AHMAD WAHIB DAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
AHMAD WAHIB DAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
“Makalah”
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pemikiran Politik Islam Indonesia
Disusun oleh:
Muhammad Khusnul Khuluk (E74212063)
Dosen Pengampu:
Dr. Slamet Muliono Redjosari, M. Si
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
PROGRAM STUDI POLITIK ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN AMPEL
SURABAYA
2014
ABSTRAK
Makalah ini membahas tentang pemikiran politik dari Ahmad Wahib, diantara
pemikiran-pemikirannya adalah tentang ketuhanan, konsep kepemimpinan, sekularisme,
pluralisme, persatuan, kritik terhadap ulama, dan toleransi. Banyak yang menganggap apa
yang digagas oleh seorang Ahmad Wahib sangat baik, dan mendapat respon positif terutama
bagi kalangan intelektual moderat. Tapi tak sedikit pula yang mengecam terutama dari
golongan ulama dan kalangan Muslim pada umumnya. Begitu banyaknya respon dari semua
kalangan, membuat Ahmad Wahib dianggap sebagai intelktual muda yang berpengaruh
dengan gagasan-gagasannya.
Pembuatan makalah ini menggunakan metode penelitian literatur, yakni dengan
mencari data dengan sumber referensi buku, dan sumber-sumber lain yang terkait. Data
tentang kajian ini diperoleh melalui sumber literatur tentang Ahmad wahib, berupa gagasangagasan, biografi, maupun komentar beberapa ahli tentang dirinya.
Dari berbagai penjelasan yang dijabarkan, maka hasil dari kajian ini dapat
disimpulkan bahwa apa yang telah Ahmad Wahib gagaskan waktu itu memang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran selanjutnya, mendapat banyak respon dari
berbagai kalangan. Jadi, hasil dari pemikiran Ahmad Wahib sangat berpengaruh terhadap
perkembangan bangsa sekarang walau ia meninggal di usia muda.
Kata kunci: Ahmad Wahib, Pemikiran, Politik Islam
A. Latar belakang
Ahmad Wahib dikenal sebagai pemikir dan pembaharu Islam. Ia dikenal sebagai
pembaharu terutama berkat catatan harian yang diangkat menjadi buku Pergolakan Pemikiran
Islam (2004) oleh Djohan Effendi dan Ismet Natsir. Dalam catatannya, Wahib mencoba
mempertanyakan apa yang sudah ia yakini selama ini mengenai Tuhan, ajaran Islam,
masyarakat Muslim, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Dalam satu wawancara, Douglas E.
Ramage, seorang Indonesianis lulusan University of South Carolina menyebut Wahib sebagai
salah satu pemikir baru Islam yang revolusioner.1
Ahmad Wahib dikenal sebagai salah satu cendekiawan yang aktif pada tahun 1960-an,
ia sering disandingkan namanya dengan Nurhcolis Madjid atau pun Soe Hok Gie mereka
sering disebut disebut sebagai "manusia-manusia baru". Di tahun 1960-an itu memang
dikenal sebagai tahun-tahun emas para pemikir muda Indonesia. Apalagi gejolak politik juga
menambah seru pertarungan ide-ide para pemikir di era itu, Ahmad Wahib memainkan
perannya sebagai salah satu yang paling berpengaruh dengan gagasan-gagasan Islam ala dia.
Pembaharuan Islam yang digagas Ahmad Wahib merupakan reinterpretasi ajaran
Islam tentang dikotomi antara agama dan ilmu agama. Secara umum dapat dikatakan bahwa
pembaharuan mestinya dilakukan bertitik tolak terhadap manusia itu sendiri (masyarakat).
Masyarakat arus menjadi mitra dialog utama dalam setiap pembaharuan Islam yang ditinjau
bagi mereka. 2
Tokoh yang saya pilih adalah Ahmad Wahib, seorang cendekiawan Muslim muda
yang eksis pada era 1960-1970-an. Saya meninjau hasil pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib,
yang mencetuskan banyak ide tentang Islam, syari’at maupun politik. Yang dimana halil dari
pemikirannya bisa mempengaruhi banyak pihak bahkan sampai sekarang.
Alasan saya mengapa mengambil tokoh Ahmad Wahib adalah, pertama karena
gagasan-gagasannya kebanyakan nyeleneh tapi bisa diterima, ngawur tapi banyak yang
menyetujuinya, dan juga pemikirannya kebanyakan melawan arus yang ada, bahkan gagasan
dari Ahmad Wahib yang ditulisnya dalam sebuah catatan harian yang kemudian dibukukan
oleh teman-temannya setelah ia meninggal, terbukti berpengaruh, sampai majalah Tempo
menobatkan buku yang berisi catatan harian Ahmad Wahib masuk ke dalam 100 buku paling
berpengaruh terhadap gagasan bangsa Indonesia. Yang kedua adalah, ia dilahirkan dan
1 Wikipedia.co.id/Ahmad_Wahib
2 Muliati, Ahmad Wahib: Reinterpretasi Ajaran Islam, STAIN Pare, Al-Fikr, Volume 17 Nomor 3 tahun 2013.
dibesarkan di daerah terbelakang, berbeda dengan para cendikiawan lainnya yang rata-rata
mereka dibesarkan di kota-kota besar, yang segala macam fenomena terjadi di dalamnya.
Ahmad Wahib lahir dalam lingkungan santri di Sampang, Madura suatu prototip lain dari
kehidupan pedesaan yang kering, tempat orang pulang pergi ke kota besar seperti Surabaya
dan lain-lain. Desa dimana mobilitas sangat besar karena orang keluar masuk dari desa ke
kota; namun mobilitas yang sering dianggap sebagai indikator modernitas, di Madura
menjadi lambang kekurangan, kemiskinan, dan kelaparan.3
B. Tentang Ahmad Wahib
Ahmad Wahib meninggal dalam usia yang masih muda. Sebuah sepeda motor dengan
kecepatan tinggi telah menabraknya dipersimpangan jalan Senen Raya-Kalilio. Peristiwa itu
terjadi tanggal 31 Maret malam tahun 1973. Ketika itu Wahib baru saja keluar dari kantor
Majalah Tempo, tempat ia bekerja sebagai calon reporter. Tragisnya, pengemudi motor
tersebut adalah seorang pemuda, justru bagian dari masyarakat yang begitu dicintai Wahib,
pada siapa ia menaruh simpati dan harapan demi masa depan bangsanya. Lebih dari itu,
dalam keadaan luka parah, ia ditolong dan dibawa ke Rumah Sakit Gatot Subroto justru oleh
beberapa orang gelandangan, bagian dari masyarakat yang beroleh simpati dan perhatian
Wahib karena penderitaan mereka. Akan tetapi keadaan Wahib rupanya begitu parah,
sehingga dari RSGS ia segera dibawa dengan ambulans ke RSUP. Namun semua usaha itu
pun sia-sia. Dalam perjalanan Wahib menghembuskan nafasnya yang terakhir
Almarhum dilahirkan pada tanggal 9 November 1942 di kota Sampang, Madura.
Lingkungan pergaulan Wahib di masa kanak-kanak dan remajanya adalah lingkungan agama
yang kuat. Dan ayahnya, pak Sulaiman, tergolong pemuka agama di daerahnya. Wahib
sendiri, walaupun tidak bisa dikatakan pernah menyantri, sempat mengecap kehidupan
pesantren. Keterbukaan ayahnya—seperti tertulis dalam catatan hariannya—memberinya
kebebasan untuk memasuki jalur pendidikan umum. Setamat belajar di SMA Pamekasan
bagian ilmu pasti tahun 1961, Wahib meneruskan pelajaran ke Yogyakarta. Ia memasuki
Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA) Universitas Gadjah Mada. Tapi sayang, meskipun sudah
mencapai tingkat akhir, Wahib tak sampat merampungkan studinya.
3 Gie, Soe Hok. Catatan Seorang Demonstran, Jakarta, Penerbit LP3ES, 1989, pengantar hal 13.
Pada tahun-tahun pemulaan di Yogya, Wahib tinggal di sebuah asrama Katolik,
Asrama Mahasiswa Realino. Namun dalam kegiatan kemahasiswaan ia memasuki Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI). Dalam organisasi mahasiswa ini ia tidak puas hanya sebagai
anggota biasa. Suasana ketika itu memang membuat anggota-anggota HMI memiliki
militansi yang tinggi. Wahib adalah aktivis yang menonjol. Kemenonjolannya, baik dalam
kegiatan maupun dalam pemikiran, membuat karirnya dalam HMI meningkat hingga ia
masuk ke dalam ”lingkungan elite” HMI Yogyakarta dan kemudian juga HMI Jawa Tengah.
Pada waktu itu di kalangan HMI masih terdapat perbincangan yang ramai tentang berbagai
masalah, misalnya persoalan Masyumi, moderenisasi, orientasi ideologi lawan orientasi
program, dan sebagainya, baik di dalam maupun dengan kalangan luar HMI.
C. Pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib
Agak sulit mengukur sejau mana posisi Wahib dalam pembaharuan Islam. Namun,
paling tidak kita dapat melihatnya dari respon Umat Islam terhadapnya tidak lama setelah
catatan hariannya dibukukan. Penerbitan buku ini bukan hanya mengundang polemik, tapi
juga ‘shock’ ditengah-tengah Umat Islam. Persis seperti yang pernah disinyalir olehnya,
bahwa terkadang kita harus melakukan kejutan-kejutan terhadap kejumudan cara pandang
Umat. Sampai akhir hayatnya pun ternyata Wahib masih setia dalam garis perjuangannya.4
Kunci untuk memahami pemikiran Ahmad Wahib terletak pada keyakinannya bahwa
kebebasan berpikir bukan saja hak, akan tetapi juga merupakan kewajiban. Wujud kebebasan
berpikir Wahib ini, pertama kali diungkapkan mengenai ajaran Islam. Menurut Wahib, dalam
knyataannya cara berpikir umat Islam terhadap ajarannya tidak lagi bebas, karena sudah
bertolak dari asumsi bahwa Islam merupakan ajaran yang paling baik, dan menempatkan
paham-paham lain dibawahnya. Cara berpikir seperti ini, mengakibatkan sesuatu yang baik
selalu diidentikkan dengan Islam.5
Menurut Ahmad Wahib, ajaran Islam tidak sejalan dengan nilai budaya modern.
Apakah nilai modern itu mendapat suppor dari ajaran islam? Kemanakah kira-kira
kemungkinan perubahannya? Pemahamanku sampai kini pada ajaran Islam menunjukkan
4 Andriansyah. Pembaharuan Islam di Indonesia: Meneropong Sosok Ahmad Wahib, International Institute of
Islamic Thought Indonesia, Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003
5 Nurdin. Pembaruan Pemikiran Islam (studi tentang kontribusi pemikiran Ahmad Wahib terhadap pembaruan
pemikiran Islam di Indonesia), LTA S-2 Program Pascasarana Universitas Indonesia. Jakarta, 2006. hal.72
bahwa nilai-nilai modern tidak senapas dengan ajaran Islam. Karena itu Islam tidak
mensuppor apalagi untuk dikatakan merupakan nilai-nilai Islam sendiri. Kelihatannya dalam
ajaran Islam ada unsur penyarahan, unsus puas terhadap karunia Allah, unsur nrimo, qanaah,
waro yang karena itu tidak sesuai dengan vitalitas nilai-nilai budaya modern. Tapi mudahmudahan kesimpulan saya ini sekedar karena saya belum terjun pada fundamen yang lebih
mendasar dari ajaran-ajaran Islam.6
1. Pemimpin
Konsep pemimpin yang di gagas oleh Ahmad Wahib sebetulnya hampir sama dengan
apa yang digagas oleh Ibn Taymiah, bahwa “Pemimpin kafir, tapi adil, jauh lebih utama
daripada pemimpin muslim, tapi tiran”. Dalam pandangan Ahmad Wahib, ia sebenarnya lebih
mendetailkan konsep itu dalam pandangan ia sendiri. Dalam tulisannya ia beranggapan
bahwa tak harus memilih pemimpin Muslim, ““Katakanlah kebenaran, walau karihal kafrin,
walau karihal musyrikin “. Juga: “Mengapa kamu angkat orang-orang kafr menjadi
pemimpin-pemimpin Islam?”. Ayat-ayat Al-Qur’an semacam ini digunakan oleh
propagandis-propagandis kita untuk membakar semangat massa. Mereka kurang sadar
perbedaan antara situasi di zaman Nabi dengan situasi sekarang. Di zaman Nabi golongan
Nabi betul-betul baik, sedang golongan kafr betul-betul jahat. Di zaman sekarang golongan
kita antara baik-jahat, sedang golongan lawan pun antara baik-jahat. Bukankah konstelasi
spiritualnya sudah lain? Bukankah secara material kita juga sebagian telah kafir, walaupun
formal Islam?”7
Pada tahap pemikiran ini, pada intinya Ahmad Wahib beranggapan bahwa seorang
pemimpin tidaklah harus seorang Muslim. Dasar asumsinya adalah bahwa dalam konteks
sekarang, orang Muslim dan non-Muslim tidak dapat dibedakan, berbeda dengan keadaan
ketika ayat tentang pemimpin ini diturunkan, dimana orang yang kafir pada saat itu memang
benar-benar buruk.
Lebih lanjut lagi Ahmad Wahib menulis dengan kritis akan hadist yang menyangkut
tentang kepemimpinan atau hadist-hadist lain yang dianggapnya aneh dan sudah tak relevan.
“Saya malah berpendapat bahwa andaikan Nabi Muhammad datang lagi di dunia sekarang,
menyaksikan bagian-bagian yang moderen dan yang belum serta melihat pikiran-pikiran
6 Muliati, Ahmad Wahib: Reinterpretasi Ajaran Islam, STAIN Pare, Al-Fikr, Volume 17 Nomor 3 tahun 2013.
7 Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad edisi Wahib (digital), Jakarta, Democrasy
Project, 2012. Hal 11.
manusia yang ada, saya berkepastian bahwa banyak di antara hadist-hadist nabi yang
sekarang ini umumnya difahami secara telan-jang oleh pengikut-pengikutnya, akan dicabut
oleh nabi dari peredaran dan di ganti dengan hadist-hadist yang baru.”8
2. Sekularisme
Yang paling dikenal orang mengenai seorang Ahmad Wahib adalah tentang pemikiran
bebasnya, salah satunya adalah mengenai sekularitas, bahkan ia dianggap oleh banyak
kalangan sebagai pelopor berkembangnya paham sekuler di Indonesia dewasa ini. Gagasangagasannya mengenai sekularisme memang sangat berani dan kritis, dimana pada saat itu
sekularisme dianggap sebagai hal yang sangat tabu. Ahmad Wahib berani untuk
mendobraknya.
Menurutnya, Islam itu sekular dan harus sekular, “Sejauh yang aku amati selama ini,
agama terjadi telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalah dunia. Petunjuk-petunjuk
Tuhan tidak mampu kita sekularkan. Padahal sekularisasi ajaran-ajaran Tuhan mutlak bagi
kita kalau kita tidak ingin sekularistis. Agama Islam yang kita fahami selama ini adalah
agama sekularistis, agama yang tidak mampu meresapi masalah-masalah dunia, dus
terpisahnya agama dari masalah dunia. Nah, diam-diam kita menganut sekularisme,
walaupun dengan lantang kita menentang sekularisme!”9
Lebih lanjut ia menulis: “Fiqh merupakan hasil sekularisasi ajaran Islam di suatu
tempat dan waktu. Menurut saya, Qur’an dan Hadist itu fiqh pertama di kalangan umat islam.
Sehingga Al-Qur’an merupakan hasil sekularisasi ajaran Islam di zaman nabi. Pelakunya
Tuhan sendiri. Dan hadist saya pikir, merupakan hasil sekularisasi ajaran Islam di Zaman
nabi. Pelakunya: Muhamad.” Dan “Tentunya ada banyak ayat Qur’an dan Hadist yang
merupakan hasil sekularisasi “transmitif ” atau “transmigratif ” atau “translatif, karenanya
memiliki daya cakup seluruh ruang dan waktu. Sekularisasi di situ hanya berisi
“penterjemahan bahasa”. Ayat –ayat lain adalah hasil dari “sekularisasi transformatif ”
8 Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad edisi Wahib (digital), Jakarta, Democrasy
Project, 2012. Hal 11.
9 Ibid. Hal 24.
pada ruang Arab dan waktu abad ke 14. Pada yang terakhir inilah “proses” ideation terasa
sangat urgent. Sedang pada yang pertama kita lihat bahwa di situ “fenomena” dapat dikatakan
sekaligus merupakan “idea sederhana” atau “idea tingkat manusia”10
Tak hanya berhenti disitu, Ahmad Wahib terus menulis ide-idenya tentang sekular
yang dari ide inilah ia dianggap sebagai tokoh trigger sekular di Indonesia. “Sekularime itu
anti agama tapi sekularisasi itu netral agama. Sekularisme itu sendiri walaupun untuk
mencapainya memerlukan sekularisasi (sebagai proses appproach), dia bersikap tidak senang
terhadap sekularisasi, karena keterbukaan dan kebebasan yang diberikan oleh sekularisasi itu
bagi pencaharian hakekat lebih lanjut beyond this world and this time. Sekularisasi tidak
menghalangi kita untuk mencari kemungkinan adanya atau menganut adanya the other
signifcance of realities, other/diferent than those which can be measured by the method of
natural science. Sekularisasi itu adalah opened process sedang sekularisme adalah closed
system. Sekularisasi yang dilambari oleh pemahaman bahwa tidak ada nilai yang tetap dan
yang tetap hanya Tuhan (iman dan taqwa) akan melahirkan “God without religion”. Pada
hemat saya, sekularisasi yang bertolak pada pemikiran bahwa “religion is private business”
tidak mengharuskan lahirnya suatu anutan: “God without religion”, karena “religion is private
business” akan membekali setiap pribadi dengan nilai-nilai tertentu yang abadi Ikhtiar
Menjawab Masalah Keagamaan dan universal yang harus ditegakkan dalam kehidupan
bersamannya di samping beberapa landasan spiritual dan tugas ritual yang harus ada dalam
kehidupan pribadinya. Dengan sekularisasi berarti bahwa kita betul-betul memahami
tanggungjawab kita sebagai khaffatullah fl ardhi. Hanya dengan demikian akan terlihat
bahwa telah terjadi partnership antara Tuhan dan manusia dalam menulis sejarah
(partnership of God and man in history). Sejauh pengamatan saya, dalam dunia Kristen
sendiri sekularisasi masih serba problematis walaupun ada kecenderungan kuat untuk
menerimanya. Apakah golongan Kristen Indonesia menerima sekularisasi begitu cepat tanpa
sedikitpun kritik terdorong karena alasan-alasan idiil murni ataukah dicampuri karena alasanalasan politis berhubung dengan kekhawatiran mereka terhadap golongan islam yang
dianggap agresif?”11
3. Plural dan Liberal
10 Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad edisi Wahib (digital), Jakarta,
Democrasy Project, 2012. Hal 47-48.
11 Ibid. Hal 70-71.
Pluralisme adalah kesadaran untuk menerima kebenaran dari (agama) yang lain tanpa
menafikan atau menisbi kan kebenaran (agama) sendiri. Hingga, dalam kesa daran semacam
itu tak ada lagi klaim kebenaran (claim of truth) yang bersifat tunggal terpusat sehingga me
mung kinkan terwujudnya sikap toleransi satu agama terhadap (adanya) kebenaran dalam
agama yang lain.12
Ahmad Wahib juga dikenal sebagai seorang pluralis. Pluralisme yang dicetuskan oleh
Ahmad Wahib, diantara pandangannya tentang pluralisme: dalam puisinya ia menulis “theist
dan atheist bisa berkumpul, muslim dan kristiani bisa bercanda, artist dan atlit bisa bergurau,
kafirin dan muttaqien bisa bermesraan, tapi pluralist dan anti pluralist tak bisa bertemu ... anti
pluralist menentukan jalannya, kaum pluralist memilih lintasannya.13” Pandangannya
terhadap pluralisme, dan penolakannya terhadap “satu”: “Saya kira, meletakkan persatuan
umat sebagai cita-cita saja sudah merupakan kesalahan besar. Tapi andaikata ini tidak salah,
itu berarti penetapan cita-cita persatuan itu betul sebagai sendi yang strategis. Walaupun
betul, bukankah cita persatuan yang ada pada umat ini baru pada tingkat emosional? Jadi
usaha pencapaiannya sama sekali tidak problem solving. Apalagi kalau diingat bahwa tidak
selamannya persatuan itu baik.”14
Sementara itu sikap liberalya tampak pula pada tulisan selanjutnya. “Saya kira
pemasangan ijma’ dalam deretan sumber pembinaan hukum berupa Qur’an, Sunnah dan ijma’
sudah bukan waktunya lagi. Dalam dunia yang cepat berubah dan individualisme makin
menonjol, cukuplah dengan Qur’an dan sunnah. Dan biarkanlah tiap orang memahamkan
Qur’an dan Sunnah itu menurut dirinya sendiri. Nah, kalau nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat itu berkembang. Seharusnyalah hukum-hukum islam itu berkembang. Haram dan
halal pada saat ini seharusnya tidak sama dengan haram dan halal pada tiga atau empat abad
yang lalu atau bahkan pada masa nabi hidup. Karena itu seharusnya ada banyak dari hadist
nabi atau bahkan ayat Qur’an yang tidak dipakai lagi karena memang tidak diperlukan dan
karena muharat yang dikuatirkan di situ sudah, tidak ada lagi, berhubung nilai-nilai baru yang
kini berlaku dalam masyarakat.”15
4. Kritik terhadap Ulama
12 Yayasan Abad Demokrasi. Pembaruan Tanpa Apologia? esai-esai tenang Ahmad Wahib, Jakarta, Democracy
Project, 2012, hal. 50.
13 Ibid, hal 22.
14 Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (edisi digital), Jakarta,
Democrasy Project, 2012. Hal 15.
15 Ibid, hal 25.
Ahmad Wahib, pada 29 Maret 1970, Wahib menulis dakwaan yang pedas atas ulama.
Lihatlah, ulamaulama Islam mau menerapkan hukumhukum tertentu pada manusia. Tapi
sayang, bahwa di sini yang merekaperkembangkan hanyalah bunyi hukum itu dan sangat
kurang sekali usaha untuk mengerti dan membahas masalah manusianya sebagai objek
hukum itu. Dengan caracara ini, adakah kemungkinan untuk menjadikan hukum itu sendiri
sebagai suatu kesadaran batin dalam hati manusia? Yang terjadi malah sebaliknya, bahwa
makin lama orangorang makin jauh dari hukumhukum yang mereka rumuskan. Sampai di
manakah ulama kita walaupun tidak ahli cukup memiliki apresiasi terhadap antropologi,
sosiologi, kebudayaan, ilmu, politik, dan lainlainnya?
Bagi saya, ulamaulama seperti Hasbi, Muchtar Jahya, Munawar Cholil dan lainlain,
tidak berhak menetapkan hukum dalam masalah akhlak dan khilafah. Bagaimana mereka
akan berhasil tepat, bilamana masalah manusia, masyarakat dan lainlain tidak dikuasainya?
Tidak ada kerja kreatif yang mereka lakukan. Mereka baru dalam taraf interpretatif.
Sejauh pengamatan saya, bahasa ulama kita dalam dakwahnya juga sangat kurang.
Mereka sangat miskin dalam bahasa, sehingga sama sekali tidak mampu mengungkapkan
makna firmanfirman Tuhan. Bahasa mereka terasa sangat gersang. Kalau mereka bicara
tentang cinta manusia pada Tuhan atau cinta Tuhan pada manusia, maka maksimal bahasa
cintanya hanya masuk otak dan tidak memiliki daya tembus ke hati. Mereka bicara tentang
cinta tidak sebagaimana makna cinta yang ada sebagai bibit-bibit dalam hati setiap manusia.
Karena itu taklah mengherankan kalau dakwah mereka itu terpantul saja ketika mencoba
masuk ke hati.
Salah satu sebab pokok dari kekeringan bahasa ini adalah bahwa mereka tidak pernah
melakukan imajinasiimajinasi, sedangkan imajinasi merupakan usaha yang keras dari seluruh
potensi linguistik kita untuk sampai atau mendekati sedekatdekatnya dasar hati manusia yang
paling dalam. Jangankan mereka sendiri melakukan imajinasi, terhadap orang yang
melakukan imajinasi saja mereka sudah curiga. Firmanfirman Tuhan mereka tangkap sebagai
formulaformula hukum positif dan setiap percobaan untuk mengungkapkan yang lebih dalam
dari formulaformula itu dianggap terlarang.16
5. Agama dan Negara
16 Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (edisi digital), Jakarta,
Democrasy Project, 2012. Hal 90-91.
Perdebatan hubungan negara dan agama yang sering disimplifikasi bahkan disesatkan
secara sengaja di antara dua kutub, khilafah dan sekulerisme, menambah keruwetan dan
kecurigaan. Oleh karenanya, ada baiknya pembicaraan hubungan negaraagama tidak hanya
menggunakan ukuran bentuk negara (teokratis atau sekuler) tetapi juga melihat pemenuhan
hak kebebasan beragamaberkeya kinan. Kurva yang dihasilkan Cole Durham melalui riset
bertahuntahun di bawah ini memperlihatkan dengan jelas hal tersebut. Baik negara yang
mengakui agama—positive identification (teokratis), maupun yang tidak meng akui agama
—negative identifi cation, ternyata samasama berada pada keadaan tidak memiliki
kebebasan beragamaberke yakinan (absence of religious freedom). Di kutub seberangnya
yaitu pemenuhan kebebasan beragamaber ke yakinan secara optimal adalah negara yang
netral (tidak mengidentifikasi agama tertentu).17
Pada 6 Mei 1970 Wahib menulis. Dalam semua bidang (aqidah-akhlaq-syari’ahkhilafah) harus dilakukan historical directing. Dalam masalah khilafah tidak ada ketentuan
lain kecuali: nilai-nilai dasar. Pelaksanaan nilai-nilai dasar ini adalah masalah manusia
sepenuhnya, apakah dilaksanakan dengan membentuk negara teokratis atau negara sekular
atau bentuk-benruk transisi antara keduanya, apakah diperjuangkan dengan membentuk partai
Islam atau partai sekular sekalipun. Manusia muslim bisa memilih sendiri dengan melihat
kebutuhan-kebutuhan yang ada dan memperhitungkan efsiensi pemerintahan yang harus
diciptakan. Karena itu menurut Islam, hubungan antara agama dan negara bisa langsung dan
bisa tidak langsung. Kedua macam hubungan tersebut semata-mata masalah manusia. Yang
akhir dari paling akhir yang menjadi cita semuanya ialah bahwa tiap-tiap pribadi membawa
nafas Islam termasuk nilai-nilai dasar sosialnya dalam kehidupan dirinya serta terciptanya
nilai-nilai dasar itu dalam masyarakat sebagai akibat cita yang pertama. Bila untuk ini
Muhammad atau Khalifah Rasyidin membentuk negara teokratis, itu adalah karena menurut
pertimbangan basic demands waktu itu, seperti faktor-faktor sosiologis, kultural serta
pertimbangan efsiensi, yang paling tepat adalah negara teokratis. Karena itu bila kita
sekarang memilih negara yang bertolak belakang dengan negara teokratis misalnya, adalah
karena pertimbangan bahwa negara teokratis sama sekali bukan media yang efsien untuk
menegakkan nilai-nilai tadi dalam social setting yang kompleks sekali sekarang ini.18
17 Yayasan Abad Demokrasi. Pembaruan Tanpa Apologia? esai-esai tenang Ahmad Wahib, Jakarta, Democracy
Project, 2012, hal.5.
18 Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (edisi digital), Jakarta,
Democrasy Project, 2012. Hal 109.
D. Analisis
Seperti yang telah di bahas pada poin-poin sebelumnya, terkait dengan gagasangagasan yang dicetuskan oleh Ahmad Wahib dan maka pembahasan selanjutanya adalah
mengenai analisa dari pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib. Yang dimana kita tahu pemikiranpemikiran itu masih sangat asing, tidak umum dan cenderung dikatakan buruk, dan mereka
hadir dengan pemikiran baru yang menantang arus. Analisa ini menggunakan tipologi dari
Willem E. Shepard.19
Agak sulit mengukur sejauh mana posisi Wahib dalam pembaharuan Islam. Namun,
paling tidak kita dapat melihatnya dari respon Umat Islam terhadapnya tidak lama setelah
catatan hariannya dibukukan. Penerbitan buku ini bukan hanya mengundang polemik, tapi
juga ‘shock’ ditengah-tengah Umat Islam. Persis seperti yang pernah disinyalir olehnya,
bahwa terkadang kita harus melakukan kejutan-kejutan terhadap kejumudan cara pandang
Umat. Sampai akhir hayatnya pun ternyata Wahib masih setia dalam garis perjuangannya20
Berbicara mengenai sosok Ahmad Wahib, menurut saya dia adalah seorang Sekuleris
dan Modernis. Modernis karena memang dia bergaul dengan banyak kalangan sifat
keterbukaannya sangat lebar sekali, ia memiliki kawan dari golongan atas sampai bawah,
memiliki sahabat dari golongan paling kiri sampai golongan paling kanan, pernah lama
tinggal di rumah orang komunis ataupun pastur. Seringnya dia bergaul dengan banyak
kalangan membuatnya menjadi orang Modernis. Pandangan-pandangannya mengenai
pluralitas saya setujui, bahwa perbedaan memang di perlukan.
Hal-hal yang perlu di kritisi dari seorang Ahmad Wahib adalah pandangannya
mengenai sekularisasi. Pernyataannya tentang “diam-diam kita menganut sekularisme,
walaupun dengan lantang kita menentang sekularisme” saya tidak satu arah, yang dimaksud
kebanyakan oleh orang-orang Muslim adalah sekularisme dalam hal agama dan negara,
bukan yang sebagaimana dipaparkan oleh Ahmad Wahib tentang sekularisasi bahwa
“menduniakan Islam, dan wahyu-wahyu yang telah diturunkan, intinya mengaplikasikan dari
teks ke konteks. Jika berbicara hal itu memang benar adanya, semua agama bahkan Islam
19 William E. Shepard, Islam and Ideology: Towars a Typology, Cambridge University Press, International
Journal of Middle East Studies, Vol. 19, No. 3 (Aug,. 1987), pp 307-335.
20 Andriansyah. Pembaharuan Islam di Indonesia: Meneropong Sosok Ahmad Wahib, International Institute of
Islamic Thought Indonesia, Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003
memang “menduniakan” apa yang telah di wahyukan, tapi sangat berbeda konteksnya dengan
sekularisme, menurut hemat saya masih diperlukan peran agama dalam bernegara. Jadi
sekularisme menurut Ahmad Wahib saya rasa tidak relevan.
Lalu mengenai pemikirannya yang terlalu libaral harus kita batasi baik-baik misal
pandangannya yang terlalu liberal: “seharusnya ada banyak dari hadist nabi atau bahkan ayat
Qur’an yang tidak dipakai lagi karena memang tidak diperlukan dan karena muharat yang
dikuatirkan di situ sudah, tidak ada lagi, berhubung nilai-nilai baru yang kini berlaku dalam
masyarakat”. Pandangan yang seperti ini mutlak adalah sebuah kesalahan menurut saya,
nilai-nilai lama menurut hemat saya tidak untuk dibuang, itu bisa dibuat pedoman, apalagi
menurut saya, kebenaran-kebenaran dari Qur’an dapat dibuktikan. Ini salah satu bahaya dari
pemikiran Wahib.
Terlepas dari gagasan-gagasan Ahmad Wahib yang nyeleneh dan penuh kontroversi,
ada pula gagasan yang sebenarnya layak untuk kita hargai, mengenai pluralisme dan kritiknya
terhadap ulama. Kritiknya terhadap ulama saya rasa tepat, karena melihat realita yang ada
sekarang, gaya dari kebanyakan ulama ketika ceramah atau khotbah sangat kaku. Jarang ada
yang bisa menangkap apa yang dikatakan ulama itu, dalam khotbah jum’at misal, saya yakin
hampir semua jama’ah tidak akan ingat apa yang dikatakan oleh khotib ketika ditanya meski
setelah shalat jum’at itu baru selesai, karena kebanyakan khutbah sangat membosankan.
KESIMPULAN
Dalam pandangan Ahmad Wahib, pembaruan pemikiran merupakan hahl yang niscaya
dalam Islam. Dan peninjauan ulang pikiran-pikiran yang telah ada selama ini merupakan
suatu yang tidak dapat dihihndari, jika menghendaki sikap Islam tetap survive di tengah-
tengah pergumulan pemikiran dan tantangan zaman saat ini. Menurut Wahib, untuk
melakukan pembaruan pemikiran Islam diperlukan sikap terbuka dan adanya ruang
kebebasan berfikir serta difasilitasinya secara luas ide-ide dan gagasan-gagasan yang
progresif. Hal ini menjadi penting, karena pembaruan pemikiran Islam merupakan kerja
interpretatif dengan menjadikan akal sebagai alat dan ilmu pengetahuan sebagai alat bantu
untuk memhami kehendak Islam.
Kebebasan berpikir Wahib memang menjadi inspirasi bagi intelektual muda muslim
penerusnya untuk berani mengemukakan pemahaman keagamaannya secara bebas, tanpa
takut terhadap dominasi otoritas ulama yang mengaku paling berhak menafsirkan Islam.
Wahib telah tampil sebagai sosok yang mampu melakukan refleksi atas relitas yang terjadi
dilingkungannya, sehingga meahirkan gagasan-gagasan yang segar dan cerdas, dimana
gagasan-gagasannya mengandunga potensi besar untuk melakukan pembaruan karena keluar
dari arus konvensional serta mendiagnosa dari sudut yang tak terpikirkan. Sehingga Wahib
pada akhirnya lahir sebagai sosok yang memiiki empat karakter, yaitu pembangkang, pluralis,
sekularis dan radikal.
DAFTAR PUSTAKA
Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (edisi
digital), Jakarta, Democrasy Project, 2012.
Yayasan Abad Demokrasi. Pembaruan Tanpa Apologia? esai-esai tenang Ahmad
Wahib, Jakarta, Democracy Project, 2012.
Andriansyah. Pembaharuan Islam di Indonesia: Meneropong Sosok Ahmad Wahib,
International Institute of Islamic Thought Indonesia, Jurnal Pemikiran Islam Vol.1,
No.3, September 2003.
Andriansyah, "Ahmad Wahib’s Renewal Islamic Thinking in Indonesia in Perspective
of Abdolkarim Soroush" International Institute of Islamic Thought Indonesia, Vol. 2,
No.5, May 2003.
www.wikipedia.co.id/Ahmad_Wahib
Muliati, Ahmad Wahib: Reinterpretasi Ajaran Islam, STAIN Pare, Al-Fikr, Volume 17
Nomor 3 tahun 2013
Nurdin. Pembaruan Pemikiran Islam (studi tentang kontribusi pemikiran Ahmad
Wahib terhadap pembaruan pemikiran Islam di Indonesia), LTA S-2 Program
Pascasarana Universitas Indonesia. Jakarta, 2006. hal.72
William E. Shepard, Islam and Ideology: Towars a Typology, Cambridge University
Press, International Journal of Middle East Studies, Vol. 19, No. 3 (Aug,. 1987), pp
307-335.
“Makalah”
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pemikiran Politik Islam Indonesia
Disusun oleh:
Muhammad Khusnul Khuluk (E74212063)
Dosen Pengampu:
Dr. Slamet Muliono Redjosari, M. Si
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
PROGRAM STUDI POLITIK ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN AMPEL
SURABAYA
2014
ABSTRAK
Makalah ini membahas tentang pemikiran politik dari Ahmad Wahib, diantara
pemikiran-pemikirannya adalah tentang ketuhanan, konsep kepemimpinan, sekularisme,
pluralisme, persatuan, kritik terhadap ulama, dan toleransi. Banyak yang menganggap apa
yang digagas oleh seorang Ahmad Wahib sangat baik, dan mendapat respon positif terutama
bagi kalangan intelektual moderat. Tapi tak sedikit pula yang mengecam terutama dari
golongan ulama dan kalangan Muslim pada umumnya. Begitu banyaknya respon dari semua
kalangan, membuat Ahmad Wahib dianggap sebagai intelktual muda yang berpengaruh
dengan gagasan-gagasannya.
Pembuatan makalah ini menggunakan metode penelitian literatur, yakni dengan
mencari data dengan sumber referensi buku, dan sumber-sumber lain yang terkait. Data
tentang kajian ini diperoleh melalui sumber literatur tentang Ahmad wahib, berupa gagasangagasan, biografi, maupun komentar beberapa ahli tentang dirinya.
Dari berbagai penjelasan yang dijabarkan, maka hasil dari kajian ini dapat
disimpulkan bahwa apa yang telah Ahmad Wahib gagaskan waktu itu memang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran selanjutnya, mendapat banyak respon dari
berbagai kalangan. Jadi, hasil dari pemikiran Ahmad Wahib sangat berpengaruh terhadap
perkembangan bangsa sekarang walau ia meninggal di usia muda.
Kata kunci: Ahmad Wahib, Pemikiran, Politik Islam
A. Latar belakang
Ahmad Wahib dikenal sebagai pemikir dan pembaharu Islam. Ia dikenal sebagai
pembaharu terutama berkat catatan harian yang diangkat menjadi buku Pergolakan Pemikiran
Islam (2004) oleh Djohan Effendi dan Ismet Natsir. Dalam catatannya, Wahib mencoba
mempertanyakan apa yang sudah ia yakini selama ini mengenai Tuhan, ajaran Islam,
masyarakat Muslim, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Dalam satu wawancara, Douglas E.
Ramage, seorang Indonesianis lulusan University of South Carolina menyebut Wahib sebagai
salah satu pemikir baru Islam yang revolusioner.1
Ahmad Wahib dikenal sebagai salah satu cendekiawan yang aktif pada tahun 1960-an,
ia sering disandingkan namanya dengan Nurhcolis Madjid atau pun Soe Hok Gie mereka
sering disebut disebut sebagai "manusia-manusia baru". Di tahun 1960-an itu memang
dikenal sebagai tahun-tahun emas para pemikir muda Indonesia. Apalagi gejolak politik juga
menambah seru pertarungan ide-ide para pemikir di era itu, Ahmad Wahib memainkan
perannya sebagai salah satu yang paling berpengaruh dengan gagasan-gagasan Islam ala dia.
Pembaharuan Islam yang digagas Ahmad Wahib merupakan reinterpretasi ajaran
Islam tentang dikotomi antara agama dan ilmu agama. Secara umum dapat dikatakan bahwa
pembaharuan mestinya dilakukan bertitik tolak terhadap manusia itu sendiri (masyarakat).
Masyarakat arus menjadi mitra dialog utama dalam setiap pembaharuan Islam yang ditinjau
bagi mereka. 2
Tokoh yang saya pilih adalah Ahmad Wahib, seorang cendekiawan Muslim muda
yang eksis pada era 1960-1970-an. Saya meninjau hasil pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib,
yang mencetuskan banyak ide tentang Islam, syari’at maupun politik. Yang dimana halil dari
pemikirannya bisa mempengaruhi banyak pihak bahkan sampai sekarang.
Alasan saya mengapa mengambil tokoh Ahmad Wahib adalah, pertama karena
gagasan-gagasannya kebanyakan nyeleneh tapi bisa diterima, ngawur tapi banyak yang
menyetujuinya, dan juga pemikirannya kebanyakan melawan arus yang ada, bahkan gagasan
dari Ahmad Wahib yang ditulisnya dalam sebuah catatan harian yang kemudian dibukukan
oleh teman-temannya setelah ia meninggal, terbukti berpengaruh, sampai majalah Tempo
menobatkan buku yang berisi catatan harian Ahmad Wahib masuk ke dalam 100 buku paling
berpengaruh terhadap gagasan bangsa Indonesia. Yang kedua adalah, ia dilahirkan dan
1 Wikipedia.co.id/Ahmad_Wahib
2 Muliati, Ahmad Wahib: Reinterpretasi Ajaran Islam, STAIN Pare, Al-Fikr, Volume 17 Nomor 3 tahun 2013.
dibesarkan di daerah terbelakang, berbeda dengan para cendikiawan lainnya yang rata-rata
mereka dibesarkan di kota-kota besar, yang segala macam fenomena terjadi di dalamnya.
Ahmad Wahib lahir dalam lingkungan santri di Sampang, Madura suatu prototip lain dari
kehidupan pedesaan yang kering, tempat orang pulang pergi ke kota besar seperti Surabaya
dan lain-lain. Desa dimana mobilitas sangat besar karena orang keluar masuk dari desa ke
kota; namun mobilitas yang sering dianggap sebagai indikator modernitas, di Madura
menjadi lambang kekurangan, kemiskinan, dan kelaparan.3
B. Tentang Ahmad Wahib
Ahmad Wahib meninggal dalam usia yang masih muda. Sebuah sepeda motor dengan
kecepatan tinggi telah menabraknya dipersimpangan jalan Senen Raya-Kalilio. Peristiwa itu
terjadi tanggal 31 Maret malam tahun 1973. Ketika itu Wahib baru saja keluar dari kantor
Majalah Tempo, tempat ia bekerja sebagai calon reporter. Tragisnya, pengemudi motor
tersebut adalah seorang pemuda, justru bagian dari masyarakat yang begitu dicintai Wahib,
pada siapa ia menaruh simpati dan harapan demi masa depan bangsanya. Lebih dari itu,
dalam keadaan luka parah, ia ditolong dan dibawa ke Rumah Sakit Gatot Subroto justru oleh
beberapa orang gelandangan, bagian dari masyarakat yang beroleh simpati dan perhatian
Wahib karena penderitaan mereka. Akan tetapi keadaan Wahib rupanya begitu parah,
sehingga dari RSGS ia segera dibawa dengan ambulans ke RSUP. Namun semua usaha itu
pun sia-sia. Dalam perjalanan Wahib menghembuskan nafasnya yang terakhir
Almarhum dilahirkan pada tanggal 9 November 1942 di kota Sampang, Madura.
Lingkungan pergaulan Wahib di masa kanak-kanak dan remajanya adalah lingkungan agama
yang kuat. Dan ayahnya, pak Sulaiman, tergolong pemuka agama di daerahnya. Wahib
sendiri, walaupun tidak bisa dikatakan pernah menyantri, sempat mengecap kehidupan
pesantren. Keterbukaan ayahnya—seperti tertulis dalam catatan hariannya—memberinya
kebebasan untuk memasuki jalur pendidikan umum. Setamat belajar di SMA Pamekasan
bagian ilmu pasti tahun 1961, Wahib meneruskan pelajaran ke Yogyakarta. Ia memasuki
Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA) Universitas Gadjah Mada. Tapi sayang, meskipun sudah
mencapai tingkat akhir, Wahib tak sampat merampungkan studinya.
3 Gie, Soe Hok. Catatan Seorang Demonstran, Jakarta, Penerbit LP3ES, 1989, pengantar hal 13.
Pada tahun-tahun pemulaan di Yogya, Wahib tinggal di sebuah asrama Katolik,
Asrama Mahasiswa Realino. Namun dalam kegiatan kemahasiswaan ia memasuki Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI). Dalam organisasi mahasiswa ini ia tidak puas hanya sebagai
anggota biasa. Suasana ketika itu memang membuat anggota-anggota HMI memiliki
militansi yang tinggi. Wahib adalah aktivis yang menonjol. Kemenonjolannya, baik dalam
kegiatan maupun dalam pemikiran, membuat karirnya dalam HMI meningkat hingga ia
masuk ke dalam ”lingkungan elite” HMI Yogyakarta dan kemudian juga HMI Jawa Tengah.
Pada waktu itu di kalangan HMI masih terdapat perbincangan yang ramai tentang berbagai
masalah, misalnya persoalan Masyumi, moderenisasi, orientasi ideologi lawan orientasi
program, dan sebagainya, baik di dalam maupun dengan kalangan luar HMI.
C. Pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib
Agak sulit mengukur sejau mana posisi Wahib dalam pembaharuan Islam. Namun,
paling tidak kita dapat melihatnya dari respon Umat Islam terhadapnya tidak lama setelah
catatan hariannya dibukukan. Penerbitan buku ini bukan hanya mengundang polemik, tapi
juga ‘shock’ ditengah-tengah Umat Islam. Persis seperti yang pernah disinyalir olehnya,
bahwa terkadang kita harus melakukan kejutan-kejutan terhadap kejumudan cara pandang
Umat. Sampai akhir hayatnya pun ternyata Wahib masih setia dalam garis perjuangannya.4
Kunci untuk memahami pemikiran Ahmad Wahib terletak pada keyakinannya bahwa
kebebasan berpikir bukan saja hak, akan tetapi juga merupakan kewajiban. Wujud kebebasan
berpikir Wahib ini, pertama kali diungkapkan mengenai ajaran Islam. Menurut Wahib, dalam
knyataannya cara berpikir umat Islam terhadap ajarannya tidak lagi bebas, karena sudah
bertolak dari asumsi bahwa Islam merupakan ajaran yang paling baik, dan menempatkan
paham-paham lain dibawahnya. Cara berpikir seperti ini, mengakibatkan sesuatu yang baik
selalu diidentikkan dengan Islam.5
Menurut Ahmad Wahib, ajaran Islam tidak sejalan dengan nilai budaya modern.
Apakah nilai modern itu mendapat suppor dari ajaran islam? Kemanakah kira-kira
kemungkinan perubahannya? Pemahamanku sampai kini pada ajaran Islam menunjukkan
4 Andriansyah. Pembaharuan Islam di Indonesia: Meneropong Sosok Ahmad Wahib, International Institute of
Islamic Thought Indonesia, Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003
5 Nurdin. Pembaruan Pemikiran Islam (studi tentang kontribusi pemikiran Ahmad Wahib terhadap pembaruan
pemikiran Islam di Indonesia), LTA S-2 Program Pascasarana Universitas Indonesia. Jakarta, 2006. hal.72
bahwa nilai-nilai modern tidak senapas dengan ajaran Islam. Karena itu Islam tidak
mensuppor apalagi untuk dikatakan merupakan nilai-nilai Islam sendiri. Kelihatannya dalam
ajaran Islam ada unsur penyarahan, unsus puas terhadap karunia Allah, unsur nrimo, qanaah,
waro yang karena itu tidak sesuai dengan vitalitas nilai-nilai budaya modern. Tapi mudahmudahan kesimpulan saya ini sekedar karena saya belum terjun pada fundamen yang lebih
mendasar dari ajaran-ajaran Islam.6
1. Pemimpin
Konsep pemimpin yang di gagas oleh Ahmad Wahib sebetulnya hampir sama dengan
apa yang digagas oleh Ibn Taymiah, bahwa “Pemimpin kafir, tapi adil, jauh lebih utama
daripada pemimpin muslim, tapi tiran”. Dalam pandangan Ahmad Wahib, ia sebenarnya lebih
mendetailkan konsep itu dalam pandangan ia sendiri. Dalam tulisannya ia beranggapan
bahwa tak harus memilih pemimpin Muslim, ““Katakanlah kebenaran, walau karihal kafrin,
walau karihal musyrikin “. Juga: “Mengapa kamu angkat orang-orang kafr menjadi
pemimpin-pemimpin Islam?”. Ayat-ayat Al-Qur’an semacam ini digunakan oleh
propagandis-propagandis kita untuk membakar semangat massa. Mereka kurang sadar
perbedaan antara situasi di zaman Nabi dengan situasi sekarang. Di zaman Nabi golongan
Nabi betul-betul baik, sedang golongan kafr betul-betul jahat. Di zaman sekarang golongan
kita antara baik-jahat, sedang golongan lawan pun antara baik-jahat. Bukankah konstelasi
spiritualnya sudah lain? Bukankah secara material kita juga sebagian telah kafir, walaupun
formal Islam?”7
Pada tahap pemikiran ini, pada intinya Ahmad Wahib beranggapan bahwa seorang
pemimpin tidaklah harus seorang Muslim. Dasar asumsinya adalah bahwa dalam konteks
sekarang, orang Muslim dan non-Muslim tidak dapat dibedakan, berbeda dengan keadaan
ketika ayat tentang pemimpin ini diturunkan, dimana orang yang kafir pada saat itu memang
benar-benar buruk.
Lebih lanjut lagi Ahmad Wahib menulis dengan kritis akan hadist yang menyangkut
tentang kepemimpinan atau hadist-hadist lain yang dianggapnya aneh dan sudah tak relevan.
“Saya malah berpendapat bahwa andaikan Nabi Muhammad datang lagi di dunia sekarang,
menyaksikan bagian-bagian yang moderen dan yang belum serta melihat pikiran-pikiran
6 Muliati, Ahmad Wahib: Reinterpretasi Ajaran Islam, STAIN Pare, Al-Fikr, Volume 17 Nomor 3 tahun 2013.
7 Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad edisi Wahib (digital), Jakarta, Democrasy
Project, 2012. Hal 11.
manusia yang ada, saya berkepastian bahwa banyak di antara hadist-hadist nabi yang
sekarang ini umumnya difahami secara telan-jang oleh pengikut-pengikutnya, akan dicabut
oleh nabi dari peredaran dan di ganti dengan hadist-hadist yang baru.”8
2. Sekularisme
Yang paling dikenal orang mengenai seorang Ahmad Wahib adalah tentang pemikiran
bebasnya, salah satunya adalah mengenai sekularitas, bahkan ia dianggap oleh banyak
kalangan sebagai pelopor berkembangnya paham sekuler di Indonesia dewasa ini. Gagasangagasannya mengenai sekularisme memang sangat berani dan kritis, dimana pada saat itu
sekularisme dianggap sebagai hal yang sangat tabu. Ahmad Wahib berani untuk
mendobraknya.
Menurutnya, Islam itu sekular dan harus sekular, “Sejauh yang aku amati selama ini,
agama terjadi telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalah dunia. Petunjuk-petunjuk
Tuhan tidak mampu kita sekularkan. Padahal sekularisasi ajaran-ajaran Tuhan mutlak bagi
kita kalau kita tidak ingin sekularistis. Agama Islam yang kita fahami selama ini adalah
agama sekularistis, agama yang tidak mampu meresapi masalah-masalah dunia, dus
terpisahnya agama dari masalah dunia. Nah, diam-diam kita menganut sekularisme,
walaupun dengan lantang kita menentang sekularisme!”9
Lebih lanjut ia menulis: “Fiqh merupakan hasil sekularisasi ajaran Islam di suatu
tempat dan waktu. Menurut saya, Qur’an dan Hadist itu fiqh pertama di kalangan umat islam.
Sehingga Al-Qur’an merupakan hasil sekularisasi ajaran Islam di zaman nabi. Pelakunya
Tuhan sendiri. Dan hadist saya pikir, merupakan hasil sekularisasi ajaran Islam di Zaman
nabi. Pelakunya: Muhamad.” Dan “Tentunya ada banyak ayat Qur’an dan Hadist yang
merupakan hasil sekularisasi “transmitif ” atau “transmigratif ” atau “translatif, karenanya
memiliki daya cakup seluruh ruang dan waktu. Sekularisasi di situ hanya berisi
“penterjemahan bahasa”. Ayat –ayat lain adalah hasil dari “sekularisasi transformatif ”
8 Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad edisi Wahib (digital), Jakarta, Democrasy
Project, 2012. Hal 11.
9 Ibid. Hal 24.
pada ruang Arab dan waktu abad ke 14. Pada yang terakhir inilah “proses” ideation terasa
sangat urgent. Sedang pada yang pertama kita lihat bahwa di situ “fenomena” dapat dikatakan
sekaligus merupakan “idea sederhana” atau “idea tingkat manusia”10
Tak hanya berhenti disitu, Ahmad Wahib terus menulis ide-idenya tentang sekular
yang dari ide inilah ia dianggap sebagai tokoh trigger sekular di Indonesia. “Sekularime itu
anti agama tapi sekularisasi itu netral agama. Sekularisme itu sendiri walaupun untuk
mencapainya memerlukan sekularisasi (sebagai proses appproach), dia bersikap tidak senang
terhadap sekularisasi, karena keterbukaan dan kebebasan yang diberikan oleh sekularisasi itu
bagi pencaharian hakekat lebih lanjut beyond this world and this time. Sekularisasi tidak
menghalangi kita untuk mencari kemungkinan adanya atau menganut adanya the other
signifcance of realities, other/diferent than those which can be measured by the method of
natural science. Sekularisasi itu adalah opened process sedang sekularisme adalah closed
system. Sekularisasi yang dilambari oleh pemahaman bahwa tidak ada nilai yang tetap dan
yang tetap hanya Tuhan (iman dan taqwa) akan melahirkan “God without religion”. Pada
hemat saya, sekularisasi yang bertolak pada pemikiran bahwa “religion is private business”
tidak mengharuskan lahirnya suatu anutan: “God without religion”, karena “religion is private
business” akan membekali setiap pribadi dengan nilai-nilai tertentu yang abadi Ikhtiar
Menjawab Masalah Keagamaan dan universal yang harus ditegakkan dalam kehidupan
bersamannya di samping beberapa landasan spiritual dan tugas ritual yang harus ada dalam
kehidupan pribadinya. Dengan sekularisasi berarti bahwa kita betul-betul memahami
tanggungjawab kita sebagai khaffatullah fl ardhi. Hanya dengan demikian akan terlihat
bahwa telah terjadi partnership antara Tuhan dan manusia dalam menulis sejarah
(partnership of God and man in history). Sejauh pengamatan saya, dalam dunia Kristen
sendiri sekularisasi masih serba problematis walaupun ada kecenderungan kuat untuk
menerimanya. Apakah golongan Kristen Indonesia menerima sekularisasi begitu cepat tanpa
sedikitpun kritik terdorong karena alasan-alasan idiil murni ataukah dicampuri karena alasanalasan politis berhubung dengan kekhawatiran mereka terhadap golongan islam yang
dianggap agresif?”11
3. Plural dan Liberal
10 Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad edisi Wahib (digital), Jakarta,
Democrasy Project, 2012. Hal 47-48.
11 Ibid. Hal 70-71.
Pluralisme adalah kesadaran untuk menerima kebenaran dari (agama) yang lain tanpa
menafikan atau menisbi kan kebenaran (agama) sendiri. Hingga, dalam kesa daran semacam
itu tak ada lagi klaim kebenaran (claim of truth) yang bersifat tunggal terpusat sehingga me
mung kinkan terwujudnya sikap toleransi satu agama terhadap (adanya) kebenaran dalam
agama yang lain.12
Ahmad Wahib juga dikenal sebagai seorang pluralis. Pluralisme yang dicetuskan oleh
Ahmad Wahib, diantara pandangannya tentang pluralisme: dalam puisinya ia menulis “theist
dan atheist bisa berkumpul, muslim dan kristiani bisa bercanda, artist dan atlit bisa bergurau,
kafirin dan muttaqien bisa bermesraan, tapi pluralist dan anti pluralist tak bisa bertemu ... anti
pluralist menentukan jalannya, kaum pluralist memilih lintasannya.13” Pandangannya
terhadap pluralisme, dan penolakannya terhadap “satu”: “Saya kira, meletakkan persatuan
umat sebagai cita-cita saja sudah merupakan kesalahan besar. Tapi andaikata ini tidak salah,
itu berarti penetapan cita-cita persatuan itu betul sebagai sendi yang strategis. Walaupun
betul, bukankah cita persatuan yang ada pada umat ini baru pada tingkat emosional? Jadi
usaha pencapaiannya sama sekali tidak problem solving. Apalagi kalau diingat bahwa tidak
selamannya persatuan itu baik.”14
Sementara itu sikap liberalya tampak pula pada tulisan selanjutnya. “Saya kira
pemasangan ijma’ dalam deretan sumber pembinaan hukum berupa Qur’an, Sunnah dan ijma’
sudah bukan waktunya lagi. Dalam dunia yang cepat berubah dan individualisme makin
menonjol, cukuplah dengan Qur’an dan sunnah. Dan biarkanlah tiap orang memahamkan
Qur’an dan Sunnah itu menurut dirinya sendiri. Nah, kalau nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat itu berkembang. Seharusnyalah hukum-hukum islam itu berkembang. Haram dan
halal pada saat ini seharusnya tidak sama dengan haram dan halal pada tiga atau empat abad
yang lalu atau bahkan pada masa nabi hidup. Karena itu seharusnya ada banyak dari hadist
nabi atau bahkan ayat Qur’an yang tidak dipakai lagi karena memang tidak diperlukan dan
karena muharat yang dikuatirkan di situ sudah, tidak ada lagi, berhubung nilai-nilai baru yang
kini berlaku dalam masyarakat.”15
4. Kritik terhadap Ulama
12 Yayasan Abad Demokrasi. Pembaruan Tanpa Apologia? esai-esai tenang Ahmad Wahib, Jakarta, Democracy
Project, 2012, hal. 50.
13 Ibid, hal 22.
14 Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (edisi digital), Jakarta,
Democrasy Project, 2012. Hal 15.
15 Ibid, hal 25.
Ahmad Wahib, pada 29 Maret 1970, Wahib menulis dakwaan yang pedas atas ulama.
Lihatlah, ulamaulama Islam mau menerapkan hukumhukum tertentu pada manusia. Tapi
sayang, bahwa di sini yang merekaperkembangkan hanyalah bunyi hukum itu dan sangat
kurang sekali usaha untuk mengerti dan membahas masalah manusianya sebagai objek
hukum itu. Dengan caracara ini, adakah kemungkinan untuk menjadikan hukum itu sendiri
sebagai suatu kesadaran batin dalam hati manusia? Yang terjadi malah sebaliknya, bahwa
makin lama orangorang makin jauh dari hukumhukum yang mereka rumuskan. Sampai di
manakah ulama kita walaupun tidak ahli cukup memiliki apresiasi terhadap antropologi,
sosiologi, kebudayaan, ilmu, politik, dan lainlainnya?
Bagi saya, ulamaulama seperti Hasbi, Muchtar Jahya, Munawar Cholil dan lainlain,
tidak berhak menetapkan hukum dalam masalah akhlak dan khilafah. Bagaimana mereka
akan berhasil tepat, bilamana masalah manusia, masyarakat dan lainlain tidak dikuasainya?
Tidak ada kerja kreatif yang mereka lakukan. Mereka baru dalam taraf interpretatif.
Sejauh pengamatan saya, bahasa ulama kita dalam dakwahnya juga sangat kurang.
Mereka sangat miskin dalam bahasa, sehingga sama sekali tidak mampu mengungkapkan
makna firmanfirman Tuhan. Bahasa mereka terasa sangat gersang. Kalau mereka bicara
tentang cinta manusia pada Tuhan atau cinta Tuhan pada manusia, maka maksimal bahasa
cintanya hanya masuk otak dan tidak memiliki daya tembus ke hati. Mereka bicara tentang
cinta tidak sebagaimana makna cinta yang ada sebagai bibit-bibit dalam hati setiap manusia.
Karena itu taklah mengherankan kalau dakwah mereka itu terpantul saja ketika mencoba
masuk ke hati.
Salah satu sebab pokok dari kekeringan bahasa ini adalah bahwa mereka tidak pernah
melakukan imajinasiimajinasi, sedangkan imajinasi merupakan usaha yang keras dari seluruh
potensi linguistik kita untuk sampai atau mendekati sedekatdekatnya dasar hati manusia yang
paling dalam. Jangankan mereka sendiri melakukan imajinasi, terhadap orang yang
melakukan imajinasi saja mereka sudah curiga. Firmanfirman Tuhan mereka tangkap sebagai
formulaformula hukum positif dan setiap percobaan untuk mengungkapkan yang lebih dalam
dari formulaformula itu dianggap terlarang.16
5. Agama dan Negara
16 Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (edisi digital), Jakarta,
Democrasy Project, 2012. Hal 90-91.
Perdebatan hubungan negara dan agama yang sering disimplifikasi bahkan disesatkan
secara sengaja di antara dua kutub, khilafah dan sekulerisme, menambah keruwetan dan
kecurigaan. Oleh karenanya, ada baiknya pembicaraan hubungan negaraagama tidak hanya
menggunakan ukuran bentuk negara (teokratis atau sekuler) tetapi juga melihat pemenuhan
hak kebebasan beragamaberkeya kinan. Kurva yang dihasilkan Cole Durham melalui riset
bertahuntahun di bawah ini memperlihatkan dengan jelas hal tersebut. Baik negara yang
mengakui agama—positive identification (teokratis), maupun yang tidak meng akui agama
—negative identifi cation, ternyata samasama berada pada keadaan tidak memiliki
kebebasan beragamaberke yakinan (absence of religious freedom). Di kutub seberangnya
yaitu pemenuhan kebebasan beragamaber ke yakinan secara optimal adalah negara yang
netral (tidak mengidentifikasi agama tertentu).17
Pada 6 Mei 1970 Wahib menulis. Dalam semua bidang (aqidah-akhlaq-syari’ahkhilafah) harus dilakukan historical directing. Dalam masalah khilafah tidak ada ketentuan
lain kecuali: nilai-nilai dasar. Pelaksanaan nilai-nilai dasar ini adalah masalah manusia
sepenuhnya, apakah dilaksanakan dengan membentuk negara teokratis atau negara sekular
atau bentuk-benruk transisi antara keduanya, apakah diperjuangkan dengan membentuk partai
Islam atau partai sekular sekalipun. Manusia muslim bisa memilih sendiri dengan melihat
kebutuhan-kebutuhan yang ada dan memperhitungkan efsiensi pemerintahan yang harus
diciptakan. Karena itu menurut Islam, hubungan antara agama dan negara bisa langsung dan
bisa tidak langsung. Kedua macam hubungan tersebut semata-mata masalah manusia. Yang
akhir dari paling akhir yang menjadi cita semuanya ialah bahwa tiap-tiap pribadi membawa
nafas Islam termasuk nilai-nilai dasar sosialnya dalam kehidupan dirinya serta terciptanya
nilai-nilai dasar itu dalam masyarakat sebagai akibat cita yang pertama. Bila untuk ini
Muhammad atau Khalifah Rasyidin membentuk negara teokratis, itu adalah karena menurut
pertimbangan basic demands waktu itu, seperti faktor-faktor sosiologis, kultural serta
pertimbangan efsiensi, yang paling tepat adalah negara teokratis. Karena itu bila kita
sekarang memilih negara yang bertolak belakang dengan negara teokratis misalnya, adalah
karena pertimbangan bahwa negara teokratis sama sekali bukan media yang efsien untuk
menegakkan nilai-nilai tadi dalam social setting yang kompleks sekali sekarang ini.18
17 Yayasan Abad Demokrasi. Pembaruan Tanpa Apologia? esai-esai tenang Ahmad Wahib, Jakarta, Democracy
Project, 2012, hal.5.
18 Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (edisi digital), Jakarta,
Democrasy Project, 2012. Hal 109.
D. Analisis
Seperti yang telah di bahas pada poin-poin sebelumnya, terkait dengan gagasangagasan yang dicetuskan oleh Ahmad Wahib dan maka pembahasan selanjutanya adalah
mengenai analisa dari pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib. Yang dimana kita tahu pemikiranpemikiran itu masih sangat asing, tidak umum dan cenderung dikatakan buruk, dan mereka
hadir dengan pemikiran baru yang menantang arus. Analisa ini menggunakan tipologi dari
Willem E. Shepard.19
Agak sulit mengukur sejauh mana posisi Wahib dalam pembaharuan Islam. Namun,
paling tidak kita dapat melihatnya dari respon Umat Islam terhadapnya tidak lama setelah
catatan hariannya dibukukan. Penerbitan buku ini bukan hanya mengundang polemik, tapi
juga ‘shock’ ditengah-tengah Umat Islam. Persis seperti yang pernah disinyalir olehnya,
bahwa terkadang kita harus melakukan kejutan-kejutan terhadap kejumudan cara pandang
Umat. Sampai akhir hayatnya pun ternyata Wahib masih setia dalam garis perjuangannya20
Berbicara mengenai sosok Ahmad Wahib, menurut saya dia adalah seorang Sekuleris
dan Modernis. Modernis karena memang dia bergaul dengan banyak kalangan sifat
keterbukaannya sangat lebar sekali, ia memiliki kawan dari golongan atas sampai bawah,
memiliki sahabat dari golongan paling kiri sampai golongan paling kanan, pernah lama
tinggal di rumah orang komunis ataupun pastur. Seringnya dia bergaul dengan banyak
kalangan membuatnya menjadi orang Modernis. Pandangan-pandangannya mengenai
pluralitas saya setujui, bahwa perbedaan memang di perlukan.
Hal-hal yang perlu di kritisi dari seorang Ahmad Wahib adalah pandangannya
mengenai sekularisasi. Pernyataannya tentang “diam-diam kita menganut sekularisme,
walaupun dengan lantang kita menentang sekularisme” saya tidak satu arah, yang dimaksud
kebanyakan oleh orang-orang Muslim adalah sekularisme dalam hal agama dan negara,
bukan yang sebagaimana dipaparkan oleh Ahmad Wahib tentang sekularisasi bahwa
“menduniakan Islam, dan wahyu-wahyu yang telah diturunkan, intinya mengaplikasikan dari
teks ke konteks. Jika berbicara hal itu memang benar adanya, semua agama bahkan Islam
19 William E. Shepard, Islam and Ideology: Towars a Typology, Cambridge University Press, International
Journal of Middle East Studies, Vol. 19, No. 3 (Aug,. 1987), pp 307-335.
20 Andriansyah. Pembaharuan Islam di Indonesia: Meneropong Sosok Ahmad Wahib, International Institute of
Islamic Thought Indonesia, Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003
memang “menduniakan” apa yang telah di wahyukan, tapi sangat berbeda konteksnya dengan
sekularisme, menurut hemat saya masih diperlukan peran agama dalam bernegara. Jadi
sekularisme menurut Ahmad Wahib saya rasa tidak relevan.
Lalu mengenai pemikirannya yang terlalu libaral harus kita batasi baik-baik misal
pandangannya yang terlalu liberal: “seharusnya ada banyak dari hadist nabi atau bahkan ayat
Qur’an yang tidak dipakai lagi karena memang tidak diperlukan dan karena muharat yang
dikuatirkan di situ sudah, tidak ada lagi, berhubung nilai-nilai baru yang kini berlaku dalam
masyarakat”. Pandangan yang seperti ini mutlak adalah sebuah kesalahan menurut saya,
nilai-nilai lama menurut hemat saya tidak untuk dibuang, itu bisa dibuat pedoman, apalagi
menurut saya, kebenaran-kebenaran dari Qur’an dapat dibuktikan. Ini salah satu bahaya dari
pemikiran Wahib.
Terlepas dari gagasan-gagasan Ahmad Wahib yang nyeleneh dan penuh kontroversi,
ada pula gagasan yang sebenarnya layak untuk kita hargai, mengenai pluralisme dan kritiknya
terhadap ulama. Kritiknya terhadap ulama saya rasa tepat, karena melihat realita yang ada
sekarang, gaya dari kebanyakan ulama ketika ceramah atau khotbah sangat kaku. Jarang ada
yang bisa menangkap apa yang dikatakan ulama itu, dalam khotbah jum’at misal, saya yakin
hampir semua jama’ah tidak akan ingat apa yang dikatakan oleh khotib ketika ditanya meski
setelah shalat jum’at itu baru selesai, karena kebanyakan khutbah sangat membosankan.
KESIMPULAN
Dalam pandangan Ahmad Wahib, pembaruan pemikiran merupakan hahl yang niscaya
dalam Islam. Dan peninjauan ulang pikiran-pikiran yang telah ada selama ini merupakan
suatu yang tidak dapat dihihndari, jika menghendaki sikap Islam tetap survive di tengah-
tengah pergumulan pemikiran dan tantangan zaman saat ini. Menurut Wahib, untuk
melakukan pembaruan pemikiran Islam diperlukan sikap terbuka dan adanya ruang
kebebasan berfikir serta difasilitasinya secara luas ide-ide dan gagasan-gagasan yang
progresif. Hal ini menjadi penting, karena pembaruan pemikiran Islam merupakan kerja
interpretatif dengan menjadikan akal sebagai alat dan ilmu pengetahuan sebagai alat bantu
untuk memhami kehendak Islam.
Kebebasan berpikir Wahib memang menjadi inspirasi bagi intelektual muda muslim
penerusnya untuk berani mengemukakan pemahaman keagamaannya secara bebas, tanpa
takut terhadap dominasi otoritas ulama yang mengaku paling berhak menafsirkan Islam.
Wahib telah tampil sebagai sosok yang mampu melakukan refleksi atas relitas yang terjadi
dilingkungannya, sehingga meahirkan gagasan-gagasan yang segar dan cerdas, dimana
gagasan-gagasannya mengandunga potensi besar untuk melakukan pembaruan karena keluar
dari arus konvensional serta mendiagnosa dari sudut yang tak terpikirkan. Sehingga Wahib
pada akhirnya lahir sebagai sosok yang memiiki empat karakter, yaitu pembangkang, pluralis,
sekularis dan radikal.
DAFTAR PUSTAKA
Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (edisi
digital), Jakarta, Democrasy Project, 2012.
Yayasan Abad Demokrasi. Pembaruan Tanpa Apologia? esai-esai tenang Ahmad
Wahib, Jakarta, Democracy Project, 2012.
Andriansyah. Pembaharuan Islam di Indonesia: Meneropong Sosok Ahmad Wahib,
International Institute of Islamic Thought Indonesia, Jurnal Pemikiran Islam Vol.1,
No.3, September 2003.
Andriansyah, "Ahmad Wahib’s Renewal Islamic Thinking in Indonesia in Perspective
of Abdolkarim Soroush" International Institute of Islamic Thought Indonesia, Vol. 2,
No.5, May 2003.
www.wikipedia.co.id/Ahmad_Wahib
Muliati, Ahmad Wahib: Reinterpretasi Ajaran Islam, STAIN Pare, Al-Fikr, Volume 17
Nomor 3 tahun 2013
Nurdin. Pembaruan Pemikiran Islam (studi tentang kontribusi pemikiran Ahmad
Wahib terhadap pembaruan pemikiran Islam di Indonesia), LTA S-2 Program
Pascasarana Universitas Indonesia. Jakarta, 2006. hal.72
William E. Shepard, Islam and Ideology: Towars a Typology, Cambridge University
Press, International Journal of Middle East Studies, Vol. 19, No. 3 (Aug,. 1987), pp
307-335.