STRATEGI ADAPTASI BERMUKIM DI PERMUKIMAN TEPI SUNGAI KOTA PULANG PISAU KABUPATEN PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

i

STRATEGI ADAPTASI BERMUKIM
DI PERMUKIMAN TEPI SUNGAI KOTA PULANG PISAU
KABUPATEN PULANG PISAU
PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Edi Purwanto
Akhmad Wahyuni

Dicetak dan Diterbitkan Oleh:

UNDIP Press
2017

ii

STRATEGI ADAPTASI BERMUKIM
DI PERMUKIMAN TEPI SUNGAI KOTA PULANG PISAU
KABUPATEN PULANG PISAU
PROVINSI KALIMANTAN TENGAH


Edi Purwanto
Akhmad Wahyuni

UNDIP Press, Semarang 2017
vii; 79; 15,5cm x23cm

ISBN : 978-979.097.439.5

Cetakan Pertama : Mei 2017

Perupa Sampul : Edi Purwanto

Copyright©
UNDIP Press Semarang
Prof. H. Soedarto, SH – Kampus UNDIP Tembalang
Telp. 024-76480683 Semarang

iii


KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,
pada akhirnya penyusunan buku monograf ini dapat terlaksana dengan
baik meskipun sempat tertunda hampir dua tahun lamanya. Buku
monograf ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun
2015 pada saat penulis menjadi narasumber penyusunan pekerjaan
Rencana Kawasan Permukiman Kumuh Perkotaan (RKP-KP) Kabupaten
Pulang Pisau. Pekerjaan ini merupakan program nasional penataan
kawasan kumuh perkotaan dengan target 0% kumuh pada tahun 2019
dengan pelaksana satuan kerja pelaksana dari Direktorat Pengembangan
Kawasan Permukiman Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Objek penelitian merupakan kawasan permukiman kumuh,
sekaligus

sebagai

objek

penataan


dengan

menerapkan

konsep

penanganan melibatkan peran serta masyarakat dimulai dari tahapan
survei, identifikasi permasalahan, penyusunan konsep penanganan
sampai dengan usulan desainnya. Hal yang menarik dari proses pelibatan
masyarakat adalah bahwa masyarakat sudah mempunyai konsepsi dan
cara pandang turun temurun terutama dalam mengatasi persoalan
bermukim di tepi sungai yang diwujudkan dalam bentuk strategi adaptasi
bermukim, yang kemudian dijadikan salah satu modal bagaimana menata
kawasan permukimannya
Penelitian ini berhasil mengungkap strategi adaptasi bermukim
terhadap gangguan alam berupa banjir sungai Kahayan terutama saat
musim hujan dan gangguang iklim yang berkaitan dengan gerakan angin,
hujan, dan temperatur/suhu. Strategi adaptasi dimaksud berdasarkan
respon masyarakat terhadap kondisi fisik rumah tinggal dan lingkungan

i

serta faktor yang mempengaruhinya berdasarkan kondisi sosial ekonomi
masyarakat.
Penulis berharap penyusunan buku ini akan memberikan
manfaat pengetahuan kepada khalayak yang tertarik untuk membaca,
terutama dari kalangan mahasiswa dan dosen arsitektur, pemerhati
perumahan dan permukiman di tepi/atas sungai, atau dinas/instansi yang
terkait dengan bidang perumahan dan permukiman. Penulis menganggap
buku ini masih perlu disempurnakan, oleh karena itu kami berharap
masukkan berupa kritik dan koreksi agar buku ini menjadi lebih baik
lagi.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Kepala Satuan Kerja PKP-PB Ibu Yanawati, ST, Kasi
Perumahan dan Permukiman Dinas PU Kabupaten Pulang Pisau bapak
Iwan Hermawan, ST, staf Dinas PU Kabupaten Pulang Pisau bapak
Kamalludin, ST, Camat Kahayan Hilir, Lurah Pulang Pisau, tim survei
yang dipimpin oleh bapak Arun,

dan Konsultan PT. Archiegama


Bangun Cipta Pratama dari Palangkaraya yang telah bekerjasama dengan
tim peneliti.
Ucapan terima kasih juga diberikan kepada Ketua Departemen
Arsitektur FT UNDIP bapak Dr.Ir. Agung Budi Sardjono, MT.
Termasuk rekan-rekan staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro, khususnya yang berada di Laboratorium Desain
Kawasan Binaan atas dorongan dan semangatnya.

Semarang, Mei 2017

Penulis
ii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR


i
iii
v
vi

BAB I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Permasalahan
1.2.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.2.1. Tujuan
1.2.2. Manfaat Penelitian
1.4.
Lingkup dan Batasan Penelitian
1.4.1. Batas Substansial
1.4.2. Batas Spasial

1
1
3

3
3
4
4
4

BAB II. KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1.
Fenomena Alam dan Perubahan Fisik Lingkungan
Sebagai Penyebab Munculnya Adaptasi
2.1.1. Banjir
2.1.2. Kondisi Iklim
2.2.
Karakteristik Permukiman di Tepi Sungai
2.3.
Strategi Adaptasi

5
5
5

7
10
13

BAB III. METODE PENELITIAN
3.1.
Pendekatan Penelitian
3.2.
Gambaran Umum Kawasan Penelitian
3.3.
Penentuan Populasi dan Sampel Penelitian
3.4.
Metode Pengumpulan Data dan Analisis
3.4.1. Metode Pengumpulan Data
3.4.2. Metode Analisis Data

17
17
18
23

23
23
24

BAB IV. GAMBARAN UMUM KOTA PULANG PISAU
4.1.
Letak Geografis Kabupaten Pulang Pisau
4.2.
Kondisi Geografis Wilayah Kota Pulang Pisau
4.2.1. Batas Administrasi
4.2.2. Kondisi Fisik
4.3.
Pola Penggunaan Lahan Eksisting

25
25
27
27
29
29


iii

4.4.

4.5.

4.6.

Karakteristik Kependudukan
4.4.1. Jumlah dan Persebaran Penduduk
4.4.2. Pertumbuhan Penduduk
4.4.3. Kepadatan Penduduk
4.4.4. Struktur Penduduk
Jaringan Prasarana
4.5.1. Jaringan Pergerakan
4.5.2. Jaringan Kelistrikan
4.5.3. Jaringan Pelayanan Air Bersih
4.5.4. Jaringan Drainase
4.5.5. Jaringan Sanitasi dan Sampah

Sarana Pelayanan Umum
4.6.1. Sarana Pendidikan
4.6.2. Sarana Kesehatan

30
30
32
33
34
38
38
40
40
41
41
42
42
43

BAB V. PEMBAHASAN TERHADAP TEMUAN PENELITIAN
5.1.
Faktor Penyebab Munculnya Strategi Adaptasi
5.2.
Strategi Adaptasi Berdasarkan Kondisi Bangunan
Rumah Tinggal dan Lingkungan
5.2.1. Berdasarkan Luas Bangunan
5.2.2. Berdasarkan Struktur Bangunan
5.2.3. Berdasarkan Penutup Atap Yang Digunakan
5.2.4. Berdasarkan Dinding Yang Digunakan
5.2.5. Berdasarkan Lantai Yang Digunakan
5.2.6. Berdasarkan Jarak Antar Bangunan
5.3.
Strategi Adaptasi Berdasarkan Kondisi Utilitas Lingkungan
5.3.1. Berdasarkan Ketersediaan Fasilitas
Pembuangan Sampah
5.3.2. Berdasarkan Ketersediaan Air Bersih
5.3.3. Berdasarkan Ketersediaan Fasilitas MCK
5.3.4. Berdasarkan Ketersediaan Fasilitas
Pembuangan Air Limbah
5.4.
Strategi Adaptasi Berdasarkan
Kondisi Sosial Ekonomi Penghuni

70

BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1.
Kesimpulan
6.2.
Rekomendasi

75
75
76

DAFTAR PUSTAKA

77

iv

45
45
49
49
51
53
55
58
60
62
62
64
66
69

DAFTAR TABEL
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel

1.
2.
3.
4.
5.

Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8.
Tabel

9.

Tabel 10.
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel

11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.

Tabel 22.
Tabel 23.
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel

24.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.

Deskripsi Kawasan Penelitian
Luas Wilayah Masing-Masing Kecamatan
Luas Wilayah Per Desa di Kecamatan Kahayan Hilir
Tabel Penggunaan Lahan di Kota Pulang Pisau
Jumlah dan Persebaran Penduduk
Di Kota Pulang Pisau Tahun 2010-2014
Tingkat Pertumbuhan Penduduk
Di Kota Pulang Pisau Tahun 2010-2014
Kepadatan Penduduk dan Kategorisasi Tingkat
Kepadatan Penduduk Di Kota Pulang Pisau Tahun 2014
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Di Kota Pulang Pisau Tahun 2010-2014
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur
Di Kota Pulang Pisau Tahun 2014
Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Di Kota Pulang Pisau
Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
Jenis Permukaan Jalan Di Kota Pulang Pisau
Kondisi Saluran Drainase Di Kota Pulang Pisau
Sebaran Sarana Pendidikan Di Kota Pulang Pisau
Sebaran Sarana Kesehatan Di Kota Pulang Pisau
Sebaran Sarana Peribadatan Di Kota Pulang Pisau
Luas Banjir di Kabupaten Pulang Pisau
Durasi Waktu dan Ketinggian Genangan
Penyebab Genangan
Kondisi Bangunan Berdasarkan Luas
Kondisi Bangunan Berdasarkan
Struktur yang Digunakan
Kondisi Bangunan Berdasarkan Atap yang Digunakan
Kondisi Bangunan Berdasarkan
Dinding yang Digunakan
Kondisi Bangunan Berdasarkan Lantai yang Digunakan
Cara Pembuangan Sampah
Sumber Air Bersih
Ketersediaan Fasilitas MCK
Pembuangan Air Limbah
Jumlah Penduduk Berdasarkan Penghasilan
Kondisi Bangunan
Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan
v

18
25
27
30
31
32
33
35
36
37
38
39
41
43
43
44
45
47
48
50
51
53
56
58
62
64
67
69
72
72
74

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar

4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Gambar 12.
Gambar 13.
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar

14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.

Gambar 21.
Gambar 22.
Gambar 23.
Gambar 24.
Gambar 25.
Gambar 26.
Gambar 27.
Gambar 28.
Gambar 29.

Desain Arsitekur Beradaptasi dengan Iklim Tropis
Contoh Model Rumah Panggung
Deretan Perumahan di Tepi Sungai Arut
Kota Pangkalan Bun Kabupaten Kotawaringin Barat
Skema Persepsi
Tingkatan Bentuk Adaptasi Bangunan
Peta Batas Wilayah Penelitian
Gambaran Objek Penelitian (Fokus Perumahan)
Gambaran Objek Penelitian (Fokus Perdagangan)
Peta Wilayah Kabupaten Pulang Pisau
Peta Administrasi Kecamatan Kahayan Hilir
Jumlah Penduduk Kota Pulang Pisau
Tahun 2010-2014
Kepadatan Penduduk Di Kota Pulang Pisau
Tahun 2014
Grafik Luas Bencana Banjir
di Kabupaten Pulang Pisau
Peta Kerawanan Banjir di Kabupaten Pulang Pisau
Grafik Durasi Waktu dan Ketinggian Genangan
Grafik Penyebab Genangan
Genangan air yang berasal dari sungai Kahayan
Proporsi Kondisi Bangunan Berdasarkan Luas
Salah Satu Contoh Bangunan Tipe Kecil
Proporsi Kondisi Bangunan
Berdasarkan Struktur yang Digunakan
Penggunaan struktur panggung untuk bangunan
rumah tinggal di tepi sungai
Proporsi Kondisi Bangunan
Berdasarkan Penutup Atap
Penggunaan Seng sebagai Penutup Atap
Papan Kayu sebagai Plafond untuk Mengurangi Panas
Akibat Penggunaan Seng sebagai Penutup Atap
Grafik Kondisi Bangunan Berdasarkan Dinding
yang Digunakan
Pemberian Warna pada Dinding Kayu
Grafik Kondisi Bangunan Berdasarkan Lantai
yang Digunakan
Lantai Kayu Dilapis Plastik Bermotif Keramik
Grafik Jarak Antar Bangunan
vi

9
10
12
15
16
20
21
22
26
28
31
34
46
46
47
48
49
50
51
52
52
54
54
55
56
57
59
59
61

Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar

30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.

Gambar 37.
Gambar 38.
Gambar 39.
Gambar 40.

Gambar 41.

Jarak Antar Bangunan Saling Berdekatan
Grafik Cara Pembuangan Sampah
Sampah Dibuang ke Sungai
Grafik Sumber Air Bersih
Air Sungai Kahayan Digunakan Untuk Mandi
Grafik Ketersediaan Fasilitas MCK
MCK di atas sungai (atas) dan Septictank yang
dimodifikasi sebagai antisipasi genangan (bawah)
Grafik Pembuangan Air Limbah
Air Limbah yang Dibuang ke Pekarangan
Korelasi Kondisi Sosial Ekonomi dengan
Tingkat Strategi Adaptasi Yang Dilakukan
Wujud Strategi adaptasi Warga Berpenghasilan
Rendah (atas) dan Berpenghasilan Lebih Tinggi
(bawah) terhadap kondisi fisik huniannya
Persepsi Lingkungan Sangat Dipengaruhi
Faktor Pendidikan Warga

vii

61
63
63
65
65
67
68
69
70
71

73
74

viii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang Permasalahan
Secara umum permukiman tradisional yang berkembang di

Indonesia mempunyai keunikan masing-masing jika dikaitkan dengan
letak geografisnya. Ada permukiman yang terletak di lereng perbukitan,
di atas sungai, di tepi sungai, bahkan di atas pantai/laut. Pada awalnya
keberadaan permukiman tersebut dikaitkan dengan mata pencaharian
masyarakatnya. Sebagai contoh permukiman di atas/tepi sungai di pulau
Kalimantan. Di pulau Kalimantan banyak ditemukan permukiman yang
berada di atas/tepi sungai karena mata pencaharian masyarakat sebagian
besar pada awalnya sebagai nelayan. Sebelum ini tepian sungai
merupakan pusat pertumbuhan permukiman dengan berlatar belakang
kampung. Selain sebagai sumber kehidupan bagi masyarakatnya, sungai
juga digunakan sebagai sarana transportasi antar wilayah di pulau
Kalimantan. Keberadaan sungai-sungai tersebut memiliki fungsi yang
penting dan beragam terutama dalam meningkatkan kehidupan ekonomi
masyarakat. Sungai-sungai telah menjadi bagian yang penting berkaitan
dengan berbagai aktifitas masyarakat secara keseluruhan, seperti aktiftas
bermukim yang sudah terjadi turun temurun, aktifitas sosial maupun
budaya. Oleh karena itu keberadaan permukiman di sepanjang tepi
sungai bukan sesuatu yang aneh dan langka. Kekhasan kondisi geografis
negara Indonesia yang memiliki banyak sungai sebagai orientasi
kehidupan menjadikan tepian air/sungai sebagai tempat bermukim dan
mencari mata pencaharian, bahkan keberadaannya sekarang juga menjadi
objek wisata yang menarik (Rahmadi, 2009; Rahmawaty dan
Khadiyanto, 2014; Hamidah et al, 2016 ).

1

Dalam perkembangan berikutnya keberadaan permukiman di
tepi/atas sungai mengalami dinamikanya terutama dikaitkan dengan
kondisi lingkungan. Beberapa sungai sudah dianggap mengganggu
kehidupan masyarakat kaitannya dengan luapan air/banjir yang
ditimbulkannya

terutama

saat

musim

hujan.

Selain

gangguan

banjir/luapan air, faktor iklim juga memberikan kontribusi terhadap
gangguan lingkungan permukiman (Purwanto dan Gultom, 2013;
Purwanto dan Wahyuni, 2015).
Penelitian

dengan

judul

strategi

adaptasi

bermukim

di

permukiman tepi air kota Pulang Pisau sengaja dilakukan karena [i]
permukiman tersebut mempunyai tipologi yang hampir mirip dengan
permukiman di tepi/atas sungai di pulau Kalimantan, [ii] permukiman
tersebut sedang mengalami fenomena gangguan alam terkena dampak
banjir dari sungai Kahayan terutama saat musim hujandan gangguan
iklim. Permukiman tersebut sebagian berada di atas sungai dan sebagian
di kawasan transisi antara sungai dan darat namun saat terjadi banjir
kawasan ini menjadi tergenang. Dengan adanya fenomena gangguan
alam, dan untuk tetap mempertahankan keberlangsungan kehidupan,
masyarakat/penghuni mau tidak mau harus beradaptasi dengan
lingkungannya. Proses dan bentuk adaptasi inilah yang hendak digali
melalui penelitian ini.
Adaptasi dan perubahan dalam kehidupan manusia saling terkait,
berhubungan

dan

mempunyai

hubungan

sebab

akibat

apalagi

menyangkut kondisi fisik lingkungan yang senantiasa dinamis dan
menuntut sebuah perubahan. Dengan demikian adaptasi dibutuhkan
manusia sebagai melalui perilaku responsif manusia mengantisipasi
terjadinya proses perubahan lingkungan tempat manusia beraktifitas.
Perilaku responsif tersebut sangat dibutuhkan manusia agar mereka
2

dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku
tersebut di atas berkaitan dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya
melewati keadaan-keadaan tertentu dan kemudian membangun suatu
strategi serta keputusan tertentu untuk menghadapi keadaan-keadaan
selanjutnya. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang
digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya guna mengantisipasi
perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial (Helmi dan Satrio,
2012). Strategi adaptasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan
seseorang dalam menerapkan seperangkat cara untuk mengatasi berbagi
permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Strategi penanganan
masalah ini pada dasarnya merupakan kemampuan masyarakat dalam
mengelola segenap aset yang dimilikinya (Suharto, 2002).

1.2.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.2.1.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mengkaji strategi

adaptasi bermukim sekelompok masyarakat di permukiman tepi sungai
Kahayan di kota Pulang Pisau kabupaten Pulang Pisau Provinsi
Kalimantan Tengah.

1.2.2.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini sangat bermanfaat terhadap upaya pemerintah

setempat terutama dalam hal penataan kembali permukiman ini
mengingat permukiman ini masuk ke dalam kategorisasi permukiman
kumuh. Melalui penelitian ini, pemerintah kabupaten mendapatkan
masukan bagaimana masyarakat pada dasarnya sudah mempunyai cara
berfikir secara mandiri dalam menghadapi gangguan lingkungan dan

3

alam serta bagaimana penerapannya. Dengan demikian keunikan
permukiman tepi sungai akan tetap dapat dipertahankan.

1.4.

Lingkup dan Batasan Penelitian

1.4.1.

Batas Substansial
Batas substansial penelitian ini adalah membahas strategi

adaptasi warga dalam bermukim, yang berkaitan dengan bagaimana
masyarakat memberikan respon fisik pada rumah tinggal dan
lingkungannya terhadap stimuli yang diberikan oleh gangguan
lingkungan seperti banjir dan iklim.

1.4.2.

Batas Spasial
Kawasan penelitian ini berada di kelurahan Pulang Pisau,

tepatnya di tepi sungai Kahayan, merupakan kawasan permukiman
khusus yang oleh Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau dinyatakan
sebagai kawasan padat dan kumuh berdasarkan SK Bupati Pulang Pisau
No. 289/2015 tentang Penetapan Lokasi Perumahan dan Permukiman
Kumuh di Kabupaten Pulang Pisau. Luas kawasan penelitian sebesar
15,44 Ha.

4

BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1.

Fenomena Alam dan Perubahan Fisik Lingkungan
Sebagai Penyebab Munculnya Adaptasi
Perubahan fisik lingkungan dapat dipandang sebagai suatu

tekanan bagi keluarga atau masyarakat untuk melakukan penyesuaianpenyesuaian sehingga kebutuhan-kebutuhan keluarga/masyarakat dapat
secara layak terpenuhi. Secara garis besar penyesuaian ini dinyatakan
dalam bentuk penyesuaian di tempat dan penyesuaian dengan berpindah
tempat tinggal. Jika suatu kawasan permukiman terganggu oleh
fenomena alam, maka keluarga/masyarakat tertentu akan melakukan
penyesuaian terhadap alam dengan kemampuan dan daya dukung yang
ada padanya. Kenaikan muka air laut secara langsung maupun tidak
langsung

berdampak

terhadap

kehidupan

dan

penghidupan

keluarga/masyarakat, akan dijawab sesuai dengan proses-proses
penyesuaian yang alami yang unik. Berbagai penyesuaian terhadap
tekanan yang ada (stressor) terungkap sesuai dengan bentuk kultural dan
kebiasaan yang dipunyai oleh keluarga/masyarakat

(Samyahardja,

2015). Adapun fenomena alam dan perubahan fisik lingkungan yang
dimaksud berupa banjir dan kondisi iklim (Purwanto, 2010).

2.1.1.

Banjir
Banjir merupakan salah satu bencana yang sering terjadi pada

dekade terakhir. Pada umumnya, pengelolaan lahan pada bagian hulu
sungai merupakan faktor utama penyebab terjadinya banjir. Bagian hulu
sungai

5

merupakan wilayah yang seharusnya diperuntukkan sebagai wilayah
serapan. Tetapi, pada saat ini alih guna lahan hutan menjadi lahan
pertanian sangat banyak terjadi. Hal ini menyebabkan terjadinya
kerusakan fungsi lahan dan fungsi ekologi antara lain tidak adanya
wilayah resapan dan sedimentasi pada dasar sungai. Kerusakan ini dapat
menyebabkan terjadinya bencana banjir yang berdampak negatif bagi
warga dan lingkungan sekitarnya. Dampak dari banjir ini antara lain
kerusakan pada lahan pertanian, kerusakan infrastruktur, serta korban
jiwa dan harta benda yang disebabkan oleh luapan air yang berlebihan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang dinilai rentan terhadap
resiko iklim, baik saat ini maupun masa mendatang (Utomo et al, 2014).
Banjir merupakan fenomena

alam yang dampaknya sangat

mengganggu aktifitas manusia keseharian. Sebagai fenomena alam,
banjir di kawasan pemukiman padat di sempadan sungai akibat
meluapnya sungai tersebut juga kerapkali terjadi. Hal ini diperparah
dengan minimnya luasan lahan terbuka yang berfungsi sebagai daerah
resapan. Pemicu terjadinya banjir lainnya adalah sistem pengelolaan
jaringan drainase yang kurang memadai dan memenuhi syarat. Menurut
Sugiyanto dan Kodoatie (2002), banjir terjadi karena dua peristiwa yaitu
banjir dan genangan yang terjadi pada daerah yang sering banjir dan
banjir yang melanda suatu kawasan akibat terjadinya limpasan air
sungai. Menurut Ward (dalam Dewi, 2007) banjir adalah meluapnya air
ke daratan dan mengakibatkan daratan tergenang atau tenggelam secara
tidak normal. Secara umum banjir disebabkan oleh faktor alami dan
akibat tindakan manusia. Kedua faktor terjadinya banjir disebabkan oleh
: [i] curah hujan, [ii] erosi dan sedimentasi, [iii] pengaruh pasang, [iv]
kapasitas drainase, [v] persampahan, [vi] kawasan kumuh (Sugiyanto
dan Kodoatie, 2002).
6

Faktor-faktor penyebab terjadinya banjir di pulau Kalimantan
sangatlah beragam. Beberapa diantaranya adalah terjadinya kerusakan
hutan yang dikarenakan eksploitasi hutan, illegal logging, pembalakan
liar, kebakaran lahan, dan lain sebagainya. Kemudian adanya kesalahan
peruntukan kawasan, dengan bukti nyatanya yaitu banyaknya lahan
tangkapan air yang kini mengalami pembukaan, sehingga banyak
perluasan lahan terbuka (Dinas PU Provinsi Kalimantan Tengah,
Pemetaan Rawan Bencana Provinsi Kalimantan Tengah, 2016). Selain
itu banyaknya sungai-sungai besar di pulau Kalimantan ikut andil
menjadi penyebab terjadinya banjir. Karakter sungai di pulau
Kalimantan pada umumnya merupakan sungai pasang surut dan
dipengaruhi oleh musim hujan serta kondisi hulu maupun hilirnya.
2.1.2.

Kondisi Iklim
Isu fenomena alam yang disebut pemanasan bumi (global

warming), sebagai akibat dari karbondioksida hasil pembakaran minyak
bumi, pembangunan kota, perumahan, pembukaan lahan pertanian, dan
perusakan hutan tropis, diperkirakan dapat menggangu kestabilan
ekosistem dan kestabilan kehidupan mahluk dimuka bumi. Desain
Arsitektur yang ramah lingkungan diharapkan dapat menurunkan iklim
mikro, sehingga menghasilkan kenyamanan thermal dalam hunian di
kota tropis. Kenyamanan dapat diperoleh dari aspek pada bangunan itu
sendiri , dan dari lingkungan di luar bangunan (Naing, 2009).
Membangun di iklim tropis panas lembab hanya dapat dilakukan
dengan baik jika memperhatikan pengaruh iklim tropis tersebut. De Wall
(1993) membagi iklim tropis menjadi beberapa klasifikasi berdasarkan
suhu harian rata-rata dan perbedaan antara suhu siang dan malam. Dalam
pengelompokan ini, hanya kota atau wilayah yang memiliki suhu udara

7

harian rata-rata 28 derajat Celcius atau lebih dimasukkan dalam kategori
iklim tropis. Ciri yang menonjol pada iklim tropis adalah tingginya suhu
rata-rata harian dibanding pada iklim lain. Persoalan yang ditimbulkan
oleh iklim ini dalam kaitannya dengan kawasan tempat manusia
bermukim dan melangsungkan aktifitas kerja sehari-hari adalah
pemanasan yang ditimbulkan oleh radiasi matahari. Implikasi radiasi
matahari ke permukaan bumi tergantung pada sudut jatuhnya, tergantung
pada kondisi awan yang dapat menghalangi pemancaran radiasi dan
tergantung dari perbedaan karakter permukaan sehingga memiliki
perbedaan dalam hal pemantulan dan penyerapan radiasi tersebut
(Purwanto, 2010; Purwanto, 2012).
Dalam banyak hal, desain arsitektur kurang memperhatikan
aspek iklim tropis dalam menyelesaikan permasalahan diberbagai
kawasan permukiman. Baik dikawasan permukiman kota maupun
kawasan rural. Problematik yang ditimbulkan oleh iklim tropis panas
lembab seperti curah hujan yang tinggi, suhu udara yang umumnya
berada diatas toleransi kenyamanan, radiasi matahari yang menyengat
apalagi dengan isu global warming, kelembaban yang tinggi serta aliran
udara yang relatif lambat bagi pencapaian kenyamanan termis, tidak
banyak

diantisipasi

oleh

perencana

atau

perancang

kawasan

permukiman. Padahal hal ini dapat mengganggu kenyamanan dan
kestabilan penghuni di suatu kawasan permukiman. Untuk itu desain
Arsitektur yang ramah lingkungan diharapkan dapat menurunkan iklim
mikro, sehingga menghasilkan kenyamanan thermal dalam hunian di
kota tropis. Kenyamanan dapat diperoleh dari aspek pada bangunan itu
sendiri , dan dari lingkungan di luar bangunan (Naing, 2008).
Menurut Frick dan Suskiyanto (1998), terdapat

hubungan

keseimbangan antara mikrokosmos yaitu bangunan arsitektur tempat
8

manusia tinggal dengan makrokosmos yaitu alam semesta tempat
dimana bangunan arsitektur berada kaitannya dengan alam dan iklim
tropis. Bangunan-bangunan arsitektur di Indonesia mendapat pengaruh
yang sangat besar dari alam dan iklim tropis di lingkungan sekitarnya,
yaitu pengaruh sinar matahari dan orientasi bangunan, angin dan
pengudaraan ruangan, suhu dan perlindungan terhadap panas, curah
hujan dan kelembaban panas.
Menurut Indarto (2008) desain arsitektur terutama arsitektur
rumah tinggal wajib beradaptasi dengan iklim tropis di Indonesia.
Pengejawantahan beradaptasi diwujudkan dalam desain bangunan yang
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Gambar 1):
Menjaga sirkulasi udara dalam bangunan
rumah tinggal tetap terjaga, untuk
mendorong dan mengeluarkan radiasi
panas dan kelembaban dari dalam secara
konveksi, temperatur dalam rumah tinggal
akan terjaga tetap sejuk dan nyaman
Ruang terbuka akan mereduksi suhu di
luar bangunan, sehingga suhu lingkungan
akan terjaga dan berdampak positif
terhadap suhu di dalam bangunan

Keberadaan ruang terbuka akan membantu
proses penyerapan air ke dalam tanah
sehingga menciptakan kesuburan tanah.
Ruang terbuka juga menjadi media
tumbuhnya vegetasi untuk mengurangi
temperatur dan menghasilkan oksigen
yang dibutuhkan oleh manusia.

Gambar 1. Desain Arsitekur Beradaptasi dengan Iklim Tropis
Sumber: Indarto, 2008

9

Kearifan lokal mengejawantah dalam wujud arsitektur
nusantara yang adaptif-responsif terhadap lingkungan alam nusantara
yang bersifat tropis-lembab. Wujud arsitektur asli nusantara
menampilkan sejumlah karakteristik yang tepat guna terhadap situasi
alam tropis-lembab. Karakteristik tersebut merupakan adaptasi dan
responsi terhadap lingkung setempat (Wikantari, 2008). Salah satu
karakteristik tropis lembab pada rumah tradisional adalah penggunaan
struktur panggung terutama untuk permukiman di tepi sungai
(Purwanto, 2009; Purwanto dan Gultom, 2013; Purwanto et al, 2016).

Gambar 2. Contoh Model Rumah Panggung
Sumber: Purwanto, 2009
2.2.

Karakteristik Permukiman di Tepi Sungai
Sungai merupakan urat nadi kehidupan masyarakat yang telah

turun menurun berkembang di pulau Kalimantan, sehingga kota-kota di
pulau Kalimantan pada dasarnya tumbuh dan berkembang dari cikal
bakal permukiman tepi sungai. Kota-kota di Kalimantan tersebut kini
berkembang amat pesat, namun kurang memperhatikan potensi
permukiman tepian sungai dan lebih memperhatikan pada pertumbuhan
permukiman daratan (Muchamad, 2010).
Secara umum keberadaan sungai di pulau Kalimantan telah
menjadi bagian yang penting berkaitan dengan berbagai aktifitas
10

penduduk secara keseluruhan, yaitu berupa aktifitas bermukim, ekonomi
dan perdagangan, mata pencaharian, dan aktiftas sosial budaya
masyarakat.
Permukiman yang berada di tepi sungai terdiri dari banyak
variasi rumah dan perumahan. Variasi tersebut akan lebih terasa pada
suatu masyarakat yang heterogen. Sebagai contoh pada masyarakat
Kalimantan terdapat berbagai bentuk rumah, meskipun dapat dikatakan
bahwa hampir semuanya merupakan rumah panggung. Pada masyarakat
asli kalimantan yaitu suku dayak bentuk utama yang paling utama adalah
rumah panggung memanjang memanjang ke kiri-kanan yang didiami
oleh sejumlah keluarga. Rumah panggung tersebut meskipun secara
arsitektur bentuknya hampir sama namun persamaannya pada beberapa
temnpat agak berbeda. Sebagai contoh ada yang menyebutnya dengan
nama lamin ada juga yang menyebutnya dengan rumah betang. Di
kalangan masyarakat Melayu yang kebanyakan berdiam di dataran
rendah atau pantai sebagian besar rumahnya juga merupakan rumah
panggung.
Bahan utama yang dipergunakan untuk membuat rumah
panggung adalah kayu yang dapat dengan mudah diperoleh dari
lingkungan sekitar dan sedikit sekali yang mempergunakan bahan logam
atau batu. Hanya saja pada masa sekarang karena perkembangan
teknologi pada rumah panggung, kayu tersebut sudah memakai bahan
non kayu, misalnya lantai dipasangi pasak kayu, mempengaruhi
eksistensi kayu sebagai bahan utama pembuat rumah penggung. Bentuk
permukiman untuk daerah pinggiran sungai memiliki bentuk rumah
panggung. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh komponen alami yang
berupa pasang-surut permukaan sungai (Gambar 3). Sedangkan untuk
permukiman yang jauh dari sungai, ada beberapa yang masih
11

membentuk rumah panggung, tetapi karena lahan yang ada merupakan
endapan rawa, maka rumah penduduk yang ada membentuk pola rumah
panggung (Purwanto dan Gultom, 2013).

Gambar 3. Deretan Perumahan di Tepi Sungai Arut
Kota Pangkalan Bun Kabupaten Kotawaringin Barat
Sumber: Purwanto dan Gultom, 2013
Aktivitas

masyarakat yang berada di pinggiran Sungai

menjadikan sungai sebagai pusat kehidupan sehari-hari, misalnya
dijadikan mata pencaharian dan sebagai ojek air/transportasi sungai.
Sungai dijadikan masyarakat sekitar sebagai sarana penghubung dengan
kelurahan/kota Sekitarnya. Pada umumnya konstruksi bangunan
permukiman di tepi sungai memiliki bentuk rumah panggung. Rumah
panggung ini sesuai dibangun pada daerah rawa, dikarenakan kawasan
ini riskan / rawan akan banjir yang setiap saat akan muncul dan juga

12

pengaruh pasang surut yang dipengaruhi oleh Sungai tersebut (Purwanto,
dan Wahyuni, 2015).
Sesuai dengan kondisi

geografisnya

maka rumah-rumah

penduduk dibangun di atas tiang-tiang di tepi sungai, atau di atas sungai.
Rumah-rumah penduduk dibangun dari kayu hutan yang banyak terdapat
di wilayah Kalimantan Tengah. Semula rumah-rumah dibangun di tepian
sungai, menghadap ke arah sungai sehingga sungai menjadi halaman
depan (Purwanto dan Gultom 2013). Menurut deskripsi Kertodipoero
(dalam Rochgiyanti, 2011) tentang sungai dan pemukiman penduduk di
pahuluan pulau Kalimantan, rumah-rumah berdiri di atas tiang,
semuanya menghadap ke sungai, dan masing-masing rumah mempunyai
batang-batang kayu (titian). Ia menyebut kampung-kampung yang
berada di sepanjang tepian sungai sebagai sebuah “stasiun”, yang
menghubungkan satu kampung dengan kampung lainnya, dan setiap
orang yang melewatinya bisa menyinggahinya.

2.3.

Strategi Adaptasi
Hardesty (dalam Rahmasari, 2011) mengemukakan pengertian

adaptasi: “Adaptation is the process through which beneficial
relationships are established and maintained between an organism and
its environment”. Sementara itu para ahli ekologi budaya (cultural
ecologists) mendefinisikan bahwa adaptasi adalah suatu strategi
penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk
merespon terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan sosial (Allan
dalam Rahmasari, 2011).
Ketika manusia dihadapkan pada situasi padat, yang dapat
dipersepsikan sebagai situasi yang mengancam eksistensinya, manusia
akan melakukan adaptasi. Hal ini berarti bahwa ada hubungan
13

interaksionis antara lingkungan dan manusia. Lingkungan dapat
mempengaruhi manusia, manusia juga dapat mempengaruhi lingkungan
(Holahan dalam Kumalasari dan Yuliastuti, 2013). Oleh karena bersifat
saling mempengaruhi maka terdapat proses adaptasi dari individu dalam
menanggapi tekanan-tekanan yang berasal dari lingkungan. Dalam batas
tertentu, manusia mempunyai kelenturan yang memungkinkan individu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kemampuan adaptasi ini
mempunyai nilai untuk kelangsungan hidupnya.
Terjadinya adaptasi tidak lepas dari pemahaman interaksi
manusia dengan lingkungannya. Perilaku manusia merupakan pusat
perhatian dalam hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
Manusia menginderakan objek di lingkungannya, hasil penginderaan
diproses sehingga timbul makna tentang objek tersebut yang kemudian
disebut dengan persepsi (Sarwono, 1992). Persepsi merupakan proses
untuk memperoleh informasi tentang lingkungan seseorang atau
sekelompok orang (Lang, 1987).
Menurut Sarwono (1992), persepsi bisa berubah-ubah karena
adanya proses fisiologik. Dalam hal interaksi manusia dengan
lingkungannya, manusia akan selalu berusaha untuk memperoleh
keselarasan dengan lingkungannya. Hal ini dimungkinkan dengan
adanya kemampuan kognitif untuk mengadakan reaksi-reaksi tertentu
terhadap lingkungan yang memuat hal-hal tertentu yang menarik
minatnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Proses hubungan
dengan lingkungan yang terjadi sejak manusia berinteraksi melalui
penginderaan sampai dengan terjadinya reaksi, digambarkan dalam
skema persepsi oleh Bell (dalam Sarwono, 1992) sebagai berikut :

14

Gambar 4. Skema Persepsi
Sumber: Sarwono, 1992
Gambar 4 menjelaskan hasil interaksi manusia dengan objek
menghasilkan persepsi manusia tentang objek tersebut. Jika persepsi
berada dalam batas optimal, maka manusia dikatakan dalam keadaan
homeo statis, yaitu keadaan yang serba seimbang dan biasanya selalu
ingin dipertahankan oleh setiap manusia karena menimbulkan perasaan
yang menyenangkan. Sebaliknya, jika objek dipersepsikan sebagai di
luar batas optimal, maka manusia akan mengalami stres, terjadi
peningkatan

energi,

sehingga

harus

dilakukan

coping

untuk

menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya. Penyesuaian diri
manusia terhadap lingkungannya disebut dengan adaptasi, sedangkan
penyesuaian lingkungan terhadap manusia disebut adjusment. Dalam hal
interaksi manusia dengan lingkungannya, manusia akan selalu berusaha
untuk memperoleh keselarasan dengan lingkungannya. Hal ini
dimungkinkan karena adanya kemampuan kognitif untuk mengadakan
reaksi-reaksi tertentu terhadap lingkungan yang memuat hal-hal tertentu
yang menarik minatnya dalam memenuhi kebutuhannya (Sarwono,
15

1992). Bennet (1976) membedakan antara perilaku adaptasi dengan
strategi adaptasi. Perilaku adaptasi adalah, perilaku yang ditujukan untuk
mengatasi masalah yang dihadapi atau untuk memperoleh sesuatu yang
diinginkan dan ini berbeda dengan strategi adaptasi. Strategi adaptasi
didefenisikan sebagai pola-pola berbagai usaha yang direncanakan oleh
manusia untuk dapat memenuhi syarat minimal yang dibutuhkannya dan
untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Pola-pola
yang dimaksud di sini adalah pola-pola perilaku atau tindakan.
Menurut Douglas (2002), strategi adaptasi disesuaikan dengan
tingkat kerusakan dan degradasi lingkungan maupun bangunan yang
digambarkan dalam delapan tingkatan bentuk adaptasi. Berdasarkan
tingkatan tersebut kemudian Douglas mengelompokkan bentuk adaptasi
menjadi : [i] adaptasi rendah, skala perubahan yang sedikit dengan
bentuk perawatan, [ii] adaptasi menengah, skala perubahan sedang
dengan bentuk renovasi dan rehabilitasi, [iii] adaptasi tinggi, skala
perubahan drastis dengan bentuk rekonstruksi (Gambar 5).

Gambar 5. Tingkatan Bentuk Adaptasi Bangunan
Sumber: Douglas, 2002

16

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.

Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan deskriptif dengan mempertimbangkan berbagai faktor
dan alasan. Menurut Furchan (2004) penelitian deskriptif adalah
penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status
suatu gejala saat penelitian dilakukan. Lebih lanjut dijelaskan, dalam
penelitian deskriptif tidak ada perlakuan yang diberikan atau
dikendalikan serta tidak ada uji hipotesis sebagaimana yang terdapat
pada penelitian eksperiman. Menurut Sukmadinata (2006) penelitian
deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah
maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk,
aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan
antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. Penelitian
deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan
menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada,
pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau
efek yang terjadi, atau tentang kecenderungan yang tengah berlangsung.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, pendekatan deskriptif
sesuai digunakan untuk penelitian ini karena bertujuan mendiskripsikan
fenomena-fenomena munculnya strategi adaptasi yang dilakukan oleh
penghuni

dalam

bermukim

terhadap

kondisi

lingkungan

yang

dipengaruhi oleh naik turunnya permukaan sungai Kahayan dan kondisi
iklim tropis (Purwanto dan Wahyuni, 2015).

17

3.2.

Gambaran Umum Kawasan Penelitian
Kawasan permukiman yang menjadi objek penelitian

merupakan kawasan permukiman khusus yang oleh Pemerintah
Kabupaten Pulang Pisau dinyatakan sebagai kawasan padat dan
kumuh berdasarkan SK Bupati Pulang Pisau No. 289/2015 tentang
Penetapan Lokasi Perumahan dan Permukiman Kumuh di Kabupaten
Pulang Pisau.
Kawasan ini berada di kelurahan Pulang Pisau, tepatnya di
kawasan Patanak. Secara fungsional kawasan ini merupakan pusat
kota Pulang Pisau, dengan fungsi tata guna lahan perumahan,
perdagangan, jasa, dan campuran. Deskripsi kawasan penelitian dapat
dilihat dalam Tabel 1 dan Gambar 6.

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Tabel 1. Deskripsi Kawasan Penelitian
Nama Lokasi Kumuh
Kawasan Patanak
Tipologi Lokasi Kumuh
Pemukiman Kumuh Tepi Air
Luas Lokasi Kumuh (Ha)
15.44 ha
Jumlah Penduduk (jiwa)
984 jiwa
Jumlah Kepala Keluarga (KK) 260 KK
Dusun/Lingkungan/RT/RW
RT 1,3,4,5,6,7,8 (7 Wilayah RT)
Kelurahan/Desa
Kelurahan Pulang Pisau
Kecamatan/Distrik
Kahayan Hilir
Kabupaten
Pulang Pisau
Provinsi
Kalimantan Tengah
Sumber: SK Bupati Pulang Pisau No. 289/2015
Kawasan ini mempunyai nilai strategis lokasi karena berada di

pusat kota Pulang Pisau, mempunyai kepadatan penduduk < 200
jiwa/ha. Sebagian besar status penguasaan tanah berupa SP (Surat
Pernyataan) dari Camat.

18

Gambaran kondisi kawasan permukiman objek penelitian
berdasarkan 6 aspek yang diidentifikasi (Buku RPKPKP Kabupaten
Pulang Pisau, 2015) :
a.

Kondisi bangunan
Sebanyak 76 % - 100 % bangunan tidak memiliki keteraturan, 25
% - 50 % bangunan memiliki kepadatan tidak sesuai ketentuan (
< 200 unit/ha), dan 76 % - 100 % bangunan tidak memenuhi
persyaratan teknis.

b.

Kondisi jalan lingkungan
Mempunyai cakupan layanan jalan lingkungan tidak memadai di
51 % - 75 % luas area, dan kualitas jalan buruk pada 51 % - 75
% luas area

c.

Kondisi drainse lingkungan
Kondisi drainase lingkungan tidak mampu mengatasi genangan
minimal 51 % - 75 % luas area, dan sebanyak 51 % - 75 % luas
area tidak terlayani drainase lingkungan.

d.

Kondisi penyediaan air minum
Sistem penyediaan air minum (SPAM) tidak memenuhi
persyaratan teknis di 25 % - 50 % luas area, dengan cakupan
pelayanan SPAM tidak memadai terhadap 25 % - 50 % populasi

e.

Kondisi pengelolaan air limbah
Pengelolaan air limbah tidak memenuhi persyaratan teknis 51 %
- 75 % luas area, mempunyai cakupan pengolahan air limbah
tidak memadai terhadap 51 % - 75 % populasi.

f.

Kondisi pengelolaan sampah
Pengelolaan persampahan tidak memenuhi persyaratan teknis 51
% - 75 % luas area, dan cakupan pengolahan persampahan tidak
memadai terhadap 51 % - 75 % populasi
19

Gambar 6. Peta Batas Wilayah Penelitian
Sumber: Buku RPKPKP Kabupaten Pulang Pisau, 2015
Untuk memberikan gambaran visualisasi kondisi bangunan dan
lingkungan serta kegiatan objek penelitian dapat dilihat pada Gambar 6
dan Gambar 7.

20

Gambar 7. Gambaran Objek Penelitian (Fokus Perumahan)
Sumber: Survey Lapangan, 2015

21

Gambar 8. Gambaran Objek Penelitian (Fokus Perdagangan)
Sumber: Survey Lapangan, 2015

22

3.3.

Penentuan Populasi dan Sampel Penelitian
Berdasarkan deskripsi dalam subbab 3.2. bahwa objek penelitian

merupakan kawasan permukiman padat dan kumuh dengan luas 15,44
hektar dan jumlah populasi 260 kepala keluarga (KK) serta 984 jiwa.
Berdasarkan asas kelayakan dan kepatutan, maka yang menjadi sampel
sama dengan jumlah populasi yaitu semua satuan kepala keluarga (KK).
Dengan demikian jumlah populasi sama dengan jumlah sampel yang
sudah ditetapkan.

3.4.

Metode Pengumpulan Data dan Analisis

3.4.1.

Metode Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan kaitannya dengan strategi adaptasi

bermukim warga di permukaan tepi sungai Kahayan Kota Pulang Pisau
terdiri dari :
1.

Kondisi sungai Kahayan dan dampak banjir terhadap lingkungan
permukiman

2.

Kondisi bangunan dan lingkungan yang terdiri dari :
-

Berdasarkan Luas Bangunan

-

Berdasarkan Struktur Bangunan

-

Berdasarkan Penutup Atap

-

Berdasarkan Dinding

-

Berdasarkan Lantai

-

Berdasarkan Letak Bangunan

-

Berdasarkan Jenis Bangunan

-

Berdasarkan Kondisi Bangunan

-

Berdasarkan Jarak Antar Bangunan

23

3.

4.

Kondisi utilitas lingkungan yang terdiri dari :
-

Ketersediaan Fasilitas Pembuangan Sampah

-

Ketersediaan Air Bersih

-

Ketersediaan Fasilitas MCK

-

Ketersediaan Fasilitas Pembuangan Air Kotor/Hujan

Kondisi sosial ekonomi warga yang terdiri dari :
-

Penghasilan

-

Pendidikan

-

Pekerjaan

Selain data observasi, diperlukan juga data yang berasal dari
wawancara terhadap warga sebagai responden menggunakan teknik
wawancara terbuka dan mendalam bertujuan melihat relevansi data
observasi yang didapatkan dengan kondisi lingkungan di sekitarnya.
Pengumpulan data rumah tinggal secara fisik dilakukan dengan
melakukan pengukuran dan perekaman, sedangkan data sekunder
diperoleh melalui studi literatur, jurnal dan penelitian yang serupa
(Purwanto et al, 2015; Purwanto et al, 2016).

3.4.2.

Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan melalui pendekatan diskriptif-kualitatif,

dengan teknik kategorisasi yaitu mengelompokkan data/informasi sejenis
kemudian dilakukan intepretasi. Berbagai data dilapangan dikaji dan
dibahas berdasarkan intepretasi peneliti. Sedangkan untuk analisis
perubahan pada rumah tinggal sebagai dampak terjadinya proses
adaptasi menggunakan teknik penelusuran jejak-jejak fisik terjadinya
perubahan dari masa ke masa berdasarkan hasil observasi dan
wawancara. Berbagai temuan di lapangan dikaji dan dibahas
menggunakan instrumen teori (Purwanto dan Wahyuni, 2015).
24

BAB IV
GAMBARAN UMUM KOTA PULANG PISAU
4.1.

Letak Geografis Kabupaten Pulang Pisau
Letak geografis Kabupaten Pulang Pisau antara 10O sampai

dengan 0O Lintang Selatan dan 110O sampai 120O Bujur Timur.
Kabupaten Pulang Pisau memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara

:

berbatasan dengan Kabupaten Gunung Mas

Sebelah Selatan

:

berbatasan dengan laut Jawa

Sebelah Timur

:

berbatasan dengan Kabupaten Kapuas

Sebelah Barat

:

berbatasan dengan Kabupaten Katingan dan
Kota Palangka Raya

Secara administratif Kabupaten Pulang Pisau mempunyai luas 8.977
Km². Ibukota Kabupaten Pulang Pisau adalah kota Pulang Pisau yang
sekaligus menjadi ibukota Kecamatan Kahayan Hilir. Luas wilayah
masing-masing kecamatan dan persentase terhadap kabupaten Pulang
Pisau dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 9.
Tabel 2. Luas Wilayah Masing-Masing Kecamatan

No

Kecamatan

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kahayan Kuala
Sebangau Kuala
Pandih Batu
Maliku
Kahayan Hilir
Jabiren Raya
Kahayan Tengah
Banama Tingang
Jumlah

Jumlah
Desa
13
8
16
15
10
8
14
15
99

Luas
(Km2)
1.155
3.801
535
413
360
1.323
783
626
8.977

Ibu Kota
Bahaur Basantan
Sebangau Permai
Pangkoh Hilir
Maliku Baru
Pulang Pisau
Jabiren
Bukit Rawi
Bawan

Sumber: Pulang Pisau Dalam Angka, 2015

25

%
Terhadap
Luas
Kabupaten
12,8
42,25
5,96
4,59
4,00
14,70
8,70
6,96
100,00

Gambar 9. Peta Wilayah Kabupaten Pulang Pisau
Sumber: RTRW Kabupaten Pulang Pisau, 2013

26

4.2.

Kondisi Geografis Wilayah Kota Pulang Pisau

4.2.1. Batas Administrasi
Secara administrasi kewilayahan, Kecamatan Kahayan Hilir
memiliki luas wilayah 360 km2 (3.600 Ha) atau sekitar 4,01% dari luas
Kabupaten

Pulang

Pisau.

Berdasarkan

tinjauan

administrasi

pemerintahan, Kecamatan Kahayan Hilir terdiri dari 10 desa/kelurahan.
Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 10 berikut ini.
Tabel 3. Luas Wilayah Per Desa di Kecamatan Kahayan Hilir
No.
Desa/Kelurahan
Luas wilayah (km2)
1
Buntoi
90,00
2
Mintin
48,00
3
Mantaren II
4,99
4
Mantaren I
55,01
5
Pulang Pisau
5,71
6
Anjir Pulang Pisau
22,20
7
Gohong
60,00
8
Hanjak Maju
7,80
9
Kalawa
5,60
10
Bereng
60,69
Total
360,00
Sumber : Kecamatan Kahayan Hilir dalam Angka, 2015

Dari 10 desa/kelurahan tersebut, yang masuk kedalam kawasan
fungsional perkotaan terdiri dari 8 (delapan) desa/kelurahan, yaitu :
Kelurahan Pulang Pisau, Anjir Pulang Pisau, Hanjak Maju, Desa Mintin,
Mantaren I, Mantaren II, Gohong, dan Bereng. Luas kawasan fungsional
perkotaan Kecamatan Kahayan Hilir, yaitu seluas 31.579 Ha.

27

Gambar 10. Peta Administrasi Kecamatan Kahayan Hilir
Sumber: RDTRK Pulang Pisau, 2014

28

4.2.2.

Kondisi Fisik

A.

Kondisi Topografi
Berdasarkan ketinggian lahan, kawasan fungsional perkotaan

Kecamatan Kahayan Hilir sebagian besar berada pada ketinggian lahan
antara 10-15 meter diatas permukaan laut. Ketinggian lahan tersebut
terdapat di seluruh desa dan kelurahan yang ada di Kecamatan Kahayan
Hilir.

B.

Kondisi Hidrologi
Kecamatan Kahayan Hilir dilewati oleh aliran sungai Kahayan

Hilir. Daerah yang dilewati aliran sungai yang ada di Kecamatan
Kahayan Hilir, yaitu Desa Buntoi, Desa Mintin, Desa Mentaren I, Desa
Pulang Pisau, Desa Gohong, Desa Hanjak Maju, Desa Kalawa, dan Desa
Bereng.

C.

Kondisi Klimatologi
Kecamatan Kahayan Hilir memiliki temperatur antara 26,5oC –

27,5oC, merupakan daerah sekitar garis khatulistiwa yang beriklim
tropis.curah hujan terbanyak jatuh pada bulan Oktober – Desember serta
Januari – Maret yang berkisar antara 2.000 – 3.500 mm setiap tahunnya,
sedangkan bulan kering pada bulan Juni hingga bulan September.

4.3.

Pola Penggunaan Lahan Eksisting
Penggunaan lahan di Kawasan Fungsional Perkotaan Kecamatan

Kahayan Hilir terdiri dari sawah, non sawah dan non pertanian dengan
komposisi sebagai berikut:

29

Tabel 4.Tabel Penggunaan Lahan di Kota Pulang Pisau
Non
Desa/Kelurahan
Sawah
Non Sawah
Pertanian
Mintin
681,99
2.056,45
2.061,56
Mantaren II
92,00
248,99
158,01
Mantaren I
1.347,06
1.309,61
2.844,33
Pulang Pisau
174,73
72,52
323,75
Anjir Pulang Pisau
439,72
910,38
869,90
Gohong
626,65
3.662,60
1.700,75
Hanjak Maju
44,15
600,66
135,19
Bereng
743,38
2.900,24
2.425,38
4.149,68
11.761,45
10.518,87
Total
Sumber : Kecamatan Kahayan Hilir Dalam Angka, 2015
Pada Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa penggunaan lahan di
kota Pulang Pisau di dominasi oleh penggunaan lahan non sawah yaitu
seluas 11.761,45 Ha, sedangkan penggunaan lahan ter-kecil di kota
Pulang Pisau adalah penggunaan lahan berupa sawah, yaitu seluas
4.149,68 Ha.

4.4.

Karakteristik Kependudukan

4.4.1.

Jumlah dan Persebaran Penduduk
Jumlah penduduk di kota Pulang Pisau pada tahun perhitungan

terakhir (2014) sejumlah 23.133 jiwa atau sebesar 84,45% dari
keseluruhan jumlah penduduk di Kecamatan Khayan Hilir (27.393 jiwa).
Untuk lebih jelasnya mengenai data persebaran dan jumlah penduduk
dari tahun 2009-2013 pada masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel
5 dan Gambar 11.

30

Tabel 5. Jumlah dan Persebaran Penduduk di Kota Pulang Pisau Tahun
2010-2014
Jumlah Penduduk (Jiwa)
2010
2011
2012
2013
MINTIN
2.965
3.018
3.033
3.092
MANTAREN II
2.282
2.318
2.328
2.373
MANTAREN I
1.725
1.759
1.768
1.802
PULANG PISAU
5.712
5.805
5.851
5.964
ANJIR PULANG PISAU
4.162
4.239
4.264
4.346
GOHONG
1.708
1.752
1.762
1.796
HANJAK MAJU
1.280
1.308
1.623
1.655
BERENG
2.269
2.299
2.312
2.356
JUMLAH
22.103 22.498
22.941 23.384
Sumber : Kecamatan Kahayan Hilir Dalam Angka, 2015
Desa

2014
3.092
2.380
1.799
6.014
4.341
1.781
1.335
2.391
23.133

Gambar 11. Jumlah Penduduk Kota Pulang Pisau Tahun 2010-2014
Sumber : Kecamatan Kahayan Hilir Dalam Angka, 2015
Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa perkembangan
penduduk dari tahun 2010 hingga tahun 2011 selalu mengalami
peningkatan. Sementara itu, pada interval waktu tahun 2012 hingga
tahun 2013 pada sejumlah desa/kelurahan mengalami fluktuasi
(peningkatan dan penurunan) jumlah penduduk, yang diperkirakan

31

terjadi karena adanya pembukaan desa baru, yaitu desa Hanjak Maju
yang baru terpisah dari wilayah sebelumnya UPT Anjir Pulang Pisau
pada tahun 2011. Sementara itu, dilihat dari sisi sebaran jumlah
penduduk, data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa desa/kelurahan yang
memiliki jumlah penduduk paling banyak adalah Kelurahan Pulang
Pisau dan desa/kelurahan yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit
adalah Kelurahan Hanjak Maju.

Namun desa

yang

memiliki

kecenderungan pergerakan perkembangan jumlah penduduk paling
fluktuatif, masih merujuk pada Gambar 10, adalah Desa Mintin, Desa
Gohong, Kelurahan Pulang Pisau, dan Kelurahan Hanjak Maju.

4.4.2.

Pertumbuhan Penduduk
Dengan melihat perkembangan jumlah penduduk di kota Pulang

Pisau dari tahun 2010 hingga tahun 2014, dapat dilihat bahwa laju
tingkat pertumbuhan penduduk di kota Pulang Pisau secara keseluruhan
masih mengalami fluktuasi (naik-turun). Angka rata – rata tingkat
pertumbuhannya berada diatas 1%.
Laju tingkat pertumbuhan penduduk di kota Pulang Pisau dapat
dilihat pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Tingkat Pertumbuhan Penduduk di Kota Pulang Pisau Tahun
2010-2014
Tingkat Pertumbuhan Penduduk (%)
Data
Jumlah
Penduduk Kota
Pulang Pisau
Tingkat
Pertumbuhan

2010

2011

2012

2013

2014

26.188

26.654

26.813

27.331

27.393

-

1,31

3,64

2,16

1,96

Sumber : Kecamatan Kahayan Hilir Dalam Angka, 2015

32

Rata-Rata
Tingkat
Pertumbuhan
(%)
2,27

4.4.3.

Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk merupakan perbandingan antara jumlah

penduduk dengan luas wilayahnya. Kota Pulang Pisau memiliki luas
wilayah sebesar 31.579 Ha. Untuk menganalisis tingkat kepadatan
penduduk pada suatu wilayah, dilakukan pengelompokan tingkat
kepadatan yang mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan
Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota.Rincian pengelompokkan tingkat
kepadatan penduduk adalah 0-50 jiwa/Ha (Sangat Rendah), 50-100
jiwa/Ha (Rendah), 100-200 jiwa/Ha (Sedang), 200-400 jiwa/Ha (Tinggi).
Data

kepadatan penduduk

dan pengelompokkan

tingkat

kepadatan penduduk kota Pulang Pisau, selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 7 dan Gambar 12.
Tabel 7. Kepadatan Penduduk dan Kategorisasi Tingkat Kepadatan
Penduduk di Kota Pulang Pisau Tahun 2014
Desa/Kelurahan
Mintin
Mentaren II
Mentaren I
Pulang Pisau
Anjir Pulang Pisau
Gohong
Hanjak Maju
Bereng
Jumlah

Luas
Wilayah
(Ha)
4.800
499
5.501
5.710
2.220
6.000
780
6.069
31.579

Jumlah
Penduduk
(Orang)
3.092
2.380
1.799
6.014
4.341
1.781
1.335
2.391
23.133

Kepadatan
Penduduk
(Orang/Ha)
0,63
4,67
0,32
1,02
1,92
0,29
2,08
0,38
0,74

Sumber : Kecamatan Kahayan Hilir Dalam Angka, 2015

33

Tingkat
Kepadatan
Sangat Rendah
Sangat Rendah
Sangat Rendah
Sangat Rendah
Sangat Rendah
Sangat Rendah
Sangat Rendah
Sangat Rendah
Sangat Rendah

(Orang/Ha) Tahun 2014

Gambar 12. Kepadatan Penduduk di Kota Pulang Pisau Tahun 2014
Sumber : Kecamatan Kahayan Hilir Dalam Angka, 2015

Berdasarkan Gambar 11, tingkat kepadatan penduduk dapat
diketahui bahwa kota Pulang Pisau memiliki tingkat kepadatan
penduduk yang tergolong sangat rendah.
Sementara itu, dilihat dari persebaran penduduknya, dapat
diketahui bahwa Desa/Kelurahan yang memiliki tingkat kepadatan
paling tinggi adalah Kelurahan Mentaren, sedangkan Desa/Kelurahan
yang memiliki tingkat kepadatan paling rendah adalah Desa Gohong.

4.4.4.

Struktur Penduduk

A.

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di kota Pulang Pisau

Tahun 2010-2014 dijelaskan pada Tabel 8 berikut ini.

34

Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kota Pulang Pisau
Tahun 2010-2014
Tahun

Jenis Kelamin

Jumlah Pendu