Pertanggungjawaban Mitra Usaha dalam Perusahaan Berbasis Penjualan Langsung terhadap Pemberian Garansi atas Produk yang Diperdagangkan
BAB II
PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEMITRAAN DALAM HUKUM
DI INDONESIA
A. Perjanjian Pada Umumnya
1.
Pengertian Perjanjian
Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan
hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan
hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada
pihak lain untuk menunaikan prestasi. Perjanjian merupakan sumber terpenting
yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki
oleh dua orang atau satu pihak yang membuat perjanjian, sedangakan perikatan
yang lahir dari undang-undang di buat atas dasar kehendak yang saling
berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak.25 Dalam
bahasa Belanda perjanjian disebut juga overeenkomstenrecht.26
Pengertian singkat diatas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang
memberi
wujud
pengertian
perjanjian,
antara
lain
hubungan
hukum
(rechtsbetreking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)
atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain
tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjian (verbintenis) adalah hubungan
hukum rechtsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara
perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum
25
Suharnoko, Hukum Perjanjian (Jakarta : Prenada Media, 2004), hlm. 117.
C.s.t. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata (Jakarta :
Pradnya Paramita, 2006), hlm. 10.
26
24
Universitas Sumatera Utara
25
antara perorangan/ persoon adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam
lingkungan hukum . Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan
suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai
dalam harta benda kekeluargaan.27
Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain.
Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk
melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan
persetujuan) itu adalah sama artinya.28
Buku III KUHPerdata berjudul “Perihal Perikatan” Perkataan Perikatan
(verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian” sebab
dalam buku III itu, diatur juga prihal hubungan hukum yang sama sekali tidak
bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu prihal perikatan yang
timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perikatan
yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari buku III ditujukan pada
perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan
hukum perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh buku III
KUHPerdata ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda)
antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang
sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan
memenuhi tuntutan itu.29
27
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 6-7.
Subekti, Hukum Perjanjian (Bandung : Intermasa, 2002), hlm. 1.
29
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Bandung : Intermasa, 1982), hlm. 122-123.
28
Universitas Sumatera Utara
26
Undang-undang perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata yang
mengatur tentang perikatan. Hal ini karena perjanjian merupakan salah satu
peristiwa yang melahirkan hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua pihak yang disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban
(perikatan). Definisi perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata
dinyatakan bahwa “Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.”
J. Satrio mengatakan perjanjian adalah perbuatan hukum dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau
dimana satu orang lain atau lebih saling mengikatkan dirinya.” 30 Dengan
pertimbangan agar perbuatan-perbuatan yang tidak mengandung unsur kehendak
atas akibatnya tidak masuk dalam cakupan perumusan, seperti perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad), perwakilan sukarela (zaakwarneming) dan agar
perjanjian timbal balik bisa tercakup dalam perumusan tersebut.
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal.31
Menurut M. Yahya Harahap, mengemukakan Perjanjian atau verbintenis
mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang
30
31
J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1996), hlm 12.
Subekti, Op.cit., hlm 9.
Universitas Sumatera Utara
27
atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.32
Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah
sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam
mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau
tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan
janji itu.33 Perjanjian tidak terjadi seketika atau serta merta dan perjanjian dibuat
untuk dilaksanakan, oleh karena itu dalam suatu perjanjian yang dibuat selalu
terdapat tahapan yaitu:
a. pracontractual,
yaitu
perbuatan-perbuatan
yang mencakup
dalam
negosiasi dengan kajian tentang penawaran dan penerimaan;
b. contractual, yaitu tentang bertemunya dua pernyataan kehendak yang
saling mengikat kedua belah pihak;
c. post-contractual, yaitu tahap pada pelaksanaan hak-hak dan kewajibankewajiban yang hendak diwujudkan melalui perjanjian tersebut.34
Perjanjian terdapat unsur janji, janji yang diberikan oleh pihak yang satu
kepada pihak yang lain. Kalau orang terikat pada suatu kewajiban, yang
diletakkan pada dirinya atas dasar, bahwa undang-undang menentukan demikian
seperti onrechtmatigedaad tidak dapat dikatakan, bahwa ia menjanjikan hal
seperti itu dan karenanya tak mungkin didasarkan atas suatu perjanjian. Dalam
32
M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 6.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian (Bandung : Sumur, 1981), hlm. 9.
34
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Jakarta : Sinar
Grafika,2003), hlm. 16.
33
Universitas Sumatera Utara
28
perjanjian orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya
sendiri.
2.
Jenis-Jenis perjanjian
KUHPerdata mengenal adanya beberapa jenis perjanjian, antara lain :
a. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban
Dikatakan dengan perjanjian cuma-cuma adalah “suatu persetujuan dengan
mana pihak yang satu memberi suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa
menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri”. 35Abdulkadir Muhammad
mendefenisikan perjanjian ini dengan “perjanjian percuma, yaitu perjanjian
yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja.”36 Kata “memberi
keuntungan” sebenarnya lebih tepat kalau diganti dengan kata “prestasi”,
karena apakah prestasi tersebut pada akhirnya menguntungkan atau tidak,
tidak menjadi soal. Sedangkan pada pihak lain, terhadap prestasi yang satu,
tidak ada kewajiban apa-apa. Kemudian yang termasuk di dalam perjanjian
cuma-cuma adalah perjanjian-perjanjian dimana memang ada prestasi pada
kedua belah pihak, tetapi prestasi yang satu adalah tidak seimbang atau
sebanding, sehingga prestasi itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu kontra
prestasi terhadap yang lain.
Masalah lain adalah apabila terhadap prestasi yang satu ada kontra prestasi
pada pihak lain, yang walaupun tidak seimbang, tidak dapat dikatakan bahwa
disana tidak ada kontra prestasi sama sekali. Menurut Vollmar, hal ini sering
disebut dengan “perjanjian campuran”, yaitu antara perjanjian cuma-cuma
35
J. Satrio., Hukum Perikatan, Perikatan Lahir Dari Perjanjian (Bandung : Citra Aditya
Bakti,1995). hlm. 38.
36
Abdulkadir Muhammad., Op.Cit,. hlm. 87.
Universitas Sumatera Utara
29
dengan perjanjian atas beban.37Menurut Pasal 1314 ayat 2 (dua)
KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian atas beban adalah “suatu
perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”. Perbedaan antara perjanjian
cuma-cuma dengan perjanjian atas beban, yaitu bahwa pada perjanjian
cuma-cuma, untuk menuntut pembatalan perjanjian yang merugikan
kreditur, yang telah ditutup oleh debitur, debitur tahu bahwa perbuatan
merugikan kreditur dan debitur itu sendiri tidak mau tahu apakah
perbuatannya itu diketahui atau tidak. Sedangkan pada perjanjian atas
beban, debitur wajib membuktikan dulu, apakah baik debitur atau pihak
ketiga yang mendapat keuntungan tahu bahwa perjanjian yang dituntut
pembatalannya merugikan kreditur.
b. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah
pihak berprestasi secara timbal balik, misalnya perjanjian jual beli, sewa
menyewa dan tukar-menukar. Sedangkan perjanjian sepihak adalah
perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu berprestasi dan memberi hak
kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi, misalnya perjanjian
hibah.38
Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak akan memperoleh
hak dan akan melaksanakan kewajibannya.
37
J. Satrio, Op.Cit., hlm. 149.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung : Citra Aditya Bakti,
2000), hlm. 227.
38
Universitas Sumatera Utara
30
Kriteria kewajiban untuk berprestasi bagi kedua belah pihak. Perjanjian
sepihak, yang mempunyai kewajiban untuk berprestasi adalah hanya satu
pihak saja, dan pihak yang lain hanya berhak untuk menerima prestasi dari
pihak yang satu, misalnya dalam perjanjian hibah, A berkewajiban
memberikan benda yang dihibahkannya kepada B. Kewajiban tersebut
merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh si A. dalam hal ini bank
hanya berhak untuk menerima benda yang dihibahkan oleh si A.
c. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara
kedua pihak sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan.
Dengan perkataan lain, perjanjian itu timbul cukup dengan adanya
kesepakatan diantara para pihak. Dalam perjanjian riil, kesepakatan itu
tidak cukup untuk dijadikan sebagai dasar timbulnya suatu perjanjian,
tetapi juga harus diikuti dengan penyerahan barang yang menjadi objek
perjanjian tersebut barulah dapat dikatakan perjanjian itu ada.
d. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama
Ada perbedaan dalam jenis perjanjian ini dilihat dari jumlah perjanjian.
Mengingat jumlah perjanjian yang memiliki nama jumlahnya hanya
terbatas, maka dalam praktek hukumnya disebut dengan perjanjian
bernama, yaitu perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang
dikelompokkan ke dalam perjanjian khusus. Sedangkan perjanjian tidak
Universitas Sumatera Utara
31
bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan
dilihat dari jumlahnya tidak terbatas.39
e. Perjanjian kebendaan
Seperti diketahui bahwa perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk
memindahkan hak milik dalam perjanjian yang objeknya menyangkut
dengan kebendaan. Sedangkan perjanjian obligator adalah merupakan
realisasi dari perjanjian kebendaan tersebut, dalam arti perjanjian yang
menimbulkan perikatan.
Tujuan Kebendaan ini adalah untuk mengetahui keberadaan dalam
perjanjian tersebut sebagai realisasi, perjanjian, dan penyerahan itu sah
menurut hukum atau tidak.
f. Perjanjian obligatoir
Perjanjian
obligatoir
adalah
perjanjian
antara
pihak-pihak
yang
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian jual beli saja belum
mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk
beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain,
yaitu penyerahan. Perjanjian jual beli itu dinamakan perjanjian obligatoir
karena membebankan kewajiban kepada para pihak untuk melakukan
penyerahan.
g. Perjanjian yang bersifat hukum keluarga
39
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
32
Walaupun perkawinan di dalam hukum perdata diatur dalam buku II Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, namun kalau dilihat dari proses terjadinya
perkawinan itu, maka perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk
perjanjian. Dimana dengan adanya perkawinan itu secara hukum dapat atau
akan menimbulkan akibat hukum lagi bagi kedua belah pihak. Namun akibat
hukum dalam perjanjian perkawinan ini hanya menyangkut dengan akibat
hukum dalam keluarga
saja. Perkawinan timbul karena adanya
kesepakatan diantara pihak pria dan wanita dan menimbulkan hak dan
kewajiban sebagai ikatan lahir dan batin. Hal tersebut sama halnya dengan
syarat-syarat dalam perjanjian. Bahkan dalam perkawinan para pihak yang
akan mengadakan perjanjian perkawinan tersebut telah ditentukan, seperti
antara pria dan wanita, tidak boleh sedarah dan sebagainya.
Mengingat bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang menimbulkan
hak dan kewajiban yang bersifat pribadi antara suami dan istri, kemudian
hak dan kewajiban tersebut bukan merupakan kehendak dari undangundang atau ketentuan hukum yang mengaturnya, maka secara juridis
dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan perjanjian sebagaimana yang
diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak berlaku
bagi hak dan kewajiban suami dan istri yang terikat dalam suatu
perkawinan.
Banyak lagi perjanjian-perjanjian yang terjadi di dalam masyarakat yang
sesuai inteprestasi realitanya dianggap sebagai perjanjian, namun secara
Universitas Sumatera Utara
33
juridis tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian sebagaimana yang
diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3.
Asas-Asas Perjanjian
Hukum perjanjian mengatur beberapa prinsip atau asas sebagai suatu
landasan pikir dan pandangan untuk menginterprestasikan maksud yang
terkandung dari ketentuan hukum perjanjian itu, dimana asas-asas tersebut
merupakan pedoman bagi para pihak pembuat Undang-undang dalam menentukan
sikap untuk membuat peraturan hukum. Didalam kamus ilmiah asas
diterjemahkan sebagai pokok, dasar, dan pundamen.40 Sedangkan Solly Lubis
menyatakan asas adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilainilai yang disyaratkan menjadi landasan antara hubungan sesama anggota
masyarakat.41
Asas ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan belakang
sistem hukum masing-masing dirumuskan kedalam aturan-aturan perundangundangan dan putusan-putusan hukum yang berkenaan dengan ketentuanketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai
penjabarannya.42 Dengan demikian, setiap peraturan perundang-undangan
diperlukan adanya suatu asas, karena asas ini yang melandasi atau menjiwai
ataupun menghidupi peraturan perundang-undangan dan dengan asas tersebut
40
Pius A Partono dan M Dahlan, Al-Berr, Kamus Ilmiah Favorit (Jakarta : Anka,
Surabaya, 1994), hlm. 48.
41
Solly Lubis, Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas
Hukum Nasional (Jakarta : BPHN, Depkeh, 1995), hlm. 29.
42
Paul Scholten di dalam JJ. H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum (alih bahasa oleh
Arief Sidharta) (Bandung : Cipta Aditya Bhakti, 1996), hlm. 119-120.
Universitas Sumatera Utara
34
dimaksud dan tujuan peraturan menjadi jelas.43 Selanjutnya Sri Sumantri
Martosuwigjo berpendapat bahwa asas mempunyai padanan kata dengan
“beginsel” (Belanda) atau “principle” (Inggris) sebagai suatu kebenaran yang
menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir.44 Asas hukum adalah dasar normatif
untuk membedakan daya ikat normatif dan memaksa. Dengan demikian dalam
melakukan perjanjian selain memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada juga
harus memperhatikan asas-asas terdapat pada hukum perjanjian pada umumnya.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan dengan jelas
mengenai beberapa asas-asas perjanjian, diantaranya dalam Pasal 1315
menentukan asas personalia perjanjian; Pasal 1337 menentukan asas kesusilaan
dan ketertiban umum; Pasal 1338 ayat (1) menentukan asas mengikatnya
perjanjian; Pasal 1338 ayat (3) menentukan asas itikad baik; Pasal 1339
menentukan asas kepatutan dan kebiasaan. Namun menurut Rutten hanya ada tiga
asas yang sangat pokok dalam hukum perjanjian, yaitu asas konsensualisme, asas
kekuatan mengikatnya perjanjian, dan asas kebebasan berkontrak.45
Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah:
a.
Asas konsensualisme
Asas konsesualisme adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian telah
terjadi atau lahir sejak terciptanya sepakat para pihak, artinya suatu perjanjian
43
Rooseno Harjowidigji, Presfektif Peraturan Franchise (Jakarta : BPHN, 1993), hlm.
44
Sri Sumantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negar. (Bandung : Alumni, 1971),
12.
hlm. 20.
45
Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian (Semarang :
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro1982), hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
35
telah ada dan mempunyai akibat hukum dengan terciptanya kata sepakat dari para
pihak mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.46
Asas kesepakatan ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata
dinyatakan bahwa, untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: sepakat
mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu
hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Pada saat ini ada kecendrungan
mewujudkan perjanjian konsensuil dalam bentuk perjanjian tertulis baik di bawah
tangan maupun dengan akta autentik. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah
pembuktian jika dalam pelaksanaannya nanti salah satu pihak melakukan
pelanggaran. Menurut asas ini perjanjian sudah lahir atau terbentuk ketika para
pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Walaupun undangundang telah menetapkan bahwa sahnya suatau perjanjian harus dilakukan secara
tertulis (seperti perjanjian perdamaian) atau dibuat dengan akta oleh pejabat
berwenang seperti akta jual beli tanah) semua ini merupakan pengecualian.
Bentuk konsensualisme adalah suatu yang dibuat secara tertulis, salah
satunya dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari para pihak yang
melakukan perjanjian tersebut. Tanda tangan berfungsi sebagai bentuk
kesepakatan dan bentuk persetujuan atas tempat, waktu dan isi perjanjian yang
dibuat. Tanda tangan juga berkaitan dengan kesengajaan para pihak untuk
membuat suatu perjanjian sebagai bukti atas suatu peristiwa.47
46
Subekti, Op.cit., hlm. 15.
http://www.dheanbj.com/2012/09/asas-asas-hukum-perjanjian.html?m= 1 ,DheanBJ,
(terakhir di akses 9 Maret 2016).
47
Universitas Sumatera Utara
36
Adapun menurut Qirom Syamsudin, asas konsensualisme mengandung
arti bahwa dalam satu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang
membuat perjanjian itu, tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali
perjanjian yang bersifat formal.48 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa,
perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok
perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian tidaklah
sah tanpa adanya kesepakatan dari para pihak.
b.
Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, menurut ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa
semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Sumber dari asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang
merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan
untuk berkontrak.
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia
menetapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu
pihak yang membuat perjanjian, tanpa sepakat perjanjian yang dibuat dapat
dibatalkan. Menurut hukum perjanjian di Indonesia seseorang bebas untuk
membuat perjanjian dengan pihak yang di kehendaki nya. Undang-undang yang
mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,
48
A Qirom Syamsuddin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya
(Yogyakarta : Liberty, 1985), hlm. 20.
Universitas Sumatera Utara
37
pengaturan hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Dari ketentuan ini
dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia
inginkan untuk membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang
tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 1331 KUHPerdata tersebut, Maka
perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak
cakap.49
Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan
asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338
Ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua”
mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal ataupun
yang
tidak
dikenal
oleh
undang-undang.
asas
kebebasan
berkontrak
(contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan
“apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang yang dibuat
sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mempunyai
kekuatan mengikat. Dengan demikian maka asas kebebasan berkontrak adalah
salah satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan
berkontrak ini adalah perwujudan kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.50
Asas kebebasan berkontrak (contracts vrijheid atau partijautonomie)
adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan
perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas
49
http://m.kompasiana.com/post/read/238895/3/asas-kebebasan-berkontrak-dalamhukum-perjanjian-di-indonesia (terakhir diakses 2 Maret 2016)
50
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1993,
Hlm. 84.
Universitas Sumatera Utara
38
ini disimpulkan juga dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”Subekti mengatakan,
bahwa dengan menekankan kata “semua”, maka ketentuan tersebut seolah-olah
berisikan pernyataan pada masyarakat bahwa, setiap orang diperbolehkan
membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja baik yang sudah diatur
maupun yang belum diatur dalam undang-undang.
Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian
menganut sistem terbuka. Artinya macam- macam hak atas benda terbatas dan
peraturan mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum
perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban
umum dan kesusilaan.51
Pasal-Pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap (optimal
law), yang berarti bahwa Pasal-Pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki
oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka di perbolehkan
membuat ketentuan - ketentuan mereka sendiri yang menyimpang dari Pasal-Pasal
hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka
dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Asas ini dalam hukum
perjanjian di kenal dengan asas kebebasan berkontrak.
Dalam Pasal-Pasal yang mencantumkan mengenai batasan-batasan asas
kebebasan berkontrak ini dapat dibaca dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata
51
Ibid., hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
39
khususnya syarat keempat, yaitu yang mengatur mengenai suatu sebab
(oorzaak/causa ) yang diperbolehkan, di mana pengaturan persyaratan adanya
sebab yang halal (diperbolehkan) ini harus sesuai dengan (tidak bertentangan
dengan) Pasal-Pasal 1335 – 1337 KUHPerdata.
Pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu persetujuan tanpa
sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau dilarang, tidak
mempunyai kekuatan, kemudian dalam Pasal 1336 KUHPerdata
dinyatakan
bahwa jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal,
ataupun jika ada suatu sebab lain daripada yang dinyatakan, persetujuannya
namun demikian adalah sah. Sedangkan dalam Pasal 1337 KUHPerdata diatur
mengenai suatu sebab yang terlarang, yaitu apabila bertentangan dengan undangundang atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa perjanjian atau
kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para
pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa
kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat
pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh
kesepakatan para pihak. Dalam Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata dapat pula
disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh
kecakapannya untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan
undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian, sama sekali tidak
mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian. Menurut Pasal 1330
Universitas Sumatera Utara
40
KUHPerdata, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah
pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian.
Ketika membuat suatu kesepakatan, para pihak tidak boleh membuat
perjanjian yang dilarang oleh undang-undang dan yang bertentangan dengan
kesusilaan atau ketertiban umum. Jadi, bagaimanapun juga asas kebebasan
berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tetap ada batasbatasnya. Hal ini disebabkan karena kesusilaan dan hukum tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Oleh karena itulah dalam Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan
bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan ataupun ketertiban umum.
Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat
disimpulkan melalui Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa
suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para
pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat
dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik.
Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan, mempunyai
akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
c.
Asas mengikatnya perjanjian (pacta sunt servanda )
Asas mengikatnya perjanjian adalah asas yang menyatakan bahwa
perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat mereka yang membuat sebagai
undang-undang. Dengan demikian para pihak terikat dan harus melaksanakan
Universitas Sumatera Utara
41
perjanjian yang telah disepakati bersama, seperti hal keharusan untuk mentaati
undang-undang.52
Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan dari Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dijelaskan oleh
Soedikno Mertokusumo, bahwa bunyi lengkap adagium tersebut adalah pacta sunt
servanda , yang mempunyai arti bahwa kata sepakat tidak perlu dirumuskan dalam
bentuk sumpah, perbuatan atau formalitas tertentu agar menjadi kewajiban yang
mengikat.53
d.
Asas itikad baik
Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Asas
itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama dalam
membuat perjanjian, maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi
yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subjektif dapat diartikan
sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu
diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam perjanjian itu harus
didasarkan pada norma kepaturan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan patut
dalam masyarakat.54
Kemudian menurut Munir Fuady, rumusan dari Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata tersebut mengidentifikasi bahwa sebenarnya itikad baik hanya
disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan”
52
53
J. Satrio, Op.cit., hlm. 142.
Soedikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum (Yogyakarta : Liberty, 1984),
hlm. 36.
54
A. Qiroom Syamsudin, Op.cit., hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
42
suatu kontrak. Sebab unsur itikad baik dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah
dapat dicakup oleh unsur “ causa yang legal” dari Pasal 1320 tersebut.55
e.
Asas kepercayaan
Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, membutuhkan
kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memegang
janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa
adanya kepercayaan. Kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya
perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.56
f.
Asas kesetaraan
Asas ini merupakan bahwa para pihak didalam persamaan derajat, tidak
ada perbedaan walaupun ada perbedaan warna kulit, bangsa, kekayaan,
kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya
persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain
sebagai manusia ciptaan Tuhan.57
Asas ini dimaksudkan agar program kemitraan dapat memberikan
hubungan yang asli bagi semua pihak. Karena kemitraan pada hakikatnya adalah
sebuah kerjasama bisnis untuk mendapatkan tujuan tertentu dan antara pihak yang
bermitra harus memiliki kepentingan dan posisi yang sejajar dengan ketentuan ini
maka antara pembuat perjanjian atau para pihak ditekankan pada adanya
kesetaraan dalam posisi tawar atau posisi tawar menawar yang seimbang. 58
55
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2001), hlm. 81.
56
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hlm. 187.
57
Ibid., hlm. 88.
58
http://www.damandiri.or.id/file/arirahmathakimundipbab2c.pdf, (diakses 9 Maret
2016).
Universitas Sumatera Utara
43
g.
Asas unconcionability
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, unconcinability artinya bertentangan
dengan hati nurani. Perjanjian-perjanjian unconscionable seringkali digambarkan
sebagai perjanjian-perjanjian yang sedemikian tidak adil (unfair) sehingga dapat
mengguncangakan hati nurani Pengadilan (hakim) atau shock the conscience the
court. Sebenarnya terhadap asas ini tidak mungkin diberikan arti yang tepat, yang
diketahui hanyalah tujuannya yaitu untuk mencegah penindasan dan kejutan yang
tidak adil.59
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, unconcionalbility atau doktrin
ketidakadilan adalah suatu doktrin dalam ilmu hukum kontrak yang mengajarkan
bahwa suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan
manakala dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan sangat
memberatkan salah satu pihak, sungguhpun kedua belah pihak telah
menandatangani kontrak yang bersangkutan. Biasanya doktrin ketidakadilan ini
mengacu pada posisi tawar menawar dalam kontrak yang sangat berat sebelah
karena tidak terdapat pilihan dari para pihak yang dirugikan disertai dengan
klausula dalam kontrak yang sangat tidak adil sehingga memberikan keuntungan
yang tidak wajar bagi pihak yang lain.60
h.
Asas Subsidaritas
Asas subsidaritas mengandung pengertian bahwa pengusaha menengah
atau pengusaha besar merupakan salah satu faktor dalam rangka memberdayakan
59
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Pembangunan Seimbang bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit BANK di Indonesia (Jakarta : Institut Bankir, 1993), hlm.
105.
60
Meriam Barus Bahrulzaman, Op.cit., hlm. 2-53.
Universitas Sumatera Utara
44
usaha kecil tentunya sesuai dengan ketentuan kopetensi yang dimiliki dalam
mendukung mitra usahanya sehingga mampu dan dapat mengembangkan diri
menuju kemandirian.61
4.
Sumber Hukum Perjanjian
Menurut ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, perikatan bersumber dari
perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang
menurut Pasal 1352 KUHPerdata dibedakan atas perikatan yang lahir dari undangundang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia.
Kemudian perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia
menurut Pasal 1353 KUHPerdata dibedakan lagi atas perbuatan yang sesuai dengan
hukum dan perbuatan yang melawan hukum.62
Sebagaimana dikutip R. Soetojo Prawirohamidjojo dalam Hukum Perikatan
mengatakan bahwa :63
“Antara perikatan yang bersumber pada perjanjian dan perikatan yang
bersumber pada undang-undang pada hakikatnya tidak ada perbedaan, sebab semua
perikatan meskipun bersumber pada perjanjian pada hakikatnya baru mempunyai
kekuatan sebagai perikatan karena diakui oleh undang-undang dan karena mendapat
sanksi dari undang-undang.”
Vollmar, Pitlo, H. Drion dan Meyers dalam ajaran umum yang
menyatakan bahwa tidak ada pertentangan yang hakiki antara perikatan yang
bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari undang-undang.
Sebab pada akhirnya selalu undang-undang yang memberi sanksinya meskipun
yang menjadi sumbernya perjanjian. Meskipun demikian, tidak perlu ada
61
http://www.damandiri.or.id/file/arirahmathakimundipbab2c.pdf , (terakhir diakses 3
Maret 2016).
62
Ibid., hlm. 201.
63
R. Soetojo Prawirohamidjo, Hukum Perikatan (Surabaya : PT.Bina Ilmu, 1979), hlm.
26.
Universitas Sumatera Utara
45
keberatan terhadap pembagian yang didakan Pasal 1233 KUHPerdata. Pada
umumnya, para ahli hukum perdata sependapat bahwa sumber perikatan
sebagaimana disebut Pasal 1233 KUHPerdata yaitu perjanjian dan undang-undang
adalah kurang lengkap. Sumber perikatan yang lain adalah Ilmu Pengetahuan
Hukum Perdata, hukum tidak tertulis dan keputusan hakim.
Sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan
melalui perjanjian pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk membuat segala
macam perikatan.64 Perjanjian dan perikatan adalah dua hal yang berbeda,
meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Perjanjian menimbulkan
atau melahirkan perikatan, sedangkan perikatan adalah isi dari perjanjian.
Perjanjian lebih konkret daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan
didengar, sedangkan perikatan merupakan pengertian yang abstrak (hanya dalam
pikiran). Perikatan yang berasal dari undang-undang dibedakan atas perikatan
yang lahir dari :
a. undang-undang saja, adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwaperistiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum
(perikatan) di antara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari
kemauan pihak-pihak tersebut, seperti lampaunya waktu yang berakibat
bahwa seseorang mungkin terlepas dari haknya atas sesuatu atau mungkin
mendapatkan haknya atas sesuatu.
64
Ibid., hlm 202
Universitas Sumatera Utara
46
b. undang-undang karena perbuatan manusia, bahwa dengan dilakukannya
serangkaian tingkah laku seseorang maka undang-undang melekatkan
akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut.
Undang-undang karena perbuatan manusia bersumber dari perbuatan
yang sesuai dengan hukum, seperti Pasal 1354 KUHPerdata tentang zaak
warneming atau pengurusan sukareala. Contoh, dokter mengoperasi pasien dalam
keadaan darurat atau tanpa persetujuan pasien, kemudian perbuatan melawan
hukum adalah perikatan yang lahir karena undang-undang, karena orang tidak
berhati-hati sehingga merugikan orang lain. Unsur-unsur dari perbuatan melawan
hukum yaitu harus ada perbuatan, perbuatan itu harus melawan hukum, perbuatan
itu harus menimbulkan kerugian, dan perbuatan itu harus dilakukan dengan
kesalahan.65
Penjelasan di atas telah menjelaskan bahwa suatu perikatan bersumber
dari undang-undang dan perjanjian. Di dalam perikatan yang muncul karena
undang-undang, lahirnya perikatan tersebut tanpa memperhitungkan kehendak
para pihak dalam perikatan yang bersangkutan, namun kehendak itu berasal dari si
pembuat undang-undang, sekalipun ada unsur perbuatan manusia namun
perbuatan manusia itu tidaklah tertuju kepada akibat hukum (perikatan) yang
muncul antara mereka sebagai akibat perbuatan mereka, sehingga dapat dikatakan
bahwa pada umumnya mereka sama sekali tidak mengendaki akibat hukum
seperti itu. Berbeda dengan perikatan yang lahir karena perjanjian, perikatan ini
lahir karena para pihak yang menghendakinya dan para pihak tertuju kepada
65
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia cetakan pertama (Yogyakarta :
Pustaka Yustisia, 2009), hlm 69.
Universitas Sumatera Utara
47
akibat hukum tertentu yang mereka kehendaki, dengan kata lain munculnya
perikatan yang bersumber dari perjanjian sebagai akibat hukum dari perjanjian
yang mereka tutup.66
5. Syarat sah perjanjian
Syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata yang berbunyi untuk sahnya perjanjian-perjanjian , diperlukan empat
syarat:
1.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.
Suatu pokok persoalan tertentu.
4.
Suatu sebab yang terlarang
Syarat kata sepakat dan kecakapan para pihak disebut sebagai syarat
subjektif karena menyangkut orang-orang yang membuat perjanjian tersebut,
sementara dua syarat yang terakhir dinamanakan syarat objektif karena mengenai
perjanjiannya sendiri.67
a.
Kata sepakat
Kata sepakat merupakan hal yang pertama kali harus ada dalam suatu
proses pembuatan perjanjian. Tanpa kesepakatan para pihak pembuat perjanjian,
keabsahan suatu perjanjian dapat dipertanyakan. Kata sepakat atau kesepakatan
para pihak menunjuk pada keadaan dimana kehendak para pihak saling diterima
satu sama lain. Kedua belah pihak menerima dan tidak menolak untuk memenuhi
apa yang menjadi keinginan pihak lawannya. Mereka menghendaki sesuatu yang
66
67
Ibid., hlm 75.
Subekti, Op.cit., hlm. 17.
Universitas Sumatera Utara
48
sama secara timbal balik. Dengan adanya kata sepakat, maka perjanjian itu telah
ada. Sejak saat itu pula perjanjian mengikat kedua belah pihak dan dapat
dilaksanakan.
Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian berlaku sebagai
undang-undang bagi para pembuatnya. Ketentuan ini menjelaskan bahwa
perjanjian memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak pembuatnya dan tidak
dapat ditarik kembali secara sepihak, atau karena alasan-alasan yang
diperbolehkan oleh undang-undang.
Secara umum keabsahan suatu perjanjian di Indonesia yang diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata tidak terlalu berbeda jauh dengan persyaratanpersyaratan yang diatur dalam common law yang menentukan keabsahan suatu
perjanjian harus ada penawaran (offer ), penerimaan (acceptance), capacity,
consideration, lawful cause dan intention to create legal relation. Syarat
keabsahan perjanjian dari syarat penawaran ( offer ) dan penerimaan (acceptance)
dalam proses terbentuknya suatu perjanjian. Sebab terjadinya suatu kesepakatan
dalam suatu perjanjian selalu diawali dengan proses penawaran dan penerimaan,
sehingga pada saat penawaran yang disampaikan oleh pihak yang mengajukan
penawaran (offeror ) diterima oleh pihak yang menjadi tujuan penawaran ( offeree)
maka pada saat itulah terjadi kesepakatan diantara para pihak yang akan terikat
dalam suatu perjanjian. Tidaklah mudah untuk menentukan terjadinya suatu
Universitas Sumatera Utara
49
penawaran karena perlu adanya kategori atau kriteria tertentu untuk dapat
dikatakan sebagai suatu penawaran.68
Kesepakatan merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Suatu
kehendak saja tidak serta merta menimbulkan perjanjian. Kehendak tersebut harus
terlebih dahulu dinyatakan atau disampaikan oleh pihak yang satu kepada pihak
yang lain secara timbal balik. Suatu kesepakatan diawali dengan penawaran, yang
merupakan pernyataan kehendak dari satu pihak kepada pihak lawan. Penawaran
tersebut kemudian diikuti dengan pernyataan kehendak dari pihak lawan baik
penawaran maupun penerimaan adalah perbuatan hukum sepihak. Perjumpaan
dari kedua perbuatan hukum sepihak inilah yang kemudian membentuk suatu
perjanjian yang merupakan perbuatan hukum timbal balik.
Hal ini sejalan dengan pendapat Herlien Budiono bahwa penawaran
adalah usulan yang disampaikan kepada pihak lainnya untuk membuat suatu
perjanjian dan ketika usulan tersebut diterima, akan timbul dan terbentuk
perjanjian.
Pada dasarnya penawaran dan penerimaan tidak harus dilakukan
dalam bentuk tertentu. Pernyataan penawaran dan penerimaan dapat dilakukan
secara tegas, baik secara lisan maupun tulisan. Namun dalam beberapa hal
pernyataan tersebut juga dapat dilakukan secara diam-diam. Bahkan dalam
keadaan tertentu sikap berdiam diri atau tidak berbuat dapat diartikan sebagai
suatu penerimaan.69
68
Samuel M.P. Hutabarat, Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian
(Jakarta : Grasindo, 2012), hlm. 8.
69
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, (Bandung: Citra Aditya, 2010), hlm. 74
Universitas Sumatera Utara
50
Salah satu syarat sahnya perjanjian, kesepakatan memegang peran
penting dalam proses terbentuknya suatu perjanjian. Untuk itu dapat dengan
mudah mengenali terjadinya kesepakatan apabila terdapat kesesuaian antara
penawaran dan penerimaan. Namun akan timbul suatu masalah apabila tidak
terdapat kesesuaian antara penawaran dan penerimaan, misalnya terdapat
kesalahan dalam menuliskan jumlah pesanan.
b.
Kecakapan
Para pihak dalam suatu perjanjian haruslah memenuhi syarat kecakapan
yang ditentukan oleh hukum. Menurut Subekti, pada asasnya, setiap orang yang
sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.70 Dalam Pasal
1330 KUHPerdata, mereka yang dikategorikan sebagai tidak memenuhi syarat
adalah:
1) orang-orang yang belum dewasa.
2) mereka yang ditaruh dalam pengampuan.
3) orang perempuan dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang, dan
semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.71
Atas dua syarat sah yang pertama ini disebut sebagai syarat subjektif, jika
tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian maka perjanjian yang dibuat dapat
dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Pihak yang dapat meminta
70
Subekti, Ibid., hlm. 17.
Ketentuan ini telah dicabut melalui Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1963 jo
Surat edaran Mahkamah Agung No 3. Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 dan juga tidak lagi
ditemukan pengaturan yang sedemikian dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UUP).
71
Universitas Sumatera Utara
51
pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang tidak memberikan
perizinannya secara tidak bebas.72
c.
Hal tertentu
Syarat sahnya perjanjian yang berikutnya adalah perjanjian yang dibuat
haruslah mengenai sesuatu hal tertentu. Hal tertentu dalam suatu perjanjian
mengacu pada obyek perjanjiannya. Pasal 1333 KUHPerdata memberikan
penjelasan mengenai hal tertentu bahwa untuk perjanjian yang mengenai barang
paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat
ditentukan kemudian.
Undang-undang tidak mewajibkan bahwa objek perjanjian harus telah
ada ketika perjanjian dibuat, demikian juga mengenai jumlah dari objek perjanjian
tersebut dapat ditentukan kemudian, hanya diwajibkan bahwa objek perjanjian
haruslah dapat dihitung atau ditetapkan.
d.
Sebab yang halal
Syarat yang terakhir untuk membuat suatu perjanjian menjadi sah
menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah harus terpenuhinya unsur sebab yang
halal. Sebab yang halal mengacu pada isi perjanjian. Undang-undang tidak
menjelaskan sebab yang halal sebagai niat para pihak sebelum membuat
perjanjian tersebut. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang ada dalam
gagasan apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang dicita-citakan
seseorang.73
72
73
Subekti,Op.cit., hlm. 20.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
52
Menurut Pasal 1339 Kitab KUHPerdata yang dimaksud sebagai sebab
yang halal dalam suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian yang dibuat tidak
bertentangan dengan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan
baik.74
Sebab yang halal dalam suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu
sendiri.75 Perjanjian memperkerjakan anak dibawah umur tanpa persetujuan orang
tua atau walinya menjadi salah dan tidak memenuhi unsur sebab yang halal karena
bertentangan dengan kesusilaan baik, ketertiban umum dan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semua perjanjian yang yang
tidak memenuhi sebab yang halal akibatnya perjanjian menjadi batal demi hukum
(null and void).
Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan: “Suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik
atau ketertiban umum.” Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan : “Suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi
juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang.”
75
Subekti, Ibid., hlm. 20.
74
Universitas Sumatera Utara
53
B. Perjanjian Kemitraan
1. Pengertian dan unsur perjanjian kemitraan
Kemitraan memiliki pengertian yang beragam sebagaimana dikemukakan
oleh banyak sarjana. Menurut Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia 76 kata
mitra memiliki arti teman, kawan kerja, pasangan kerja, rekan, sedangkan
“kemitraan adalah perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra”.
Dengan pendapat senada, Fletcher77 mengemukakan “partnership is the relation
which subsists between persons carrying on a business in common with a view of
profit.” Kedua sarjana di atas menekankan kemitraan sebagai sebuah hubungan
atau relasi, meskipun Fletcher menambahkan tujuan dari kemitraan, yaitu
keuntungan, dalam definisinya.
Sedangkan menurut Wie kemitraan merupakan kerjasama usaha antara
perusahaan besar atau menengah yang bergerak di sektor produksi barang-barang
maupun di sektor jasa dengan industri kecil berdasarkan atas asas saling
membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. 78
Pendapat lain dikemukakan oleh Hafsah79 yang menyebutkan:
“Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak
atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan
bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.
Karena merupakan strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat
ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam
menjalankan etika bisnis.”
76
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Cetakan Ketiga (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), hlm. 588.
77
Keint L Fletcher, The Law of Partnership (Sidney: The Law Book Company Limited,
1987), hlm. 27.
78
Thee Kian Wie. Ed. Dialog Kemitraan dan Keterkaitan Usaha Besar dan Kecil dalam
Sektor Industri Pengolahan (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm 3.
79
Muhammad Jafar Hafsah, Kemitraan Usaha (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999),
hlm. 43.
Universitas Sumatera Utara
54
Selain itu, Linton80 berpendapat:
“Kemitraan adalah sebuah cara melakukan bisnis di mana pemasok dan
pelanggan berniaga satu sama lain untuk mencapai tujuan bisnis
bersama”.
Kedua sarjana terakhir di atas, pengertian kemitraan lebih ditekankan
pada sebagai suatu strategi atau cara melakukan bisnis untuk dari pihak yang
bermitra untuk mencapai tujuan (keuntungan) bersama. Meskipun Hafsah
menambahkan dalam definisi bahwa strategi bisnis tersebut dilandasi prinsip
saling membutuhkan dan membesarkan.
Pengertian tentang kemitraan yang
secara spesifik menyangkut aspek hukum sebagaimana terdapat dalam bla ck’s law
dictionary.
black’s law dictionary81 menyebutkan bahwa kemitraan (partnership)
adalah:
“A voluntary contract between two or more competent persons to place
their money, effects, labor, and skill, or some or all of them, in lawful
commerce or business, with the
understanding that there shall be a
proportional sharing of the profits and losses between the m.”
Pengertian dalam kamus tersebut di atas, dapat diketahui adanya
penekanan bahwa kemitraan merupakan kontrak yang dibuat secara sukarela. Dua
orang atau lebih yang kompeten yang bermitra dapat menempatkan dana, tenaga,
dan atau keterampilannya, dengan pemahaman akan adanya pembagian
proporsional keuntungan atau kerugian di antara mitra. Berbagai pandangan dan
80
Ian Linton, Kemitraan Meraih Keuntungan Bersama (Jakarta: Halirang, 1997),
hlm.10.
81
Black's
Law
Dictionary, What is Partnership, http:// thelawdictionary.
org/partnership/, (diakses pada tanggal 8 Januari 2016).
Universitas Sumatera Utara
55
pendapat sarjana di atas terdapat kesamaan sekaligus perbedaan dalam
mendefinisikan kemitraan.
Undang- undang Republik Indonesia tentang Usaha Kecil 82 :
“Kemitraan adalah kerja sama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha
Menengah
atau
dengan
Usaha
Besar
disertai
pembinaan
dan
pengembangan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan
memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan
saling menguntungkan.”
Semua pengertian tentang kemitraan yang diuraikan di atas, baik dari
para sarjana maupun yang tertera dalam peraturan perundang-undangan,
menunjukkan adanya titik penekanan yang sama maupun berbeda satu sama lain.
Pengertian yang lebih lengkap dan sempurna dapat dirumuskan apabila
pengertian-pengertian yang ada tersebut dipadukan.
Mengacu pada berbagai pendapat dan ketentuan di atas, Penulis
berpendapat bahwa pengertian kemitraan yang lebih padu dan lengkap adalah
kerja sama usaha yang merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak
atau lebih dengan
memanfaatkan sumber daya yang dimiliki yang dilandasi
prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.
Pengertian ini, sebagai sebuah strategi bisnis, sumber daya yang dimiliki oleh dua
pihak atau lebih yang bermitra akan dimanfaatkan dengan prinsip saling
memerlukan dan engan demikian diharapkan usaha atau bisnis para pihak akan
menguat serta mendapatkan keuntungan.
82
Republik Indonesia, Undang-undang tentang Usaha Kecil, UU Nomor 9 Tahun 1995,
Pasal 1 angka 8.
Universitas Sumatera Utara
56
Unsur pembinaan dan pengembangan dengan sendirinya sudah termaktub
dalam prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.
Merujuk pada pengertian kem
PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEMITRAAN DALAM HUKUM
DI INDONESIA
A. Perjanjian Pada Umumnya
1.
Pengertian Perjanjian
Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan
hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan
hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada
pihak lain untuk menunaikan prestasi. Perjanjian merupakan sumber terpenting
yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki
oleh dua orang atau satu pihak yang membuat perjanjian, sedangakan perikatan
yang lahir dari undang-undang di buat atas dasar kehendak yang saling
berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak.25 Dalam
bahasa Belanda perjanjian disebut juga overeenkomstenrecht.26
Pengertian singkat diatas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang
memberi
wujud
pengertian
perjanjian,
antara
lain
hubungan
hukum
(rechtsbetreking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)
atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain
tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjian (verbintenis) adalah hubungan
hukum rechtsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara
perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum
25
Suharnoko, Hukum Perjanjian (Jakarta : Prenada Media, 2004), hlm. 117.
C.s.t. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata (Jakarta :
Pradnya Paramita, 2006), hlm. 10.
26
24
Universitas Sumatera Utara
25
antara perorangan/ persoon adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam
lingkungan hukum . Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan
suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai
dalam harta benda kekeluargaan.27
Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain.
Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk
melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan
persetujuan) itu adalah sama artinya.28
Buku III KUHPerdata berjudul “Perihal Perikatan” Perkataan Perikatan
(verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian” sebab
dalam buku III itu, diatur juga prihal hubungan hukum yang sama sekali tidak
bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu prihal perikatan yang
timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perikatan
yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari buku III ditujukan pada
perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan
hukum perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh buku III
KUHPerdata ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda)
antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang
sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan
memenuhi tuntutan itu.29
27
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 6-7.
Subekti, Hukum Perjanjian (Bandung : Intermasa, 2002), hlm. 1.
29
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Bandung : Intermasa, 1982), hlm. 122-123.
28
Universitas Sumatera Utara
26
Undang-undang perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata yang
mengatur tentang perikatan. Hal ini karena perjanjian merupakan salah satu
peristiwa yang melahirkan hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua pihak yang disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban
(perikatan). Definisi perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata
dinyatakan bahwa “Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.”
J. Satrio mengatakan perjanjian adalah perbuatan hukum dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau
dimana satu orang lain atau lebih saling mengikatkan dirinya.” 30 Dengan
pertimbangan agar perbuatan-perbuatan yang tidak mengandung unsur kehendak
atas akibatnya tidak masuk dalam cakupan perumusan, seperti perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad), perwakilan sukarela (zaakwarneming) dan agar
perjanjian timbal balik bisa tercakup dalam perumusan tersebut.
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal.31
Menurut M. Yahya Harahap, mengemukakan Perjanjian atau verbintenis
mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang
30
31
J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1996), hlm 12.
Subekti, Op.cit., hlm 9.
Universitas Sumatera Utara
27
atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.32
Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah
sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam
mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau
tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan
janji itu.33 Perjanjian tidak terjadi seketika atau serta merta dan perjanjian dibuat
untuk dilaksanakan, oleh karena itu dalam suatu perjanjian yang dibuat selalu
terdapat tahapan yaitu:
a. pracontractual,
yaitu
perbuatan-perbuatan
yang mencakup
dalam
negosiasi dengan kajian tentang penawaran dan penerimaan;
b. contractual, yaitu tentang bertemunya dua pernyataan kehendak yang
saling mengikat kedua belah pihak;
c. post-contractual, yaitu tahap pada pelaksanaan hak-hak dan kewajibankewajiban yang hendak diwujudkan melalui perjanjian tersebut.34
Perjanjian terdapat unsur janji, janji yang diberikan oleh pihak yang satu
kepada pihak yang lain. Kalau orang terikat pada suatu kewajiban, yang
diletakkan pada dirinya atas dasar, bahwa undang-undang menentukan demikian
seperti onrechtmatigedaad tidak dapat dikatakan, bahwa ia menjanjikan hal
seperti itu dan karenanya tak mungkin didasarkan atas suatu perjanjian. Dalam
32
M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 6.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian (Bandung : Sumur, 1981), hlm. 9.
34
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Jakarta : Sinar
Grafika,2003), hlm. 16.
33
Universitas Sumatera Utara
28
perjanjian orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya
sendiri.
2.
Jenis-Jenis perjanjian
KUHPerdata mengenal adanya beberapa jenis perjanjian, antara lain :
a. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban
Dikatakan dengan perjanjian cuma-cuma adalah “suatu persetujuan dengan
mana pihak yang satu memberi suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa
menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri”. 35Abdulkadir Muhammad
mendefenisikan perjanjian ini dengan “perjanjian percuma, yaitu perjanjian
yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja.”36 Kata “memberi
keuntungan” sebenarnya lebih tepat kalau diganti dengan kata “prestasi”,
karena apakah prestasi tersebut pada akhirnya menguntungkan atau tidak,
tidak menjadi soal. Sedangkan pada pihak lain, terhadap prestasi yang satu,
tidak ada kewajiban apa-apa. Kemudian yang termasuk di dalam perjanjian
cuma-cuma adalah perjanjian-perjanjian dimana memang ada prestasi pada
kedua belah pihak, tetapi prestasi yang satu adalah tidak seimbang atau
sebanding, sehingga prestasi itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu kontra
prestasi terhadap yang lain.
Masalah lain adalah apabila terhadap prestasi yang satu ada kontra prestasi
pada pihak lain, yang walaupun tidak seimbang, tidak dapat dikatakan bahwa
disana tidak ada kontra prestasi sama sekali. Menurut Vollmar, hal ini sering
disebut dengan “perjanjian campuran”, yaitu antara perjanjian cuma-cuma
35
J. Satrio., Hukum Perikatan, Perikatan Lahir Dari Perjanjian (Bandung : Citra Aditya
Bakti,1995). hlm. 38.
36
Abdulkadir Muhammad., Op.Cit,. hlm. 87.
Universitas Sumatera Utara
29
dengan perjanjian atas beban.37Menurut Pasal 1314 ayat 2 (dua)
KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian atas beban adalah “suatu
perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”. Perbedaan antara perjanjian
cuma-cuma dengan perjanjian atas beban, yaitu bahwa pada perjanjian
cuma-cuma, untuk menuntut pembatalan perjanjian yang merugikan
kreditur, yang telah ditutup oleh debitur, debitur tahu bahwa perbuatan
merugikan kreditur dan debitur itu sendiri tidak mau tahu apakah
perbuatannya itu diketahui atau tidak. Sedangkan pada perjanjian atas
beban, debitur wajib membuktikan dulu, apakah baik debitur atau pihak
ketiga yang mendapat keuntungan tahu bahwa perjanjian yang dituntut
pembatalannya merugikan kreditur.
b. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah
pihak berprestasi secara timbal balik, misalnya perjanjian jual beli, sewa
menyewa dan tukar-menukar. Sedangkan perjanjian sepihak adalah
perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu berprestasi dan memberi hak
kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi, misalnya perjanjian
hibah.38
Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak akan memperoleh
hak dan akan melaksanakan kewajibannya.
37
J. Satrio, Op.Cit., hlm. 149.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung : Citra Aditya Bakti,
2000), hlm. 227.
38
Universitas Sumatera Utara
30
Kriteria kewajiban untuk berprestasi bagi kedua belah pihak. Perjanjian
sepihak, yang mempunyai kewajiban untuk berprestasi adalah hanya satu
pihak saja, dan pihak yang lain hanya berhak untuk menerima prestasi dari
pihak yang satu, misalnya dalam perjanjian hibah, A berkewajiban
memberikan benda yang dihibahkannya kepada B. Kewajiban tersebut
merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh si A. dalam hal ini bank
hanya berhak untuk menerima benda yang dihibahkan oleh si A.
c. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara
kedua pihak sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan.
Dengan perkataan lain, perjanjian itu timbul cukup dengan adanya
kesepakatan diantara para pihak. Dalam perjanjian riil, kesepakatan itu
tidak cukup untuk dijadikan sebagai dasar timbulnya suatu perjanjian,
tetapi juga harus diikuti dengan penyerahan barang yang menjadi objek
perjanjian tersebut barulah dapat dikatakan perjanjian itu ada.
d. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama
Ada perbedaan dalam jenis perjanjian ini dilihat dari jumlah perjanjian.
Mengingat jumlah perjanjian yang memiliki nama jumlahnya hanya
terbatas, maka dalam praktek hukumnya disebut dengan perjanjian
bernama, yaitu perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang
dikelompokkan ke dalam perjanjian khusus. Sedangkan perjanjian tidak
Universitas Sumatera Utara
31
bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan
dilihat dari jumlahnya tidak terbatas.39
e. Perjanjian kebendaan
Seperti diketahui bahwa perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk
memindahkan hak milik dalam perjanjian yang objeknya menyangkut
dengan kebendaan. Sedangkan perjanjian obligator adalah merupakan
realisasi dari perjanjian kebendaan tersebut, dalam arti perjanjian yang
menimbulkan perikatan.
Tujuan Kebendaan ini adalah untuk mengetahui keberadaan dalam
perjanjian tersebut sebagai realisasi, perjanjian, dan penyerahan itu sah
menurut hukum atau tidak.
f. Perjanjian obligatoir
Perjanjian
obligatoir
adalah
perjanjian
antara
pihak-pihak
yang
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian jual beli saja belum
mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk
beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain,
yaitu penyerahan. Perjanjian jual beli itu dinamakan perjanjian obligatoir
karena membebankan kewajiban kepada para pihak untuk melakukan
penyerahan.
g. Perjanjian yang bersifat hukum keluarga
39
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
32
Walaupun perkawinan di dalam hukum perdata diatur dalam buku II Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, namun kalau dilihat dari proses terjadinya
perkawinan itu, maka perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk
perjanjian. Dimana dengan adanya perkawinan itu secara hukum dapat atau
akan menimbulkan akibat hukum lagi bagi kedua belah pihak. Namun akibat
hukum dalam perjanjian perkawinan ini hanya menyangkut dengan akibat
hukum dalam keluarga
saja. Perkawinan timbul karena adanya
kesepakatan diantara pihak pria dan wanita dan menimbulkan hak dan
kewajiban sebagai ikatan lahir dan batin. Hal tersebut sama halnya dengan
syarat-syarat dalam perjanjian. Bahkan dalam perkawinan para pihak yang
akan mengadakan perjanjian perkawinan tersebut telah ditentukan, seperti
antara pria dan wanita, tidak boleh sedarah dan sebagainya.
Mengingat bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang menimbulkan
hak dan kewajiban yang bersifat pribadi antara suami dan istri, kemudian
hak dan kewajiban tersebut bukan merupakan kehendak dari undangundang atau ketentuan hukum yang mengaturnya, maka secara juridis
dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan perjanjian sebagaimana yang
diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak berlaku
bagi hak dan kewajiban suami dan istri yang terikat dalam suatu
perkawinan.
Banyak lagi perjanjian-perjanjian yang terjadi di dalam masyarakat yang
sesuai inteprestasi realitanya dianggap sebagai perjanjian, namun secara
Universitas Sumatera Utara
33
juridis tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian sebagaimana yang
diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3.
Asas-Asas Perjanjian
Hukum perjanjian mengatur beberapa prinsip atau asas sebagai suatu
landasan pikir dan pandangan untuk menginterprestasikan maksud yang
terkandung dari ketentuan hukum perjanjian itu, dimana asas-asas tersebut
merupakan pedoman bagi para pihak pembuat Undang-undang dalam menentukan
sikap untuk membuat peraturan hukum. Didalam kamus ilmiah asas
diterjemahkan sebagai pokok, dasar, dan pundamen.40 Sedangkan Solly Lubis
menyatakan asas adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilainilai yang disyaratkan menjadi landasan antara hubungan sesama anggota
masyarakat.41
Asas ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan belakang
sistem hukum masing-masing dirumuskan kedalam aturan-aturan perundangundangan dan putusan-putusan hukum yang berkenaan dengan ketentuanketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai
penjabarannya.42 Dengan demikian, setiap peraturan perundang-undangan
diperlukan adanya suatu asas, karena asas ini yang melandasi atau menjiwai
ataupun menghidupi peraturan perundang-undangan dan dengan asas tersebut
40
Pius A Partono dan M Dahlan, Al-Berr, Kamus Ilmiah Favorit (Jakarta : Anka,
Surabaya, 1994), hlm. 48.
41
Solly Lubis, Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas
Hukum Nasional (Jakarta : BPHN, Depkeh, 1995), hlm. 29.
42
Paul Scholten di dalam JJ. H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum (alih bahasa oleh
Arief Sidharta) (Bandung : Cipta Aditya Bhakti, 1996), hlm. 119-120.
Universitas Sumatera Utara
34
dimaksud dan tujuan peraturan menjadi jelas.43 Selanjutnya Sri Sumantri
Martosuwigjo berpendapat bahwa asas mempunyai padanan kata dengan
“beginsel” (Belanda) atau “principle” (Inggris) sebagai suatu kebenaran yang
menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir.44 Asas hukum adalah dasar normatif
untuk membedakan daya ikat normatif dan memaksa. Dengan demikian dalam
melakukan perjanjian selain memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada juga
harus memperhatikan asas-asas terdapat pada hukum perjanjian pada umumnya.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan dengan jelas
mengenai beberapa asas-asas perjanjian, diantaranya dalam Pasal 1315
menentukan asas personalia perjanjian; Pasal 1337 menentukan asas kesusilaan
dan ketertiban umum; Pasal 1338 ayat (1) menentukan asas mengikatnya
perjanjian; Pasal 1338 ayat (3) menentukan asas itikad baik; Pasal 1339
menentukan asas kepatutan dan kebiasaan. Namun menurut Rutten hanya ada tiga
asas yang sangat pokok dalam hukum perjanjian, yaitu asas konsensualisme, asas
kekuatan mengikatnya perjanjian, dan asas kebebasan berkontrak.45
Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah:
a.
Asas konsensualisme
Asas konsesualisme adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian telah
terjadi atau lahir sejak terciptanya sepakat para pihak, artinya suatu perjanjian
43
Rooseno Harjowidigji, Presfektif Peraturan Franchise (Jakarta : BPHN, 1993), hlm.
44
Sri Sumantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negar. (Bandung : Alumni, 1971),
12.
hlm. 20.
45
Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian (Semarang :
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro1982), hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
35
telah ada dan mempunyai akibat hukum dengan terciptanya kata sepakat dari para
pihak mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.46
Asas kesepakatan ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata
dinyatakan bahwa, untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: sepakat
mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu
hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Pada saat ini ada kecendrungan
mewujudkan perjanjian konsensuil dalam bentuk perjanjian tertulis baik di bawah
tangan maupun dengan akta autentik. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah
pembuktian jika dalam pelaksanaannya nanti salah satu pihak melakukan
pelanggaran. Menurut asas ini perjanjian sudah lahir atau terbentuk ketika para
pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Walaupun undangundang telah menetapkan bahwa sahnya suatau perjanjian harus dilakukan secara
tertulis (seperti perjanjian perdamaian) atau dibuat dengan akta oleh pejabat
berwenang seperti akta jual beli tanah) semua ini merupakan pengecualian.
Bentuk konsensualisme adalah suatu yang dibuat secara tertulis, salah
satunya dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari para pihak yang
melakukan perjanjian tersebut. Tanda tangan berfungsi sebagai bentuk
kesepakatan dan bentuk persetujuan atas tempat, waktu dan isi perjanjian yang
dibuat. Tanda tangan juga berkaitan dengan kesengajaan para pihak untuk
membuat suatu perjanjian sebagai bukti atas suatu peristiwa.47
46
Subekti, Op.cit., hlm. 15.
http://www.dheanbj.com/2012/09/asas-asas-hukum-perjanjian.html?m= 1 ,DheanBJ,
(terakhir di akses 9 Maret 2016).
47
Universitas Sumatera Utara
36
Adapun menurut Qirom Syamsudin, asas konsensualisme mengandung
arti bahwa dalam satu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang
membuat perjanjian itu, tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali
perjanjian yang bersifat formal.48 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa,
perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok
perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian tidaklah
sah tanpa adanya kesepakatan dari para pihak.
b.
Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, menurut ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa
semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Sumber dari asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang
merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan
untuk berkontrak.
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia
menetapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu
pihak yang membuat perjanjian, tanpa sepakat perjanjian yang dibuat dapat
dibatalkan. Menurut hukum perjanjian di Indonesia seseorang bebas untuk
membuat perjanjian dengan pihak yang di kehendaki nya. Undang-undang yang
mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,
48
A Qirom Syamsuddin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya
(Yogyakarta : Liberty, 1985), hlm. 20.
Universitas Sumatera Utara
37
pengaturan hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Dari ketentuan ini
dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia
inginkan untuk membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang
tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 1331 KUHPerdata tersebut, Maka
perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak
cakap.49
Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan
asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338
Ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua”
mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal ataupun
yang
tidak
dikenal
oleh
undang-undang.
asas
kebebasan
berkontrak
(contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan
“apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang yang dibuat
sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mempunyai
kekuatan mengikat. Dengan demikian maka asas kebebasan berkontrak adalah
salah satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan
berkontrak ini adalah perwujudan kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.50
Asas kebebasan berkontrak (contracts vrijheid atau partijautonomie)
adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan
perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas
49
http://m.kompasiana.com/post/read/238895/3/asas-kebebasan-berkontrak-dalamhukum-perjanjian-di-indonesia (terakhir diakses 2 Maret 2016)
50
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1993,
Hlm. 84.
Universitas Sumatera Utara
38
ini disimpulkan juga dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”Subekti mengatakan,
bahwa dengan menekankan kata “semua”, maka ketentuan tersebut seolah-olah
berisikan pernyataan pada masyarakat bahwa, setiap orang diperbolehkan
membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja baik yang sudah diatur
maupun yang belum diatur dalam undang-undang.
Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian
menganut sistem terbuka. Artinya macam- macam hak atas benda terbatas dan
peraturan mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum
perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban
umum dan kesusilaan.51
Pasal-Pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap (optimal
law), yang berarti bahwa Pasal-Pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki
oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka di perbolehkan
membuat ketentuan - ketentuan mereka sendiri yang menyimpang dari Pasal-Pasal
hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka
dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Asas ini dalam hukum
perjanjian di kenal dengan asas kebebasan berkontrak.
Dalam Pasal-Pasal yang mencantumkan mengenai batasan-batasan asas
kebebasan berkontrak ini dapat dibaca dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata
51
Ibid., hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
39
khususnya syarat keempat, yaitu yang mengatur mengenai suatu sebab
(oorzaak/causa ) yang diperbolehkan, di mana pengaturan persyaratan adanya
sebab yang halal (diperbolehkan) ini harus sesuai dengan (tidak bertentangan
dengan) Pasal-Pasal 1335 – 1337 KUHPerdata.
Pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu persetujuan tanpa
sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau dilarang, tidak
mempunyai kekuatan, kemudian dalam Pasal 1336 KUHPerdata
dinyatakan
bahwa jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal,
ataupun jika ada suatu sebab lain daripada yang dinyatakan, persetujuannya
namun demikian adalah sah. Sedangkan dalam Pasal 1337 KUHPerdata diatur
mengenai suatu sebab yang terlarang, yaitu apabila bertentangan dengan undangundang atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa perjanjian atau
kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para
pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa
kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat
pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh
kesepakatan para pihak. Dalam Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata dapat pula
disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh
kecakapannya untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan
undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian, sama sekali tidak
mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian. Menurut Pasal 1330
Universitas Sumatera Utara
40
KUHPerdata, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah
pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian.
Ketika membuat suatu kesepakatan, para pihak tidak boleh membuat
perjanjian yang dilarang oleh undang-undang dan yang bertentangan dengan
kesusilaan atau ketertiban umum. Jadi, bagaimanapun juga asas kebebasan
berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tetap ada batasbatasnya. Hal ini disebabkan karena kesusilaan dan hukum tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Oleh karena itulah dalam Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan
bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan ataupun ketertiban umum.
Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat
disimpulkan melalui Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa
suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para
pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat
dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik.
Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan, mempunyai
akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
c.
Asas mengikatnya perjanjian (pacta sunt servanda )
Asas mengikatnya perjanjian adalah asas yang menyatakan bahwa
perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat mereka yang membuat sebagai
undang-undang. Dengan demikian para pihak terikat dan harus melaksanakan
Universitas Sumatera Utara
41
perjanjian yang telah disepakati bersama, seperti hal keharusan untuk mentaati
undang-undang.52
Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan dari Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dijelaskan oleh
Soedikno Mertokusumo, bahwa bunyi lengkap adagium tersebut adalah pacta sunt
servanda , yang mempunyai arti bahwa kata sepakat tidak perlu dirumuskan dalam
bentuk sumpah, perbuatan atau formalitas tertentu agar menjadi kewajiban yang
mengikat.53
d.
Asas itikad baik
Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Asas
itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama dalam
membuat perjanjian, maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi
yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subjektif dapat diartikan
sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu
diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam perjanjian itu harus
didasarkan pada norma kepaturan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan patut
dalam masyarakat.54
Kemudian menurut Munir Fuady, rumusan dari Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata tersebut mengidentifikasi bahwa sebenarnya itikad baik hanya
disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan”
52
53
J. Satrio, Op.cit., hlm. 142.
Soedikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum (Yogyakarta : Liberty, 1984),
hlm. 36.
54
A. Qiroom Syamsudin, Op.cit., hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
42
suatu kontrak. Sebab unsur itikad baik dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah
dapat dicakup oleh unsur “ causa yang legal” dari Pasal 1320 tersebut.55
e.
Asas kepercayaan
Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, membutuhkan
kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memegang
janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa
adanya kepercayaan. Kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya
perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.56
f.
Asas kesetaraan
Asas ini merupakan bahwa para pihak didalam persamaan derajat, tidak
ada perbedaan walaupun ada perbedaan warna kulit, bangsa, kekayaan,
kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya
persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain
sebagai manusia ciptaan Tuhan.57
Asas ini dimaksudkan agar program kemitraan dapat memberikan
hubungan yang asli bagi semua pihak. Karena kemitraan pada hakikatnya adalah
sebuah kerjasama bisnis untuk mendapatkan tujuan tertentu dan antara pihak yang
bermitra harus memiliki kepentingan dan posisi yang sejajar dengan ketentuan ini
maka antara pembuat perjanjian atau para pihak ditekankan pada adanya
kesetaraan dalam posisi tawar atau posisi tawar menawar yang seimbang. 58
55
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2001), hlm. 81.
56
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hlm. 187.
57
Ibid., hlm. 88.
58
http://www.damandiri.or.id/file/arirahmathakimundipbab2c.pdf, (diakses 9 Maret
2016).
Universitas Sumatera Utara
43
g.
Asas unconcionability
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, unconcinability artinya bertentangan
dengan hati nurani. Perjanjian-perjanjian unconscionable seringkali digambarkan
sebagai perjanjian-perjanjian yang sedemikian tidak adil (unfair) sehingga dapat
mengguncangakan hati nurani Pengadilan (hakim) atau shock the conscience the
court. Sebenarnya terhadap asas ini tidak mungkin diberikan arti yang tepat, yang
diketahui hanyalah tujuannya yaitu untuk mencegah penindasan dan kejutan yang
tidak adil.59
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, unconcionalbility atau doktrin
ketidakadilan adalah suatu doktrin dalam ilmu hukum kontrak yang mengajarkan
bahwa suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan
manakala dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan sangat
memberatkan salah satu pihak, sungguhpun kedua belah pihak telah
menandatangani kontrak yang bersangkutan. Biasanya doktrin ketidakadilan ini
mengacu pada posisi tawar menawar dalam kontrak yang sangat berat sebelah
karena tidak terdapat pilihan dari para pihak yang dirugikan disertai dengan
klausula dalam kontrak yang sangat tidak adil sehingga memberikan keuntungan
yang tidak wajar bagi pihak yang lain.60
h.
Asas Subsidaritas
Asas subsidaritas mengandung pengertian bahwa pengusaha menengah
atau pengusaha besar merupakan salah satu faktor dalam rangka memberdayakan
59
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Pembangunan Seimbang bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit BANK di Indonesia (Jakarta : Institut Bankir, 1993), hlm.
105.
60
Meriam Barus Bahrulzaman, Op.cit., hlm. 2-53.
Universitas Sumatera Utara
44
usaha kecil tentunya sesuai dengan ketentuan kopetensi yang dimiliki dalam
mendukung mitra usahanya sehingga mampu dan dapat mengembangkan diri
menuju kemandirian.61
4.
Sumber Hukum Perjanjian
Menurut ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, perikatan bersumber dari
perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang
menurut Pasal 1352 KUHPerdata dibedakan atas perikatan yang lahir dari undangundang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia.
Kemudian perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia
menurut Pasal 1353 KUHPerdata dibedakan lagi atas perbuatan yang sesuai dengan
hukum dan perbuatan yang melawan hukum.62
Sebagaimana dikutip R. Soetojo Prawirohamidjojo dalam Hukum Perikatan
mengatakan bahwa :63
“Antara perikatan yang bersumber pada perjanjian dan perikatan yang
bersumber pada undang-undang pada hakikatnya tidak ada perbedaan, sebab semua
perikatan meskipun bersumber pada perjanjian pada hakikatnya baru mempunyai
kekuatan sebagai perikatan karena diakui oleh undang-undang dan karena mendapat
sanksi dari undang-undang.”
Vollmar, Pitlo, H. Drion dan Meyers dalam ajaran umum yang
menyatakan bahwa tidak ada pertentangan yang hakiki antara perikatan yang
bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari undang-undang.
Sebab pada akhirnya selalu undang-undang yang memberi sanksinya meskipun
yang menjadi sumbernya perjanjian. Meskipun demikian, tidak perlu ada
61
http://www.damandiri.or.id/file/arirahmathakimundipbab2c.pdf , (terakhir diakses 3
Maret 2016).
62
Ibid., hlm. 201.
63
R. Soetojo Prawirohamidjo, Hukum Perikatan (Surabaya : PT.Bina Ilmu, 1979), hlm.
26.
Universitas Sumatera Utara
45
keberatan terhadap pembagian yang didakan Pasal 1233 KUHPerdata. Pada
umumnya, para ahli hukum perdata sependapat bahwa sumber perikatan
sebagaimana disebut Pasal 1233 KUHPerdata yaitu perjanjian dan undang-undang
adalah kurang lengkap. Sumber perikatan yang lain adalah Ilmu Pengetahuan
Hukum Perdata, hukum tidak tertulis dan keputusan hakim.
Sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan
melalui perjanjian pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk membuat segala
macam perikatan.64 Perjanjian dan perikatan adalah dua hal yang berbeda,
meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Perjanjian menimbulkan
atau melahirkan perikatan, sedangkan perikatan adalah isi dari perjanjian.
Perjanjian lebih konkret daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan
didengar, sedangkan perikatan merupakan pengertian yang abstrak (hanya dalam
pikiran). Perikatan yang berasal dari undang-undang dibedakan atas perikatan
yang lahir dari :
a. undang-undang saja, adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwaperistiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum
(perikatan) di antara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari
kemauan pihak-pihak tersebut, seperti lampaunya waktu yang berakibat
bahwa seseorang mungkin terlepas dari haknya atas sesuatu atau mungkin
mendapatkan haknya atas sesuatu.
64
Ibid., hlm 202
Universitas Sumatera Utara
46
b. undang-undang karena perbuatan manusia, bahwa dengan dilakukannya
serangkaian tingkah laku seseorang maka undang-undang melekatkan
akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut.
Undang-undang karena perbuatan manusia bersumber dari perbuatan
yang sesuai dengan hukum, seperti Pasal 1354 KUHPerdata tentang zaak
warneming atau pengurusan sukareala. Contoh, dokter mengoperasi pasien dalam
keadaan darurat atau tanpa persetujuan pasien, kemudian perbuatan melawan
hukum adalah perikatan yang lahir karena undang-undang, karena orang tidak
berhati-hati sehingga merugikan orang lain. Unsur-unsur dari perbuatan melawan
hukum yaitu harus ada perbuatan, perbuatan itu harus melawan hukum, perbuatan
itu harus menimbulkan kerugian, dan perbuatan itu harus dilakukan dengan
kesalahan.65
Penjelasan di atas telah menjelaskan bahwa suatu perikatan bersumber
dari undang-undang dan perjanjian. Di dalam perikatan yang muncul karena
undang-undang, lahirnya perikatan tersebut tanpa memperhitungkan kehendak
para pihak dalam perikatan yang bersangkutan, namun kehendak itu berasal dari si
pembuat undang-undang, sekalipun ada unsur perbuatan manusia namun
perbuatan manusia itu tidaklah tertuju kepada akibat hukum (perikatan) yang
muncul antara mereka sebagai akibat perbuatan mereka, sehingga dapat dikatakan
bahwa pada umumnya mereka sama sekali tidak mengendaki akibat hukum
seperti itu. Berbeda dengan perikatan yang lahir karena perjanjian, perikatan ini
lahir karena para pihak yang menghendakinya dan para pihak tertuju kepada
65
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia cetakan pertama (Yogyakarta :
Pustaka Yustisia, 2009), hlm 69.
Universitas Sumatera Utara
47
akibat hukum tertentu yang mereka kehendaki, dengan kata lain munculnya
perikatan yang bersumber dari perjanjian sebagai akibat hukum dari perjanjian
yang mereka tutup.66
5. Syarat sah perjanjian
Syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata yang berbunyi untuk sahnya perjanjian-perjanjian , diperlukan empat
syarat:
1.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.
Suatu pokok persoalan tertentu.
4.
Suatu sebab yang terlarang
Syarat kata sepakat dan kecakapan para pihak disebut sebagai syarat
subjektif karena menyangkut orang-orang yang membuat perjanjian tersebut,
sementara dua syarat yang terakhir dinamanakan syarat objektif karena mengenai
perjanjiannya sendiri.67
a.
Kata sepakat
Kata sepakat merupakan hal yang pertama kali harus ada dalam suatu
proses pembuatan perjanjian. Tanpa kesepakatan para pihak pembuat perjanjian,
keabsahan suatu perjanjian dapat dipertanyakan. Kata sepakat atau kesepakatan
para pihak menunjuk pada keadaan dimana kehendak para pihak saling diterima
satu sama lain. Kedua belah pihak menerima dan tidak menolak untuk memenuhi
apa yang menjadi keinginan pihak lawannya. Mereka menghendaki sesuatu yang
66
67
Ibid., hlm 75.
Subekti, Op.cit., hlm. 17.
Universitas Sumatera Utara
48
sama secara timbal balik. Dengan adanya kata sepakat, maka perjanjian itu telah
ada. Sejak saat itu pula perjanjian mengikat kedua belah pihak dan dapat
dilaksanakan.
Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian berlaku sebagai
undang-undang bagi para pembuatnya. Ketentuan ini menjelaskan bahwa
perjanjian memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak pembuatnya dan tidak
dapat ditarik kembali secara sepihak, atau karena alasan-alasan yang
diperbolehkan oleh undang-undang.
Secara umum keabsahan suatu perjanjian di Indonesia yang diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata tidak terlalu berbeda jauh dengan persyaratanpersyaratan yang diatur dalam common law yang menentukan keabsahan suatu
perjanjian harus ada penawaran (offer ), penerimaan (acceptance), capacity,
consideration, lawful cause dan intention to create legal relation. Syarat
keabsahan perjanjian dari syarat penawaran ( offer ) dan penerimaan (acceptance)
dalam proses terbentuknya suatu perjanjian. Sebab terjadinya suatu kesepakatan
dalam suatu perjanjian selalu diawali dengan proses penawaran dan penerimaan,
sehingga pada saat penawaran yang disampaikan oleh pihak yang mengajukan
penawaran (offeror ) diterima oleh pihak yang menjadi tujuan penawaran ( offeree)
maka pada saat itulah terjadi kesepakatan diantara para pihak yang akan terikat
dalam suatu perjanjian. Tidaklah mudah untuk menentukan terjadinya suatu
Universitas Sumatera Utara
49
penawaran karena perlu adanya kategori atau kriteria tertentu untuk dapat
dikatakan sebagai suatu penawaran.68
Kesepakatan merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Suatu
kehendak saja tidak serta merta menimbulkan perjanjian. Kehendak tersebut harus
terlebih dahulu dinyatakan atau disampaikan oleh pihak yang satu kepada pihak
yang lain secara timbal balik. Suatu kesepakatan diawali dengan penawaran, yang
merupakan pernyataan kehendak dari satu pihak kepada pihak lawan. Penawaran
tersebut kemudian diikuti dengan pernyataan kehendak dari pihak lawan baik
penawaran maupun penerimaan adalah perbuatan hukum sepihak. Perjumpaan
dari kedua perbuatan hukum sepihak inilah yang kemudian membentuk suatu
perjanjian yang merupakan perbuatan hukum timbal balik.
Hal ini sejalan dengan pendapat Herlien Budiono bahwa penawaran
adalah usulan yang disampaikan kepada pihak lainnya untuk membuat suatu
perjanjian dan ketika usulan tersebut diterima, akan timbul dan terbentuk
perjanjian.
Pada dasarnya penawaran dan penerimaan tidak harus dilakukan
dalam bentuk tertentu. Pernyataan penawaran dan penerimaan dapat dilakukan
secara tegas, baik secara lisan maupun tulisan. Namun dalam beberapa hal
pernyataan tersebut juga dapat dilakukan secara diam-diam. Bahkan dalam
keadaan tertentu sikap berdiam diri atau tidak berbuat dapat diartikan sebagai
suatu penerimaan.69
68
Samuel M.P. Hutabarat, Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian
(Jakarta : Grasindo, 2012), hlm. 8.
69
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, (Bandung: Citra Aditya, 2010), hlm. 74
Universitas Sumatera Utara
50
Salah satu syarat sahnya perjanjian, kesepakatan memegang peran
penting dalam proses terbentuknya suatu perjanjian. Untuk itu dapat dengan
mudah mengenali terjadinya kesepakatan apabila terdapat kesesuaian antara
penawaran dan penerimaan. Namun akan timbul suatu masalah apabila tidak
terdapat kesesuaian antara penawaran dan penerimaan, misalnya terdapat
kesalahan dalam menuliskan jumlah pesanan.
b.
Kecakapan
Para pihak dalam suatu perjanjian haruslah memenuhi syarat kecakapan
yang ditentukan oleh hukum. Menurut Subekti, pada asasnya, setiap orang yang
sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.70 Dalam Pasal
1330 KUHPerdata, mereka yang dikategorikan sebagai tidak memenuhi syarat
adalah:
1) orang-orang yang belum dewasa.
2) mereka yang ditaruh dalam pengampuan.
3) orang perempuan dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang, dan
semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.71
Atas dua syarat sah yang pertama ini disebut sebagai syarat subjektif, jika
tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian maka perjanjian yang dibuat dapat
dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Pihak yang dapat meminta
70
Subekti, Ibid., hlm. 17.
Ketentuan ini telah dicabut melalui Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1963 jo
Surat edaran Mahkamah Agung No 3. Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 dan juga tidak lagi
ditemukan pengaturan yang sedemikian dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UUP).
71
Universitas Sumatera Utara
51
pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang tidak memberikan
perizinannya secara tidak bebas.72
c.
Hal tertentu
Syarat sahnya perjanjian yang berikutnya adalah perjanjian yang dibuat
haruslah mengenai sesuatu hal tertentu. Hal tertentu dalam suatu perjanjian
mengacu pada obyek perjanjiannya. Pasal 1333 KUHPerdata memberikan
penjelasan mengenai hal tertentu bahwa untuk perjanjian yang mengenai barang
paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat
ditentukan kemudian.
Undang-undang tidak mewajibkan bahwa objek perjanjian harus telah
ada ketika perjanjian dibuat, demikian juga mengenai jumlah dari objek perjanjian
tersebut dapat ditentukan kemudian, hanya diwajibkan bahwa objek perjanjian
haruslah dapat dihitung atau ditetapkan.
d.
Sebab yang halal
Syarat yang terakhir untuk membuat suatu perjanjian menjadi sah
menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah harus terpenuhinya unsur sebab yang
halal. Sebab yang halal mengacu pada isi perjanjian. Undang-undang tidak
menjelaskan sebab yang halal sebagai niat para pihak sebelum membuat
perjanjian tersebut. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang ada dalam
gagasan apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang dicita-citakan
seseorang.73
72
73
Subekti,Op.cit., hlm. 20.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
52
Menurut Pasal 1339 Kitab KUHPerdata yang dimaksud sebagai sebab
yang halal dalam suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian yang dibuat tidak
bertentangan dengan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan
baik.74
Sebab yang halal dalam suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu
sendiri.75 Perjanjian memperkerjakan anak dibawah umur tanpa persetujuan orang
tua atau walinya menjadi salah dan tidak memenuhi unsur sebab yang halal karena
bertentangan dengan kesusilaan baik, ketertiban umum dan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semua perjanjian yang yang
tidak memenuhi sebab yang halal akibatnya perjanjian menjadi batal demi hukum
(null and void).
Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan: “Suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik
atau ketertiban umum.” Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan : “Suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi
juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang.”
75
Subekti, Ibid., hlm. 20.
74
Universitas Sumatera Utara
53
B. Perjanjian Kemitraan
1. Pengertian dan unsur perjanjian kemitraan
Kemitraan memiliki pengertian yang beragam sebagaimana dikemukakan
oleh banyak sarjana. Menurut Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia 76 kata
mitra memiliki arti teman, kawan kerja, pasangan kerja, rekan, sedangkan
“kemitraan adalah perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra”.
Dengan pendapat senada, Fletcher77 mengemukakan “partnership is the relation
which subsists between persons carrying on a business in common with a view of
profit.” Kedua sarjana di atas menekankan kemitraan sebagai sebuah hubungan
atau relasi, meskipun Fletcher menambahkan tujuan dari kemitraan, yaitu
keuntungan, dalam definisinya.
Sedangkan menurut Wie kemitraan merupakan kerjasama usaha antara
perusahaan besar atau menengah yang bergerak di sektor produksi barang-barang
maupun di sektor jasa dengan industri kecil berdasarkan atas asas saling
membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. 78
Pendapat lain dikemukakan oleh Hafsah79 yang menyebutkan:
“Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak
atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan
bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.
Karena merupakan strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat
ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam
menjalankan etika bisnis.”
76
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Cetakan Ketiga (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), hlm. 588.
77
Keint L Fletcher, The Law of Partnership (Sidney: The Law Book Company Limited,
1987), hlm. 27.
78
Thee Kian Wie. Ed. Dialog Kemitraan dan Keterkaitan Usaha Besar dan Kecil dalam
Sektor Industri Pengolahan (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm 3.
79
Muhammad Jafar Hafsah, Kemitraan Usaha (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999),
hlm. 43.
Universitas Sumatera Utara
54
Selain itu, Linton80 berpendapat:
“Kemitraan adalah sebuah cara melakukan bisnis di mana pemasok dan
pelanggan berniaga satu sama lain untuk mencapai tujuan bisnis
bersama”.
Kedua sarjana terakhir di atas, pengertian kemitraan lebih ditekankan
pada sebagai suatu strategi atau cara melakukan bisnis untuk dari pihak yang
bermitra untuk mencapai tujuan (keuntungan) bersama. Meskipun Hafsah
menambahkan dalam definisi bahwa strategi bisnis tersebut dilandasi prinsip
saling membutuhkan dan membesarkan.
Pengertian tentang kemitraan yang
secara spesifik menyangkut aspek hukum sebagaimana terdapat dalam bla ck’s law
dictionary.
black’s law dictionary81 menyebutkan bahwa kemitraan (partnership)
adalah:
“A voluntary contract between two or more competent persons to place
their money, effects, labor, and skill, or some or all of them, in lawful
commerce or business, with the
understanding that there shall be a
proportional sharing of the profits and losses between the m.”
Pengertian dalam kamus tersebut di atas, dapat diketahui adanya
penekanan bahwa kemitraan merupakan kontrak yang dibuat secara sukarela. Dua
orang atau lebih yang kompeten yang bermitra dapat menempatkan dana, tenaga,
dan atau keterampilannya, dengan pemahaman akan adanya pembagian
proporsional keuntungan atau kerugian di antara mitra. Berbagai pandangan dan
80
Ian Linton, Kemitraan Meraih Keuntungan Bersama (Jakarta: Halirang, 1997),
hlm.10.
81
Black's
Law
Dictionary, What is Partnership, http:// thelawdictionary.
org/partnership/, (diakses pada tanggal 8 Januari 2016).
Universitas Sumatera Utara
55
pendapat sarjana di atas terdapat kesamaan sekaligus perbedaan dalam
mendefinisikan kemitraan.
Undang- undang Republik Indonesia tentang Usaha Kecil 82 :
“Kemitraan adalah kerja sama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha
Menengah
atau
dengan
Usaha
Besar
disertai
pembinaan
dan
pengembangan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan
memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan
saling menguntungkan.”
Semua pengertian tentang kemitraan yang diuraikan di atas, baik dari
para sarjana maupun yang tertera dalam peraturan perundang-undangan,
menunjukkan adanya titik penekanan yang sama maupun berbeda satu sama lain.
Pengertian yang lebih lengkap dan sempurna dapat dirumuskan apabila
pengertian-pengertian yang ada tersebut dipadukan.
Mengacu pada berbagai pendapat dan ketentuan di atas, Penulis
berpendapat bahwa pengertian kemitraan yang lebih padu dan lengkap adalah
kerja sama usaha yang merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak
atau lebih dengan
memanfaatkan sumber daya yang dimiliki yang dilandasi
prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.
Pengertian ini, sebagai sebuah strategi bisnis, sumber daya yang dimiliki oleh dua
pihak atau lebih yang bermitra akan dimanfaatkan dengan prinsip saling
memerlukan dan engan demikian diharapkan usaha atau bisnis para pihak akan
menguat serta mendapatkan keuntungan.
82
Republik Indonesia, Undang-undang tentang Usaha Kecil, UU Nomor 9 Tahun 1995,
Pasal 1 angka 8.
Universitas Sumatera Utara
56
Unsur pembinaan dan pengembangan dengan sendirinya sudah termaktub
dalam prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.
Merujuk pada pengertian kem