Dyadic Coping dan Kepuasan Pernikahan Pasangan Suami Istri dengan Suami Diabetes Melitus tipe II.

(1)

i

DYADIC COPING DAN KEPUASAN PERNIKAHAN

PASANGAN SUAMI ISTRI DENGAN SUAMI DIABETES

MELITUS TIPE II

SKRIPSI

Diajukan Kepada program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-Syarat Guna memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

IDA AYU INTAN YULIANA

1102205014

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(2)

ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

DYADIC COPING DAN KEPUASAN PERNIKAHAN

PASANGAN SUAMI ISTRI DENGAN SUAMI DIABETES MELITUS TIPE II

OLEH:

IDA AYU INTAN YULIANA 1102205014

Telah disetujui untuk diuji oleh:

Denpasar, 6 Januari 2016 Pembimbing,


(3)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Dipertahankan di depan Panitia Ujian Skripsi Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian dari

Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Pada Tanggal:

_________________________________________________________________________

Mengesahkan Program Studi Psikologi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Dekan,

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT (K). M. Kes

Tim Penilai: Tanda Tangan

1. Tience Debora Valentina, S.Psi., M.A,Psi

Pembimbing

____________ 2. Dr. Ni Made Swasti Wulanyani, S.Psi, M.Erg,Psi

Ketua Penguji

____________ 3. Luh Made Karisma Sukmayanti, S.Psi., M.A

Sekretaris Penguji

____________ 4. Ni Made Ari Wilani, S.Psi.,M.Psi

Anggota Penguji


(4)

iv MOTTO

Every action has a reaction, every act has a consequence, and every kindness has kind reward”


(5)

v

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini kupersembahkan pada Ajik, Ibu, Gek mirah, Gek liana, Gerk mas

serta


(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya ida ayu intan yuliana, dengan disaksikan oleh tim penguji skripsi, dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh derajat kesarjanaan disuatu perguruan tinggi dimanapun. Dan sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan ini dicabut.

Denpasar, 5 Januari 2016 Yang menyatakan,

Ida Ayu Intan Yuliana (1102205014)


(7)

vii

DYADIC COPING DAN KEPUASAN PERNIKAHAN PASANGAN SUAMI ISTRI

DENGAN SUAMI DIABETES MELITUS TIPE II Ida Ayu Intan Yuliana

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

idaayuintanyuliana@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan dyadic coping dengan kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II. Dyadic coping

merupakan proses interpersonal yang melibatkan kedua pasangan dalam hubungan pernikahan ( Bodenmann, 2005), dyadic coping diukur dengan menggunakan skala dyadic coping. Kepuasan pernikahan merupakan evaluasi terhadap area- area dalam pernikahan yang mencakup komunikasi, kegiatan mengisi waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan , hubungan seksual, keluarga dan teman, kesetaraan peran serta pengasuhan anak (Olson & Olson, 2000), kepuasan pernikahan diukur dengan menggunakan skala kepuasan pernikahan. Metode penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan subjek penelitian adalah pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II, menikah dengan usia pernikahan minimal 5 tahun, dan tidak sedang terbaring sakit jumlah subjek sebanyak 80 orang (n=80). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan purposive sampling. Analisis statistik yang digunakan adalah uji regresi sederhana. Hasil analisis uji regresi sederhana menunjukan nilai signifikan 0,001 (p<0,05). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara dyadic coping dengan kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II. Nilai koefisien korelasi dalam penelitian ini adalah 0,380 (r = 0,380) yang berarti bahwa tingkat hubungan yang dimiliki berada pada katagori rendah dengan nilai R square sebesar 0,144 yang menunjukan sumbangan efektif dari dyadic coping terhadap kepuasan pernikahan yaitu sebesar 14,4% sisanya yaitu sebesar 85,6% merupakan sumbangan faktor lain seperti usia pernikahan, penghasilan bulanan, dan pendidikan.


(8)

viii

DYADIC COPING AND MARITAL SATISFACTION AMONG COUPLE WITH HUSBAND

DIABETES MELLITUS TYPE II Ida Ayu Intan Yuliana

Department of Psychology, Medical Faculty, Udayana University

idaayuintanyuliana@yahoo.com

ABSTRACT

This study was conducted to examine the relationship between dyadic coping and marital satisfaction in couples with husband diabetes mellitus type II. Dyadic coping is an interpersonal process that involves both partners in a marriage relationship (Bodenmann, 2005), dyadic coping were measured using dyadic coping scale. Marital satisfaction is an evaluation of the areas in marriage that includes communication, leisure activities, religious orientation, conflict resolution, financial management, sexual relationships, family and friends, equalitarian roles, and parenting styles (Olson & Olson, 2000), marital satisfaction measured using marital satisfaction scale. This research method is quantitative method with the research subjects were married couples with husband diabetes mellitus type II, married with a minimum marriage age of 5 years, and not being bedridden (n = 80). Technique sampling in this research is purposive sampling. The data were analyzed using simple linear regression . The results of simple linear regression show that the value of significant level 0.001 (p <0.05). The results analysis of this research showed that there is a significant correlation between dyadic coping and marital satisfaction among couples with husband diabetes mellitus type II. The correlation coefficient was 0.380 (r = 0.380) which means that the relationship is held in low category with a value of R square of 0.144 which shows the effective contribution of dyadic coping of marital satisfaction that is equal to the remaining 14.4% is equal to 85 , 6% is the contribution of other factors such as the age of marriage, monthly income, and education.


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan karuniaNya yang diberikan pada peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Dyadic

Coping Dan Kepuasan Pernikahan Pasangan Suami Istri Dengan Suami Diabetes

Melitus Tipe II”.

Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam pengerjaan skripsi ini. Namun berkat doa, bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.

Melalui kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, SpOT (K). M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Ibu Dra. Adijanti Marheni, M.Si., Psi. selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

3. Ibu Putu Nugrahaeni Widiasavitri , S.Psi., M.Psi, Psi selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing, mengarahkan dan selalu bersedia mendengarkan keluhan peneliti dari awal kuliah hingga saat ini.

4. Ibu Tience Debora Valentina, S.Psi., M.A, Psi. selaku dosen pembimbing terbaik yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan kesabaran dalam membimbing, memberi saran dan dorongan serta mendengar berbagai keluh kesah yang tak terhitung banyaknya hingga skripsi ini dapat diselesaikan

5. Ibu Dr. Ni Made Swasti Wulanyani, S.Psi, M.Erg selaku ketua penguji yang telah mendukung dan memberikan tambahan ilmu dan perbaikan dalam revisi untuk membuat skripsi ini menjadi lebih baik lagi.

6. Ibu Luh Made Karisma Sukmayanti, S.Psi., M.A, Psi selaku sekretaris penguji yang telah bersedia mendukung dan memberikan tambahan ilmu dan perbaikan dalam revisi untuk membuat skripsi ini menjadi lebih baik lagi.


(10)

x

7. Ibu Ni Made Ari Wilani, S.Psi.,M.Psi selaku anggota penguji yang telah bersedia mendukung dan memberikan tambahan ilmu dan perbaikan dalam revisi untuk membuat skripsi ini menjadi lebih baik.

8. Seluruh Dosen Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah membagikan ilmu dan pengalaman selama menempuh pendidikan empat tahun terakhir ini kepada peneliti.

9. Seluruh staf TU (Tata Usaha) Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah banyak membantu peneliti dalam segala urusan administrasi dan birokrasi.

10.Ajik Ida Bagus Suteja, ibu Ida Ayu Puspaningsih, adik- adiku Mirah Adriana, Liana Berliana, Mas Praba Isnayana yang telah memberikan dukungan dan semngat kepada penulis.

11.Sahabatku tersayang Ida Bagus Suryadnyana, S.T.Han yang selalu mendukung dan memberi semangat.

12.Teman-Temanku Tersayang, Made Yuli Pratiwi, Dwi Rusandi, Tania Lita Devi, Tiara Carina, Nisha Amanda, Widya Dharma, Adelia Surya Anjani, Opi Berata, Wiwin Fitriya Dan Teman-Teman CKB Yang Selalu Mendukung.

13.Teman satu bimbingan Oshel, yang mau diajak berdiskusi serta memberikan saran- saran agar skripsi ini dapat lebih disempurnakan serta semua teman Zestrivida- psikologi 2011 yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

14.Berbagai pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu yang telah membantu peneliti selama ini.

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu peneliti mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kebaikan peneliti di masa datang. Semoga karya sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan almamater pada khususnya.

Denpasar, Januari 2016 Penulis


(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………... LEMBAR PENGESAHAN ………. MOTTO ……….... PERSEMBAHAN ……… PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. ABSTRAK ………...

ABSTRACT ………...

KATA PENGANTAR ………. DAFTAR ISI ……… DAFTAR GAMBAR ………... DAFTAR TABEL ……… DAFTAR LAMPIRAN ………

I ii iii iv v vi vii viii ix xi xiii xiv xv BAB I PENDAHULUAN ………

A. Latar Belakang Masalah ………. B. Rumusan Masalah ………... C. Tujuan Penelitian ………...……….

D. Manfaat Penelitian …..………

E. Keaslian Penelitian ……….. 1 1 7 7 7 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….

A. Kepuasan Pernikahan……….. 1. Definisi Kepuasan Pernikahan…….………….……….. 2. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan……… 3. Aspek- Aspek Kepuasan Pernikahan………...………... B. Dyadic Coping……….……….………..

1. Definisi Dyadic Coping………….……….……

2. Faktor yang Mempengaruhi Dyadic Coping………..

3. Aspek- Aspek Dyadic Coping...……….. C. Diabetes Melitus Tipe II…...………...

1. Definisi Diabetes Melitus Tipe II………... 2. Dampak Diabetes Melitus Tipe II……….

D. Dinamika Antar Variabel………....…………

E. Hipotesis Penelitian……….

11 11 12 14 12 19 19 20 21 24 24 25 27 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………

A. Identifikasi Variabel Penelitian ……….. 1. Variabel Bebas ………....……… 2. Variabel Tergantung ………..………. B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ………... 1. Dyadic Coping……….………...

2. Kepuasan Pernikahan………….………. C. Subjek Penelitian ……… D. Metode Pengumpulan Data ……… 1. Pengukuran Dyadic Coping...………...………...

31 31 31 31 32 32 32 33 34 34


(12)

xii

2. Pengukuran Kepuasan Pernikahan …………...……….. E. Validitas dan Reliabilitas ………

1.Validitas……..………...

2. Reliabilitas ………...

F. Metode Analisis Data ……….. 1. Uji Asumsi Penelitian………..

a. Uji Normalitas ……….

b. Uji Linearitas ………..

c. Uji Hipotesis………...

35 36 37 37 38 38 38 39 39

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….

A. Persiapan Penelitian ……… 1. Uji Coba Instrumen Penelitian …………...………. 2. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ………. B. Pelaksanaan Penelitian ……… C. Analisis Data dan Hasil Penelitian ……….

1. Karakteristik Subjek ………... 2. Deskripsi dan Kategorisasi Data Penelitian ………....

3. Uji Asumsi Penelitian ……….

a. Uji Normalitas ……….

b. Uji Linearitas ………... 4. Uji Hipotesis ………... 5. Uji Analisis Data Tambahan……… D. Pembahasan ………

40 40 40 41 47 48 48 53 56 56 56 57 60 66 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………...

A. Kesimpulan ……….

B. Saran ………...

1. Saran Praktis ………... 2. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya …..………

73 73 74 74 74

DAFTAR PUSTAKA ……….. 75


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Diagram Hubungan Dyadic Coping dengan Kepuasan


(14)

xiv DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20 Tabel 21 Tabel 22 Tabel 23 Tabel 24 Tabel 25 Tabel 26 Tabel 27 Tabel 28 Tabel 29 Tabel 30 Tabel 31 Tabel 32 Tabel 33 Tabel 34 Tabel 35 Tabel 36 Tabel 37 Tabel 38 Tabel 39 Tabel 40

Blue Print Dyadic Coping………...………...

Blue Print Kepuasan Pernikahan ……...………...…….…….. Indeks Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala Kepuasan

Pernikahan………... Sebaran Skala Kepuasan Pernikahan Sebelum Diuji Kesahihan…………... Spesifikasi Skala Kepuasan Pernikahan yang Sudah Diuji

Keabsahannya………. Indeks Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala Dyadic

Coping…...………... Sebaran Skala Dyadic CopigSebelum Diuji Kesahihan………

Spesifikasi Skala Dyadic Coping yang Sudah Diuji Keabsahannya……….. Komposisi Berdasarkan Usia………..…………...……….... Komposisi Berdasarkan Jenis Kelamin .……… Komposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan………. Karakteristik Subjek Berdasarkan Pekerjaan………...……….. Karakteristik Subjek Berdasarkan Jumlah Anak……… Karakteristik Subjek Berdasarkan Lingkungan Tempat Tinggal…………... Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia Pernikahan ………... Karakteristik Subjek Berdasarkan Penghasilan Bulanan ………... Karakteristik Subjek Berdasarkan Lama Pasangan atau Anda Menderita DM………... Karakteristik Subjek Berdasarkan Waktu Liburan Bersama Pasangan……. Karakteristik Subjek Berdasarkan Frekuensi Berhubungan Seksual……….

Deskriptif Statistik hasil pengukuran……….

Mean Empiris Dan Mean Teoritik………. Norma Katagori Skor ……… Katagorisasi Kepuasan Pernikahan ………... Katagorisasi Skala Dyadic Coping ………

Uji Normalitas……… Uji Linieritas……….. Sumbangan Dyadic Coping dengan Kepuasan pernikahan……….... Hasil Uji Regresi Dyadic coping Dan kepuasan Pernikahan ……… Hasil Uji Signifikansi Parameter kemandirian Dyadic Coping dan

Kepuasan Pernikahan………. Perbedaan Kepuasan Pernikahan Berdasarkan Usia Pernikahan…………... Perbedaan Kepuasan Pernikahan Berdasarkan lama Pasangan/ Individu Terdiagnosa Diabetes………. Perbedaan Kepuasan Pernikahan Berdasarkan Penghasilan Bulanan……... Perbedaan Kepuasan Pernikahan Berdasarkan Frekuensi berhubungan Seksual……….. Perbedaan Kepuasan Pernikahan Berdasarkan Jenis Kelamin………. Perbedaan Kepuasan Pernikahan Berdasarkan Usia………. Perbedaan Kepuasan Pernikahan Berdasarkan Pendidikan………... Perbedaan Kepuasan Pernikahan Berdasarkan Pekerjaan……….. Perbedaan Kepuasan Pernikahan Berdasarkan Jumlah Anak……… Perbedaan Kepuasan Pernikahan Berdasarkan Status Tempat Tinggal…….

Perbedaan Kepuasan Pernikahan Berdasarkan Waktu Liburan Bersama…..

35 36 42 44 45 46 47 47 48 49 49 49 50 50 50 51 51 52 52 53 53 54 55 55 56 57 58 58 59 60 61 61 62 63 63 64 64 65 65 66


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Uji Coba………..……… Lampiran 2 Skala Penelitian……….……….……….… Lampiran 3 Tabulasi Data Uji Coba Skala Penelitian ...………. Lampiran 4 Output uji coba Skala Penelitian…………..…….….………. Lampiran 5 Tabulasi Data Penelitian ………... Lampiran 6 Outpit data Penelitian………..……… Lampiran 7 Hasil analis Tambahan………

80 90 98 105 114 123 130


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem Kesehatan Nasional menyatakan bahwa segala upaya dalam pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk mencapai derajat kesehatan yang lebih tinggi yang memungkinkan orang hidup lebih produktif baik sosial maupun ekonomi. Meningkatnya status sosial dan ekonomi, pelayanan kesehatan masyarakat, perubahan gaya hidup, bertambahnya umur harapan hidup, menyebabkan Indonesia mengalami pergeseran pola penyakit dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular, hal ini dikenal dengan transisi epidemiologi. Salah satu penyakit tidak menular yang mengalami peningkatan adalah Diabetes Melitus (Depkes RI,2007). Diabetes melitus yang sering disebut dengan kencing manis adalah suatu sindrom atau penyakit akibat kekurangan atau hilangnya keberfungsian hormon insulin sehingga menyebabkan tingginya kadar glukosa di dalam darah (Badawi, 2009). Diabetes melitus atau yang biasa disebut DM merupakan suatu gangguan kronis yang ditandai dengan metabolisme karbohidrat dan lemak yang relatif kekurangan insulin. Diabetes melitus diklasifikasikan menjadi Diabetes Melitus Tipe I Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), diabetes melitus Tipe II Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) dan diabetes dalam kehamilan atau Gestational Diabetes Mellitus (GDM) (Bilous dan Donelly, 2010).

Jumlah individu dengan diabetes melitus di dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah populasi yang meningkat (Depkes RI,2010). Survey yang dilakukan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO), jumlah individu dengan diabetes melitus di dunia pada tahun 2000 tercatat 175,4 juta orang, dan mengalami peningkatan pada


(17)

tahun 2010 menjadi 279,3 juta orang. Jumlah individu dengan diabetes melitus di Indonesia pada tahun 2000 terdapat 8,4 juta orang, jumlah tersebut menempati urutan ke-4 terbesar didunia. (Depkes RI, 2008). Dari 33 Provinsi di Indonesia Bali termasuk dalam sepuluh besar Provinsi dengan kasus diabetes terbanyak, jumlah individu dengan diabetes melitus di Provinsi Bali pada tahun 2011 sebanyak 2.210 orang dan jumlah ini akan meningkat setiap tahunnya (Depkes Provinsi Bali, 2014). Tingginya jumlah penderita diabetes melitus di Bali tidak terlepas dari pola makan dan gaya hidup masyarakat Bali. Dari Sembilan kabupaten/ kota dibali kasus yang menonjol terjadi di kabupaten Badung, kabupaten Gianyar, dan kota Denpasar hal tersebut dikarenakan ketiga kabupaten tersebut merupakan daerah pariwisata sehingga terjadi relevansi antara tingkat penghasilan dan pola makan yang mempengaruhi gaya hidup masyarakat setempat (www.Antarabali.com)

Umumnya diabetes melitus disebabkan kelainan endokrin yang ditandai dengan tingginya gula darah. Beberapa faktor pemicu seperti pola makan yang berlebihan dan melebihi jumlah kalori yang dibutuhkan. Konsumsi makanan yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan sekresi insulin dalam jumlah yang cukup dapat menyebabkan kadar glukosa darah meningkat dan akan menyebabkan diabetes melitus. Faktor genetis juga merupakan penyebab dari diabetes melitus, karena diabetes melitus dapat diwariskan dari orangtua kepada anak. Pola hidup juga sangat mempengaruhi faktor penyebab diabetes melitus jika individu malas berolahraga memiliki risiko tinggi untuk terkena penyakit diabetes melitus karena olah raga berfungsi untuk membakar kalori berlebihan didalam tubuh. Kalori yang tertimbun di dalam tubuh merupakan faktor utama penyebab diabetes melitus selain kerusakan pankreas (Hasdianah, 2012).

Diabetes melitus tipe I disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil atau sebagian besar sel-sel betha dari pankreas yang berfungsi dalam menghasilkan insulin. Diabetes melitus tipe I


(18)

sebagian besar terjadi sebelum usia 30 tahun dan diabetes melitus tipe I diperkirakan terjadi sekitar 5% hingga 10% dari seluruh kasus diabetes melitus yang ada. Diabetes melitus tipe 2 disebebkan karena terjadinya penurunan kemampuan insulin selain itu pada diabetes melitus tipe II juga dapat disebabkan oleh obesitas dan kekurangan olahraga, diabetes melitus tipe II sebagian besar terjadi pada usia lebih dari 65 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Admin (2011) menyebutkan bahwa pria memiliki faktor risiko lebih besar terkena diabetes dari pada wanita. Jenis diabetes melitus lainnya yaitu diabetes melitus dalam kehamilan (gestational diabetes melitus), yang merupakan kehamilan yang disertai dengan peningkatan insulin resistance. Pada umumnya ditemukan pada kehamilan trisemester ke dua atau ketiga.

Di Indonesia persentase diabetes melitus tipe II mencapai 85% hingga 90% dari total penderita diabetes melitus. Penyakit kronis, seperti diabetes dapat memberikan dampak yang cukup besar dalam kehidupan, seperti kemungkinan komplikasi di masa depan. Komplikasi yang terjadi adalah stroke, jantung, dan dapat menyebabkan gangguan pengelihatan akibat kerusakan retina mata selain kemungkinan komplikasi dimasa depan, dampak yang cukup besar adalah perubahan gaya hidup (Badawi, 2009). Perubahan gaya hidup yang terjadi pada individu dengan diabetes adalah individu dengan diabetes diharuskan untuk melakukan diet yaitu dengan mengurangi kalori dan mengkonsumsi vitamin, melakukan aktifitas fisik seperti berolahraga dengan teratur dan mengkonsumsi obat atau insulin setiap harinya (Hasdianah, 2012). Perubahan gaya hidup dan komplikasi pada individu dengan diabetes melitus tersebut dapat menimbulkan dampak psikologis seperti stres. Seseorang dengan diabetes melitus dapat menunjukan reaksi psikologis negatif diantaranya marah, merasa tidak berguna, cemas, dan depresi (Tjokroprawiro, 1989). Dampak sosial yang dialami oleh individu dengan diabetes seperti stigmatisasi dan isolasi


(19)

dalam kelompok sosialnya (Byod, 2011), perubahan lainnya yang terjadi adalah meningkatnya pengeluaran sehari- hari serta penurunan kegiatan rekreasi (WHO, 1998).

Permasalahan kesehatan salah satu anggota keluarga bukan hanya permasalahan individu saja melainkan permasalahan seluruh anggota keluarga karena berdampak pada kebahagiaan keluarga dimana bagi sebuah keluarga, penyakit adalah masalah yang sangat berat. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Lazarus & Folkman (1984) menjelaskan bahwa permasalahan kesehatan anggota keluarga menempati urutan kesebelas dari empat puluh tiga kejadian dalam hidup yang membuat stres.

Apabila suami menderita penyakit diabetes akan mengakibatkan permasalahan dalam keluarga karena kesehatan suami sangat vital sebagai pencari nafkah. Burman & Margolin (1992) menyatakan bahwa penyakit diabetes dapat berdampak bagi orang-orang yang dekat dengan pasien, terutama pasangan, yang dapat mempengaruhi hubungan pernikahan mereka. Penelitian yang dilakukan Coombs (2007) menyebutkan bahwa adanya perubahan pada hubungan pernikahan setelah pasangan terdiagnosa penyakit kronis karena merasa kehilangan begitu besar atas hubungan pernikahan yang mereka miliki sebelumnya. Menurut Karney & Bradbury (1995) stres yang dihadapi oleh suami atau istri yang mengalami sakit kronis dapat mempengaruhi kehidupan pernikahan, yakni adanya perubahan perilaku seperti marah, merasa tidak berguna, dam kecewa yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan.

Menurut Hendrick & Hendrick (1992), kepuasan pernikahan dapat merujuk pada cara pasangan suami istri mengevaluasi hubungan pernikahan mereka. Atwater (1983) menjelaskan bahwa kepuasan pernikahan juga merupakan derajat kuatnya komitmen yang dirasakan seseorang terhadap perkawinannya, walaupun terdapat konflik, stres dan perasaan kecewa.


(20)

Salah satu aspek dari kepuasan pernikahan menurut Olson & Olson (2000) adalah relasi seksual, yang mana relasi seksual merupakan barometer emosi dalam suatu hubungan yang dapat mencerminkan kepuasan pasangan terhadap aspek suatu hubungan. Oleh karena itu kualitas relasi seksual merupakan kekuatan penting bagi kebahagiaan pasangan maka kualitas tersebut perlu di jaga atau ditingkatkan melalui komunikasi seksualitas antara pasangan. Menurut Harahap (2006), pasangan suami istri dengan suami diabetes mengalami perubahan aktivitas seksual dikarenakan impotensi dan ejakulasi dini yang dalami oleh suami sehingga dapat mempengaruhi kehidupan seksual pasangan suami istri hal ini dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan. Pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus akan merasakan kepuasan dalam pernikahan apabila adanya dukungan dari pasangan dan keluarga, adanya waktu luang yang digunakan untuk melakukan aktivitas bersama keluarga, terselesaikannya konflik yang ada dalam hubungan pernikahan, dan pasangan tersebut mampu dalam mengkomunikasikan masalah yang dihadapi dengan baik.

Komunikasi penting dalam hubungan pernikahan karena dengan komunikasi yang baik antara kedua pasangan menyebabkan pasangan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan lebih mudah sehingga dapat tercapai suatu kepuasan dalam pernikahan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Olson & Olson (2000) yaitu salah satu aspek yang mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah komunikasi, karena berkaitan dengan hampir semua aspek pada pasangan. Hasil dari semua diskusi dan pengambilan keputusan dalam pernikahan akan tergantung kepada gaya, pola, dan keterampilan berkomunikasi.

Reis & Shaver (1988) menjelaskan bahwa ketika pasangan saling berkomunikasi secara terbuka dan mengungkapkan perasaan pribadi satu sama lain maka akan mampu meningkatkan keintiman antara pasangan. Keintiman pada pasangan akan berhubungan positif dengan


(21)

kepuasan pernikahan. Hubungan positif yang dimaksud adalah semakin tiggi taraf keintiman pada pasangan, maka kepuasan pernikahan juga akan meningkat. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kuijer, Hagedoorn, Buunk, DeJong & Wobbes (2000) pada pasien dengan penyakit kronis telah menunjukkan hubungan positif antara pasangan dengan keterlibatan aktif dalam perawatan pasangan yang sakit dan kepuasan dalam hubungan pernikahan. Semakin tinggi keterlibatan aktif dalam perawatan pasangan yang sakit maka kepuasan hubungan dalam pernikahan semakin meningkat.

Menurut Bodenmann (1995) penyakit kronis dapat dianggap sebagai stressor bersama bagi pasien dan pasangan, maka dari itu dibutuhkan strategi coping sebagai cara bagi pasangan dalam menghadapi penyakit. Strategi coping merupakan upaya perubahan kognitif dan tingkah laku secara terus menerus untuk mengatasi tuntutan eksternal maupun internal yang dinilai membebani individu (Lazarus & Folkman 1984). Penelitian yang dilakukan oleh Papp & Witt (2010) menyebutkan bahwa dalam hubungan pernikahan, dyadic coping dapat memprediksi kepuasan pernikahan dibandingkan dengan emosional dan problem fokus coping, maka dari itu dalam suatu hubungan interpersonal seperti pernikahan, jenis coping yang digunakan adalah

dyadic coping. Dyadic coping merupakan upaya yang dilakukan pasangan untuk memikirkan masalah yang dihadapinya dan mencoba untuk mencari penyelesaian dari masalah tersebut, (Bodenmann 1995). Tujuan dari dyadic coping adalah untuk mengurangi tingkat stres dan meningkatkan hubungan pernikahan (Bodenmann 2005). Meier, Bodenmann, Morgeli, & Jenewin (2011) juga menjelaskan bahwa dyadic coping dapat meningkatkan kepercayaan, kenyamanan, dan keintiman antar pasangan serta memberi pengaruh yang positif dan menguntungkan bagi kedua pasangan. Dyadic coping inilah yang nantinya akan berperan dalam meningkatkan kepuasan pernikahan.


(22)

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, nampak bahwa dyadic coping penting karena dengan dyadic coping pasangan dapat menghadapi stres yang dirasakan akibat dari penyakit yang dihadapi. Pasangan yang melakukan dyadic coping dengan baik akan mampu memecahkan masalah dalam pernikahan sehingga stres yang dirasakan pasangan akan berkurang, akan tetapi pasangan yang tidak mampu melakukan dyadic coping akan cenderung memiliki permasalahan akibat dari penyakitnya yang dapat menyebabkan tingginya stress yang dirasakan oleh pasangan sehingga kepuasan pernikahan yang dirasakan menjadi rendah. Dampak buruk yang terjadi akibat rendahnya kepuasan pernikahan pasangan yaitu perceraian, tidak terkontrolnya kesehatan yang menyebabkan tingginya gula darah pada suami dengan diabetes melitus, dan tingginya stres yang dirasakan oleh pasangan. Oleh karena itu peran dyadic coping dan kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri dengan diabetes melitus tipe II penting untuk diteliti.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini yaitu bagaimana peran dyadic coping dan kepuasan pernikahan pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran dan kontribusi antara dyadiccoping

dan kepuasan pernikahan pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan sebagai pembuktian empiris tentang hubungan dyadiccoping dan kepuasan pernikahan pada


(23)

pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II . Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah yang berguna bagi Psikologi Perkembangan Keluarga dan Psikologi Kesehatan terkait hubungan pernikahan bilamana salah satu pasangan mengalami diabetes melitus tipe II.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi acuan konsultasi, baik sebagai tindakan intervensi bagi pasangan yang sudah menikah ketika mengalami kesulitan dalam menghadapi situasi ketika salah satu pasangan mengalami DM tipe II. Selain itu penelitian ini juga dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi pasangan yang sudah menikah untuk mengetahui bagaimana strategi dyadic coping berperan dalam kualitas pernikahan, termasuk di dalamnya kepuasan pernikahan.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Hasil penelitian Diana, Sukarlan, & Pohan (2012) mengenai “Hubungan antara Caregiver Strain dan Kepuasan Pernikahan pada Istri sebagai Spouse Caregiver dari penderita stroke” menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara caregiver strain dan kepuasan pernikahan, yang bermakna bahwa dengan meningkatnya caregiver strain akan diikuti dengan penurunan kepuasan pernikahan begitu juga sebaliknya dengan menurunnya caregiver strain akan diikuti dengan kenaikan skor kepuasan pernikahan. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang dilakukan, yaitu dari segi variabel bebas dan responden penelitian. Pada penelitian Diana, Sukarlan, & Pohan (2012) variabel bebas yang digunakan adalah caregiver strain dan responden yang digunakan adalah istri yang berperan sebagai spouse caregiver dari penderita stroke.


(24)

Penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan dyadic coping sebagai variabel bebas dan responden yang digunakan adalah pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus type II.

Penelitian Meier, Bodenmann, Morgeli, & Jenewin (2011) pada pasien yang menerima perawatan secara regular di Zurich Lung League, mengenai “Dyadic Coping, Quality of life, and Psychological distress among chronic obstructive pulmonary disease patient and their partners” menunjukkan bahwa Pasangan dari pasien COPD sangat mendukung dan memberikan perhatian, pasien merasa mereka tidak dapat mengurus tugas yang pernah mereka lakukan ini berkorelasi dengan kualitas hidup yang rendah antara pasien dan pasangannya. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Perbedaan yang terdapat pada penelitian ini adalah dari segi variabel dan responden penelitian. Pada penelitian Meier, Bodenmann, Morgeli, & Jenewin (2011) terdapat dua variabel bebas dan satu variabel tergantung . Sementara pada penelitian yang akan dilakukan berikut menggunakan satu veriabel bebas dan satu variabel tergantung.

Penelitian yang dilakukan oleh Trief, Himes, Orendorf, & Wenstock (2010) kepada

individu dengan diabetes melitus mengenai “The Marital Relationship Psychosocial Adaptation

and Glycemic Control of individual with diabetes” menunjukan bahwa kepuasan pernikahan memiliki hubungan yang positif dengan psychosocial adaptation dan glycemic control yang bermakna bahwa ketika kepuasan pernikahan tinggi maka psychosocial adaptation dan glycemic control tinggi. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan berikut. Perbedaan yang terdapat pada penelitian ini adalah dari responden penelitian. Pada penelitian Trief, Himes, Orendorf, & Wenstock (2010) responden penelitian adalah individu dengan diabetes, sedangkan responden penelitian dari penelitian ini adalah pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus type II.


(25)

Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, terlihat perbedaan penelitian- penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan ini. Hal ini menunjukan bahwa penelitian ini adalah asli karena merupakan hasil karya peneliti, penelitian serupa belum pernah dilakukan sebelumnya, khususnya di Bali.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepuasan Pernikahan

1. Definisi Kepuasan Pernikahan

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Olson & DeFrain (2003) mendefinisikan pernikahan sebagai komitmen emosi dan sah dari dua orang untuk berbagi hubungan emosional dan fisik, tugas-tugas, dan sumber ekonomi. Dengan melakukan pernikahan manusia memenuhi kebutuhan psikoligis, kebutuhan seksual, kebutuhan material, dan kebutuhan spiritual. Olson & Olson (2000) menyebutkan bahwa adanya berbagai manfaat dari pernikahan yaitu, setiap pasangan yang menikah akan memiliki hidup yang lebih sehat, orang yang menikah memiliki dukungan emosi dari pasangan dan akses terhadap sumberdaya ekonomi sehingga menyebabkan orang yang menikah hidup lebih lama, pada setiap pasangan yang menikah memiliki kepuasan relasi seksual yang lebih baik, pasangan yang menikah dapat menggabungkan pendapatannya sehingga lebih sejahtera secara ekonomi.

Setiap individu yang menikah memiliki harapan untuk memperoleh kepuasan pernikahan. Fower & Olson (1993) menyebutkan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi terhadap area-area dalam pernikahan yang mencakup komunikasi, kegiatan mengisi waktu


(27)

luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, kesetaraan peran serta pengasuhan anak.

Soedarjoen (2005) mengatakan kepuasan pernikahan dapat tercapai ketika pasangan mampu memenuhi kebutuhan masing-masing dan kebebasan dari hubungan yang mereka ciptakan serta memenuhi harapan- harapan yang mereka bawa sebelum pernikahan. Selain itu, Martlin (2008) mengungkapkan bahwa pernikahan yang memuaskan adalah pernikahan yang stabil, langgeng, bahagia saling memahami dan menghargai. Atwater (1983) menjelaskan bahwa kepuasan pernikahan juga merupakan derajat kuatnya komitmen yang dirasakan seseorang terhadap pernikahannya, walaupun terdapat konflik, stres dan perasaan kecewa.

Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan merupakan rasa puas yang dirasakan dalam pernikahan serta adanya kesesuaian antara harapan yang dibawa sebelum pernikahan dan kuatnya komitmen yang dirasakan seseorang terhadap pernikahannya.

2. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan

Kepuasan pernikahan dapat ditinjau dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan menurut Duvall & Miller (1985) yaitu:

a. Sebelum Pernikahan (Background Characteristic ), ada beberapa faktor seperti kebahagiaan pernikahan orang tua, kebahagiaan pada masa anak-anak, pembentukan disiplin oleh orang tua, pendidikan seksual dari orang tua, dan masa perkenalan sebelum menikah yang mempengaruhi kepuasan pernikahan. Hurlock (1980)


(28)

mengatakan hubungan keluarga mempengaruhi penyesuaian diri secara sosial diluar rumah ketika hubungan keluarga menyenangkan, peyesuaian sosial anak diluar rumah lebih baik dari pada hubungan keluarga yang tegang. Peran yang dimainkan di rumah menentukan pola peran diluar rumah, karena peran yang harus dilakukan di rumah dan jenis hubungan dengan kakak adik membentuk dasar bagi hubungan dengan relasi sosialnya dalam hal ini relasi sosial yang dimaksudkan adalah pasangannya.

b. Beberapa faktor yang mempengaruhi sesudah menikah (Current Characteristics)

seperti faktor keuangan, pembagian tugas dalam rumah tangga, kehadiran anak, hubungan seksual. Papalia, Old & Feldman (2009) kebahagiaan pernikahan secara positif dipengaruhi oleh peningkatan sumber daya ekonomi dan dukungan terhadap norma pernikahan. Penelitan yang dilakukan oleh Larasati (2012) tentang kepuasan perkawinan pada istri dengan subjek dua orang istri mengatakan bahwa dukungan yang diberikan suami dalam membantu ekonomi rumah tangga dan mengerjakan tugas rumah tangga dengan baik memberikan dampak pada tercapainya kepuasan perkawinan. Begitu pula sebaliknya, kurangnya dukungan suami dalam membantu meringankan beban ekonomi keluarga dan tidak dapat bekerja sama dalam melakukan pekerjaan rumah tangga memberikan dampak pada kurang terpenuhinya kepuasan pernikahan dalam keluarga tersebut.

Faktor lainnya menurut Carr (2005) adalah status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, lamanya pernikahan, serta persamaan tingkat ketertarikan, intelegensi, dan kepribadian. Papalia ,Old, & Feldman (2009) juga mengatakan bahwa faktor-faktor seperti penghasilan sebelum menikah, tingkat pendidikan, saling mengenal satu sama lain sebelum menikah, lama pernikahan berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan.


(29)

3. Aspek-Aspek Kepuasan Pernikahan

Dalam menggali kepuasan pernikahan ada beberapa aspek kepuasan pernikahan yang dapat menjelaskannya. Olson & Olson (2000), mengatakan beberapa aspek kepuasan pernikahan sebagai berikut:

a. Komunikasi

Komunikasi merupakan aspek yang penting dalam kepuasan pernikahan. Komunikasi berfokus kepada tingkat kenyaman yang dirasakan oleh masing-masing pasangan dalam berbagi emosi dan keyakinan, persepsi masing- masing pasangan terhadap kemampuan mendengarkan dan keterampilan berbicara, dan persepsi megenai kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dengan pasangan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang diakukan oleh Gunawati, Hartati, & Listiara (2006) yang mengatakan bahwa komunikasi merupakan hal yang penting dalam hubungan interpersonal, komunikasi dapat tercapai dengan baik apabila kedua belah pihak mempunyai kesamaan dalam menginterpretasikan pesan yang disampaikan. Adanya komunikasi yang efektif akan menyebabkan keterbukaan antara pasangan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Dewi & Sudhana (2013) kepada 110 responden yang menyebutkan bahwa harmonis atau tidaknya suatu pernikahan tergantung dari kondisi hubungan interpersonal pasangan suami istri, hubungan tersebut dapat terjalin dengan baik melalui komunikasi yang efektif antara suami dan istri.

b. Fleksibilitas

Fleksibilitas merefleksikan kemampuan pasangan untuk berubah dan beradaptasi saat diperlukan. Fleksibelitas berfokus pada isu-isu kepemimpinan dan kemampuan untuk


(30)

beralih tanggung jawab. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati & Mastuti (2013) tentang kepuasan pernikahan dan penyesuaian pernikahan dengan subjek sebanyak 52 orang istri menyebutkan bahwa konsep peran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kebahagiaan perkawinan, pasangan suami istri harus dapat memahami peran dan tanggung jawab masing-masing agar tercapainya kepuasan dalam pernikahan.

c. Kegiatan Mengisi Waktu Luang

Kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area ini juga melihat apakah suatu kegiatan dilakukan sebagai pilihan individu atau pilihan bersama serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan. Knowles (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara waktu senggang bersama pasangan dengan kepuasan pernikahan. Semakin banyak waktu senggang yang dimiliki oleh pasangan semakin tinggi kepuasan pernikahan yang dimiliki oleh pasangan suami istri.

d. Keyakinan Spiritual

Keyakinan spiritual dapat memberikan landasan bagi nilai dan perilaku individu dan pasangan. Keyakinan spiritual yang kuat dapat memperdalam rasa cinta dan membantu pasangan untuk mencapai impian mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Marini & Julianda (2012) tentang gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan yang menjalani pernikahan jarak jauh kepada tiga responden mengatakan bahwa keyakinan spiritual menjadi berkembang karena keyakinan kepada Tuhan membantu pasangan lebih iklas dan bersabar dalam menjalani pernikahan.


(31)

e. Resolusi konflik

Konflik merupakan bagian alami dan tidak terelakkan dari hubungan manusia. Hubungan pernikahan tidak selalu harmonis karena adanya perbedaan yang dimiliki. Resolusi konflik berfokus pada perilaku, perasaan, keyakinan, keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah serta strategi yang digunakan untuk mendapatkan solusi. Penelitian yang dilakukan oleh Utami & Mariyanti (2015) kepada 67 responden menyebutkan bahwa kepuasan dalam hubungan pernikahan dapat ditentukan oleh sikap masing-masing pasangan atau proses dalam mengelola konflik yang terjadi dalam rumah tangga.

f. Pengelolaan Keuangan

Sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Adanya perbedaan cara pasangan untuk mengeluarkan dan menyimpan uang dalam pernikahan. Harapan dan kebutuhan pasangan dalam pernikahan seringkali melebihi kemampuan keuangan pasangan Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1980) yang menyebutkan bahwa sebagian besar wanita berharap dengan menikah membuat status ekonominya menjadi terangkat, namun dapat terjadi ketidakpuasan pernikahan apabila harapan tidak sesuai dengan realita.

g. Relasi Seksual

Relasi seksual bertindak sebagai alat ukur emosional dalam hubungan. Hubungan seksual yang baik, datang dari hubungan emosional yang baik dengan pasangan. Pasangan dengan hubungan emosional yang baik memiliki hubungan fisik yang baik. Penelitian yang dilakukan oleh Heiman,dkk (2011) kepada 1009 pasangan mengatakan


(32)

bahwa seksualitas merupakan hal yang penting dalam hubungan pernikahan. Olson & Defrain (2003) menyebutkan bahwa hubungan seksual yang memuaskan pada pasangan akan menghasilkan kebahagiaan pada pasangan, namun ketika tidak adanya ketertarikan hubungan seksual akan menurunkan kebahagiaan pada pasangan.

h. Keluarga dan Teman

Keluarga dan teman merupakan konteks yang paling penting bagi pasangan dalam membangun relasi yang berkualitas. Keluarga sebagai family of origin banyak mempengaruhi kepribadian, selain itu keterlibatan orang tua dapat memperkuat atau memperlemah kualitas relasi pasangan. Burman & Margolin (1992) menyebutkan bahwa penyakit diabetes dampak bagi oranbg- orang yang dekat dengan pasien terutama pasangan, yang nantinya dapat mempengaruhi hubungan pernikahan seperti kepuasan pernikahan.

Teman sering kali menjadi penyangga bagi pasangan ketika sedang menghadapi persoalan. Studi deskriptif yang dilakukan oleh Parung (2014) kepada 20 responden mengatakan hubungan dengan teman dan keluarga besar yang tetap terjalin dengan baik akan membantu meningkatkan kepuasan pernikahan karena dapat memberikan dukungan dan membantu pasangan dalam menjalani kesulitan sehingga pasangan merasa tidak sendirian.

i. Kedekatan

Menilai sejauh mana tingkat kedekatan emosional yang dialami oleh pasangan dan sejauh mana mereka dapat menyeimbangkan keterpiasahan dan kebersamaan. Sejauh mana pasangan saling membantu, menghabiskan waktu bersama-sama dan


(33)

mengungkapkan persaan. Penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Vembry & Basuki (2014) menyebutkan kedekatan dan kebersamaan merupakan kebutuhan dasar dari pernikahan, pasangan suami istri yang saling mencintai menunjukan tingkah laku yang positif dan mengungkapkan perasaan yang dirasakan dengan pasangannya.

j. Kecocokan Kepribadian

Berfokus pada isu-isu seperti kemarahan, kemurungan, keras kepala, cemburu, dan posesif, serta perilaku pribadi seperti rasa kasih sayang kepada pasangan. Subskala ini secara umum memperlihatkan kemampuan pasangan dan kecenderungan untuk menjadi dominan. Penelitian yang dilakukan oleh Stone & Shackelford (2007) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan yang tinggi akan terjadi apabila mampu mengerti dan menyesuaikan diri degan kepribadian yang dimiliki oleh pasangannya. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Saraswati (2015) yang mengatakan 90 individu dewasa akhir merasa puas dengan pernikahannya karena dapat menerima sifat pasangan dan kebiasaan pasangan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan dapat dilihat apabila individu mampu untuk memenuhi sepuluh aspek yaitu: a) komunikasi mencakup komunikasi yang terbuka dengan pasangan; b) fleksibelitas yang mencakup kemampuan pasangan untuk berubah dan beradaptasi saat diperlukan; c) kegiatan mengisi waktu senggang yang mencakup pengisian waktu luang dengan pasangan; d) keyakinan spiritual, yang mencakup hubungan keagamaan; e) resolusi Konflik yang mencakup penyelesaian konflik ; f) pengelolaan keuangan yang mencakup pengaturan keuangan; g) relasi seksual yang mencakup hubungan seksual dalam pernikahan; h) keluarga dan teman yang mencakup hubungan dengan keluarga besar dan teman; i) kedekatan yang mencakup


(34)

tingkat kedekatan emosional yang dialami pasangan; j) kecocokan kepribadian yang mencakup persepsi individu terhadap perilaku dan kepribadian pasangannya.


(35)

B. Dyadic Coping

1. Definisi Dyadic Coping

Teori mengenai dyadic coping dikemukakan oleh Bodenmann (1995) yang didasarkan pada Transactional Stress Theory dari Lazarus & Folkman (1984). Transactional

stress theory merujuk kepada bagaimana stresor dapat dinilai dan diterima oleh seseorang dan bagaimana seseorang tersebut memberi respon atas penerimaan

dan penilaian terhadap stresor tersebut. Transactional Stress Theory menerangkan bahwa bagaimana stresor yang positif maupun negatif dapat diterima dan dinilai oleh seseorang. Ketika seseorang pertama kali menghadapi stresor maka, proses penilaian awal akan terjadi, orang tersebut akan mempertimbangkan bagaimana akibat stres akan mempengaruhi tujuan pribadi dan kesejahteraannya.

Berdasarkan Transsactional Stress Theory tersebut, Bodenmann (1995) mengembangkan menjadi suatu model yang sistemik dan erat kaitannya dengan proses yang dinamakan Systemic-Transactional Model. Model ini melihat bagaimana menghadapi stres yang dialami bersama dan bagaimana pasangan mengatasi masalah baik secara individual maupun kolektif sebagai suatu unit. Dari pengembangan model tersebut, Bodenmann (1995) mengenalkan dyadic coping yang didefinisikan sebagai upaya yang digunakan satu atau kedua pasangan untuk mengatasi situasi stres dimana upaya tersebut merupakan pola interaksi antara kedua belah pihak. Dyadic coping bertujuan untuk pemulihan atau pemeliharaan keseimbangan emosi masing-masing pasangan, perilaku, dan kehidupan sosial.

Bodenmann (2005) menyebutkan bahwa dyadic coping merupakan proses interpersonal yang melibatkan kedua pasangan di dalam hubungan pernikahan. Penelitian


(36)

yang dilakukan oleh Meier, Bodenmann, Morgeli, & Jenewin (2011) menyebutkan bahwa

dyadic coping bertujuan untuk menyeimbangkan well being secara individu atau dengan pasangan. Pasangan yang memiliki hubungan dyadic coping yang baik, akan memperoleh keuntungan dalam suatu hubungan. Dyadic coping juga dapat meningkatkan rasa percaya diri, rasa aman, dan kedekatan antar pasangan.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan dyadic coping merupakan proses interpersonal yang melibatkan kedua pasangan untuk mengatasi situasi stress dimana upaya tersebut merupakan pola interaksional yang memberikan keuntungan dalam suatu hubungan yang bertujuan untuk menyeimbangkan well being secara individu atau ketika dengan pasangan

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dyadic Coping

Dyadic coping yang digunakan individu berbeda-beda tergantung dari situasi stres yang dihadapi oleh individu dan pasangan dalam hubungan interpersonal. Bodenmann (2005) menjelaskan bahwa seluruh bentuk dyadic coping dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini:

Faktor pertama adalah individual skills yang meliputi kemampuan mengkomunikasikan stres, kemampuan menyelesaikan masalah, kompetensi sosial, dan kemampuan berorganisasi. Individual skills, merupakan cara individu menyampaikan apa yang dirasakannya kepada pasangan, dengan penggunaan bahasa yang baik dalam berkomunikasi, mendiskusikan permasalahan, dan cara-cara yang akan ditempuh untuk menyelesaikan masalah, hingga memutuskan langkah apa yang akan diambil. Kemampuan-kemampuan tersebut perlu dimiliki individu agar dapat memunculkan dyadic coping. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmantika & Handayani (2012) mengatakan ketika terjadi


(37)

konflik didalam pernikahan, individu akan berusaha untuk mengatasi konflik tersebut dengan strategi coping, hal ini merupakan upaya untuk meyelesaikan masalah yang dihadapi.

Faktor kedua adalah motivational factor yang meliputi kepuasan hubungan atau ketertarikan dalam suatu hubungan yang lama. Dalam motivational factors, dyadic coping

bisa berbeda karena perbedaan kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh setiap individu. Ketika komunikasi lancar, konflik jarang terjadi, dan ada pembagian antara peran dan tanggung jawab, maka individu tersebuat akan puas dengan hubungan yang dijalani bersama pasangan. Boddenmann, (1995) juga menjelaskan adanya kepuasan dari hubungan yang dijalankan bersama pasangan membuat individu menjadi termotivasi untuk membantu pasangannya.

Faktor ketiga adalah contextual factor yang merupakan level dari pengalaman stres yang pernah dialami pasangan atau kondisi mood mereka. Penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Rahmayanti (2012) menyebutkan bahwa reaksi stres akan lebih kuat ketika individu memiliki pengalaman terdahulu terhadap kejadian stres tertentu.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dyadic coping adalah individual skill yang mencakup kemampuan mengkomunikasikan stres, kemampuan menyelesaikan masalah, kompetensi sosial, dan kemampuan berorganisasi. Faktor lain adalah motivational factor yang mencakup kepuasan hubungan, dan contextual factor yang merupakan pengalaman stres yang pernah dialami pasangan.

3. Aspek-Aspek Dyadic Coping

Dyadic coping pada awalnya diukur menggunakan FDCT-N (Frogebogen zur Erfassung des Dyadischen Coopings als Tendenz) yang disusun oleh Bodenmann pada tahun


(38)

1990. Seiring berjalannya waktu Bodenmann mengembangkan dan mengadaptasi alat ukur ini pada tahun 1995 dan 2000. Adaptasi terakhir yang dilakukan Bodenmann bersamaan dengan perubahan nama instrument menjadi Dyadic Coping Inventory (DCI). Aspek-aspek

dyadic coping yang dipaparkan oleh Bodenmann (2005) adalah:

a. Stress Communication

Berkaitan dengan bagaimana individu dalam mengkomunikasikan kondisi stres yang dirasakan kepada pasangan, seperti dukungan emosional terhadap pasangan, berbagi kondisi stres membantu pasangan menghadapi situasi stres, mengkomunikasikan stres yang sedang dihadapi kepada pasangan. Sarwono (1997) mengatakan komunikasi merupakan salah satu faktor penentu positif dan negatif dari hubungan interpersonal. Menurut Wijayanti (2013) komunikasi dapat mempererat hubungan keluarga dan menciptakan perasaan nyaman, apabila terjadi komunikasi yang tidak baik akan berdampak bagi keharmonisan dalam keluarga sehingga permasalah dalam keluarga tidak dapat terselesaikan.

b. Supportive Dyadic Coping

Segala bentuk dukungan yang disediakan oleh pasangan dalam konteks situasi yang berat (stres) dengan tujuan untuk menemukan keadaan adaptif yang baru.

Supportive dyadic coping diasumsikan terjadi didalam situasi dimana salah satu pihak sedang membutuhkan bantuan dan pihak lain mampu untuk memberikan dukungan yang dibutuhkan. Menurut Thoits (1986) ketika individu sedang dalam masalah, pasangan dapat membantu dengan memberikan saran dan relaksasi serta mampu memberikan perasaan positif seperti perasaan cinta, empati, dan kebersamaan.


(39)

c. Delegated Dyadic coping

Delegated dyadic coping adalah usaha salah satu pasangan mengambil alih tanggung jawab secara seutuhnya untuk mengurangi stres pasangannya. Jenis coping ini biasa digunakan untuk menghadapi pemicu stres yang berorientasi pada masalah (problem-oriented). Misalnya ketika suami tiba-tiba mengalami penurunan gula darah dan tidak dapat menjlankan tugasnya, maka istri mengambil alih tugasnya seperti mengantar anak ke sekolah ( Bodenmann,2005).

d. Common Dyadic Coping

Usaha coping dimana kedua pasangan berpartisipasi secara simetris (sejalan) dan saling melengkapi untuk menyelesaikan masalah dalam situasi stres. Maksudnya adalah tujuan yang ingin dicapai oleh kedua belah pihak sama. Common dyadiccoping meliputi strategi yang berorientasi pada masalah seperti, pengasuhan anak, pembagian keuangan, mencari informasi bersama dan saling bertukar imformasi, dan mendiskusikan solusi dari sebuah permasalahan. Penelitian yang dilakukan oleh Johnson dkk (2013) kepada 117 pasangan dengan diabetes mengatakan bahwa dengan menggunakan common dyadic coping pasangan dapat menyesesaikan permasalahan atau konflik secara optimal karena dengan adanya common dyadic coping, pasangan tidak hanya melihat permasalahan dari sudut pandang individu saja tetapi juga berdasarkan sudut pandang pasangan, sehingga didapat hasil penyelesaikan yang tidak merugikan kedua belah pihak.


(40)

Individu dalam menghadapi situasi stres tidak menutup kemungkinan untuk menampilkan bentuk negative dari dyadic coping. Bodenmann (2005) menjelaskan bahwa negative dyadic coping terdiri dari hostile dyadic coping, ambivalent dyadic coping, superficial dyadic coping. Hostile dyadic coping merupakan dukungan yang disertai dengan penghinaan, mengejek, dan menampilkan ketidaktertarikan. Pasangan memberikan dukungan namun dengan cara yang negatif, ada unsur kekerasan didalamnya, baik secara verbal maupun non verbal. Ambivalent dyadic coping adalah

coping yang terjadi ketika pasangan mendukung pasangannya dengan tidak baik atau dengan sikap bahwa kontribusi yang diberikan seharusnya tidak perlu. Superficial dyadic coping adalah coping yang meliputi dukungan tidak tulus yang diberikan kepada pasangan.

Berdasarkan uraian diatas, disimpulkan bahwa dyadic coping dapat dilihat berdasarkan lima aspek yaitu: a) communication stress yang mencakup cara individu mengkomunikasikan stres dengan pasangan, b) supportive dyadic coping yang mencakup segala bentuk dukungan yang disediakan oleh pasangan dalam situasi stres, c) delegated dyadic coping mencakup usaha salah satu pasangan mengambil alih tanggung jawab pasangan untuk mengurangi stres, d)

common dyadic coping yang mencakup kedua pasangan berpartisipasi untuk menyelesaikan masalah dalam menghadapi situasi stres, dan e) negative dyadic coping Yang merupakan dukungan yang disertai oleh penghinaan dan pengejekan.

C. Definisi Diabetes Melitus Tipe II

1. Definisi Diabetes Melitus Tipe II

Menurut Billous & Donelly (2010) diabetes melitus (DM) merupakan kondisi kronis yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa darah disertai dengan munculnya


(41)

gejala utama yang khas, yakni urine yang berasa manis dalam jumlah besar. Istilah diabetes berasal dari bahasa Yunani “Siphon” yang berarti keadaan ketika tubuh menjadi suatu saluran

untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan dan “mellitus” berasal dari bahasa Yunani yang

berarti madu. Diabetes melitus dibagi menjadi dua katagori yaitu diabetes melitus tipe I dan tipe II.

Diabetes melitus tipe II adalah ganguan sekresi insulin dan resistensi terhadap kerja insulin yang sering kali disebabkan oleh obesitas (Billous & Donelly, 2010). Tandra, (2013) menyebutkan diabetes melitus tipe II merupakan buruknya kualitas insulin sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik yang menyebabkan glukosa dalam darah meningkat. Diabetes melitus tipe II atau yang disebut juga dengan insulin requirement adalah mereka yang membutuhkan insulin sementara atau seterusnya penyebabnya dikarenakan banyaknya insulin yang ada dalam tubuh namun tidak dapat berfungsi (Hadianah, 2012).

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa diabetes melitus tipe II merupakan gangguan sekresi yang menghasilkan buruknya kualitas insulin yang seringkali disebabkan oleh obesitas.

2. Dampak Diabetes Melitus

Mengalami diabetes melitus memberikan dampak secara psikologis maupun fisik. Dampak psikologis seperti stress dapat menyebabkan kadar gula menjadi tidak terkontrol sehingga dapat memunculkan simtom-simtom diabetes melitus, baik simtom hiperglikemia maupun simtom hipoglikemia (Pitt & Phillips, 1991). Dampak fisik dari diabetes melitus adalah komplikasi seperti gangguan pada jantung, otak kaki, gangguan pada mata, gangguan pada ginjal, dan gangguan sexual pada laki-laki. Komplikasi tersebut timbul dikarenakan kontrol gula


(42)

yang tidak teratur, gaya hidup yang salah, tidak disiplin birdiet, minum obat, atau berolahraga (Tandra,2013). Melihat dampak yang diakibatkan diabetes melitus tersebut, maka seseorang yang didiagnosa diabetes akan mengalami perubahan dan penyesuaian dalam hidupnya. Penelitian yang dilakukan oleh Pratita (2012) kepada individu dengan diabetes melitus menyebutkan bahwa dukungan pasangan berhubungan positif dengan kepatuhan individu untuk mengontrol gula darahnya, sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi kecil.

Menurut Ahlfield,dkk (1985) istri dengan suami diabetes bertanggung jawab untuk memonitoring suami dalam hal pengaturan pola makan. Merawat pasangan yang sakit adalah hal yang sangat membebani khususnya pada seorang istri karena dibandingkan dengan suami, istri yang merawat lebih dapat mengalami depresi, ketegangan kesehatan, dan beban. Pemberian perawatan pada suami dengan diabetes melitus dapat memberikan tekanan dalam diri seorang istri karena perawatan dilakukan setiap waktu dan berlangsung seumur hidup, yang mengakibatkan berkurangnya waktu senggang untuk beraktivitas bersama pasangan (Miller,1990). Ketika keadaan suami semakin parah istri akan mengontrol lebih ketat pola hidup suami sehingga konflik akan muncul dalam pernikahan. Pasangan suami istri dengan suami diabetes menemukan bahwa adanya pengaruh diabetes pada aspek yang penting pada kehidupan pernikahan seperti perubahan status ekonomi dan kehidupan seksual (Ahlfield dkk, 1985).

Tamara, Bayhakki, & Nauli (2014) mengatakan dukungan keluarga sangat membantu individu dengan diabetes melitus tipe II untuk dapat meningkatkan keyakinan akan kemampuannya melakukan tindakan perawatan diri. Individu dengan diabetes melitus tipe II yang berada dalam lingkungan keluarga dan diperhatikan oleh pasangannya akan menumbuhkan perasaan nyaman dan aman sehingga akan menumbuhkan motivasi untuk melaksanakan perawatan.


(43)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dampak diabetes melitus yaitu dampak fisik yang meliputi komplikasi seperti gangguan jantung, otak kaki, gangguan pada mata, gangguan pada ginjal, dan gangguan seksual pada laki-laki. Melihat dampak yang dirasakan maka individu dengan diabetes akan mengalami penyesuaian dalam hidupnya. Selain itu dampak diabetes militus juga dirasakan oleh istri karena merawat pasangan yang sakit merupakan hal yang membebani, istri yang merawat lebih mengalami depresi, ketegangan kesehatan, dan beban.

D. Dinamika Antar Variabel

Diabetes melitus tipe II adalah ganguan sekresi insulin dan resistensi terhadap kerja insulin yang sering kali disebabkan oleh obesitas (Billous & Donelly, 2010). Diabetes melitus tipe 2 telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia khususnya di negara berkembang. Diabetes melitus merupakan penyakit yang paling kompleks dan menuntut banyak perhatian maupun usaha dalam pengelolaannya dibandingkan dengan penyakit kronis lainnya, karena penyakit diabetes tidak dapat diobati namun hanya dapat dikelola (Ndraha, 2014).

Individu yang didiagnosis mengalami penyakit diabetes akan akan mengalami dampak psikologis seperti stres dan rasa marah karena tidak menerima keadaan yang akan mengakibatkan gula darah individu dengan diabetes tersebut tidak terkontrol (Peter, James, Claudia, & Wilfred, 1996). Faktor dari tidak terkontrolnya gula darah, akan menimbulkan komplikasi yang berdampak kepada fisik individu seperti kurangnya kemampuan untuk berhubungan seksual, dan adanya komplikasi pada pengelihatan. Selain itu juga diikuti dengan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain, perubahan gaya hidup, pola makan, pekerjaan hubungan pernikahan, peran pasangan dalam pernikahan.


(44)

Sarafino & Smith (2012) mengatakan bahwa individu dengan penyakit kronis akan membutuhkan bantuan keluarga terutama pasangan dalam menghadapi stres akibat dari penyakit yang dideritanya. Penyakit diabetes dapat berdampak bagi orang-orang yang dekat dengan pasien, terutama pasangan, yaitu dapat mempengaruhi hubungan pernikahan yang dijalani (Burman & Margolin, 1992). Apabila suami menderita penyakit diabetes akan mengakibatkan permasalahan dalam keluarga karena kesehatan suami sangatlah penting. Suami merupakan tulang punggung keluarga, jika seorang suami menderita penyakit anggota keluarga yang paling sering memberikan perawatan adalah istri. Miller (1990) berpendapat bahwa merawat pasangan yang sakit adalah hal yang sangat membebani khususnya bagi seorang istri. Dibandingkan dengan suami, istri yang merawat lebih dapat mengalami depresi, ketegangan kesehatan, dan beban. Pemberian perawatan pada suami dengan diabetes militus dapat memberikan tekanan dalam diri seorang istri karena perawatan dilakukan setiap waktu dan berlangsung seumur hidup.

Menurut Karney & Bradbury (1995) stres yang dihadapi oleh pasangan dapat mempengaruhi kehidupan pernikahan, seperti perubahan perilaku salah satu pasangan. Perubahan prilaku yang dimaksud adalah individu dengan diabetes melitus akan mengalami fase mudah lelah, sehingga tidak banyak berkontribusi untuk membantu istri. Perubahan tersebut yang nantinya dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan.

Martlin (2008) mengungkapkan bahwa pernikahan yang memuaskan adalah pernikahan yang stabil, langgeng, bahagia saling memahami dan menghargai. Menurut Fower & Olson (1993) pernikahan dikatakan puas ketika pasangan mampu memenuhi aspek–aspek dari kepuasan pernikahan. Aspek-aspek kepuasan pernikahan yaitu komunikasi, fleksibelitas, kegiatan mengisi waktu luang, keyakinan spiritual, resolusi konflik, pengelolaan keuangan, relasi seksual, keluarga dan teman, kedekatan, dan kecocokan kepribadian.


(45)

Penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Mahendra (2014) menunjukan bahwa adanya penolakan dari pasangan ketika pasangannya didiagnosa diabetes. Penelitian yang dilakukan oleh Maruta,Osborne, & Halling (1981) menyebutkan bahwa lebih dari 30% individu dengan penyakit kronis mengalami masalah dalam hubungan pernikahan dan cenderung tidak puas dengan pernikahan yang dijalaninya. Penyakit kronis merupakan stresor bersama bagi pasien dan pasangan sehingga membutuhkan coping sebagai cara bagi pasangan dalam mengatasi penyakit. Menurut Bodenmann (2005) coping yang tepat pada pasangan dengan penyakit kronis adalah

dyadic coping. Dyadic coping merupakan merupakan proses interpersonal yang melibatkan kedua pasangan didalam hubungan pernikahan (Bodenmann, 2005). Dalam hubungan pernikahan dengan masalah kesehatan dyadic coping merupakan cara utama yang digunakan oleh pasangan untuk mengatasi permasalahn kesehatan yang mempengaruhi hubungan pernikahan (Berg & Upchurch, 2007). Apabila pasangan mampu melakukan dyadic coping

diharapkan pasangan dapat mencapai kepuasan pernikahan. Dyadic coping terdiri dari lima aspek yaitu stress communication, supportive dyadic coping, delegated dyadic coping, common dyadic coping, dan negative dyadic coping.


(46)

Gambar 1. Dinamika Antar Variabel Keterangan

: Hubungan yang dieliti : Hubungan yang tidak diteliti Variabel Bebas : Dyadic coping

Variabel Tergantung : Kepuasan pernikahan

E. Hipotesis Penelitian

H0 : Tidak ada hubungan antara dyadic coping dengan kepuasan pernikahan pada pasangan

suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II.

Ha : Ada hubungan antara dyadic coping dengan kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II

Suami dengan Diabetes Melitus Tipe II

Hubungan Pernikahan

Dyadic Coping DAMPAK

Stres Depresi

Beban Perubahan perilaku

pasangan

Kepuasan Pernikahan


(1)

gejala utama yang khas, yakni urine yang berasa manis dalam jumlah besar. Istilah diabetes berasal dari bahasa Yunani “Siphon” yang berarti keadaan ketika tubuh menjadi suatu saluran untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan dan “mellitus” berasal dari bahasa Yunani yang berarti madu. Diabetes melitus dibagi menjadi dua katagori yaitu diabetes melitus tipe I dan tipe II.

Diabetes melitus tipe II adalah ganguan sekresi insulin dan resistensi terhadap kerja insulin yang sering kali disebabkan oleh obesitas (Billous & Donelly, 2010). Tandra, (2013) menyebutkan diabetes melitus tipe II merupakan buruknya kualitas insulin sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik yang menyebabkan glukosa dalam darah meningkat. Diabetes melitus tipe II atau yang disebut juga dengan insulin requirement adalah mereka yang membutuhkan insulin sementara atau seterusnya penyebabnya dikarenakan banyaknya insulin yang ada dalam tubuh namun tidak dapat berfungsi (Hadianah, 2012).

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa diabetes melitus tipe II merupakan gangguan sekresi yang menghasilkan buruknya kualitas insulin yang seringkali disebabkan oleh obesitas.

2. Dampak Diabetes Melitus

Mengalami diabetes melitus memberikan dampak secara psikologis maupun fisik. Dampak psikologis seperti stress dapat menyebabkan kadar gula menjadi tidak terkontrol sehingga dapat memunculkan simtom-simtom diabetes melitus, baik simtom hiperglikemia maupun simtom hipoglikemia (Pitt & Phillips, 1991). Dampak fisik dari diabetes melitus adalah komplikasi seperti gangguan pada jantung, otak kaki, gangguan pada mata, gangguan pada ginjal, dan gangguan sexual pada laki-laki. Komplikasi tersebut timbul dikarenakan kontrol gula


(2)

yang tidak teratur, gaya hidup yang salah, tidak disiplin birdiet, minum obat, atau berolahraga (Tandra,2013). Melihat dampak yang diakibatkan diabetes melitus tersebut, maka seseorang yang didiagnosa diabetes akan mengalami perubahan dan penyesuaian dalam hidupnya. Penelitian yang dilakukan oleh Pratita (2012) kepada individu dengan diabetes melitus menyebutkan bahwa dukungan pasangan berhubungan positif dengan kepatuhan individu untuk mengontrol gula darahnya, sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi kecil.

Menurut Ahlfield,dkk (1985) istri dengan suami diabetes bertanggung jawab untuk memonitoring suami dalam hal pengaturan pola makan. Merawat pasangan yang sakit adalah hal yang sangat membebani khususnya pada seorang istri karena dibandingkan dengan suami, istri yang merawat lebih dapat mengalami depresi, ketegangan kesehatan, dan beban. Pemberian perawatan pada suami dengan diabetes melitus dapat memberikan tekanan dalam diri seorang istri karena perawatan dilakukan setiap waktu dan berlangsung seumur hidup, yang mengakibatkan berkurangnya waktu senggang untuk beraktivitas bersama pasangan (Miller,1990). Ketika keadaan suami semakin parah istri akan mengontrol lebih ketat pola hidup suami sehingga konflik akan muncul dalam pernikahan. Pasangan suami istri dengan suami diabetes menemukan bahwa adanya pengaruh diabetes pada aspek yang penting pada kehidupan pernikahan seperti perubahan status ekonomi dan kehidupan seksual (Ahlfield dkk, 1985).

Tamara, Bayhakki, & Nauli (2014) mengatakan dukungan keluarga sangat membantu individu dengan diabetes melitus tipe II untuk dapat meningkatkan keyakinan akan kemampuannya melakukan tindakan perawatan diri. Individu dengan diabetes melitus tipe II yang berada dalam lingkungan keluarga dan diperhatikan oleh pasangannya akan menumbuhkan perasaan nyaman dan aman sehingga akan menumbuhkan motivasi untuk melaksanakan perawatan.


(3)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dampak diabetes melitus yaitu dampak fisik yang meliputi komplikasi seperti gangguan jantung, otak kaki, gangguan pada mata, gangguan pada ginjal, dan gangguan seksual pada laki-laki. Melihat dampak yang dirasakan maka individu dengan diabetes akan mengalami penyesuaian dalam hidupnya. Selain itu dampak diabetes militus juga dirasakan oleh istri karena merawat pasangan yang sakit merupakan hal yang membebani, istri yang merawat lebih mengalami depresi, ketegangan kesehatan, dan beban.

D. Dinamika Antar Variabel

Diabetes melitus tipe II adalah ganguan sekresi insulin dan resistensi terhadap kerja insulin yang sering kali disebabkan oleh obesitas (Billous & Donelly, 2010). Diabetes melitus tipe 2 telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia khususnya di negara berkembang. Diabetes melitus merupakan penyakit yang paling kompleks dan menuntut banyak perhatian maupun usaha dalam pengelolaannya dibandingkan dengan penyakit kronis lainnya, karena penyakit diabetes tidak dapat diobati namun hanya dapat dikelola (Ndraha, 2014).

Individu yang didiagnosis mengalami penyakit diabetes akan akan mengalami dampak psikologis seperti stres dan rasa marah karena tidak menerima keadaan yang akan mengakibatkan gula darah individu dengan diabetes tersebut tidak terkontrol (Peter, James, Claudia, & Wilfred, 1996). Faktor dari tidak terkontrolnya gula darah, akan menimbulkan komplikasi yang berdampak kepada fisik individu seperti kurangnya kemampuan untuk berhubungan seksual, dan adanya komplikasi pada pengelihatan. Selain itu juga diikuti dengan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain, perubahan gaya hidup, pola makan, pekerjaan hubungan pernikahan, peran pasangan dalam pernikahan.


(4)

Sarafino & Smith (2012) mengatakan bahwa individu dengan penyakit kronis akan membutuhkan bantuan keluarga terutama pasangan dalam menghadapi stres akibat dari penyakit yang dideritanya. Penyakit diabetes dapat berdampak bagi orang-orang yang dekat dengan pasien, terutama pasangan, yaitu dapat mempengaruhi hubungan pernikahan yang dijalani (Burman & Margolin, 1992). Apabila suami menderita penyakit diabetes akan mengakibatkan permasalahan dalam keluarga karena kesehatan suami sangatlah penting. Suami merupakan tulang punggung keluarga, jika seorang suami menderita penyakit anggota keluarga yang paling sering memberikan perawatan adalah istri. Miller (1990) berpendapat bahwa merawat pasangan yang sakit adalah hal yang sangat membebani khususnya bagi seorang istri. Dibandingkan dengan suami, istri yang merawat lebih dapat mengalami depresi, ketegangan kesehatan, dan beban. Pemberian perawatan pada suami dengan diabetes militus dapat memberikan tekanan dalam diri seorang istri karena perawatan dilakukan setiap waktu dan berlangsung seumur hidup.

Menurut Karney & Bradbury (1995) stres yang dihadapi oleh pasangan dapat mempengaruhi kehidupan pernikahan, seperti perubahan perilaku salah satu pasangan. Perubahan prilaku yang dimaksud adalah individu dengan diabetes melitus akan mengalami fase mudah lelah, sehingga tidak banyak berkontribusi untuk membantu istri. Perubahan tersebut yang nantinya dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan.

Martlin (2008) mengungkapkan bahwa pernikahan yang memuaskan adalah pernikahan yang stabil, langgeng, bahagia saling memahami dan menghargai. Menurut Fower & Olson (1993) pernikahan dikatakan puas ketika pasangan mampu memenuhi aspek–aspek dari kepuasan pernikahan. Aspek-aspek kepuasan pernikahan yaitu komunikasi, fleksibelitas, kegiatan mengisi waktu luang, keyakinan spiritual, resolusi konflik, pengelolaan keuangan, relasi seksual, keluarga dan teman, kedekatan, dan kecocokan kepribadian.


(5)

Penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Mahendra (2014) menunjukan bahwa adanya penolakan dari pasangan ketika pasangannya didiagnosa diabetes. Penelitian yang dilakukan oleh Maruta,Osborne, & Halling (1981) menyebutkan bahwa lebih dari 30% individu dengan penyakit kronis mengalami masalah dalam hubungan pernikahan dan cenderung tidak puas dengan pernikahan yang dijalaninya. Penyakit kronis merupakan stresor bersama bagi pasien dan pasangan sehingga membutuhkan coping sebagai cara bagi pasangan dalam mengatasi penyakit. Menurut Bodenmann (2005) coping yang tepat pada pasangan dengan penyakit kronis adalah dyadic coping. Dyadic coping merupakan merupakan proses interpersonal yang melibatkan kedua pasangan didalam hubungan pernikahan (Bodenmann, 2005). Dalam hubungan pernikahan dengan masalah kesehatan dyadic coping merupakan cara utama yang digunakan oleh pasangan untuk mengatasi permasalahn kesehatan yang mempengaruhi hubungan pernikahan (Berg & Upchurch, 2007). Apabila pasangan mampu melakukan dyadic coping diharapkan pasangan dapat mencapai kepuasan pernikahan. Dyadic coping terdiri dari lima aspek yaitu stress communication, supportive dyadic coping, delegated dyadic coping, common dyadic coping, dan negative dyadic coping.


(6)

Gambar 1. Dinamika Antar Variabel Keterangan

: Hubungan yang dieliti : Hubungan yang tidak diteliti Variabel Bebas : Dyadic coping

Variabel Tergantung : Kepuasan pernikahan

E. Hipotesis Penelitian

H0 : Tidak ada hubungan antara dyadic coping dengan kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II.

Ha : Ada hubungan antara dyadic coping dengan kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II

Suami dengan Diabetes Melitus Tipe II

Hubungan Pernikahan

Dyadic Coping

DAMPAK Stres Depresi

Beban Perubahan perilaku

pasangan

Kepuasan Pernikahan