Pertanggungjawaban Mitra Usaha dalam Perusahaan Berbasis Penjualan Langsung terhadap Pemberian Garansi atas Produk yang Diperdagangkan

(1)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Gratifi Press, 2006).

Badrulzaman, Mariam Darus, dkk, Perjanjian Kredit Bank (Bandung: Alumni, 1993).

Burhanuddin, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen & Sertifikasi Halal, Cetakan I (Malang : UIN-Maliki Press, 2011).

Fuady, Munir, Hukum Kontrak; Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis (Bandung: Citra Aditya, 2001).

Hafsah, Muhammad Jafar, Kemitraan Usaha (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999).

Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Alumni, 1986).

Hartono, Sri Rejeki, Kapita Selekta Hukum Perusahaan (Bandung: Mandar Maju, 2000).

HS, Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,2003).


(2)

Khairunnisa, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi (Medan: Pasca Sarjana, 2008).

Kansil, C.s.t., Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata

(Jakarta : Pradnya Paramita, 2006).

Lubis, Solly, Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional (Depkeh: BPHN, 1995).

Martodireso, S., Widada, AS. Terobosan Kemitraan Usaha dalam EraGlobalisasi

Kanisius (Yogyakarta: Marsono, 2001).

Mertokusumo, Soedikno, Bunga Rampai Ilmu Hukum (Yogyakarta: Liberty, 1984).

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010).

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti,, 2000).

____________________, Hukum Perusahaan Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006).

Notoatmodjo, S., Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku (Jakarta: Rineka Cipta. 2007).

Partono, Pius A, dan M Dahlan, Al-Berr, Kamus Ilmiah Favorit (Surabaya: Anka, 1994).


(3)

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Perjanjian (Bandung: Sumur 1981)

Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan (Jakarta : Sinar Grafika, 2009).

Raharjo, Handri, Hukum Perjanjian di Indonesia, cetakan pertama (Yogyakarta: Pustaka Yuristia, 2009).

Satrio, J., Hukum Perikatan, Perikatan Lahir Dari Perjanjian (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995).

_______, Hukum Perjanjian (, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1996).

Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Pembangunan Seimbang bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit BANK di Indonesia (Jakarta: Institut Bankir, 1993).

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia (UI) Pers, 1986).

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta : PT.Pradny Paramita, 2001).

Subekti, Hukum Perjanjian (Bandung : Intermasa, 2002).

Suharnoko, Hukum Perjanjia, (Jakarta : Prenada Media, 2004).

Sukino, Sadono, Mikro Ekonomi Teori Pengantar (edisi ketiga) (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada,1994).


(4)

Syamsuddin, M, Qirom, M., Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya (Yogyakarta: Liberty, 1985).

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 1990).

Vira Arista Indika Yanti, Fendi Setyawan, Mardi Handono, Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Oriflame Yang Dipasarkan Melalui Mekanisme Multi Level Marketing Oleh Pt Orindo Alam Ayu Cabang Surabaya, Hukum Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Jember (UNEJ), Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2014.

Widiastuti. Hukum Kemitraan (Bogor: Pustaka Widada Agus, 2002).

Zulham. Hukum perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013).

II. Peraturan dan Perundang-undangan

Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan


(5)

Menteri Perdagangan Nomor 32/M-DAG/PER/2008 tentang Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung

Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern

III. Internet

BagusArifAndrian2011Manusiadantanggungjawab(online)http://baguspemudaind onesia.blogdetik.com/2011/04/20/manu sia-dan-tanggung-jawab/hlm1, (diakses pada tanggal 8 Maret 2016).

http://www.articlesnatch.com/Article/Marketing-Multilevel, (diakses tanggal 13 Januari 2012).

http://www.articlesnatch.com/, (Diakses tanggal 5 Januari 2016).

http://www.dheanbj.com/2012/09/asas-asas-hukum-perjanjian.html?m=1 ,DheanBJ, (diakses tanggal 9 maret 2016).

http://m.kompasiana.com/post/read/238895/3/asas-kebebasan-berkontrak-dalam-hukum-perjanjian-di-indonesia , (diakses tanggal 2 maret 2016)

http://www.angkasapura1.co.id/834-bab-iv-pedoman-etika-usaha.htm, (diakses tanggal 4 Maret 2016).


(6)

https://komunitas.bukalapak.com/s/xfzwgy/jenis_jenis_garansi_dan_cara_memili h_gadget_dari_garansinya.html, (diakses tanggal 6 Maret 2016).

http://id.wikipedia.org/wiki/Garansi/2009/01/02 (diakses pada tanggal 30 September 2010)

Wikipedia Indoesia, “Garansi”, (diakses tanggal 7 Maret 2016).

http://business-law.binus.ac.id/2015/10/14/garansi-dalam-layanan-purnajual-dan-perlindungan-konsumen/, (diakses tanggal 8 Maret 2016).

http://tendycaptain.blogspot.co.id/2015/06/hukum-perlindungan-konsumen.html, (diakses tanggal 10 Maret 2016)

Sigit Restuhadi, Pola-pola Kemitraan Usaha, melalui http://webcache.googleuser content.com, (diakses tanggal 6 Maret 2016).


(7)

BAB III

TINJAUAN HUKUM TERHADAP GARANSI PRODUK DALAM USAHA PERDAGANGAN DENGAN SISTEM PENJUALAN LANGSUNG

A. Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung 1. Pengertian kegiatan usaha perdagangan dengan sistem penjualan langsung

Perdagangan adalah suatu kegiatan ekonomi yang bergerak dalam penyediaan dan distribusi barang yang dibutuhkan oleh masyarakat dan sektor industri melalui mekanisme pasar atau operasi khusus untuk barang-barang kebutuhan masyarakat. Perdagangan merupakan faktor penting yang merangsang pertumbuhan ekonomi. Peranan perdagangan disuatu daerah sangatlah penting, baik itu perdagangan domestik maupun perdagangan antar Negara (perdagangan internasional.

Kegiatan usaha perdagangan dapat dilakukan dengan perseorangan maupun persekutuan. Usaha perdagangan yang dilakukan baik dalam skala besar maupun kecil, serta melalui sistem penjualan grosir maupun retail merupakan perwujudan dari adanya kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti kegiatan jual beli. Pasal 1 Angka 2 Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern menyebutkan bahwa usaha perdagangan dapat dibagi menjadi dua macam berdasarkan pihak yang mengelolanya, yaitu:129

a. Usaha perdagangan yang dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah

129

Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern


(8)

(BUMD). Usaha perdagangan ini berupa pasar tradisional, dimana instansi pemerintah tersebut berkerja sama dengan swasta dengan menyediakan lokasi dan menyewakan tempat penjualan berupa los, kios, toko dan tenda yang dikelola oleh pedagang kecil, swadaya masyarakat maupun koperasi usaha kecil yang bergerak dengan modal kecil dan dengan proses jual beli melalui tawar menawar.

b. Usaha perdagangan yang dikelola oleh swasta. Usaha perdagangan ini berupa pusat perbelanjaan yang disewakan kepada para pelaku usaha, toko mandiri yang pada umumnya dijadikan usaha kecil atau menengah, berupa toko modern seperti supermarket, hypermarket dan minimarket.

Penjualan langsung (direct selling) adalah proses pemasaran produk secara langsung kepada konsumen biasanya di rumah mereka atau rumah orang lain, di tempat kerja mereka dan tempat-tempat lain di luar lokasi-lokasi permanen pengecer, biasanya melalui penjelasan atau peragaan produk-produk oleh seorang penjual langsung. Dalam proses penjualan langsung, penjualan meliputi kegiatan menghubungi calon-calon pelanggan (customer), menawarkan dan memperagakan produk, menerima order dan mengirimkan atau mengantarkan barang serta menagih pembayaran. Kemudian ada beberapa hal yang dilakukan dalam penjualan langsung, yakni diantara adalah adanya penjualan arisan yang merupakan kegiatan penjualan melalui penjelasan dan peragaan produk kepada sekelompok calon pelanggan oleh seorang penjual langsung biasanya di rumah seseorang yang sengaja mengundang orang-orang ini. Kemudian ada pula istilah formulir pesanan yakni berbagai hal yang termasuk dalam order-order tercetak atau tertulis (dengan tangan), tanda terima dan surat-surat perjanjian. Ada pula


(9)

kegiatan perekrutan yakni suatu kegiatan yang dilakukan dengan tujuan mengajak seseorang untuk menjadi seorang penjual langsung.130 Penjualan langsung telah dikenal sejak manusia melakukan pertukaran dalam bentuk natura (barter barang dengan barang) hingga manusia mengenal uang sebagai alat pembayaran yang dapat diterima secara umum. Pertukaran natura merupakan aktivitas ekonomi yang diterapkan dalam sistem ekonomi pasar. 131

2. Pengaturan penyelenggara kegiatan usaha perdagangan dengan sistem penjualan langsung

Penjualan langsung (direct selling) adalah metode penjualan barang dan/atau jasa tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi dan/atau bonus berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran tetap.132 Perusahaan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 133

a. memiliki atau menguasai kantor dengan alamat yang benar, tetap, dan jelas;

b. melakukan penjualan barang dan/atau jasa dan rekruitmen mitra usaha melalui sistem jaringan;

c. memiliki program pemasaran yang jelas, transparan, rasional, dan tidak berbentuk skema jaringan pemasaran terlarang;

d. memiliki kode etik dan peraturan perusahaan yang lazim berlaku di bidang usaha penjualan langsung;

130

http://anggirizmala02.blogspot.co.id/2015/05/materi-penjualan-langsung.html, (terakhir diakses 6 Maret 2016)

131

M. Fachrur Rozi, Op.cit., hlm. 14-15 132

Menteri Perdagangan Nomor 32/M-DAG/PER/2008 tentang Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung, Pasal 1 angka 1

133


(10)

e. memiliki barang dan/atau jasa yang nyata dan jelas dengan harga yang layak dan wajar;

f. memenuhi ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; g. memberikan komisi, bonus, dan penghargaan lainnya berdasarkan hasil

kegiatan penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh mitra usaha dan jaringannya sesuai dengan yang diperjanjikan;

h. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaannya;

i. memiliki ketentuan tentang harga barang dan/atau jasa yang dijual dalam mata uang Rupiah (Rp) dan berlaku untuk mitra usaha dan konsumen; j. menjamin mutu dan pelayanan purna jual kepada konsumen atas barang

dan/atau jasa yang dijual;

k. memberikan alat bantu penjualan (starter kit) kepada setiap mitra usaha yang paling sedikit berisikan keterangan mengenai barang dan/atau jasa, program pemasaran, kode etik, dan/atau peraturan perusahaan;

l. memberikan tenggang waktu selama 10 (sepuluh) hari kerja kepada calon mitra usaha untuk memutuskan menjadi mitra usaha atau membatalkan pendaftaran dengan mengembalikan alat bantu penjualan (starter kit) yang telah diperoleh dalam keadaan seperti semula;

m. memberikan tenggang waktu selama 7 (tujuh) hari kerja kepada mitra usaha dan konsumen untuk mengembalikan barang, apabila ternyata barang tersebut tidak sesuai dengan yang diperjanjikan;


(11)

n. membeli kembali barang, bahan promosi (brosur, katalog, atau leaflet), dan alat bantu penjualan (starter kit) yang dalam kondisi layak jual dari harga pembelian awal mitra usaha ke perusahaan dengan dikurangi biaya administrasi paling banyak 10% (sepuluh persen) dan nilai setiap manfaat yang telah diterima oleh mitra usaha berkaitan dengan pembelian barang tersebut, apabila mitra usaha mengundurkan diri atau diberhentikan oleh perusahaan;

o. memberi kompensasi berupa ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, akibat kesalahan perusahaan yang dibuktikan dengan perjanjian;

p. memberi kompensasi berupa ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian;

q. melaksanakan pembinaan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan para mitra usaha, agar bertindak dengan benar, jujur, dan bertanggungjawab;

r. memberikan kesempatan yang sama kepada semua mitra usaha untuk berprestasi dalam memasarkan barang dan/atau jasa;

s. melakukan pendaftaran atas barang dan/atau jasa.

Perdagangan dengan sistem penjualan langsung dapat dilakukan oleh perusahaan dalam rangka penanaman modal dalam negeri atau penanaman modal asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.


(12)

134

Menteri memiliki kewenangan pengaturan kegiatan usaha perdagangan dengan sistem penjualan langsung.135 Dirjen PDN melakukan pembinaan dan pengawasan serta evaluasi terhadap penyelenggaraan usaha perdagangan dengan sistem penjualan langsung.136

Perusahaan yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha dengan sistem penjualan langsung wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Direktur Binus dan PP paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pengakhiran kegiatan usahanya dengan melampirkan dokumen pendukung dan SIUPL asli.137

B. Garansi atas Produk

1. Pengertian dan jenis-jenis garansi

Garansi merupakan kesepakatan kontraktual antara produsen dan konsumen, dimana produsen bersedia melakukan perbaikan atau penggantian terhadap produk yang mengalami kerusakan selama periode garansi yang telah ditentukan. Pemberian garansi merupakan wujud pertanggungjawaban produsen kepada konsumen atas terjadinya kerusakan prematur suatu produk atau ketidakmampuan produk untuk melaksanakan fungsi yang diharapkan. Jika performansi produk selama waktu pemakaian tertentu ternyata tidak sesuai dengan yang dijanjikan, maka konsumen akan mendapatkan ganti rugi sebagai suatu bentuk kompensasi dari produsen atas kerusakan yang terjadi. Dalam pengertian garansi diatas terkandung makna bahwa garansi bermanfaat bagi produsen dan konsumen. Bagi konsumen, garansi merupakan jaminan terhadap keandalan

134Ibid.,

Pasal 6 ayat (2) 135Ibid.,

Pasal 10 ayat (1) 136

Ibid., Pasal 11 ayat (1) 137


(13)

produk yang dibelinya. Pemberian garansi akan melindungi konsumen dari produk-produk yang performansinya tidak sesuai dengan performansi yang dijanjikan oleh produsen. Sedangkan bagi produsen, garansi memberikan batasan terhadap klaim, sehingga dapat melindunginya dari klaim konsumen yang tidak valid.138

Selain itu, pemberian garansi dapat dijadikan sebagai alat promosi oleh produsen karena garansi mencerminkan karakteristik kualitas suatu produk dan telah menjadi salah satu faktor penting yang dipertimbangkan oleh konsumen dalam melakukan pembelian suatu produk. Penjualan produk dengan pemberian garansi akan menimbulkan ongkos tambahan bagi produsen, yaitu ongkos pelayanan garansi selama periode garansi yang diberikan. Ongkos garansi ini digunakan oleh produsen untuk memperbaiki atau mengganti produk yang rusak selama periode garansi yang diberikan. Ongkos garansi akan mempengaruhi keuntungan yang dapat diperoleh produsen karena ongkos garansi berpengaruh secara signifikan terhadap penentuan harga jual produk. Jika estimasi ongkos garansi lebih tinggi dari ongkos garansi aktualnya, maka harga jual produk menjadi tinggi dan kurang kompetitif di pasar. Namun, produsen akan merasa diuntungkan karena kelebihan cadangan garansi tersebut dapat menambah keuntungan yang diperolehnya. Sebaliknya, jika estimasi ongkos garansi lebih rendah dari ongkos garansi aktualnya, maka harga jual produk menjadi rendah dan sangat kompetitif di pasar. Namun, produsen akan merasa dirugikan karena produsen harus mengurangi keuntungan yang diperolehnya untuk menutupi

138

Blischke, W. R. and D. N. P. Murthy, Warranty Cost Analysis (New York : Marcel Dekker Inc, 1994), hlm. 69.


(14)

kekurangan cadangan garansi tersebut. Oleh karena itu, sangat penting bagi produsen untuk mendapatkan estimasi besarnya ongkos garansi yang akurat.139

Ada tiga sudut pandang garansi, yaitu garansi ditinjau dari sudut pandang produsen, konsumen dan pembuat keputusan kebijakan publik. Dari sudut pandang konsumen, garansi memiliki peranan sebagai penyedia informasi keandalan produk dan jaminan perlindungan terhadap kerusakan item. Pentingnya studi garansi bagi konsumen adalah dalam hal penentuan keputusan pembelian. Dari sudut pandang pembuat keputusan kebijakan publik, studi garansi sangat penting dalam memfomulasikan aturan-aturan yang membantu menekan pasar dari keadaan yang tidak kompetitif menjadi keadaan yang lebih kompetitif dan adil, baik bagi produsen maupun konsumen. Dari sudut pandang produsen, kebijakan pemberian garansi pada setiap produk yang dijualnya kepada konsumen akan menimbulkan ongkos tambahan, yaitu ongkos garansi. Besarnya ongkos garansi sangat tergantung pada bentuk kebijakan garansi yang diterapkan oleh produsen dan keandalan produk yang dijualnya. Keandalan produk yang sangat menentukan estimasi besarnya ongkos garansi ini diterjemahkan sebagai pola kerusakan komponen. Kebijakan garansi terdiri dari dua macam, yaitu kebijakan garansi satu dimensi dan kebijakan garansi dua dimensi. Kebijakan garansi satu dimensi (one-dimensional warranty) merupakan kebijakan garansi yang hanya mempertimbangkan satu kriteria garansi, seperti masa pakai dan frekuensi pemakaian.140

139

Andri Purnomo, Bauran Pemasaran (Marketing Mix), melalui http://andripurnama. awand.co.id/index.php/marketing-management/62-marketing-mix.html, (diakses tanggal 23 Maret 2016).

140

Bermawi P. Iskandar, Manajemen Garansi Produk dan Perkembangannya di Indonesia (Bandung : Fakultas Teknologi Industri ITB. 2010), hlm 44.


(15)

Kebijakan garansi satu dimensi ini dapat diterapkan misalnya pada perusahaan-perusahaan yang menghasilkan bermacam-macam produk elektronik. Sedangkan kebijakan garansi dua dimensi (two-dimensional warranty) merupakan kebijakan garansi yang mempertimbangkan dua kriteria garansi secara bersamaan, seperti umur dan jarak tempuh produk. Berikut adalah jenis-jenis garansi :

a. Garansi resmi

Garansi resmi adalah garansi yang diberikan oleh pabrikan selaku pemilik dan pemegang merk dagang di seluruh dunia kepada perusahaan/distributor di suatu negara untuk mengedarkan dan memberikan warranty kepada pembeli. Distributor resmi diberikan hak untuk memasarkan produk dengan syarat dan ketentuan berlaku, Mulai dari claim garansi sampai dengan jaringan pemasaran produk dan ketentuan standar garansi Internasional.

b. Garansi distributor

Garansi distributor adalah garansi yang hanya diberikan oleh distributor yang memasukkan produknya ke Indonesia dan garansi tersebut bukan diberikan oleh produsen atau manufacture dan operator di seluruh dunia melainkan tanggung jawab distributor non resmi yang memasukan barang ke suatu negara kepada pengguna barang. Sehingga tidak memiliki standar garansi yang diberikan oleh pabrikan seperti garansi internasional.

c. Garansi toko/penjual

Garansi toko/penjual biasanya hanya berani memberikan garansi paling lama 1 bulan yang meliputi unit tidak rusak dan kelengkapan aksesoris. Garansi toko ini biasanya bermodal kepercayaan antara pembeli dan reputasi toko yang


(16)

bagus dan bertanggung jawab jika terjadi kerusakan. Garansi ini biasanya memberi harga paling murah dibandingkan dengan garansi lainnya.

d. Garansi international

Garansi internasional adalah garansi yang berlaku secara global di seluruh dunia oleh distributor resmi worldwide suatu produk. Garansi ini biasanya diberikan oleh toko kepada pembeli yang datang ke toko dinegara lain dan membeli produk yang belum keluar di negara asal pembeli. Untuk memberi rasa aman kepada pembeli lintas negara seperti ini, pabrikan besar memberikan lisensi kedapa distributor global untuk memberikan garansi internasional yang bisa di claim di seluruh gerai resmi merk tersebut di seluruh dunia.141

2. Kedudukan garansi menurut hukum

Jaminan produk atau yang lazim disebut dengan kata garansi adalah surat keterangan dari suatu produk bahwa pihak produsen menjamin produk tersebut bebas dari kesalahan pekerja dan kegagalan bahan dalam jangka waktu tertentu.142 Bila dilihat dari pengelompokan jenis-jenis lembaga jaminan diatas, maka sesuai uraian diatas maka kedudukan jaminan produk dalam sistem hukum Indonesia dikelompokkan kedalam kelompok yang terjadinya akibat perjanjian dan sifatnya merupakan jaminan perorangan. Sebelum kedudukan jaminan produk (garansi) dalam sistem KUHPerdata diuraikan, terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan Jaminan Produk itu sendiri.

141

https://komunitas.bukalapak.com/s/xfzwgy/jenis_jenis_garansi_dan_cara_memilih_gad get_dari_garansinya.html, (terakhir diakses 6 Maret 2016)

142

http://id.wikipedia.org/wiki/Garansi/2009/01/02 diakses pada tanggal 30 September 2010, Wikipedia Indoesia, “Garansi”, terakhir diakses 7 Maret 2016


(17)

Kedudukan perjanjian garansi dalam Buku Ke III (tiga) KUHPerdata yaitu tentang perikatan dan landasan hukum dasarnya adalah pasal ketentuan-ketentuan umum perikatan seperti Pasal 1233 dan 1234. Pasal 1233 berbunyi “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.” Dalam hal ini, perjanjian garansi lahir karena adanya persetujuan. Pasal 1234 berbunyi “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.” Dalam hal ini, perjanjian garansi adalah perikatan yang ada untuk berbuat sesuatu, yaitu menjamin atau berbuat “menjamin”. Seperti yang telah diuraikan dalam pengertian tentang jaminan produk atau garansi, pada dasarnya perjanjian garansi yang dimaksud dalam hal jaminan produk ini adalah suatu perjanjian penjaminan dimana pihak ketiga (dalam hal ini podusen atau importir) menjamin bahwa produk yang dijual oleh pihak pertama (yaitu penjual atau distributor) kepada pihak kedua (pembeli atau konsumen) adalah produk yang terbebas dari kesalahan pekerja dan kegagalan bahan.

Pasal 1316 KUHPerdata dikatakan bahwa adalah diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu, jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya. Menurut sorang praktisi hukum Rachmadi Usman, pasal tersebut merupakan landasan hukum dasar perjanjian garansi dan ini juga dapat dijadikan dasar hukum garansi jaminan produk dengan menggunakan penafsiran analogi, karena bila langsung menjadi dasar hukum tanpa adanya


(18)

penafsiran analogi maka substansi yang terkandung dalam pasal tersebut sedikit berbeda dengan garansi/jaminan produk.

Menurut KUHPerdata perjanjian garansi serupa dapat kita lihat juga pengaturannya pada Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 dengan juga memperhatikan Pasal 1831 KUHPerdata atau Pasal 1832 KUHPerdata. Sedangkan untuk menjamin produk dari cacat tersembunyi yang mengakibatkan kerugian dipihak konsumen maka Pasal 1504 KUHPerdata mewajibkan penjual untuk menjamin cacat tersembunyi yang terdapat pada barang yang dijualnya tersebut. 3. Garansi dan hak konsumen

Garansi adalah suatu bentuk layanan pasca-transaksi konsumen (post-cosumer transaction) yang diberikan untuk pemakaian barang yang digunakan secara berkelanjutan. Garansi dapat dinyatakan secara tegas (express warranty) maupun secara tersirat (implied warranty). Di Indonesia dikenal juga pembedaan antara garansi pabrik dan garansi toko. Garansi pabrik lazimnya dinyatakan secara tegas dan tertulis, sementara garansi toko disampaikan secara lisan. Garansi yang disebutkan terakhir ini biasanya hanya berlaku dalam hitungan hari.

Garansi seharusnya tidak hanya bergantung pada hasil kesepakatan antara para pihak yang terlibat dalam transaksi. Pasal 7 huruf e UUPK secara tegas menyatakan bahwa salah satu dari kewajiban pelaku usaha adalah memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.


(19)

Undang-Undang Perlindungan Konsumen memang memiliki banyak kelemahan. Dari redaksi pasal di atas secara jelas terlihat kebingunan pembuat undang-undang ketika harus mencantumkan kata “barang dan/atau jasa”. Untuk barang/jasa tertentu, konsumen diberi hak untuk menguji-coba, tetapi pada anak kalimat berikutnya kata-kata “tertentu” tidak dicantumkan. Sepantasnya, tidak ada pengecualian, bahwa semua barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan harus diberikan jaminan dan/atau garansi. Tidak hanya untuk barang/jasa tertentu. Tapi, apakah perlu untuk memberikan jaminan dan/atau garansi (dua istilah yang juga tidak jelas perbedaannya dalam undang-undang ini) untuk barang yang dibuat tetapi tidak diperdagangkan?

Jika dicermati dari Pasal-Pasal lain yang ada dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, terminologi jaminan secara konotatif bermakna lebih luas daripada garansi. Kata jaminan muncul 14 kali dalam naskah batang tubuh dan penjelasan undang-undang. Kata garansimuncul enam kali. Salah satunya ada dalam Pasal 25, yang menyatakan “(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purnajual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan; (2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut: (a) tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan; (b) tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan dan/atau garansi yang diperjanjikan.


(20)

Pasal 26 selanjutnya menyatakan “Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.” Di sini secara spesifik disebutkan bahwa tidak hanya barang yang dipersyaratkan untuk diberikan jaminan/garansi, melainkan juga untuk jasa. Namun, dasar hukum dari pemberiannya adalah kesepakatan dan/atau perjanjian (dua istilah yang juga kembali membingungkan karena ketidakjelasan maksud pembentuk undang-undang untuk membedakan kesepakatan dengan perjanjian). Pasal berikutnya, yaitu Pasal 27 berbunyi “Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila: (a) barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; (b) cacat barang timbul pada kemudian hari; (c) cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; (d) kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; (e) lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Penjelasan Pasal 27 huruf e menyatakan “Jangka waktu yang diperjanjikan itu adalah masa garansi.” Istilah garansi di dalam Pasal 27 ini secara negatif memperlihatkan adanya kewajiban pelaku usaha untuk memberikan garansi, sekaligus mengasosiasikan garansi sebagai dasar untuk melakukan penuntutan. Kata penuntutan di sini kemungkinan sekali adalah pengajuan gugatan di dalam ranah hukum perdata. Hal ini diperkuat dengan ketiadaan akibat pelanggaran Pasal 27 ini disebut-sebut di dalam ketentuan sanksi pidana. Hanya saja, kesimpulan ini bisa pula dibantah karena ketentuan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 62 yakni berupa pelanggaran atas Pasal 8 s.d. 18, adalah Pasal-Pasal yang bersinggungan juga dengan garansi.


(21)

Garansi adalah sebuah bentuk jaminan yang ditetapkan dengan undang-undang, khususnya dalam hal jangka waktu minimalnya. Perjanjian boleh saja menambahkan jangka waktu lebih daripada yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan jangka waktu selama empat tahun sejak barang dibelikan. Garansi selama empat tahun itu ternyata adalah untuk ‘barang’ saja (mengingat tidak ada kata ‘jasa’ dalam Pasal 27 huruf e ini). Sayangnya, masa garansi empat tahun itu ternyata bukan jangka waktu minimal karena anak kalimat tersebut dianulir oleh pernyataan berikutnya: ‘…atau lewatnya waktu yang diperjanjikan’.Artinya, bisa saja ada perjanjian untuk memberi garansi di bawah masa empat tahun.

Garansi dapat berupa pergantian barang yang dibeli atau bentuk lain senilai barang tersebut, atau berbentuk layanan perbaikan kerusakan, atau berupa ketersediaan suku cadang yang orisinal dari produsen yang sama (bukan pula dengan tata cara pergantian komponen barang secara kanibal). Lalu berapa lama jangka waktu minimal garansi ketersediaan suku cadang? Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dikutip di atas memberikan batas waktu selama setahun. Patut dicatat bahwa redaksi pasal ini sebenarnya tidak mengikuti kaidah berbahasa Indonesia yang tepat karena menimbulkan dua pemaknaan sekaligus. Pertama, masa satu tahun itu bisa dibaca sebagai pemakaian barang secara berkelanjutan selama setahun atau kedua, penyediaan suku cadang selama setahun sejak barang dibeli (purnajual). Tentu saja, yang paling masuk akal adalah pemaknaan kedua, yaitu garansi suku cadang selama setahun sejak suatu barang dibeli. Di sini, bentuk transaksi konsumen apabila ditafsirkan secara gramatikal juga sudah sangat dibatasi, yaitu hanya untuk barang yang diperoleh


(22)

melalui proses jual-beli, tidak termasuk format transaksi yang lain (misalnya sewa-menyewa dan tukar-menukar).

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK) didesain sebagai lembaga yang secara limitatif hanya menangani pelanggaran Pasal-Pasal tertentu saja di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu Pasal 19 ayat (2) dan (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam praktik memang BPSK ternyata juga memperluas kewenangannya dengan memproses sengketa konsumen akibat pelanggaran di luar keempat pasal tersebut.

Keempat pasal yang disebutkan di atas ternyata juga berkaitan dengan persoalan garansi. Perbuatan yang diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Perlindungan Konsumen misalnya, adalah perbuatan yang tergolong pelanggaran hukum yang dapat diproses di bawah BPSK.

Undang-Undang Pelindungan Konsumen yang berlaku saat ini memang sangat lemah dalam memberikan jaminan layanan purnajual bagi para konsumen. Undang-undang kita tidak memuat ketentuan yang memaksa, hanya mengatur. Apa yang semula sudah dipertegas di dalam redaksi undang-undang ternyata diperlemah sendiri oleh pembentuk undang-undang dengan menyatakan:“… atau yang diperjanjikan”.Padahal, kemampuan pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan ketentuan layanan purnajual ini terbilang lemah, sehingga membutuhkan bantuan penguatan dari inisiatif warga (konsumen) untuk memperjuangkan sendiri hak-hak mereka. yang dibutuhkan dari negara adalah bantuan fasilitas berupa infrastruktur peraturan perundang-undangan yang menguatkan posisi tawar mereka di hadapan pelaku usaha. Penguatan itu harus


(23)

bersifat riil-substansial, bukan formalitas atau sekadar ada tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Keraguan konsumen untuk memperjuangkan hak-hak mereka, kendati UUPK sudah berusia 16 tahun, menunjukkan kondisi anomali dari hasrat penguatan tersebut.143

143

http://business-law.binus.ac.id/2015/10/14/garansi-dalam-layanan-purnajual-dan-perlindungan-konsumen/, (terakhir diakses 8 Maret 2016).


(24)

BAB IV

PERLINDUNGAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PEMBERIAN GARANSI TERHADAP PERUSAHAAN OLEH MITRA USAHA DALAM

KEGIATAN USAHA PERDAGANGAN BERBASIS PENJUALAN LANGSUNG

A. Tanggung jawab mitra usaha dalam pemberian garansi

Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah, keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Berkewajiban menanggung, memikul tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.144 Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadarankan kewajiban. Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian hidup manusia, bahwa setiap manusia di bebani dengan tanggung jawab, apabila dikaji tanggung jawab itu adalah kewajiban yang harus di pikul sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat. Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab, manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbanan.145

Kemitraan adalah suatu sikap menjalankan bisnis yang diberi ciri dengan hubungan jangka panjang, suatu kerjasama bertingkat tinggi, saling percaya,

144

Khairunnisa, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi (Medan: Pasca Sarjana, 2008), hlm. 4.

145

BagusArifAndrian2011Manusiadantanggungjawab(online)http://baguspemudaindonesi a.blogdetik.com/2011/04/20/manu sia-dan-tanggung-jawab/hlm1, (terakhir diakses 8 Maret 2016)


(25)

dimana pemasok dan pelanggan berniaga satu sama lain untuk mencapai tujuan bisnis bersama.146 Kemitraan Usaha adalah jalinan kerjasama usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha kecil dengan pengusaha menengah/besar (perusahaan mitra) disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh pengusaha besar, sehingga saling memerlukan, menguntungkan dan memperkuat. Kemitraan usaha akan menghasilkan efisiensi dan sinergi sumber daya yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bermitra dan karenanya menguntungkan semua pihak yang bermitra.

Kemitraan juga memperkuat mekanisme pasar dan persaingan usaha yang efisien dan produktif. Bagi usaha kecil kemitraan jelas menguntungkan karena dapat turut mengambil manfaat dari pasar, modal, teknologi, manajemen, dan kewirausahaan yang dikuasai oleh usaha besar. usaha besar juga dapat mengambil keuntungan dari keluwesan dan kelincahan usaha kecil. Kemitraan hanya dapat berlangsung secara efektif dan berkesinambungan jika kemitraan dijalankan dalam kerangka berfikir pembangunan ekonomi, dan bukan semata-mata konsep sosial yang dilandasi motif belas kasihan atau kedermawanan.147

Tanggung jawab produsen/pelaku usaha berdasarkan wanprestasi juga merupakan bagian dari tanggung jawab kontrak (contractual liability). Dengan demikian, suatu produk rusak dan mengakibatkan kerugian, maka konsumen melihat isi kontrak, baik tertulis maupun tidak tertulis.148 Kewajiban membayar ganti rugi dalam tanggung jawab berdasarkan wanprestasi merupakan akibat penerapan klausula baku dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum

146

http://webcache.googleusercontent.com, (diakses tanggal 8Maret 2016) 147

Sigit Restuhadi, Pola-pola Kemitraan Usaha melalui http://webcache.googleuser content.com, (diakses tanggal 8 Maret 2016)

148

Zulham. Hukum perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013). Hlm. 92.


(26)

bagi para pihak (produsen dan konsumen), yang secara suka rela mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut.149

Dasar aturannya Pasal 1233 KUHPerdata, tiap perikatan lahir karena persetujuan dan undang-undang. Hubungan produsen/pelaku usaha dengan pembeli timbul karena kesepakatan. Dimana berawal dari tawar-menawar sampai timbul kesepakatan dalam transaksi dapat dikategorikan suatu perjanjian. Tanggung jawab seorang mitra usaha apabila terjadi kerugian pada pihak ketiga sangat bergantung pada kedudukan mitra usaha tersebut ketika berurusan dengan pihak ketiga, seorang mitra usaha dapat digugat berdasarkan wanprestasi apabila terdapat cacat tersembunyi pada barang yang ia jual, dan perbuatan melawan hukum apabila ia melakukan tindakan marketing yang berlebihan dan tidak sesuai kode etik.

Banyak penjual bertindak lebih jauh dengan menawarkan garansi (guarantees). Garansi merupakan kepastian umum bahwa produk itu dapat dikembalikan jika kinerjanya tidak memuaskan. Salah satu contohnya adalah garansi “uang kembali”. Lebih lanjut garansi merupakan kiat pemasaran yang efektif dalam situasi tertentu. Pertama, perusahaan dan atau produknya tidak terkenal. Sebagai contoh, perusahaan dapat mengembangkan dan menawarkan produk yang unggul. “Garansi uang kembali bila tidak puas” akan memberikan keyakinan pada pembeli untuk membeli produk itu. Garansi berfungsi paling baik bila syarat-syaratnya dinyatakan dengan jelas dan tidak ada celah untuk menghindarinya. Pelanggan harus merasa mudah untuk meminta garansi dan perusahaan harus menanggapinya dengan cepat. Jika tidak, pelanggan tidak akan

149


(27)

puas. Garansi atau jaminan istimewa/mutlak ini dirancang untuk meringankan kerugian pelanggan, dalam hal pelanggan tidak puas dengan suatu produk atau jasa yang telah dibayarnya. Fungsi utama garansi adalah untuk mengurangi resiko kerugian pelanggan sebelum dan sesudah pembelian produk/jasa, sekaligus memaksa perusahaan bersangkutan untuk memberikan yang terbaik dan meraih loyalitas pelanggan.

Pelaku usaha bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh pemakai, pengguna, atau pengkonsumsian suatu barang yang dihasilkannya. Berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha telah diatur secara tegas dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Bentuk tanggung jawab ganti kerugian pelaku usaha ada tiga yaitu tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, dan tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen. Tujuan dari penerapan tanggung jawab ganti kerugian kepada konsumen adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen (consumer protection) dan untuk memberikan pembebanan resiko yang adil antara pelaku usaha dan konsumen (a fair apportionment of risks between producers and consumers). Tuntutan ganti kerugian bisa muncul dari perbuatan wanprestasi atau dari perbuatan melanggar hukum. Terdapat perbedaan antara tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan wanprestasi dan perbuatan melanggar perbuatan hukum. Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat (pelaku usaha dan konsumen) terikat suatu perjanjiuan itu artinya hubungan antar keduanya bersifat kontraktual. Bentuk perjanjian itu biasa dilakukan secara tertulis maupun lisan.


(28)

Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat dari tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi utama atau kewajiban jaminan/garansi dalam perjanjian. Bentuk kerugian yang dapat diterima oleh konsumen yang melakukan pembelian barang melalui multi level marketing dapat berupa pelanggaran hak konsumen oleh pelaku usaha. Pelaku usaha terkadang untuk mendapakan keuntungan besar mereka melakukan kecurangan dengan cara memberikan informasi yang tidak benar dengan bentuk, warna, ukuran, harga, atau kwalitas dari barang yang ditawarkannya melalui multi level marketing barangnya. Adanya persaingan curang, pemalsuan, penipuan, periklanan yang menyesatkan dan sebagainya yang dilakukan oleh pelaku usaha jelas dapat merugikan konsumennya.

Wujud dari tanggung jawab tersebut dapat berupa tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku. Ketidaktaatan pada isi transaksi konsumen, kewajiban, serta larangan yang telah disepakati sebelumnya antara pelaku usaha dan konsumen.150

B. Perlindungan terhadap Pemberian Garansi terhadap Perusahaan oleh Mitra Usaha dalam kegiatan Usaha Perdagangan Berbasis Penjualan Langsung

Perlindungan konsumen merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan adanya hukum yang memberikan perlindungan kepada

150

Vira Arista Indika Yanti, Fendi Setyawan, Mardi Handono, Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Oriflame Yang Dipasarkan Melalui Mekanisme Multi Level Marketing Oleh Pt Orindo Alam Ayu Cabang Surabaya, Hukum Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Jember (UNEJ), Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2014


(29)

konsumen dari kerugian atas penggunaan produk barang dan atau jasa.151 Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Sedangkan pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa, yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.152

Penjualan langsung diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan Dengan Sistem Penjualan Langsung. Pengaturan penjualan langsung dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 32/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan Dengan Sistem Penjualan Langsung merupakan salah satu bentuk upaya perlindungan konsumen dari pemerintah terkait kegiatan penjualan langsung. Konsideran Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 32/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan Dengan Sistem Penjualan Langsung menyatakanbahwa dalam rangka penataan, peningkatan tertib usaha, perlindungan konsumen, kepastian hukum, dan penciptaan iklim usaha yang kondusif guna mendorong peningkatan investasi di bidang perdagangan, perlu mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan usaha perdagangan dengan sistem penjualan langsung Pengertian pemasaran multi tingkat tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan namun frasa “pemasaran multi tingkat” dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 32/MDAG/PER/8/2008 tentang

151

Burhanuddin, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen & Sertifikasi Halal, Cetakan I (Malang : UIN-Maliki Press, 2011), hlm. 1

152

Pasal 2 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


(30)

Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan Dengan Sistem Penjualan Langsung yang menyatakan program pemasaran (Marketing Plan) adalah program perusahaan dalam memasarkan barang dan/atau jasa yang akan dilaksanakan dan dikembangkan oleh mitra usaha melalui jaringan pemasaran dengan bentuk pemasaran satu tingkat atau pemasaran multi tingkat. Kegiatan

multi level marketing berkaitan dengan beberapa pihak yang antara lain perusahaan produk, mitra usaha, dan konsumen. Perusahaan produk adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum yang melakukan kegiatan usaha perdagangan barang dan atau jasa dengan sistem penjualan langsung.

Mitra usaha adalah anggota mandiri jaringan pemasaran atau penjualan yang berbentuk badan usaha atau perseorangan dan bukan merupakan bagian dari struktur organisasi perusahaan yang memasarkan atau menjual barang dan/atau jasa kepada konsumen akhir secara langsung dengan mendapatkan imbalan berupa komisi dan/atau bonus atas penjualan. Perlindungan konsumen dalam pemasaran multi tingkat (multi level marketing) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 32/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan Dengan Sistem Penjualan Langsung memuat jenis sanksi yang berbeda dengan perlindungan konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen dalam pemasaran multi tingkat (multi level marketing) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan Dengan Sistem Penjualan Langsung tidak memuat sanksi pidana tetapi hanya memuat sanksi administratif yang berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pencabutan SIUPL.


(31)

Jika konsumen menderita kerugian berupa terjadinya kerusakan, pencemaran, atau kerugian financial dan kesehatan karena mengonsumsi produk yang diperdagangkan, produsen sebagai pelaku usaha wajib memberikan penggantian kerugian, baik dalam bentuk pengembalian uang, penggantian barang, perawatan, maupun dengan pemberian santunan. Penggantian kerugian itu dilakukan dalam waktu paling lama tujuh hari setelah tanggal transaksi. Dengan demikian, ketentuan ini tidak memaksudkan supaya persoalan deselesaikan melalui pengadilan, tetapi merupakan kewajiban mutlak bagi produsen untuk memberi penggantian kepada konsumen, kewajiban yang harus dipenuhi seketika.

Bentuk perlindungan hukum yang dimaksud di sini adalah perlindungan hukum yang diberikan oleh peraturan perundangundangan agar hak-hak yang dimiliki konsumen tidak dirugikan atau untuk melindungi pihak konsumen dari tindakan curang pelaku usaha.Tuntutan yang dapat diajukan kepada pelaku usaha tidak hanya tuntutan secara perdata akan tetapi apabila pelaku usaha terbukti melakukan tindak pidana maka pelaku usaha juga dapat dituntut secara pidana melalui jalur pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 61 sampai Pasal 63 UUPK.153

C. Akibat Hukum Terlanggarnya Kewajiban Pemberian Garansi

Suatu perjanjian pemberian garansi/jaminan akan membawa akibat hukum antara guarantor/penjamin dengan kreditur. Perjanjian pemberian garansi/jaminan merupakan perjanjian antara seorang penjamin/guarantor dengan kreditur yang menjamin pembayaran kembali utang debitur manakala debitur sendiri tidak memenuhinya (cidera janji). Penjamin/guarantor merupakan pihak ketiga yang mengikatkan diri kepada kreditur untuk menjamin pembayaran kembali utang

153

http://tendycaptain.blogspot.co.id/2015/06/hukum-perlindungan-konsumen.html, (terakhir diakses 10 Maret 2016).


(32)

debitur. Penjamin yang mengikatkan diri kepada kreditur dapat dilakukan dengan sepengetahuan debitur atau diluar pengetahuan debitur. Seorang guarantor/penjamin yang telah mengikatkan diri sebagai guarantor/penjamin membawa akibat hukum bagi guarantor/penjamin untuk melunasi utang debitur (si berutang utama) manakala debitur cidera janji. Kewajiban guarantor/penjamin untuk melunasi utang debitur tersebut baru dilakukan setelah kreditur mengeksekusi harta kekayaan milik debitur yang hasilnya tidak mencukupi untuk melunasi utangnya.154 Selama kreditur belum melakukan eksekusi atau penjualan harta kekayaan debitur, guarantor/penjamin tidak memiliki kewajiban membayar utang debitur yang dijaminnya. Jadi meskipun guarantor/penjamin telah mengikatkan diri sebagai guarantor/penjamin tidak serta merta memiliki kewajiban uuntuk membayar utang debitur. Bisa dikatakan bahwa tanggung jawab guarantor/penjamin hanyalah sebagai cadangan atau subsider, dalam hal penjualan harta kekayaan debitur tidak mencukupi atau sama sekali debitur tidak memiliki harta benda yang dapat dijual. Hal ini sesuai Pasal 1831 KUHPerdata yang mengaskan bahwa guarantor/penjamin tidaklah diwajibkan membayar kepada kreditur, selain jika debitur lalai sedangkan harta benda debitur ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya.

Penjamin wajib memenuhi kewajiban debitur sejak debitur cidera janji atau tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan yang diperjanjikan dalam hal pemberian garansi/jaminan. Penjamin yang telah mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban debitur, berada dalam posisi yang lemah. Hal ini disebabkan karena pemberian garansi/jaminan dibuat untuk melindungi kepentingan kreditur,

154


(33)

sehingga pada saat debitur mengalami kegagalan dalam pemenuhan kewajibannya, penjamin/guarantor segera dapat dimintakan untuk pemenuhannya berdasarkan perjanjian pemberian garansi/jaminan yang telah dibuat. Dalam Memberikan perlindungan bagi guarantor dalam melaksanakan kewajibannya, Undang-undang memberikan beberapa hak istimewa kepada seorang penjamin/guarantor.

Pelanggaran terhadap hak konsumen disebabkan beberapa faktor. Di antaranya faktor sikap pelaku usaha yang sering memandang konsumen sebagai pihak yang mudah dieksploitasi dan dipengaruhi untuk mengonsumsi segala bentuk barang/jasa yang ditawarkan. Faktor ini diperparah dengan kurang mengertinya masyarakat umum sebagai konsumen terhadap hakhaknya. Jika haknya diabaikan, konsumen tidak bisa berbuat apa-apa karena memang tidak tahu dan tidak sadar. Ketika sadar, mereka justru tidak mengerti bagaimana tata cara atau prosedur pengaduan dan penuntutan atas hak-haknya yang dilanggar.


(34)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengaturan perjanjian kemitraan dalam hukum Indonesia berupa Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, kemudian Pasal 34 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan Pasar 73 ayat (1), (2), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Dengan adanya peraturan perjanjian Kemitraan dapat terjalin kerjasama usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha kecil dengan pengusaha menengah/besar (Perusahaan Mitra) disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh pengusaha besar, sehingga saling memerlukan, menguntungkan dan memperkuat.

2. Pengaturan hukum terhadap garansi produk dalam usaha perdagangan dengan sistem penjualan langsung berupa Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 32/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaran Kegiatan Usaha Perdagangan Dengan Sistem Penjualan Langsung, peraturan ini menekankan pada kegiatan usaha perdagangan dengan sistem penjualan langsung yang diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara perusahaan dan mitra usaha, dengan memperhatikan kode etik dan Perusahaan secara langsung atau melalui mitra usaha harus memberikan keterangan secara lisan atau tertulis dengan benar kepada calon mitra usaha dan/atau konsumen.


(35)

3. Perlindungan dan pemberian garansi terhadap perusahaan oleh mitra usaha dalam kegiatan usaha perdagangan berbasis penjualan langsung dalam hal merasa dirugikan akibat adanya informasi yang tidak benar dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada pelaku usaha dan pelaku usaha harus member tanggapan dan/atau penyelesaian dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi pembelian. Hal inilah yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa konsumen secara damai. Namun, jika dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi pelaku usaha tidak ada niat baik memberikan ganti kerugian kepada konsumennya yang dirugika akibat adanya perjanjian mitra usaha memilih menyelesaiakan sengketa konsumen di luar pengadilan adalah untuk menghemat biaya, waktu, dan dapat tercapai apa yang diinginkan oleh para pihak.

B. Saran

1. Hendaknya Perusahan Produk yang melaksanakan pemasaran mengatur hubungan hukum antara perusahaan produk dengan mitra usaha maupun kosumen yang lebih berorientasi pada perlindungan konsumen dalam perjanjian kontraknya.

2. Hendaknya Pemerintah membentuk peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk mengatur hubungan hukum antara perusahaan produk dengan mitra usaha maupun kosumen yang lebih berorientasi pada perlindungan konsumen dan melakukan pengawasan terhadap kepatuhan perusahaan tersebut untuk melaksanakan peraturan dimaksud.

3. Hendaknya masyarakat/konsumen memahami peraturan per Undang-Undangan terkait pemberian garansi terhadap perusahaan oleh mitra usaha


(36)

dalam kegiatan usaha perdagangan berbasis penjualan langsung dan peraturan internal perusahaan. Selain itu, konsumen sebaiknya memahami macam-macam penyelesaian sengketa konsumen yang dapat dilakukan dan menggunakannya dalam hal konsumen dirugikan.


(37)

BAB II

PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEMITRAAN DALAM HUKUM DI INDONESIA

A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian

Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau satu pihak yang membuat perjanjian, sedangakan perikatan yang lahir dari undang-undang di buat atas dasar kehendak yang saling berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak.25 Dalam bahasa Belanda perjanjian disebut juga overeenkomstenrecht.26

Pengertian singkat diatas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum

(rechtsbetreking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)

atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjian (verbintenis) adalah hubungan hukum rechtsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum

25

Suharnoko, Hukum Perjanjian (Jakarta : Prenada Media, 2004), hlm. 117. 26

C.s.t. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata (Jakarta : Pradnya Paramita, 2006), hlm. 10.


(38)

antara perorangan/ persoon adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum . Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan.27

Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.28

Buku III KUHPerdata berjudul “Perihal Perikatan” Perkataan Perikatan

(verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian” sebab

dalam buku III itu, diatur juga prihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu prihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari buku III ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan hukum perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh buku III KUHPerdata ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.29

27

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 6-7. 28

Subekti, Hukum Perjanjian (Bandung : Intermasa, 2002), hlm. 1. 29


(39)

Undang-undang perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang perikatan. Hal ini karena perjanjian merupakan salah satu peristiwa yang melahirkan hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua pihak yang disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban (perikatan). Definisi perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

J. Satrio mengatakan perjanjian adalah perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau dimana satu orang lain atau lebih saling mengikatkan dirinya.”30

Dengan pertimbangan agar perbuatan-perbuatan yang tidak mengandung unsur kehendak atas akibatnya tidak masuk dalam cakupan perumusan, seperti perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), perwakilan sukarela (zaakwarneming) dan agar perjanjian timbal balik bisa tercakup dalam perumusan tersebut.

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal.31

Menurut M. Yahya Harahap, mengemukakan Perjanjian atau verbintenis

mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang

30

J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1996), hlm 12. 31


(40)

atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.32

Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.33 Perjanjian tidak terjadi seketika atau serta merta dan perjanjian dibuat untuk dilaksanakan, oleh karena itu dalam suatu perjanjian yang dibuat selalu terdapat tahapan yaitu:

a. pracontractual, yaitu perbuatan-perbuatan yang mencakup dalam negosiasi dengan kajian tentang penawaran dan penerimaan;

b. contractual, yaitu tentang bertemunya dua pernyataan kehendak yang saling mengikat kedua belah pihak;

c. post-contractual, yaitu tahap pada pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang hendak diwujudkan melalui perjanjian tersebut.34

Perjanjian terdapat unsur janji, janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Kalau orang terikat pada suatu kewajiban, yang diletakkan pada dirinya atas dasar, bahwa undang-undang menentukan demikian seperti onrechtmatigedaad tidak dapat dikatakan, bahwa ia menjanjikan hal seperti itu dan karenanya tak mungkin didasarkan atas suatu perjanjian. Dalam

32

M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 6. 33

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian (Bandung : Sumur, 1981), hlm. 9. 34

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika,2003), hlm. 16.


(41)

perjanjian orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

2. Jenis-Jenis perjanjian

KUHPerdata mengenal adanya beberapa jenis perjanjian, antara lain : a. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

Dikatakan dengan perjanjian cuma-cuma adalah “suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberi suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa

menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri”.35

Abdulkadir Muhammad

mendefenisikan perjanjian ini dengan “perjanjian percuma, yaitu perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja.”36 Kata “memberi keuntungan” sebenarnya lebih tepat kalau diganti dengan kata “prestasi”, karena apakah prestasi tersebut pada akhirnya menguntungkan atau tidak, tidak menjadi soal. Sedangkan pada pihak lain, terhadap prestasi yang satu, tidak ada kewajiban apa-apa. Kemudian yang termasuk di dalam perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian-perjanjian dimana memang ada prestasi pada kedua belah pihak, tetapi prestasi yang satu adalah tidak seimbang atau sebanding, sehingga prestasi itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu kontra prestasi terhadap yang lain.

Masalah lain adalah apabila terhadap prestasi yang satu ada kontra prestasi pada pihak lain, yang walaupun tidak seimbang, tidak dapat dikatakan bahwa disana tidak ada kontra prestasi sama sekali. Menurut Vollmar, hal ini sering disebut dengan “perjanjian campuran”, yaitu antara perjanjian cuma-cuma

35

J. Satrio., Hukum Perikatan, Perikatan Lahir Dari Perjanjian (Bandung : Citra Aditya Bakti,1995). hlm. 38.

36


(42)

dengan perjanjian atas beban.37Menurut Pasal 1314 ayat 2 (dua) KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian atas beban adalah “suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”. Perbedaan antara perjanjian cuma-cuma dengan perjanjian atas beban, yaitu bahwa pada perjanjian cuma-cuma, untuk menuntut pembatalan perjanjian yang merugikan kreditur, yang telah ditutup oleh debitur, debitur tahu bahwa perbuatan merugikan kreditur dan debitur itu sendiri tidak mau tahu apakah perbuatannya itu diketahui atau tidak. Sedangkan pada perjanjian atas beban, debitur wajib membuktikan dulu, apakah baik debitur atau pihak ketiga yang mendapat keuntungan tahu bahwa perjanjian yang dituntut pembatalannya merugikan kreditur.

b. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbal balik, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa dan tukar-menukar. Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi, misalnya perjanjian hibah.38

Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak akan memperoleh hak dan akan melaksanakan kewajibannya.

37

J. Satrio, Op.Cit., hlm. 149. 38

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 227.


(43)

Kriteria kewajiban untuk berprestasi bagi kedua belah pihak. Perjanjian sepihak, yang mempunyai kewajiban untuk berprestasi adalah hanya satu pihak saja, dan pihak yang lain hanya berhak untuk menerima prestasi dari pihak yang satu, misalnya dalam perjanjian hibah, A berkewajiban memberikan benda yang dihibahkannya kepada B. Kewajiban tersebut merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh si A. dalam hal ini bank hanya berhak untuk menerima benda yang dihibahkan oleh si A.

c. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara kedua pihak sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu timbul cukup dengan adanya kesepakatan diantara para pihak. Dalam perjanjian riil, kesepakatan itu tidak cukup untuk dijadikan sebagai dasar timbulnya suatu perjanjian, tetapi juga harus diikuti dengan penyerahan barang yang menjadi objek perjanjian tersebut barulah dapat dikatakan perjanjian itu ada.

d. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama

Ada perbedaan dalam jenis perjanjian ini dilihat dari jumlah perjanjian. Mengingat jumlah perjanjian yang memiliki nama jumlahnya hanya terbatas, maka dalam praktek hukumnya disebut dengan perjanjian bernama, yaitu perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan ke dalam perjanjian khusus. Sedangkan perjanjian tidak


(44)

bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan dilihat dari jumlahnya tidak terbatas.39

e. Perjanjian kebendaan

Seperti diketahui bahwa perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian yang objeknya menyangkut dengan kebendaan. Sedangkan perjanjian obligator adalah merupakan realisasi dari perjanjian kebendaan tersebut, dalam arti perjanjian yang menimbulkan perikatan.

Tujuan Kebendaan ini adalah untuk mengetahui keberadaan dalam perjanjian tersebut sebagai realisasi, perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

f. Perjanjian obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain, yaitu penyerahan. Perjanjian jual beli itu dinamakan perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban kepada para pihak untuk melakukan penyerahan.

g. Perjanjian yang bersifat hukum keluarga


(45)

Walaupun perkawinan di dalam hukum perdata diatur dalam buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata, namun kalau dilihat dari proses terjadinya perkawinan itu, maka perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perjanjian. Dimana dengan adanya perkawinan itu secara hukum dapat atau akan menimbulkan akibat hukum lagi bagi kedua belah pihak. Namun akibat hukum dalam perjanjian perkawinan ini hanya menyangkut dengan akibat hukum dalam keluarga saja. Perkawinan timbul karena adanya kesepakatan diantara pihak pria dan wanita dan menimbulkan hak dan kewajiban sebagai ikatan lahir dan batin. Hal tersebut sama halnya dengan syarat-syarat dalam perjanjian. Bahkan dalam perkawinan para pihak yang akan mengadakan perjanjian perkawinan tersebut telah ditentukan, seperti antara pria dan wanita, tidak boleh sedarah dan sebagainya.

Mengingat bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban yang bersifat pribadi antara suami dan istri, kemudian hak dan kewajiban tersebut bukan merupakan kehendak dari undang-undang atau ketentuan hukum yang mengaturnya, maka secara juridis dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak berlaku bagi hak dan kewajiban suami dan istri yang terikat dalam suatu perkawinan.

Banyak lagi perjanjian-perjanjian yang terjadi di dalam masyarakat yang sesuai inteprestasi realitanya dianggap sebagai perjanjian, namun secara


(46)

juridis tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3. Asas-Asas Perjanjian

Hukum perjanjian mengatur beberapa prinsip atau asas sebagai suatu landasan pikir dan pandangan untuk menginterprestasikan maksud yang terkandung dari ketentuan hukum perjanjian itu, dimana asas-asas tersebut merupakan pedoman bagi para pihak pembuat Undang-undang dalam menentukan sikap untuk membuat peraturan hukum. Didalam kamus ilmiah asas diterjemahkan sebagai pokok, dasar, dan pundamen.40 Sedangkan Solly Lubis menyatakan asas adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai-nilai yang disyaratkan menjadi landasan antara hubungan sesama anggota masyarakat.41

Asas ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan kedalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hukum yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.42 Dengan demikian, setiap peraturan perundang-undangan diperlukan adanya suatu asas, karena asas ini yang melandasi atau menjiwai ataupun menghidupi peraturan perundang-undangan dan dengan asas tersebut

40

Pius A Partono dan M Dahlan, Al-Berr, Kamus Ilmiah Favorit (Jakarta : Anka, Surabaya, 1994), hlm. 48.

41

Solly Lubis, Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional (Jakarta : BPHN, Depkeh, 1995), hlm. 29.

42

Paul Scholten di dalam JJ. H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum (alih bahasa oleh Arief Sidharta) (Bandung : Cipta Aditya Bhakti, 1996), hlm. 119-120.


(47)

dimaksud dan tujuan peraturan menjadi jelas.43 Selanjutnya Sri Sumantri Martosuwigjo berpendapat bahwa asas mempunyai padanan kata dengan “beginsel” (Belanda) atau “principle” (Inggris) sebagai suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir.44 Asas hukum adalah dasar normatif untuk membedakan daya ikat normatif dan memaksa. Dengan demikian dalam melakukan perjanjian selain memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada juga harus memperhatikan asas-asas terdapat pada hukum perjanjian pada umumnya.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan dengan jelas mengenai beberapa asas-asas perjanjian, diantaranya dalam Pasal 1315 menentukan asas personalia perjanjian; Pasal 1337 menentukan asas kesusilaan dan ketertiban umum; Pasal 1338 ayat (1) menentukan asas mengikatnya perjanjian; Pasal 1338 ayat (3) menentukan asas itikad baik; Pasal 1339 menentukan asas kepatutan dan kebiasaan. Namun menurut Rutten hanya ada tiga asas yang sangat pokok dalam hukum perjanjian, yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikatnya perjanjian, dan asas kebebasan berkontrak.45

Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah: a. Asas konsensualisme

Asas konsesualismeadalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian telah terjadi atau lahir sejak terciptanya sepakat para pihak, artinya suatu perjanjian

43

Rooseno Harjowidigji, Presfektif Peraturan Franchise (Jakarta : BPHN, 1993), hlm. 12.

44

Sri Sumantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negar. (Bandung : Alumni, 1971), hlm. 20.

45

Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian (Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro1982), hlm. 3.


(48)

telah ada dan mempunyai akibat hukum dengan terciptanya kata sepakat dari para pihak mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.46

Asas kesepakatan ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa, untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Pada saat ini ada kecendrungan mewujudkan perjanjian konsensuildalam bentuk perjanjian tertulis baik di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pembuktian jika dalam pelaksanaannya nanti salah satu pihak melakukan pelanggaran. Menurut asas ini perjanjian sudah lahir atau terbentuk ketika para pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Walaupun undang-undang telah menetapkan bahwa sahnya suatau perjanjian harus dilakukan secara tertulis (seperti perjanjian perdamaian) atau dibuat dengan akta oleh pejabat berwenang seperti akta jual beli tanah) semua ini merupakan pengecualian.

Bentuk konsensualisme adalah suatu yang dibuat secara tertulis, salah satunya dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Tanda tangan berfungsi sebagai bentuk kesepakatan dan bentuk persetujuan atas tempat, waktu dan isi perjanjian yang dibuat. Tanda tangan juga berkaitan dengan kesengajaan para pihak untuk membuat suatu perjanjian sebagai bukti atas suatu peristiwa.47

46

Subekti, Op.cit., hlm. 15. 47

http://www.dheanbj.com/2012/09/asas-asas-hukum-perjanjian.html?m=1 ,DheanBJ, (terakhir di akses 9 Maret 2016).


(49)

Adapun menurut Qirom Syamsudin, asas konsensualisme mengandung arti bahwa dalam satu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal.48 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian tidaklah sah tanpa adanya kesepakatan dari para pihak.

b. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menurut ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Sumber dari asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak.

Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia menetapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, tanpa sepakat perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Menurut hukum perjanjian di Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak yang di kehendaki nya. Undang-undang yang mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,

48

A Qirom Syamsuddin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya


(50)

pengaturan hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 1331 KUHPerdata tersebut, Maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.49

Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal ataupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. asas kebebasan berkontrak

(contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian maka asas kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak ini adalah perwujudan kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.50

Asas kebebasan berkontrak (contracts vrijheid atau partijautonomie)

adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas

49

http://m.kompasiana.com/post/read/238895/3/asas-kebebasan-berkontrak-dalam-hukum-perjanjian-di-indonesia (terakhir diakses 2 Maret 2016) 50

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1993, Hlm. 84.


(51)

ini disimpulkan juga dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”Subekti mengatakan, bahwa dengan menekankan kata “semua”, maka ketentuan tersebut seolah-olah berisikan pernyataan pada masyarakat bahwa, setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam undang-undang.

Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam- macam hak atas benda terbatas dan peraturan mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.51

Pasal-Pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap (optimal law), yang berarti bahwa Pasal-Pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka di perbolehkan membuat ketentuan - ketentuan mereka sendiri yang menyimpang dari Pasal-Pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Asas ini dalam hukum perjanjian di kenal dengan asas kebebasan berkontrak.

Dalam Pasal-Pasal yang mencantumkan mengenai batasan-batasan asas kebebasan berkontrak ini dapat dibaca dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata

51Ibid


(52)

khususnya syarat keempat, yaitu yang mengatur mengenai suatu sebab (oorzaak/causa) yang diperbolehkan, di mana pengaturan persyaratan adanya sebab yang halal (diperbolehkan) ini harus sesuai dengan (tidak bertentangan dengan) Pasal-Pasal 1335 – 1337 KUHPerdata.

Pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu persetujuan tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau dilarang, tidak mempunyai kekuatan, kemudian dalam Pasal 1336 KUHPerdata dinyatakan bahwa jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain daripada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah. Sedangkan dalam Pasal 1337 KUHPerdata diatur mengenai suatu sebab yang terlarang, yaitu apabila bertentangan dengan undang-undang atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak. Dalam Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian, sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian. Menurut Pasal 1330


(53)

KUHPerdata, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian.

Ketika membuat suatu kesepakatan, para pihak tidak boleh membuat perjanjian yang dilarang oleh undang-undang dan yang bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Jadi, bagaimanapun juga asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tetap ada batas-batasnya. Hal ini disebabkan karena kesusilaan dan hukum tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Oleh karena itulah dalam Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan ataupun ketertiban umum.

Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan, mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

c. Asas mengikatnya perjanjian (pacta sunt servanda)

Asas mengikatnya perjanjian adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat mereka yang membuat sebagai undang-undang. Dengan demikian para pihak terikat dan harus melaksanakan


(1)

penggantian kerugian kepada pelaku usaha dan pelaku usaha harus member tanggapan dan/atau penyelesaian dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi pembelian.

Kata Kunci : Mitra Usaha, Garansi

1

Peneliti, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2

Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang

Maha Esa atas kasih dan berkat yang dilimpahkanNya sehingga

penulis dapat memulai, menjalani dan mengakhiri masa perkuliahan

serta dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

Adapun skripsi ini berjudul: “Pertanggungjawaban Mitra

Usaha dalam Perusahaan Berbasis Penjualan Langsung terhadap

Pemberian Garansi atas Produk yang Diperdagangkan

”.

Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami

kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta

petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat

diselesaikan dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang banyak

membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu

penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1.

Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

3.

Bapak Syafruddin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

4.

Bapak Dr. Ok. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5.

Ibu Winda, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6.

Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H, selaku

Dosen

Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dalam

memberikan masukan serta bimbingan dalam pelaksanaan

penulisan skripsi ini.

7.

Bapak

Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum, selaku Dosen

Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis dalam

memberikan masukan, arahan serta bimbingan dalam pelaksanaan

penulisan skripsi ini.

8.

Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya

kepada penulis.

9.

Kepada orangtua, kakak, abang, adik-adik dan Rafkiel yang telah

memberikan doa dan dukungan yang tidak pernah putus dalam

penulisan skripsi ini.


(4)

10.

Kepada sahabat sahabat tersayang, Meilinda, Kak Naomi, Yani,

Eva, Grace dan Yolanda yang telah banyak mendukung,

membantu dan memberikan doa dari awal hingga akhir penulisan

skripsi ini.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, atas segala

kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya

ucapkan terima kasih.

Medan, 02 April 2016

Penulis

Tessalonika Aurelia

12020035


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

F. Metode Penulisan ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEMITRAAN DALAM HUKUM DI INDONESIA A. Perjanjian pada Umumnya ... 24

1. Pengertian perjanjian ... 24

2. Jenis-jenis perjanjian ... 28

3. Asas-asas perjanjian ... 33

4. Sumber hukum perjanjian ... 44

5. Syarat sahnya suatu perjanjian ... 46

B. Perjanjian Kemitraan ... 53

1. Pengertian dan unsur-unsur perjanjian kemitraan ... 53

2. Para pihak dalam perjanjian kemitraan ... 59

3. Sahnya perjanjian kemitraan ... 62

4. Hak dan kewajiban para pihak... 66

C. Perjanjian Kemitraan dalam Hukum di Indonesia... 68


(6)

2. Hubungan hukum antara perusahaan dengan mitra ... 74

3. Hubungan ukum antara perusahaan dengan konsumen ... 75

BAB III TINJAUAN HUKUM TERHADAP GARANSI PRODUK DALAM USAHA PERDAGANGAN DENGAN SISTEM PENJUALAN LANGSUNG A. Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung 78 1. Pengertian kegiatan usaha perdagangan dengan sistem penjualan langsung ... 78

2. Pengaturan penyelenggara kegiatan usaha perdagangan dengan sistem penjualan langsung ... 80

B. Garansi atas Produk ... 83

1. Pengertian dan jenis-jenis garansi ... 83

2. Kedudukan garansi menurut hokum ... 88

3. Garansi dan hak konsumen ... 89

BAB IV PERLINDUNGAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PEMBERIAN GARANSI TERHADAP PERUSAHAAN OLEH MITRA USAHA DALAM KEGIATAN USAHA PERDAGANGAN BERBASIS PENJUALAN LANGSUNG A. Tanggung jawab Mitra Usaha dalam Pemberian Garansi ... 94

B. Perlindungan Terhadap Pemberian Garansi terhadap Perusahaan oleh Mitra Usaha dalam kegiatan Usaha Perdagangan Berbasis Penjualan Langsung ... 98

C. Akibat Hukum Terlanggarnya Kewajiban Pemberian Garansi ... 101

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 104

B. Saran ... 105


Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Mitra Usaha Dalam Perusahaan Berbasis Distribusi Penjualan Langsung Atas Tuntutan Ganti Rugi oleh Konsumen yang Disebabkan Karena Kegagalan Produk

1 92 99

Pertanggungjawaban Mitra Usaha dalam Perusahaan Berbasis Penjualan Langsung terhadap Pemberian Garansi atas Produk yang Diperdagangkan

0 0 9

Pertanggungjawaban Mitra Usaha dalam Perusahaan Berbasis Penjualan Langsung terhadap Pemberian Garansi atas Produk yang Diperdagangkan

0 0 2

Pertanggungjawaban Mitra Usaha dalam Perusahaan Berbasis Penjualan Langsung terhadap Pemberian Garansi atas Produk yang Diperdagangkan

0 1 23

Pertanggungjawaban Mitra Usaha dalam Perusahaan Berbasis Penjualan Langsung terhadap Pemberian Garansi atas Produk yang Diperdagangkan

0 0 53

Pertanggungjawaban Mitra Usaha dalam Perusahaan Berbasis Penjualan Langsung terhadap Pemberian Garansi atas Produk yang Diperdagangkan

0 0 6

Perlindungan Hukum Terhadap Mitra Usaha Dalam Perusahaan Berbasis Distribusi Penjualan Langsung Atas Tuntutan Ganti Rugi oleh Konsumen yang Disebabkan Karena Kegagalan Produk

0 2 7

Perlindungan Hukum Terhadap Mitra Usaha Dalam Perusahaan Berbasis Distribusi Penjualan Langsung Atas Tuntutan Ganti Rugi oleh Konsumen yang Disebabkan Karena Kegagalan Produk

0 1 1

Perlindungan Hukum Terhadap Mitra Usaha Dalam Perusahaan Berbasis Distribusi Penjualan Langsung Atas Tuntutan Ganti Rugi oleh Konsumen yang Disebabkan Karena Kegagalan Produk

0 0 20

Perlindungan Hukum Terhadap Mitra Usaha Dalam Perusahaan Berbasis Distribusi Penjualan Langsung Atas Tuntutan Ganti Rugi oleh Konsumen yang Disebabkan Karena Kegagalan Produk

0 0 24