PERAN PERPUSTAKAAN KHUSUS DALAM PENINGKA

PERAN PERPUSTAKAAN KHUSUS DALAM PENINGKATAN KINERJA ORGANISASI
Pengantar Diskusi
Oleh Farli Elnumeri1

PENDAHULUAN

Dalam beberapa pertemuan, ada cerita mengenai aktifitas pustakawan di luar dari ruang
lingkup kerjanya selaku pengelola perpustakaan. Pustakawan tersebut dilibatkan dalam
kegiatan-kegiatan di luar tugas utamanya. Awalnya pengelola perpustakaan tersebut
bangga dilibatkan dalam banyak kegiatan kerja-kerja institusinya karena menganggap
dirinya bermanfaat bagi lembaga induknya, khususnya pimpinannya. Beliau-beliau tersebut
aktif dan memerlihatkan keahliannya yang dia anggap keahlian sebagai lulusan ilmu
perpustakaan dalam berbagai kegiatan di luar kerja utamanya tersebut. Namun, makin lama
karena terlibat aktif dalam kerja/kegiatan di luar kerja utamanya tersebut, walhasil
perpustakaan yang menjadi tugas utamanya malah terbengkalai.
Beliau baru menyadari betapa tidak berkembangnya perpustakaan ketika memasuki
pelaporan tahunan. Ternyata kinerjanya lebih banyak urusan di luar kerja utamanya
tersebut. Dampaknya adalah pengelola perpustakaan tersebut dianggap tidak berhasil
mengembangkan perpustakaan yang menjadi tanggung jawabnya dan citra perpustakaan
terlihat menjadi tidak penting di mata pimpinan.
Cerita seperti ini ternyata banyak terjadi di berbagai pengelola perpustakaan dan informasi

di berbagai lembaga. Tidak hanya di perpustakaan khusus lembaga-lembaga pemerintahan,
namun banyak pula terjadi di lembaga non pemerintah, seperti NGO yang memang sumber
daya manusianya terbatas untuk kerja-kerja pengelolaan pengetahuan dan
pendokumentasian. Secara tidak sadar kondisi ini berpengaruh kepada citra perpustakaan
bahwa keberadaan perpustakaan dalam suatu institusi hanyalah menata kumpulan buku
dan terbitan serial agar terlihat rapi dan layanannya hanya layanan sirkulasi. Mirip toko
buku atau warung kelontong. Dengan demikian, menjadi pertanyaan akhirnya siapa
sebenarnya yang menjatuhkan citra perpustakaan di mata masyarakat?
Ada banyak faktor yang menyebabkan perpustakaan belum berfungsi dengan baik.
Beberapa asumsi dapat dikembangkan mengenai hal ini. Bisa jadi karena ketidak berhasilan
pengelola perpustakaan dalam mengidentifikasi dan memahami visi misi dan rencana
strategik institusi induk sehingga perpustakaan ternyata tidak bisa bersinergi dalam
mewujudkan rencana yang telah ditetapkan lembaga induk. Hal lainnya adalah karena
pengelola perpustakaan kesulitan memahami keinginan pimpinan lembaga induk beserta
staf yang ada sebagai stake holder perpustakaan khusus tersebut berada.

1

Kepala Perpustakaan Hukum Daniel S Lev / Manajer Knowledge Center YSHK / Presiden ISIPII / Dosen Luar
Biasa Manajemen Informasi dan Dokumen (MID) Vokasi UI


1

Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis mengajak pengelola perpustakaan khusus
mendiskusikan peran perpustakaan khusus dalam peningkatan kinerja organisasi dari sudut
pandang pengelola perpustakaan. Secara spesifik lebih kepada bagaimana pengelola
perpustakaan membaca kebijakan organisasi sehingga dapat melakukan terobosan program
dari sisi pengembangan pengetahuan bersama yang menjadi stake holder perpustakaan.

PEMBAHASAN
Karakteristik Perpustakaan Khusus
Perpustakaan khusus dalam UU Nomor 43 tahun 2007 didefinisikan sebagai perpustakaan
yang diperuntukan secara terbatas bagi pemustaka di lingkungan lembaga pemerintah,
lembaga masyarakat, lembaga pendidikan keagamaan, rumah ibadah, dan organisasi lain.
Adapun SNI 7496: 2009 tentang Perpustakaan Khusus Instansi Pemerintah mendefinisikan
perpustakaan khusus sebagai institusi atau unit kerja pengelola karya tulis, karya cetak, dan
karya rekam yang dikelola secara profesional berdasarkan sistem yang baku untuk
mendukung kelancaran/keberhasilan pencapaian visi, misi, dan tujuan instansi induk yang
menaunginya.
Apabila dalam UU terbatas hanya mendefinisikan dari sisi kepemilikan, maka dalam SNI

lebih kepada peran dan fungsi perpustakaan khusus. Dari sisi fungsi, perpustakaan khusus
spesifik mengelola karya tulis, karya cetak, dan karya rekam yang saat ini diperluas juga
karya digital. Adapun perpustakaan khusus berperan aktif dalam mendukung pencapaian
visi, misi, dan tujuan institusi induknya.
Lebih lanjut dalam SNI Perpustakaan khusus instansi pemerintah menjelaskan secara umum
apa saja misi, tugas, dan fungsi perpustakaan khusus. Perpustakaan khusus dalam hal ini
perpustakaan khusus pemerintah memiliki misi menyediakan materi perpustakaan dan
akses informasi bagi lembaga induknya. Tugas perpustakaan khusus setidaknya, yaitu: a)
menunjang terselenggaranya pelaksanaan tugas lembaga induknya dalam bentuk
penyediaan materi perpustakaan dan akses informasi; b)mengumpulkan terbitan dari dan
tentang lembaga induknya; c) memberikan jasa perpustakaan dan informasi; d)
mendayagunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk menunjang tugas
perpustakaan; e) meningkatkan literasi informasi.
SNI 7496: 2009 lebih lanjut memaparkan fungsi perpustakaan khusus instansi pemerintah
secara cukup detail, yaitu:
a) mengembangkan koleksi yang menunjang kinerja lembaga induknya;
b) menyimpan semua terbitan dari dan tentang lembaga induknya;
c) menjadi focal point untuk informasi terbitan lembaga induknya;
d) menjadi pusat referal dalam bidang yang sesuai dengan lembaga induknya;
e) mengorganisasi materi perpustakaan;

f) mendayagunakan koleksi;

2

g) menerbitkan literatur sekunder dan tersier dalam bidang lembaga induknya, baik cetak
maupun elektronik;
h) menyelenggarakan pendidikan pengguna;
i) menyelenggarakan kegiatan literasi informasi untuk pengembangan kompetensi SDM
lembaga induknya;
j) melestarikan materi perpustakaan, baik preventif maupun kuratif;
k) ikut serta dalam kerjasama perpustakaan serta jaringan informasi;
l) menyelenggarakan otomasi perpustakaan;
m) melaksanakan digitalisasi materi perpustakaan ;
n) menyajikan layanan koleksi digital;
o) menyediakan akses informasi pada tingkat lokal, nasional, regional dan global.
Perpustakaan Nasional RI yang dalam UU Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan
memiliki kewenangan mengembangkan Standar Nasional Perpustakaan tidak banyak
mengupas mengenai hal mendasar ini. Hal ini dapat terlihat dalam Peraturan Kepala
Perpustakaan Nasional RI Nomor 14 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Perpustakaan
Khusus.

Dalam penyelenggaraan perpustakaan, Standar Nasional Perpustakaan Khusus menyatakan
bahwa visi perpustakaan menggambarkan pada tugas pokok dan fungsi perpustakaan yang
mengacu pada organisasi induk. Adapun misi perpustakaan khusus menyediakan bahan
perpustakaan dan akses informasi bagi semua pemustaka di lembaga induk dan masyarakat
disekitarnya. Tugas dan fungsi perpustakaan khusus dalam SNP juga sangat sederhana.
Tugas perpustakaan khusus melayani pemustaka dengan menyediakan bahan
perpustakaan/bacaan yang sesuai dengan kebutuhan lembaga induk dan masyarakat di
sekitarnya. Adapun fungsi perpustakaan sebagai perpustakaan rujukan, pusat deposit, dan
pusat sumber belajar masyarakat dilingkungan lembaga induk.
Walaupun demikian, ada beberapa hal positif yang ada dalam SNP Perpustakaan Khusus
sebagai alat pengelola perpustakaan untuk meningkatkan posisi tawar keberadaan
perpustakaan khusus dalam hal ini perpustakaan khusus yang dikelola pemerintah.
Misalkan, keberadaannya paling rendah setara dengan eselon IV dan berhubungan langsung
dengan pimpinan lembaga induk.
Kedua standar ini secara manajemen perpustakaan khusus sebenarnya dapat menjadi acuan
bagi pengelola perpustakaan khusus dalam berkomunikasi dan bernegosiasi dengan
pimpinan lembaga induk. Terlebih, saat ini Perpustakaan Nasional sudah mulai menjalankan
tugasnya melakukan pembinaan dengan melakukan sertifikasi perpustakaan di Indonesia.
Peran asosiasi perpustakaan, khususnya dalam hal ini Forum Perpustakaan Khusus
Indonesia untuk mengawal, mengevaluasi, dan aktif memberikan masukan dalam

penerapan ke dua Standar Nasional ini serta pengembangannya.
Keberadaan Perpustakaan Khusus
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi, keberadaan perpustakaan dapat
dikategorikan sebagai berikut:

3

1. Keberadaan perpustakaan berdasarkan regulasi atau peraturan. Perpustakaan
kategori ini seperti perpustakaan nasional, perpustakaan umum yang dikelola
pemerintah, perpustakaan sekolah, Perpustakaan khusus di lembaga pemerintah,
dan perpustakaan perguruan tinggi;
2. Keberadaan perpustakaan berdasarkan kebutuhan organisasi. Perpustakaan kategori
ini pada umumnya karena kesadaran para pelaku utama organisasi bahwa mereka
membutuhkan perpustakaan dalam upaya pengembangan dan pengelolaan
pengetahuan pada organisasi tersebut. Pada umumnya perpustakaan ini berada
pada organisasi yang salah satu bisnis utamanya berkaitan dengan riset dan
pendidikan.
3. Keberadaan perpustakaan berdasarkan kepentingan pimpinan organisasi. Pada
umumnya, tokoh-tokoh pimpinan organisasi yang memiliki intelektual tinggi
menyadari pentingnya perpustakaan. Namun, kesadaran pimpinan ini bukan bagian

dari budaya organisasi di lembaga tersebut. Akibatnya, apabila pimpinan organisasi
tersebut tidak lagi berkuasa, maka keberadaan perpustakaan pun terancam. Bisa jadi
mengecil bahkan dalam banyak kasus perpustakaan tersebut sudah tidak ada lagi.
Kondisi ini banyak terjadi pada perpustakaan yang dikelola masyarakat atau
komunitas, perpustakaan khusus yang ada di lembaga-lembaga advokasi dan NGO,
serta perpustakaan yang berada dilingkungan perusahaan. Walau dalam beberapa
kasus, hal ini menimpa pula perpustakaan yang berada di lingkungan lembaga
negara.
Perpustakaan pada kategori 1 relatif aman dari ancaman pembubaran. Hal ini karena
perpustakaan ini dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Namun, perpustakaan
yang tidak secara langsung di bawa perintah Undang-Undang, sangat memungkinkan
kondisinya berubah. Perpustakaan khusus relatif rentan terhadap kondisi ini.
Namun, secara umum, kenyataannya, ketika suatu lembaga mengalami defisit anggaran,
perpustakaan sering kali menjadi unit pertama yang menjadi korban pemangkasan
anggaran. Terlebih, apabila keberadaan perpustakaan tersebut di mata pimpinan, tidak
terasa manfaatnya oleh mereka. Bagi pimpinan yang merasa tidak mendapat manfaat atas
perpustakaan di lembaga tersebut, maka perpustakaa dia ggap cost center . Untuk itu,
hal ini menjadi tantangan bersama para pengelola perpustakaan khusus untuk menunjukkan
kinerja yang baik, bermanfaat secara langsung bagi lembaga induk dan menunjukkan
eksistensinya dalam mengembangkan inovasi di dalam ruang lingkup lembaga induknya.

Kinerja Organisasi
Kinerja merupakan implementasi dari rencana yang telah di susun. Implementasi
kinerja dilakukan oleh sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, kompetensi,
motivasi dan kepentingan (Wibowo, 2010). Ada beberapa pendapat atas pengertian kinerja
ini. Menurut Amstrong dan Baron (Fahmi, 2010), kinerja merupakan hasil yang diperoleh
oleh suatu organisasi dan mempunyai hubungan yang kuat dengan tujuan strategis
4

organisasi serta gambaran mengenai tingkatan pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan
dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam
perumusan skema strategis. Adapun Richard (Sudarmanto, 2009) berpendapat kinerja
merupakan seperangkat perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi atau unit organisasi
dan merupakan sesuatu yang secara aktual orang kerjakan dan dapat di observasi. Dalam
pengertian ini, kinerja mencakup tindakan-tindakan dan perilaku yang relevan dengan
tujuan organisasi. Kinerja bukan konsekuensi atau hasil tindakan, tetapi tindakan.
Dari beberapa uraian diatas kinerja merupakan perilaku yang relevan dari individu
dalam melakukan kegiatan organisasi yang diimplementasikan dalam wujud visi dan misi
organisasi dengan perilaku yang relevan dalam mewujudkan tujuan organisasi. Terdapat 3
(tiga ) jenis kinerja yang meliputi (Wibowo, 2010) :
1.


Kinerja organisasi yang merupakan hasil kerja konkrit yang dapat diukur dari organisasi
dan dapat dipengaruhi oleh kinerja proses atau kinerja individu, yang membutuhkan
standar kinerja sebagai alat ukur, sehingga ukuran kinerja tersebut bersifat kuantitatif
dan tidak selalu mencerminkan potensi organisasi.
Proses kinerja organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hersey, Blanchard dan
Johnson menggambarkan hubungan antara kinerja dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam bentuk Satelite Model.
Gambar 2.1
Model Satelite Kinerja Organisasi

Performance
Knowledge
Structure

Integration

Human Process
process
intergration


Strategic
Positioning

Nonhuman
Process
process
inergration

Sumber : Wibowo (2010)

5

Kinerja organisasi diperoleh dari terjadinya integrasi dari faktor-faktor pengetahuan,
sumber daya bukan manusia, posisi strategis, proses sumber daya manusia dan
struktur. Kinerja dilihat sebagai pencapaian tujuan dan tanggung jawab bisnis dan
sosial dari perspektif pihak yang mempertimbangkan.
2.

3.


Kinerja proses merupakan hasil konkrit dan dapat diukur dan bekerjanya mekanisme,
kerja organisasi, dipengaruhi oleh kinerja individu dan membutuhkan standar kinerja
sebagai alat ukur sehingga ukuran kinerja lebih bersifat kualitatif dan tidak selalu
mencerminkan potensi organisasi.
Kinerja individu merupakan hasil konkrit dan dapat diukur dari kerja individu
(produktivitas individu), dipengaruhi oleh berbagai faktor dan diri individu yang
membutuhkan standar kerja sebagai alat ukur sehingga ukuran kinerja bersifat
kualitatif dan tidak selalu mencerminkan potensi individu.

Hal ini berkaitan dengan manajemen kinerja yang merupakan ilmu yang memadukan
seni didalamnya menerapkan suatu konsep manajemen yang memiliki tingkat fleksibelitas
yang representatif dan aspiratif guna mewujudkan visi dan misi organisasi dengan cara
mempergunakan orang yang ada di organisasi tersebut secara maksimal (Fahmi, 2010).
Prinsip dasar manajemen kinerja dapat dijadikan acuan bersama agar dapat mencapai hasil
yang diharapkan dengan menjadi pondasi yang kuat bagi kinerja organisasi untuk mencapai
tujuan (Wibowo, 2010).
Berdasarkan hal tersebut, kinerja organisasi berkaitan erat antara perencanaan yang
mengacu visi, misi, dan rencana kerja organisasi dengan kemampuan sumber daya manusia
yang ada dalam organisasi tersebut. Tidak terkecuali dalam hal ini perpustakaan sebagai
bagian dari organisasi induk. Perpustakaan harus mampu menurunkan visi misi dan rencana
kerja lembaga induk sesuai dengan keberadaan perpustakaan sebagai unit yang mengelola
informasi dan pengetahuan untuk kepentingan lembaga induk. Dengan demikian,
perpustakaan harus memiliki sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dalam
mengelola informasi dan pengetahuan.
Pengelola Perpustakaan Khusus
Dalam banyak kasus, perkembangan perpustakaan sangat bergantung pada dua hal, yaitu:
1.
2.

Kesadaran pimpinan lembaga induk terhadap pentingnya perpustakaan. Kesadaran ini
dapat terlihat dari kebijakan organisasi dan anggaran,
Kemampuan pimpinan perpustakaan, dalam hal ini kepala perpustakaan dalam
mengelola perpustakaan. Kemampuan ini tidak hanya sekedar kemampuan kompetensi
berkaitan dengan pengetahuannya tentang kepustakawanan, namun juga kemampuan
manajerial dan kepemimpinan.

Apabila kedua hal ini baik, maka staf perpustakaan, baik itu pustakawan dan tenaga
perpustakaan akan bekerja dengan baik. Namun, apabila kedua hal tersebut lemah, maka
sekeren dan sehebat apapun pustakawan dan tenaga perpustakaan yang mengelola
perpustakaan tersebut, maka layanan perpustakaan tidak berkembang optimal. Hal ini
didukung oleh beberapa penelitian pada bidang lainnya (Muslim, 2017) yang
6

memperlihatkan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
siklus hidup organisasi, kompetensi, dan organisasi pembelajar. Kompetensi dipengaruhi
secara positif dan signifikan oleh siklus hidup organisasi dan organisasi pembelajar.
Keberadaan perpustakaan berdasarkan kepentingan pimpinan organisasi, khususnya di
perusahaan sangat berpengaruh dengan pemahaman pimpinan apakah mereka
memandang pentingnya pengelolaan informasi dan pengetahuan atau tidak. Biasanya
tergambarkan atas keberadaan adanya Unit Riset dan Development untuk di perusahaan
(pada lembaga pemerintahan dikenal dengan nama Penelitian dan Pengembangan atau
Litbang) atau tidak. Hal ini disebabkan tidak banyak perusahaan yang memandang penting
keberadaan Riset dan Development dalam penciptaan dan pengembangan inovasi. Hal ini
terlihat dalam beberapa penelitian yang menganggap keberadaan Riset dan Development
tidak berdampak dalam pengembangan inovasi di perusahaan tersebut (Prihandayani dan
Laksani, 2015). Walaupun dalam beberapa penelitian di Indonesia, menurut Prihandayani
dan Laksani, R & D ternyata banyak bermanfaat dalam pengembangan inovasi produk di
perusahaan tersebut. Apabila mengacu pada pemerintah, ternyata pemerintah dalam kerjakerjanya juga aktif melibatkan Perguruan Tinggi dan NGO dalam pengembangan program
yang telah pemerintah susun.
Apabila perpustakaan telah mendapatkan dukungan pimpinan dan memiliki kepala
perpustakaan yang memiliki pengetahuan tentang ilmu perpustakaan dan kemampuan
manajerial yang baik, maka pustakawan yang mumpuni menjadi sumber daya utama yang
pe ti g. Terlebih lagi de ga jargo Library is librarian Perpustakaa adalah Pustakawa
mencerminkan keberhasilan layanan perpustakaan yang baik tercermin dari pustakawan
yang baik. Dalam banyak kasus, khususnya lembaga-lembaga yang tidak besar, seperti
lembaga swadaya masyarakat, firma hukum, tempat ibadah, dan lainnya, umumnya
perpustakaan cukup dikelola oleh satu orang pustakawan yang handal. Biasanya disebut one
person library.
Secara umum, pustakawan baik itu menurut Siess (2006) memerlukan perilaku yang
komunikatif dalam melaksanakan pekerjaannya, seperti fleksibel dan kreatif, inisiatif, mau
mencoba hal yang baru dan tidak takut untuk mengambil resiko, percaya diri pada
kemampuan sendiri, mau membagi informasi kepada pemakai dan kolega, sabar, mampu
beradaptasi dalam bekerja dan mampu berkomunikasi dengan baik secara lisan maupun
melalui tulisan. Dalam berpikir seorang pustakawan harus mampu berpikir analitis dan
memiliki wawasan yang luas. Selain itu, seorang pustakawan harus mampu mengatur
waktunya dengan baik.
Setidaknya menurut Plieninger (2012) ada tiga tantangan pustakawan dalam mengelola
perpustakaannya. Pertama, kemampuan manajemen pribadi, yaitu kemampuan berpindahpindah pekerjaan secara cepat tanpa mengalami stres yang berlebihan. Kedua, mengikuti
perkembangan teknologi informasi yang sekiranya banyak membantu dalam pengelolaan
7

perpustakaan. Termasuk dalam hal ini mengikuti perkembangan teknologi yang sekiranya
murah dan mudah untuk diterapkan di perpustakaannya. Ketiga, pustakawan tersebut
memiliki visi yang sama dengan manajemen lembaganya bekerja dan dapat berkomunikasi
secara optimal dengan pengguna perpustakaan tersebut.
Dari kedua pandangan tersebut, sebenarnya kemampuan pustakawan selaras dengan
kompetensi yang harus dimiliki seorang pengelola pengetahuan dalam suatu lembaga.
Kompetensi utama dalam mengelola budaya pengetahuan, di antaranya kemampuan untuk
belajar dengan segala keingintahuan dan mencari pengetahuan baru yang besar. Pengelola
pengetahuan harus memiliki kemampuan inisiasi diri, mampu berkolaborasi sehingga
memberikan dampak positif bagi orang lain, penghubung intelektual, memiliki sifat rendah
hati, dan kemampuan untuk berpikir dan melakukan sesuatu yang fokus pada hasil.
Dengan demikian, sebenarnya pustakawan tidaklah terlalu sulit untuk menjalankan
pengelolaan pengetahuan di lembaga dia bekerja. Pengelolaan pengetahuan atau yang lebih
sering dipahami dalam bahasa Inggris, knowledge management, merupakan suatu
pendekatan inovatif untuk mengarahkan energi dan aktifitas suatu organisasi melalui
peningkatan generasi, aliran, dan penggunaan pengetahuan internal dalam lembaga
tersebut (Wallace, 2007). Pengetahuan yang dimiliki oleh staf yang ada di suatu lembaga
merupakan aset yang berharga. Kemudian aset yang berharga ini dapat ditangkap, diolah,
dikomunikasikan dan digunakan dalam pekerjaan lembaga tersebut. Lebih lanjut mereka
berpendapat bahwa yang utama dari adanya manajemen pengetahuan adalah dapat
menghasilkan suatu kreasi yang bernilai. Tujuan manajemen pengetahuan adalah
meningkatkan daya kompetisi, tanggap terhadap perubahan, dapat membuat kebijakan
sendiri, memanfaatkan aset tidak berwujud, menurunkan resiko, menurunkan biaya, dan
menurunkan duplikasi usaha.
Pustakawan idealnya dilatih untuk selalu berpikir kreatif dan inovatif agar ahli dalam
memahami sumber-sumber data dan informasi baik yang ada di internal maupun eksternal.
Seorang pustakawan harus tahu tentang teknologi informasi, subyek-subyek pengetahuan
tempatnya bekerja, manajemen informasi, literasi informasi dan kemas ulang informasi.
Kaitannya dengan manajemen kegiatan dalam lembaga dia bekerja seorang pustakawan
harus pula bisa saling bekerjasama dengan staf yang ada di lembaganya, kemampuan
komunikasi dan keterampilan interpersonal dan mampu melakukan perubahan manajemen.
Hal ini menurut Seiss (2006) selaras antara sebagai pengelola perpustakaan dan pengelola
pengetahuan.
Agar seorang pustakawan mampu pula mengelola pengetahuan di lembaganya bekerja,
seorang pustakawan juga perlu memiliki kompetensi berkaitan dengan teknologi informasi.
Seorang pustakawan harus mampu memanfaatkan teknologi informasi dalam mengelola
perpustakaan dan pengetahuan di lembaganya bekerja. Berkembangnya library 2.0 atau
yang sebenarnya lebih tepat disebut participatory web menurut Plieninger (2012)

8

memungkinkan interaksi secara langsung dengan pengguna melalui internet, memudahkan
layanan perpustakaan, khususnya bagi pengguna perpustakaan.

Berkaitan dengan kemampuan dalam hal teknologi informasi, Guy St Clair dan Joan
Williamson (1992) menggambarkan kemampuan apa saja yang perlu dimiliki seorang
pengelola perpustakaan. Pustakawan idealnya dalam pemanfaatan teknologi informasi
setidaknya memiliki kemampuan pemrosesan kata, online eksternal datatabase, internal
online database, telekomunikasi, spreadsheet, pesan dan surat elektronik, scanner optik,
disk optik digital, komunikasi faksimili, manajemen pangkalan data, administrasi pangkalan
data, pelatihan berbasis komputer, CD-ROM, sistem katalogisasi berbagi, desktop
penerbitan, kerjasama peminjaman otomatis, routing serial, sistem akuisisi otomatis, sistem
sirkulasi otomatis, ketersediaan dokumen terkini, sistem abstrak dan pengindeksan, dan
konstruksi tesaurus otomatis. Keseluruhan kemampuan ini disesuaikan dengan layanan yang
dimungkinkan dan dibutuhkan pada lembaga yang menaungi perpustakaan tersebut.
Tuntutan ini seiring pula bagi pengelola pengetahuan di lembaganya bekerja. Teknologi
informasi pada bidang ini bermanfaat untuk memudahkan dalam berkomunikasi dan
menangkap pengetahuan yang ada pada orang-orang yang ada pada lembaga dia bekerja.
Salah satu komponen utama kompetensi seorang pengelola pengetahuan adalah
kemampuan memanfaatkan teknologi informasi untuk kepentingan usaha lembaga
tersebut. Adapun keahlian yang diperlukan di antaranya IT application dan IT literacy. IT
literacy terdiri dari desain pangkalan data, manajemen pangkalan data, repositori, distribusi
penerbitan, pemahaman bisnis menggunakan fasilitas internet, perangkat keras, arsitektur
informasi, sumber internal dan eksternal, integrasi, desain intranet/ekstranet,
pemrograman, aplikasi perangkat lunak, dan alur kerja.

Pengembangan Program Layanan Perpustakaan Berbasis Rencana Lembaga Induk
Perpustakaan dapat dikategorikan sebagai organisasi tumbuh. Hal ini terlihat dari makin
lama perpustakaan hidup maka umumnya koleksi yang dimiliki makin besar. Apabila koleksi
tercetak perpustakaan membesar, maka umumnya perpustakaan melakukan alih media
apabila ternyata koleksi yang dimiliki tetap dibutuhkan. Walaupun dalam konsep
perpustakaan dikenal penyiangan, namun dalam praktiknya tidak bisa pukul rata untuk
setiap subyek pengetahuan. Untuk bidang-bidang seperti ilmu pengetahuan alam,
komputer, atau yang dikenal dengan ilmu eksakta, relatif memungkinkan penyiangan secara
ketat. Namun, untuk ilmu-ilmu sosial dan humaniora relatif sulit pustakawan memutuskan
apakah suatu koleksi dikeluarkan dari koleksi atau tidak. Salah satu caranya yaitu dengan
melakukan alih media.
Alih media menjadi solusi karena dunia penerbitan di Indonesia juga tidak ramah terhadap
perpustakaan. Sampai saat ini penerbitan komersial di Indonesia dalam pengembangan
9

penerbitannya, membuat aplikasi sendiri-sendiri yang langsung menyasar kepada end user.
Mereka tidak menganggap penting keberadaan perpustakaan karena dianggap merugikan
kepentingan mereka. Hal ini tercermin dari UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem
Perbukuan yang sama sekali menafikan keberadaan perpustakaan sebagai stake holder
perbukuan.
Saya pribadi menganggap alih media koleksi perpustakaan, khususnya buku-buku yang
sudah lama dan tidak ada lagi dipasaran bagian dari preservasi pengetahuan agar tetap
dapat dimanfaatkan pemustaka. Dengan demikian, apabila ada penerbit yang menggugat
hal ini, maka dikembalikan lagi kepada penerbit tersebut yang tidak mengakomodasi
perpustakaan sebagai stake holder mereka. Untuk itu, memang perlu ada regulasi yang jelas
berkaitan dengan hal ini.
Kembali lagi berkaitan dengan pengembangan layanan perpustakaan, terobosan-terobosan
dan inovasi perpustakaan khusus dalam menjalankan perannya sebagai pengelola informasi
dan pengetahuan lembaga induk sudah mulai sangat variatif. Diskusi, seminar, seminar hasil
penelitian, bedah buku, nonton film bersama, bahkan sampai konferensi pers dan debat
publik mulai banyak dilakukan di perpustakaan. Kondisi ini seiring dengan pemahaman
perpustakaan sebagai organisasi netral dan demokratis dalam pengembangan pengetahuan.
Perpustakaan khusus saat ini sudah ditata nyaman bagi pemustaka untuk belajar, berdiskusi,
dan menjadi tempat bertemu yang menyenangkan. Perpustakaan khusus bahkan
menyediakan semacam cafe agar penggunanya tidak perlu keluar perpustakaan untuk
sekedar ngopi atau minuman yang lain.
Hal ini selaras dengan peran perpustakaan dalam pengembangan manajemen pengetahuan
di lembaga induk. Perpustakaan dapat memfasilitasi diskusi-diskusi atau forum knowledge
sharing di antara para staf yang berada di lingkungan perpustakaan berada. Knowledge
sharing juga bisa menghadirkan para senior maupun pakar terkait dengan kerja maupun
program-program yang sedang dikembangkan lembaga induk. Program forum knowledge
sharing dapat dikemas secara lebih informal sehingga gagasan, ide, dan pengalaman para
narasumber dapat tersampaikan secara optimal, dan peserta yang hadir juga dapat
menyerap pengetahuan yang disampaikan dengan baik. Hal ini selaras dengan penelitian
Elianto, Whisnu dan Wulansari, Nury Ariani.(2016).
Namun, yang belum banyak disentuh adalah pendokumentasian dan diseminasi informasi
yang terintegrasi atas suatu subyek. Isu pendokumentasian berbagai karya yang dihasilkan
oleh lembaga induk saat ini masih pada sebatas pengembangan repositori institusi. Belum
banyak masuk kepada pemaknaan secara utuh terhadap karya-karya yang dihasilkan oleh
orang-orang yang berada dalam lembaga induk tersebut. Padahal dalam banyak peraturan
perundang-undangan, pendokumentasian termasuk hal penting.
Perpustakaan berperan dalam mendokumentasikan berbagai pengetahuan yang
berkembang di lembaga induk. Melalui peran ini tidak saja hanya sebatas menerima hasil
10

penelitian, namun juga mendiskusikan dalam bentuk bedah buku atau seminar hasil kajian
yang dilakukan lembaga induk dan mendokumentasikan kegiatan tersebut. Selanjutnya dari
kegiatan tersebut, perpustakaan dapat mengemas ulang, membuat tambahan literatur yang
dimiliki atau dapat diakses perpustakaan dan menyebarluaskan dokumentasi tersebut.
Dengan demikian, perpustakaan membantu staf lainnya apabila ingin melanjutkan dan
mengembangkan program atau penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Masyarakat
juga dapat mengetahui perkembangan yang terjadi melalui kegiatan yang telah
didokumentasikan. Hasil dokumentasi dapat disebarluaskan melalui sarana yang ada, baik
melalui media sosial bahkan media mainstream.
Berkaitan dengan diseminasi informasi, keterlibatan perpustakaan dalam diseminasi
informasi melalui media sosial perlu diintensifkan. Apalagi saat ini, komunikasi dan
penyebaran informasi secaa masif melalui media sosial sudah terjadi. Peran ini seiring
dengan penelitian Assegaf (2017) yang memerlihatkan media sosial dapat menjadi sarana
komunikasi ilmiah untuk berbagi pengetahuan, dalam hal ini Facebook. Dengan
perpustakaan aktif diseminasi informasi melalui media sosial, hal ini juga bagian dari ikut
serta memerangi hoax dan memberikan informasi yang benar kepada masyarakat sesuai
dengan ranah subyek yang menjadi ruang lingkup lembaga induk perpustakaan tersebut.
Perpustakaan secara aktif menginformasikan melalui media sosial berbagai pemikiran dan
hasil-hasil kajian melalui media sosial. Pertanyaan masyarakat atau pernyataan-pernyataan
yang bersifat memanipulasi suatu informasi dapat diluruskan perpustakaan dengan
menampilkan hasil-hasil kajian tersebut. Selain itu, perpustakaan aktif menampilkan hal-hal
baik yang berkaitan dengan subyek pengetahuan lembaga induk. Dengan demikian,
masyarakat akan menyadari bahwa banyak literatur yang menarik untuk dipelajari daripada
menerima informasi yang belum tentu benar. Misalkan, Kementerian Agama, karena
kesimpang siuran mengenai perizinan umroh, maka perpustakaan kementerian agama
melalui media sosial dapat menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan perizinan
umroh berdasarkan literatur yang tersedia di perpustakaan.
Mungkin akan timbul pertanyaan, apakah itu ranah lingkungan Humas lembaga induk?
Perpustakaan sebagai bagian dari lembaga induk sesuai dengan perannya, maka yang
ditampilkan berkaitan dengan literatur dan terbitan yang memang dapat diakses melalui
perpustakaan. Hal ini untuk mengurangi tumpang tindih dengan bagian yang lain, khususnya
kehumasan. Apabila tidak diperbolehkan dengan membawa nama institusi, maka
perpustakaan dapat membuat akun tersendiri, misalkan langsung di bawah nama kepala
perpustakaannya. Hal lain, pengelola perpustakaan juga aktif menginformasikan dan
mengajak rekan-rekan kerjanya untuk membagikan informasi tersebut. Bukan dalam misi
e gejar like tapi agar informasi tersebut tersampaikan ke publik.
Lanjutan dari pengembangan diseminasi informasi yaitu ikut serta mengembangkan literasi
digital ke masyarakat. Literasi digital menurut Kementerian Komunikasi dan Informasi (2018)
11

merupakan kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk
menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat dan mengkomunikasikan konten
atau informasi, dengan kecakapan kognitif, etika, sosial emosional dan aspek teknis atau
teknologi. Perpustakaan dapat membuat kemas ulang informasi, baik dalam bentuk
infografis, penerbitan e-katalog, ataupun sinopsis berkaitan dengan isu-isu yang hangat
dibicarakan masyarakat dengan menginformasikan literatur-literatur yang berkaitan dengan
program-program lembaga induk.
Kerja sama Perpustakaan
Hal lain yang tidak kalah pentingnya namun seringkali tidak berjalan dengan baik adalah
kerja sama perpustakaan. Perlu disadari bahwa pada dasarnya tidak ada satupun
perpustakaan yang mampu memenuhi seluruh permintaan informasi yang diperlukan oleh
pemustakanya. Untuk itu, salah satu caranya adalah melakukan kerja sama perpustakaan.
Saat ini, perpustakaan tidak lagi dilihat berapa besar koleksi yang dimilikinya, namun
terpenting adalah seberapa besar akses yang dapat dilakukan oleh perpustakaan.
Untuk itu, perpustakaan khusus melalui forum-forum yang ada perlu secara serius
menjadikan kerja sama perpustakaan sebagai isu penting bagi perpustakaan. Untuk hal ini,
sebenarnya sudah ada beberapa forum yang secara aktif mengembangkan kerja sama
perpustakaan. Bahkan, kalau dimungkinkan Forum Perpustakaan Khusus Indonesia (FPKI)
bisa melihat FPPTI dalam mengembangkan konsorsium perpustakaan dalam melanggan eresources maupun APIHI (Asosiasi Pekerja Informasi Hukum Indonesia) untuk saling berbagi
informasi dalam memenuhi kebutuhan informasi pemustakanya.
PENUTUP
Dalam banyak hal, sebenarnya pekerjaan di perpustakaan khusus sangatlah banyak. Selain
aktif dalam memberikan layanan perpustakaan kepada pemustaka dalam bentuk
penyediaan informasi, pustakawan perpustakaan khusus sudah perlu secara serius dan
bahkan kalau perlu dipaksa untuk menghasilkan produk-produk inovasi baru sesuai dengan
ruang lingkup subyek pengetahuan lembaga induknya. Penerbitan berbagai karya tersier,
seperti bibliografi, pathfinder, dan lainnya maupun berbagai produk kemas ulang informasi
dapat menjadi cara memerlihatkan eksistensi perpustakaan di lembaga induk.
Pengelola perpustakaan dalam hal ini pustakawan perlu aktif menulis baik itu tulisan
populer maupun karya ilmiah berkaitan dengan kerja-kerja perpustakaan. Hal ini menjadi
kritik tersendiri bagi pustakawan, khususnya ketika berbicara literasi informasi. Alangkah
anehnya pustakawan mengajak masyarakat untuk membaca dan memanfaatkan informasi
serta pengetahuan yang ada di masyarakat, padahal pustakawan tersebut jarang membaca
dan menulis serta berkarya.
Untuk itu, saya pribadi menyarankan kepada Forum Perpustakaan Khusus Indonesia (FPKI)
untuk menyelenggarakan semacam Lomba atau Festival Inovasi Perpustakaan secara reguler
12

yang menampilkan berbagai inovasi-inovasi dan produk-produk yang dihasilkan
perpustakaan khusus di Indonesia. Dalam Festival tersebut FPKI juga dapat memberikan
penghargaan kepada pustakawan-pustakawan Perpustakaan Khusus yang telah
mengembangkan inovasi dalam pengembangan kepustakawanan di Indonesia, misalkan
Pustakawan Inovatif. Terlebih setahu saya Perpustakaan Nasional menganggarkan dukungan
program untuk FPKI yang tentu saja berkolaborasi dengan berbagai institusi lainnya yang
menaungi perpustakaan khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Assegaff, Setiawan.(2017). Evaluasi Pemanfaatan Media Sosial Sebagai Sarana Knowledge
“hari g, Jurnal Manajemen Teknologi , “BM-ITB, Vol.16,No.3, p.271-293.
Badan Standardisasi Nasional. (2009). SNI 7496: 2009 Perpustakaan Khusus Instansi
Pemerintah.
Clair, Guy St dan Williamson, Joan. 1992. Managing the New One-Person Library. Second
edition. London: Bowker-Saur.
Elianto, Whisnu dan Wulansari, Nury Ariani.(2016). Builiding Knowledge Sharing Intention
With I terperso al Trust as a Mediati g Variable, Jurnal Manajemen Teknologi , “BMITB, Vol.15 No.1, p.67-76.
Fahmi. (2010). Manajemen Sumber Daya Manusia Teori dan Aplikasi. Alfabeta. Bandung.
Muslim, Muhammad Irfai, Sukmawati, Anggraini, and Syafitri, Utami Dyah.(2017).
Implementasi Organisasi Pembelajar bagi Keberlanjutan UKM Klaster Kerajinan Batik di
Cirebo , Jurnal Manajemen Teknologi , SBM-ITB, Vol. 16, No.3, p.294-309.
Perpustakaan Nasional.(2017). Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Perpustakaan Khusus.
Plieinger, Jurgen.(2012). A Singular Approach: One-Person Libraries, dalam expert
discussion website http://www.goethe.de/wis/bib/fdk/en9359548.htm .
Prihandayani, Dian dan Laksani, Chici Shintia.(2015). R & D dan Inovasi di Perusahaan Sektor
Ma ufaktur I do esia, Jurnal Manajemen Teknologi , “BM ITB, Vol. 4, No. p.
-198
Siess, Judith A.(2006). The New OPL Sourcebook: A Guide for Solo and Small Libraries.
Medford: Information Today, Inc.
Sudarmanto.(2009). Kinerja dan Pengembangan Kompetensi SDM. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan
Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan
Wallace, Danny P.(2007). Knowledge Management: Historical and Cross-Disciplinary
Themes. London: Libraries Unlimited.
Wibowo. (2010). Manajemen Kinerja. Rajawali Pers. Jakarta

13