BUDAYA DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN SEHARI (2)

“BUDAYA DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik
Dosen : Tri Sulistyaningsih, Dr., M.Si

DISUSUN OLEH :
MAULIDA MAHFUDZAH

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang
2017/2018

MASALAH
Di Indonesia telah banyak menganut sistem pemerintahan pada awalnya. Namun, dari
semua sistem pemerintahan, yang bertahan mulai dari era reformasi 1998 sampai saat ini adalah
sistem pemerintahan demokrasi. Meskipun masih terdapat beberapa kekurangan dan tantangan
disana sini. Sebagian kelompok merasa merdeka dengan diberlakukannya sistem domokrasi di
Indonesia. Artinya, kebebasan pers sudah menempati ruang yang sebebas-bebasnya sehingga setiap
orang berhak menyampaikan pendapat dan aspirasinya masing-masing.
Demokrasi merupakan salah satu bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara
sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atau negara yang dijalankan oleh pemerintah. Semua
warga negara memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup

mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui
perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.
Demokrasi mencakup kondisi social, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya
praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Demokrasi Indonesia dipandang perlu dan sesuai
dengan pribadi bangsa Indonesia. Selain itu yang melatar belakangi pemakaian sistem demokrasi di
Indonesia. Hal itu bisa kita temukan dari banyaknya agama yang masuk dan berkembang di
Indonesia, selain itu banyaknya suku, budaya dan bahasa, kesemuanya merupakan karunia Tuhan
yang patut kita syukuri.

DATA
Budaya demokrasi sudah ada sejak zaman Yunani Kuno sekitar tahun 500 SM. Pada waktu
itu budaya demokrasi telah dipraktikkan di kota-kota (polis) di Yunani Kuno. Pada zaman Yunani
Kuno, demokrasi dipraktikkan secara langsung, artinya rakyat menjalankan hak-hak politiknya
secara langsung.
Perubahan politik besar yang terjadi pada tahun 1998 yang ditandai oleh lengsernya
Presiden Soeharto mempunyai implikasi yang luas, salah satu diantaranya adalah kembalinya
demokrasi dalam kehidupan politik nasional. Pemilu yang betul-betul LUBER berlangsung pada
tahun 1999 dan diikuti oleh 48 parpol. Demokratisasi ini membawa konsekuensi pola relasi antara
Presiden dan DPR mengalami perubahan cukup mendasar. Jika pada masa lalu DPR hanya menjadi
tukang stempel, masa kini mereka bertindak mengawasi presiden. Disini dicoba dilansir suatu

model atau format politik yang tidak lagi executive heavy ( atau bahkan dominan ) seperti pada
masa Orde Baru, tetapi juga tidak terlalu legislative heavy seperti pada masa orde lama atau masa
Demokrasi Parlementer yang sudah menjadi stigma negatif.
Jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakilnya BJ
Habiebie memulai babak baru dalam proses demokratisasi di Indonesia. Tidak adanya legitimasi
dari para anggota legislative produk pemilu 1997 pada mas Orde Baru mengakibatkan banyaknya
tuntutan untuk segera melaksanakan pemilu pada saat itu. BJ Habiebie sebagai pengganti Soeharto
secara konstitusional kemudian memiliki tugas utama yakni menyelenggarakan pemilu. langkah
awal Habiebie pada saat itu adalah membentuk Tim Tujuh yang bertugas untuk mempersiapkan
pemilu secara segera. Selain itu juga, Golkar yang merupakan produk kekuasaan Orde Baru
kemudian memepersiapkan diri menjadi partai politik baru, serta perpecahan PPP menjadi banyak
partai pada saat itu merupakan langkah awal dari proses demokratisasi di Indonesia.
Selama pemerintahan Orde Baru bangsa Indonesia telah menjalakan Pemilihan Umum,
diawali dari tahun 1966 hingga tahun 1997 telah diadakan 6 (enam) kali pemilihan umum secara
berkala, yakni berturut-turut dari tahun 1971, tahun 1977, tahun 1982, tahun 1987, tahun 1992 dan
tahun 1997, begitu pula pada era reformasi telah diselenggarakan pemilihan umum yang diikuti oleh
multipartai tanggal 7 Juni 1999 dan pemilu berikutnya pada tanggal 5 April 2004. Terkait dengan
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 1999 rakyat hanya memilih mereka di
lembaga parlemen, setelah itu barulah anggota MPR yang memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Bergulirnya gerakan reformasi telah melahirkan beberapa perubahan, termasuk dalam soal

penyelenggara pemilu tahun 1999. Sistem multi partai pemilu 1999 ternyata benar-benar
membuktikan bahwa rakyat Indonesia sebelumnya terbelenggu aspirasi politiknya, karena dalam

perjalanannya partai politik yang sudah ada tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat, partai-partai
yang sudah ada hanya mempertahankan status quo saja. Munculnya banyak partai politik dengan
segmen dan ideologi yang beragam membuktikan bahwa rakyat Indonesia sebenarnya tidak buta
politik meskipun sistem pemilunya masih proporsional tanpa menyertakan nama calegnya dalam
kartu suara, tetapi pemilu pada masa reformasi menjadi ajang kompetisi yang cukup sehat bagi para
kontestan pemilu. Dari segi kelembagaan pelaksanaan pemilu 1999 mengawali sebuah pemilu yang
mendekati demokratis, dengan adanya Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang di dalamnya
mempresentasikan golongan pemerintahan dan partai politik. Selain itu, terdapat juga lembaga
pengawas pemilu dan lembaga pemantau pemilu non partisan yang bertujuan untuk mengawasi
pelaksanaan pemilu.
Dari pelaksanaan pemilu tahun 1999 ini dapat dikatakan merupakan langkah awal meunuju
proses demokratisasi di Indonesia, karena mengingat sebelumnya yakni pada masa orde baru partai
politik yang menjadi kontestan pemilu hanya 3 partai saja, akan tetapi pada tahun 1999 begitu
banyak partai politik yang ikut serta. System pemilu dan pelembagaan pemilu juga berlangsung
transparan dan dapat mencerminkan langkah awal menuju Negara yang demokratis. Satu hal juga
bahwa dalam pemilu 1999 terdapat lembaga pengawasan pemilu yang walaupun dengan
kekurangannya, hal ini merupakan cerminan dari keinginan masyarakat akan terwujudnya pemilu

yang jujur, adil, akuntabel serta memunculkan pemimpin sesaui dengan harapan masyarakat.
Pemilu selanjutnya dilaksanakan adalah pada tahun 2004. Pemilu tahun 2004 ini mempunyai
makna yang sangat strategis bagi masa depan bangsa Indonesia karena merupakan momentum ujian
bagi kelanjutan agenda reformasi dan demokratisasi. Apabila pemilu sistem multipartai pada 1999
menandai berlangsungnya transisi demokrasi, maka pemilu tahun 2004 diharapkan menjadi
momentum pulihnya kedaulatan rakyat, tegaknya pemerintahan yang bersih serta bebas korupsi,
dan berakhirnya krisis bersegi-banyak yang dialami bangsa Indonesia.
Berbeda dengan pemilu pada tahun 1999, pemilu pada tahun 2004 dari segi kelembagaan
pemilu ada perubahan, komposisi Komisi Pemilihan Umum tidak lagi seperti pemilu 1999. Komisi
Pemilihan Umum berdasarkan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003 tidak lagi menyertakan
wakil-wakil dari partai politik dan pemerintah. Selain itu, Komisi Pemilihan Umum memiliki
kewenangan yang sangat besar baik kewenangan menyiapkan dan melaksanakan pemilu dari segi
prosedur juga harus menyediakan logistik pemilu, kewenangan yang besar itu sebenarnya dalam
praktiknya dapat berakibat pada terganggunya kinerja Komisi Pemilihan Umum, selain juga tugas
menyiapkan daftar pemilih yang tidak di dapatkan dari Departemen Dalam Negeri. Sistem
kepartaian pada pemilu tahun 2004 memang menawarkan banyak pilihan pada rakyat dan rakyat

cukup kritis dalam menjatuhkan pilihannya, meskipun pemilu tahun 2004 diwarnai oleh berbagai
kerumitan, tetapi secara umum sistem pemilu tahun 2004 lebih baik dibandingkan pemilu
sebelumnya. Pemilih dapat menentukan sendiri pilihannya baik pilihan partainya maupun pilihan

wakil-wakilnya, sistem pemilihan dengan memilih partai, calon legislatif, calon Presiden dan Wakil
Presidennya dapat menciptakan kontrol yang kuat dari rakyat terhadap wakilnya di lembaga
legislatif maupun eksekutif, sehingga nantinya wakil yang dipilih secara langsung oleh rakyat akan
mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara
Pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945 setelah perubahan maupun dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 merupakan masalah
yang benar-benar baru bagi bangsa Indonesia. Pemilu tahun 2004 telah membawa Indonesia
memasuki babak baru dalam perpolitikan nasional, bahwa pemilihan langsung pada pemilu kali ini
merupakan perkembangan politik yang sangat besar. Dengan adanya pemilihan langsung oleh
rakyat pasca pemilu tahun 2004, maka Presiden secara politik tidak akan bertanggungjawab lagi
kepada MPR melainkan akan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilih Presiden.
Dengan suksesnya pelaksanaan pemilihan umum tahun 2004 dan terpilihnya Presiden dan
Wakil Presiden yang merupakan hasil dari pemilu yang dilaksanakan secara langsung oleh
masyarakat, merupakan wujud dari berhasilnya proses demokratisasi di Indonesia. Pelaksanaan
pemilu tahun 2004 yang sangat sulit dan rumit, yang bahkan mungkin saja tersulit yang pernah ada
di dunia dapat dilaksanakan di Indonesia dengan tanpa ada konflik serta perpecahan, mengingat
Indonesia pada saat itu masih berada dalam transisis demokrasi. Pemilu 2004 lah menurut saya
merupakan tonggak demokratisasi di Indonesia yang kemudian tinggal diteruskan melalui pemilupemilu selanjutnya dengan penyempurnaan disana-sini yang dianggap masih kurang. Aspek actoraktor politik yang ada pada saat itu serta aspek kelembagaan pada pemilu 2004 yang oleh banyak
pihak akan gagal menyelenggarakan pemilu pada saat itu terbantah dengan suksesnya pemilu 2004
dilaksanakan. Maka dapat dikatakan bahwa bangsa ini dalam konteks pemilu telah sukses

berdemokrasi melalui pelaksanaan pemilu tahun 2004.
Pemilihan umum tahun 2009 merupakan pemilihan umum kedua yang tetap menerapkan
pemilihan langsung terhadap presiden dan wakil presiden. Secara kualitatif pilpres 2009 memang
masih banyak kelemahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh berbagai
factor. Pertama, kelemahan berada pada Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 yang mengatur
Pilpres. UU itu dinilai terlalu cepat mengakomodasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan
sebagai salah satu persyaratan penyusunan daftar pemilih. Sementara administrasi kependudukan
masih belum tertib. UU Pilpres ini juga dinilai tidak memberikan kekuatan kepada Badan Pengawas

Pemilu beserta jajarannya, sehingga pengawasan tidak berjalan efektif. Selain itu, UU Pilpres juga
tidak mengakomodasi kemungkinan penggunaan Kartu Tanda Penduduk dan paspor bagi warga
negara yang memenuhi persyaratan hak pilih, yang tujuannya menurut KPU adalah untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekacauan dalam DPT, padahal sebenarnya DPT yang
dipakai masih merupakan lanjuta data dari Pemilu 2004. Kelemahan kedua, KPU sebagai
penyelenggara pemilu presiden terlalu mudah dipengaruhi oleh tekanan publik, termasuk oleh
peserta pemilu. Sehingga, terkesan kurang kompatibel dan kurang professional serta kurang
menjaga citra independensi dan netralitasnya. Kelemahan ketiga, datang dari kesadaran hukum
warga negara untuk menggunakan hak pilihnya, termasuk mengurus terdaftar dan tidaknya dalam
DPT dan DPS, sehingga jumlah warga negara yang mempunyai hak pilih dan bahkan terdaftar
dalam DPT namun tidak menggunakan hak pilihnya masih cukup banyak. Kemudian kelemahan

terakhir, budaya ‘siap menang dan siap kalah’ dalam pemilu secara elegan belum dihayati oleh
peserta pemilu beserta para pendukungnya.
Pemilihan umum tahun 2009 sebagai pemilu ke tiga setelah reformasi memang menjadi
harapan terbesar masyarakat Indonesia untuk menyeleksi pemimpin yang memang benar-benar
berkualitas dengan melibatkan seluruh kepentingan masyarakat.. Sehingga wajar jika semua pihak
menaruh harapan bahwa pemilu 2009 akan jauh lebih berkualitas dan lebih baik daripada pemilupemilu sebelumnya. Namun banyak pihak memandang bahwa dibanding penyelenggaraan pemilu
tahun 1999 dan tahun 2004, pemilu kali ini justru menurun kualitasnya baik dilihat dari banyaknya
kasus maupun angka partisipasinya. Jumlah kasus dalam pemilu legislatif 2009 meningkat 128%
dibandingkan dengan tahun 2004 yang hanya tercatat 273 kasus. Tercatat warga negara yang
memiliki hak pilih tetapi tidak menggunakan haknya mencapai 49. 677. 076 orang atau 29,01% dari
jumlah Daftar Pemilih Tetap ( DPT). Jumlah tersebut di luar warga Negara yang terpaksa tidak
dapat menggunakan hak pilihnya karena kekacauan administratif DPT. Padahal salah satu tujuan
pendidikan politik dalam konteks pemilu yang lebih bersifat nyata dan rasional adalah
meningkatnya partisipasi rakyat dalam pemilihan (electoral participation ).

ANALISA
Demokrasi merupakan terminologi yang sarat akan tafsir dan makna. Hal ini dapat dilihat
bahwa pengertiannya berkaitan erat dengan sistem social yang mendukungnya. Oleh karena itu,
disamping mengandung unsur-unsur universal, demokrasi juga memuat unsur-unsur kontekstual.
Sehingga, dalam pelaksanannya, demokrasi memiliki berbagai istilah, seperti demokrasi liberal,

demokrasi konstitusional, demokrasi Pancasila, dan lain-lain.
Demokrasi Indonesia adalah Demokrasi Pancasila,yaitu pemerintahan rakyat yang
berdasarkan nilai-nilai filsafat Pancasila atau pemerintahan dari,oleh,dan untukrakyat berdasarkan
sila-Pancasila. Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian Demokrasi
Pancasila,diantaranya Prof.Dr.Drs.Notonegoro,SH bahwa Demokrasi Pancasila adalah kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang berkeTuhanan
Yang Maha Esa,yang berprikemanusiaan yang adil dan beradab,yang mempersatukan Indonesia,dan
yang berkeadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kehidupan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat telah diatur dalam pasal 28
UUD 1945. Namun, dalam pelaksanaannya, masih banyak ketakutan yang terdapat dalam tubuh
masyarakat terhadap pemerintah. Hal ini disebabkan karena masih banyak pemikiran yang ada
dalam masyarakat bahwa rakyat adalah sosok yang lemah dibandingkan dengan orang-orang yang
berada dalam tubuh pemerintahan.
Ketimpangan sosial ini yang menyebabkan masih banyak ketidakpuasan masyarakat
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Seharusnya, apabila pelksanaan demokrasi Pancasila
yang menekankan mufakat dan kekeluargaan dalam prinsip sistemnya, pemerintah tidak akan selalu
mendapatkan keluhan dan kitik dari rakyatnya karena seharusnya masyarakat sudah dalam keadaan
mufakat.
Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat juga belum menuai hasil yang terbaik karena dalam
pelaksanaannya kepentingan politik partai yang membuat mereka duduk di kursi parlemenlah yang

lebih diutamakan. Hal ini disebabkan tidak adanya komunikasi langsung antara rakyat dengan
Dewan yang menjadi wakilnya. Sorotan dan kabar dari media yang menjadi dasar pengambilan
kebijakan mereka. Selain itu, terjadi penyimpangan kembali dalam tubuh demokrasi Pancasila
dengan adanya dwi partai (oposisi dan koalisi) yang ada dalam sistem pemerintahan.

KESIMPULAN

Dari pengalaman masa lalu bangsa kita, kelihatan bahwa demokrasi belum membudaya.
Kita memang telah menganut demokrsai dan bahkan telah di praktekan baik dalam keluarga,
masyarakat, maupun dalam kehidupan bebangsa dan bernegara. Akan tetapi, kita belum
membudanyakannya.
Membudaya berarti telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Mengatakan
“Demokrasi telah menjadi budaya” berarti penghayatan nilai-nilai demokrasi telah menjadi
kebiasaan yang mendarah daging di antara warga negara. Dengan kata lain, demokrasi telah
menjadi bagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari kehidupanya. Seluruh kehidupanya diwarnai
oleh nilai-nilai demokrasi.
Namun, itu belum terjadi. Di media massa kita sering mendengar betapa sering warga
negara, bahkan pemerintah itu sendiri, melanggar nilai-nilai demokrasi. Orang-orang kurang
menghargai kebabasan orang lain, kurang menghargai perbedaan, supremasi hukum kurang
ditegakan, kesamaan kurang di praktekan, partisipasi warga negara atau orang perorang baik dalam

kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan pilitik belum maksimal, musyawarah kurang
dipakai sebagai cara untuk merencanakan suatu program atau mengatasi suatu masalah bersama,
dan seterusnya. Bahkan dalam keluarga dan masyarakat kita sendiri, nilai-nilai demokrasi itu
kurang di praktekan.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Demokrasi tidak hanya merupakan bentuk pemerintahan tetapi juga pola sikap dan budaya suatu
masyarakat. Negara demokrasi mengharuskan adanya dua persyaratan, yaitu adanya pemerintahan
demokrasi dan budaya demokrasi.
2. Budaya demokrasi berisi nilai – nilai demokrasi yang dimiliki, dikembangkan, dan dipraktikan
oleh masyarakat. Masyarakat yang berbudaya demokrasi atau masyarakat demokratis akan
mendukung pemerintahan demokrasi.
3. Nilai – nilai demokrasi tidak hanya dimiliki oleh warga Negara, tetapi juga oleh para
penyelenggara Negara atau para pemimpin Negara. Budaya demokrasi perlu dipraktikan dalam
berbagai kehidupan.

REKEMENDASI

Dalam rangka mengoptimalkan perilaku budaya demokrasi maka sebagai generasi penerus
yang akan mempertahankan negara demokrasi, perlu mendemonstrasikan bagaimana peran serta
kita dalam pelaksanaan pesta demokrasi. Prinsip-prinsip yang patut kita demonstrasikan dalam

kehidupan berdemokrasi, antara lain sebagai berikut :
a. Membiasakan untuk berbuat sesuai dengan aturan main atau hukum yang berlaku.
b. Membiasakan bertindak secara demokratis bukan otokrasi atau tirani.
c. Membiasakan untuk menyelesaikan persoalan dengan musyawarah.
d. Membiasakan mengadakan perubahan secara damai tidak dengan kekerasan atau anarkis. e.
Membiasakan untuk memilih pemimpin melalui cara-cara yang demokratis.
f. Selalu menggunakan akal sehat dan hati nurani luhur dalam musyawarah.
g. Selalu mempertanggungjawabkan hasil keputusan musyawarah baik kepada Tuhan, masyarakat,
bangsa, dan negara.
h. Menggunaka kebebasan dengan penuh tanggung jawab.
i. Membiasakan memberikan kritik yang bersifat membangun.

Daftar Pustaka
Referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
Syamsudin Harris: “Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru”, (Jakarta, yayasan obor Indonesia,
1998).
Noor Ms Bakry. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Budiardjo, Mirriam, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama