Globalisasi dan Tata Ekonomi Politik Baru: Studi Kasus Persebaran K-Pop di Amerika Latin.

Globalisasi dan Tata Ekonomi Politik Baru:
Studi Kasus Persebaran K-Pop di Amerika Latin
Dias Pabyantara S.M.
Mahasiswa Pascasarjana Hubungan Internasional
FISIP Universitas Airlangga Surabaya
e-mail: [email protected]

ABSTRACT
K-Pop in the last decade evolved into a cultural phenomenon that grew into a global trend.
Development of the K-Pop as global trends then contain some indication of K-Pop
categorization as a model of global capitalism. The spread of the K-Pop has reached the global
level with a range of distribution in every continent. K-Pop positioned consequences as global
capitalism modelis not linearwithsocialismideology. This paper argue that the spread of K-Pop
globally, has compromised capitalism with socialism in society domain through the spread of
the K-Pop in the of regional Latin America case study. This paperfurther argues that the
DemocraticSocialistideology in the region of Latin America simply stop to the state level.
While the society in Latin Americafollowthe global trend interactively.
Keywords: K-Pop, capitalism, socialism, global.
K-Pop dalam dasawarsa terakhir berkembang menjadi fenomena budaya yang berkembang
menjadi tren global. Perkembangan K-Pop sebagai tren global kemudian mengandung
beberapa indikasi kategorisasi K-Pop sebagai model kapitalisme global. Persebaran K-Pop

telah mencapai level global dengan jangkauan sebaran di setiap benua. Konsekuensi
memposisikan K-Pop sebagai model kapitalisme global adalah secara ideologys tidak segaris
lurus dengan ideologi sosialisme. Tulisan ini berargumen bahwa persebaran K-Pop secara
global merujuk antara kapitalisme dan sosialisme dalam domain masyarakat melalui studi
kasus persebaran K-Pop di regional Amerika Latin. Lebih lanjut tulisan ini berargumen
bahwa ideologi sosialis demokrat di wilayah Amerika Latin hanya berhenti sampai dimensi
negara, dalam dimensi masyarakat Amerika Latin secara interaktif tetap mengikuti trend
global.
Kata-Kata Kunci: K-Pop, kapitalisme, sosialisme, global.

Dalam tulisan ini, Korean wave atau dalam Bahasa Korea disebut dengan “Hallyu”
merujuk pada mulai mengglobalnya budaya Korea mulai dari Benua Amerika, Asia,
Afrika sampai Timur Tengah dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (Ravina
2008).Dimulai dari Asia Timur, terminologi Korean Wave pertama kali digunakan
oleh jurnalis Cina yang menangkap fenomena Korean Wave semakin mewabah di Cina
(Kim 2007).Gelombang budaya Korea dapat dilacak kembali pada tahun 1997 ketika
untuk pertama kalinya serial drama Korea yang berjudul What Is Love All About
ditayangkan di televisi Nasional Cina yang dikelola Pemerintah Cina. Pencapaian
Korean wave ini kemudian dilanjutkan dengan, CCTV yaitu produk drama MBC-TV
drama dan Jealous yang dianggap sebagai produk budaya populer Korea Selatan pada

tahun 1993. Semakin berkembang, produk budaya populer dari Korea Selatan (K-Pop)
kemudianmenyebarmulai dari Asia Tenggara sampai Asia Tengah pada tahun 2000-an

Global & Policy Vol.2, No.1, Januari-Juni 2014

40

Dias Pabyantara

(Hyejung 2007). Sampai pada kisaran tahun 2007 sampai sekarang, Korean Wave yang
menyebarkan budaya populer Korea Selatan telah memasuki wilayah Amerika Serikat,
Amerika Latin, Eropa Timur Tengah bahkan wilayah Afrika. Dengan adanya
persebaran yang hampir mencakup seluruhduniatersebut, K-Pop berubah menjadi
industri budaya yang mempunyai agensi, pengaturan finansial dan pasar yang jelas
daripada hanya sebuah penyebaran budaya (Lim 2006).
Berbicara mengenai K-Pop, dimensi yang hampir pasti muncul adalah dimensi
ekonomi dan relasinya terhadap aspek budaya. Beberapa penstudi yang pernah
menulis mengenai K-Pop hampir pasti mengaitkannya dengan aspek ekonomi, atau
dengan aspek ekonomi politik. Tom Dixon (2011) membahas persebaran K-Pop melalui
dimensi ekonomi politik Korea Selatan yang kemudian membentuk power untuk Korea

Selatan mengembangkan K-Pop sebagai soft power-nya. Di sisi lain, kekuatan ekonomi
Korea Selatan juga dibentuk dari proses mengglobalnya K-Pop tersebut. Dalam
padangan lain, Mike Tastic (2012) memprediksi persebaran K-Pop untuk mendominasi
pasar Amerika akan sulit karena ketiadaan ikon yang melambangkan K-Pop secara
utuh. Tastic kemudian membandingkan K-Pop dengan mengglobalnya musik Amerika
Latin. Musik Amerika Latin sukses karena pada tahun 1998 terdapat Ricky Martin
sebagai simbol dari musik tersebut. Ketika pasar menyukai Ricky Martin maka secara
otomatis akan menyukai musik yang dibawakannya. Namun berbeda dengan K-Pop. KPop dibangun diatas dasar kapitalisme global dengan power simbolik yang terpisahpisah sehingga akan sulit menemukan figur pemersatunya.
Dari sudut pandang lain, John Searbrook (2012) berpendapat bahwa K-Pop disukai
justru karena person yang ada didalamnya menginternalisasi nilai-nilai Korea Selatan.
Mulai dari aspek fisik, cara berdandan, pembawaan, bahasa sampai gesture
mengindikasikan nilai-nilai Korea. Senada dengan penstudi sebelumnya, Flatley (2012)
melihat fenomena K-Pop dari kacamata Culture Technology. Flatley berpendapat
bahwa persebaran K-Pop hingga sampai level global adalah karena proses
pembentukan artis dalam K-Pop tersusun secara sistematis dengan pengkaderan yang
jelas. Berdasarkan literature review diatas, penelitian tentang K-Pop hamper selalu
membahas mengenai persebaran dan bagaimana persebaran K-Pop terjadi. Dari studi
literatur dari sumber yang relevan tersebut, posisi K-Pop sering dikaitkan dengan
dimensi ekonomi politik melalui persebaran budaya. Dalam tulisan ini penulis
mencoba memposisikan K-Pop sebagai wujud dari Kapitalisme Global untuk kemudian

melihat kualitas persebarannya.
K-PopSebagaiManifestasiKapitalisme Global
Secara teoritik kapitalisme global dibawa oleh korporasi global. Kendaraan yang
digunakan antara lain melalui investasi dan global branding dengan aktor korporasi
global.Korporasi global telah menjadi satu elemen penting dalam hubungan
internasional.Sebagai penggerak utama interkasi ekonomi global, korporasi global
mempunyai kapital sebagai kelebihan dibanding aktor diluarnya. Proses ekonomi yang
relatif independen menjadikan korporasi global sebagai aktor yang profit oriented
semakin leluasa menjejakkan pengaruhnya dalam interaksi global. Negara yang selama
ini dianggap sebagai aktor dominan dalam hubungan internasional secara praktikal
tidak dapat dilepaskan dari sokongan korporasi global, baik dari segi
kapitalmaupunaspeksosial.
Secaraumumsetidaknyauraiantersebutadalahpesan yang cobadisampaikan Naomi
Klein (2000) padakaryanyaThe Brand Expands yang menyoal kegiatan ekonomi

Global & Policy Vol.2, No.1, Januari-Juni 2014

41

Globalisasi dan Tata Ekonomi Politik Baru


korporasi global sehingga mampu menjadi aktor signifikan dalam hubungan
internasional.Argumen yang disampaikan Klein (2000) terkaitfenomenainiadalah
bahwa pola branding dari perusahaan-perusahaan ini mulai berubah, dari yang
awalnya jangka pendek menjadi jangka panjang. Secara teknis branding yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan cenderung, dalam istilah Klein, bersembunyi
dibalik image produk dengan nuansa konteks sosial politik positif. Karena tujuan
utama dari branding bukan lagi membuat masyarakat menggunakan produk tersebut
namun secara seporadis menyerang habit dari masyarakat. Tujuan akhirnya adalah
menanamkan konsep dan image dari produk tersebut kedalam memori melalui brand
dan logonya sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi pola persepsi dan
kemudiankonsumsidarimasyarakat.
Klein (2000) mencontohkanmengenaipenggunaanbuaya sebagai logo Lacoste, sebuah
merk dagang pakaian pria internasional.Disamping menggunakan buaya, yang
menurut Klein, mempunyai konteks sosial politik yang positif karena merupakan
hewan yang dilindungi.Memanfaatkan ini, Lacoste kemudian mengadakan program
konservasi dengan fokus menghindarkan buaya dari kepunahan. Dengan tajuk save
your logo, Lacoste kemudian mempersepsikan bahwa Lacoste adalah buaya, dan buaya
adalah Lacoste. Kausalitas ini kemudian menyebabkan identifikasi dari masyarakat
bahwa ketika melihat buaya maka hal pertama yang terlintas adalah Lacoste.Logika ini

bekerja dengan baik pada anak-anak. Ketika anak-anak dan generasi muda awal sudah
terbentuk persepsi semacam ini, maka warisan kultural kepada generasi selanjutnya
akanterbentukimaginary yang sama.
Berbeda dengan masa sebelumnya, pada kisaran abad sembilan belas, pola branding
adalah murni untuk menarik minat konsumen dan sifatnya jangka
pendek.Konsekuensinya, brand adalah brand. Yang ditekankan adalah murni konten
yang dimuat didalamnya (Klein 2000). Namun pada tiga dekade terakhir, yang
ditekankan adalah simbol dalam logo atau brand tersebut. Konsekuensinya, logo yang
mengandung muatan kultural dibelakangnya sekaligus sebagai kultur baru yang
mengglobal dengan adanya prakarsa media (Klein 2000). Sehingga menurut Klein
(2000) “it is not to sponsor culture but to be the culture”.
Pergeseran ini kemudian dijabarkan oleh Klein (2000) sebagai hasil dari neoliberalisasi
ekonomi global. Deregulasi dan privatisasi yang menjadi hal yang disebut Klein sebagai
komersialisasi kultur dan kultur komersil. Bahwa dua hal tersebut kemudian
menyebabkan masuknya investasi asing besar-besaran ke berbagai negara di
dunia.Menurut Klein (2000), di AmerikaSerikatpajakuntuk korporasi yang akan
membuka bisnisnya di negara tersebut terus diturunkan jumlahnya. Tercatat menurut
Time pada 1952 total penerimaan pajak Amerika Serikat 32,1% kemudian menurun
menjadi 11,4% pada 1975 dansampai 11,5% pada 1998 (Klein 2000). Penurunan ini
berbanding terbalik dengan data budget sponsorship di Amerika Serikat yang

meningkat pesat mulai tahun 1985 sampai tahun 1998. Tercatat oleh IEG tahun 1985
budget sponsorship Amerika Serikat hanya sekitar US$ 1 juta. Kemudian tahun 1997
meningkat 594% sampai pada bilangan hampir 6 juta US$, dan mencapai puncaknya
pada tahun 1998 dengan persentase kenaikan sebesar 700%.
Dengan adanya kenaikan bilangan sponsorship tersebut, Naomi Klein (2000)
mengatakan our culture was built on compromises between notions of public good
and the personal, political and financial ambituons of the rich and powerful. Jadi
dengan gencarnya sponsor terhadap berbagai produk, Klein berasumsi bahwa hal
tersebut kemudian berpengaruh terhadap kultur suatu negara. Bahwa propaganda

Global & Policy Vol.2, No.1, Januari-Juni 2014

42

Dias Pabyantara

komersial yang dilakukan oleh kapitalis telah meleatakan fondasi kultural baru, yaitu
budaya konsumerisme jangka panjang (Klein 2000).
Pada dasarnya, promosi dan branding sebagai pembentuk kultur baru tidak dapat
dilepaskan begitu saja dari keterlibatan media sebagai manifestasi teknologi informasi.

Media sebagai alat untuk menyampaikan pesan dari brand tertentu menjadi elemen
vital menurut Klein (2000) dalam proses pembentukan kultur.
The merger between media and catalog reach the new high with the
lunch of the teen TV drama Dawson’s Creek in January of 1998. Not
only did the characters all wear J. Crew Clothes, not only did the
windswept, nautical set them look as if they had stepped off the pages of
a J. Crew clothes...but the cast was also featured on the cover of January
J. Crew catalog(Klein 2000)

Sebagai contoh, ketika tahun 1998 muncul serial drama Dawson’s Creek, semua
pemeran didalamnya menggunakan pakaian buatan J. Crew. Bahkan semua adegan
dan dialog didalamnya di set untuk mendukung image yang ingin dibentuk tersebut.
Akhirnya pada katalog J. Crew dimunculkan para pemeran Dawson’s Creek, dan J.
Crew menjadi brand internasional seiring dengan meledaknya serial TV Dawson’s
Creek.
Dalam penjelasan selanjutnya, Klein (2000) menjelaskan bagaimana, bukan hanya
produk komersial yang diusung oleh korporasi global, namun juga nilai dan kebiasaan.
Ketika Nike sebagai vendor olah raga menggunakan Michael Jordan dan olah ragawan
dunia lainnya dan mengusung slogan “Swooosh”, seketika itu juga Swoosh menjadi
ungkapan baru dalam diksi kultur Bahasa Inggris (Klein 2000). Pola branding saat ini

selain mengangakat simbol dengan nuansa sosial politik positif, juga berlindung dibalik
popularitas artis yang digunakan dalam pembuatan iklannya.Hal ini disebut Klein
(2000) sebagai Human Branding.Bahkan manusia, khususnya yang mempunyai fan
base dan multi talented, sekalipun menjadi alat promosi bagi produk-produk yang
sifatnya komersial. Konsekuensinya, kultur yang melingkupi produk dan bintang
iklannya ikut menjadi suatu kultur yang dianut banyak orang.
Melalui branding tersebut, K-Pop mejadi model kapitalisme global disamping investasi
yang dibawanya. Sepuluh tahun terakhir, K-Pop telah berkembang menjadi suatu
industri budaya yang menjanjikan dengan agensi, pasar dan struktur finansial yang
kuat daripada sekedar proses mengglobalnya budaya Korea Selatan. Dalam konteks KPop, terdapat beberapa agensi utama yang menjadi motor penggerak industri K-Pop,
tiga yang terbesar adalah SM Entertaintment, YG Entertaintment dan JYP
Entertainment (KOCOS 2011). Agensi ini berperan dalam menyediakan dana, pelatihan,
kaderisasi artis, recording dan proses pemasaran. Untuk setiap artisbaru yang akan
diorbitkan, sebuah agensi setidaknya menghabiskan biaya sekitar $400.000
(Macintyre 2002).
Pengelolaan oleh agensi ini kemudian membuat K-Pop dan semua elemen yang terlibat
didalamnya harus menutup biaya operasional secara mandiri.Cara yang dilakukan
adalah dengan memasang tarif tinggi untuk harga tiket konser dari band maupun
musisi produk K-Pop lainnya. Cara lainnya adalah dengan menjual berbagai macam
merchandise yang bernuansa K-Pop ke berbagai belahan dunia. Untuk harga tiket

konser di Indonesia pada tahun 2012 lalu mulai dariRp 750.000,00 hingga sampai
pada angka Rp 2.000.000,00 (Patricia 2012). Penjualan merchandise dan barangbarang Korea Selatan juga mengalami kenaikan ekspor minuman ke wilayah Timur
Tengah sebanyak 2000%, produk smartphone sebanyak 303%, produk automobil

Global & Policy Vol.2, No.1, Januari-Juni 2014

43

Globalisasi dan Tata Ekonomi Politik Baru

sebnayak 127%, VTR 190%, 32% produk lemari pendingin dan 90% ekspor pakaian
meningkat dengan tujuan ekspor Amerika Selatan selama tujuh tahun terakhir (KPopstar 2012). Sebagian besar produk tersebut menggunakan bintangiklan artis-artis
K-Pop dalam iklannya.
Sehingga pada titik ini kita dapat mengaitkan fenomena mengglobalnya K-Pop dengan
kenaikan ekspor dan arus kapital global yang masuk ke Korea Selatan. Kapitalisme
dalam beberapa perspektif sering dikaitkan dengan penindasan borjuis terhadap
proletar, sehingga kemudian muncul semacam stereotipe negatif terhadap kapitalis.
Dalam konteks K-Pop, beberapa pemberitaan media menyebutkan bahwa K-Pop
didirikan diatas penindasan terhadap artis-artis yang tergabung didalamnya.
Penggunaan artis dibawah umur yang belum ada dalam usia produktif sampai

pemberitaan tentang pelanggaran kontrak menjadi sisi negative dari K-Pop yang
megutamakan keuntungan agensi yang menaunginya (Williamson 2011). Berdasarkan
data-data tersebut, penulis memposisikan K-Pop sebagai industri budaya dan
perwujudan kapitalisme global, karena K-Pop hidup dari arus kapital besar yang masuk
dari berbagai wilayah diseluruh dunia.
Anomali K-Pop di Amerika Latin
Dengan memposisikan K-Pop dalam kerangka kerja kapitalisme global, maka
kemudian muncul hal yang menarik terkait persebaran K-Pop secara global. Wilayah
Asia sedikit banyak mempunyai persamaan kultur dengan Korea Selatan. K-Pop juga
disebut sebagai hybridasi budaya antara tradisional pop dengan genre musik hip-hop
Amerika Serikat sehingga persebarannya di dalam wilayah Amerika Serikat menjadi
hal yang wajar akibat hibridisasi budaya (Flatley 2012). Wilayah Afrika menjadi mudah
di impose budaya lain karena tingkat pendidikan dan ekonomi warganya masih rendah
sedangkan Timur Tengah yang terjadi adalah keseragaman budaya menjadikan
masyarakat Timur Tengah memerlukan diferensiasi budaya (Ravina t.t.). Anomali
terjadi pada wilayah Amerika Latin dimana mayoritas negaranya memiliki
perekonomian yang kuat, budaya yang hampir, bahkan bentuk negara yang hamper
sama yaitu sosial demokrat (Hershberg dan Rosen 2006).
Menurut en.korea.com (2011) Latin A boom in Asian culture started from Japan is
now moved to Korea. This concert will make the popularity of K-Pop spread all over
South America. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh K-Pop telah
menyebar sampai dengan Amerika Latin. Bukti lainnyaadalah di berbagai negara di
Amerika Latin tiket konser artis-artis dengan label K-Pop selalu habis terjual bahkan
sampai minus jika dibandingkan dengan peminatnya. Sebagai contoh di Peru, tiket
konser Big Bang terjual habis hanya dalam waktu empat puluh menit (Ho 2012).
Kemudian di Brazil, Columbia, Argentina, Ecuador dan Peru yang merupakan negaranegara besar di wilayah Amerika Latin semuanya pernah disinggahi konser artis
dengan label K-Pop (Korea 2011). Yang menarik kemudian adalah negara-negara
dengan haluan sayap kiri yang identik dengan sosialisme dan anti kapitalisme namun
masyarakatnya faktanya menerima K-Pop dengan masif.
Ideologi kiri yang dianut negaranya nampaknya tidak diinternalisasi sepenuhnya oleh
masyarakat. Ketika mayoritas masyarakat Amerika Latin mendukung eksekusi World
Social Forum sebagai gerakan anti globalisasi yang diinsiasi oleh Brazil sebagai tempat
asalnya, Brazil justru menjadi negara pertama yang menggelarkonserK-Pop pertama di
wilayah Amerika Latin. Hal ini kontradiktif jika melihat kebelakang bagaimana usaha
Brasil mengadakan World Social Forum sebagai gerakan anti globalisasi.

Global & Policy Vol.2, No.1, Januari-Juni 2014

44

Dias Pabyantara

Global Capitalism vs Anti Capitalism
Industri K-Pop sebagai model dari kapitalisme global, logisnya akan bertentangan
dengan kondisi ideologis di Amerika Latin yang dekat dengan ideologi kiri. Namun
faktanya, padakonteksmasuknyaK-PopkeAmerika Latin, K-Pop yang secara global
dekat dengan proses kapitalisasi dengan leluasa masuk ke dalam wilayah Amerika
Latin yang kebanyakan ber-ideologi anti-kapitalis. Eskpor Korea Selatan ke negara
Amerika Latin bahkan meningkat ratusan kali setelah adanya K-Pop masuk ke Amerika
Latin (K-Popstar 2012). Ideologi sosialis demokrat yang dianut oleh negara-negara
Amerika Latin menjadi tidak berarti jika dihadapkan dengan gelombang K-Pop. K-Pop
sebagai manifestasi Global Capitalism berbenturan dengan ideologi sosial demokrat
yang dianut negara-negara Amerika Latin.
Pada titik ini dapat dikatakan bahwa ideologi sosialis demokrat yang dikatakan dianut
oleh negara-negara Amerika Latin tidak diinternalisasi oleh masyarakatnya, atau
dengan kata lain berhenti pada tataran formal negara. Brazil misalnya yang menganut
anti freetrade (Southern Affair 2008), ideologi anti freetrade yang dianutnya tidak
diinternalisasi oleh masyarakatnya, sebagai buktinya adalah bahwa impor Brazil
terhadap barang-barang yang bernuansa K-Pop meningkat (Tastic 2012). Di Peru
impor barang-barang K-Pop juga meningkat secara signifikan (AllK-Pop 2011).
Masyarakat Amerika Latin lebih terikat secara kultural kepada K-Pop sebagai budaya
populer dari pada terhadap ideologi negara sebagai budaya politis. Ideologi anti
capitalis hanya bertahan di dalam tataran elite politik namun masyarakat Amerika
Latin tetap menganut budaya populer yang sedang menjadi trend di dunia
internasional.Meskipun budaya populer tersebut bertentangan dengan ideologi dasar
negaranya. Dalam konteks K-Pop sebagai manifestasi kapitalisme Global dan
benturannya dengan ideologi anti kapitalisme, bahwa Kapitalisme tidak hanya bisa
masuk lewwat ranah ekonomi politik, namun juga lewat sektor budaya.salah satu
contohnya adalah ketika masyarakat Amerika Latin lebih memilih menganut budaya
populer K-Pop daripada ideologi negaranya yaitu sosialis demokrat.
Prediksi dan Posisi
Melihat bahwa kapitalisme tidak hanya bisa masuk melalui aspek ekonomi politik
negara seprti freetrade, namun juga dapat menjangkiti suatu masyarakat lewat
interaksi budaya antara masyarakatnya, maka penulis memprediksi bahwaK-Pop akan
semakin menanjak eksistensinya sampai kisaran lima sampai sepuluh tahun lagi. Hal
ini dikarenakan melihat tren dari dinamika budaya global, bahwa budaya merupakan
suatu hal yang sifatnya momentum dan temporer. Untuk suatu budaya menjadi global
diperlukan satu momen ayng menjadikannya penting.Sebagai contoh ketika musik
Amerika mengglobal pasca perang dingin, Musik Amerika Latin melalui Ricky
Martinnya sukses muncul menjadi sandingan dari musik Amerika.Mengglobalnya
budaya Amerika Latin lewat musiknya ini karena momen saat itu merupakan momen
diselenggarakannya piala dunia 1998 dimana Ricky Martin membawakan musik
Amerika Latin sebagai soundtrack awalnya.Pada fenomena ini yang menjadi momen
adalah musik Amerika Latin menjadi soundtrack Piala Dunia 1998.
Begitu juga ketika kemunculan K-Pop mulai banyak diperbincangkan sebagai
tandingan dari budaya barat. Budaya Barat yang selama berakhirnya perang dingin
menjadi dominan mulai disaingi oleh budaya Korea melalui K-Popnya. Dengan
mengikuti pola tersebut, maka penulis memprediksi bahwa kemajuanK-Pop hanya

Global & Policy Vol.2, No.1, Januari-Juni 2014

45

Globalisasi dan Tata Ekonomi Politik Baru

akan bertahan selama lima sampai sepuluh tahun menunggu momen untuk berganti
budaya. Ketika kapitalisme menjadibudaya global K-Popjugaberbandinglurus dengan
kapitalisme. Mungkin sepuluha tahun lagi jika Cina berkembang dengan pesat dan
budaya kapitalisme tergantikan dengan lainnya, K-Pop juga akan bergeser.
Momen yang menumbuhkan semangat mengglobalnya K-Pop adalah ketika terjadi
krisis asia tahun 1997. Pada saat itu Kim Dae Jung Presiden Korea Selatan
mengalokasikan dana pemerintahannya sebesar 148,5 juta dolar Amerika untuk
perkembangan budaya populer Korea Selatan (Shim t.t,). Ketika muncul krisis lainnya
atau mungkin momen lain yang memaksa negara-negara lain menggunakan dimensi
kreatif kebudayaannya untuk berkompetisi didunia internasional padasaatituK-Pop
akan menemui batas akhir masa jayanya.

DaftarPustaka
Buku
Hyejung, J, 2007. The Nature of Nationalism in the “Korean Wave”: A Framing
Analysis of News Coverage about Korean Pop Culture. Conference Papers -National Communication Associationdalam Communication & Mass Media
Complete database.
Hershberg, Eric & Fred Rosen (eds.), 2006.Latin America after Neoliberalism. New
York: North American Congress on Latin America
Klein, Naomi, 2000. Space, No Choice, No Jobs, No Logo. London: Flamingo.
.Artikel Online
AllK-Pop, 2011.“SM Entertainment thanks Peruvian K-Pop fans for their
love”[online].dalamhttp://www.allK-Pop.com/2011/05/sm-entertainmentthanks-peruvian-k-pop-fans-for-their-love.
En.korea, 2011.“Brazilian media sources cover a first K-Pop concert in South
America”[online].dalamhttp://en.korea.com/b2st/news/brazilian-mediasources-cover-a-first-k-pop-concert-in-south-america/.
Dixon, Tom, 2011. “The Journey of Cultural Globalization in Korean Pop
Music”[online].dalamhttp://www.e-ir.info/2011/08/17/the-journey-ofcultural-globalization-in-korean-pop-music/.
Flatley, Joseph L, 2012. “K-Pop takes America: how South Korea's music machine is
conquering the world The internet brought K-Pop to the US, but can it go
mainstream?”[online].dalamhttp://www.theverge.com/2012/
10/18/3516562/k-pop-invades-america-south-korea-pop-music-factory.
JangMinHo, 2012.“5,000 Tickets for Big Bang’s Peruvian Concert Sold in 40
Minutes”[online].dalamhttp://www.soompi.com/2012/08/02/5000-ticketsfor-big-bangs-peruvian-concert-sold-in-40-minutes/.

Global & Policy Vol.2, No.1, Januari-Juni 2014

46

Dias Pabyantara

Kim, J.Y, 2007.“Rethinking media flow under globalisation: rising Korean wave and
Korean TV and film policy since 1980s” [online].dalam http://wrap.warwick.
ac.uk/1153.
KOCIS.

2011,“K-POP:
A
New
Force
in
Pop
Music”[online].dalamhttp://www.korea.net/Resources/Publications/AboutKorea/view? articleId=2217.

K-Popstar, 2012.“Growth Korea K-Pop Stars Big Impact on Korea’s
Economy”[online].dalamhttp:// www . k p o p s t a r z . co m/articles/5535
20120226/growth-korea-k-pop-stars-big-impact-korea-economy.htm.
Macintyre,
Donald,
2002.
“Show
Me
the
Money”[online].dalamhttp://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,32
2682,00.html.
Lim, L., 2006. “South Korean Culture Wave Spreads Across Asia : NPR. NPR : National
Public Radio : News & Analysis, World, US, Music & Arts : NPR”
[online].dalam
http://www.npr.org/templates/story/story.php?storyId=5300970.
Patricia,

2012.“K-PopAnd
Asian
America”[online].dalam
http://seoulbeats.com/2012/01/k pop-and-asian-america/.

Ravina, M., 2008.“Introduction: conceptualizing the Korean Wave | Southeast Review
of Asian Studies | Find Articles at BNET. Find Articles at BNET | News Articles,
Magazine Back Issues & Reference Articles on All Topics” [online].dalam
http://fIndaricles.com/p/articles/mi_7066/is_31/ ai_n45060645/.
Searbrook,
John,
2012.
“Factory
Girls”[online].dalamhttp://www.newyorker.com/reporting/2012/10/08/1210
08fa_fact_seabrook.
Shim, Doobo, t.t. “Hybridity and the rise of Korean popular culture in Asia”
[online].dalamhttp://mcs.sagepub.com/content/28/1/25.refs.html.
Southern
Affair,
2008.“Chilean
Foreign
Policy”[online].dalamhttp://www.southernaffairs.org/2008_04_01_archive.h
tml.
Tastic,

Mike,
2012.“[OP-ED]
Will
K-Pop
Make
It
in
America?”[online].dalamhttp://www.allK-Pop.com/2012/07/op-ed-will-kpop-make-it-in-america.

Williamson,
Lucy,
2011.
“The
dark
side
of
South
Korean
music”[online].dalamhttp://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific13760064.

Global & Policy Vol.2, No.1, Januari-Juni 2014

pop

47