PERMASALAHAN DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN K. docx

PERMASALAHAN DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN KURIKULUM
TINGKAT SATUAN PENDIKAN SEKOLAH MENENGAH DI KOTAMADYA
PADANG SUMATERA BARAT (2008-2009)
Festiyed*)
Jurusan Pendikan Fisika FMIPA UNP Padang
Hp.08126742403 dan E-mail festiyed@ymail.com
Syakbaniah*)
Jurusan Pendiikan Fisika FMIPA UNP Padang

Abstrak

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran
utuh yang terkait dengan sejauh mana tenaga pendidik telah menjabarkan dokumen
kurikulum, dan kemampuannya melaksanakan kegiatan pembelajaran. Untuk mencapai
tujuan tersebut telah dilakukan penelitian tahun 2008/2009 dengan pendekatan
deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan dua tahap yang diawali dengan studi
literatur dalam bentuk survey awal kebaikan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan), dan dilanjutkan dengan konfirmasi pelaksanaannya melalui
seminar/pertemuan dengan kepala sekolah, guru dan komite. Hasil survey awal dapat
disimpulkan bahwa KTSP ini secara teoritis sesungguhnya lebih mudah, karena
pendidik diberi kebebasan untuk mengembangkan kompetensi siswanya sesuai dengan

lingkungan dan kultur daerahnya. KTSP juga tidak mengatur secara rinci kegiatan
pembelajaran di kelas, tetapi guru dan sekolah diberi keleluasaan untuk
mengembangkannya sendiri sesuai dengan kondisi murid dan daerahnya. Di samping itu
yang harus digaris bawahi adalah yang dikeluarkan oleh BNSP bukanlah kurikulum
tetapi Pedoman Penyusunan Kurikulum 2006. Namun dari hasil konfirmasi pelaksanaan
KTSP di kodya Padang Sumatera Barat, secara umum dapat disimpulkan: hanya 10%
yang telah menjalankan KTSP, sedang sekolah lainnya 90 % hanya mencontoh dari
sekolah yang telah melaksanankan tersebut.

*)**) Dosen Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Padang

1

PENDAHULUAN
Upaya peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah salah satunya
membuat suatu kebijakan yang tertuang di dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun
2005 tentang standar nasional pendidikan. Standar nasional pendidikan dimaksudkan
sebagai kriteria minimal tentang sistem pendidikan yang berlaku di seluruh wilayah
hukum negara kesatuan republik indonesia yang mencakup: standar isi, standar proses,
standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana

dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian
pendidikan. Dalam rangka pengembangan, pemantauan, dan pelaporan pencapaian
standar nasional pendidikan, dibentuklah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
Badan tersebut berkedudukan di jakarta yang menjalankan tugas dan fungsinya secara
mandiri dan profesional hasilnya dipertanggungjawabkan kepada Mendiknas.
Kebijakan pemerintah tersebut terlaksana melalui penyempurnaan kurikulum
(Aljufri B. S., 1986; M. Ansyar,1989; Zais, 1976), pengadaan buku ajar, peningkatan
mutu guru , peningkatan menejemen pendidikan dan peningkatan kesejahteraan guru
(Fasli Jalal, 2006: Tilaar, 2004). Masalah kurikulum kita jauh tertinggal bila
dibandingkan dengan kurikulum negara lain termasuk kurikulum yang digunakan di
Balai Latihan Kerja (BLK) dan Kursus Latihan Kerja (KLK) (Sumiyarno, 2004).
Sebagai akibatnya, ketika masuk ke dunia kerja, pengetahuan dan keterampilan tenaga
kerja ini harus diformat ulang (On the job training) agar sesuai dengan bidang yang
akan dikerjakan.
Meskipun sudah ada upaya untuk memecahkan masalah tersebut, seperti juga yang
telah dilakukan MGMP dalam mengembangkan dan pelaksanaan kurikulum.
Pengembangan perangkat pembelajaran berorientasi life skill (Festiyed dan Murtiani,
2007), pengembangan silabus integrasi CD multimedia dengan perangkat pembelajaran
(Syakbaniah dan Festiyed, 2008), tetapi belum menyelesaikan masalah secara
keseluruhan. Hal inilah yang menyebabkan belum berhasilnya upaya peningkatan

kualitas proses dan hasil belajar selama ini.
Rendahnya efisiensi eksternal dari sistem pendidikan atau yang sering disebut
dengan relevansi pendidikan. Efisiensi eksternal dari sistem pendidikan terutama diukur
dan dicerminkan dengan lamanya waktu yang diperlukan oleh lulusan untuk mulai
berkiprah atau bekerja setelah lulus dari jenjang pendidikan yang ditetapkan sebagai
siap kerja, minimal SLTA (Sumiyarno, 2004). Masalah tersebut akan cenderung terus

berlanjut jika sistem pendidikan tidak memberikan bekal kemampuan yang andal
kepada lulusannya, dan jika orientasi lulusan yang mengandalkan bekerja hanya dalam
lapangan kerja yang ada (terbuka) tidak segera diubah. Muatan lokal dalam kurikulum
nampaknya perlu diisi dan diperkaya dengan materi yang dapat menumbuhkembangkan sikap dan kemampuan tersebut
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan potensi Sumber Daya
Manusia (SDM). Ada dua buah konsep kependidikan yang berkaitan dengan lainnya,
yaitu belajar ( learning ) dan pembelajaran ( intruction ). Konsep belajar berakar pada
pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik. Dan
implikasi pendidikan yang utama adalah mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas
sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Terciptanya lulusan sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat ditentukan
berbagai faktor, misalnya kompetensi guru, kemampuan siswa, sarana, fasilitas,
kurikulum, proses pembelajaran, alat-bahan, manajemen sekolah, lingkungan (iklim)

kerja dan kerjasama industri, dan lain-lain. Dalam konteks ini kurikulum memegang
peranan penting. Kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan yang cukup
berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan pendidikan. Kurikulum dikatakan
efektif manakala kurikulum tersebut mampu menyiapkan lulusan sesuai kepentingan
masyarakat. Hal ini penting diupayakan mengingat kurikulum merupakan jantungnya
aktivitas dan proses pendidikan.. Kurikulum memiliki tiga dimensi utama, yaitu:
kurikulum yang dimaksudkan (intended curriculum) yang berkaitan dengan tujuan dan
rencana; kurikulum yang diimplementasikan (implemented curriculum) yang berkaitan
dengan proses belajar mengajar dan pengaturan institusional; dan kurikulum yang
diperoleh (attained curriculum) dimana peserta didik memperoleh pengalaman
pendidikan (Schmidt, 1996).
Kurikulum direncanakan dan disusun untuk dilaksanakan di sekolah dalam
mencapai sejumlah tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Menurut Nurgiyantoro
(1988:215) kurikulum betapapun baiknya, jika tidak atau belum dilaksanakan di sekolah
belum mempunyai arti apa-apa dalam hal pencapaian tujuan pendidikan itu.
Pelaksanaan kurikulum disekolah dalam bentuk kegiatan belajar mengajar merupakan
kunci berhasil tidaknya tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
Para pelaksana kurikulum di sekolah, khususnya guru (pendidik), merupakan pihak
yang berhubungan langsung dengan kegiatan belajar mengajar. Guru (pendidik)


merupakan pihak yang paling mengerti dan bertanggungjawab terhadap kegiatan
pembelajaran yang dilakukannya. Apa dan bagaimana kegiatan pembelajaran yang
dilakukan guru dan siswa di kelas, akan sangat menentukan berhasilnya pencapaian
tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, sudah selayaknya pendidik mempersiapkan kegiatan
pembelajarannya sebaik mungkin dengan mengikuri prosedur yang direncakanan mulai
dari persiapan, pelaksanaan dan penilaian. Menurut Pratt (1980) dalam Nurgiyantoro
(1988:11), pengembangan kurikulum menunjuk pada kegiatan menghasilkan kurikulum,
yang bersifat konseptual daripada material. Bentuk kegiatan dalam pengembangan
kurikulum antara lain; penyusunan, pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan
(Surakhmad dalam Nurgiyantoro, 1988:11).
Menurut Ahmad (1998:63) pengembangan kurikulum merupakan bagian yang
esensial dalam proses pendidikan. Sasaran yang ingin dicapai bukan semata-mata
memproduksi bahan pelajaran, melainkan lebih dititikberatkan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan. Proses dalam pengembangan kurikulum didasari atas banyak faktor
yang harus dipertimbangkan. Misalnya pertimbangan; (1) falsafah hidup bangsa, (2)
harapan, kebutuhan, dan permintaan masyarakat akan produk pendidikan, (3)
kesesuaian kurikulum dengan kondisi peserta didik, sebab pada dasarnya kurikulum
adalah untuk peserta didik, (4) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni
yang tidak dapat dipungkiri.
Sejalan dengan telah dilaksanakannya otonomi daerah, kebijakan pengembangan

kurikulum juga menganut azas desentralisasi karena pendekatan sentralistik sulit
mengadaptasikan kurikulum sesuai kebutuhan lingkungan. Pendidikan seharusnya
relevan dengan kebutuhan peserta didik, sehingga program pendidikan haruslah
merefleksikan kebutuhannya agar ia layak dan cukup inteligen hidup dalam
lingkungannya. Dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) di jenjang pendidikan dasar dan menengah, mengindikasikan adanya upaya
pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada daerah, sekolah, dan guru untuk
menentukan sendiri pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa , atau lebih
menekankan pada sumber daya manusia (siswa) berdasarkan bakat dan minat masingmasing. Pemandirian ini tentunya memberikan peluang bagi daerah untuk mengenali
potensi diri, potensi alam, dan arah pengembangan yang akan dilakukan di masa
mendatang. Jadi adanya semacam kebebasan untuk kreatif mencari keunggulan sekolah
masing-masing.

Pemberlakuan KTSP, sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI(standar isi) dan SKL
(standar kompetensi lulusan), ditetapkan oleh kepala sekolah setelah memperhatikan
pertimbangan dari komite sekolah. Dengan kata lain, pemberlakuan KTSP sepenuhnya
diserahkan kepada sekolah, dalam arti tidak ada intervensi dari Dinas Pendidikan atau
Departemen Pendidikan Nasional. Penyusunan KTSP selain melibatkan guru dan
karyawan juga melibatkan komite sekolah serta bila perlu para ahli dari perguruan

tinggi setempat. Dengan keterlibatan komite sekolah dalam penyusunan KTSP maka
KTSP yang disusun akan sesuai dengan aspirasi masyarakat, situasi dan kondisi
lingkungan dan kebutuhan masyarakat
Dengan ini, seluruh potensi setempat diharapkan dapat didayagunakan demi
pengembangan setempat. Dalam lingkup satuan pendidikan atau sekolah, paradigma
yang sama juga ingin diberlakukan, yakni Satuan pendidikan menjadi mandiri dan
diberi kesempatan mengerahkan seluruh potensi demi kemajuan pendidikan yang
kontekstual, meski harus disadari, hal ini tidak mudah dilaksanakan.
Meskipun sudah ada upaya untuk memecahkan masalah tersebut, seperti: yang telah
dilakukan MGMP dalam mengembangkan dan melaksanakan kurikulum; memanfaatkan
hasil penelitian tetapi belum menyangkut masalah secara keseluruhan, hanya secara
parsial, sehingga masih terdapat beberapa kelemahan. Jika hal ini terus dibiarkan dan
tidak ada upaya untuk mencari akar permasalahan dan perbaikannya, maka proses
pembelajaran tidak akan berjalan menurut semestinya seperti tertuang dalam kurikulum.
Hal inilah yang menyebabkan kegagalan upaya peningkatan kualitas proses dan hasil
pembelajaran.

METODE PENELITIAN
Telah dilakukan penelitian tahun 2008/2009 dengan pendekatan deskriptif kualitatif.
Penelitian ini dilakukan dua tahap yang diawali dengan studi literatur dalam bentuk

survey awal kebaikan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dan dilanjutkan
dengan konfirmasi pelaksanaannya melalui seminar/pertemuan dengan kepala sekolah,
guru dan komite. Populasinya adalah 4697 orang guru dari 114 sekolah menengah
tingkat atas yang dikelola oleh pemerintah dan swasta (Diknas, Depag dan
masyarakat/swasta) Kota Padang seperti tabel 1 berikut:

Tabel 2 Jumlah sekolah, dan guru SMU/MA dan SMK
Negeri dan Swasta di kota PadangKondisi
N
SMU/MA
SMK
Jumlah
Negeri Swasta
Negeri Swasta
Sekolah 16/3
32/5
12
48
114
Guru 1.198

1.127
949
1423
4697
Pengambilan populasi di kota Padang dikarenakan 30% jumlah guru dan siswa
Sumatera Barat berada dikota Padang, dan sekolahnya juga dapat dikelompokkan
berdasarkan daerah urban dan rural. Dari
Sampel diambil 25% dari masing-masing kelompok populasi berdasarkan
daerah urban dan rural , dimana gurunya mengampu mata pelajaran yang
berbasis teori dan praktikum menggunakan teknik stratified random sampling.
Sample juga mempertimbangkan sekolah yang telah menerapkan KTSP, dan lingkungan
sekolah serta hasil belajar berupa nilai UN, juga mempertimbangkan:
1. Jumlah sekolah kelompok rural (adalah sekolah yang muridnya sebagian besar
siswa nya lebih 80 % dari golongan tertentu, homogen dan variasi gangguan
belajar kecil) dan urban (adalah sekolah yang siswanya berasal dari berbagai
golongan, hampir tidak ada golonngan yang mendominasi dan tinngkat gangguan
belajar tinggi, misalnya tingkat kebisingan tinggi, pengaruh diluar lingkunagan
sekolah, rokok,narkoba dan lainnya) untuk tingkat satuan SMA/MA, SMK negeri
dan swasta di kota Padang
2. Matapelajaran berpraktikum (Teori+Praktikum) yang merupakan mata pelajaran

inti di jurusan masing-masing
Dari pertimbangan tersebut diperoleh 16 sekolah sebagai samplenya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.

Survey awal sehubungan dengan KTSP

Pemberlakuan KTSP, sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI(standar isi) dan SKL
(standar kompetensi lulusan), ditetapkan oleh kepala sekolah setelah memperhatikan
pertimbangan dari komite sekolah. Dengan kata lain, pemberlakuan KTSP sepenuhnya
diserahkan kepada sekolah, dalam arti tidak ada intervensi dari Dinas Pendidikan atau
Departemen Pendidikan Nasional. Penyusunan KTSP selain melibatkan guru dan
karyawan juga melibatkan komite sekolah serta bila perlu para ahli dari perguruan
tinggi setempat. Dengan keterlibatan komite sekolah dalam penyusunan KTSP maka
KTSP yang disusun akan sesuai dengan aspirasi masyarakat, situasi dan kondisi
lingkungan dan kebutuhan masyarakat, sehingga diharapkan KTSP dapat:

1. Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum

di masa lalu adalah adanya penyeragaman kurikulum di seluruh Indonesia, tidak melihat
kepada situasi riil di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal.
Dengan adanya penyeragaman ini, sekolah di kota sama dengan sekolah di daerah
pinggiran maupun di daerah pedesaan. Penyeragaman kurikulum ini juga berimplikasi
pada beberapa kenyataan bahwa sekolah di daerah pertanian sama dengan sekolah yang
daerah pesisir pantai, sekolah di daerah industri sama dengan di wilayah pariwisata.
Oleh karenanya, kurikulum tersebut menjadi kurang operasional, sehingga tidak
memberikan kompetensi yang cukup bagi peserta didik untuk mengembangkan diri dan
keunggulankhas yang ada di daerahnya. Sebagai implikasi dari penyeragaman ini
akibatnya para lulusan tidak memiliki daya kompetitif di dunia kerja dan berimplikasi
pula terhadap meningkatnya angka pengangguran. Untuk itulah kehadiran KTSP
diharapkan dapat memberikan jawaban yang konkrit terhadap mutu dunia pendidikan di
Indonesia.
Dengan semangat otonomi itu, sekolah bersama dengan komite sekolah dapat secara
bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan
kondisi lingkungan sekolah. Sebagai sesuatu yang baru, sekolah mungkin mengalami
kesulitan dalam penyusunan KTSP. Oleh karena itu, jika diperlukan, sekolah dapat
berkonsultasi baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertikal, sekolah
dapat berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten atau Kota, Dinas
Pendidikan Provinsi, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi, dan
Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan secara horizontal, sekolah dapat bermitra
dengan stakeholder pendidikan dalam merumuskan KTSP. Misalnya, dunia industri,
kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, organisasi profesi, dan sebagainya agar
kurikulum yang dibuat oleh sekolah benar-benar mampu menjawab kebutuhan di daerah
di mana sekolah tersebut berada.
2. Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk
semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan programprogram pendidikan.
Dengan berpijak pada panduan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan
menengah yang dibuat oleh BNSP, sekolah diberi keleluasaan untuk merancang,
mengembangkan, dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi,
kondisi, dan potensi keunggulan lokal yang bisa dimunculkan oleh sekolah. Sekolah
bisa mengembangkan standar yang lebih tinggi dari standar isi dan standar kompetensi
lulusan. Keuntungan yang bisa diraih guru dengan Kurikulum 2006 ini adalah
keleluasaan memilih bahan ajar dan peserta didik diharapkan dapat mengembangkan
potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya. Guru dapat memusatkan perhatian pada pengembangan kompetensi peserta didik dengan menyediakan aneka
ragam kegiatan belajarmengajar dan sumber belajar.

Diharapkan guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar sesuai
dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya. Sekolah dipacu
untuk dapat menyusun program pendidikan sesuai dengan keadaan peserta didik dan
sumber belajar yang tersedia. Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004
dideskripsikan kompetensi dasar, dijabarkan indikator, dan bahkan dipetakan pula
materi pokok pelajaran. Dalam Kurikulum 2006 hanya dideskripsikan standar
kompetensi dan kompetensi dasar. Guru sendiri yang mesti menentukan indikator dan
materi pokok pelajaran, disesuaikan dengan situasi daerah dan minat anak didik
Sebagaimana diketahui, prinsip pengembangan KTSP adalah
(1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik
dan lingkungannya;
(2) Beragam dan terpadu;
(3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
(4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan;
(5) Menyeluruh dan berkesinambungan;
(6) Belajar sepanjang hayat;
(7) Dan seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Berdasarkan prinsip-prinsip ini, KTSP sangat relevan dengan konsep desentralisasi
pendidikan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan konsep manajemen berbasis
sekolah (MBS) yang mencakup otonomi sekolah di dalamnya. Pemerintah daerah dapat
lebih leluasa berimprovisasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Di samping itu,
sekolah bersama komite sekolah diberi otonomi menyusun kurikulum sendiri sesuai
dengan kebutuhan di lapangan.
3. KTSP sangat memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitik beratkan dan
mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan
siswa.
Sesuai dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional yang tertuang dalam
Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Peraturan
Mendiknas No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sekolah
diwajibkan menyusun kurikulumnya sendiri. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) itu memungkinkan sekolah menitikberatkan pada mata pelajaran tertentu yang
dianggap paling dibutuhkan siswanya. Sebagai contoh misalnya, sekolah yang berada
dalam kawasan pariwisata dapat lebih memfokuskan pada mata pelajaran bahasa Inggris
atau mata pelajaran di bidang kepariwisataan lainnya.
Sekolah-sekolah tersebut tidak hanya menjadikan materi bahasa Inggris dan
kepariwisataan sebagai mata pelajaran saja, tetapi lebih dari itu menjadikan mata
pelajaran tersebut sebagai sebuah ketrampilan. Sehingga kelak jika peserta didik di
lingkungan ini telah menyelesaikan studinya bila mereka tidak berkeinginan untuk
melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi mereka dapat langsung bekerja
menerapkan ilmu dan ketrampilan yang telah diperoleh di bangku sekolah.

KTSP ini sesungguhnya lebih mudah, karena guru diberi kebebasan untuk
mengembangkan kompetensi siswanya sesuai dengan lingkungan dan kultur daerahnya.
KTSP juga tidak mengatur secara rinci kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas, tetapi
guru dan sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkannya sendiri sesuai dengan
kondisi murid dan daerahnya. Di samping itu yang harus digarisbawahi adalah bahwa
yang akan dikeluarkan oleh BNSP tersebut bukanlah kurikulum tetapi tepatnya
Pedoman Penyusunan Kurikulum 2006.
4. KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat dan
memberatkan kurang lebih 20%.
Dengan diberlakukannya KTSP itu nantinya akan dapat mengurangi beban belajar
sebanyak 20% karena KTSP tersebut lebih sederhana. Di samping jam pelajaran akan
dikurangi antara 100-200 jam per tahun, bahan ajar yang dianggap memberatkan siswa
pun akan dikurangi. Meskipun terdapat pengurangan jam pelajaran dan bahan ajar,
KTSP tetap memberikan tekanan pada pengembangan kompetensi siswa.
Pengurangan jam belajar siswa tersebut merupakan rekomendasi dari BNSP.
Rekomendasi ini dapat dikatakan cukup unik, karena selama bertahun-tahun beban
belajar siswa tidak mengalami perubahan, dan biasanya yang berubah adalah metode
pengajaran dan buku pelajaran semata. Jam pelajaran yang biasa diterapkan kepada
siswa sebelunya berkisar antara 1.000-1.200 jam pelajaran dalam setahun. Jika biasanya
satu jam pelajaran untuk siswa SD, SMP dan SMA adalah 45 menit, maka rekomendasi
BNSP ini mengusulkan pengurangan untuk SD menjadi 35 menit setiap jm pelajaran,
untuk SMP menjadi 40 menit, dan untuk SMA tidak berubah, yakni tetap 45 menit
setiap jam pelajaran. Total 1.000 jam pelajaran dalam satu tahun ini dengan asumsi
setahun terdapat 36-40 minggu efektif kegiatan belajar mengajar.dan dalam seminggu
tersebut meliputi 36-38 jam pelajaran.
Alasan diadakannya pengurangan jam pelajaran ini karena menurut pakar-pakar
pendidikan anak bahwa jam pelajaran di sekolah-sekolah selama ini terlalu banyak.
Apalagi kegiatan belajar mengajar masih banyak yang terpaku pada kegiatan tatap muka
di kelas. Sehingga suasana yang tercipta pun menjadi terkesan sangat formal. Dampak
yang mungkin tidak terlalu disadari adalah siswa terlalu terbebani dengan jam pelajaran
tersebut. Akibat lebih jauh lagi adalah mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
Persoalan ini lebih dirasakan untuk siswa SD dan SMP. Dalam usia yang masih
anak-anak, mereka membutuhkan waktu bermain yang cukup untuk mengembangkan
kepribadiannya. Suasana formal yang diciptakan sekolah, ditambah lagi standar jam
pelajaran yang relatif lama, tentu akan memberikan dampak tersendiri pada psikologis
anak. Banyak pakar yang menilai sekolah selama ini telah merampas hak anak untuk
mengembangkan kepribadian secara alami.
Inilah yang menjadi dasar pemikiran bahwa jam pelajaran untuk siswa perlu
dikurangi. Meski demikian, perngurangan itu tidak dilakukan secara ekstrim dengan

memangkas sekian jam frekwensi siswa berhubungan dengan mata pelajaran di kelas.
Melainkan memotong sedikit, atau menghilangkan titik kejenuhan siswa terhadap mata
pelajaran dalam sehari akibat terlalu lama berkutat dengan pelajaran itu.
Dapat dikatakan bahwa perberlakuan KTSP ini sebagai upaya perbaikan secara
kontinuitif. Sebagai contoh, kurikulum 1994 dapat dinilai sebagai kurikulum yang berat
dalam penerapannya. Ketika diberlakukan Kurikulum 1994 banyak sekolah yang terlalu
bersemangat ingin meningkatkan kompetensi iptek siswa, sehingga muatan iptek pun
dibesarkan. Tetapi yang patut disayangkan adalah SDM yang tersedia belum siap,
sehingga hasilnya hanya sekitar 30% siswa yang mampu menerapkan kurikulum
tersebut.
5. KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk
mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.
Pola kurikulum baru (KTSP) akan memberi angin segar pada sekolah-sekolah yang
menyebut dirinya nasional plus. Sekolah-sekolah swasta yang kini marak bermunculan
itu sejak beberapa tahun terakhir telah mengembangkan variasi atas kurikulum yang
ditetapkan pemerintah. Sehingga ketika pemerintah kemudian justru mewajibkan
adanya pengayaan dari masing-masing sekolah, sekolah-sekolah plus itu jelas akan
menyambut gembira. Sekarang semua bentuk improvisasi dibebaskan asal tidak keluar
panduan yang telah ditetapkan dalam KTSP. Dengan ini, seluruh potensi setempat
diharapkan dapat didayagunakan demi pengembangan setempat. Dalam lingkup satuan
pendidikan atau sekolah, paradigma yang sama juga ingin diberlakukan, yakni Satuan
pendidikan menjadi mandiri dan diberi kesempatan mengerahkan seluruh potensi demi
kemajuan pendidikan yang kontekstual, meski harus disadari, tapi hal ini tidak mudah
dilaksanakan
6. Harga ketuntasan sebuah KD (Kompetensi Dasar) ditetapkan oleh masingmasing sekolah
Indikator-indikator yang dipilih atau digunakan dalam Kompetensi Dasar pada
Standar Isi . Analisis harga SKM (Standar Kompetensi Minimal) per Indikator yang
digunakan pada KKM tersebut di atas.
7. RPP (Rancangan Paket Pembelajaran) dan penilaian dapat bervariasi :
Setelah KTSP ditetapkan oleh sekolah, maka Guru secara perorangan diperbolehkan
merancang sendiri paket-paket pembelajaran di kelas dimana mereka mengajar. Ini
disebut sebagai RPP (Rancangan Paket Pembelajaran yang dulu dikenal dengan nama
Rencana Pembelajaran). Prinsip KTSP pembelajaran berpusat pada siswa dan siswa
diharapkan dapat belajar mandiri dan belajar bekerja sama, dimana ketuntasan belajar
siswa tidak hanya bergantung pada hasil ujian mid dan ujian akhir semester saja.
Penilaian peserta didik dapat dilihat berdasarkan proses pembelajaran selama kegiatan
pembelajaran.

Setiap Guru (mungkin) akan berbeda gaya/stylenya dalam menyusun paket
pembelajarannya masing-masing sesuai dengan hak otonominya. Namun dalam hal ini,
yang tidak akan berbeda adalah KD (Kompetensi Dasar) yang telah ditetapkan
berdasarkan perhitungan Analisis dari sejumlah indikator yang dipilih oleh MGMP
Sekolah yang bersangkutan. Harga KD sebuah mata pelajaran tidak berubah oleh
perbedaan atau jumlah atau tipe paket pembelajaran yang dirancang oleh guru
(perorangan).

B.

Konfirmasi permasalahan melalui seminar/pertemuan dengan guru
dan kepala sekolah (24-25 Juni 2009)

Hasil seminar dan pertemuan dengan kepala sekolah, guru dan komite (24-25 Juni
2009), secara umum dapat disimpulkan: Sekolah di kodya Padang hanya 10% yang
telah menjalankan KTSP, sedang sekolah lainnya 90 % hanya mencontoh dari sekolah
yang telah melaksanankan, ini disebabkan:
1. Kurangnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada
kebanyakan satuan pendidikan yang ada.
Masih banyak guru dan sekolah yang belum memahami KTSP secara komprehensif
baik konsepnya, penyusunannya maupun prakteknya di lapangan. Masih minimnya guru
memberikan kontribusi pemikiran dan ide-ide kreatif untuk menjabarkan panduan
kurikulum itu (KTSP), selain disebabkan oleh rendahnya kualifikasi, juga disebabkan
pola kurikulum lama yang terlanjur mengekang kreativitas guru. Masih rendahnya
kuantitas guru yang diharapkan mampu memahami dan menguasai KTSP dapat
disebabkan karena pelaksanaan sosialisasi masih belum terlaksana secara menyeluruh.
Jika tahapan sosialisasi tidak dapat tercapai secara menyeluruh, maka pemberlakuan
KTSP secara nasional yang targetnya hendak dicapai paling lambat tahun 2009 tidak
memungkinkan untuk dapat dicapai.
2.

Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai
kelengkapan dari pelaksanaan KTSP.

Ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap dan representatif merupakan salah
satu syarat yang paling urgen bagi pelaksanaan KTSP. Sementara kondisi di lapangan
menunjukkan masih banyak satuan pendidikan yang minim alat peraga, laboratorium
serta fasilitas penunjang yang menjadi syarat utama pemberlakuan KTSP.
3. Penerapan KTSP yang merekomendasikan pengurangan jam pelajaran akan
berdampak berkurang pendapatan para guru, tetapi tidak cukup waktu untuk
persiapan perangkat pembelajaran.

Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) akan menambah
persoalan di dunia pendidikan. Selain menghadapi ketidaksiapan sekolah berganti
kurikulum, KTSP juga mengancam pendapatan para guru. Sebagaimana diketahui
rekomendasi BSNP terkait pemberlakuan KTSP tersebut berimplikasi pada pengurangan
jumlah jam mengajar. Hal ini berdampak pada berkurangnya jumlah jam mengajar para
guru. Akibatnya, guru terancam tidak memperoleh tunjangan profesi dan fungsional.
Untuk memperoleh tunjangan profesi dan fungsional semua guru harus mengajar 24
jam, jika jamnya dikurangi maka tidak akan bisa memperoleh tunjangan. Sebagai
contoh, pelajaran Sosiologi untuk kelas 1 SMA atau kelas 10 mendapat dua jam
pelajaran di KTSP maupun kurikulum sebelumnya. Sedangkan di kelas 2 SMA atau
kelas 11 IPS, Sosiologi diajarkan selama lima jam pelajaran di kurikulum lama. Namun
di KTSP Sosiologi hanya mendapat jatah tiga jam pelajaran. Hal yang sama terjadi di
kelas 3 IPS. Pada kurikulum lama, pelajaran Sosiologi diajarkan untuk empat jam
pelajaran tapi pada KTSP menjadi tiga jam pelajaran. Sementara itu masih banyak guru
yang belum mengetahui tentang ketentuan baru kurikulum ini. Jika KTSP telah benarbenar diberlakukan, para guru sulit memenuhi ketentuan 24 jam mengajar agar bisa
memperoleh tunjangan. Disisi lain ketentuan 24 jam mengajar menyebabkan tidak
adanya waktu guru untuk persiapan pembuatan perangkat pembelajaran dan
pelaksanaan pembelajaran yang bervariasi.
4. Penerapan KTSP yang merekomendasikan standar proses dengan asesmen
berbasis kelas belum dilaksanakan secara utuh
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa asesmen berbasis kelas seperti:
Asesmen porto folio ( Portofolio assessment); Asesmen kinerja ( Performance
assessment); Asesmen penugasan ( Project assessment); Asesmen tertulis ( Paper &
Pencil assessment ) ; dan Asesmen hasil kerja ( Product assessment) belum
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Proses asesmen yang dilakukan selama ini hanya
menekankan pada penguasaan konsep. Asesmen hanya meliputi ranah kognitif belum
sampai pada C6 (kreasi), kebanyakan bentuk asesmen tertulis berupa memilih jawaban
atau mensuplai jawban. Keadaan ini mendorong peserta didik untuk menghafal
sewaktu akan diadakan tes harian atau tes hasil pembelajaran. Asesmen yang ada belum
dapat mengungkap secara terpadu aspek kognitif, efektif dan psikomotor. Hal ini juga
disebabkan penentu kelulusan anak atau kenaikan kelas sangat ditentukan oleh hasil
UAS (ujian akhir sekolah) dan UAN (ujian akhir nasional).

5. Penerapan KTSP akan berhasil jika standar nasional pendidikan terpenuhi
secara utuh, tetapi belum ada sekolah yang bisa memenuhi ke 8 standar
tersebut.
Standar nasional pendidikan dimaksudkan sebagai kriteria minimal tentang sistem
pendidikan yang berlaku di seluruh wilayah hukum negara kesatuan republik indonesia
yang mencakup: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar

pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan,
standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan, tetapi belum ada sekolah yang
telah memenuhi ke delapan criteria tersebut.
6. Penetapan indikator sebagai pencapaian kompetensi belum
mempertimbangkan kriteria ketuntasan minimal yang harus dicapai siswa.
Setiap sekolah berdasarkan otonomi yang dijamin oleh Undang-undang
Pendidikan, berhak memilih dan/atau membuat indikator-indikator pencapaian
Kompetensi Dasar yang telah ditetapkan oleh Kurikulum. Dengan demikian sekolah
diperbolehkan membuat sendiri indikator yang menurut sekolah (dalam hal ini
sekelompokguru MGMP) yang cocok (sesuai) sebagai penunjuk (indikator) untuk
mencapai Kompetensi Dasar dimaksud dalam Standar kompetensiIndikator yang
dibuat oleh sekolah harus dihitung (dianalisis) berdasarkan kriteria ketuntasan minimal
(KKM) yang terdiri atas 3 (tiga) variable, yaitu :
1. Variabel Kompleksitas, merujuk pada tingkat kesulitan pencapaian kompetensi
2. Variabel Daya Dukung Sekolah, yang terdiri dari 4 buah sub-variabel yaitu :
a. Alat Peraga (optional)
b. Laboratorium (optional)
c. Kompetensi Guru (wajib)
d. Perpustakaan (wajib)
3. Variabel Intake Siswa (untuk mata pelajaran Intra Kurikuler adalah wajib,
sedangkan untuk Ekstra-Kurikuler dan Mulok tidak diperhitungkan).
Berdasarkan temuan kebanyakan sekolah belummempertimbangkan penetapan KKM
berdasarkan variable kompleksitas, daya dukung sekolah dan intake siawa.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) di setiap sekolah, akan
membuat guru semakin pintar, karena mereka dituntut harus mampu merencanakan
sendiri materi pelajarannya untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Guru
dapat melakukan upaya-upaya kreatif serta inovatif dalam bentuk penelitian tindakan
terhadap berbagai teknik atau model pengelolaan pembelajaran yang mampu
menghasilkan lulusan yang kompeten. Kurikulum yang selama ini dibuat dari pusat,
menyebabkan kreativitas guru kurang terpupuk, tetapi dengan KTSP, kreativitas guru
bisa berkembang.
Semangat otonomi dan desentralisasi, KTSP memberi keleluasaan sekolah untuk
mengembangkan kurikulum sendiri. KTSP sebenarnya positif, sebab sekolah diberikan
otonomi untuk berdiskusi terkait dengan standar kompetensi yang dikembangkan.
Hanya saja, sebagian besar guru belum terbiasa untuk mengembangkan model-model
kurikulum. Selama ini mereka diperintah untuk melaksanakan kewajiban yang sudah
baku, yakni kurikulum yang dibuat dari pusat.
Implementasi KTSP sebenarnya membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang
memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari
rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini berkaitan adanya pergeseran peran
guru yang semula lebih sebagai instruktur dan kini menjadi fasilitator pembelajaran.
Penerapan KTSP tersebut berimplikasi pada bertambahnya beban bagi guru.
Penerapan KTSP mengandaikan guru bisa membuat kurikulum untuk tiap mata
pelajaran, padahal, selama ini guru sudah terbiasa mengikuti kurikulum yang ditetapkan
pemerintah. Belum lagi mengingat kualitas guru yang kurang merata, ini artinya, KTSP
menghadapi kendala daya kreativitas dan beragamnya kapasitas guru untuk membuat
sendiri kurikulum. Pemberdayaan guru belum dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah
daerah (pemda). Misalnya, pemda belum melakukan evaluasi pendidikan yang baik dan
benar, termasuk evaluasi guru. Ini yang kerap terjadi, sehingga penerapan KTSP pun
bisa melambat. Karena itu, pemda sebaiknya agresif dalam melakukan percepatan
penerapan KTSP. Disisi lain ketentuan 24 jam mengajar menyebabkan tidak adanya
waktu guru untuk persiapan pembuatan perangkat pembelajaran dan pelaksanaan
pembelajaran yang bervariasi
Pemberdayaan guru dalam KTSP ini akan lebih baik, karena guru harus memikirkan
perencanaan penyampaian materinya, setelah selama ini hanya mengajar sesuai
kurikulum yang diturunkan pusat. Menurutnya, penerapan KTSP memberikan peluang
bagi setiap sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri, dan untuk itu tiap guru yang
akan mengajar di kelas dituntut memiliki kemampuan menyusun kurikulum yang tepat
bagi peserta didiknya. KTSP yang dibuat sekolah itu, harus tetap mengacu pada Badan
Standar Nasional Pendidikan (BNSP), dan disusun sebagai kurikulum operasional
sekolah berdasarkan standar isi dan kompetensi lulusan yang dikembangkan dengan

prinsip diversivikasi. Kurikulum harus disesuaikan dengan satuan pendidikan, potensi
daerah, dan peserta didik. Meski sekolah memiliki kewenangan luas, acuan tetap pada
BSNP sesuai standar isi dan kompetensi lulusan. Untuk mengoptimalkan pemberdayaan
guru dalam menyusun kurikulum tersebut, harus didukung sejumlah sarana dan fasilitas
seperti ketersediaan buku teks yang beragam. Setiap guru butuh banyak pengetahuan
untuk penyempurnaan kurikulum yang disusunya, dan memerlukan banyak sumber
seperti buku, dan internet
Setiap sekolah berdasarkan otonomi yang dijamin oleh Undang-undang
Pendidikan, berhak memilih dan/atau membuat indikator-indikator pencapaian
Kompetensi Dasar yang telah ditetapkan oleh Kurikulum. Dengan demikian sekolah
diperbolehkan membuat sendiri indikator yang menurut sekolah (dalam hal ini
sekelompokguru MGMP) yang cocok (sesuai) sebagai penunjuk (indikator) untuk
mencapai Kompetensi Dasar dimaksud dalam Standar kompetensi. Indikator yang
dibuat oleh sekolah harus dihitung (dianalisis) berdasarkan kriteria ketuntasan minimal
(KKM) yang terdiri atas 3 (tiga) variable, yaitu :
1. Variabel Kompleksitas, merujuk pada tingkat kesulitan pencapaian kompetensi
2. Variabel Daya Dukung Sekolah, yang terdiri dari 4 buah sub-variabel yaitu :
e. Alat Peraga (optional)
f. Laboratorium (optional)
g. Kompetensi Guru (wajib)
h. Perpustakaan (wajib)
3. Variabel Intake Siswa (untuk mata pelajaran Intra Kurikuler adalah wajib,
sedangkan untuk Ekstra-Kurikuler dan Mulok tidak diperhitungkan).

DAFTAR BACAAN

Aljufri B. S. 1998. Analisis Kebutuhan Pengembangan Kurikulum FPTK-IKIP Padang
dalam menghadapi era Persaingan Global. Disampaikan pada Seminar Lokakarya
Kurikulum FPTK IKIP Padang tanggal 27 Juli 1998.
Tilaar, H.A.R. (Ed.). 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka
Cipta
Tilaar, H. A. R. 1998. Pendidikan Tinggi di Indonesia Dewasa ini Menghadapi
Tantangan Abad XXI, dalam Membangun Daya Saing Bangsa Melalui
Akselerasi Mutu Pendidikan Tinggi. Malang: Merdeka University Press.
Zais, Robertt.S, (1976). Curriculum Principles and Foundations. Thomas Y. Crowell
Harper & Row Publishers. New York
Ansyar, Muhamad.(1989) Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Depdiknas, Jakarta
Abdul Muin Sibuea. (2004). Penelitian dan Pengembangan Kurikulum Bidang Studi,
Makalah, KONASPI V ISBN 979-445-001-4, UNS
Fasli Jalal (2006). CD Data Guru + HDI + UAN
Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik, dan
Implementasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sumiyarno (2004). Kebijakan Pengembangan Kurikulum Dalam Menjawab Tantangan
Lokal, Nasional, Dan Global: Berdasarkan Analisis Atas Kualitas Lulusan
Pendidikan, Makalah, KONASPI V ISBN 979-445-001-4, UNS
Kunandar. (2007). Guru Profesional, Implementasi Kurikulum Tingkat satuan
Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
Prayitno. M.Anyar. Aljufri B.Syarif. (2006). Studi Pengembangan Aplikasi Hight-Touch
dan High-Tech dalam Proses Pembelajaran di Sekolah. Laporan Penelitian
Hibah Pasca Sarjana-HPTP III. Program Pasca Sarjana UNP.
Aljufri B. Syarif. (1982). Prediction of Mathematical Achievemant of Junior High
School in West Java, Indonasia. (Indiana University: Master Thesis),