PROSES PEMBELAJARAN DI PONDOK PESANTREN ISLAM AL IRSYAD SALATIGA DALAM INTERNALISASI NILAI MATA PELAJARAN AQIDAH PADA SANTRI
PROSES PEMBELAJARAN DI PONDOK PESANTREN ISLAM AL-IRSYAD SALATIGA
DALAM INTERNALISASI NILAI MATA PELAJARAN AQIDAH PADA SANTRI
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Teknologi Pendidikan
Disusun Oleh: Iqbal Muammar Rosyad
(2)
PROSES PEMBELAJARAN DI PONDOK PESANTREN ISLAM AL-IRSYAD SALATIGA DALAM INTERNALISASI NILAI
MATA PELAJARAN AQIDAH PADA SANTRI
TESIS
Disusun Oleh : Iqbal Muammar Rosyad
S811002004
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Pada tanggal :
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Sri Anitah, M.Pd Dr. Nunuk Suryani, M.Pd
Mengetahui,
Ketua Program Studi Teknologi Pendidikan
Prof. Dr. Mulyoto, M.Pd 1943071219730 1 1001
(3)
(4)
MOTTO
ﻢﺴﺠ ا
ﺔﺣاﺮﺑ
ﻢ ﻌ ا
لﺎﻨﺗ
ﻦ
(5)
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Bismillahirrahmanirrahiim
Dengan senantiasa mengharap rahmat dan ridlo Allah Subhanahu wa Ta`ala, saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Iqbal Muammar Rosyad NIM : S81102004
Prodi : Teknologi Pendidikan
Judul : PROSES PEMBELAJARAN DI PONDOK
PESANTREN ISLAM AL-IRSYAD SALATIGA DALAM INTERNALISAS NILAI MATA PELAJARAN AQIDAH PADA SANTRI
Menyatakan dengan sebenarnya, bahwa tesis yang saya serahkan ini benar-benar karya saya sendiri, kecuali kutipan-kutipan dan ringkasan yang semua telah dijelaskan sumbernya. Demikian pernyataan ini saya buat, jika kemudian hari ternyata pernyataan ini salah, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Billahi taufiq wal hidayah Alhamdulillahirabbil a’lamiin
Surakarta, Mei 2011 Yang membuat pernyataan
(6)
PERSEMBAHAN
Hasil penelitian ini dipersembahkan kepada:
1. Orang tua tercinta.
2. Calon istri tersayang.
3. Bapak dan ibu dosen Pasca Sarjana UNS Program Studi Teknologi Pendidikan
4. Rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Teknologi Pendidikan.
(7)
KATA PENGANTAR
Dengan penuh rasa syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta`ala atas ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul PROSES PEMBELAJARAN DI PONDOK PESANTREN AL-IRSYAD SALATIGA DALAM INTERNALISASI NILAI MATA PELAJARAN AQIDAH PADA SANTRI, dalam rangka melaksanakan tugas akhir kuliah pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Nabi Besar Muhammad, kepada keluarganya serta kepada umat yang tunduk kepada-Nya. Amin.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini tidak dapat penulis lakukan sendiri tanpa melibatkan pihak lain yang terkait. Berdasarkan dengan sabda Nabi Muhammad "سﺎﻨﻟاﺮﻜﺸﻳ ﻟ ﻦ ﷲاﺮﻜﺸﻳ ﻟ" , untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materiil atas terselesaikannya tugas ini, antara lain kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Mulyoto, M.Pd, selaku Ketua Program Studi Teknologi
Pendidikan yang telah memberi ijin atas penyusunan tesis ini.
2. Prof. Dr. Sri Anitah, M.Pd, sebagai pembimbing I yang telah memberi
bimbingan dan pengarahan dengan sabar, sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
(8)
4. Seluruh Dosen Guru Besar Program Pascasarjana Teknologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak memberikan bekal ilmu yang mencerahkan.
5. Segenap staf Program Pascasarjana Teknologi Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan pelayanan yang dibutuhkan penulis dalam rangka proses akademik maupun administrasi.
6. Mudir Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga beserta wakil dan
stafnya yang telah berkenan memberi izin penelitian dan informasinya.
7. Segenap ustadz dan santri Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga
yang telah memberikan informasi dan berbagai data terkait dengan penelitian ini.
8. Kedua orangtua dan segenap keluarga yang senantiasa mendoakan dan
menjadi motivator utama dan pertama dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
9. Segenap rekan-rekan kuliah dan sahabat-sahabat di kontrakan Jamaica
yang terus memotivasi penulis sehingga terselesaikannya penyusunan tesis ini.
10. Semua pihak yang terlibat baik dari pihak keluarga maupun teman
sejawat yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu di sini yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan tesis ini.
Semoga semua kebaikan yang diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah dengan berlipat ganda dan penulis mengharapkan tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi perkembangan pendidikan.
(9)
Sebagai akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran atas kekurangan-kekurangan dari tesis ini, dan semoga tesis ini dapat diambil manfaatnya bagi pembaca yang budiman. Amin.
Surakarta, 30 Mei 2011
(10)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
HALAMAN PERNYATAAN ... v
PERSEMBAHAN………... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
ABSTRAK………... xv
ABSTRACT ……… xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 12
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Proses Pembelajaran Secara Umum ... 14
(11)
2. Proses Pendidikan dan Pembelajaran Pondok Pesantren ... 25
3. Proses Pembelajaran Pon-Pes Al-Irsyad Salatiga ... 30
4. Model Pembelajaran di Pon-Pes Al-Irsyad Salatiga ... 35
5. Sarana Pembelajaran ... 42
6. Lingkungan Belajar ... 44
7. Tinjauan Tentang Internalisasi Pembelajaran Pada Siswa .... 47
8. Karakteristik Bahan Ajar Mata Pelajaran Aqidah ... 58
9. Karakteristik Kiai ... 68
10. Karakteristik Ustadz ... 69
11. Karakteristik Santri ... 72
12. Pengelolaan Pembelajaran di Pon-Pes Al-Irsyad Salatiga .... 74
B. Penelitian Relevan ……… 80
C. Kerangka Pikir ... 81
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Strategi Penelitian... 84
1. Jenis Penelitian ... 84
2. Strategi Penelitian ... 84
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 85
(12)
E. Teknik Pengumpulan Data ... 90
F. Teknis Analisis Data ... 92
G. Keabsahan Data ... 95
BAB 1V DESKRIPSI PONDOK PESANTREN AL-IRSYAD SALATIGA DAN HASIL PENELITIAN A. Profil Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga ... 99
1. Sejarah Berdirinya Pon-Pes Al-Irsyad Salatiga ... 99
2. Letak Geografis ... 102
3. Tujuan Khusus dan Umum Pesantren ... 103
4. Fasilitas Pendidikan Yang Tersedia ... 105
5. Profil Pon-Pes Al-Irsyad Menurut Jenjang Pendidikan ... 110
B. Temuan Penelitian ... 121
1.Karakter Penghuni Pon-Pes Islam Al-Irsyad Salatiga ... 121
2.Kurikulum Pon-Pes Islam Al-Irsyad Salatiga ... 131
3.Model Pembelajaran Aqidah ... 134
4.Evaluasi Pembelajaran ... 145
5.Penggunaan Media Pembelajaran ... 148
6.Lingkungan Belajar ... 150
7.Karakteristik Bahan Ajar Aqidah ... 155
8.Interaksi Pembelajaran ... 157
9.Internalisasi Nilai Aqidah Pada Santri ... 159
C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 165
(13)
2. Proses Pembelajaran Aqidah di PIA Salatiga ... 170
3. Internalisasi Nilai Aqidah Pada Santri PIA Salatiga ... 179
D. Hambatan dan Keterbatasan Penelitian ... 184
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 186
B. Implikasi ... 189
C. Saran ... 190
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Pedoman Wawancara Dan Instrumen Observasi…………200
Lampiran II Catatan Lapangan Dan Data………...207
Lampiran III Dokumentasi Proses Pembelajaran di PIA ………....322
(15)
ABSTRAK
Iqbal Muammar Rosyad. S811002004 : “Proses Pembelajaran di Pondok
Pesantren Islam Al-Iryad Salatiga Dalam Internalisasi Mata Pelajaran Aqidah Pada Santri”. Tesis,Surakarta, Program Studi Teknologi Pendidikan, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam mengenai proses pembelajaran di pesantren Al-Irsyad Salatiga pada bidang studi aqidah sekaligus mengkaji sejauh mana internalisasi nilai aqidah pada para santri.
Objek penelitian tesis ini adalah Pondok Pesanten Islam Al-Irsyad Salatiga yang merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang terkenal maju dalam bidang tudi Bahasa Arab dan Aqidah. Pembahasan tesis ini difokuskan pada proses pembelajaran aqidah dan internalisasi nilai pada santri.
Penelitian yang penulis lakukan dalam penulisan tesis ini menggunakan metode kualitatif dengan alasan bahwa penelitian ini bersifat deskriptif yang memusatkan perhatian terhadap gejala menurut apa adanya tentang bagaimana proses pembelajaran di pesantren Al-Iryad Salatiga dan internalisasi nilai aqidah pada santri. Teknik pengumpulan data, penulis menggunakan teknik wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Adapun keabsahan data menggunakan trianggulasi sumber dan trianggulasi data.
Setelah penulis melakukan penelitian, penulis menemukan data di lapangan sebagai berikut: Pertama¸ proses pembelajaran di pesantren Al-Irsyad Salatiga sudah berjalan dengan baik. Pengembangan kurikulum sudah sesuai prosedur dan mencukupi pembelajaran. Model pembelajaran sudah bervariasi menggunakan metode CBSA, CTL dan inkuiri. Evaluasi pembelajaran sudah dilaksanakan pada input, proses maupun output pembelajaran. Hali ini ditunjukkan dari prestasi para santri setiap tahun yang banyak diterima di perguruan tinggi dalam dan luar negeri.
Kedua, dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan di Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga, karakteristik kepala pesantren (mudir) dan jajaran ustadz berperan besar dalam mewujudkan interaksi dan internalisasi nilai pelajaran aqidah pada santri. Karakteristik bahan ajar dan media pembelajaran juga mendukung kelancaran proses pembelajaran dan internalisasi nilai aqidah pada santri, kerena pokok pembahasan yang terdapat pada masing-masing buku ajar terkait erat dengan ruang lingkup kehidupan sehari-hari.
Ketiga, internalisasi nilai aqidah pada santri terwujud dalam bentuk keataan terhadap syariat Islam dan akhlaq mulia kepada orang lain. Hal ini terbukti dengan terbentuknya santri menjadi muslim multazim (berpegang teguh dan kokoh beragama) dan manusia beradab.
(16)
ABSTRACT
Iqbal Muammar Rosyad. S811002004: “The Learning Process in Al-Irsyad
Islamic Boarding School of Salatiga on the Internalization of Aqidah Subject.”. Thesis, Surakarta, Education Technology Study Program, Postgraduate Program of Sebelas Maret University of Surakarta, 2011.
This research was aimed to discuss deeply about the learning process of aqidah subject as well as how far the internalization of aqidah value on the students.
The research object was Al-Irsyad Islamic Boarding School of Salatiga which was one of Islamic education institution which was well-known to be advanced in Arabic and Aqidah subjects. The discussion on this thesis was focused on the learning process of aqidah and the internalization of its value on the students.
The used method by the researcher was qualitative method due to the fact that this research was descriptive which focused on the existing phenomena of how is the learning process in Al-Irsyad Islamic Boarding School of Salatiga and the internalization of aqidah values on the students. For the data collecting, the author used interview, observation, and documentation study methods. Meanwhile source and data triangulation were used for data validation.
After conducting the research, the author found the field data as follow: Firstly, the learning process in Al-Irsyad Islamic Boarding School of Salatiga had been running well. The curriculum development had matched the procedure and had been adequate for learning. The learning models had varied using CBSA, CTL, and inquiry methods. The learning evaluations had been done either on the learning input, process, or output. It was shown from the student’s achievement in which many of them were accepted in domestic and foreign universities in each year.
Secondly, in the learning process of Al-Irsyad Islamic Boarding School of Salatiga, characteristics of headmaster (mudir) and teachers (ustadz) played a big role on shaping the interaction and internalization of aqidah values on the students. The characteristics of learning material and media also supported the learning process and internalization of aqidah values on the students because the discussion topic on every single learning books was closely related to the daily life environment.
Thirdly, the internalization of aqidah values on the students took forms as students’ compliance to Islamic rules and sublime morals towards the others. It was proven by how the students became muslim multazim (holding religious norm firmly) and civilized human beings.
Keywords: Al-Irsyad Islamic Boarding School of Salatiga, Learning Process, and Internalization of Aqidah Values
(17)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain (QS.Al-Isra’:70). Sebagai makhluk termulia, pantaslah kalau manusia sebagai pemegang amanah kekahalifahan di muka bumi (QS.Al-Baqarah:30). Karena mengemban tugas kekhalifahan, manusia memiliki tanggung jawab moral untuk memakmurkan kehidupan di bumi. Oleh karena itu Allah telah memberikan kemampuan yang membedakan manusia dengan makhluk lain yakni berupa daya akal. Dengan menggunakan akal pikirannya, manusia mampu menentukan kehidupannya untuk menjadi orang bertaqwa ataupun sebaliknya, (QS.AS-Syams:8).
Sesuai dengan potensi (fitrah) manusia sebagai hamba Allah untuk semata-mata hanya mengabdi dan beribadah kepada-Nya (QS.Ad-Dzariyat:56), maka manusia harus membekali diri secara terus menerus melalui proses belajar mengajar atau pendidikan. Kemampuan untuk belajar dan mengajar inilah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Dengan demikian pentingnya
(18)
menjelajah seluruh isi rumah, tidak akan belok arah, dan tidak akan gagal menafsirkan isi di dalamnya.
Pendidikan adalah kunci utama untuk menggeledah rumah pengetahuan. Meski beraneka ragamnya, pendidikan merupakan jendela cakrawala dunia. Salah satunya adalah pendidikan dalam bentuk pondok pesantren.
Pesantren merupakan suatu komunitas dan tempat pendidikan agama. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren telah eksis di tengah masyarakat hampir enam abad (mulai abad ke-15 hingga saat ini) dan sejak awal berdiri menawarkan pendidikan Islam kepada masyarakat luas yang masih buta huruf. Bahkan pesantren pernah menjadi satu-satunya institusi pendidikan milik masyarakat pribumi yang memberikan kontribusi sangat besar dalam pembentukan masyarakat yang melek huruf (literacy) dan melek budaya (cultural literacy). Sehingga istilah pesantren dapat dikatakan sub culture pendidikan yang ada disekitar komplek pon-pes.
Selain sebagai subculture pesantren juga mampu memberikan kontribusi
besar terhadap masyarakat di sekitar hingga kini. Jalaluddin (1990:9) mencatat paling tidak pesantren telah memberikan dua macam kontribusi bagi sistem pendidikan di Indonesia. Pertama melestarikan dan melanjutkan sistem
pendidikan rakyat, dan kedua mengubah sistem pendidikan aristrokasi menjadi
sistem pendidikan demokrasi.
Sebagai lembaga pendidikan yang penuh dengan nilai-nilai keunikan, pesantren memiliki nilai tawar yang sangat strategis dalam mewarnai dunia
(19)
learning school, tapi lebih merupakan learning society, merupakan sisi unik yang dimiliki oleh pesantren, sebab di pesantren masyarakat bisa belajar dan menambah wawasan bersama. Hal ini yang menurut hemat penulis yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan yang lain, karena pesantren tidak hanya sekedar menjadi lembaga pendidikan sebagaimana layaknya lembaga pendidikan, tetapi lebih jauh pesantren mampu menampilkan diri sebagai lembaga yang sangat terbuka dan terintegrasi dengan masyarakat.
Proses pembelajaran bersama dengan penuh kebersamaan, seperti yang ditegaskan di atas merupakan sisi menarik dari kekayaan yang dimiliki oleh pesantren. Nilai-nilai kebersamaan dengan nuansa keterbukaan pembelajaran, semakin memposisikan pesantren sebagai lembaga yang bergerak dalam asumsi dari, untuk dan demi masyarakat, karena di dalam lingkup pondok pesantren masyarakat dapat belajar bersama dan berproses bersama hanya dengan satu keyakinan bahwa pesantren merupakan lembaga lokal yang memiliki ikatan kebersamaan, itulah yang sampai kini menjadi kekuatan pesantren dalam sepanjang sejarah perjalanan pesantren. Masyarakat dan pesantren bagaikan setali tiga uang yang tetap menyatu dan berkelindan, sehingga perubahan apapun yang terjadi di tengah banyak lembaga lain yang tenggelam, pesantren tetap eksis dan survev.
(20)
secara langsung ataupun tidak lebih merepresentasikan sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat dalam segala lintasan sosial, karena dapat belajar dan berproses di dalamnya dengan posisi dan derajat yang sama.
Dalam kerangka ini, pesantren secara otomatis telah masuk ke dalam salah satu lembaga pendidikan yang memiliki peran-peran strategis dalam mengawal terciptanya masyarakat yang terdidik dan masyarakat yang berpengetahuan sesuai dengan cita-cita UUD 1945 untuk membentuk manusia seutuhnya, terutama di tengah tantangan kemajuan bangsa-bangsa lain yang semakin dinamis dan cepat.
Dalam perkembangannya, pesantren mulai menerima modernisasi pendidikan dan bahkan mengadopsinya dengan pendidikan pesantren. Sehingga banyak pesantren mendirikan madrasah-madrasah yang berada dalam komplek pesantren masing-masing, namun ada juga pesantren yang masih mempertahankan pendidikan tradisional yaitu masih mempertahankan keIslaman murni atau dikenal dengan pesantren salaf (Streenbrink, 1986:2930).
Selain memberikan kontribusi yang besar terhadap pendidikan nasional, pesantren masih eksis sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fidin) yang sejauh ini telah banyak melahirkan ulama, tokoh, mubaligh serta guru agama yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Data empirik yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tafaqquh fiddin tradisional, yang kondusif bagi pembentukan watak kemandirian, keikhlasan, kesederhanaan, dan tempat
(21)
Untuk membentuk pendidikan tafaqquh fiddin didukung dengan nilai-nilai semangat pendirinya. Dalam hal ini kepemimpinan seorang kiai berpengaruh terhadap kemajuan pesantren. Kiai adalah pemimpin non formal sekaligus pemimpin spriritual, dalam posisinya sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah di desa-desa (Qomar, 2002:29). Bahkan sebagai pemimpin masyarakat kiai memiliki jamaah komunitas dan massa yang diikat oleh hubungan keguyuban yang erat dan ikatan budaya paternalistic. Petuah-petuah selalu di dengar, diikuti dan dilaksanakan oleh jamaahnya (Ismail, 1999:39-40).
Peran kiai dalam kemajuan pesantren juga hendaknya mendapat dukungan dari semangat para santri. Adapun motivasi santri memasuki pesantren umumnya ingin mendalami ilmu agama, dengan cita-cita agar jadi tokoh agama. Sedangkan kiai menyelenggarakan pesantren karena didorong oleh rasa kewajiban untuk menyiarkan ilmu agama.
Pembelajaran adalah bagian dari pendidikan, pembelajaran adalah suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berkaitan dan berhubungan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Adapun pembelajaran yang ada di pesantren tidak hanya berada pada situasi di kelas atau pada kegiatan formal pondok, tetapi pembelajaran juga muncul di luar dari kegiatan rutin
(22)
transformasi atau pemindahan pesan dari guru (ustadz), siswa (santri), buku dan lingkungan belajar.
Manusia merupakan makhluk Allah yang dianugerahi potensi untuk mengimani Allah dan mengamalkan ajaran-Nya. Karena fitrah inilah manusia dijuluki homo religius, makhluk beragama.
Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan atau peluang untuk berkembang. Namun dalam perkembangannya manusia sangat tergantung kepada proses pendidikan yang diterima (faktor lingkungan).
Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk pada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah dan pengaktualisasiannya melalui peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat
hablumminallah dan hablumminannas. Keimanan kepada Allah dan
aktualisasinya dalam ibadah merupakan hasil dari internalisasi, yaitu proses pengenalan, pemahaman, dan kesadaran pada diri seseorang terhadap nilai-nilai agama.
Dalam internalisasi nilai-nilai agama ada dua faktor yang mempengaruhi individu yaitu faktor internal dan ekternal. Internalisasi nilai ini berawal dari pembiasaan. Pembiasaan dalam praktek keagamaan mempunyai manfaat yang besar guna menanamkan suatu nilai pada peserta didik. Suatu tindakan yang dilakukan secara terus menerus dalam waktu yang lama akan membekas pada diri seseorang dan menjadi kepribadian tertentu. Sebenarnya pembiasaan
(23)
ulama’ terdahulu juga menggunakan pembiasaan sebagai salah satu teknik untuk mendidik. Untuk itu pembiasaan perlu diterapkan dalam pendidikan modern.
Internalisasi nila-nilai keagamaan memegang peranan penting dalam konteks kehidupan bersama karena merupakan salah satu tahap tingkah laku penyesuaian diri yang melahirkan gerak hati dalam bentuk tauhid, sabar, ikhlas dan sebagainya. Dengan terbentuknya sifat-sifat tersebut dapatlah terwujud kehidupan bersama yang sejahtera. Kelebihan internalisasi nilai-nilai adalah terbentuknya kemampuan yang mendasar untuk mengambil dan bertingkah laku yang sesuai dengan norma dan sikap yang dikehendaki oleh agama dan masyarakat. Pembahasan nilai-nilai ini bersifat abstrak dan memerlukan pengamalan yang panjang untuk memahaminya, sehingga pendidik maupun peserta didik dituntut mampu berpikir secara abstrak yang umumnya sulit dilaksanakan. Internalisasi nilai-nilai keagamaan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan pembiasaan, (Muhaimin:2002).
Dalam tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga sekolah. Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan melalui
tiga tahap yaitu: Pertama sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai
(24)
dan peserta didik sebagai usaha pembiasaan yang menjunjung sikap dan perilaku yang komitmen dan loyal terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang disepakati. Imam Al-Gozaly juga menggunakan pembiasaan dalam mendidik anak, sebagaimana dikutip oleh Arifin dalam Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Bumi Aksara,1991), bahwa bila seorang anak dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik, maka akan berkembanglah sifat-sifat yang baik itu pada dirinya dan akan memperoleh kebahagiaan hidup dunia-akhirat. Sebaliknya bila anak dibiasakan dengan sifat-sifat jelek, dan dibiarkan begitu saja, maka tentu akan celaka dan binasa.
Dalam Islam manusia didorong untuk mengamalkan ilmu pengetahuan dan mengaktualisasikan keimanan dan ketaqwaan dalam hidup sehari-hari sebagaimana terkandung di dalam perintah shalat, puasa dan sebagainya. Untuk mengaktualisasikan keimanan dan ketaqwaan perlu adanya suatu perbuatan yang berkesinambungan (terus-menerus) sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat tertanam dalam diri seseorang.
Peran guru dan siswa dalam proses pembelajaran dapat dikatakan dominan dalam mencapai tujuan intruksional, institutional dan tujuan pendidikan nasional yang sudah ditetapkan dan tentu cakupan materi dan lingkungan pembelajaran tidak kalah pentingnya dalam proses suatu pembelajaran. Oleh karena itu evaluasi, perbaikan dan peningkatan proses pembelajaran secara berkesinambungan akan meningkatkan mutu pendidikan.
(25)
Tengaran, kabupaten Semarang, yang lebih dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga. Khususnya pada mata pelajaran aqidah (tauhid). Pernyataan di atas terbukti dengan banyaknya alumni pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga yang kuat (baca: istiqomah) memegang ajaran aqidah seusai menimba ilmu beberapa tahun di pesantren tersebut. Meski zaman senantiasa berubah, waktu pun juga berjalan, namun para alumnus selalu berada dalam naungan kandungan ilmu aqidah yang mereka pelajari, seolah-olah telah mengakar erat pada tiap jiwa. Internalisasi nilai aqidah inilah yang menarik peliti untuk menelaah lebih dalam tentang proses pembelajaran aqidah di Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga, setelah beberapa tahun belakangan ini mengetahui tidak sedikit dari santri dan alumnus menjadi figur muslim multazim (beraqidah kuat).
Berangkat dari uraian di atas penulis mengadakan kajian terkait dengan "Proses Pembelajaran Di Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga Dalam Internalisasi Nilai Mata Pelajaran Aqidah Pada Santri" dengan harapan mampu memperoleh titik terang apakah benar pesantren Al-Irsyad Salatiga salah satu pondok pesantren yang tersohor dalam bidang aqidah dan membentuk santri berjiwa agamis sesuai tuntunan Nabi Muhammad (iltizam biddin).
(26)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, disusun rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
Bagaimana proses pembelajaran di Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga?
Adapun dari rumusan masalah penelitian di atas, dapat dibagi sub fokus sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik seorang kiai dan para ustadz dalam pembelajaran
di Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga?
2. Bagaimana karakteristik para santri yang berdomisili di asrama Pondok
Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga?
3. Bagaimana karakteristik lingkungan belajar di Pondok Pesantren Islam
Al-Irsyad Salatiga?
4. Bagaimana interaksi dan model pembelajaran aqidah yang ada di Pondok
Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga?
5. Bagaimana karakteristik bahan ajar mata pelajaran aqidah di Pondok
Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga?
6. Bagaimana bentuk internalisasi nilai para santri dari mata pelajaran aqidah
(27)
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui karakteristik seorang kiai dan para ustadz dalam
pembelajaran di Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga.
2. Untuk mengetahui karakteristik para santri yang berdomisili di asrama
Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga.
3. Untuk mengetahui karakteristik lingkungan belajar di Pondok Pesantren
Islam Al-Irsyad Salatiga.
4. Untuk mengetahui interaksi dan model pembelajaran aqidah yang ada di
Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga.
5. Untuk mengetahui karakteristik bahan ajar mata pelajaran aqidah di
Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga.
6. Untuk mengetahui bentuk internalisasi nilai para santri Pondok Pesantren
Islam Al-Irsyad Salatiga dari mata pelajaran aqidah berkaitan dengan kehidupan sehari-hari secara individu, lingkungan dan negara.
(28)
D. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis
1. Dapat menambah wawasan pemikiran atau wacana tentang peran
kiai sekaligus mudir (kepala pondok) selaku pimpinan tertinggi di pesantren.
2. Dapat menambah khazanah keilmuan terutama dalam bidang
karakteristik mata pelajaran aqidah, khususnya yang berkaitan dengan penerapan hukum Islam.
3. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
ilmu pengetahuan dan gambaran proses pembelajaran di Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga.
4. Dapat menambah pengetahuan tentang lembaga pendidikan yang
terbaik untuk setiap anak didik.
5. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi acuan untuk penelitian
selanjutnya.
b. Secara Praktis
1. Memberi masukan kepada seluruh masyarakat tentang pentingnya
proses pembelajaran yang benar dan menarik pada setiap lembaga atau institusi pendidikan.
2. Memberi pengetahuan kepada masyarakat umum akan
(29)
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan yang positif bagai para peneliti yang meneliti tentang proses pembelajaran di pesantren atau lembaga pendidikan Islami.
(30)
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Teori
1. Proses Pembelajaran Secara Umum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata proses bermakna: 1) runtutan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu: -kemajuan sosial berjalan terus; penyakit; kimia, reaksi kimia; 2) rangkaian tindakan, pembuatan, atau pengolahan yang menghasilkan produk; 3) perkara di pengadilan; sedang di pengadilan; verbal berita acara (laporan mengenai suatu perkara, yaitu waktu terjadinya, keterangan, dan petunjuk lain); verbal beberapa demonstran yang kini ditahan sedang dibuat; - adiabatik proses yang terjadi pada suatu sistem apabila selama berlangsungnya proses tidak ada panas (kalori) yang masuk atau keluar; -belajar tingkat dan fase-fase yang dilalui anak atau sasaran didik dalam mempelajari sesuatu; sosial proses pengaruh timbal balik antara pelbagai bidang kehidupan; - sosialisasi proses yang membawa anak pada perkenalan dan pergaulan dengan anak lain; berproses mengalami (mempunyai) proses; pengawasan dengan mekanisme komputer bisa cepat mengetahui segala angka atau data (Anton M. Moeliono:1997).
(31)
Menurut Moeslichatoen (2006:60) bahwa pembelajaran dapat diartikan sebagai proses yang membuat terjadinya proses belajar yang menghasilkan suatu perubahan.
Menurut Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (1997:33), proses belajar mengajar adalah suatu aspek dari lingkungan sekolah yang terorganisasi. Lingkungan ini diatur serta diawasi agar kegiatan belajar terarah sesuai tujuan pendidikan. Pengawasan turut menentukan lingkungan itu membantu kegiatan belajar. Lingkungan belajar yang baik adalah lingkungan yang menantang dan merangsang para siswa untuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan serta mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu faktor yang mendukung kondisi belajar di dalam satu kelas adalah job descreption proses belajar mengajar yang berisi serangkaian pengertian peristiwa belajar yang dilakukan oleh kelompok-kelompok siswa.
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar juga merupakan proses melihat, mengamati dan memahami sesuatu. (Nana Sudjana, 1989:28).
(32)
or practice”. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa indikator belajar ditujukan dengan perubahan dalam tingkah laku hasil dari pengalaman.
Berdasarkan hal di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal yang menjadi hakikat belajar yaitu sebagai berikut:
a. Belajar merupakan suatu proses, yaitu merupakan kegiatan yang
berkesinambungan dimulai sejak lahir dan terus berlangsung seumur hidup.
b. Dalam belajar terjadi adanya perubahan tingkah laku yang bersifat
relatif permanen.
c. Hasil belajar ditujukan dengan aktivitas-aktivitas tingkah laku
secara keseluruhan.
d. Adanya peranan kepribadian dalam proses belajar antara lain
aspek motivasi, emosional, sikap dan sebagainya.
Pembelajaran (instruction), merupakan akumulasi dari konsep
mengajar (teaching) dan konsep belajar (learning). Penekanannya pada perpaduan antara keduanya, yakni kepada penumbuhan aktivitas subjek didik. Konsep tersebut dapat dipandang sebagai suatu sistem, sehingga dalam sistem belajar ini terdapat komponen-komponen siswa atau peserta didik, tujuan, materi untuk mencapai tujuan, fasilitas dan prosedur serta alat atau media yang harus dipersiapkan.
Learning System menyangkut pengorganisasian dari perpaduan antara manusia, pengalaman belajar, fasilitas, pemeliharaan atau
(33)
pembelajaran untuk mencapai tujuan. Demikian halnya juga dengan learning system, dimana komponen perencanaan mengajar, bahan ajar, tujuan, materi dan metode, serta penilaian dan langkah mengajar akan berhubungan dengan aktivitas belajar untuk mencapai tujuan.
Mengacu pada PP No.19 tahun 2005, standar proses pembelajaran yang sedang dikembangkan, maka lingkup kegiatan untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien meliputi: (1) perencanaan proses pembelajaran, (2) pelaksanaan proses pembelajaran, (3) penilaian hasil pembelajaran, dan (4) pengawasan proses pembelajaran.
Keempat lingkup kegiatan dalam standar proses pembelajaran di atas, dijelaskan oleh Pudji Muljono (2006:31-32) sebagai berikut:
“Standar perencanaan proses pembelajaran didasarkan pada prinsip sistematis dan sistemik. Sistematik berarti secara runtut, terarah dan terukur dari jenjang kemampuan rendah hingga tinggi secara berkesinambungan. Sistemik berarti mempertimbangkan berbagai faktor yang berkaitan, yaitu tujuan yang mencakup aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan, karakteristik peserta didik, karakteristik materi ajar yang mencakup fakta, konsep, prosedur, dan prinsip, kondisi lingkungan dan hal-hal lain yang menghambat atau mendukung terlaksananya proses
(34)
didik dan antara peserta didik dengan aneka sumber belajar. Untuk itu perlu diperhatikan jumlah maksimal peserta didik dalam setiap kelas, beban pembelajaran maksimal pendidik, dan ketersediaan buku teks pelajaran bagi peserta didik. Disamping itu perlu dipertimbangkan bahwa proses pembelajaran bukan sekedar menyampaikan ajaran, melainkan juga pembentukan pribadi peserta didik yang memerlukan perhatian penuh dari pendidik, maka juga perlu ditentukan tentang rasio maksimal jumlah peserta didik per pendidik. Perihal kemampuan pengelolaan kegiatan belajar dan pembelajaran pendidik, juga sesuatu yang harus menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
Standar penilaian basil pembelajaran ditentukan dengan menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh peserta didik. Teknik yang dimaksud dapat berupa tes tertulis, observasi, uji praktik, dan penugasan perseorangan atau kelompok. Untuk memantau proses dan kemajuan belajar serta memperbaiki basil belajar peserta didik dapat digunakan teknik penilaian portofolio atau kolokium. Secara umum penilaian dilakukan untuk mengukur semua aspek perkembangan peserta didik yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan dengan mengacu dan sesuai dengan standar penilaian.
Standar pengawasan proses pembelajaran adalah upaya penjaminan mutu pembelajaran bagi terwujudnya proses pembelajaran
(35)
Pengawasan perlu didasarkan pada prinsip-prinsip tanggung jawab dan kewenangan, dilakukan secara periodik, demokratis, terbuka, berkelanjutan. Pengawasan meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan pengambilan langkah tindak lanjut. Upaya pengawasan terhadap proses pembelajaran pada hakikatnya adalah tanggung jawab bersama antara kepala sekolah, pengawas, dan sejawat atau pihak lain yang ditugasi untuk melaksanakan pengawasan secara internal.
Sejatinya pembelajaran adalah proses interaksi antara siswa dengan lingkungan yang mengarah kepada perubahan perilaku yang lebih baik. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi terjadinya proses interaksi ini, baik faktor internal yang datang dari dalam diri individu maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan (Mulyasa, 2006:100).
Sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Agar dapat melaksanakan peran sebagai fasilitator dalam proses pembelajran, guru perlu untuk: 1) memahami berbagai jenis media dan sumber belajar beserta fungsi masing-masing media, 2) mempunyai keterampilan dalam merancang suatu media, 3) mampu mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat memanfaatkan berbagai sumber belajar, dan 4)
(36)
dukungan berupa sarana pembelajaran agar kewajibannya dalam melaksanakan tugas sebagai tenaga edukatif menjadi lebih mudah, lancar dan menarik. Masing-masing sekolah juga memiliki kelengkapan yang berlainan sehingga masing-masing guru juga harus mampu menyesuaikan kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan dengan dukungan sarana pembelajaran yang dimiliki.
Unsur manusia yang terlibat dalam proses pembelajaran terdiri atas siswa-guru, dan tenaga lainnya seperti tenaga laboratorium, perpustakaan dan lain-lain. Unsur material meliputi buku-buku, papan tulis, kapur, fotografi, slide, film, audio dan video tape. Unsur fasilitas dan perlengkapan terdiri dari ruang kelas, ruang laboratorium, ruang perpustakaan, perlengkapan audio visual, UHV dan komputer. Sedangkan dari prosedur meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian dan sebagainya.
Rumusan tersebut tidak terbatas dalam ruang saja. Proses pembelajaran dapat juga dilakukan dilakukan dengan cara membaca buku, belajar di kelas atau rumah, karena pembelajaran dapat diwarnai oleh organisasi dan interaksi antar berbagai komponen yang saling berkaitan untuk membelajarkan peserta didik.
Dalam memahami masalah pembelajaran tidak dapat dilepaskan dari kata belajar, karena pembelajaran menurut Zainal Aqib (2002:41) dalam bukunya Profesionalisme Guru pembelajaran adalah: 1) upaya
(37)
peserta didik, 2) upaya mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga masyarakat yang baik, 3) suatu proses membantu sistem menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari.
Belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya intekasi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut W.H. Buston (1993:4):
“learning is change in individual due to interaction of that individual and his enviroment which feels a need and makes him mare capable of dealingadequately with his environment".
Dalam pengertian di atas terdapat kata change atau “perubahan”
yang berarti bahwa seseorang yang telah mengalami proses belajar akan mengalami perubahan tingkah laku, baik dalam aspek pengetahuan, keterampilan maupun dalam bersikap. Perubahan tingkah laku dalam aspek pengetahuan ialah dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari bodoh menjadi pintar, dalam aspek keterampilan ialah dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak terampil menjadi terampil, dalam aspek sikap ialah dari ragu-ragu menjadi yakin, dari tidak sopan menjadi sopan, dari kurang ajar menjadi terpelajar. Hal ini merupakan terjadinya perubahan tingkah laku
(38)
a situation, provide the change cannot be atri buted to growth or the temporary state of the organism (as fatigue or unde drugs).
Terjemahan bebasnya adalah “Belajar ialah suatu proses dimana ditimbulkan atau diubahnya suatu kegiatan karena mereaksi suatu keadaan. Perubahan itu tidak disebabkan oleh suatu proses pertumbuhan (kematangan) atau keadaan organisme yang sementara (seperti kelelahan atau karena pengaruh obat-obatan).
Belajar menurut Lyle E.Bourre dan JR. Bruce R.Ekstrand (1976:99):
“Learning as a relati ely permanent change in behavior tracebale to experience and practice”.
Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap yang diakibatkan oleh pengalaman dan latihan). Menurut Cliffort T.Morgan (1961:187):
“Learning is an relatively permanent change in behavior that is a result of pas experience".
Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap yang merupakan hasil pengalaman lalu.
Beberapa definisi tersebut menunjukkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia. Perubahan tingkah laku ini bukan disebabkan oleh proses pertumbuhan yang bersifat fisiologis atau proses kematangan. Proses yang terjadi karena belajar
(39)
sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik). Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok dalam keseluruhan proses pendidikan. Hal ini mengandung arti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami peserta didik.
Sehubungan dengan hal belajar, banyak ahli yang telah memberikan batasannya, antara lain adalah Skinner, Gagne dan Piaget. Menurut Skinner, belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responnya menurun. Oleh karena itu dalam belajar dapat ditemukan hal-hal: 1) kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respon siswa, 2) respon siswa, dan 3) konsekuensi yang bersifat menguatkan respon tersebut. Sebagai ilustrasi, perilaku respon yang tidak baik diberi teguran dan hukuman (Dimyati:2002). Adapun menurut Gagne, belajar adalah kegiatan yang kompleks. Hasil belajar tersebut berupa kapabilitas. Sesudah belajar, yang bersangkutan memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut adalah berasal dari: (1) stimulasi yang berasal dari lingkungan; dan (2) proses kognitif yang dilakukan oleh siswa. Dengan demikian belajar adalah seperangkat proses
(40)
mengalami perubahan. Karena interaksi dengan lingkungan ini maka fungsi intelek dari individu yang bersangkutan menjadi berkembang (Dimyati dan Mudjiono, 2002:13-14).
Mengacu pada pengertian belajar tersebut, maka yang dimaksud dengan pembelajaran adalah suatu proses dalam upaya memberikan perubahan pada diri sesorang yang melakukan belajar berupa kecakapan, keterampilan, pengetahuan, kebiasaan, pengertian dan sebagainya.
Dalam suatu pembelajaran tentu terjadi interaksi yang disebut dengan interaksi edukatif. Dalam suatu interkasi edukatif terdapat komponen-komponen seperti: (1) bahan yang menjadi isi proses; (2) ada tujuan yang akan dicapai; (3) ada pelajar yang aktif mengalami; (4) ada guru yang melaksanakan; (5) ada metode tertentu untuk mencapai tujuan; (6) proses interaksi tersebut berlangsung dalam ikatan situasional. Komponen-komponen tersebut demikia erat sehingga tak ada satupun komponen yang dapat dilepas tanpa menimnulkan kepincangan dalam suatu interaksi edukatif.
Berdasarkan pokok pikiran tersebut dapat disampaikan bahwa di dalam proses pembelajaran harus ada: (1) tujuan pembelajaran yang jelas akan dicapai; (2) bahan pembelajaran yang menjadi isi proses; (3) pelajar yang aktif belajar; (4) guru yang melaksanakan pembelajaran; (5) metode pembelajaran tertentu guna mencapai tujuan pembelajaran; dan (6) bahwa proses interaksi suatu pembelajaran berlangsung dalam ikatan situasi
(41)
2. Proses Pendidikan dan Pembelajaran Pondok Pesantren
Dari sejarah diketahui bahwa kehadiran Kerajaan Bani Umayyah menjadikan pesatnya ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di masjid tetapi juga pada lembaga-lembaga yang lain, seperti ‘kutab’. Kutab dengan karakteristik yang khas merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca tulis dengan sistem halaqoh (sistem wetonan), (Hasan Langgulung, 1988:12).
Di Indonesia istilah Kutab lebih dikenal dengan istilah “pondok
pesantren”, yaitu lembaga pendidikan Islam yang didalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok sebagai tempat tinggal para santri (Mukti Ali, 1987:323). Dengan demikian, ciri-ciri pondok pesantren adalah adanya kiai, santri, masjid dan pondok.
Tujuan terbentuknya pondok pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum di bentuknya pondok yaitu membimbing anak-anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang dengan ilmu agamanya sanggup
(42)
yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat (Arifin HM, 1991:248).
Pesantren merupakan pranata pendidikan tradisional yang dipimpin oleh seorang kiai atau ulama. Di pesantren inilah para santri dihadapkan dengan berbagai cabang ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab kuning. Pemahaman dan penghafalan terhadap Al-Qur’an dan Hadits merupakan syarat bagi para santri (Imain Al-Fatta:1991, Panjimas no.677 Maret).
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang termasuk tua, sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat non klasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan sorogan. Di Jawa Barat, metode tersebut diistilahkan dengan “Bandungan”, sedangkan di Sumatera digunakan istilah “Halaqah” (Depag RI, 1983:8).
Metode wetonan (halaqah) yaitu metode pengajaran dimana di dalamnya terdapat seorang kiai yang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif (Aziz Masyhuri:1989). Sedangkan yang dimaksud metode sorogan yaitu metode yang santrinya cukup pandai men-sorog-kan (mengajukan) sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung
(43)
dibenarkan oleh kiai. Metode ini dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual (Amir Hamzah:1989).
Perkembangan berikutnya, disamping tetap mempertahankan sistem ketradisionalan, pesantren juga mengembangkan dan mengelola pendidikan madrasah. Begitu pula untuk mencapai tujuan bahwa kelak para santri mampu hidup mandiri. Kebanyakan saat ini pesantren juga memasukkan pelajaran keterampilan dan pengetahuan umum.
Pada sebagian pondok, sistem penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran semakin lama semakin berubah karena dipengaruhi oleh perkembangan pendidikan di tanah air serta tuntutan dari masyarakat di lingkungan pondok pesantren itu sendiri. Dan sebagian pondok tetap mempertahankan sistem pendidikan yang sama.
Penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren dewasa ini menurut Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI (1991:134) dapat digolongkan kepada tiga bentuk:
a. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran
agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non klasikal (sistem bandungan dan sorogan) dimana seorang kiai mengajar santri-santri
(44)
b. Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut di atas, tetapi para santrinya tidak disediakan pondok di kompleks pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (santri kalong), dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem weton, yaitu santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu.
c. Pondok pesantren dewasa ini merupakan lembaga gabungan
antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran Islam dengan sistem bandungan, sorogan, ataupun wetonan denga para santri disediakan pondokan ataupun merupakan santri kalong, yang dalam istilah pendidikan pondok modern memenuhi kriteria pendidikan non formal, serta menyelenggarakan pula pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai tingkatan dan aneka kejuruan menurut kebutuhan masyarakat masing-masing.
Secara garis besar, pesantren sekarang menurut Zuharini (1986:14) dibedakan menjadi dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern.
a. Pesantren tradisional
(45)
disebut kitab kuning. Diantara pesantren ini ada yang mengelola madrasah, bahkan juga sekolah-sekolah umum mulai tingkat dasar atau menengah, dan ada pula pesantren-pesantren yang mengelola pendidikan hingga perguruan tinggi. Murid-murid dan mahasiswa diperbolehkan tinggal di pondok atau di luar, tetapi mereka diwajibkan mengikuti pengajaran kitab-kitab dengan cara sorogan maupun bandungan, sesuai dengan tingkatan masing-masing. Pesantren Modern
Pesantren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan sekolah ke dalam pondok pesantren. Semua santri yang masuk pondok terbagi dalam tingkatan kelas. Pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol, bahkan ada yang cuma pelengkap, tetapi berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi. Begitu pula dengan sistem yang diterapkan, seperti cara sorogan dan bandungan mulai berubah menjadi individual dalam hal belajar dan kuliah scara umum atau stadium general. Kemudian dalam pertumbuhan dan perkembangannya sering dengan perkembangan zaman, tidak sedikit pesantren kecil yang berubah menjadi madrsah atau sekolah, atau karena kiai yang menjadi tokoh
(46)
3. Proses Pembelajaran Pondok Pesantren Al-Irsyad
Proses pembelajaran yang dipakai di Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga adalah formal dan non formal. Proses pembelajaran formal adalah jenis sistem pendidikan modern yang diselenggarakan selama enam hari dalam satu pekan. Dalam hal ini santri harus mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di kelas mulai pikul 07.00 s/d 13.00 WIB, diselingi istirahat dua kali pada pukul 09.35 s/d 10.00 dan pukul 11.15 s/d 11.30 WIB dan diakhiri dengan shalat dhuhur berjamaah pada pukul 13.00 s/d 13.30 WIB. Dalam satu hari para siswa rata-rata mendapatkan 10 jam pelajaran dengan durasi masing-masing pelajaran 40 menit. Materi program kepesantrenan dengan non kepesantrenan disusun sesuai jadwal. Untuk sore hari digunakan kegiatan ekstra kurikuler yaitu pukul 16.00 (ba'da ashar) sampai pukul 17.00 WIB.
Adapun pendidikan non formal adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar kelas dengan maksud menjaga keseimbangan antara aspek keilmuan dan aspek amaliyah (praktek) yang menjadi ciri khas pesantren. Melalui kegiatan ini, ilmu yang diperoleh dari kelas langsung bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Selain itu, fungsi kegiatan non formal disamping untuk mempraktekkan juga dapat menambah dan memperkuat ilmu para santri. Diantara jenis kegiatan non formal yang ada di Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga adalah: Organisasi Pelajar (Jum`iyah Tholabah), Santri Pecinta Alam (Aulita),
(47)
Ba'da Magrib, Baca Al-Qur'an (Qiro'atul Qur'an), Seminar (Dauroh), Aneka Olah Raga, Latihan Jurnalistik, dan Bakti Sosial.
Sistem pendidikan yang diambil oleh Al-Irsyad Salatiga untuk pondok pesantren adalah sistem pendidikan yang berasal dari Islamic University of Medina, KSA. Salah satu sistem yang dipakai adalah sistem MTW (Mutawashitoh) dan IM (I`dad Muallimin) yang diperkenalkan sebagai pengganti sistem pendidikan klasikal dan individual. Seperti kebanyakan sistem pendidikan baru, sistem MTW dan IM tidak langsung diterima oleh kalangan dinas pendidikan. Bahkan sebagian malah meragukan keberadaannya yang menantang sistem pendidikan tradisional yang masih digunakan di pondok pesantren lain.
Perbedaan utama diantara sistem baru MTW dan IM ini dan
sistem pendidikan tradisional yang diajar di pondok pesantren lain adalah sistem modern ini tidak menggunakan sistem pengajaran wetonan (massal) dan sorogan (individual). Para santri dididik dan diajarkan pada madrasah MTW dan IM yang berjenjang dari kelas satu sampai kelas enam, setaraf MTs dan MA. Kini seluruh santri kelas tiga MTW dan IM bisa mengikuti ujian bersama dibawah pengawasan Departemen Agama RI.
(48)
Al-Irsyad Salatiga menerapkan double system yakni menerapkan pendidikan formal dan non-formal. Secara formal pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga semenjak tahun 1990-an memberikan sekolah formal seperti:
a) SDITQ (Sekolah Dasar Islam Tahfidzul Qur'an) / Setingkat SD
Wadah pendidikan dalam jenjang ini berusaha untuk dapat mencetak para lulusan yang hafal Al-Qur'an. Lususan jenjang ini memiliki Ijazah Nasional dan Pesantren.
b) MTW (Mutawasithoh) / Setingkat SMP
Wadah pendidikan dalam jenjang ini berusaha untuk dapat mencetak para lulusan yang mempunyai kemampuan bahasa Arab yang optimal serta pengetahuan keislaman maupun pengetahuan umum yang memadai. Lulusan jenjang ini memiliki Ijazah Nasional dan Pesantren. SLTP/MTs Al-Irsyad yang disyahkan dengan SK Kepala Kantor Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah. Melalui SK ini maka bagi santri-santri yang berminat untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dapat mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN).
c) IM (I'dad Muallimin) / Setingkat SMA
Wadah pendidikan dalam jenjang ini berusaha untuk dapat mencetak para lulusan yang menguasai ilmu-ilmu keislaman secara mendalam dibarengi dengan pengetahuan umum serta bidang-bidang
(49)
Nasional dan Pesantren yang telah mendapat akreditasi mu'adalah (persamaan) dari Kerajaan Saudi Arabia. Selain itu juga telah mendapatkan akreditasi dari Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir dan beberapa perguruan tinggi lainnya di Timur Tengah.
d) IL (I'dad Lughowi)
Wadah pendidikan dalam jenjang ini diperuntukkan bagi para lulusan SMP atau yang setara selain jenjang MTW Al-Irsyad dengan fokus penguasaan bahasa arab untuk dapat masuk jenjang I'dad Muallimin Pesantren Islam Al-Irsyad. Pendidikan dalam jenjang ini dilaksanakan selama satu tahun dan mendapatkan Ijazah Pesantren.
Sedangkan secara non-formal pengajian-pengajian kitab klasik diselenggarakan setelah shalat maghrib dengan metode ceramah, di mana kiai atau ustadz membacakan ceramah di depan para santri dan para santri pun mendengarkan secara seksama.
Secara umum, kurikulum Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga banyak diambil dari dan dipengaruhi oleh Islamic University of Medina. Namun pada kenyataannya, kurikulum MTW dan IM mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Daftar bidang studi dan mata pelajaran dalam kurikulum MTW dan IM tidak persis, karena di
(50)
kelas satu intensif, kelas tiga intensif, terus kelas lima dan enam biasa. Jurusan intensif tersebut lebih mementingkan pelajaran agama daripada pelajaran umum karena santri yang sudah lulus SMP sudah banyak dapat pelajaran umum tetapi ketinggalan dalam bidang ilmu agama.
Di tingkat MTW dan IM, kurikulum memadukan antara kurikulum Departremen Agama dengan kurikulum lokal pesantren. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi santri-santri yang ingin meneruskan ke jenjang pendidikan lain, baik di tingkat Madrasah Aliyah maupun Perguruan Tinggi.
Proses pembelajaran yang diterapkan di Pesantren Islam Al-Irsyad akan selalu dikembangkan untuk membentuk para santri lulusan Pesantren Islam Al-Irsyad menjadi lebih berkualitas dan unggul dalam kompetensi dibandingkan pesantren-pesantren lain baik di wilayah nusantara maupun mancanegara.
Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga berupaya untuk merekrut orang-orang yang berpotensi dan profesional untuk mewujudkan visi dan misi pesantren. Demikian pula potensi Sumber Daya Manusia Pesantren Islam Al-Irsyad yang sudah ada akan senantiasa digali dan dikembangkan sehingga seluruh pegawai pesantren dapat menjalankan peran mereka masing-masing secara optimal.
Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga berupaya untuk membentuk
(51)
Program-pesantren akan dicoba untuk diterapkan sehingga terbentuklah kondisi Pesantren Islam Al-Irsyad sebagai tempat belajar mengajar yang kondusif dan menyenangkan. Ketiga unsur inilah yang akan menopang keberhasilan pencapaian visi & misi pesantren.
4. Model Pembelajaran di Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad
Untuk membelajarkan santri sesuai dengan cara-gaya belajar sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam prakteknya, pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga menggunakan beberapa model dari beberapa model pembelajaran yang telah ada, mengingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas/media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.
Berikut ini beberapa model pembelajaran, untuk dipilih pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga dan dijadikan alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kondisi yang dihadapi:
(52)
secara kooperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas dan tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi, komunikasi, dan sosialisasi karena kooperatif adalah miniatur dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jadi model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4–5 orang, siswa heterogen (kemampuan, gender, karakter), ada kontrol dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran kooperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.
b. Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, suasana menjadi kondusif, nyaman dan menyenangkan. Prinsip pembelajaran kontekstual
(53)
adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.
Definisi tentang CTL ada beberapa macam. Tetapi pada hakekatnya system CTL mendorong siswa melihat makna dalam materi akademik yang dipelajari dengan cara menghubungannya dengan konteks kehidupan dalam kehidupn keseharaian siswa. CTL digambarkan oleh Johnson (2009) sebagai berikut:
“…an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting subjects with the context of their daily lives, that is with context of their personal, social, and cultural circumstance. To achieve this aim, the system encompasses the following eight components: making meaningful connections, doing significant work, self-regulated learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, teaching high standards, using authentic assessment”.
(Proses pendidikan yang bertujuan mendorong siswa melihat makna dalam materi akademik yang merek pelajarai dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks kehidupan dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks pribadi, sosial, dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini, sistem tersebut meliputi tujuh komponen berikut: membuat keterkaitan-keterkaitan yang
(54)
Pengertian CTL senada dengan yang dikemukakan Berns and Errickson (2007):
“Contextual teaching and learning is a conception of teaching and learning that helps teachers relate subject matter content to real world situations and motivates students to make connections between knowledge and its applications to their lives as family members, citizens, and workers and engage in the hard work that learning requires”.
(Konsep pembelajaran yang menolong guru untuk menggabingkan materi pembelajaran dengan kehidupan nyata serta motivasi siswa untuk menghubungkan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan nyata, yaitu anggota keluarga, masyarakat, dan pekerja dan mengajak untuk bekerja keras yang dibutuhan dalam sebuah pembelajaran).
Ada tujuh indikator pembelajaran kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu). Contoh, questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau
individual, mencoba mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi,
hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (review, rangkuman, tindak lanjut), authentic
(55)
terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya dari berbagai aspek dengan berbagai cara).
c. Pembelajaran Langsung (Direct Learning)
Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada keterampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).
d. Pembelajaran Berbasis masalah (Problem Based Learning)
Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap harus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dapat berpikir optimal.
Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi,
(56)
adalah mencari atau menemukan cara penyelesaian (menemukan pola, aturan atau algoritma).
f. Problem Posing
Bentuk lain dari problem posing adalah problem posing, yaitu pemecahan masalah dengan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih simpel sehingga dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternatif, menyusun soal-pertanyaan. g. Problem Terbuka (Open Ended)
Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntut untuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban siswa yang beragam. Selanjutnya siswa juga diminta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut. Dengan demikian model pembelajaran ini lebih mementingkan proses daripada produk yang akan membentuk pola pikir, keterbukaan, dan ragam berpikir.
(57)
h. Probing-prompting
Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru
menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan setiap siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa mengkonstruksi konsep-prinsip-aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan. Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari proses pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses tanya jawab. Kemungkinan akan terjadi suasana tegang, namun demikian bisa dibiasakan. Untuk mengurangi kondisi tersebut, guru hendaknya mengajukan serangkaian pertanyaan disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan dan nada lembut. Ada canda, senyum, dan tertawa, sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria.
i. Pembelajaran Bersiklus (Cycle Learning)
Ramsey (1993) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif secara bersiklus, mulai dari eksplorasi (deskripsi), kemudian eksplanasi
(58)
j. Reciprocal Learning
Weinstein & Meyer (1998) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran harus memperhatikan empat hal, yaitu bagaimana siswa belajar, mengingat, berpikir, dan memotivasi diri. Sedangkan Resnik (1999) mengemukan bahwa belajar efektif dengan cara membaca bermakna, merangkum, bertanya, representasi, hipotesis. Untuk mewujudkan belajar efektif, Donna Meyer (1999) mengemukakan cara pembelajaran resiprokal, yaitu: informasi, pengarahan, berkelompok mengerjakan LKS-modul, membaca-merangkum.
Namun dari banyak model yang dikemukakan diatas Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga lebih banyak memakai model pembelajaran induktif. Model pembelajaran induktif adalah bagian dari model pembelajaran siswa aktif (CBSA). CBSA lebih menekankan proses pembelajaran pada keterlibatan siswa secara aktif (student centered). Model pembelajaran induktif (Thinking Inductively) ialah model pembelajaran dengan cara penyajian pelajaran yang banyak melibatkan siswa dalam proses-proses mental.
5. Sarana Pembelajaran
Menurut Barnadib (1986:113) sarana pembelajaran ialah suatu tindakan, perbuatan, situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan di dalam pendidikan. Sarana pendidikan
(59)
mantap. Sarana pembelajaran merupakan suatu yang harus dipilih sesuai dengan tujuan pendidikan/pembelajaran. Jelasnya, sarana pendidikan tidak terbatas pada benda-benda yang bersifat konkret saja, tetapi juga berupa nasehat, tuntunan, bimbingan, contoh, hukuman, ancaman, dan sebagaianya.
Sanjaya (2008:55) mendefinisikan sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelncaran proses pembelajaran, misalnya media pembelajaran, alat-alat pelajaran, perlengkapan sekolah, dan lain sebagainya. Sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran. Kelengkapan sarana dan prasarana akan membantu guru dalam menyelenggarakan proses pembelajaran. Dengan demikian sarana dan prasarana merupakan komponen penting yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran. Sedangkan keuntungan bagi sekolah yang memiliki kelengkapan sarana dan prasarana adalah 1) dapat menumbuhkan gairah dan motivasi guru mengajar, dan 2) dapat memberikan berbagai pilihan pada siswa untuk belajar.
Barizi (2009:103) menyebutkan beberapa sarana pembelajaran yang dapat digunakan untuk tercapainya tujuan secara efektif dan efisien
(60)
berikut: laboratorium pendidikan, laboratorium bahasa, gedung pengembangan bakat, gedung olahraga, media ekspresi dan aktualisasi, dan fasilitas lainnya harus tersedia dengan lengkap.
Dari penjelasan diatas, maka dapat diambil definisi dari sarana pembelajaran adalah sebagai berikut: “Sarana pembelajaran adalah segala perlengkapan dan peralatan, terutama alat peraga, media pembelajaran dan buku pelajaran yang mempunyai manfaat langsung dan diadakan untuk mencapai tujuan pembelajaran”.
6. Lingkungan Belajar
Salah satu faktor penting yang dapat memaksimalkan kesempatan pembelajaran bagi anak adalah penciptaan lingkungan pembelajaran yang kondusif. Kondisi pembelajaran efektif adalah kondisi yang benar-benar kondusif, kondisi yang benar-benar sesuai dan mendukung kelancaran serta kelangsungan proses pembelajaran (Muhammad Saroni:2006).
Lingkungan pembelajaran dalam hal ini, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tempat proses pembelajaran dilaksanakan. Sedangkan kondusif berarti kondisi yang benar-benar sesuai dan mendukung keberlangsungan proses pembelajaran. Proses pembelajaran merupakan interaksi antara anak dengan lingkungannya, sehingga pada diri anak terjadi proses pengolahan informasi menjadi pengetahuan, keterampilan dan sikap sebagai hasil dari proses belajar.
(61)
Lingkungan belajar dapat diciptakan sedemikian rupa, sehingga dapat memfasilitasi anak dalam melaksanakan kegiatan belajar. Lingkungan belajar dapat merefleksikan ekspektasi yang tinggi bagi kesuksesan seluruh anak secara individual. Dengan demikian, lingkungan belajar merupakan situasi yang direkayasa oleh guru agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Menurut Saroni (2006), lingkungan pembelajaran terdiri atas dua hal utama, yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Lingkungan fisik dalam hal ini adalah lingkungan yang ada disekitar siswa belajar berupa sarana fisik baik yang ada dilingkup sekolah, dalam hal ini dalam ruang kelas belajar di sekolah. Lingkungan fisik dapat berupa sarana dan prasarana kelas, pencahayaan, pengudaraan, pewarnaan, alat/media belajar, pajangan serta penataannya. Sedangkan lingkungan sosial merupakan pola interaksi yang terjadi dalam proses pembelajaran. Interaksi yang dimaksud adalah interkasi antar siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan sumber belajar, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, lingkungan sosial yang baik memungkinkan adanya interkasi yang proporsional antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran.
(62)
strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar. Oleh karena itu, peran guru selayaknya membiasakan pengaturan peran dan tanggung jawab bagi setiap anak terhadap terciptanya lingkungan fisik kelas yang diharapkan dan suasana lingkungan sosial kelas yang menjadikan proses pembelajaran dapat berlangsung secara bermakna. Dengan terciptanya tanggung jawab bersama antara anak dan guru, maka akan tercipta situasi pembelajaran yang kondusif dan bersinergi bagi semua anak, (Kusmoro:2008).
Berdasarkan uraian tentang lingkungan belajar tersebut diatas maka dapat disarikan bahwa lingkungan belajar yang di kelola adalah terutama bagaimana mengemas suasana kelas belajar, kelas belajar, dan sumber-sumber belajar yang ada di sekolah ataupun yang dapat diadakan dari alam lingkungan sekolah. Lingkungan belajar dalam hal terutama di kelas adalah sesuatu yang diupayakan atau diciptakan oleh guru agar proses pembelajaran kondusif dapat mencapai tujuan pembelajaran yang semestinya.
Lingkungan belajar di kelas sebagai situasi buatan yang berhubungan dengan proses pembelajaran atau konteks terjadinya pengalaman belajar, dapat diklasifikasikan yang menyangkut : 1) lingkungan (keadaan) fisik, dan 2) lingkungan sosial.
Macam-macam lingkungan belajar menurut Ki Hajar Dewantara
(63)
disebut sebagai “tripusat” pendidikan yang akan mempengaruhi manusia secara bervariasi.
7. Tinjauan Tentang Internalisasi Nilai Pembelajaran Pada Siswa
Internalisasi (internalization) diartikan sebagai penggabungan atau
penyatuan sikap, standar tingkah laku, pendapat, dan seterusnya di dalam kepribadian.
Reber, sebagaimana dikutip Mulyana dalam Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Alfabeta, 2004:21) mengartikan internalisasi sebagai menyatunya nilai dalam diri seseorang, atau dalam bahasa psikologi merupakan penyesuaian keyakinan, nilai, sikap, praktik dan aturan-aturan baku pada diri seseorang. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa pemahaman nilai yang diperoleh harus dapat dipraktikkan dan berimplikasi pada sikap. Internalisasi ini akan bersifat permanen dalam diri seseorang. Sedangkan Ihsan (2006:23) memaknai internalisasi sebagai upaya yang dilakukan untuk memasukkan nilai-nilai kedalam jiwa sehingga menjadi miliknya. Jadi masalah internalisasi ini tidak hanya berlaku pada pendidikan agama saja, tetapi pada semua aspek pendidikan, pada pendidikan pra-sekolah, pendidikan sekolah, pengajian tinggi,
(64)
akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku (Kamus Ilmiah Populer, 1994:267).
Ahmad Tafsir (2005:40) membedakan antara internalisasi dan personalisasi, namun kedua proses tersebut harus berjalan bersamaan dan menjadi satu kesatuan yang utuh. Internalisasi merupakan upaya memasukkan pengetahuan (knowing) dan keterampilan melaksanakan (doing) dari daerah ektern ke intern, dikatakan personalisasi karena upaya tersebut berupa usaha untuk menjadikan pengetahuan dan keterampilan menyatu dengan pribadi seseorang. Dalam kaitannya dengan nilai, pengertian-pengertian yang diajukan oleh beberapa ahli tersebut pada dasarnya memiliki substansi yang sama. Dengan demikian peneliti menyimpulkan bahwa internalisasi sebagai proses penanaman nilai kedalam jiwa seseorang sehingga nilai tersebut tercermin pada sikap prilaku yang ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari (menyatu dengan pribadi). Suatu nilai yang telah terinternalisasi pada diri seseorang memang dapat diketahui ciri-cirinya dari tingkah laku.
Pelaksanaan pendidikan nilai melalui beberapa tahapan, sekaligus menjadi tahap terbentuknya internalisasi yaitu:
a. Tahap transformasi nilai
Tahap ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendidik dalam menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik. Pada tahap ini hanya terjadi komunikasi verbal antara pendidik dan
(65)
pengetahuan dari pendidik ke siswa. Nilai-nilai yang diberikan masih berada pada ranah kognitif peserta didik dan pengetahuan ini dimungkinkan hilang jika ingatan seseorang tidak kuat.
b. Tahap transaksi nilai
Pada tahap ini pendidikan nilai dilakukan melalui komunikasi dua arah yang terjadi antara pendidik dan peserta didik yang bersifat timbal balik sehingga terjadi proses interaksi. Dengan adanya transaksi nilai pendidik dapat memberikan pengaruh pada siswa melalui contoh nilai yang telah dijalankan. Di sisi lain siswa akan menentukan nilai yang sesuai dengan diri masing-masing.
c. Tahap tran-internalisasi
Tahap ini jauh lebih mendalam dari tahap transaksi. Pada tahap ini
bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tapi juga sikap mental dan kepribadian. Jadi pada tahap ini komunikasi kepribadian yang berperan aktif. Dalam tahap ini pendidik harus betul-betul memperhatikan sikap dan perilaku agar tidak bertentangan yang ia berikan kepada peserta didik. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan siswa untuk meniru apa yang menjadi sikap mental dan kepribadian guru. Proses dari transinternalisasi itu mulai dari yang sederhana sampai yang komplek,
(66)
kepuasan untuk merespons nilai tersebut. Memberi nilai, yakni sebagai kelanjutan dari aktivitas merespon nilai menjadi siswa mampu memberikan makna baru terhadap nilai-nilai yang muncul dengan kriteria nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Mengorganisasi nilai, yakni aktivitas siswa untuk mengatur berlakunya sistem nilai yang ia yakini sebagai kebenaran dalam tingkah laku kepribadian sendiri sehingga memiliki satu sistem nilai yang berbeda dengan orang lain. Karakteristik nilai, yakni dengan membiasakan nilai-nilai yang benar yang diyakini, dan yang telah diorganisir dalam laku pribadi sehingga nilai tersebut sudah menjadi watak (kepribadian), yang tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupan. Nilai yang sudah mempribadi inilah yang dalam Islam disebut dengan kepercayaan/keimanan yang istiqomah dan iltizam, yang sulit tergoyahkan oleh situasi apapun.
Secara garis besar tujuan pembelajaran memuat tiga aspek pokok, yaitu: knowing, doing, dan being atau dalam istilah yang umum dikenal aspek kognitif, psikomotor, dan afektif. Internalisasi merupakan pencapaian aspek yang terakhir (being). Untuk selanjutnya penulis akan memaparkan ketiga aspek tujuan pembelajaran tersebut secara singkat. a. Mengetahui (knowing).
Disini tugas guru ialah mengupayakan agar murid mengetahui suatu konsep. Dalam bidang keagamaan misalnya murid diajar mengenai pengertian shalat, syarat dan rukun shalat, tata cara shalat, hal-hal yang
(67)
berbagai metode seperti; diskusi, tanya jawab, dan penugasan. Untuk mengetahui pemahaman siswa mengenai apa yang telah diajarkan guru tinggal melakukan ujian atau memberikan tugas-tugas rumah. Jika nilainya bagus berarti aspek ini telah selesai dan sukses.
b. Mampu melaksanakan atau mengerjakan yang ia ketahui (doing)
Masih contoh seputar shalat, untuk mencapai tujuan ini seorang guru dapat menggunakan metode demonstrasi. Guru mendemonstrasikan shalat untuk diperlihatkan kepada siswa atau bisa juga dengan memutarkan film tentang tata cara shalat selanjutnya siswa secara bergantian mempraktikkan seperti apa yang telah ia lihat dibawah bimbingan guru. Untuk tingkat keberhasilannya guru dapat mengadakan ujian praktik shalat, dari ujian tersebut dapat dilihat apakah siswa telah mampu melakukan sholat dengan benar atau belum.
c. Menjadi seperti yang ia ketahui (being)
Konsep ini seharusnya tidak sekedar menjadi milik siswa tetapi menjadi satu dengan kepribadiannya. Siswa melaksanakan shalat yang telah ia pelajari dalam kehidupan sehari-hari. Ketika shalat itu telah melekat menjadi kepriadian, seorang siswa akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga shalat dan merasa sangat berdosa jika sampai
(68)
Aspek ini lebih menekankan pada kesadaran siswa untuk mengamalkan. Selain melalui proses pendidikan disekolah perlu adanya kerja sama dengan pihak orang tua siswa, mengingat waktu siswa lebih banyak digunakan di luar sekolah. Dalam kajian psikologi, kesadaran seseorang dalam melakukan suatu tindakan tertentu akan muncul tatkala tindakan tersebut telah dihayati (terinternalisasi), (Ahmad Tafsir, 2004:224-225).
Kata nilai dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti harga. Nilai memiliki makna yang berbeda bila berada pada konteks yang berbeda pula. Dalam konteks akademik nilai bisa berarti angka kepandaian.
Nilai adalah sifat-sifat, hal-hal yang berguna penting bagi kemanusiaan (DEPDIKBUD, 1998:25). Adapun Mulyana (2004) mendefinisikan bahwasanya nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Pengertian ini tidak secara eksplisit menyebutkan cirri-ciri spesifik seperti norma, keyakinan, cara, sifat dan ciri-ciri yang lain. Namun definisi tersebut menawarkan pertimbangan nilai bagi yang akan menganutnya. Seseorang dapat memilih suatu nilai sebagai dasar untuk berperilaku berdasarkan keyakinan yang dimiliki.
Menurut Muhaimin yang mengutip pendapat Webster menjelaskan bahwa: A value is “a principle, or quality regarded as worthwhile or desirable”, yaitu nilai adalah prinsip, standart atau kualitas yang dipandang bermanfaat dan sangat diperlukan. Nilai adalah suatu keyakinan atau kepercayaan yang menjadi dasar bagi seseorang atau
(69)
sekelompok orang untuk memilih tindakannya, atau menilai suatu yang bermakna bagi kehidupannya.
Bertens (2007:140) menjelaskan pengertian nilai melalui cara memperbandingkannya dengan fakta. Fakta menurutnya adalah sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Sementara nilai adalah sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau. Fakta dapat ditemui dalam konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh orang banyak. Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang, sementara fakta menyangkut ciri-ciri obyektif saja.
Definisi lain tentang nilai dikemukakan oleh Richard Merril (Koyan, 2000: 13), menurutnya nilai adalah patokan atau standar pola-pola pilihan yang dapat membimbing seseorang atau kelompok ke arah satisfaction, fulfillment, and meaning. Menurut Sandin (Koyan,2000:13-14), patokan atau kriteria tersebut memberi dasar pertimbangan kritis tentang pengertian religius, estetika, dan kewajiban moral.
(70)
Menurut Kirschenbaum (1995:16-17) pendidikan nilai perlu dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara komprehensif. Pendekatan secara komprehensif dalam pendidikan nilai maksudnya adalah pendidikan nilai yang menyeluruh atau komprehensif yang dapat ditinjau dari segi metode yang digunakan, pendidik yang berpartisipasi (guru dan orang tua), dan konteks berlangsungnya pendidikan nilai (sekolah dan keluarga).
Dengan terinternalisasinya suatu nilai, potensi yang ada pada diri seseorang akan berjalan selaras dan seimbang, akan muncul keutamaan yang berwujud sifat-sifat seperti ketaqwaan, kejujuran, keadilan, kesabaran, kesopanan dan sebagainya. Dengan munculnya keutamaan tersebut berarti terbentuklah suara hati siswa sehingga dapat membedakan baik dan buruk serta mampu memilih mana yang harus ditaati dan mana yang dihindari dalam melaksanakan kehidupan bersama.
Nilai-nilai yang dipelajari manusia akan lenyap sewaktu-waktu, mengingat manusia adalah tempat salah dan lupa. Suatu nilai belum memberi manfaat yang berarti bagi kehidupan seseorang sebelum diamalkan, ibaratnya seperti pohon yang tidak berbuah. Tanpa adanya kesadaran, sangat sulit kiranyam mengaplikasikan nilai-nilai yang telah didapat apalagi pengamalan membutuhkan waktu yang panjang dan terus menerus (kontinuitas). Ketika suatu nilai telah menyatu dan menjadi bagian dari pribadi seseorang, tindakan akan terkontrol oleh adanya nilai.
(1)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melaksanakan penelitian di Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga dengan berbagai macam kegiatan dari observasi, dokumentasi dan wawancara mendalam, maka dapat disimpulkan bahwasanya pesantren tersebut layak untuk dijadikan qudwah atau rujukan lembaga-lembaga pendidikan Islam lain khususnya di dalam bidang bahasa Arab dan Aqidah (tauhid). Secara terarah hasil penelitian dapat disimpulkan sebagaimana berikut :
1. Bahwasanya Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga dipimpin oleh seorang mudir (kepala) pon-pes yang memiliki karakteristik Islami dan berperan sebagai penanggung jawab atas segala yang ada dan terjadi di pesantren. Mudir juga dijadikan panutan oleh segenap penghuni pesantren. Dilatar belakangi kemahiran di bidang ilmu agama dan iltizam di dalam perangai keseharian, maka para santri mampu memperoleh internalisasi nilai khususnya dalam mata pelajaran aqidan dari sosok mudir yang ada sekarang ini. Selanjutnya didapati bahwasanya Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga memiliki tenaga pengajar dengan sebutan ustadz yang kompeten dan ahli dari setiap disiplin ilmu, baik ilmu agama ataupun ilmu umum, lebih khususnya ustadz yang mengampu bidang studi aqidah. Selain berlatar belakang sarjana
(2)
mancanegara (Timur Tengah) terdapat salah satu ustadz aqidah yang langsung didatangkan dari Kerajaan Saudi Arabia. Semua ustadz berkarakter muslim sejati, beraqidah kuat dan berakhlak mulia, dan amanah di dalam bekerja. Perilaku terpuji juga menjadi salah satu karakter yang mendorong para santri mampu menginternalisasi nilai aqidah khususnya di dalam kehidupan sehari-hari.
2. Karakteristik para santri Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga beraneka ragam sesuai dengan karakter tempat kelahiran santri. Akan tetapi dengan adanya penanaman aqidah yang benar maka tidak ada beda antara santri satu dengan yang lain kecuali dari sisi ketaqwaan dan kemahiran ilmu agama.
3. Bahwasanya lingkungan belajar yang ada di Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga dinilai cukup kondusif dengan adanya sarana-prasarana, fasilitas dan suasana keislaman yang merata. Hal ini secara langsung mampu menjadikan para santri yang tinggal di pesantren dapat mewujudkan interaksi pembelajaran aqidah lebih terasa sekaligus mampu memunculkan internalisasi nilai aqidah sesuai dengan yang dipelajari.
4. Bahwasanya model pembelajaran aqidah di Pondok Pesantren Al-Irsyad Salatiga secara langsung dapat diinternalisasi oleh sebagian besar para santri di tiap jenjang pendidikan yang ada (SDITQ, MTW/MTs, IM/MA, dan IL). Pembelajaran aqidah menggunakan model keaktifan peserta didik dengan pendekatan inquiri, CBSA dan CTL. Para ustadz
(3)
ditekankan sebagai fasilitator dan santri adalah pemeran utama. Media pembelajaran yang digunakan juga berperan penting di dalam interaksi pembelajaran aqidan berikut internalisasi nilai aqidah pada santri. Berakhir dengan evaluasi pembelajaran dalam banyak jenis ternyata juga mampu membuat interaksi pembelajaran dan internalisasi nilai aqidah tampak nyata pada para santri.
5. Bahwasanya bahan ajar mata pelajaran aqidah di Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad berkarakteristik bahasa Arab klasik dan dikarang langsung oleh ulama kaliber dunia dalam bidang aqidah. Selain mampu menambah wawasan aqidah dan wacana keislaman lainnya, buku ajar yang ada juga mampu menambah kematangan santri mendalami kaedah-kaedah bahasa Arab dengan benar.
6. Bahwasanya bentuk nyata dari internalisasi nilai aqidah yang dipelajari oleh segenap santri Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga tercermin dalam bentuk akhlaq yang sesuai ajaran Islam. Akhlaq baik itu dibawa dan terus menghiasi santri baik tatkala berada di dalam pon-pes maupun ketika di luar, bahkan sampai lulus. Dapat juga berbentuk ucapan lisan di saat mengajar atau berdakwah untuk senantiasa berawal dari penanaman aqidah yang shahih kepada ummat hingga mampu mengentaskan manusia dari jeratan perbuatan syirik dan maksiat untuk menjadi muslim multazim.
(4)
A. Implikasi
Pondok Pesantren Al-Irsyad Salatiga terus berbenah dan berusaha dengan keras terkait peningkatan mutu pembelajaran khususnya bidang studi aqidah (tauhid) dan peningkatan internalisasi nilai pada para santri seperti :
1. Memberi kesempatan kepada para ustadz mengikuti studi lanjut ke jenjang yang lebih tinggi untuk meningkatkan kompetensi profesional, kompetensi sosial, kompetensi paedagogik, dan kompetensi personal. 2. Mendatangkan tenaga edukatif professional dari mancanegara dengan
tujuan peningkatan mutu pendidikan pada dunia kepesantrenan.
3. Pengadaan sarana-prasarana terutama media pembelajaran yang sangat diperlukan dan dibutuhkan dalam proses pembelajaran.
4. Menyediakan penambahan fasilitas ruang dan penataan lingkungan fisik untuk menunjang proses pembelajaran.
5. Mensinergikan kurikulum pesantren yang diadopsi dari kurikulum Saudi Arabia dengan kurikulum pemerintah Indonesia dengan tepat.
6. Memberikan penanaman ilmu sepanjang dua puluh empat jam penuh kepada para peserta didik dengan pantauan musyrif (pembina asrama). 7. Penggalakan evaluasi pembelajaran secara rutin pada para tenaga
pengajar dan peserta didik, baik dalam bentuk lisan atau pun tulisan. 8. Pengadaan kewajiban khidmah (pengabdian) selama satu tahun penuh
bagi para santri yang lulus untuk ditempatkan di banyak wilayah Indonesia.
(5)
B. Saran
1. Segenap ustadz perlu untuk senantiasa meningkatkan kemampuan, kreativitas, kekompakan, dan komitmen dalam rangka memberikan pelayanan pembelajaran yang lebih optimal dan mengesankan kepada para santri. Dengan kemampuan yang lebih maka sesuatu yang sulit akan terpecahkan. Dengan kreativitas yang terus hidup akan memunculkan inovasi yang tidak ternilai. Dengan kekompakan kerja berat akan terasa ringan, dan dengan komitmen segala sesuatu akan terasa menyenangkan. 2. Perlu ada pembuatan kurikulum sendiri dengan memadukan kurikulum
dari Departemen Agama RI yang sesuai dengan visi dan misi pesantren. 3. Diperbanyak pengadaan alat peraga khusus untuk mata pelajaran aqidah. 4. Lebih ditekankan penggunaan media pembelajaran yang berbentuk
elektronik tanpa menghilangkan metode pembelajaran yang lain.
5. Untuk meningkatkan SDM perlu pendidikan, pelatihan dan seminar baik secara independen maupun regional.
6. Pihak pesantren perlu memberikan kelonggaran waktu bagi ustadz yang mengampu beberapa bidang selain mengajar.
7. Untuk para ustadz senantiasa memberikan motivasi kepada para santri agar tetap ada semangat di dalam belajar di pon-pes.
8. Bagi para ustadz aqidah untuk mengkaji kembali materi atau pembahasan tauhid pada tiap jenjang pendidikan yang ada di pesantren, sehingga tidak muncul pengulangan materi.
(6)
9. Untuk para ustadz yang mengajar ilmu agama selain dari mata pelajara aqidah (tauhid) agar sebisa mungkin mengaitkan materi pelajaran yang diampu dengan pelajaran aqidah sebagai penanaman internaliasi nilai aqidah para santri.
10. Bagi para musyrif asrama agar menggalakkan penanaman aqidah selama santri berada di luar kelas, terutama ketika berada di kamar masing-masing.
11. Peran serta orang tua atau wali santri dalam mendukung internalisasi nilai aqidah perlu ditingkatkan. Peningkatan peran wali santri tersebut harus transparan, partisipatif dan akuntabel sehingga berujung pencapaian visi-misi pesantren.