juga banyak anggotanya yang sudah menegukir banyak prestasi dan mengharumkan kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, mulai dari tingkat daerah, provinsi, nasional hingga internasional.

3. Aplikasi

Istilah aplikasi pada dasarnya berasal dari bahasa inggris yaitu dari kata application yang berarti penerapan ataupun penggunaan. Namun jika ditinjau dari istilah aplikasi berarti suatu progam yang telah siap untuk dipakai yang sengaja sengaja di buat untuk melakukan suatu fungsi bagi pemakai jasa aplikasi serta untuk pemakai semua aplikasi jenis lainya yang akan di pakai untuk sebuah sasaran yang di tuju.

4. Nilai-nilai Al-Qur’an

Nilai artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.8 Maksudnya kualitas yang memang membangkitkan respon penghargaan. Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan

8


(22)

1

melembaga secara obyektif di dalam masyarakat.9 Menurut Sidi Gazalba yang dikutip Chabib Thoha mengartikan nilai sebagai berikut:

Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menunutut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang dikehedaki dan tidak dikehendaki.10

Sedangkan menurut Chabib Thoha nilai merupakansifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia yang meyakini).11 Jadi nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku.

Menurut para ulama, al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang diturunkan kepada nabi muhammad SAW, yang membacanya merupakan satu ibadah.12 Menurut Ari Hendri, al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw secara berangsur-angsur dengan perantaraan malaikat jibril, yang di riwayatkan secara mutawattir, dan membacanya merupakan ibadah.13 Dari beberapa definisi menurut pakar dapat disimpulkan bahwa definisi nilai-nilai al-Qur’an ialah makna yang terkandung

9

Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran pendidikan islam,( Bandung: Trigenda Karya, 1993), 110

10

HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 61

11Ibid

12Shaikh Manna’ al

-Qaththan, Pengantar Studi Al-qur’an, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), 18

13


(23)

1

dalam al-Qur’an yang dapat memberikan manfaat dan pengaruh untuk siapa saja yang menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat.

5. Kehidupan Sosial

Kehidupan sosial berarti kehidupan masyarakat. Mengingat kehidupan masyarakat adalah sistem, maka kehidupan sosial di kenal juga dengan istilah sistem sosial. Ketika berbicara sistem, maka kitaa bicara tentang unsur-unsur yang membangunya atau unsur-unsur yang membentuk kehidupan sosial. Paling tidak dalam sebuah sitem harus ada individu-individu yang berkumpul bersama dalam satu wilayah tertentu dan ada norma atau aturan yang mengatur hubungan di antara individu tersebut.

Berikut adalah unsur-unsur terbentuknya kehidupan sosial dalam masyarakat:

a.) Adanya Interaksi sosial

Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis baik yang menyangkut antara orang perseorangan, antara perseorangan dengan kelompok manusia maupun antara kelompok dengan kelompok manusia lainnya. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial. Sebab, tanpa adanya interaksi, tidak akan ada kehidupan bersama. Dalam interaksi sosial, hubungan yang terjadi harus secara timbal balik. Artinya kedua belah pihak harus saling merespon.Unsur pokok dalam interaksi sosial antara lain:


(24)

1

1.) Terjadi proses dalam interaksi, yaitu berlangsungnya hubungan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok.

2.) Terjadinya komunikasi, yaitu hubungan timbal balik antarindividu, individu dengan kelompok, atau hubungan antarkelompok.

3.) Terjadi saling memengaruhi dari dua orang atau dua kelompok yang saling berhubungan.

4.) Tindakan dan pikiran yang saling memengaruhi dua pihak yang berkomunikasi.

Faktor-faktor Yang mempengaruhi terjadinya interaksi sosial antara lain: a. Motivasi

Motivasi adalah dorongan yang diberikan seseorang kepada orang lain sehingga orang yang diberi motivasi melaksanakan apa yang disarankan dengan penuh tanggung jawab, kritis dan rasional.

b. Sugesti

Sugesti adalah pengaruh dari seseorang kepada orang lain sehingga orang yang diberi sugesti menuruti/melaksanakan tanpa berpikir kritis dan rasional. Sugesti bukan merupakan proses belajar, melainkan proses meningkatkan suatu reaksi yang sudah ada pada dirinya. Sugesti terjadi karena pihak yang menerima anjuran itu tergugah secara emosional tanpa dipikir terlebih dahulu.


(25)

1

Simpati adalah perasaan tertarik kepada orang lain karena sikap, penampilan, wibawa, perbuatannya yang sedemikian rupa. Rasa simpati akan muncul karena adanya perasaan. Faktor simpati yang utama adalah ingin mengerti dan ingin bekerja sama dengan orang lain.

d. Empati

Empati adalah perasaan tertarik dan ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain tersebut. Sebagai contoh, jika ada orang yang sedang dilanda kesusahan (sakit misalnya), kita tertarik untuk memerhatikan dan ikut merasakan apa yang dirasakan orang tersebut.

e. Identifikasi

Identifikasi adalah kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya, sehingga pandangan dan sikap orang lain bisa masuk ke dalam jiwanya.

f. Imitasi

Imitasi adalah tindakan seseorang yang meniru orang lain baik dalam hal tingkah laku, penampilan maupun gaya hidup. Faktor imitasi akan memunculkan dampak positif dan negatif. Dampak positif kalau yang diimitasinya itu berupa kaidah-kaidah (norma) dan perilaku yang baik. Sebaliknya imitasi ini akan berdampak negatif kalau yang ditiru itu berupa perilaku yang tidak baik. Selain itu imitasi juga bisa melemahkan daya kreasi seseorang.


(26)

1

b) . Proses sosial

Proses sosial adalah cara-cara berhubungan para individu maupun kelompok yang saling bertemu, kemudian terjadi perubahan-perubahan yang mampu menggoyahkan cara-cara hidup yang telah ada. Proses sosial merupakan cara-cara berhubungan dalam kehidupan masyarakat yang dapat dilihat apabila individu atau kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut.

F. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan serta pemahaman dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membahasnya dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Dalam bab ini peneliti memberikan gambaran tentang latar belakang masalah yang akan di teliti. Selanjutya, peneliti menentukan Fokus Penelitian atau Rumusan Masalah dan menyertakan Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi Konseptual, dan Sistematika Pembahasan.

BAB II: KERANGKA ANALISA STRATEGIMAHASISWA UNIT PENGEMBANAGAN TAHFIDZUL QUR’AN PERSPEKTIF PETER L BERGER

Dalam bab ini, peneliti memberikan gambaran tentang penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Serta peneliti memberikan gambaran tentang kajian pustaka yang di arahkan pada penyajian informasi terkait yang mendukung gambaran umum tema penelitian, kajian pustaka harus digambarkan


(27)

1

dengan jelas. Disamping itu juga harus memperhatikan relevansi teori yang akan digunakan dalam menganalisis masalah yang akan dipergunakan guna adanya implementasi judul penelitian STRATEGI MAHASISWA UNIT PENGEMBANAGAN

TAHFIDZUL QUR’AN DALAM MENGAPLIKASIKAN NILAI-NILAI AL-QUR’AN

TENTAG KEHIDUPAN SOSIAL DI UIN SUNAN AMPEL SURABAYA.

BAB III: METODE PENELITIAN

Dalam bab metode penelitian ini, peneliti memberikan gambaran mengenai kegiatan yang dilakukan di lapangan yang terdiri dari Jenis Penelitian, Lokasi dan Waktu Penelitian, Tahap-Tahap Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data dan Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data.

BAB IV: KONTRUKSI MAHASISWA UNIT PENGEMBANGAN TAHFIDZUL QUR’AN TENTANG NILAI-NILAI AL-QUR’AN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.

Dalam bab ini, peneliti memberikan gambaran tentang data-data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder. Penyajian data dibuat secara tertulis dan dapat juga disertakan gambar, tabel atau bagian yang mendukung data. Dalam bab ini peneliti juga memberikan gambaran tentang data-data yang dikemas dalam bentuk analisis deskripsi. Setelah itu akan dilakukan penganalisahan data dengan teori yang relevan dengan tema penelitian. Peneliti juga memberikan gambaran tentang data-data yang di peroleh, baik data primer maupun data sekunder. Penyajian data akan di buat secara tertulis dan juga di sertakan gambar-gambar atau tabel yang mendukung data. Dan selanjutnya, akan di lakukan analisa data dengan


(28)

1

menggunakan teori yang sesuai, yaituStrategi Mahasiswa Unit Pengebangan Tahfidz

Qur’an Dalam Mengaplikasikan Nilai-nilai al-Qur’an Tentang Kehidupan Sosial

BAB V: PENUTUP

Dalam bab ini, peneliti akan memberikan kesimpulan dari setiap permasalahan dalam penelitian. Kesimpulan ini menjadi hal terpenting pada bab penutup ini. Selain itu, peneliti juga memberikan rekomendasi kepada para pembaca laporan penelitian ini. Pada bab ini, menyertakan saran dan rekomendasi kepada para pembaca.


(29)

BAB II

KONSTRUKSI SOSIAL-PETER L BERGER

A. Penelitian Terdahulu

Dalam rangka membantu menyajikan penulisan penelitian ini, maka peneliti juga mencantumkan hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini. Pencantuman penelitian terdahulu sebagai telaah pustaka tentunya bertujuan untuk mengetahui gambaran umum tema penelitian dan juga menunjukkan karakter dan ciri khas yang membedakannya dengan penelitian sebelumnya.1 Untuk itu peneliti menyertakan beberapa penelitian sebelumnya yang relevan sebagai berikut:

1. Upaya Peningkatan Pemahaman al-Qur’an Pengaruhnya Terhadap Perilaku Sosial ParaHafidz Dan Hafidzah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga

Penelitian ini dilakukan oleh Muntaha Al Misbah, mahasiswa Pendidikan Agama IslamSekolah Tinggi Agama Islam NegeriSalatiga pada tahun 2010. Penelitian ini dilakukan berkat ketertarikan peneliti untuk mengetahui pengaruh positif pemahaman al-Qur’an terhadap perilaku sosial para mahasiswa. Dalam penelitianya peneliti menggunakan pendekatan psikologi. Analisis data yang dilakukan dengan metode kuantitatif Proses pelaksanaan penelitian ini, respondennya sebanyak 40 mahasiswa dan pengumpulan data menggunakan angket. Sehingga hipotesis yang menyatakan pemahaman al-Qur’an ada

1

Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Program Studi Sosiologi 2015 (Surabaya: FISIP UINSA, 2015), 16


(30)

pengaruhnya dalam merubah perilaku social para mahasiswa. Hasil penelitianya adalah sebagai berikut:

a. Dari upaya peningkatan pemahaman al-Qur’an para mahasiswa hafidz dan hafidzah dapat diketahui:

b. Untuk upaya peningkatan pemahaman al-Qur’an yang mendapat nilai tinggi (SR) sebanyak 17 mahasiswa dan mahasiswi ada 42,5%

c. Untuk upaya peningkatan pemahaman al-Qur’an yang mendapat nilai sedang (KK) sebanyak 20 mahasiswa dan mahasiswi ada 50%

d. Untuk upaya peningkatan pemahaman al-Qur’an yang mendapat nilai rendah (TP) sebanyak 3 mahasiswa dan mahasiswi ada7,5%

Dari perubahan perilaku sosial para mahasiswa hafidz dan hafidzah dapat diketahui:

a. Untuk perilaku sosial yang mendapat nilai baik (SR) sebanyak 20 mahasiswa dan mahasiswi ada 50%

b. Untuk perilaku sosial yang mendapat nilai sedang (KK) sebanyak 13 mahasiswa dan mahasiswi ada 32

c. Untuk perilaku sosial yang mendapat nilai kurang baik (TP) sebanyak7 mahasiswa dan mahasiswi ada17,5%

Jadi ada pengaruh positif antara upaya peningkatan pemahaman al-Qur’an terhadap perilaku sosial para mahasiwa hafidz dan hafidzah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.


(31)

Dari beberapa ulasan yang telah dikutip untuk memberikan gambaran singkat mengenai penelitian diatas, yang dimana letak perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti kerjakan adalah mengenai metode penelitian dan tujuan penelitianyang mana pada penelitian yang dilakukan olehMuntaha Al Misbahmenggunkan metode kuantitatif, sedangkan untuk penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti sendiri menggunakan penelitian kualitatif dan tujuan penelitian terdahulu lebih berfokus pada pengaruh positif pemahaman al-Quran terhadap perubahan perilaku sosial para mahasiswa. Sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memahami al-Qur’an dalam menghadapi perubahan perilaku sosial. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan berfokus pada upaya para penghafal al-Qur’an dalam mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan sosial. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Muntaha Al Misbah dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terletak pada tema yang mana sama membahas tentang penghafal al-Qur’an.

2. Budaya Menjaga Hafalan al-Qur’an bagi Hafidz dan Hafidzah di Lingkungan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Penelitian ini dilakukan oleh Riswandi Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga pada tahun 2013. Dalam penelitian ini peneliti ini menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui metode observasi dan menggunakan wawancara mendalam. Hasil penelitian yang diperoleh:


(32)

1) Beberapa cara para mahasiwa hafidz dan hafidzah dalam mempertahankan menjaga hafalan al-Qur’an mereka dalah dengan beberapa cara berikut: a) Wirid al-Qur’an

b) Menjadi imam sholat berjamaah

c) Mengajarkan orang lain dengan cara menyimak hafalan mereka ketika setoran dan diskusi.

2) Peran hafidz dan hafidzah di UIN Sunan Kalijaga adalah sebagai berikut: a) Sebagai imam di laboratorium agama masjid UIN Sunan Kalijaga b) Wadah untuk baca tulis al-Qur’an

c) Ikut berpartisipasi dalam barbagai event Musabaqoh Hifdzil Qur’an (MHQ)

Dari beberapa ulasan yang telah dikutip untuk memberikan gambaran singkat mengenai penelitian diatas, yang dimana letak perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti kerjakan adalah mengenai fokus pembahasan dan sasaran penelitianyang mana pada penelitian yang dilakukan oleh Riswandimemfokuskan padamasalah untuk mengetahui dan memahami kebiasaan para hafidz Qur’an dalam menjaga dan mempertahankan hafalan mereka, mengetahui motivasi para penghafal al-Qur’an sehingga memunculkan semangat dalam menjaga dan mempertahankan hafalan mereka, mengetahui pengaruh peran hafidz pada aktifitas penghafal al-Qur’an di dalam maupun di luar kampus UIN Sunan Kalijaga dan penelitian yang akan dilakukan berfokus pada upaya yang dilakukan oleh mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an dalam


(33)

mengaplikasin nilai-nilai al-Qur’an tentang kehidupan sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya. Persamaanpenelitian yang dilakukan oleh Riswandidengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terletak pada metode penelitian yang mana penelitian terdahulu maupun penelitian yang sekarang sama menggunakan penelitian kualitatif dantopik penelitian pun sama-sama berfokus pada penghafal al-Qur’an.

3. Hubungan self regulation learning dengan prestasi akademik pada mahasiswa penghafal al-Qur’an di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Penelitian ini dilakukan oleh Linda Miftahul Husna mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang pada tahun 2014. Penelitian ini dilakukan berkat ketertarikan peneliti untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara self regulation learning dengan

prestasi akademik pada mahasiswa penghafal al-Qur’an di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Penelitian ini menggunakan metode penelitan kuantitatif korelasional dengan self regulation learning sebagai

variabel bebas dan prestasi akademik sebagai variabel terikat. Kemudian mengkategorikasikan tingkat self regulation learning degan menentukan

mean hipotetik dan standart deviasi terlebih dahulu dan mengkategorikan tingkat prestasi akademik dengan yudisium S1. Sampel penelitian sebesar 53,4% yang didapatkan dari teknik random dengan mengundi nama-nama subyek dan populasi. Jumlah populasi 131 mahasiswa sehingga sample


(34)

didapatkan sejumlah 70 mahasiswa. Adapun hasil penelitian menunjukkan sejumlah 70 mahasiswa penghafal al-Qur’an mempunyai tingkat self regulation learning tinggi dengan prosentase 81,4% sedang 18,6% dan 0% rendah. Kemudian terdapat 65,7% mahasiswa dengan kategori coumlade dalam prestasi akademik 34,28% sangat baik, dan kategori baik dan sangat baik adalah 0%. Artinya terbukti bahwa terdapat hubungan (korelasi) antara self regulation learning dengan prestasi akademik.

Dari beberapa ulasan yang telah dikutip untuk memberikan gambaran singkat mengenai penelitian diatas, yang dimana letak perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti kerjakan adalah mengenai fokus penelitian dan metode penelitian yang mana pada penelitian yang dilakukan olehLinda Miftahul Husna adalah pada hubungan self regulation learning dengan

prestasi akademik pada mahasiswa penghafal al-Qur’an di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang dengan menggunakan metode kuantitatif. Sedangkan fokus penelitian yang akan peneliti teliti adalah upaya mahasiswa penghafal al-Qur’an dalam mengaplikasikan nilai-nilai tentang kehidupan sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya dengan menggunakan metode kualitatif.Persamaanpenelitian yang dilakukan oleh Linda Miftahul Husna dengan peneliti terletak pada sasaran penelitian yang mana sama membahas mengenai mahasiswa penghafal al-Qur’an.


(35)

Penjelasan konsep yang mendasari pengambilan judul di atas sebagai bahan penguat sekaligus spesifikasi penelitian yang akan dilakukan

a. Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an (UPTQ)

Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an atau sering disebut UPTQ merupakan suatu unit kegiatan mahasiswa di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya yang merupakan tempat berkumpulnya para hafidz dan hafidzah sebagai wadah bagi mahasiswa yang ingin menghafalkan al-Qur’an maupun yang sudah memiliki hafalan al-Qur’an untuk menyelesaikan dan menjaga hafalan mereka dengan berbagai kegiatan sebagai pembelajaran dan memperbanyak bekal ketika mereka hidup bermasyarakat.

b. Aplikasi Nilai-nilai al-Qur’an tentang Kehidupan Sosial

Nilai-nilai al-Qur’an yang akan dibahas disini Setidaknya ada 10 nilai-nilai al Quran tentang kehidupan sosial yang dapat dilihat dari sosok seorang generasi qurani.

a.) Menghargai Waktu

Seorang yang menerapkan nilai al Quran dalam kehidupannya, maka dia akan memanfaatkan tiap detik yang dikaruniakan Alloh dengan hal-hal yang positif dan produktif. Mereka tidak akan telat ketika masuk kerja, datang tepat waktu, tidak banyak bengong atau


(36)

melakukan hal sia-sia dan sebagainya. Cukuplah tiga ayat di Q.S Al-Ashr ayat 1-3 menerangkan pada kita tentang pentingnya waktu.

“demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian,

kecuali mereka yang beriman dan saling menasihati dalam kebenaran

dan kesabaran”2

b.) Menghargai Ilmu Pegetahuan

Generasi qurani adalah generasi yang luar biasa. Setiap perkataannya adalah kebenaran dan mempunyai dasar, dia tidak akan mengeluarkan statemen-statemen yang dia tidak punya pengetahuan tentangnya (sok tahu). Pengetahuan disini tidak dibatasi sempit pada pengetahuan tentang agama saja, tetapi pengetahuan secara umum. Pengetahuan mengenai teknologi, kebudayaan, kesehatan, politik dan sebagainya sehingga generasi qurani tidak akan berbuat ataupun berbicara dengan tanpa pengetahuan. Mereka takut dengan ayat yang cukup dalam surat Al Isra

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak

mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta

pertanggungan jawabnya” (QS 17:36)3

c.) Memiliki Budaya Kerja Keras

Kerja keras adalah salah satu kunci sukses dalam menjalani hidup. Kalau kita ingin mencapai suatu tujuan atau target besar dimana

2

H. Andi Subarkah, Lc. Cordova Al-Qur’an dan Terjemah, ( Bandung: Syamil Qur’an, 2012)

hal 601


(37)

target tersebut menurut sebagaian orang mustahil untuk kita lakukan, tetapi dengan kerja keras, maka sunnatullah, target tersebut akan tercapai. Generasi qurani adalah generasi pekerja keras. Mereka tidak akan melakukan suatu pekerjaan setengah-setengah untuk mendapatkan rezeki atau menghasilkan karya dan ilmu, karena mereka yakin Alloh melihat mereka dan nanti di akhirat pekerjaan mereka akan ditampakkan Allah.

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul

-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang

telah kamu kerjakan”

d.) Memiliki Orientasi ke depan (visioner)

Visi merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang dalm hidupnya. Seorang pemimpin harus mempunyai visi membawa orang-orang yang di pimpinnya ke arah yang lebih baik. Seorang-orang suami harus punya visi dalam memimpin anak istrinya menggapai berkah sakinah mawaddah warohmah, seorang individu pun harus punya visi yang lebih jauh lagi yaitu the end of life nya mau syurga atau neraka.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu

kerjakan.” (QS 59:18).4

e.) Memiliki Harga Diri Tinggi

4Ibid,


(38)

Harga diri berkaitan dengan kemuliaan. Generasi qurani akan mnjaga ketaqwaan nya di segala macam kondisi, baik senang maupun sedih. Lapang atau sempit. Hal ini dikarenakan mereka mengingat ayat

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di

sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.” (QS.49: 13)5

f.) Memiliki Networking dan Akses yang luas (Silaturahim)

Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk meraih kesukesan, seseorang harus mempunyai networking yang luas. Mereka tidak boleh mengekslusifkan diri kita atau kuper. Banyak buku yang mengupas tentang pentingnya memiliki networking sehingga buku-buku yang berkaitan dengan networking ini banyak beredar. Saat ini berapa banyak buku tentang komunikasi, mempengaruhi orang, membangun networking dan sebagainya yang beredar. Generasi qurani pun demikian, mereka harus memperluas silaturrahim karena hal tersebut jauh-jauh hari sudah dicantumkan dalam Al Qur’an

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi

kamu” (QS 4:1)6

5Ibid

517

6Ibid


(39)

g.) Pandai Belajar dari Sejarah

Sepertiga dari isi ayat Al Quran berisi sejarah ataupun kisah tentang tokoh-tokoh penting dalam agama. Dicantumkannya sejarah dalam Al Quran adalah untuk diambil pelajaran agar menjadi pribadi yang lebih baik. Kalau kita berpikir lebih luas lagi, sejarah yang didalamnya mengandung unsure kemajuan meskipun bukan dari islam, boleh kita ambil selama tidak merusak akidah. Kita bisa belajar dari Negara Jepang bagaimana mereka bangkit setelah bom nuklir meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Atau juga kita belajar sejarah Thomas Alva Edison yang tidak pantang menyerah setelah berkali-kali gagal bereksperimen menemukan lampu dan listrik. Tetapi dari sekian banyak sejarah tersebut, sejarah dalam Al Quran lah yang luar biasa, bagaimana sejarah Nabi Adam yang turun dari Syurga, Keluarga Nabi Nuh yang hanyut karena banjir akibat adzab Allah, Kisah ketaatan Nabi Ibrahim dan Ismail, kisah Musa dengan Fir’aun, dan kisah Nabi Muhammad beserta sahabat dalam menegakkan islam, bermasyarakat, berbisnis dan bernegara.

“Sudah sampaikah kepadamu (ya Muhammad) kisah

Musa? Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah

Lembah Thuwa; “Pergilah kamu kepada Fir’aun,

sesungguhnya dia telah melampaui batas, dan katakanlah

(kepada Fir’aun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)”. Dan kamu akan

kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut

kepada-Nya?” Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang


(40)

Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu

berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata: “Akulah

tuhanmu yang paling tinggi”. Maka Allah mengazabnya

dengan azab di akhirat dan azab di dunia. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut

(kepada Tuhannya).” QS (79 ; 15-26)7

h.) Tidak tertutup, terbuka pada kemajuan

Generasi Qur’ani bukanlah generasi yang tidak menutup mata pada kemajuan, generasi qurani bisa menerima dan mengadaptasi perkembangan teknologi dan zaman, tanpa mengesampingkan aqidah dan syariah tentunya. Perkembangan teknologi dijadikan sarana dakwah yang efektif dan tepat sasaran, sedangkan perkembangan zaman membuat mereka semakin dewasa menyikapi perbedaan.

“yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa

yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah

orang-orang yang mempunyai akal.” (QS 39:18).8

i.) Selalu dinamis, tidak merasa cukup dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki

Generasi qurani sadar bahwa salah satu elemen penting dalam kehidupan adalah ilmu pengetahuan, karena itu mereka yang memahami kandungan (QS 58:11) akan selalu mendatangi ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umumu.

7Ibid

, 583-585

8Ibid


(41)

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang

kamu kerjakan” (QS 58:11).9

j.) Konsisten, Istiqomah

Dari Sembilan nilai-nilai diatas, kunci utama dalam meraih kesuksesan adalah istiqomah, konsisten. Orang yang konsisten akan mempunyai daya tahan yang baik dari gempuran dari berbagai arah. Mereka mempunyai komitmen untuk meyakini apa yang mereka anggap benar dan berpegang teguh dengan pendirian nya tersebut.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:

“Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah

maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka

tiada (pula) berduka cita.” (QS 46:13).10 2. Konstruksi Sosial gagasan Peter L Berger

Dalam mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan sosial tentu bukan hal yang mudah, membutuhkan beberapa langkah-langkah yang harus di lalui agar tercapainya suatu tujuan tersebut, maka di sini peneliti menggunakan teori Peter L Berger yang akan menjelaskan mengenai tahapan-tahapan untuk mengkonstruk suatu masyarakat.

Konstruksi sosial oleh Peter L Berger. Peter L Berger merupakan sosiolog dari New School for Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman

9

Ibid, 543

10Ibid


(42)

adalah sosiolog dari University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan.

Sebagai catatan akademik, pemikiran Berger ini, terlihat cukup utuh di dalam buku mereka berjudul “The Social Construction of Reality: A Treatise in

the Sociology of Knowledge”. Publikasi buku ini mendapat sambutan luar biasa dari berbagai pihak, khususnya para ilmuan sosial, karena saat itu pemikiran keilmuan termasuk ilmu-ilmu sosial banyak didominasi oleh kajian positivistik. Berger meyakini secara substantif bahwa realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di seklilingnya, “reality is socially constructed”.

Tentu saja, teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitif nya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.

Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality)

didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami


(43)

bersama secara subyektif. Asal-usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, ia adalah cikal bakal Konstruktivisme.11

Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan id.12 Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta.13 Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya ‘Cogito ergo

sum’yang berarti “saya berfikir karena itu saya ada”. Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan’. Dia menjelaskan bahwa ‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu ’ini berarti

11

Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, ( Yogyakarta:Kanisius, 1997), 24

12

Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,( Yogyakarta: Kanisius. 1999), 89-106

13Ibid


(44)

seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikontruksikannya.

Sejauh ini ada tiga macam Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal, realisme hipotesis, dan konstruktivisme biasa.

a. Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individdu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya konstruksi itu.

b. Realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.

c. Konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu.Kemudian


(45)

pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas objektif dalam dirinya sendiri.

Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di dekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial.

Terdapat beberapa asumsi dasar dari Teori Konstruksi Sosial Berger dapun asumsi-asumsinya tersebut adalah Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial di sekelilingnya. Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan. Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.

Berger mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan


(46)

institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.

Proses konstruksinya, jika dilihat dari perspektif teori Berger berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry

concept, yakni subjective reality symbolic reality dan objective reality. Selain itu

juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi.

Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas

(termasuk ideologi dan keyakinan ) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta. Symblolic reality, merupakan semua ekspresi simbolik dari apa

yang dihayati sebagai “objective reality” misalnya teks produk industri media, seperti berita di media cetak atau elektronika, begitu pun yang ada di film-film.Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam


(47)

sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru.

a) Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luchmann

Dua istilah dalam sosiologi pengetahuan Berger adalah kenyataan dan pengetahuan. Berger dan Luckmann mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman kenyataan dan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai suatu kualitas yang terdapat didalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (Being) yang tidak tergantung pada kehendak

kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata dan memiliki karakteristik yang spesifik.14

Menurut Berger dan Luckmann, terdapat dua obyek pokok realitas yang berkenaan dengan pengetahuan, yakni realitas subyektif dan realitas obyektif. Realitas subyektif berupa pengetahuan individu. Disamping itu, realitas subyektif merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui peoses internalisasi. Realitas subyektif yang dimilik masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berkemampuan melakukan obyektivikasi dan memunculkan sebuah

14

Peter L. Berger & Thomas Lukhmann. Tafsir Sosial atas Kenyataan. (Jakarta: LP3ES, 1190), 1.


(48)

konstruksi realitas obyektif yang baru.15sedangkan realitas ooyektif dimaknai sebagai fakta sosial. Disamping itu realitas obyektif merupkan suatu kompleksitas definisi realitas serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.

Berger dan Luckmann mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. meskipun institusi sosial dan masyarakat terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Obyektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupan. Pendek kata, Berger dan Luckmann mengatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.16

15

Margaret M. Polomo, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 301.

16

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa:Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, (Jakarta: Kencana, 2008), 14-15.


(49)

Teori konstruksi sosial dalam gagasan Berger mengandaikan bahwa agama sebagai bagian dari kebudayaan, merupakan konstruksi manusia. artinya terdapat proses dialektika ketika melihat hubungan masyarakat dengan agama, bahwa agama merupakan entitas yang objektif karena berada diluar diri manusia. dengan demikian, agama mengalami proses objektivasi, seperti ketika agama berada dalam teks atau menjadi tata nilai, norma, aturan dan sebagainya. Teks atau norma tersebut kemudian mengalami proses internalisasi kedalam diri individu, sebab agama telah diinterpretasikan oleh masyarakat untuk menjadi pedomannya. Agama juga mengalami proses eksternalisasi karena ia menjadi acuan norma dan tata nilai yang berfungsi menuntun dan mengontrol tindakan masyarakat.17

Ketika msyarakat dipandang sebagai sebuah kenyataan ganda, objektif dan subjektif maka ia berproses melalui tiga momen dialektis, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa realitas sosial merupakan hasil dari sebuah konstruksi sosial karena diciptakan oleh manusia itu sendiri.

Masyarakat yang hidup dalam konteks sosial tertentu, melakukan proses interaksi secara simultan dengan lingkungannya. Dengan proses interaksi, masyarakat memiliki dimensi kenyataan sosial ganda yang bisa saling membangun, namun sebaliknya juga bisa saling meruntuhkan.

17

Peter L. Berger & Thomas Lukhmann. Tafsir Sosial atas Kenyataan. (Jakarta: LP3ES, 1190), 33-36.


(50)

Masyarakat hidup dalam dimensi-dimensi dan realitas objektif yang dikonstruksi melalui momen eksternalisasi dan objektivasi, dan dimensi subjektif yang dibangun melalui momen internalisasi. Momen eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi tersebut akan selalu berproses secara dialektis.

Proses dialektika ketiga momen tersebut, dalam konteks ini dapat dipahami sebagai berikut:

1.) Proses Sosial Momen Eksternalisasi

Proses eksternalisasi merupakan salah satu dari tiga momen atau triad dialektika dalam kajian sosiologi pengetahuan. Proses ini diartiakan sebagai suatu proses pencurahan kemandirian manusia secara terus menerus kedalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Atau dapat dikatakan penerapan dari hasil proses internalisasi yang selama ini dilakukan atau yang akan dilakukan secara terus menerus kedalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Termasuk penyesuaian diri dengan produk-produk sosial yang telah dikenalkan kepadanya. Karena pada dasarnya sejak lahir individu akan mengenal dan berinteraksi dengan produk-produk sosial. Sedangkan produk sosial itu sendiri adalah segala sesuatu yang merupakan hasil sosialisasi dan interaksi didalam masyarakat.

Proses Eksternalisasi adalah suatu keharusan antropologis. Sehingga tatanan sosial merupakan sesuatu yang telah ada mendahului


(51)

setiap perkembangan organism individu. Tatanan sosial yang terjadi secara terus-menerus dan selalu diulang ini merupakan pola dari kegiatan yang bisa mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Tindakan-tindakan yang dijadikan pembiasaan ini tetap mempertahankan sifatnya yang bermakna bagi individu dan diterima begitu saja. Pembisaan ini membawa keuntungan psikologis karena pilihan menjadi dipersempit dan tidak perlu lagi setiap situasi didefinisikan kembali langkah demi langkah. Dengan demikian akan membebaskan akumulasi ketegangan-ketegangan yang diakibatkan oleh dorongan-dorongan yang tidak terarah. Proses pembiasaan ini mendahului setiap pelembagaan. Manusia menurut pengetahuan empiris kita, tidak bisa dibayangkan terpisah dari pencurahan dirinya terus menerus kedalam dunia yang ditempatinya.

Manusia merupakan sosok makhluk hidup yang senantiasa berdialektika dengan lingkungan sosialnya secara simultan. Eksternalisasi merupakan momen dimana seseorang melakukan adaptasi diri terhadap lingkungan sosialnya. Dunia sosial, kendati merupakan hasil dari aktivitas manusia, namun ia menghadapkan dirinya sebagai sesuatu yang bersifat eksternal bagi manusia, sesuatu yang berada diluar diri manusia.

Realitas dunia sosial yang mengejawantah, merupakan pengalaman hidup yang bisa dijadikan sebagai dasar seseorang untuk membentuk pengetahuan atau mengkonstruksi sesuatu. Realitas sosial, juga mengharuskan seseorang untuk memberikan responnya. Respon


(52)

seseorang terhadap pranata-pranata sosial yang ada, bisa berupa penerimaan, penyesuaian maupun penolakan. Bahasa dan tindakan merupakan sarana bagi seseorang untuk mengkonstruksi dunia sosio-kulturalnya melalui momen eksternalisasi ini. secara sederhana momen eksternalisasi dapat dipahami sebagai proses visualisasi atau verbalisasi pikiran dari dimensi batiniah ke dimensi lahiriah. Eksternalisasi merupakan proses pengeluaran gagasan dari dunia ide ke dunia nyata. Dalam momen eksternalisasi, realitas sosial ditarik keluar individu. Didalam momen ini, realitas sosial berupa proses adaptasi dengan tekstekssuci, kesepakatan ulama, hukum, norma, nilai dan sebagainya yang hal itu berada diluar diri manusia. sehingga dalam proses konstruksi sosial melibatkan momen adaptasi diri atau diadaptasikan antara teks tersebut dengan dunia sosio-kultural. Adaptasi tersebut dapat melalui bahasa, tindakan dan pentradisian yang dalam khazanah ilmu sosial disebut interpretasi atas teks atau dogma. Karena adaptasi merupakan proses penyesuaian berdasar atas penafsiran, maka sangat dimungkinkan terjadinya variasi-variasi adaptasi dan hasil adaptasi atau tindakan pada masing-masing individu.

2). Proses Sosisial Momen Objektivasi

Obyektivasi ialah proses mengkristalkan kedalam pikiran tentang suatu obyek, atau segala bentuk eksternalisasi yang telah dilakukan dilihat kembali pada kenyataan di lingkungan secara obyektif. Jadi dalam hal ini


(53)

bisa terjadi pemaknaan baru ataupun pemaknaan tambahan. Proses objektivasi merupakan momen interaksi antara dua realitas yang terpisahkan satu sama lain, manusia disatu sisi dan realitas sosiokultural disisi lain. kedua entitas yang seolah terpisah ini kemudian membentuk jaringan interaksi intersubyektif. Momen ini merupakan hasil dari kenyataan eksternalisasi yang kemudian mengejawantah sebagai suatu kenyataan objektif yang sui generis, unik.

Pada momen ini juga ada proses pembedaan antara dua realitas sosial, yaitu realitas diri individu dan realitas sosial lain yang berada diluarnya, sehingga realitas sosial itu menjadi sesuatu yang objektif. Dalam proses konstruksi sosial, proses ini disebut sebagai interaksi sosial melalui pelembagaan dan legitimasi. Dalam pelembagaan dan legitimasi tersebut, agen bertugas menarik dunia subyektifitasnya menjadi dunia obyektif melalui interaksi sosial yang dibangun secara bersama. Pelembagaan akan terjadi manakala terjadi kesepahaman intersubjektif atau hubungan subjek-subjek.18

Selain itu, obyektivitas dunia kelembagaan adalah obyektivasi yang dibuat dan dibangun oleh manusia. proses dimana produk-produk aktivitas manusia yang dieksternalisasikan itu memperoleh sifat obyektive adalah obyektivitas. Dunia kelembagaan merupakan aktivitas manusia yang diobjektivasikan dan begitu pula halnya dengan setiap

18


(54)

lembaganya.19masyarakat adalah produk dari manusia. Berakar dalam fenomena eksternalisasi yang pada gilirannya didasarkan pada konstruksi biologis manusia itu. Transformasi produk-produk ini kedalam suatu dunia tidak saja berasal dari manusia, tetapi yang kemudian menghadapi manusia sebagai suatu faktasitas diluar dirinya, adalah diletakkan dalam konsep obyektivitas. Dunia yang diproduksi manusia yang berada diluar sana memiliki sifat realitas yang obyektif. Dan dapat juga dikatakan bahwa masyarakat merupakan aktivitas manusia yang diobyektivasikan.20

Didalam konstruksi sosial momen ini terdapat realitas sosial pembeda dari realitas lainnya. objektivasi ini terjadi karena adanya proses eksternalisasi. Ketika dalam proses eksternalisasi semua cirri-ciri dan simbol dikenal oleh masyarakat umum.

3. Proses Sosial Momen Internalisasi

Internalisasi adalah individu-individu sebagai kenyataan subyektif menafsirkan realitas obyektif. Atau peresapan kembali realitas oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia obyektif kedalam struktur-struktur dunia subyektif. Pada momen ini,individu akan menyerap segala hal yang bersifat obyektif dan kemudian akan direalisasikan secara subyektif. Internalisasi ini

19

Peter L. Berger & Thomas Lukhmann. Tafsir Sosial atas Kenyataan. (Jakarta: LP3ES, 1190), 87.

20

Peter L. Berger, Langit Suci (Agama Sebagai Realitas Sosial), (Jakarta: LP3ES,1991),


(55)

berlangsung seumur hidup seorang individu dengan melakukan sosialisasi. Pada proses internalisasi, setiap indvidu berbeda-beda dalam dimensi penyerapan. Ada yang lebih menyerap aspek ekstern, ada juga juga yang lebih menyerap bagian intern. Selain itu, selain itu proses internalisasi dapat diperoleh individu melalui proses sosialisasi primer dan sekunder.

Sosialisasi Primer merupakan sosialisasi awal yang dialami individu masa kecil, disaat ia diperkenalkan dengan dunia sosial pada individu. Sosialisasi sekunder dialami individu pada usia dewasa dan memasuki dunia publik, dunia pekerjaan dalam lingkungan yang lebih luas. Sosialisasi primer biasanya sosialisasi yang paling penting bagi individu, dan bahwa semua struktur dasar dari proses sosialisasi sekunder harus mempunyai kemiripan dengan struktur dasar sosialisasi primer.21

Dalam proses sosialisasi, terdapat adanya significant others dan

juga generalized others. Significant others begitu significant perannya

dalam mentransformasi pengetahuan dan kenyataan obyektif pada individu. Orang-orang yang berpengaruh bagi individu merupakan agen utama untuk mempertahankan kenyataan subyektifnya. Orang-orang yang berpengaruh itu menduduki tempat yang sentral dalam mempertahankan kenyataaan. Selain itu proses internalisasi yang disampaikan Berger juga menyatakan identifikasi. Internalisasi berlangsung dengan berlangsungnya

21

Peter L. Berger & Thomas Lukhmann. Tafsir Sosial atas Kenyataan. (Jakarta: LP3ES, 1190)188


(56)

identifikasi. Si anak mengoper peranan dan sikap orang-orang yang mempengaruhinya. Artinya ia menginternalisasi dan menjadikannya peranan atas sikapnya sendiri. Dalam akumulasi proses pengenalan dunianya, si anak akan menemukn akumulasi respon orang lain terhadap tindakannya. Dimana si anak mulai mengeneralisasi nilai dan norma atas akumulasi respon orang lain ini. abstraksi dari berbagai peranan dan sikap orang-orang yang secara konkrit berpengaruh dinamakan orang lain pada umumnya (generalized others).22

Adapun fase terakhir dari proses internalisasi ini adalah terbentuknya identitas. Identitas dianggap sebagai unsure kunci dari kenyataan subyektif, yang juga berhubungan secara dialektis dengan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu memperoleh wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi, atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosial. Bentuk-bentuk proses sosial yang terjadi mempengaruhi bentuk identitas seorang individu, apakah identitas itu dipertahankan, dimodifikasi atau bahkan dibentuk ulang. Identitas merupakan suatu fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dengan masyarakat.23

Ketiga proses yang ada tersebut akan terus berjalan dan saling berkaitan satu sama yang lain, sehingga pada prosesnya semua kan

22

Ibid, 189-191.

23


(57)

kembali ke tahap internalisasi dan begitu seterusnya. Hingga individu dapat membentuk makna dan perilaku baru apabila terdapat nilai-nilai baru yang terdapat didalamnya.

Berdasarkan penjelasan dari teori Peter L.Berger dan Thomas Lukhmann. Maka dapat diketahui bahwa individu merupakan produk sekaligus pencipta pranata sosial. Melalui aktivitas kreatifnya, manusia mengkonstruksikan masyarakat dan berbagai aspek lainnya dari kenyataan sosial. Kenyataan sosial yang diciptakannya itu lalu mengkonfrontasi individu sebagai kenyataan eksternal dan obyektif. Individu lalu menginternalisasikan kenyataan ini sedemikian rupa sehingga menjadi bagian dari kesadarannya. Bahwa diluar sana terdapat dunia sosial obyektif yang membentuk individu-individu, dalam arti manusia adalah produk dari masyarakatnya. Realitas yang obyektif ini dipantulkan oleh orang lain dan diinternalisir melalui proses sosialisasi oleh individu pada masa kanak-kanak, dan disaat mereka dewasa merekapun tetap menginternalisir situasi-situasi baru yang mereka temui dalam dunia sosialnya. Oleh karena itu dalam memahami suatu konstruksi sosial diperlukan tiga tahapan penting yaitu eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.

Peneliti memilih teori konstruksi sosial atas realitas Peter Berger dan Thomas Lukhmann karena pada dasarnya konsep yang dikemukakan dalam teori tersebut sangat relevan dengan realitas yang hendak dikaji


(58)

oleh peneliti. Peneliti hendak melakukan pengkajian secara mendalam terhadap upaya mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an dalam mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an tentang kehidupan sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya.Sedangkan Berger telah mengemukakan bahwa pada dasarnyarealitas yang terdapat didalam masyarakat adalah dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri.

objektif dan subyektif. Ada dua hal yang menonjol melihat realitas peran media dalam dimensi objektif yakni pelembagaan dan legitimasi.Pelembgaan dalam perspektif Berger terjadi mulanya ketika semua kegiatan manusia mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi, dan dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi apabila suatu tipikasi yang timbal-balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan kata lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu lembaga.24

Sementara legitimasi menghasilkan makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat obyektivasi yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan masuk akal secara subyektif. Hal ini

24Ibid


(59)

mengacu kepada dua tingkat, pertama keseluruhan tatanan kelembagaan harus bisa dimengerti secara bersamaan oleh para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan yang berbeda. Kedua keseluruhan individu (termasuk di dalam media), yang secara berturut-turut melalui berbagai tatanan dalam tatanan kelembagaan harus diberi makna subyektif. Masalah legitimasi tidak perlu dalam tahap pelembagaan yang pertama, dimana lembaga itu sekedar fakta yang tidak memerlukan dukungan lebih lanjut . Tapi menjadi tak terelakan apabila berbagai obyektivasi tatanan kelembagaan akan dialihkan kepada generasi baru. Di sini legitimasi tidak hanya sekedar soal “nilai-nilai” ia juga selalu mengimplikasikan “pengetahuan”

Adapun penelitian yang saya berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi maknadan konsep penting dalam kerangkaintersubyektivitas(pemahamankitamengenaiduniadibentuk oleh hubungan kitadengan oranglain. Bagaimana seorang hafidz yang terkumpul dalam unit kegiatan mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an yang pada hakikatnya memiliki pemahamann lebih mengenai nilai-nilai tentang kehidupan sosial yang terkandung dalam al-Qur’an dan bagaimana para tahfidz mengamalkan ilmu Al-qur’an mereka dimasyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep Peter L berger yang pertama yakni Eksternalisasi yang berarti menyesuaikan diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk-manusia.


(1)

Sesorang penghafal Qur’an telah memiliki banyak pengetahuan mengenai semua isi kandungan dari dalam al-Qur’an, namun untuk menyampaikan ke dalam masyarakat luas bukan perkara yaang mudah, dan masih membutuhkan wawasan yang lebih luas. Sehingga mahasiswa penghafal Qur’an melakukan proses internalisasi di antaranya dengan cara melakukan suatu perkumpulan dengan orang-orang yaang di anggap lebih berpengalaman dan memiliki wawasan yang lebih luas sehingga bisa mengambil manfaat dari pengalaman untuk di terapkan di dalam kehidupanya.


(2)

98

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Setiap mahasiswa penghafal Qur’an yang tergabung dalam UPTQ memiliki cara yang berbeda dalam mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an tentang kehidupan sosial. Upaya yang di lakukan oleh para penghafal al-Qur’an di antaranya ialah:

1. Melalui interaksi secara langsung

Interaksi ini biasanya di lakukan kepada orang terdekat yang sekiranya melakukan kesalahan agar menyadari apa yang di perbuatnya merupan suatu hal yang kurang benar, namun cara menyadarkanya tidak langsung pada pokok permasalahan, langsung menilai salah sehingga membuat orang lain merasa tidak nyaman dan tersinggung. Namun melalui pendekatan terlebih dahulu, mengikuti alur yang harus dijalani, menjadikan orang lain nyaman dan merasa diperdulikan, menarik dari keramaian dan membicarakanya secara pribadi, kemudian mulai membicarkan dengan cara yang baik dan dengan kat-kata yang halus dan mudah dipahami, sehingga tujuan untuk menyadarkanya dapat di terima dengan baik.

2. Melalui media sosial

Mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an lebih mudah dilakukan kepada orang-oarang yang berada dalam satu lingkungan. Namun bukan berarti


(3)

orang yang tidak berada dalam satu lingkungan. Para penghafal Qur’an memiliki cara tersendiri untuk tetap mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an meski tidak berada dalam satu lingkungan, yakni dengan memanfaatkan media sosial, seperti Whats App, instagram, facebook dan lain sebagainya. Media sosial tersebut di manfaatkan oleh para penghafal Qur’an untuk memposting suatu berita, artikel, yang mengandung nilai-nilai al-Qur’an dengan tujuan agar pembaca bisa mengambil manfaat dari postingan tersebut.

3. Melalui kegiatan sosial

Kegiatan yang selama ini sudah dilakukan oleh para penghafal al-Qur’an sebagai sarana untuk mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an diantara adalah, melakukan bakti sosial. Selain mengajarkan sifat berbagi, dengan bakti sosial bisa membantu meringankan beban orang lain.

4. Melalui organisasi

Dalam berorganisasi banyak sekali manfaat yang bisa di peroleh, diantaranya adalah bisa memperluas jaringan, mengisi waktu luang, memberikan pengalaman dan menambah wawasan. Banyak dari mahasiswa pengahafal Qur’an yang memanfaatkan kegiatan organisasi untuk mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an, yakni dengan mengadakan kajian atau diskusi bersama, mengadakan khataman, tadarus al-Qur’an, tadabbur alam dan mengadakan seminar.


(4)

100

5. Menjadi pengajar

Banyak mahasiswa penghafal Qur’an yang mengajarkan ilmunya melalui lembaga pendidikan, seperti mengajar TPQ untuk anak-anak kecil, yang merupakan suatu penanaman nilai-nilai al-Qur’an pada anak usia agar menjadi generasi Qur’ani. Mengajar tidak harus dalam lembaga resmi saja, namun bisa di mana saja, kapan saja dan mengajar pada siapa saja. Mahasiswa penghafal Qur’an tidak hanya mengajar di TPQ namun juga mengajak teman-teman sebaya untuk mengaji dirumah, dan mengajarkan para pekerja seks komersial tentang nilai-nilai dalam kehidupan.

B. SARAN

Bagi seorang peghafal al-Qur’an diharapakan bisa memberikan peran untuk masyarakat secara luas. Karena di zaman ini sudah banyak masayarat yang di jauh dengan al-Qur’an. jika berdekatan dengan al-Qur’an sudah merupakan hal yang asing bagaimana bisa memahami makna yang terkandung di dalamnya dan bagaimana bis mengaplikasikanya di dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu bagi seorang penghafal al-Qur’an yang selalu berteman baik dengan al-Qur’an, yang banyak mengetahui makna al-Qur’an di harapkan untuk selalu berupaya dalam menanamkan kecintaan masyrakat kepada al-Qur’an mulai dari yang kecil hingga yang tua, agar menjadikan masyarakat yang selalu menjaga kebaikan, dan menghindarkan dari segala keburukan demi kesejahteraan bersama.


(5)

Addimyathi. I’anatuth Tholibin. Semarang: Thaha Putra. 1298H.

Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta:Granit. 2004. al-Qaththan, Shaikh Manna’. Pengantar Studi Al-qur’an. Jakarta: Pustaka al

Kautsar, 2006.

Alwi, Hasan. et.al, (ed), “upaya”. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2007.

Ash-Shalih, Subhi. Membahas ilmu-ilmu al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Fidaus. 1993.

Berger, Peter L.. Langit Suci (Agama Sebagai Realitas Sosial). Jakarta: LP3ES. 1991.

Berger, Peter L. & Thomas Lukhmann. Tafsir Sosial atas Kenyataan.. Jakarta: LP3ES. 1190.

Bertens, Kees. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. 1999.

Bungin, Burhan. Konstruksi Sosial Media Massa:Kekuatan Pengaruh Media

Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Jakarta: Kencana. 2008.

Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif . Jakarta: Prenada Media Group. 2007. Hafizh, Abdul Azis Abdul Rauf Al . Kiat Sukses Menjadi Hafizh Qur’an

Da’iyah. Bandung: PT. Syaamil Cipta Media. 2004.

Hendri, Ari. Mukjizat Al-Qur’an. Jakarta: CV. Artha Rivera. 2008.

Moleong, Lexy J.. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. 2009.


(6)

Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran pendidikan islam. Bandung: Trigenda Karya, 1993.

Polomo, Margaret M.. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press. 2010. Purwadarminta, W.JS.. Kamus Umum Bahasa indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

1999.

Thoha, HM. Chabib. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.

Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi Program Studi Sosiologi 2015. Surabaya: FISIP UINSA. 2015.

Subarkah, Andi. Cordova Al-Qur’an dan Terjemah. Bandung: Syamil Qur’an. 2012.

Suparno. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:Kanisius. 1997. Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara. 2005.