ADMINISTRASI NEGARA DI MASA LAMPAU (2)

ADMINISTRASI NEGARA DI MASA LAMPAU
“Code Of Hammurabi”

Hammurabi adalah raja keenam dari Dinasti Babilonia pertama (memerintah 1792-1750 SM) di
daerah Babilonia (sekarang Iran-Irak). Hammurabi dikenal dalam sejarah bukan saja karena
kuasa penaklukkan kerajaan lain, namun ia lebih terkenal karena pada masa pemerintahannya
dibuat kode resmi (hukum tertulis) pertama yang tercatat di dunia, yang disebut sebagai Kode
Hammurabi.
Kode Hammurabi tersebut terukir di atas potongan batu dalam huruf paku. Kode tersebut
seluruhnya ada 282 poin hukum. Isinya adalah pengaturan atas kehidupan sosial
kemasyarakatan, pemerintahan, serta hukum/kehakiman. Dalam Kode Hammurabi banyak
disebut tentang ketentuan sanksi/ganjaran perbuatan kriminal, dengan hukuman skala,
menyesuaikan "tangan dibalas dengan tangan, mata diganjar mata," sebagai pembobotan
sesuai dengan status sosial, budak atau orang merdeka.
Kode Hammurabi bisa dikategorikan sebagai contoh awal dari sebuah dasar hukum yang
mengatur penyelenggaraan pemerintahan (mungkin untuk konteks saat ini bisa disebut sebagai
Konstitusi atau Undang-Undang). Dalam konteks Hukum Pidana, Kode Hammurabi juga salah
satu contoh dari gagasan praduga tak bersalah di era lampau, yang memposisikan bahwa baik
terdakwa dan penuduh memiliki kesempatan untuk memberikan bukti sebagai penguat
argumebtasi tuduhan ataupun pembelaannya.
Dalam konteks ketatanegaraan, Kode Hammurabi adalah bukti bahwa di masa itu (18 abad SM)

kekuasaan negara terpusat pada Raja (Hammurabi), cabang-cabang kekuasaan eksekutif
(penyelenggaran

pemerintahan),

(pengadilan/kehakiman)

legislatif

semuanya

(penyusun

dipegang

oleh

undang-undang),
Raja.


Namun

dan

demikian

yudikatif
dalam

penyelenggaraan teknisnya, Raja dibantu oleh para pelaksana. Dalam rangka penyelenggaraan
urusan pemerintahan itulah Raja kemudia memaklumatkan hukum.
Berbeda dengan era modern dimana kuasa penyusunan hukum atau kebijakan publik itu
melalui mekanisme demokrasi, pada era itu, Hammurabi (sebagaimana dalam konsideran Kode
Hammurabi) menyandarkan „legitimasi kuasa‟ mengatur negaranya dengan klaim mendapat
kuasa dari para Dewa. Hal semacam itu lazim terjadi pada sistem pemerintahan kerajaan di
masa lampau, dimana klaim legitimasi kekuasaan adalah sebagai „wakil Tuhan di muka bumi‟.
Namun hal yang patut dicatat sebagai “apresiasi” kemajuan dalam Kode Hammurabi di
jamannya adalah fakta bahwa Kode Hammurabi dipublikasikan secara luas ke publik melalui
pahatan Kode Hammurabi pada Tugu Batu yang konon tersebar di seantero negeri Babilonia.
1


Ini adalah wujud pendidikan kewargaan (civic education) kepada warga, sekaligus bentuk
akuntabilitas (tanggung-gugat) pada jaman kuno itu. Rakyat dapat mengetahui secara objektif
ketentuan hukum berikut ancaman sanksi pada setiap poin Kode Hammurabi.
Patut diduga, pada era Hammurabi telah dijalankan beberapa aspek minor dari prisip-prinsip
administrasi negara di era modern. Praktek administrasi negara modern di jaman Hammurabi
itu misalnya niscara di era Babilonia Tua pada masa Hammurabi itu sudah ada struktur
organisasi kerajaan, yang sifatnya hirarkial – piramidal dengan Hammurabi di puncak piramida
strukturnya (baik untuk kuasa eksekutif, legislatif, maupun yudikatif). Pada jaman itu, dengan
luas wilayah kekuasaan yang merentang dari Akkadia, Elam, Larsa, Mari , Summeria (ilustrasi
bahwa wilayah kekuasaan Babilonia hampir besar seperti kerajaan Mesir kuno di bawah
pemerintahan Firaun Menes, dimana Menes berkuasa di era Mesir lebih dari seribu tahun
sebelumnya) pasti terdapat rentang kendali kekuasaan untuk mengontrol dan melaksanakan
administrasi negara melalui pembagian kerja (division of Labor) kepada para pembantu raja
(Hammurabi).
Apa yang berlangsung di era Hammurabi (18 abad SM) ini sama dengan yang sudah
berlangsung di era Nusantara Lampau, misalnya pada jaman Kerajaan Kalingga (Jawa kuno,
abad ke-7 Masehi) pada kepemimpinan Ratu Shima. Sang Ratu membuat, mengumumkan, dan
menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan, serta
untuk mendorong agar rakyatnya senantiasa jujur. Sayangnya tidak seperti Hammurabi yang

artefak karya hukumnya bisa didapati saat ini dalam museum sejarah, kisah penyelenggaraan
pemerintahan yang adil dan akuntabel pada jaman Shima hanya didapatkan dalam naskahnaskah kuno China yang tidak terstruktur dengan baik.
Sebagaimana yang terjadi pada era kerajaan di masa lampau, masa keemasan sebuah dinasti
(yang ditandai dengan hadirnya keadilan, keamanan, kesejahteraan, kemajuan peradaban
(sastra, arsitektur, dll), serta luasnya daerah kekuasaan) sangat tergantung pada kompetensi
dan kapasitas dari seorang Raja/Ratu yang tengah bertahta. Sustainability (keberlanjutan) dari
“praktik baik” pada suatu periode pemerintahan menjadi sangat rapuh, berbeda dengan
konteks modern, dimana pelembagaan hukum, aturan, pedoman praktik penyelenggaraan
negara telah dibakukan, cabang-cabang kekuasaan dibatasi dan dijalankan oleh institusi yang
berbeda, ruang kontrol dan partisipasi melalui demokrasi jauh lebih terbuka, serta kehadiran
teknologi (khususnya teknologi informasi dan transportasi) yang telah merevolusi pola relasi
kekuasaan dan penyelenggaraan negara.

2

Public Administration in Ancient Rome and Egypt
Praktik administrasi negara ternyata tidak hanya ada setelah lahirnya konsep administrasi
negara modern di era Woodroow Wilson. Romawi dan Mesir Kuno telah melaksanakan
administrasi negara dengan sejumlah prinsip administrasi negara modern yang berkembang
dengan baik dan di kemudian hari (di masa modern) banyak dipinjam dalam teori dan praktik

administrasi negara modern.
Romawi telah melaksanakan hirarki administratif yang berbeda untuk urusan militer, hukum,
keuangan, perpajakan, urusan dalam negeri dan luar negeri. Dengan kata lain, telah ada
struktur penyelenggaraan negara yang hirarkial dan pembagian kerja (division of labor) secara
spesialisasi, bahkan administrasi dalam era Romawi di kemudian hari dipinjam oleh Gereja
Katolik Roma.
Mesir memiliki administrasi negara yang terstruktur, hampir sama dengan jaman Hammurabi di
Babilonia, dimana pusat kekuasaan ada di tangan Firaun. Mesir kuno juga telah menerapkan
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Daerah-daerah (kekuasaan Mesir kuno
pada jaman keemasan melingkupi sebagian daratan Afrika dan sebagian Timur Tengah) diberi
atau didelegasikan kewenangan dalam menyelenggaraan urusan pemerintahan di daerahnya.
Ditunjuk gubernur-gubernur yang mengepalai daerah dan semuanya tunduk pada kekuasaan
dan perintah Firaun.
Kekaisaran Romawi dan Mesir Kuno memiliki banyak kesamaan dalam administrasi negara,
khususnya dalam hal bentuk penyelenggaraan kekuasaan yang hirarki-piramidal, pembagian
kerja, spesialisasi kerja, desentralisasi, pengangkatan pegawai atau tenaga profesional,
stratifikasi sosial layanan, pola karir pegawai dengan jalur promosi yang jelas.
Namun demikian, baik era Romawi ataupun Mesir Kuno masih sangat kental diwarnai unsurunsur Nepotisme dalam suksesi jabatan-jabatan publiknya (baik itu Gubernur, Hakim, Imam,
dsb) yang belum sepenuhnya mencerminkan prinsip administrasi negara modern yang
menjalankan merrit system dan demokrasi.

Praktik administrasi negara di Mesir Kuno hampir sama dengan praktik administrasi negara di
Nusantara pada era Sriwijaya, Majapahit, hingga Mataram yang juga sudah menerapkan prinsip
penyelenggaraan kekuasaan yang hirarki-piramidal, pembagian kerja, spesialisasi kerja,
desentralisasi, pengangkatan pegawai atau tenaga profesional (ada tes dan pendidikan untuk
pegawai), dan juga praktik nepotisme yang berlangsung. Bahkan praktik nepotisme dalam
administrasi negara Nusantara masih berlanjut di era Birokrasi Modern Indonesia pascakemerdekaan, hingga pada 1998 muncul tuntutan untuk penghapusan KKN (korupsi, kolusi,
dan nepotisme), serta tuntutan desentralisasi (otonomi daerah) yang lebih luas di Indonesia.

3

Uraian praktik administrasi di masa kuno itu akan sangat menarik apabila dilengkapi dengan
perspektif sosio-politik, khususnya pada era Romawi, dimana praktik penyelenggaraan negara
sangat dinamis dengan adanya para senator dan penggiringan opini publik oleh para senator
melalui orasi/pidato (tokoh terkenal: Cicero).

4