SISTEM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum Indonesia adalah keseluruhan kaidah dan asas berdasarkan keadilan yang
mengatur hubungan manusia dalam masyarakat yang berlaku sekarang di Indonesia.
Sebagai hukum nasional, berlakunya hukum Indonesia dibatasi dalam wilayah hukum
tertentu, dan ditujukan pada subyek hukum dan objek hukum tertentu pula. Subyek
hukum Indonesia adalah warga negara Indonesia dan warga negara asing yang
berdomisili di Indonesia. Sedangkan objek hukum Indonesia adalah semua benda
bergerak atau tidak bergerak, benda berwujud atau tidak berwujud yang terletak di
wilayah hukum Indonesia.
Hukum

Indonesia

sebagai

perlengkapan

masyarakat


ini

berfungsi

untuk

mengintegrasikan kepentingan-kepentingan anggota masyarakat sehingga tercipta
ketertiban dan keteraturan. Karena hukum mengatur hubungan antar manusia dengan
manusia, manusia dengan masyarakat dan sebaliknya, maka ukuran hubungan tersebut
adalah keadilan.
Hukum Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu sistem, yang terdiri dari unsurunsur atau bagian-bagian yang satu sama lain saling berkaitan dan berhubungan untuk
mencapai tujuan yang didasarkan pada UUD 1945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila.
Sebagai satu sistem, sistem hukum Indonesia telah menyediakan sarana untuk
menyelesaikan konflik diantara unsur-unsurnya.
Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku nasional di negara
Republik Indonesia. Sistem hukum Indonesia tersebut bersifat majemuk, karena sistem
hukum yang berlaku nasional terdiri dari lebih satu sistem. Sistem-sistem tersebut adalah
sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat.
Dari ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, hukum adat-lah yang paling tua
umurnya. Hukum adat telah sangat lama hidup dan berkembang dalam masyarakat

Indonesia. Sebelum tahun 1927 tidak ada yang menaruh perhatian pada perkembangan
hukum adat, akan tetapi sejak tahun 1927, hukum adat mulai dipelajari dan diperhatikan
dengan seksama agar tidak mengganggu pelaksanaan politik hukum pemerintah Belanda.

Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air.
Belum ada kesepakatan oleh para ahli mengenai kapan Islam pertama kali masuk ke
Indonesia. Ada yang mengatakannya pada abad ke-1 Hijriah (abad ke 7 Masehi), ada pula
yang mengatakan pada abad ke-7 (abad ke 13 Masehi). Meski tidak ada kepastian yang
jelas mengenai kapan masuknya Hukum Islam, namun dapat dikatakan bahwa begitu
Hukum Islam masuk ke Indonesia, Hukum Islam langsung diikuti dan dilaksanakan oleh
para pemeluk agama islam di Indonesia ini. hal ini dapat dilihat pada studi para pujangga
yang hidup pada masa itu mengenai hukum Islam dan peranannya dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang timbul dalam masyarakat.
Hukum Barat diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan kedatangan orang-orang
Belanda untuk berdagang di Nusantara ini. Pada awalnya hukum Barat hanya berlaku
bagi penduduk Eropa beserta keturunannya, tetapi kemudian melalui berbagai upaya
peraturan perundang-undangan hukum Barat itu dinyatakan berlaku juga bagi mereka
yang disamakan dengan orang Eropa, orang Timur Asing (terutama Tionghoa) dan orang
Indonesia. sebagai hukum golongan yang berkuasa pada waktu itu di Nusantara kita ini
keadaan hukum Barat jauh lebih menguntungkan daripada keadaan dua sistem hukum

yang sudah lebih dulu ada di masyarakat.
Hukum adat dan hukum islam adalah hukum bagi orang-orang Indonesia asli dan
mereka yang disamakan dengan penduduk bumiputera. Keadaan itu diatur oleh
Pemerintah Hindia Belanda dahulu, sejak tahun 1854. Ketika masa penjajahan Belanda,
perkembangan hukum Islam dan hukum Adat dikendalikan dengan adanya teori resepsi
yang dikukuhkan dalam pasal 134 ayat (2) IS 1929. Akan tetapi setelah Belanda
meninggalkan Indonesia dan Indonesia memerdekakan diri pada tahun 1945, hukum Adat
dan hukum Islam sebagian kemudian menjadi berlaku dengan dikeluarkannya beberapa
peraturan perundang-undangan.
B. Rumusan Masalah
1.
2.
3.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Hukum Adat di Indonesia
Sebelum Indonesia dijajah oleh Belanda, Hukum yang digunakan untuk
menyelesaikan setiap sengketa yang terjadi di masyarakat adalah menggunakan hukum
adat. Pada masa itu hukum adat diberlakukan oleh hampir seluruh masyarakat di

Indonesia. Setiap daerah mempunyai pengaturan mengenai hukum adat yang berbeda
antara daerah yang satu dengan yang lain. Hukum adat sangat ditaati masyarakat pada
masa itu karena mengandung Nilai-nilai baik nilai keagamaan, nilai-nilai kesusilaan,
tradisi serta nilai kebudayaan yang tinggi.
Salah satu tokoh yang meneliti hukum adat adalah Van Vollenhoven dimana
penelitiannya mengenai hukum adat dimulai sejak tahun 1906 dan selesai pada tahun
1931. Hukum adat di Indonesia menurut Van Vollenhoven diartikan sebagai :
“ hukum nonstatutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaaan dan
sebagian hukum islam. Hukum adat itu pun melingkupi hukum yang
berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam
lingkungan, dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat berurat-berakar
pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup
karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai
fitrahnya sendiri, hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan
berkembang seperti hidup itu sendiri.”1
Hukum adat adalah sistem aturan berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia
yang berasal dari adat kebiasaan, yang secara turun temurun dihormati oleh masyarakat
sebagai tradisi bangsa indonesia. Pada zaman sebelum VOC datang ke Nusantara,
kedudukan hukum adat adalah sebagai hukum positip yang berlaku sebagai hukum yang
nyata dan ditaati oleh rakyat yang pada saat itu Nusantara.

Indonesia terdiri dari berbagai kerajaan.2 Naskah hukum adat yang lahir pada waktu
itu antara lain Kitab Ciwakasoma yang dibuat pada masa raja Dharmawangsa pada tahun
1 Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, hal.245-246
2 Ilham Bisri, 2004, Sistem Hukum Indonesia (Prinsip-Prinsip & Implementasi Hukum di
Indonesia), Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hal. 114

1000 Masehi, Kitab hukum Gadjah Mada pada masa kerajaan Majapahit (1331-1364),
Kitab Hukum Adigama pada zaman Patih Kanaka (1413-1430), dan Kitab Hukum
Kutaramanawa di Bali. Selain itu ditemukan juga bukti peraturan-peraturan asli lainnya
seperti Kitab Ruhut Parsaoran di Habatahon, Tapanuli (berisi kehidupan sosial di tanah
Batak), Undang-Undang Jambi di Jambi, Undang-Undang simbur Cahaya di Palembang,
Undang-Undang Nan Duapuluh di Minangkabau, Undang-Undang Perniagaan dan
pelayaran dari Suku Bugis Wajo di Sulawesi Selatan, Awig-Awig yang berisi peraturan
Subak dan Desa ) di Bali. Ditemukan juga berbagai peraturan-peraturan kerajaan atau
kesultanan yang pernah bertahta antara lain: Kediri, Singosari, Mataram, Majapahit,
Demak, Pajang, Mataram II, Pakubuwono, Mangkunegoro, Paku Alam, Tarumanagara,
Pajajaran, Jayakarta, Banten, Cirebon, Sriwijaya, Indragiri,Asahan, Serdang, Langkat,
Deli, aceh, Pontianak, Kutai, Bulungan, Goa, Bone, Bolaang Mongondow, Talaud,
Ternate, Tidore, Kupang, Bima, sumbawa, Endeh, Buleleng, Badung, Gianyar dan

sebagainya.3
Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini
adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil
yang telah menggantikan Majapahit. VOC telah diberikan hak monopoli terhadap
perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun
1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta. Tujuan utama VOC
adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di
Nusantara. Memasuki Zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yaitu zaman
dimana orang asing (Barat) mulai masuk ke Nusantara dan memberi perhatian terhadap
hukum adat. Pada masa ini ditandai dengan kebijakan Kompeni terhadap hukum adat
dengan cara saling menghormati. Hukum Barat (Belanda) pada awalnya hanya digunakan
untuk daerah pusat pemerintahan Kompeni sedangkan untuk daerah yang belum dikuasai
dipersilakan bagi pendudukan untuk menggunakan hukum adat mereka atau bagi yang
mau tunduk pada hukum Belanda diperbolehkan. Namun jika akan melakukan hubungan
dengan Kompeni maka harus menggunakan hukum Belanda. Dengan kata lain politik
hukum Kompeni bersifat oportunis.4 Pada masa ini pemerintah Belanda memberikan hak
istimewa kepada VOC berupa hak octrooi (meliputi monopoli pelayaran dan
perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dan mencetak uang).
Gubernur yang bernama Jenderal Pieter Both diberi wewenang untuk membuat peraturan
3 Ibid, hal.115-116

4 Ilham Bisri, Op.Cit., hal.118

guna menyelesaikan masalah dalam lingkungan pegawai VOC hingga memutuskan
perkara perdata dan pidana. Kumpulan peraturan pertama kali dilakukan pada tahun 1642,
Kumpulan ini diberi nama Statuta Batavia. Pada tahun 1766 dihasilkan kumpulan ke-2
diberi nama Statuta Bara. Kekuasaan VOC berakhir pada 31 Desember 1799.5
Memasuki masa pemerintahan Daendels (1808-1811), hukum adat diperbolehkan
dianut oleh penduduk bumi putera dengan syarat :
1. Hukum adat tidak bertentangan dengan kepentingan umum
2. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan dasar keadilan dan kepatutan
(dalam ukuran barat)
3. Hukum adat dapat menjamin tercapainya keamanan umum dengan persyaratan
tersebut bahwa pemerintahan Deandels menganggap rendah kedudukan hukum
adat dibanding Hukum Belanda
Memasuki

masa

pemerintahan


Raffles

(1811-1816) , Raffles menggunakan

kebijakan atau politik bermurah hati dan bersabar terhadap golongan pribumi untuk
menarik simpati dan merupakan sikap politik Inggris yang humanistis. Memasuki periode
1816- 1848, kedudukan hukum adat mulai terancam karena penguasa Hindia Belanda
pada waktu itu mulai memperkenalkan dan menganut prinsip unifikasi hukum untuk
seluruh wilayah jajahannya dengan pengecualian berlakunya hukum adat oleh
bumiputera. Jadi secara prinsip hukum adat mulai terdesak oleh berlakunya hukum
Hindia Belanda akan tetapi dalam praktis pemerintahan masih dianut persamaan
kedudukan antara hukum adat dan hukum barat.6 Pada tahun 1816 Peraturan-peraturan
umum termuat dalam lembaran yang diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang
disebut dengan “Staatsblad” beserta “Bijblad”-nya. Staatsblad dan Bijblad yang pertama
kali terbit dalam tahun 1816 sampai dengan 8 Maret 1942. Staatsblad tiap-tiap tahun
mulai dengan nomor 1, Bijblad nomornya berturut-turut tidak memperdulikan tahunnya.7
Berbicara tentang masalah hukum yang berlaku terhadap golongan Bumi Putera, yaitu
hukum adat bangsa Indonesia. Timbullah beberapa teori yaitu: Teori pertama
5 Sejarah Tata Hukum Indonesia Dan Politik Hukum Indonesia, http://hukumhukumkeseluruhan.blogspot.com/2009/04/sejarah-tata-hukum-indonesia-dan.html
diakses tanggal 22 November 2016

6 Ilham Bisri, Op.Cit., hal.120
7 Kusumadi Pudjosewojo, 2008, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, hal.27

diketemukan oleh beberapa sarjana Belanda seperti Carel Frederik Hunter (1799-1859),
Salomo Kayzor (1823-1868) dan William Christian Van Berg (1845-1925). Teori ini
menyatukan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agamanya masingmasing. Jadi menurut teori ini bahwa hukum tentang berlaku bagi pribumi yang beragama
Islam adalah hukum Islam, hukum yang berlaku bagi penduduk asli yang beragam
khatolik adalah hukum agamanya, demikian juga bagi penganut agama lain, teori ini yang
dikenal dengan teori receptio in complexu (RIC).
Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat Islam berlaku
sejak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni ketika Belanda masih belum
mencampuri semua persoalan hukum yang berlaku di masyarakat.
Materi teori ini kemudian dimuat dalam pasal 75 RR (Regering Reglement) tahun
1855. pasal 75 ayat 3 RR berbunyi “oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan
undang-undang agama (Jadsdiensnge Wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu”
pada masa teori ini berlaku, kemudian antara lain Stb. 882 No. 152 tentang pembentukan
pengadilan agama (Priensterand) di samping pengadilan negeri (landrand). Berdasarkan
pasal 75 dengan mengacu kepada teori RIC hukum waris yang berlaku bagi orang Islam
adalah hukum waris Islam dan menjadi kompetensi (wewenang) peradilan agama.

Pada mulanya, politik kolonial Belanda sebenarnya cukup menguntungkan posisi
hukum Islam, setidaknya sampai akhir abad ke 19 M dikeluarkannya Staatsblaad No. 152
Tahun 1882 yang mengatur sekaligus mengakui adanya lembaga Peradilan Agama di
Jawa dan Madura, dengan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam melaksanakan tugas
peradilan sesuai dengan ketentuan fiqhi.8 hal ini merupakan indikasi kuat diterimanya
hukum Islam oleh pemerintah kolonial Belanda.
Dari sinilah muncul teori Receptio in Complexu yang dikembangkan oleh Lodewijk
Willem Christian Van den Berg (1845 – 1925). Mr. L.W.C. van den Berg seorang sarjana
hukum menegakkan suatu teori tentang hukum adat yang disebut “teori receptio in
complexu”. Inti dari teori ini adalah sebagai berikut: “Selama bukan sebaliknya dapat
dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk
agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan setia”. Tegasnya menurut teori ini,
kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum Adat masyarakat
8 Munawir Sjadzali, 1991, Landasan Pemikiran Politik Hukum di Indonesia dalam Rangka
Menentukan Peradilan Agama di Indonesia, dalam Tjua Suryaman, Politik Hukum di
Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya, Bandung: Raja Rosdakarya, hal. 43-44

yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada hal-hal yang
menyimpang daripada hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal ini dianggapnya
sebagai “perkecualian/penyimpangan” (sesuatu yang sudah diatur sebelumnya atau

kesalahan pengalihan dari jalur yang sudah ada )daripada hukum agama yang telah “in
complexu gerecipieerd” (diterima dalam keseluruhan) itu. 9 Bukti-bukti teori ini dapat
dilihat dalam ketentuan-ketentuan berikut :
Statuta Batavia 1642 menyebutkan bahwa : “ sengketa warisan antara orang pribumi
yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni
hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari”. Untuk keperluan ini, D.W Freijer menyusun
Compendium (buku ringkasan) mengenai hukum perkawinan dan kewarisan Islam, yang
setelah direvisi dan diseempurnakan para penghulu, diberlakukan didaerah jajahan VOC.
Compendium ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
Menurut ahli hukum Belanda, hukum ini mengikuti agama yang dianut seseorang.
Jika orang itu memeluk agama Islam, maka hukun Islam-lah yang berlaku baginya.
Dengan adanya teori receptio in Complexu maka hukum Islam sejajar dengan dengan
sistem hukum lainnya. Kondisi tersebut tidak berlangsung lama, seiring dengan
perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang gerak
dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum Islam
pada posisi kritis
Kecurigaan sementara pejabat pemerintah Hindia Belanda mulai dikemukakan
melalui kritik terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan. Mereka memperkenalkan
het Indische adat rech atau hukum adat Indonesia. Kritik ini dimulai Cornelis van
Vollenhoven (1874-1933). Kemudian dilanjutkan oleh Cristian Snouck Hurgronje (18571936) penasehat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan anak negeri.
Teori Receptie mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum
adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah di resepsi oleh
hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam.
Sebelum Hurgronje ditunjuk sebagai penasehat, tahun 1859 telah dimulai politik
campur tangan terhadap urusan keagamaan. Gubernur jenderal dibenarkan mencampuri
masalah agama bahkan harus mengawasi setiap gerak-gerik para ulama, bila dipandang
9 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta : CV Haji
Masagung, hal. 29

perlu demi kepentingan ketertiban keamanan. Sebagai kolonialis, pemerintah Belanda
memerlukan Inlandsch Politiek, yakni kebijaksanaan mengenai pribumi untuk memahami
dan menguasai pribumi. Demikian Snouck Hurgronje menegaskan. Maka, dialah yang
oleh Harry J. Benda, disebut sebagai arsitek keberhasilan politik Islam yang paling
legendaris. Politik ini didasari oleh suatu anggapan, bahwa musuh kolonialisme bukanlah
Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik.
Kemunculan teori kedua yaitu teori receptie sebenarnya berawal dari keinginan
Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi dari daerah jajahan tidak memegang kuat
ajaran Islam, karena orang-orang yang kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam
tidak akan mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Snouck Hurgronje khawatir adanya
pengaruh Pan Islamisme yang dipelopori Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh dan
lain-lain.
Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum
adat. Hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumi kalau norma hukum Islam itu telah
diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori ini dijadikan alat oleh Snouck
Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan
hukum Islam. . Jika mereka berpegang terhadap ajaran dan hukum Islam, dikhawatirkan
mereka akan sulit menerima dan dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat. Ia pun
khawatir hembusan Pan Islamisme yang ditiupkan oleh Jamaluddin Al-Afgani
berpengaruh di Indonesia.
Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah Belanda
kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat
Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR)
tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan kepada hakim Indonesia untuk memberlakukan
undang-undang agama.
Dalam I.S. tersebut, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa hukum
Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Dan dalam pasal 134 ayat 2
dinyatakan: "Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan
diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, dan
sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi".10
10 Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, hal.
132

Tata hukum Hindia Belanda pada saat itu terdiri dari : 1. Peraturan-peraturan tertulis
yang dikodifikasikan, 2. Peraturan-peratauran tertulis yang tidak dikodifikasikan, 3.
Peraturan-peraturan tidak tertulis (hukum adat) yang khusus berlaku bagi golongan
Eropa. Pada masa ini, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah
jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap harta milik negara bagian yang lain.
Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan
yang berlaku umum dengan nama Algemene Verordening (Peraturan pusat). Ada 2
macam keputusan raja :
1. Ketetapan raja sebagai tindakan eksekutif disebut Besluit. Seperti ketetapan
pengangkatan Gubernur Jenderal.
2. Ketetapan raja sebagai tindakan legislatif disebut Algemene Verodening atau
Algemene Maatregel van Bestuur (AMVB)
Pada masa ini pula dimulai penerapan politik agraria yang disebut dengan kerja paksa
oleh Gubernur Jenderal Du Bus De Gisignes. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda
berhasil mengkodifikasikan hukum perdata yang diundangkan pada tanggal 1 Oktober
1838.11 Namun

hukum

adat

secara berangsur-angsur tergeser dengan adanya

penggagasan diberlakukannya sistem hukum kodifikasi hukum Barat yang secara efektif
berlaku sejak tahun 1848.
B. Sejarah Perkembangan Hukum Barat di Indonesia
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC,
Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang. Pada masa pendudukan VOC,
sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk kepentingan ekspolitasi ekonomi demi
mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda, pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara
yang otoriter, dan perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para
pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan
bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas
secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-

11 Sejarah Tata Hukum Indonesia Dan Politik Hukum Indonesia, http://hukumhukumkeseluruhan.blogspot.com/2009/04/sejarah-tata-hukum-indonesia-dan.html
diakses tanggal 22 November 2016

hak dasar rakyat di Nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap
rakyat pribumi di masa itu.
Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR
1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan
utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan
untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari
kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam
(Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif
(terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini,
walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh
politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi,
karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti,
dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta
Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan
awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah pendidikan
untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum, pembentukan Volksraad
(lembaga perwakilan untuk kaum pribumi), penataan organisasi pemerintahan (khususnya
dari segi efisiensi), penataan lembaga peradilan (khususnya dalam hal profesionalitas),
dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian
hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda
mewariskan (1) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembagalembaga peradilan; (2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang
disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan
perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap
berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa
lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi:
1. Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan
yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina;

2. Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan
3.
4.
5.
6.
7.

pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah
Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan;
Unifikasi kejaksaan;
Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan;
Pembentukan lembaga pendidikan hukum;
Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum

dengan orang-orang pribumi.
C. Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terjadi perbedaan pendapat para ahli
mengenai kapan pertama kali Islam measuk ke Nusantara. 12 Menurut pendapat yang
disimpulkan oleh Seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan
1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau pada abad
ketujuh/kedelapan masehi. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam baru sampai ke
Nusantara ini pada abad ke-13 Masehi. Daerah yang pertama didatanginya adalah pesisir
utara pulau Sumatera dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Pereulak Aceh
Timur dan kerajaan Islam pertama di Samudra Pasai, Aceh Utara.
Ketika singgah di Samudera Pasai pada tahun 1345 Masehi, Ibnu Batutah, seorang
pengembara, mengagumi perkembangan Islam di negeri tersebut. ia mengagumi
kemampuan Sultan Al-Malik Al-Zahir dalam berdiskusi tentang berbagai masalah Islam
dan Ilmu Fiqh. Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja,
Al-Malik Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasai ketika itu adalah juga seorang fukaha (ahli
hukum yang mahir tentang hukum Islam). Yang dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu
adalah hukum Islam Mazhab Syafi’i. Menurutt Hamka, dari Pasailah disebarkan paham
Syafi’i ke kerajaan – kerajaan Islam lainnya di Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam
Malaka berdiri (1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudra Pasai
untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam
masyarakat.
Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar
melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam adalah besar. Kenyataan ini
dilihat bahwa bila seorang saudagar Muslim hendak menikah dengan seorang wanita
pribumi, misalnya, wanita itu diislamkan lebih dahulu dan perkawinannya kemudian
dilangsungkan menurut ketentuan Hukum Islam.
12 Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H.,1990, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 230 – 226.

Setelah agama Islam berakar pada masyarakat, peranan saudagar dalam penyebaran
Islam digantikan oleh para ulama yang bertindak sebagai guru dan pengawal Hukum
Islam. Salah satu contoh ulama yang terkenal adalah Nuruddin Ar-Raniri, yang menulis
buku hukum Islam dengan judul Siratal Mustaqim pada tahun 1628. menurut Hamka,
kitab Hukum Islam yang ditulis oleh Ar-Raniri ini merupakan kitab hukum Islam pertama
yang disebarkan ke seluruh Indonesia. oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang
menjadi mufti di Banjarmasin, kitab hukum Siratal Mustaqim itu diperluas dan
diperpanjang uraiannya dan dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara
umat Islam di daerah kesultanan Banjar. Kitab yang sudah diuraikan ini kemudian diberi
nama Sabilal Muhtadin. Di daerah kesultanan Palembang dan Banten, terbit pula
beberapa kitab Hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam
menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka ditulis oleh Syaikh
Abdu Samad dan Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Pada akhir abad keenam belas, VOC merapatkan kapalnya di Pelabuhan Banten, Jawa
Barat. semula maksudnya adalah berdagang, tapi kemudian haluannya berubah menjadi
menguasai kepulauan Indonesia. VOC memiliki dua fungsi, pertama sebagai pedagang,
kedua sebagai badan pemerintahan. Dalam kata lain, Sebagai badan pemerintahan VOC
menggunakan hukum Belanda yang dibawanya. Akan tetapi hukum Belanda tidak pernah
bisa diterapkan seluruhnya, sehingga VOC kemudian membiarkan lembaga – lembaga
asli yang ada di dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. Pemerintah
VOC terpaksa harus memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam
kehidupan mereka sehari – hari. Dalam statuta Jakarta (Batavia) tahun 1642 disebutkan
bahwa mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus
dipergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari – hari.
Berdasarkan pola pemikiran tersebut, pemerintah VOC meminta kepada D.W. Freijer
untuk menyusun suatu compendium (intisari atau ringkasan) yang memuat hukum
perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Setelah diperbaiki dan disempurnakan oleh para
penghulu dan ulama Islam, ringkasan kitab hukum tersebut diterima oleh pemerintah
VOC (1760) dan dipergunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang
terjadi di kalangan umat Islam di daerah – daerah yang dikuasai VOC. Selain
Compendium Freijer, banyak lagi kitab hukum yang dibuat di zaman VOC, di antaranya
ialah kitab hukum mogharraer untuk Pengadilan Negeri Semarang. Kitab hukum ini
adalah kitab perihal hukum – hukum Jawa yang dialirkan dengan teliti dari kitab hukum

Islam Muharrar karangan Ar-Rafi’i. Mogharraer memuat sebagian besar hukum pidana
Islam. Posisi hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung demikian, selama lebih kurang
dua abad.
Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan kolonial Belanda menguasai
sungguh – sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah.
Perubahan ini khususnya tampak pada abad ke 19, dimana ketika itu banyak orang
Belanda sangat berharap dapat segera menghilangkan pengaruh agama Islam dari
sebagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara, salah satunya adalah kristenisasi.
Mereka berpendapat bahwa pertukaran agama penduduk menjadi kristen akan
menguntungkan negeri Belanda. Selain itu, pemerintah Belanda memiliki keinginan yang
kuat untuk menata dan mengubah hukum di Indonesia menjadi hukum Belanda, karena
adanya anggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik daripada hukum yang telah ada di
Indonesia. untuk melaksanakan maksud tersebut pemerintah Belanda kemudian
mengangkat suatu komisi yang diketuai oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem yang
bertugas untuk melakukan penyesuaian undang – undang Belanda itu dengan Indonesia.
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam usaha pembaharuan tata hukum di Hindia
Belanda, Scholten berpendapat bahwa hukum Islam sebaiknya tetap dibiarkan ada dalam
masyarakat agar tidak terjadi hal – hal yang tidak menyenangan. Pendapat inilah yang
mungkin menyebabkan pasal 75 RR menginstruksikan kepada pengadilan untuk
mempergunakan undang – undang agama dan lembaga – lembaga kebiasaan mereka bila
golongan bumi putera bersengketa, sejauh undang – undang dan kebiasaan tersebut tidak
bertentangan dengan hukum Belanda. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara perdata antara
sesama orang bumi putera. Inti wewenang Pengadilan Agama ini adalah kelanjutan
praktik pengadilan dalam masyarakat bumiputera yang beragama Islam yang telah
berlangsung sejak zaman pemerintahan VOC dan kerajaan – kerajaan Islam sebelumnya.
Seorang ahli hukum Belanda bernama van den Berg mengatakan bahwa orang Islam
Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu
kesatuan: receptio in complexu. Pendapat ini kemudian ditentang oleh Christian Snouck
Hurgronje, ia berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang Islam di kedua daerah itu
bukanlah hukum Islam, tetapi hukum Adat. Pendapat ini kemudian terkenal dengan nama
receptie theorie. Karena teori inilah pada tahun 1922, pemerintah Belanda membentuk

sebuah komisi untuk meninjau kembali wewenang Priesterraad atau Raad Agama di Jawa
dan Madura yang tahun 1882 secara resmi berwenang mengadili perkara kewarisan orang
– orang Islam menurut ketentuan hukum Islam. Dengan alasan bahwa hukum kewarisan
Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, maka melalui pasal 2a ayat (1) S.
1937 : 116 dicabutlah wewenang Raad atau Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk
mengadili perkara warisan. Usaha giat raja – raja Islam di Jawa menyebarkan hukum
Islam di kalangan rakyatnya distop oleh pemerintah kolonial sejak 1 April 1937.
wewenang untuk mengadili perkara kewarisan pun dialihkan ke Landraad.
Akan tetapi, Landraad ketika memutuskan perkara warisan dianggap sangat
bertentangan dengan hukum Islam, sehingga menimbulkan reaksi dari berbagai organisasi
Islam. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pun memprotes kehadiran S. 1937 : 116,
karena staatsblad tersebut dianggap telah menggoyahkan kedudukan hukum Islam dalam
masyarakat Muslim Indonesia. Meski begitu pemerintah Belanda tetap tidak
menghiraukan protes tersebut.
Usaha untuk mengendalikan dan menempatkan hukum Islam dalam kedudukannya
semula (sebelum dikendalikan oleh Pemerintah Belanda) terus dilakukan oleh para
pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan yang terbuka. Salah satu contohnya adalah
ketika sidang BPUPKI berhasil menghasilkan Piagam Jakarta (22 juni 1945) yang
selanjutnya menjadi Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945. di dalam piagam ini,
dinyatakan antara lain bahwa negara ‘berdasarkan pada Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya’. Tujuh kata terakhir ini oleh
PPKI diganti dengan kata ‘Yang Maha Esa’ dan ditambahkan pada ‘Ketuhanan’ sehingga
berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
D. Perbandingan antara Hukum Adat, Hukum Barat, dengan Hukum Islam
1. Dilihat dari Keadaannya
Hukum adat merupakan hukum yang tertua yang ada di Indonesia.
Hukum islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air
kita (kira-kira abad 1 Hijrah atau abad 7 Masehi).
Hukum barat diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan kedatangan orang-orang
belanda yang berdagang di Nusantara ini. Semula hukum badar hanya berlaku bagi
orang-orang eropa saja, tetapi kemudian dengan berbagai jalan melalui upaya
peraturan perundang-undangan (pernyataan berlaku, penundukan diri dengan

sukarela, pemilihan hukum dlsb), hukum barat berlaku juga bagi pribumi dan orangorang yang dipersamakan dengan mereka.
2. Dilihat dari Bentuknya
Hukum adat merupakan hukum yang tertua yang ada di Indonesia.
Hukum islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air
kita (kira-kira abad 1 Hijrah atau abad 7 Masehi).
Hukum barat diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan kedatangan orang-orang
belanda yang berdagang di Nusantara ini. Semula hukum badar hanya berlaku bagi
orang-orang eropa saja, tetapi kemudian dengan berbagai jalan melalui upaya
peraturan perundang-undangan (pernyataan berlaku, penundukan diri dengan
sukarela, pemilihan hukum dlsb), hukum barat berlaku juga bagi pribumi dan orangorang yang dipersamakan dengan mereka.
3. Dilihat dari Tujuannya
Hukum adat bertujuan untuk menyelenggarakan kehidupan masyarakat yang aman,
tenteram dan sejahtera.
Hukum islam bertujuan untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan.
Ada yang berpendapat bahwa tujuan Hukum Islam ialah untuk memelihara Agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta benda.
Hukum barat bertujuan untuk mencapai kepastian dan keadilan hukum.
4. Dilihat dari Sumbernya
a. Sumber pengenal
Sumber pengenal hukum adat ialah keputusan penguasa adat. Menurut Prof. M.
Koesnoe yang menjadi sumber pengenal hukum adat ialah apa yang benar-benar
terlaksana dalam pergaulan hukum di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sumber pengenal hukum islam dalam pengertian hukum syariat ialah Al- Qur’an
dan kitab-kitab Hadist.
Sumber pengenal hukum barat ialah segala peraturan perundang-undangan sejak
zaman kolonial beserta perubahannya yang dinyatakan dalam Stb atau lembaran
negara.
b. Sumber isi
Hukum adat bersumber pada kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat
adat.
Hukum islam bersumber kemauan Allah yang berupa wahyu yang kini terdapat
dalam Qur’an dan Sunnah.
Hukum barat besumber pada kemauan pembentuk UU.
c. Sumber pengikat, yang dimaksud dengan sumber pengikat ialah sumber yang
menjadi kekuatan mengikat orang untuk melaksanakan atau tidak melanggar
hukum tersebut.
Sumber pengikat hukum adat ialah rasa malu yang ditimbulkan oleh karena
berfungsinya sistem nilai dalam masyarakat yang bersangkutan.

Sumber pengikat hukum islam ialah iman atau tingkat ketaqwaan seorang muslim.
Sumber pengikat hukum barat ialah kekuasaan negara yang membentuk UU Dasar
yang kini dilanjutkan oleh alat kekuasaan Negara RI.
5. Dilihat dari Strukturnya
Struktur hukum adat ditentukan menurut teori-teori struktur menurut pandangan ahliahli adat setempat.
Struktur hukum islam terdiri dari Qur’an, As-Sunnah dan hasil ijtihad manusia yang
memenuhi syarat serta pelaksanaannya dalam konkreto masyarakat Islam baik yang
berupa keputusan-keputusan maupun berupa amalan-amalan.
Struktur hukum barat ialah: kitab UU yang dibuat oleh lembaga legislatif, keputusan
hakim, kemudian baru amalan-amalan keputusan tersebut.
6. Dilihat dari Pembidangannya
Hukum adat yang mengenal asas-asas kerukunan, kepatutan, keselarasan dalam
pergaulan hidup yang bersifat religio magis tidak mengenal pembidangan hukum
perdata dan hukum publik.
Hukum Islam mengenal pembidangan yang terdiri dari Hukum Ibadah dan Hukum
Muammalah.
Hukum barat mengenal pembidangan hukum privat dengan hukum publik dimana
pembidangan ini ditentukan pada pengaturan kepentingan perdata atau publik. Hukum
barat bersifat induvidualis dan liberalistis serta terlepas dari ketentuan-ketentuan
agama.13

13 Abddul Ghofur Anshori, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di
Indonesia, Yogyakarta: Kreasi Total Media, Hal. 42-44

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam sejarah sistem hukum di Indonesia pada masa kerajaan sebelum VOC datang
adalah menggunakan hukum adat sebagai hukum positip di tiap-tiap daerah nusantara
Indonesia yang ditaati dan dilaksanakan sebagai suatu adat kebiasaan, yang secara turun
temurun dihormati oleh masyarakat sebagai tradisi bangsa indonesia.
Masuknya VOC ke Indonesia dimana orang asing (Barat) mulai masuk ke nusantara,
orang barat mulai memberi perhatian terhadap hukum adat. Pada masa ini Hukum Barat
(Belanda) mulai digunakan walaupun pada awalnya hanya digunakan untuk daerah pusat
pemerintahan Kompeni sedangkan untuk daerah yang belum dikuasai dapat
menggunakan hukum adat mereka atau bagi yang mau tunduk pada hukum Belanda
diperbolehkan.
Seiring dengan penjajahan Belanda, lambat laun Pemerintahan Hindia Belanda
menggeser hukum adat sedikit demi sedikit digantikan dengan sistem hukum kodifikasi
hukum Barat yang secara efektif berlaku sejak tahun 1848. Sejak tahun 1848, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab UndangUndang Hukum Acara Perdata dan Acara Pidana berdasarkan pada pola Belanda berlaku
bagi penduduk Belanda di Indonesia. Pada perjalanannya kodifikasi semakin kuat dan
hukum adat menjadi serba tidak pasti dan menimbulkan tidak adanya jaminan kepastian
hukum pada hukum adat.
Pada masa penjajahan Jepangpun hukum kolonial Belanda masih digunakan karena
Jepang tidak sempat mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan karena masa
menjajah hanya 31/2 (tiga setengah) tahun kecuali Undang-Undang Nomor 1 tahun 1942
yang berisi pemberlakuan berbagai peraturan perundangan yang ada pada zaman Hindia
Belanda.
Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan
dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang
diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu,
tidak diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan
berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang
memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundangundangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam
perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta
kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai
pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa hukum adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya
religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual), sebagai hukum asli Indonesia semakin
tergeser digantikan oleh paham positivis.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Abddul Ghofur Anshori. 2008. Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di
Indonesia. Yogyakarta: Kreasi Total Media.
Ade Maman Suherman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Ilham Bisri. 2004. Sistem Hukum Indonesia (Prinsip-Prinsip & Implementasi Hukum di
Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Kusumadi Pudjosewojo. 2008. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika.
Mohammad Daud Ali. 1990. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Munawir Sjadzali. 1991. Landasan Pemikiran Politik Hukum di Indonesia dalam
Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia, dalam Tjua Suryaman, Politik
Hukum di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya. Bandung: Raja
Rosdakarya.

ARTIKEL DAN JURNAL:
Lastuti Abubakar. “Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum dalam
Membangun Sistem Hukum Indonesia”. Dinamika Hukum. Vol. 13 No. 2 Mei 2013
Murdan. “Prularisme Hukum (Adat dan Islam) di Indonesia”. Kajian Hukum Islam. Vol.
1 No. 1 Juni 2016
Mustaghfirin. “Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, dan Sistem Hukum Islam
Menuju sebagai Sistem Hukum Nasional Sebuah Ide yang Harmoni”. Dinamika
Hukum. Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011

Sejarah Tata Hukum Indonesia Dan Politik Hukum Indonesia, http://hukumhukumkeseluruhan.blogspot.com/2009/04/sejarah-tata-hukum-indonesia-dan.html
diakses tanggal 22 November 2016