Nilai Diagnostik Dan Korelasi Rasio Neutrofil-Limfosit Dengan Serum Procalcitonin Sebagai Biomarker Infeksi Bakteri Pasien Sepsis Di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SEPSIS
2.1.1 Epidemiologi
Angus dkk pada tahun 2001 melakukan studi pertama epidemiologi terhadap
sepsis, dengan tingkat kejadian sepsis sebanyak 751.000 kasus (3,0 per 1.000 penduduk
dan 2,26 per 100 pasien rumah sakit). Dimana lebih dari setengah

pasien yang

menerima perawatan di ICU dan insiden sepsis pada orang dewasa meningkat secara
substansial terhadap usia(mulai dari 5,3/1.000 untuk usia 60 - 64 tahun menjadi
26,2/1.000 untuk usia≥85tahun).11

Gambar 1.
Perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lain.
(Dikutip dari Angus DC dkk, Crit Care Med. 2001)11

23
Universitas Sumatera Utara


2.1.2. Definisi
Definisi sepsis yang diambil dari konfrensi Internasional tentang Definisi Sepsis tahun
2001 (tabel 1).12
Infection

Sebuah proses patologis yang disebabkan invasi
terhadap

jaringan

steril

atau

cairan

oleh

mikroorganisme patogen atau yang berpotensi

patogen.
Sepsis

Kejadian

infeksi

yang

terlihat

atau

sangat

dicurigai,dengan respon inflamasi sistemik, yang
telah ditunjukkan oleh adanya beberapa tanda infeksi.
Severe sepsis

Sepsis yang diperberat dengan keberadaan disfungsi

organ

Septic shock

Sepsis berat dengan komplikasi kegagalan sirkulasi
akut yang ditandai dengan hipotensi arteri secara
terus-menerus,meskipun volum resusitasi cukup,dan
sebab lainnya yang tidak dapat dijelaskan

(Diambil dari Jonathan M. Siner, MD.Sepsis: Definitions, Epidemiology, Etiology and
Pathogenesis PCCSU 2009) 12

24
Universitas Sumatera Utara

Di bawah ini akan dipaparkan defenisi penyakit yang berkaitan dengan sepsis menurut
jurnal dari Lancet tahun 2005 (tabel 2).13
Tabel 2. Defenisi Penyakit ( dikutip dari Annane dkk. The Lancet 2005)13
Systemic
inflammatory

response
syndrome

Dua atau lebih :


Suhu tubuh > 38.5°C atau < 36.0°C



Laju nadi > 90 kali per menit



Laju nafas > 20 kali per menit atau PaCO2 < 32
mmHg atau membutuhkan ventilasi mekanik



Jumlah sel darah putih > 12000/mm3 atau 4000/mm3

atau bentuk immature> 10%

Sepsis

Systemic inflammatory response syndrome dan ada infeksi
(kultur atau gram stain of blood, sputum, urin atau
cairan tubuh yang normalnya steril positif
mikroorganisme

patogen

;

atau

fokus

terhadap
infeksi


diidentifikasi dengan penglihatan spt: ruptured bowel
dengan free air atau bowel contents didapati pada
abdomen saat pembedahan, luka dengan purulent
discharge)
Severe sepsis

Sepsis dengan minimal satu tanda dari hipoperfusi atau
disfungsi organ :


Areas of mottled skin



Capillary refilling time ≥ 3detik



Urin output< 0.5mL/kg dalam 1 jam atau renal
replacement therapy




Laktat > 2mmol/L

25
Universitas Sumatera Utara



Perubahan

kesadaran

tiba-tiba

atau

electroencephalogram tidak normal



Jumlah trombosit < 100000/mL atau disseminated
intravascular coagulation



Acute lung injury - acute respiratory distress
syndrome


Septic shock

Cardiac disfunction ( echocardiography )

Severe sepsis dan salah satu :


Systemic mean blood pressure < 60mmHg (<
80mmHg jika ada


hipertensi sebelumnya)

setelah pemberian 20-30 mL/kg starch atau 40-60
mL/kg kristaloid, atau pulmonary capillary wedge
pressure antara 12 dan 20 mmHg


Butuh dopamin > 5µg/kg per menit atau
norepinephrine atau epinephrine < 0.25µg/kg per
menit

untuk

mempertahankan

meanblood

pressure diatas 60 mmHg ( 80 mmHg jika ada
hipertensi sebelumnya )
Refractory

shock

septic Butuh

dopamin

>

15µg/kg

per

menit

atau

norepinephrine atau epinephrine > 0.25µg/kg permenit
untuk mempertahankan mean blood pressure diatas 60
mmHg ( 80 mmHg jika ada hipertensi sebelumnya )


2.1.3. Patofisiologi SIRS dan SEPSIS
Systemic inflammatory respon syndrome (SIRS), apapun penyebabnya memiliki
patofisiologi yang sama. Sindrom yang timbul pada SIRS merupakan pertahanan hidup.

26
Universitas Sumatera Utara

Inflamasi merupakan respon tubuh terhadap penyebab non-spesifik, sedangkan kaskade
inflamasi adalah proses kompleks yang melibatkan sistem imunologi seluler dan
humoral, komplemen, dan kaskade sitokin.
Bone meringkaskan interaksi komplek ini menjadi 3 tahap proses :


Tahap I : setelah terjadi cedera jaringan, sitokin lokal diproduksi yang bertujuan
untuk merangsang respon inflamasi sehingga mulai terjadi perbaikan luka dan



pengaktifan sistem endotelial retikular.
Tahap II : sejumlah kecil sitokin lokal dilepaskan ke dalam sirkulasi untuk
memperbaiki respon lokal. Hal ini akan mengakibatkan rangsangan terhadap
Growth factor dan makrofag serta trombosit. Fase akut ini biasanya dapat
terkendali dengan berkurangnya mediator proinflamasi dengan pelepasan



antagonis endogen. Tujuannya adalah homeostatis.
Tahap III

:

jika homeostatis tidak tercapai, reaksi sistemik yang cukup

signifikan akan terjadi. Sitokin yang dilepas akan bersifat merusak dari pada
melindungi (proteksi). Konsekuensinya adalah pengaktifan sejumlah kaskade
humoral dan pengaktifan sistem endotelial retikular, selanjutnya akan terjadi
kehilangan integritas sirkulasi. Hal ini akan mengakibatkan disfungsi organ.14

27
Universitas Sumatera Utara

Gbr 2. Respon inflamasi yang dinamik pada sepsis.
Pada awal mula sepsis, proses pro-inflamasi mendominasi mencetuskan keadaaan
sindrom respon inflamasi sistemik. Diikuti dalam beberapa jam proses kompensasi
sindrom antiinflamasi ( compensatory anti-inflammatory response syndrome (CARS),
yang ditandai dengan penurunan respon sel imun tubuh. Berlanjut dalam jam-jam atau
hari-hari berikutnya pasien dapat mencapai suatu homeostasis imunologis. Pada
beberapa pasien, terjadi proses perubahan fenotip antiinflamasi yang berkepanjangan.
Hal ini dikenal dengan istilah imunoparalisis.15

Tabel 3. Sitokin/ mediator inflamasi

28
Universitas Sumatera Utara

Sistem imunitas adaptif melibatkan limfosit. Proses sistem imunitas adaptif ini
terutama limfosit bergantung pada sel imun bawaan dalam hal presentasi dan
pemprosesan antigen. Sel Limfosit B matur akan mensekresi sel plasma. Sel limfosit T
sitotoksik (CD8) berperan dalam penghancuran sel secara langsung. Sel limfosit T
helper (CD4) lebih berperan dengan memproduksi sitokin dalam proses perkembangan
dan memori imunologis setelah paparan pertama terhadap antigen. Pada keadaan sepsis,
sistem imun adaptif penting dalam modulasi fase subakut, berlangsung beberapa hari
setelah awal terjadinya sepsis.15

29
Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.Respon inflamasi terhadap pengaktifan sel imun
(dikutip dari Russel JA 16)

Patogenesis sepsis adalah kompleks, (Annane dkk. 2005). Utamanya, sepsis
adalah hasil dari interaksi antara mikroorganisme dan/atau produk mereka dan respon
tuan rumah akibat dikeluarkan sitokin dan mediator lainnya. Komponen terpenting dari
respon tuan rumah adalah berkembangnya mekanisme alami awal untuk memproteksi
organisme dari kerusakan. Akan tetapi pada sepsis, respon imun itu sendiri yang
menimbulkan respon kaskade sekunder dimana mencetuskan disfungsi organ bahkan
kematian, selain eradikasi dari invasi mikroorganisme. Konsep awal dari sepsis adalah
respon proinflamasi tak terkontrol juga gabungan dari disregulasi dari anti-inflamasi,
koagulasi dan jalur penyembuhan luka (Annane dkk. 2005)13

2.1.4

PROSES IMUNOLOGI PADA SEPSIS

2.1.4.1 Peran neutrofil pada sepsis
Meningkatnya bukti menunjukkan bahwa sepsis merusak fungsi kekebalan tubuh
dengan menginduksi penurunan sel imunitas bawaan. Secara khusus, selama sepsis
berat terdapat adanya penurunan dalam perekrutan neutrofil, kegagalan migrasi ke
tempat infeksi, selain itu adanya akumulasi neutrofil kedalam sel-sel dalam organ
(paru-paru, hati, ginjal, dan jantung).17
Pada tahun 1920 telah dilakukan studi yang menyatakan bahwa pada infeksi
bakteri pada saluran pernafasan bagian bawah terjadi peningkatan neutrofil imatur pada
sirkulasi akibat pelepasan neutrofil secara masif dari sum-sum tulang. (bergeser ke
kiri).18
Peranan dari Interleukin-12 dengan adanya stimulasi dari interferon gamma
akan meningkatkan fungsi neutrofil dalam hal aktifitas mikrobisidal, fagositosis bakteri
dan produksi nitric oxide (NO). Migrasi neutrofil memberikan kontribusi terhadap
patogenesis sepsis dan dengan demikian menentukan tingkat kematian. Ulasan ini akan

30
Universitas Sumatera Utara

menyoroti beberapa konsep baru dalam mekanisme di balik penurunan migrasi
neutrofil pada sepsis.

Gambar 4. Proses pembentukan dan maturasi sel leukosit

31
Universitas Sumatera Utara

Gambar 5. Proses aktifasi neutrofil dalam infeksi bakteri

2.1.4.2 Proses kerja neutrofil pada infeksi bakteri
Dalam keadaan yang normal, jumlah neutrofil yang beredar didalam darah normal.
Invasi bakteri kedalam sirkulasi mencetuskan keadaan sepsis, merangsang terjadinya
mobilisasi dan migrasi yang cepat sel imun( neutrofil) dari sumsum tulang kedalam
sirkulasi. Proses migrasi selanjutnya dari intravaskular ke ekstravaskular dominan
terjadi di venula post kapiler. Proses interaksi neutrofil dengan sel endotel pembuluh
darah kapiler dimediasi oleh selectin. L-selectin dihasilkan didalam neutrofil
merupakan mediator utama dalam proses migrasi neutrofil disamping E-selectin & P
selectin yag diproduksi oleh endotel. Pelepasan TNF Alfa oleh sel makrofag di jaringan
merangsang aktivasi selectin.Proses migrasi neutrofil ini ditingkat juga dengan Nitric
Oxyde (NO) (radikal bebas) yang merupakan modulator migrasi neutrofil.
Neutrofilia merupakan fenomena yang terjadi pada inflamasi sistemik,
khususnya pada infeksi bakteri, dimana disebabkan adanya demarjinasi neutrofil,
penundaan apoptosis pada neutrofil, dan stimulasi stem-cell oleh faktor
pertumbuhan (growth factors(G-CSF).17

32
Universitas Sumatera Utara

Menurut John C. Marshall, neutrofil merupakan populasi yang dinamis dengan
adanya proses maturasi dan apoptosis. Proses apoptosis berlangsung 6-8 jam( in vivo)
atau 24-36 jam (invitro). Sebanyak 1011 sel PMN dihasilkan dan mati setiap hari.19
Taneja dkk. melihat adanya proses apoptosis sel leukosit PMN (neutrofil)
tertunda pada pasien sepsis.21 Pada studi multisenter prospektif yang dilakukan Fialkow
dkk.pada 57 pasien sepsis dengan (ARDS dan syok sepsis) dan tanpa komplikasi,
didapatkan adanya proses apoptosis neutrofil yang lebih tinggi pada pasien tanpa
komplikasi. Dan dapat dijadikan marker tingkat keparahan sepsis. Apoptosis neutrofil
menjadi terhambat oleh karena adanya mediator inflamasi (TNF alfa) dan endotoksin
yang dihasilkan.22

2.1.5 Disfungsi imunologi pada sepsis
2.1.5.1Disfungsi proses migrasi neutrofil menuju fokus infeksi
Neutrofil diketahui memiliki peranan penting dalam respon inflamasi dengan fungsi
dalam mekanisme imunitas melawan infeksi.22 Defisiensi fungsi neutrofil telah diteliti
dan dihubungkan jelas dengan meningkatnya frekuensi dan keparahan infeksi bakteri.
Pasien dengan jumlah neutrofil yang rendah dihubungkan dengan resiko infeksi bakteri
nosokomial & infeksi jamur.
Inflamasi sistemik ditandai dengan adanya peningkatan konsentrasi sitokin dan
sekuestrasi neutrofil di paru-paru. Besarnya tingkat supresi daya kemotaksis neutrofil
(gangguan dalam daya migrasi neutrofil) pada pasien sepsis dihubungkan dengan
tingkat keparahan penyakit.Kegagalan migrasi neutrofil bukan disebabkan oleh karena
kurangnya mediator kemotaksis pada daerah infeksi, karena konsentrasi mediator
kemotaksis itu sendiri banyak didaerah infeksi tersebut.
Menggunakan analisis mikroskopik, kegagalan migrasi neutrofil bukan hanya
dengan adanya penurunan daya kemotaksis neutrofil, namun juga penurunan daya
gulung dan adhesi neutrofil pada endotel. Produksi sitokin dalam sirkulasi berlebihan,
peningkatan sekresi APP (Acute phase protein), Peningkatan aktifitas iNOS(intrinsic
nitric oxide syntase) dan aktifasi TLR (toll like

receptor) dihubungkan dengan

fenomena kegagalan migrasi neutrofil.17,23,24 Fenomena kegagalan ini lebih lanjut
dikenal dengan istilah “paralisis neutrofil” pada kondisi sepsis.17

33
Universitas Sumatera Utara

Gambar 6 Kaskade proses disfungsi imunologi pada sepsis.

2.1.5.2

Limfositopenia pada sepsis

Sepsis yang berawal dari proses SIRS diseimbangkan dengan mekanisme kontrainflamasi, yang mencegah cedera organ karena peradangan sistemik berlebihan.25
Namun, respon antiinflamatori dapat menyebabkan penekanan dari respon imun,
menyebabkan infeksi sekunder

25,26

. Meskipun komplemen dan antibodi memainkan

peran penting dalam respon sepsis, sel imunitas bawaan dan adaptif mungkin yang
paling ditekan fungsi imun selama sepsis.
Efek imunosupresif dari sepsis pada sel imun bawaan terdiri berkurang
fagositosis,penurunan produksi sitokin pro – inflamasi dan antigen presentasi oleh
monosit - makrofag , penurunan adhesi , migrasi dan ledakan oksidatif neutrofil , serta
mengurangi jumlah beredarnya sel Natural killer ( NK ). Penurunan sirkulasi CD4
limfosit T dan perubahan CD4 limfosit T ke fenotipe Th2 menjadi sebuah ciri dari
efek sepsis – terhadap penekanan sel imunitas adaptif .
Sepsis juga dapat menimbulkan deplesi yang besar pada limfosit B juga pada
CD4 limfosit T dalam organ limfoid sekunder , sehingga menyebabkan penurunan
kemampuan untuk melawan infeksi. 27 Hubungan antara kondisi klinis yang mengalami

34
Universitas Sumatera Utara

komplikasi atau

prognosis yang buruk pada pasien sepsis dengan penurunan

konsentrasi CD4 T - limfosit dan limfosit T yang telah diaktifkan di darah perifer pada
sebagian besar pasien trauma atau pasien paska pembedahan dengan sepsis sekunder.28
Pada studi yang dilakukan Holub dkk.tentang penurunan limfosit pada sepsis
ditemukan bahwa adanya penurunan yang signifikan dari nilai normal sel limfosit CD4
, CD8 dan jumlah total limfosit T diamati pada pasien sepsis, namun penurunan yang
berlangsung lama hanya pada sel CD4 limfosit T ( 3 hari) dan sel Natural killer ( NK)
(7 hari).
Pada sepsis oleh bakteri gram positif (terutama disebabkan oleh Streptococcus
pneumoniae dan Staphylococcus aureus), penurunan berlangsung lama pada sel CD4 ,
CD8 dan jumlah limfosit T , dan Sel NK , yakni berlangsung selama 14 hari .
Sebaliknya , pasien dengan sepsis karena gram negatif oleh patogen ( Neisseria
meningitides, enterobacteriaceae ,) mencapai perbaikan penuh dalam waktu 3 hari .
Selain itu, pasien dengan sepsis gram negatif menunjukkan peningkatan yang signifikan
dalam limfosit B dan peningkatan jumlah CD3+ dan CD4+ limfosit T, yang lebih cepat
dibandingkan pada pasien dengan sepsis gram positif.
Mekanisme penyebab penurunan limfosit dikarenakan oleh apoptosis limfosit.
Apoptosis limfosit dicetuskan sebagai akibat respon stress dari invasi bakteri
(pengeluran interferon gamma dari sel natural killer dan pelepasan steroid endogen).
Peningkatan sel CD4 Limfosit T lebih cepat pada gram negatif, dikarenakan adanya
mekanisme AICD (activation induced cell death) pada sepsis gram positif.25
Penurunan hitung jenis absolut baik sepsis dan sakit kritis. Ada 2 faktor yang
mempengaruhi yakni perekrutan limfosit dari sirkulasi sistemik menuju jaringan perifer
dan proses apoptosis. Proses apoptosis terjadi diakibatkan oleh adanya reseptor
kematian dan jalur melalui mitokondrial.29
Hotchkiss dkk.pada tahun 2001, melaporkan bahwa adanya penurunan sel
limfosit B & T di limpa dan sirkulasi sistemik pada pasien dewasa dengan sepsis
dibandingkan dengan pasien sakit kritis dengan tanpa sepsis dan trauma.30 Adanya
penurunan limfosit dikaitkan dengan proses apoptosis.31 Penelitian lainnya pada 52
pasien dewasa dengan syok sepsis, didapatkan bahwa proses apoptosis yang lebih besar
pada kelompok syok sepsis dibandingkan grup control pada hari pertama sakit. Pada

35
Universitas Sumatera Utara

kelompok yang sembuh, terjadi peningkatan limfosit pada hari ke-6, dimana pada
kelompok yang tidak sembuh, terjadi limfopenia berkepanjangan.32 Hal serupa tampak
pada pasien anak-anak dengan kegagalan multiorgan. Limfopenia berkepanjangan
(limfosit < 1000/mm3 selama 7 hari dihubungkan dengan resiko infeksi sekunder dan
resiko kematian.33
Pasien sakit kritis non sepsis memiliki tendensi untuk cepatnya perbaikan
jumlah limfosit absolut menuju normal, dimana pada sepsis dengan tendensi persisten
penurunan hitung limfosit absolut Terlebih lagi, pada pasien dengan sepsis, tingkat
apoptosis dihubungkan sebagai penanda progresifitas penyakit.Pasien dengan sepsis
memiliki deplesi limfosit yang besar terutama pada limpa dan nodus limfatik.
Le Tulzo dkk dengan studinya yang meneliti limfosit yang bersirkulasi pada
pasien sepsis dengan metode annexin V. Dilaporkan bahwa pada kondisi syok sepsis
terdapat peningkatan proses apoptosis limfosit sebesar 10.6 ± 0.1 % dibandingkan
dengan pasien sepsis tanpa syok , 9.4 ± 0.1 % dan 5.1 ± 0.2 % pada pasien sakit kritis
tanpa sepsis.29,32

2.2

BIOMARKER INFEKSI BAKTERI

2.2.1

Peran Procalcitonin sebagai biomarker infeksi bakteri

2.2.1.1 Biosintesis Procalcitonin
PCT pertama kali diidentifikasi dari sel medullary tiroid carcinoma.PCT adalah protein
yang terdiri dari 116 asam amino (AA) dengan BM ± 13 kDa, yang dikode dengan gen
Calc-I yang terletak pada kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid
sebagai prohormon dari calcitonin. 34,35

Procalcitonin
Procalcitonin adalah prohormon calcitonin, berupa peptida yang terdiri atas 116 asam
amino (Gambar 2.1.1) yang dilepaskan oleh sel C tiroid dalam keadaan normal dan
konsentrasinya sangat rendah (1,2 ng/ml menjadi prediktor lebih baik
infeksi bakteri dan memulai infeksi bakteri.45 Chirouze dkk.menemukan bahwa
pemeriksaan PCT < 0.4 ng/ml pada awal masuk dapat mengeksklusikan adanya
bakteremia dari kultur darah dengan nilai prediktif negatif 98.8 %.46
Nakamura dkk. mendapatkan nilai cut-off serum procalcitonin > 0,83 dengan
nilai prediktif positif yang tinggi terhadap bakteremia (AUC 0.895).47 Tokuda dan
Riedel melihat procalcitonin sebagai marker bakteremia tercepat dan akurat pada pasien
emergensi tanpa menunggu konfirmasi kultur mikrobiologi.48,49
Pada pasien paska operasi dapat dilakukan identifikasi dan penilaian tentang
luaran pasien. Reith dkk meneliti pada 312 pasien yang

menjalani pembedahan,

peningkatan level (PCT > 2 ng/ml) memiliki indikasi klinis adanya sepsis dan PCT >
10 ng/ml memiliki prediktif outcome yang buruk.50
Pada kasus multiple trauma dengan komplikasi infeksi, Benois dkk.melihat
adanya peningkatan serum PCT yang sekunder merupakan indikator kuat adanya
infeksi bakteremia yang berat selama fase SIRS akhir paska trauma dibandingkan
dengan CRP.51
Meisner dkk. menemukan hal yang serupa, dimana PCT meningkat pada hari
pertama dan kedua paska trauma dan pada pasien dengan terbukti infeksi dari kultur
mikrobiologi memiliki nilai serum PCT yang lebih tinggi (median 2,69). Pada keadaan
trauma, induksi procalcitonin disebabkan oleh tumor necrosis factor alpha, IL-2, IL-6.

40
Universitas Sumatera Utara

Gambar 9. Peningkatan PCT pada hari 1&2 kasus trauma

Studi metaanalisis pada 10 studi dengan 905 pasien didapatkan PCT > 2 ng/ml
memiliki sensitifitas & spesifisitas lebih tinggi pada infeksi bakteri dibandingkan
dengan inflamasi non infeksi. (PCT: 88 % Sensitifitas / 81 % Spesifisitas, CRP: 75 %
Sensitifitas / 67 % Spesifisitas).42
Bagaimana interpretasi kadar PCT dihubungkan dengan mikrobiologi klinik
dapat dilihat pada table 4. Studi ini menggunakan kultur darah/sputum, pemeriksaan
antigen Streptococcus pneumonia dan Legionella pneumophila hingga multiple reverse
transcription-Polymerese Chain Reaction (RT-PCR) untuk mendeteksi etiologi kuman.
Aikawa melihat bahwa serum procalcitonin lebih akurat (70.2% ) dibandingkan
parameter lainnya seperti kultur darah (42.6%). dalam infeksi bakteri, dengan nilai cutoff PCT> 0,5ng/ml (AUC 0.84) untuk PCT.53
Pada tabel ini terdapat 7 kemungkinan dengan interpretasinya. Kemungkinan
kedua (baris ke-2) menunjukkan kenaikan kadar PCT tanpa dijumpai adanya kuman.
Kondisi ini menunjukkan adanya respon immunitas innate terhadap patogen yang tidak
dapat dideteksi oleh modalitas yang ada. Sedangkan adanya meskipun bakteri
didapatkan belum dapat dipastikan bahwa kuman itu bersifat patogen atau invasif
karena PCT akan meningkat dalam keadaan rangsangan imun yang tidak dipicu oleh
kuman

komensal/

tidak

bersifat

patogen.

Tampaknya

penelitian

ini

tidak

memperhitungkan kemungkinan adanya kuman-kuman yang tidak akan meningkatkan

41
Universitas Sumatera Utara

kadar PCT seperti mycoplasma pneumonia yang bisa saja tidak terdeteksi dengan uji
mikrobiologi.

Gambar 10. Algoritma Antibiotik sesuai Procalcitonin
Sumber :Am J Respir Crit Care Med, 2006.54
Tabel 4. Aplikasi Kadar PCT Dalam Interpretasi Kuman pada Pasien
Infeksi Saluran Nafas Bagian Bawah
Bacterial Pathogen

Viral pathogen

Procalcitonin level

Interpretation

Detected

detected

(ng/ml)

No

No

≤ 0,05

No evidence bacterial inf.

No

No

0,5-1.0

Innate immunity activated, suspect noncultured
bacteria,e.g, oral anaerobic organism

No

Yes

≤ 0,05

Viral Infection

No

Yes

0,25 – 1.0

Dual viral and Bacterial infection ; failure to
identify etiologic bacteria

42
Universitas Sumatera Utara

Yes

Yes

0,25 – 1.0

Dual infection with virus and bacteria

Yes

No

≤ 0,05

Bacterial colonization

Yes

Yes

≤ 0,05

Bacterial colonization and viral infection

Sumber :Journal of Clinical Microbiology, 2010.37

2.2.2

Limfositopenia & rasio neutrofil-limfosit sebagai biomarker infeksi bakteri

Awalnya untuk mengetahui adanya infeksi pada kasus emergensi, digunakan parameter
limfositopenia pada kasus toxic shock syndrome.

2

Hingga kemudian Zahorec

dkk.melakukan studi prospektif observasional tentang korelasi antara tingkat keparahan
penyakit dengan limfositopenia pada pasien sepsis berat atau syok sepsis di ruang
rawatan intensif.55 Hawkin dkk.menemukan bahwa adanya limfositopenia Sel B dan sel
T yang persisten melalui studi pada pasien dengan bakteremia gram positif dan gram
negatif.55 Wyllie dkk.juga menitikberatkan manfaat klinis dari limfositopenia (Cut off
value 2,4), rasio neutrofil limfosit (cut off value 6,9) sebagai marker diagnostik
bakteremia dibandingkan pasien tanpa bakteremia pada pasien dewasa yang datang ke
unit gawat darurat (P< 0,001). Sepsis yang diakibatkan oleh bakteri merupakan
penyebab penting limfositopenia, namun limfositopenia tidak spesifik (AUC 0,69)
untuk infeksi bakteri, sebab masih dapat ditemukan pada infeksi viral yang berat.56
Namun masih dapat diperlukan penelitian lebih lanjut.
Suatu proses fisiologis respon imun tubuh dari sel leukosit dari kondisi yang
menimbulkan stress inflamasi adalah dengan peningkatan jumlah neutrofil dan
penurunan jumlah leukosit. Zahorec dkk.telah berusaha mempelopori penggunaan rasio
neutrofil dan limfosit sebagai marker infeksi tambahan pada kasus di ruang intensif.
Mereka juga mendapatkan suatu gambaran hubungan rasio neutrofil-limfosit dengan
tingkat keparahan penyakit dan luaran pasien ( berdasarkanAcute Physiology and
Chronic Health Evaluation II & Sepsis-related Organ Failure Assessment score).55
Pada penelitian Goodman dkk.menunjukkan bahwa rasio neutrofil limfosit
sebagai suatu parameter yang lebih sensitif dan rasio lebih dari 3,5 merupakan
diagnostik yang optimal untuk appendisitis dibandingkan dengan hitung leukosit dalam
memprediksi bakteremia pada kasus appendisitis.57 Jadi dari beberapa penelitian yang

43
Universitas Sumatera Utara

sudah dilakukan, baik limfositopenia maupun rasio neutrofil-limfosit menjadi suatu
prediktor independen yang dinilai dalam tingkat bertahan hidup pada beberapa kasus
mulai dari onlokogi, infeksi hingga gangguan kardiovaskular.
Beberapa biomarker konvensional telah diteliti seperti CRP, hitung leukosit dan
laju endap darah, namun memiliki kapasitas diskriminasi yang lemah dalam
membedakan infeksi bakteri. Untuk meningkatkan identifikasi dini infeksi bakteri
diperlukan metode pendekatan baru dan sederhana melalui penilaian suatu marker baru
(rasio neutrofil-limfosit) yang kemudian dikorelasi dengan marker lain (procalcitonin)
dan metode standar baku yang dipakai (kultur mikrobiologi).

2.2.2.1 Limfositopenia
Limfositopenia pada suatu penelitian dapat menjadi suatu marker infeksi bakteri. Hal
demikian disebabkan bahwa dalam keadaan sepsis dan syok sepsis terjadi suatu proses
marginasi atau redistribusi sel limfosit kedalam sistem limfatik dan proses apoptosis
limfosit yang sangat cepat.2,55,56,57 Apoptosis merupakan karakteristik dominan adanya
sepsis. Dalam proses ini terjadi suatu mekanisme delesi pada limfosit, seperti yang
dapat dilihat pada model hewan percobaan. Jilma dkk.melakukan observasi pada pasien
sepsis,dimana suatu keadaan limfositopenia terus menerus terjadi pada keadaan
endotoksinemia.6 Pada pasien dengan syok sepsis, apoptosis limfosit sangat cepat
terjadi,

dan berujung pada keadaan limfositopenia berat. Limfositopenia persisten

dihubungkan dengan tingkat luaran yang buruk.6 Pada tikus percobaan, tindakan
pencegahan proses apoptosis limfosit dihubungkan dengan tingkat keselamatan hidup.
Jilma dkk. mendapatkan penurunan jumlah hitung limfosit dilaporkan sebesar
85% setelah 4-6 jam terpapar endotoxinemia pada sukarelawan yang sehat(diberikan
injeksi 4 ng/kg LPS) dan peningkatan neutrofil sebesar 300% .6
Pada studi prospektif oleh Zahorec dkk, dengan hasil didapatkan adanya limfositopenia
pada 89 dari 90 pasien onkologi di ICU paska pembedahan mayor, sepsis berat dan
syok sepsis. Didapatkan juga suatu korelasi antara beratnya kondisi klinis pasien
dengan beratnya limfositopenia.55
Pada analisis multivariat, hitung jenis limfosit erat dikaitkan dengan keadaan
bakteremia.Pada studi berkelanjutan yang dilakukan oleh Wyllie dkk didapatkan bahwa

44
Universitas Sumatera Utara

dengan hanya memperhitungkan CRP saja tidak lebih baik sebagai prediktor
bakteremia

dibandingkan

dengan

menggabungkan

parameter

lainnya

seperti

menggabungkan parameter neutrofilia dengan limfositopenia atau hanya dengan
parameter limfositopenia saja.56
Studi observasi oleh Jager dkk.pada kasus emergensi ditemukan bahwa
limfositopenia menjadi prediktor yang lebih baik dibandingkan dengan hitung jenis
leukosit, hitung jenis neutrofil, atau nilai serum CRP, dengan nilai prediktif positif dan
negatif jauh melebihi nilai prediktif parameter lainnya. Hitung jenis limfosit dapat
didapat dengan mudah dan menjadi mungkin untuk menjadi suatu penilaian dalam
membuat suatu diagnostik klinis.

2

Pada konteks yang terakhir didapatkan suatu

pertanyaan apakah limfositopenia dapat menjadi pedoman dari tingkat keparahan suatu
penyakit.Bukti klinis yang sedang berkembang apakah rasio hitung jenis neutrofil dan
limfosit berguna dalam memprediksi tingkat bertahan hidup pada berbagai kondisi
klinis.
Limfositopenia dapat juga terlihat pada pasien AIDS dan depresi sum-sum
tulang, penggunaan steroid, malnutrisi berat dan Guillain-Barré syndrome. Status
nutrisi berperan dalam modulasi apoptosis dan maturasi melalui kaskade hipoplasia
sum-sum tulang.58,59.

2.2.2.2 Rasio neutrofil-limfosit
Awalnya, rasio neutrofil-limfosit diteliti pada pasien kanker paru60, kanker kolorektal
dan transplantasi hati untuk karsinoma hepatoselular61, dan nilai rasio ini berkorelasi
erat dengan tingkat bertahan hidup pada pasien kanker seluruhnya.62 Pada terapi pasien
penyakit jantung, rasio neutrofil-limfosit juga berkembang sebagai suatu prediktor
prognosis pasien. Pada pasien gagal jantung kronis dan paska operasi jantung koroner63,
hitung jenis limfosit dan rasio neutrofil-limfosit dapat digunakan sebagai prediktor
tingkat bertahan hidup.
Holub dkk. pada studinya tentang rasio neutrofil-limfosit sebagai biomarker
infeksi bakteri pada 45 pasien yang positif infeksi bakteri dari kultur mikrobiologi
didapatkan nilai tengah (median rasio N/L 11.73 pada infeksi bakteri dengan nilai cut-

45
Universitas Sumatera Utara

off value of 6.2 dan nilai AUC 0.971 sebagai prediktor infeksi bakteri dan 0.956 untuk
membedakan bakteri dan infeksi virus.10
Goodman dkk.juga meneliti tentang rasio neutrofil-limfosit sebagai prediktor
adanya bakteremia pada pasien appendisitis. Pada kasus ini, rasio neutrofil-limfosit
ternyata lebih sensitif dibandingkan hitung jenis leukosit.57
Yazici dkk. juga menemukan bahwa rasio neutrofil-limfosit dapat digunakan
untuk diagnostik appendisitis.64 Rasio itu berbeda pada penelitian Ishizuka dkk, dengan
hasil rasio lebih besar daripada 8 menunjukkan prediktor appendisitis gangrenosa ,
namun dengan nilai sensitifitas dan spesifitas yang rendah. 65
Zahorec dkk kemudian melakukan investigasi tentang penggunaan rasio
neutrofil limfosit pada pasien sepsis dan rasio ini dihubungkan dengan tingkat
keparahan penyakit. Pasien dengan infeksi abdominal,pada kondisi preoperatif
dijumpai peningkatan neutrofil ((83,2 %) dan nilai limfosit yang rendah (9,5 %).
Berlanjut ke kondisi paskaoperasi, terjadi peningkatan neutrofil lebih lanjut ((89,9 %)
dan penurunan limfosit yang bermakna(7%). Pada pasien sakit kritis dengan sepsis
berat atau syok sepsis memiliki nilai peningkatan neutrofil yang lebih meningkat
(94%) dan penurunan lebih berat 3,8% .55
Rasio neutrofil-limfosit merupakan suatu parameter yang potensial terhadap
bakteremia terutama pada pasien yang dicurigai infeksi paru komuniti.Penelitian yang
dilakukan Yoon dkk.dengan tujuan mencari nilai rasio neutrofil-limfosit dalam
membedakan diagnostik pneumonia komuniti dengan TB paru. Didapatkan nilai rasio
neutrofil-limfosit lebih tinggi secara signifikan pada pasien pneumonia komuniti bakteri
( 14.64±9.72 ) dibandingkan TB paru (3.67±2.12) P 7 merupakan
nilai cut-off yang optimal dalam diskriminasi pasien. (sensitifitas 91.1%, spesifisitas
81.9%, nilai prediktif positif 85.7%, nilai prediktif negatif 88.5%). AUC rasio N/L
(0.95, 95% confidence interval [CI], 0.91-0.98) lebih tinggi dibandingkan dengan
parameter C-reactive protein (0.83, 95% CI, 0.76- 0.88; P =0.0015).9
Kemampuan rasio ini dalam memprediksi bakteremia dibandingkan dengan
parameter tradisional pada pasien emergensi dengan pneumonia komuniti telah diteliti
oleh Jager dkk. Ditemukan bahwa limfositopenia pada pasien hasil kultur positif vs
negatif (0.8 ± 0.5 × 109/l vs. 1.2 ± 0.7 × 109/l; P < 0.0001) dan rasio neutrofil-limfosit

46
Universitas Sumatera Utara

(rasio N/L (20.9 ± 13.3 vs. 13.2 ± 14.1; P 7 atau eosinofil < 0,0454. 103/uL)

memiliki resiko mortalitas yang meningkat.67
Menurut Ljungstrom rasio neutrofil-limfosit dapat menjadi biomarker tingkat
keparahan sepsis dengan berbagai keuntungan diantaranya murah, tidak diperlukan
pengambilan sampel tambahan. Dimana nilai rasio yang lebih tinggi dapat terjadi
sebelum awal terjadinya sepsis berat dan syok sepsis. Namun nilai rasio yang rendah
tidak menyingkirkan adanya bakteremia ataupun sepsis berat. 68 Ternyata rasio neutrofil
limfosit memiliki peran terhadap prediktor mortalitas pada pasien gagal ginjal kronis
stadium akhir dengan adanya resiko kematian yang lebih besar pada kelompok dengan
rasio lebih dari 3,48.69

2.2.2.3 Kultur mikrobiologi
Pemeriksaan biakan mikroorganisme merupakan satu-satunya metode definitif untuk
konfirmasi infeksi bakteri. Beberapa kerugian pada metode standar baku ini diantaranya
memerlukan waktu yang lama dan dapat dihubungkan dengan penggunaan antibiotik

47
Universitas Sumatera Utara

sebelumnya. Terutama yang menjadi hal penting adalah volume sampel darah untuk
pemeriksaan kultur dan waktu yang tepat dalam pengambilan sampel.70
Metode

PCR

dikombinasikan

dengan

“electrospray

ionization

mass

spectrometry” dikemukakan oleh Farrell dkk. Metode molekular yang berdasarkan
teknik amplikasi asam nukleat dapat mendeteksi pathogen setelah dilakukan pemberian
antibiotik dengan hasil biakan mikroorganisme yang negatif.71 Kendala yang sering
ditemukan dalam interpretasi apakah hasil kultur bakteri merupakan bakteri patogen
atau hanya kontaminan atau kolonisasi.

Tabel 5 Diskriminasi bakteri patogen dan kontaminan pada hasil kultur
mikrobiologi

48
Universitas Sumatera Utara

49
Universitas Sumatera Utara

Tabel 6. Interpretasi diagnostik infeksi bakteri
Kultur

Serum

Interpretasi

Keterangan

Bakteri

procalcitonin

Infeksi Bakteri

Patogen

( >2 ng/ml)

+

+

Ya

+

-

Tidak

bakteri
kolonisasi,
Infeksi lokal

-

+

Ya

-

-

Tidak

NB: Bakteri kontaminan digolongan kepada hasil kultur bakteri negatif
2.3 Efek kortikosteroid pada sistem imunitas
Kortikosteroid menghambat makrofag dan produksi limfosit T-helper tipe 1 oleh tumor
necrosis

factor

(TNF)-alpha,

interleukin

(IL)-1,

IL-2,

IL-12,

interferon-

gamma,granulocyte-macrophage colony-stimulating factor, IL-4, IL-10. TNF-alpha &
IL-1memiliki beberapa mekanisme aksi inflamasi, termasuk produksi prostaglandin E2
dan collagenase,aktifasi limfosit T, stimulasi proliferasi fibroblast dan induksi sintesa
acute-phase reactants di hati. Kortikosteroid juga menghambat aksi regulasi imunitas
humoral seperti PAF (platelet-activating factor & macrophage migration inhibition
factor. Kortikosteroid menghambat migrasi neutrofil ke daerah inflamasi sebanyak dua
sampai empat kali lipat.
Kortikosteroid memiliki efek yang besar terhadap migrasi sel limfosit.
Pemberian terapi steroid dosis tunggal memiliki efek limfopenia yang sementara namun
bermakna. Hal ini disebabkan oleh redistribusi sel limfosit ke kompartemen tubuh
lainnya, termasuk sum-sum tulang. Sel limfosit T umumnya lebih dipengaruhi
dibandingkan sel limfosit B. Dosis rendah terapi steroid memiliki efek yang minimal
terhadap serum immunoglobulin. Limfosit immatur yang diproduksi didaerah korteks
timus lebih sensitif untuk terjadinya apoptosis dibandingkan limfosit yang matur.72
Penggunaan terapi steroid jangka pendek dihubungkan dengan resiko toksisitas yang
lebih rendah. Namun pada pasien dengan dosis tinggi steroid, 1-2 mg/kg/hari prednison
selama 3 bulan atau lebih memiliki efek terhadap sistem imunitas.

50
Universitas Sumatera Utara

Tabel 7. Dosis ekuivalen steroid

SUMBER :
Dixon JS. Second-line Agents in the Treatment of Rheumatic Diseases. Informa Health Care, 1991. (456).
Meikle AW and Tyler FH. Potency and duration of action of glucocorticoids. Am J of Med 1977;63;200
Webb R, Singer M. Oxford Handbook of Critical Care. Oxford ; New York : Oxford University Press, 2005

51
Universitas Sumatera Utara

2.4. KERANGKA TEORI

SIRS

Infeksi bakteri

SEPSIS
Pelepasan mediator
inflamasi
Disfungsi migrasi

Apoptosis limfosit

Neutrofil

Limfosit

Sel Parenkim
Serum procalcitonin

Rasio Neutrofil2.5. KERANGKA KONSEP

SERUM
PROCALCITONIN

SEPSIS

RASIO
NEUTROFILLIMFOSIT

52
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Hubungan antara Leukosit dengan Procalcitonin sebagai Biomarker Sepsis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Bulan Agustus – Oktober 2015 Medan

11 114 72

Hubungan antara Leukosit dengan Procalcitonin sebagai Biomarker Sepsis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Bulan Agustus – Oktober 2015 Medan

1 20 72

Hubungan antara Leukosit dengan Procalcitonin sebagai Biomarker Sepsis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Bulan Agustus – Oktober 2015 Medan

0 0 14

Hubungan antara Leukosit dengan Procalcitonin sebagai Biomarker Sepsis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Bulan Agustus – Oktober 2015 Medan

0 0 2

Hubungan antara Leukosit dengan Procalcitonin sebagai Biomarker Sepsis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Bulan Agustus – Oktober 2015 Medan

0 0 14

Nilai Diagnostik Dan Korelasi Rasio Neutrofil-Limfosit Dengan Serum Procalcitonin Sebagai Biomarker Infeksi Bakteri Pasien Sepsis Di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik

0 0 17

Nilai Diagnostik Dan Korelasi Rasio Neutrofil-Limfosit Dengan Serum Procalcitonin Sebagai Biomarker Infeksi Bakteri Pasien Sepsis Di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik

0 0 1

Nilai Diagnostik Dan Korelasi Rasio Neutrofil-Limfosit Dengan Serum Procalcitonin Sebagai Biomarker Infeksi Bakteri Pasien Sepsis Di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik

7 26 5

Nilai Diagnostik Dan Korelasi Rasio Neutrofil-Limfosit Dengan Serum Procalcitonin Sebagai Biomarker Infeksi Bakteri Pasien Sepsis Di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik

2 3 6

Nilai Diagnostik Dan Korelasi Rasio Neutrofil-Limfosit Dengan Serum Procalcitonin Sebagai Biomarker Infeksi Bakteri Pasien Sepsis Di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik

0 0 7