POLITIK HUKUM SISTEM PEMILU DI INDONESIA

POLITIK HUKUM SISTEM PEMILU DI INDONESIA
NAMA : ARYANINDITA BAGASATWIKA M
NIM : 11000117410042

I.

PENDAHULUAN

Di setiap negara akan terdapat sistem pemerintahan di dalamnya, dimana sistem
pemerintahan tersebut bertujuan untuk menjalankan suatu fungsi pemerintahan dan tujuan
negara tersebut. Tentunya di setiap negara menganut sistem pemerintahan yang berbeda –
beda. Jimly Asshiddiqie dan Sri Soemantri mengemukakan tiga variasi sistem
pemerintahan, yaitu : sistem pemerintahan presidensial (presidential system), sistem
parlementer (parliamnetary system), dan sistem pemerintahan campuran (mixed system
atau hybrid system.1 Dalam beberapa sistem pemerintahan tersebut dipimpin oleh kepala
negara dan kepala pemerintahan sebagai pemegang kebijakan dalam menjalankan roda
pemerintahan dan negara. Kepala Negara dan kepala pemerintahan mempunyai peranan
penting dalam mempertahankan stabilitas negara dan tentunya menentukan kesejahteraan
rakyatnya. Maka dari itu sistem pemilihan atau penunjukkan kepala negara atau
pemerintahan pada suatu negara harus dapat mengakomodir aspirasi dari semua golongan
masyarakat dalam negara tersebut. Sehingga terpilihnya kepala negara dan kepala

pemerintahan dapat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dalam negara
tersebut.
Indonesia pada masa kemerdekaan di tahun 1945, pertama kali menganut UUD
1945 sebagai dasar sistem pemerintahan negara, yang mana kepala negara dan kepala
pemerintahan dijabat oleh seorang Presiden. Pada saat itu Ir. Soekarno menjadi Presiden
pertama Indonesia karena adanya usulan dari Otto Iskandardinata untuk menyetujui
Soekarno sebagai Presiden secara aklamasi. UUD 1945 yang disahkan sehari setelah
Indonesia merdeka itu bukan sebagai undang-undang dasar yang sifatnya permanen.
Sebagai mantan Ketua PPKI tentu Soekarno mengetahui dan menyebut UUD 1945 itu
adalah undang-undang dasar sementara, yang dibuat secara kilat. Untuk itu ia mengatakan
bila keadaannya sudah memungkinkan, maka akan dibentuk Majelis Permusyawaratan
Rakyat, yang bertugas menyusun undang-undang dasar yang lebih lengkap dan sempurna.
Dengan berjalannya waktu sistem pemerintahan dan sistem pemilu Indonesia terus
dibenahi dan disempurnakan oleh para pemegang kekuasaan politik. Dalam terlahirnya
produk – produk hukum yang mengatur tentang sistem pemilu di Indonesia tentunya tidak
terlepas dari banyaknya pro dan kontra dari semua elemen baik dari partai politik,
pemangku kepentingan, dan masyarakat. Karena penyusunan dan pengesahan produk
hukum sistem pemilu di Indonesia itu sendiri melibatkan pemerintahan dan fraksi – fraksi
dari seluruh partai politik yang ada di DPR RI.
Baru – baru ini pemerintah mengesahkan Undang Undang Nomor 7 tahun 2017

tentang pemilihan umum. Pada perjalanannya, pengesahan Undang – Undang ini terbilang
sangat sengit, di dalam rapat paripurna di DPR RI terdapat beberapa fraksi yang masih
tidak menyetujui sebagian isi dari Undang – Undang ini dan memilih untuk walk out, salah
satu partai juga ada yang menyatakan akan melakukan uji materil Undang – undang ini ke
Mahkamah Konstitusi. Fenomena ini tentunya memperlihatkan dengan nyata bahwa
1 Saldi Isra, op.cit., hlm. 24

1

pembentukan produk hukum sistem pemilu di Indonesia masih belum dapat
mengakomodir aspirasi dari semua pihak atau belum tercapainya kesepakatan bersama dari
semua pihak. Oleh karena itu penulis akan membahas dalam makalah ini tentang Politik
Hukum dalam Sistem Pemilu di Indonesia yang mencakup tentang apa itu Politik Hukum,
Pemilu, dan bagaimana Sistem Pemilu di Indonesia.
II.

PEMBAHASAN

Dalam bab pembahasan penulis pertama – tama akan menjelaskan tentang apa itu
Politik Hukum dari berbagai para ahli – ahli baik ahli ilmu hukum maupun politik.

Kemudian penulis akan menjelaskan tentang bagaimana sistem pemilu yang dianut di
Indonesia dari awal pasca kemerdekaan sampai dengan sekarang.


Politik Hukum

Politik Hukum menurut Mahfud MD, merupakan legal policy atau garis
(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum
baru maupun dengan penggantian hukum lama dalam kerangka mencapai tujuan negara 2.
Politik hukum, menurut Padmo Wahyono, merupakan kebijakan dasar yang menentukan
arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.3 Politik Hukum berkaitan
dengan hukum yang diharapkan (ius constituendum), politik hukum yang sesungguhnya
memiliki tujuan mulia yang ingin dicapai masyarakat, bangsa, dan negara untuk
mewujudkan cita – cita bersama. Kebijakan hukum yang dikeluarkan tidak boleh
ditunggangi oleh kepentingan pihak tertentu untuk mengabdi pada kepentingannya sendiri.
Bernard L Tanya kemudian menegaskan, dalam perspektif politik hukum, hukum tidak
boleh dimanfaatkan untk sembarang tujuan di luar tujuan ideal bersama.4
Menurut Soedarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badanbadan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki,
yang diperkirakan akan digunakan untuk nengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.5 Pada buku lain yang berjudul

Hukum dan Hukum Pidana dijelaskan, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan
peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu. 6
Sunaryati Hartono dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional
melihat politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat
digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki
dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia. 7
Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang
hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat 8.
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, politik hukum adalah kebijakan hukum (legal
policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan oleh suatu pemerintahan negara
tertentu.9 Namun dengan meyakini adanya persamaan substantif antarberbagai pengertian
2 Mahfud MD, Op.Cit. Hlm. 1
3 Padmo Wahyono, 1986.Indonesia negara Berdasarkan Atas Hukum. Cetakan II. Ghalia Indoesia. Jakarta.
4 Bernard L Tanya, 2011. Politik Hkum : Agenda Kepentingan Bersama. GENTA Publishing: Yogyakarta.
Hlm.11.
5Soedarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana, Sinar Baru,
Bandung, hlm: 20.
6 Soedarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm:151.
7 Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, hlm: 1
8 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm:35

9 Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm: 15

2

yang ada, politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara
nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi : pertama, pembangunan hukum yang
berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi – materi hukum agar dapat sesuai
dengan kebuthuan, kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegakkan hukum. 10 Dalam hubungan
antara politik dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem
politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum. Sehingga jika harus
berhadapan dengan politik, maka hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah.11 Dari
pengertian para ahli, tentunya terdapat penjelasan yang berbeda – beda tentang politik
Hukum itu sendiri, dapat dijelasakan bahwa Politik Hukum itu mengenai pembuatan suatu
Hukum atau perundang – undangan oleh pemegang kekuasaan politik yang didasari pada
cita – cita negara.
Pemilu




Pemilihan Umum adalah memilih seorang penguasa, pejabat atau lainnya dengan
jalan menuliskan nama yang dipilih dalam secarik kertas atau dengan memberikan
suaranya dalam pemilihan.12 Sedangkan, menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Menurut Karim pemilu merupakan sarana
demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari
bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar–benar
memancar ke bawah sebagai suatu kewibawaan yang sesuai dengan keinginan rakyat dan
untuk rakyat.13 Dan menurut Rahman, pemilu merupakan cara dan sarana yang tersedia
bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk dalam Badan Perwakilan
Rakyat guna menjalankan kedaulatan rakyat, maka dengan sendirinya terdapat berbagai
sistem pemilihan umum.14 Sehingga kegiatan pemilihan umum itu sendiri merupakan suatu
sarana penyaluran hak asasi warga negara untuk memilih seorang penguasa atau pemimpin
negara. Pelaksanaan pemilihan umum ini tentunya menjadi tahapan penting yang harus
dilewati dalam penentuan pemimpin negara. Negara dalam hal ini pemerintah harus bisa
menjamin terlaksananya penyelenggaraan pemilihan umum dapat berjalan sesuai dengan
aturan atau prosedur yang berlaku sesuai Undang – Undang.



Sistem Pemilu di Indonesia

Sistem pemilu merupakan sarana paling awal untuk menentukan sistem perwakilan
yang dikehendaki.15 Sistem pemilu dikenal sebagai salah satu mekanisme kelembagaan
terpenting dalam menentukan watak persaingan politik, dan sebagai salah satu alat yang
akan digunakan dalam mengurangi konflik di tengah masyarakat. 16 Pada dasarnya sistem
10 Abdul hakum garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, makalah pada Kerja Latihan bantuan
Hukum, LBH, Surabaya, September 1985.
11 Satjipto Rahardjo, Beberapa ..., op.cit. hlm. 71.
12 Abu Nashr Muhammad Al-Iman, Membongkar Dosa-dosa Pemilu, Prisma Media, Jakarta, 2004, hlm: 29.
13 Karim, M. Rusli. 1991. Pemilu Demokratis Kompetitif. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
14 Rahman, A. 2007.Sistem Politik Indonesia.Yogyakarta : Graha Ilmu
15 Robert Scigliano, 1995, “Representation”, dalam Seymour Martin Lipset (ed.), The Encyclopedia of
Democracy, Volume III, (Washington D.C.: Congressional Quarterly Inc.), hlm. 1054-1055
16 Ben Reilly, 1999, “Reformasi Pemilu di Indonesia: Sejumlah Pilihan”, dalam Julia I. Suryakusuma,
1999, Almanak Parpol Indonesia Pemilu 1999, (Jakarta: Almanak Parpol Indonesia), hlm. 17-32.

3


pemilu dirancang untuk melaksanakan tiga tugas pokok.17 Pertama, menerjemahkan
jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di parlemen. Kedua, sistem
pemilu bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih
tanggung jawab atau janji wakil-wakil rakyat yang telah terpilih. Ketiga, sistem pemilu
mendorong pihak-pihak yang bersaing pengaruh supaya melakukannya dengan cara yang
tidak sama. Seperti halnya yang kita lakukan pada saat kegiatan pemilihan presiden dan
wakil presiden serta anggota DPR RI di tempat pemungutan suara, kegiatan tersebut
merupakan bagian dari Sistem Pemilihan Umum yang metodenya mengatur serta
memungkinkan warga negara memilih / mencoblos para wakil rakyat diantara mereka
sendiri. Mereka sendiri maksudnya adalah yang memilih ataupun yang hendak dipilih.
Sistem Pemilu di Indonesia merupakan mekanisme penentuan pendapat rakyat melalui
sistem yang bersifat langsung. Pemilu bertujuan memilih orang atau partai politik untuk
menduduki suatu jabatan di lembaga perwakilan rakyat atau lembaga eksekutif, seperti
presiden dan wakil presiden, anggota DPR dan MPR, anggota DPD dan MPR, anggota
DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten, dan anggota DPD Kota.
Sistem Pemilihan Presiden di Republik Indonesia telah mengalami perubahan –
perubahan dari masa ke masa. Sistem pemilihan pun selalu mengalami pembaharuan
seiring negara Indonesia menjadi Negara demokrasi. Presiden Ir. Soekarno merupakan
Presiden pertama Indonesia yang terpilih melalui mekanisme musyawarah Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, tepat satu hari setelah
beliau menyampaikan Proklamasi Kemerdekaan. Kemudian dilanjutkan pada masa
Presiden Soeharto yang sistem pemilihannya dengan penunjukkan oleh MPR dalam
Sidang Istimewa MPR. Pada masa – masa berikutnya, pemilihan Presiden dilakukan dalam
forum Sidang Umum MPR. Pemilihan dilakukan dengan cara pemungutan suara, dan yang
mempunyai hak suara untuk memilih Presiden hanyalah anggota MPR. Sampai pada masa
Megawati menjadi Presiden, dilakukanlah segala persiapan untuk menciptakan pemilihan
Presiden secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia, tidak lagi melalui sidang umum
MPR. Usaha ini berbuah manis ketika tahun 2004 Indonesia berhasil melaksanakan
pemilihan Presiden pertama secara langsung dengan mekanisme voting oleh ratusan juta
jiwa rakyat Indonesia. Berikut akan lebih dijelasakan sistem pemilu yang dianut di
Indonesia dari masa ke masa mulai pada zaman pasca kemerdekaan.
1. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Sejak awal kemerdekaan gagasan untuk menyelenggarakan Pemilu selalu menjadi
program pemerintah. Pada tanggal 5 Oktober 1945 sudah dinyatakan untuk segera
diadakan Pemilu secara nasional18 dan ketika pada tangga 14 November 1945 pemerintah
mengeluarkan maklumat tentang susunan Kabinet Sjahrir II, dicantumkan juga pernyataan
bahwa tindakan – tindakan demokratis yang lain yang harus segera dilaksanakan adalah
mengadakan pemilihan umum. Namun rencana Pemilu selalu terhalang. Pada periode 1945
– 1949 rencana itu terhalang oleh peperangan melawan Belanda. Sampai pada tanggal 21

Oktober 1952 Kabinet Wilopo memutuskan secara resmi untuk mempercepat pemilihan
bagi anggota konstituante dan DPR, dan paada tanggal 4 April 1953 diresmikannya UU
No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat. UU No. 7 Tahun 1953 biasa disebut UU Pemilu mencakup electoral
laws dan pengaturan electoral process. Electoral laws adalah sistem pemilihan dan
17 Andrew Reynolds, 2001, “Merancang Sistem Pemilihan Umum”, dalam Ikrar Nusa Bhakti dan Riza
Sihbudi (eds.), Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-Negara Lain,
(Bandung: Mizan), hlm. 101-102.
18 Herbert Feith, The Indonesian Election of 1955. Interim Report Series, Modern indonesia Project,
Southest Asian program, Cornell University, Ithaca, New York, cet II, 1971, hlm.1.

4

perangkat peraturan yang menata bagaimana Pemilu dijalankan serta bagaimana distribusi
hasil Pemilu itu. Sedangkan Electoral Process adalah mekanisme yang dijalankan dalam
pemilu seperti pencalonan, kampanye, cara perhitungan, penentuan hasil, dan sebagainya.
Sistem yang diterapkan pada pemilu ini adalah sistem perwakilan berimbang (sistem
pemilu proporsional) dengan sistem daftar dan sisa suara terbanyak.19 Dari ketentuan Pasal
35 UUDS 1950 dan muatan lengkap) UU No. 7 Tahun 1953, dapat dikeluarkan asas –
asas : umum, periodik, jujur, berkesamaan (adil), bebas, rahasia, dan langsung.

Pada tahun 1955, pemilu dapat diselenggarakan oleh kabinet BH - Baharuddin
Harahap. Pada pemilu ini pemungutan suara dilaksanakan 2 kali yaitu yang pertama untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan September dan yang kedua untuk
memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Pelaksanaan pemilu pertama ini
berlangsung dengan demokratis dan khidmat, tidak ada pembatasan partai politik dan
tidak ada upaya dari pemerintah mengadakan intervensi atau campur tangan terhadap
partai politik dan kampanye berjalan menarik. Pemilu 1955 berlangsung secara sangat fair
dan dapat menghasilkan konstituante dan DPR yang lebih dari 75% anggotanya adalah
orang - orang baru. Moehammad Roem menulis , bahwa pemilu 1955 sudah dilaksanakan
dengan sangat baik, hak pilih, dan hak dipilih sebagai hak asasi diakui dan dilaksanakan
dengan sebebas – bebasnya, dan dengan rule of the game yang dihormati oleh semua
golongan dan dilindungi oleh penguasa secara adil.20 Pemilu ini diikuti 27 partai dan satu
perorangan. Akan tetapi stabilitas politik yang begitu diharapkan dari pemilu tidak
tercapai. Kabinet Ali (I dan II) yang terdiri atas koalisi tiga besar: NU, PNI dan Masyumi
terbukti tidak sejalan dalam menghadapi beberapa masalah terutama yang berkaitan
dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir.
2. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Setelah pencabutan Maklumat Pemerintah pada November 1945 tentang
keleluasaan untuk mendirikan partai politik. Selama kurun waktu 1959 – 1965 Presiden
Soekarno dengan sistem demokrasi terpimpin menjelma menjadi seorang pemimpin yang
otoriter. Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai politik menjadi 10 parpol. Pada
periode Demokrasi Terpimpin tidak diselanggarakan pemilihan umum.
3. Zaman Orde Baru (1965-1998)
Setelah turunnya era Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter, rakyat berharap bisa
merasakan sebuah sistem politik yang demokratis & stabil. Upaya yang ditempuh untuk
mencapai keinginan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang
membicarakan tentang sistem distrik yang terdengan baru di telinga bangsa Indonesia.
Pendapat yang dihasilkan dari forum diskusi ini menyatakan bahwa sistem distrik dapat
menekan jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan tujuan partai-partai
kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam upaya meraih kursi dalam
sebuah distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan menciptakan stabilitas
politik dan pemerintah akan lebih kuat dalam melaksanakan program-programnya,
terutama di bidang ekonomi.
Pada Zaman Orde Baru pemilu dilaksanakan berdasarkan sistem perwakilan
berimbang dan pemerintah dapat mengangkat sebanyak 100 orang dari 460 anggota DPR
yang akan dibentuk. UU No. 15 tahun 1969 dab No. 16 Tahun 1969 merupakan produk
hukum tentang pemilu yang disahkan pada masa Orde Baru. UU Pemilu pada Orde Baru
19 Rusminah, op. Cit., hlm. 76. Tepatnya dengan D’Hont System: Lihat Afan Gaffar, Sistem..., ,op. Cit.,
hlm. 219.
20 Moehammad Roem, Tinjauan Pemilihan Umum I dan II dari Sudut Hukum, Budaya Dokumenter,
Surabaya, 1971, hlm. 3.

5

dikualifikasi sebagai produk hukum yang berkarakter ortodoks/elitis/konservatif. 21 Pada
masa ini Presiden Soeharto melakukan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan
kepartaian. Tindakan pertama yang dijalankan adalah mengadakan fusi atau penggabungan
diantara partai politik, mengelompokkan partai-partai menjadi tiga golongan yakni
Golongan Karya (Golkar), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Spiritual (PPP).
Pemilu tahun 1977 diadakan dengan menyertakan tiga partai, dan hasilnya perolehan suara
terbanyak selalu diraih Golkar.
4.

Zaman Reformasi (1998- Sekarang)

Pada masa Reformasi 1998, terjadilah liberasasi di segala aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara. Politik Indonesia merasakan dampak serupa dengan
diberikannya ruang bagi masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka dengan
memiliki hak mendirikan partai politik. Banyak sekali parpol yang berdiri di era awal
reformasi. Di masa reformasi berbagai Undang – Undang bidang politik produk Orde Baru
langsung diubah dengan pembongkaran atau asumsi – asumsi serta penghilangan atas
kekerasan politik yang menjadi muatannya, berikut contohnya:


UU tentang partai politik dan Golongan Karya diganti dengan UU tentang
Kepartaian. Dalam UU ini rakyat diperbolehkan membentuk partai politik yang
eksistensinya di parlemen bisa dibatasi oleh rakyat melalui pemilu dengan
pemberitahuan electoral threshold dan/atau parliamentary threshold.



UU tentang pemilu dibongkar dengan menghapus porsi anggota DPR dan MPR yang
diangkat oleh Presiden. Ketentuan ini dimasukkan di dalam UUD 1945 hasil
amandemen yakni pasal 22E Ayat (5) yang berbunyi, , ”Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri.”



UU tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD dirombak sejalan
dengan perubahan UU tentang Pemilu. UU ini pada prinsipnya hanya berisi
pengurangan terahadapjumlah anggota DPR yang diangkat serta pengangkatan
anggota MPR secara terbukadan memasukkan Dewan Perwakilan Daerah sebagai
lembaga negara yang baru sejalan dengan maandemen atas UUD 1945 bahwa MPR
terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).



UU tentang Pemerintah Daerah juga diganti, dari yang semula berasas otonomi nyata
dan bertanggung jawab menjadi berasas otonomi luas.

Pada pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi dan berhak mengikuti pemilu
ada 48 partai. Jumlah ini tentu sangat jauh berbeda dengan era orba. Pada tahun 2004
peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 parpol saja. Ini disebabkan telah
diberlakukannya ambang batas (Electroral Threshold) sesuai UU no 3/1999 tentang
PEMILU yang mengatur bahwa partai politik yang berhak mengikuti pemilu selanjtnya
adalah parpol yang meraih sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi DPR. Partai
politikyang tidak mencapai ambang batas boleh mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara
bergabung dengan partai lainnya dan mendirikan parpol baru.22 Pada tanggal 15 Agustus
2017, Presiden Ir. Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017
tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Undang – undang ini terdiri atas 573 pasal, penjelasan,
21 Mahfud MD, 2017, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm: 314.
22 http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.co.id/2013/06/pemilu-di-indonesia-sistem.html

6

dan 4 lampiran. Dalam Undang - Undang ini telah ditetapkan, bahwa jumlah kursi anggota
DPR sebanyak 575 (lima ratus tujuh puluh lima), dimana daerah pemilihan anggota DPR
adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/ kota, dan jumlah kursi setiap
daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh)
kursi. Pada isi Undang – Undang ini terdapat beberapa hal yang menjadi isu krusial yakni
sistem pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), ambang
batas parlemen, metode konversi suara, dan alokasi kursi per dapil :
 1. Presidential Threshold: 20-25 Persen

Presidential threshold adalah ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai
politik untuk pengajuan presiden atau wakil presiden. Presidential threshold 20-25%
maksudnya adalah parpol atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen jumlah kursi di
DPR dan/atau 25 persen suara sah nasional di Pemilu sebelumnya.
2. Parliamentary Threshold: 4 Persen
Parliamentary threshold adalah ambang batas perolehan suara partai politik untuk
bisa masuk ke parlemen. Ini berarti parpol minimal harus mendapat 4 persen suara untuk
kadernya bisa duduk sebagai anggota dewan.
3. Sistem Pemilu: Terbuka
Sistem proporsional terbuka berarti di kertas suara terpampang nama caleg selain
nama partai. Pemilih juga bisa mencoblos langsung nama caleg yang diinginkan.
4. Dapil Magnitude: 3-10
Dapil magnitude atau alokasi kursi per dapil yakni rentang jumlah kursi anggota
DPR di setiap daerah pemilihan. Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 8/2012
disebutkan jumlah kursi di setiap dapil anggota DPR paling sedikit 3 kursi dan paling
banyak 10 kursi. Hal ini yang disepakati.
5. Metode Konversi Suara: Sainte Lague Murni
Metode konversi suara mempengaruhi jumlah kursi setiap parpol yang lolos ke
DPR. Metode sainte lague murni menerapkan bilangan pembagi suara berangka ganjil
seperti, 1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya. Metode sainte lague ini dalam melakukan
penghitungan suara bersifat proporsional yaitu tidak ada pembedaan dan tidak memihak
apakah itu partai kecil ataupun partai besar.
III.

PENUTUP

Dari materi pembahasan tentang Politik Hukum dan Sistem Pemilu di Indonesia,
dapat dijelaskan bahwa sistem hukum pemilu di Indonesia dari masa ke masa selalu
mengalami perubahan. Apabila dilihat dari Politik Hukumnya maka perubahan –
perubahan sistem pemilu yang terjadi di Negara Indonesia tidak terlepas dari kehendak
penguasa politik pada saat itu. Contohnya pada saat masa Orde Baru Presiden Soeharto
sebagai pemimpin negara membuat kebijakan dengan adalah mengadakan fusi atau
penggabungan diantara partai politik, mengelompokkan partai-partai menjadi tiga
golongan yakni Golongan Karya (Golkar), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan
7

Spiritual (PPP), dan hasilnya pada pemilu tahun 1977 perolehan suara terbanyak selalu
diraih Golkar. Jadi sistem pemilu di Negara Indonesia sepanjang sejarahnya selalu terjadi
perubahan sejalan dengan perubahan politiknya. Pada saat konfigurasi politik tampil
otoriter, produk hukum sistem pemilunya bersifat orotdoks, sebaliknya ketika konfigurasi
politik tamppil demokratis produk hukum sistem pemilunya menjadi responsif. Untuk saat
ini Sistem Pemilu di Indonesia bersifat sejalan dengan Politiknya yang bersifat demokratis
dengan disahkannya UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

8

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Makalah
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 2017.
Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam
Sistem Presidensial Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.Padmo. 2010.
Wahyono. Indonesia negara Berdasarkan Atas Hukum. Cetakan II. Jakarta : Ghalia
Indoesia. 1986
Tanya, Bernard L, Politik Hukum : Agenda Kepentingan Bersama. Yogyakarta : GENTA
Publishing. 2011.
Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana,
Bandung : Sinar Baru, 1983.
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986.
Hartono, Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung :
Alumni, 1991.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.
Mahfud MD, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
Hakum, Abdul, garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, makalah pada Kerja
Latihan bantuan Hukum, LBH, Surabaya, September 1985.
Muhammad Al-Iman, Abu Nashr, Membongkar Dosa-dosa Pemilu, Prisma Media, Jakarta,
2004.
Karim, M. Rusli. Pemilu Demokratis Kompetitif. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
1991.
Rahman, A, Sistem Politik Indonesia.Yogyakarta : Graha Ilmu, 2007.
Scigliano, Robert, “Representation”, dalam Seymour Martin Lipset (ed.), The
Encyclopedia of Democracy, Volume III, (Washington D.C.: Congressional
Quarterly Inc.), 1995.
Reilly, Ben, “Reformasi Pemilu di Indonesia: Sejumlah Pilihan”, dalam Julia I.
Suryakusuma, 1999, Almanak Parpol Indonesia Pemilu 1999, (Jakarta: Almanak
Parpol Indonesia), 1999.
Reynolds, Andrew, “Merancang Sistem Pemilihan Umum”, dalam Ikrar Nusa Bhakti dan
Riza Sihbudi (eds.), Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan
Negara-Negara Lain, (Bandung: Mizan), 2001.
Feith, Herbert, The Indonesian Election of 1955. Interim Report Series, Modern indonesia
Project, Southest Asian program, Cornell University, Ithaca, New York, cet II,
1971.
Rusminah, Perwakilan ( Sistem dan lembaganya ) Berdasarkan Undang – Undang Dasar
1945, dalam Padmo Wahono (ed), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini,
Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984.
Roem, Mohammad, Tinjauan Pemilihan Umum I dan II dari Sudut Hukum, Surabaya :
Budaya Dokumenter, 1971.
B. Internet
http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.co.id/2013/06/pemilu-di-indonesiasistem.html

9