Pengaruh Pendekatan Metaphorical Thinking Terhadap Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Disusun Oleh:

Rimanita Khairunnisa

NIM.1110017000098

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ABSTRAK

Rimanita Khairunnisa (1110017000098), Pengaruh Pendekatan Metaphorical Thinking terhadap Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa, Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Juni 2016.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis; (1) kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajarkan dengan pendekatan Metaphorical Thinking dan (2) perbandingan antara kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajarkan dengan pendekatan Metaphorical Thinking dengan siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Penelitian ini dilakukan di SMP Muhammadiyah 5 Jakarta pada kelas IX A dan IX B semester ganjil tahun ajaran 2015/2016. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode quasi eksperimental dengan rancangan penelitian randomized post-test only control group design. Subjek penelitian ini adalah 46 siswa yang terdiri dari 24 siswa untuk kelas eksperimen dan 22 siswa untuk kelas kontrol. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik cluster random sampling pada siswa kelas IX. Pengumpulan data setelah perlakuan dilakukan dengan menggunakan tes kemampuan penalaran analogi matematik siswa.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajar dengan pendekatan Metaphorical Thinking lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata tes kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajar dengan pendekatan Metaphorical Thinking sebesar 61,50 dan nilai rata-rata hasil tes penalaran analogi matematik siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional sebesar 45,59 (thitung = 3,18 dan ttabel = 1,68). Kesimpulan hasil

penelitian ini adalah bahwa pembelajaran matematika pada pokok bahasan Bangun Ruang Sisi Lengkung dengan menggunakan pendekatan Metaphorical Thinking berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan penalaran analogi matematik siswa dibandingkan dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional.

Kata kunci: pendekatan Metaphorical Thinking, kemampuan penalaran analogi matematik siswa.


(6)

ii

ABSTRACT

Rimanita Khairunnisa (1110017000098), The Effects of Metaphorical Thinking Approach to The Analogical Reasoning Ability of Mathematics of Student, Thesis of Department of Mathematics Education, Faculty of Tarbiya and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, June 2016.

The study aims to analyze; (1) The analogical reasoning ability of mathematics of students who taught with Metaphorical Thinking approach and (2) A comparison between the analogical reasoning ability of mathematics of students who taught with Metaphorical Thinking approach with students who taught with conventional learning. The research conducted at SMP Muhammadiyah 5 Jakarta in class IX A and IX B of the odd semester for academic year 2015/2016. The method used in this research is quasi experimental method with Randomized Subjects Post-test Only Control Group Design. Subjects for this research are 46 students consist of 24 students for class of experimental group and 22 students for class of control group. To determine sample used cluster random sampling technique in IX class. The data collection after the treatment is done by using test of mathematical analogical reasoning ability students.

Result of the research revealed that the analogical reasoning ability of mathematics students who is taught with Metaphorical Thinking approach is higher than students who is taught with conventional learning. This matter visible from the mean score of mathematical analogical reasoning ability test students who taught with Metaphorical Thinking approach is at 61,50 and the average value of mathematical analogical reasoning ability test students who taught with conventional learning is at 45,59 (tcount = 3,18 and ttable = 1,68). The conclusion of

this research is that learning mathematics on the subjects of Sequences and Series by using Metaphorical Thinking approach are significantly affect students mathematical analogical reasoning abilities compared with the conventional learning.

Keywords: Metaphorical Thinking approach, The analogical reasoning ability of mathematics.


(7)

iii

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala karunia, nikmat iman, nikmat islam, dan nikmat kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam tak lupa senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Kadir, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Abdul Muin, S.Si, M.Pd., Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dr. Gelar Dwirahayu, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing I yang selalu memberikan bimbingan, kesabaran, arahan, waktu, nasihat, dan semangat dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Firdausi, S.Si., M.Pd., selaku Dosen Pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan, kesabaran, arahan, waktu, nasihat, dan semangat dalam penulisan skripsi ini.

6. Ibu Dra. Afidah Mas’ud, selaku Dosen Penasehat Akademik yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, waktu, nasihat, dan semangat dalam membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan.

7. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada


(8)

iv

Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam pembuatan surat-surat serta sertifikat.

9. Ibu Rr. Evi Kusuma Indriati, M.Pd., kepala SMP Muhammadiyah 5 Jakarta yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian di sekolah tersebut. 10.Bapak Drs. Afdhol, selaku guru pamong yang telah banyak membantu penulis

selama penelitian berlangsung.

11.Siswa dan siswi kelas IX SMP Muhammadiyah 5 Jakarta tahun ajaran 2015/2016, khususnya kelas IX A dan IX B yang telah bersikap kooperatif selama penulis mengadakan penelitian.

12.Keluarga besar tercinta, terutama kepada bapak, mamah, mamas eta dan adek rijal yang selalu memberikan kasih sayang, do’a, dukungan dan semangat kepada penulis.

13.Sahabat seperjuangan selama perkuliahan, Wardatul Uyun, Indah Yunita dan Kholifah yang sudah memberi semangat, nasihat dan bantuan kepada penulis selama perkuliahan.

14.Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika Angkatan ’10, terutama Cuspid (PMTK Kelas C). Terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya selama ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Ucapan terima kasih juga ditunjukan kepada semua pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis hanya dapat memohon dan berdoa mudah-mudahan bantuan, bimbingan, dukungan, semangat, masukan dan doa yang telah diberikan menjadi pintu datangnya ridho dan kasih sayang Allah

SWT di dunia dan akhirat. Aamiin yaa robbal’alamin.

Demikianlah, betapapun penulis telah berusaha dengan segenap kemampuan yang ada untuk menyusun karya tulis yang sebaik-baiknya, namun di atas lembaran-lembaran skripsi ini masih saja dirasakan dan ditemui berbagai


(9)

v

besarnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca sekalian umumnya.

Jakarta, Juli 2016


(10)

vi

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 8

C.Pembatasan Masalah ... 8

D.Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian... 9

F. Manfaat Penelitian... 10

BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS ... 11

A.Kajian Teori... 11

1. Penalaran Analogi Matematik ... 11

2. Pendekatan Metaphorical Thinking ... 17

3. Pembelajaran Konvensional ... 27

B.Hasil Penelitian yang Relevan ... 28

C.Kerangka Berpikir ... 30

D.Hipotesis Penelitian ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 34

A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

B.Metode dan Desain Penelitian ... 34

C.Populasi dan Sampel ... 35


(11)

vii

3. Taraf Kesukaran ... 40

4. Daya Pembeda ... 41

F. Teknik Analisis Data ... 43

1. Uji Prasyarat ... 43

a. Uji Normalitas ... 43

b. Uji Homogenitas ... 44

2. Pengujian Hipotesis ... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Deskripsi Data ... 47

1. Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa Kelas Eksperimen ... 47

2. Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa Kelas Kontrol ... 49

3. Perbandingan Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol... 51

B.Analisis Data Hasil Penelitian ... 55

1. Uji Normalitas ... 55

2. Uji Homogenitas ... 56

3. Pengujian Hipotesis ... 57

C.Pembahasan ... 58

D.Keterbatasan Penelitian ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A.Kesimpulan... 71

B.Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(12)

viii

Tabel 3.1 Rancangan Desain Penelitian ... 35

Tabel 3.2 Kriteria Penilaian Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik ... 37

Tabel 3.3 Kriteria Koefisien Reabilitas ... 40

Tabel 3.4 Indeks Taraf Kesukaran ... 41

Tabel 3.5 Kriteria Daya Pembeda Soal ... 42

Tabel 3.6 Rekapitulasi Analisis Butir Soal ... 42

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Kelas Eksperimen ... 48

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Kelas Kontrol ... 50

Tabel 4.3 Perbandingan Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 52

Tabel 4.4 Perbandingan Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Berdasarkan Indikator Penalaran Analogi ... 54

Tabel 4.5 Hasil Uji Normalitas ... 56

Tabel 4.6 Hasil Uji Homogenitas Varians ... 56


(13)

ix

Gambar 2.1 Peta Konsep Kerangka Berpikir ... 32

Gambar 4.1 Grafik Histogram dan PoligonDistribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Kelas Eksperimen ... 49

Gambar 4.2 Grafik Histogram dan PoligonDistribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Kelas Kontrol ... 51

Gambar 4.3 Kurva Perbandingan Nilai Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 53

Gambar 4.4 Kurva Uji Hipotesis ... 57

Gambar 4.5 Siswa Berdiskusi dalam Menyelesaikan LKS dengan Model Pendekatan Metaphorical Thinking ... 60

Gambar 4.6 Contoh Komponen Grounding Metaphor pada LKS 2 ... 62

Gambar 4.7 Contoh Komponen Redefinitional Metaphor pada LKS 2 .. 63

Gambar 4.8 Contoh Komponen Linking Metaphor pada LKS 2 ... 65

Gambar 4.9 Kegiatan Pembelajaran pada Kelas Kontrol ... 66

Gambar 4.10 Cara Menjawab Nomor 4 Siswa Kelas Eksperimen ... 67

Gambar 4.11 Cara Menjawab Nomor 4 Siswa Kelas Kontrol ... 68

Gambar 4.12 Cara Menjawab Siswa Kelas Eksperimen yang Nilainya di Bawah Rata-rata ... 69

Gambar 4.13 Cara Menjawab Siswa Kelas Kontrol yang Nilainya di Bawah Rata-rata ... 69


(14)

x

Hal

Lampiran 1 RPP Kelas Eksperimen ... 77

Lampiran 2 RPP Kelas Kontrol ... 86

Lampiran 3 LKS Kelas Eksperimen ... 92

Lampiran 4 Kisi-Kisi Uji Instrumen Tes ... 114

Lampiran 5 Uji Validitas Instrumen Tes ... 116

Lampiran 6 Rekapitulasi Hasil Penilaian dan Validitas Instrumen Tes dengan Metode CVR ... 119

Lampiran 7 Hasil Uji Coba Instrumen Tes ... 120

Lampiran 8 Perhitungan Uji Validitas ... 121

Lampiran 9 Validitas Instrumen Tes ... 122

Lampiran 10 Perhitungan Uji Reabilitas ... 123

Lampiran 11 Reabilitas Instrumen Tes ... 124

Lampiran 12 Perhitungan Uji Taraf Kesukaran ... 125

Lampiran 13 Taraf Kesukaran Instrumen Tes ... 126

Lampiran 14 Perhitungan Daya Pembeda ... 127

Lampiran 15 Daya Pembeda Instrumen Tes ... 128

Lampiran 16 Instrumen Tes ... 129

Lampiran 17 Kunci Jawaban Instrumen Tes ... 132

Lampiran 18 Hasil Tes ... 136

Lampiran 19 Perhitungan Daftar Distribusi Kelas Eksperimen ... 137

Lampiran 20 Perhitungan Daftar Distribusi Kelas Kontrol ... 140

Lampiran 21 Perhitungan Data Kelas Eksperimen Berdasarkan Indikator Penalaran Analogi ... 143

Lampiran 22 Perhitungan Data Kelas Kontrol Berdasarkan Indikator Penalaran Analogi ... 145

Lampiran 23 Perhitungan Uji Normalitas Kelas Eksperimen ... 147


(15)

xi

Lampiran 29 Tabel Daftar Nilai Kritis untuk Uji Lilliefors... 156 Lampiran 30 Tabel Nilai Kritis Distribusi F ... 157 Lampiran 31 Tabel Nilai Kritis Distribusi t ... 159


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Manusia dalam kehidupan sehari-harinya pastilah mempunyai masalah. Pengambilan keputusan oleh seseorang terhadap masalah yang dihadapinya tidak terlepas dari aspek-aspek yang mempengaruhinya. Pengambilan keputusan tersebut hadir melalui pertimbangan atas proses membangun dan membandingkan gagasan-gagasan dari beragam situasi yang dihadapi. Terdapat salah satu kemampuan yang harus dimiliki seseorang dalam proses membangun dan membandingkan gagasan-gagasan yang diperolehnya, yaitu kemampuan penalaran.

Kemampuan penalaran bisa timbul pada diri seseorang jika sebelumnya diperkenalkan dengan situasi-situasi permasalahan yang berhubungan dengan penalaran. Dalam hubungannya dengan situasi permasalahan matematika, penalaran dapat membantu siswa melihat matematika sebagai sesuatu yang logis dan masuk akal, sehingga dapat membantu mengembangkan keyakinan siswa bahwa matematika merupakan sesuatu yang bisa dipahami, dipikirkan dan dievaluasi. Melalui penalaran, siswa dapat lebih memaknai apa yang telah mereka pahami mengenai suatu konsep matematika. Sebagaimana yang diungkapkan Nasution dalam Tatag bahwa salah satu manfaat penalaran dalam pembelajaran matematika adalah membantu siswa meningkatkan kemampuan dari yang hanya sekedar mengingat fakta, aturan, dan prosedur kepada kemampuan pemahaman.1 Hal tersebut dapat diperoleh siswa melalui pendidikan, diantaranya melalui pembelajaran matematika.

1

Tatag Yuli Eko Siswono dan Suwidiyanti, “Proses Berpikir Analogi Siswa dalam Memecahkan Masalah Matmatika”, Surabaya: FMIPA UNESA, Februari 2009, h. 2.


(17)

Matematika merupakan ilmu dasar dari pengembangan ilmu lain seperti sains, ekonomi, dan lain-lain, serta sangat berguna bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, penguasaan matematika secara tepat dan tuntas sangatlah diperlukan oleh siswa, agar di masa depan siswa dapat menerapkan matematika sesuai bidang yang akan mereka tekuni masing-masing dengan baik. Hal inilah yang akhirnya memicu pemerintah maupun pendidik untuk terus mengupayakan peningkatan mutu pendidikan matematika di berbagai Negara, termasuk di Indonesia.

Pendidikan matematika di Indonesia berkembang sejalan dengan perkembangan pendidikan matematika dunia. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses pembelajaran di kelas, selain dipengaruhi oleh adanya tuntutan sesuai perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan juga seringkali diawali dengan adanya perubahan pandangan tentang hakekat matematika serta pembelajarannya. Untuk menjawab tantangan ini, maka pemerintah melakukan berbagai upaya dengan salah satunya merumuskan tujuan pembelajaran matematika, yang bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: 2

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh

4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah

2

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, (Jakarta: BSNP, 2006), h. 346.


(18)

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika di atas, kemampuan penalaran merupakan salah satu poin yang perlu diperhatikan dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, upaya pendidikan yang diberikan di sekolah haruslah mampu mengoptimalkan kemampuan tersebut. Salah satunya melalui pembelajaran matematika. Selain itu, strategi pembelajaran yang sesuai yang diterapkan pada pembelajaran matematika juga harus bisa memicu berkembangnya kemampuan penalaran pada diri siswa.

Jika kita melihat fakta di lapangan, ternyata terdapat beberapa kendala yang dihadapi siswa terkait dengan kemampuannya dalam menghadapi persoalan matematika. Diantaranya Wahyudin yang dikutip oleh Gusni menemukan lima kelemahan dalam menghadapi persoalan matematika yang ada pada siswa antara lain : kurang memiliki pengetahuan materi prasyarat yang baik, kurang memilki pengetahuan untuk memahami serta mengenali konsep-konsep dasar matematika (aksioma, definisi, kaidah,teorema) yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang dibicarakan, kurang memiliki kemampuan dan ketelitian dalam menyimak dan mengenali sebuah persolaan tertentu atau soal-soal matematika yang berkaitan dengan pokok bahasan tertentu, kurang memilki kemampuan menyimak kembali sebuah jawaban yang diperoleh (apakah jawaban itu mungkin atau tidak) dan kurang memiliki penalaran yang logis dalam menyelesaikan persoalan atau soal-soal matematika.3 Hal-hal inilah yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya hasil belajar matematika yang diperoleh siswa. Berdasarkan temuan tersebut, ini menunjukkan bahwa tujuan pembelajaran matematika yang diharapkan belum tercapai, terutama dalam hal kemampuan penalaran.

Menurut pandangan kontruktivisme, belajar matematika memerlukan penalaran. Siswa yang belajar matematika dianggap sebagai subjek yang memiliki

3

Gusni Satriawati, Pendekatan Baru dalam Proses Pembelajaran Matematika dan Sains Dasar (Sebuah Antologi), (Jakarta: UIN Jakarta, 2007), h. 157.


(19)

potensi untuk dikembangkan sesuai dengan penalaran sendiri.4 Dengan penalaran tersebut siswa dapat membentuk pengetahuan matematikanya dengan baik. Penalaran merupakan komponen matematika yang memerlukan alasan secara argumentatif dalam memecahkan masalah matematika. Artinya, untuk belajar matematika dalam aliran kontruktivisme diperlukan alasan yg argumentatif sehingga terbentuk pola pikir seseorang dalam belajar matematika.5 Berdasarkan pemaparan tersebut, maka strategi pembelajaran yang diterapkan pada pembelajaran matematika haruslah mengarah kepada pandangan kontruktivisme agar kemampuan penalaran matematik siswa dapat semakin berkembang.

Pada kemampuan penalaran matematik terdapat kemampuan penalaran analogi yang merupakan salah satu dari unsur penalaran. Menurut Shadiq, analogi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari dua atau lebih peristiwa khusus yang memiliki kemiripan satu dengan yang lainnya.6 Sejalan dengan itu, Sumarmo mendefinisikan Analogi sebagai penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses.7 Dengan demikian, penalaran analogi merupakan kemampuan bernalar dalam membandingkan dua hal yang berbeda berdasarkan keserupaannya, kemudian ditarik kesimpulan atas dasar keserupaan tersebut.

Penalaran analogi berfungsi sebagai penjelas atau dasar dari penalaran. Seperti yang kita ketahui bahwa penalaran merupakan unsur yang sangat penting dalam pembentukan pola pikir seseorang dalam belajar matematika, karena dengan penalaran siswa dapat memahami dan kemudian dapat memecahkan persoalan matematika.

Melihat fungsinya sebagai penjelas atau dasar dari penalaran, serta dampaknya yang hingga mampu memecahkan persoalan matematika, maka

4

Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 129.

5

Ibid., h. 128. 6

Fadjar Shadiq, Penalaran dengan Analogi? Pengertiannya dan Mengapa Penting?, 7 September 2014, h. 2, ( http:// p4tkmatematika.org/ file/ ARTIKEL/ Artikel Matematika Penalaran dengan Analogi fadjar shadiq.pdf/)

7

Utari Sumarmo, “Mengembangkan Instrumen untuk Mengukur High Order Mathematical Thinking dan Affective Behavior”, Handout disajikan pada Workshop Pendidikan Matematika UIN Jakarta, 22 Oktober 2014, h. 37.


(20)

penalaran analogi perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Namun faktanya, proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan di banyak sekolah masih belum mengupayakan terbentuknya kemampuan ini pada diri siswa. Hal ini menyebabkan masih rendahnya kemampuan penalaran, khususnya penalaran analogi siswa.

Rendahnya kemampuan penalaran analogi matematis siswa ditunjukkan pada beberapa hasil penelitian yang menemukan bahwa kemampuan tersebut masih rendah. Hasil penelitian Priatna dalam Harry menemukan bahwa kualitas kemampuan penalaran analogi siswa rendah, karena skor yang diperoleh hanya 49% dari skor ideal.8 Sementara itu hasil penelitian Herdian dalam Anik menemukan bahwa kemampuan penalaran analogi matematis siswa yang memiliki kemampuan rendah berada pada kualifikasi kurang.9 Permasalahan lain ditunjukkan pada hasil penelitian Tatag yang menemukan hanya 2 siswa (5 %) yang mampu menyelesaikan soal Tes Penalaran Analogi Matematik (TPAM) dengan baik. Sedangkan siswa yang berkemampuan analogi sedang cenderung mengalami hambatan dibeberapa langkah proses berpikir analogi. Untuk siswa yang berkemampuan analogi rendah, langkah-langkah proses bepikir analogi belum dapat dilakukan dengan baik.10 Berdasarkan pemaparan-pemaparan tersebut, maka kemampuan penalaran analogi matematik siswa masih perlu diperhatikan perkembangannya, karena kemampuan tersebut cenderung tergolong rendah dan siswa pun masih kesulitan dalam menghadapi persoalan yang berkaitan dengan penalaran analogi.

Kesulitan dalam menghadapi persoalan penalaran analogi matematik yang berdampak pada rendahnya kualitas kemampuan tersebut pada siswa pastilah disebabkan oleh beberapa faktor yang menyertainya. Salah satu faktor yang menyebabkan kondisi tersebut adalah penerapan strategi pembelajaran yang

8 Harry Dwi Putra, “Pembelajaran Geometri dengan

Pendekatan SAVI Berbantuan

Wingeom untuk Meningkatkan Kemampuan Analogi Matematis Siswa SMP”, Proseding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol.1, h. 2-3.

9

Anik Yuliani, Meningkatkan Kemampuan Analogi dan Generalisasi Matematis Siswa

SMP dengan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing”, Tesis pada Sekolah Pascasarjana UPI Bandung, Bandung, 2011, h. 5, tidak dipublikasikan.

10


(21)

kurang tepat dalam proses belajar-mengajar. Proses pemilihan dan penerapan strategi pembelajaran haruslah disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan. Hal ini dimaksudkan agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai, serta penerapan yang dilaksanakan haruslah sejalan dengan bagaimana belajar matematika yang baik.

Faktor lain diantaranya masih banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep matematika yang abstrak. Menurut Dienes dalam Ruseffendi, konsep (struktur) matematika dapat dipelajari dengan baik bila representasinya dimulai dengan benda-benda kongkrit yang beraneka ragam (prinsip penjelmaan banyak). Dienes percaya bahwa semua abstraksi yang berdasarkan pada situasi dan pengalaman konkrit, prinsip penjelmaan banyak (multiple embodiment principle) adalah suatu prinsip yang bila diterapkan oleh guru untuk setiap konsep yang diajarkan akan menyempurnakan penghayatan siswa terhadap konsep itu. 11 Karena itu maka sistem pengajaran matematika dari Dienes lebih berbobot kepada memanipulasi benda kongkrit.

Hal lain yang menjadi faktor permasalahannya ialah merujuk pada hasil temuan Wahyudin yang menyatakan bahwa siswa kurang memilki pengetahuan untuk memahami serta mengenali konsep-konsep dasar matematika yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang dibicarakan, kurang memiliki kemampuan dan ketelitian dalam menyimak dan mengenali sebuah persolaan tertentu atau soal-soal matematika yang berkaitan dengan pokok bahasan tertentu, serta kurang memiliki penalaran yang logis dalam menyelesaikan persoalan atau soal-soal matematika. Dari permasalahan tersebut bisa dilihat bahwa siswa masih sulit bernalar dalam hal melihat atau menganalisa keterkaitan atau hubungan antar konsep atau persoalan matematika.

Dengan demikian, berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dipaparkan serta faktor-faktor yang menjadi pemicunya, maka kemampuan penalaran analogi matematik siswa perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran matematika di sekolah. Untuk mendukung hal tersebut, dalam

11

E. T. Ruseffendi, Pengajaran Matematika Modern untuk Orang Tua Murid, Guru dan SPG, (Bandung: Tarsito, 1979), h. 135 .


(22)

merencanakan pembelajaran matematika, sebaiknya guru menggunakan strategi-strategi pembelajaran yang mampu mengembangkan kemampuan penalaran analogi matematik siswa.

Pendekatan metaphorical thinking merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan metafora-metafora untuk menjelaskan suatu konsep. Metafora yang digunakan pada pendekatan ini merupakan proses pemindahan arti dan asosiasi baru dari satu objek atau gagasan yang abstrak ke objek atau gagasan yang lain yang sudah lebih dikenal.12 Melalui proses bermetafora siswa dilatih untuk melihat hubungan-hubungan antara pengetahuan (konsep) yang telah mereka peroleh dengan pengetahuan (konsep) yang akan diperolehnya, serta siswa juga dilatih untuk menganalogikan suatu model dan interpretasi atas pengetahuan yang mereka bangun. Kedua proses tersebut merupakan bagian dari penalaran, sehingga melalui proses bermetafora diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar, khususnya dalam penalaran analogi matematik.

Karakteristik dari pendekatan metaphorical thinking ialah menjembatani konsep-konsep yang abstrak menjadi hal yang lebih konkrit. Konsep-konsep tersebut dijelaskan melalui visualisasi dan analogi dengan membandingkan dua hal atau lebih yang berbeda makna. Metaphorical thinking merupakan jembatan antara model dan interpretasi, memberikan peluang yang besar kepada siswa untuk mengeksplorasi pengetahuannya dalam belajar matematika, dan melalui

metaphorical thinking proses belajar siswa menjadi lebih bermakna karena siswa dapat melihat hubungan antara konsep yang dipelajarinya dengan konsep yang telah dikenalnya.

Pendekatan Metaphorical thinking membangun pemahaman dengan menggunakan metafora yang mengaitkan pengetahuan yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang sudah diketahui, kemudian solusi yang tercipta dari pengaitan tersebut dapat digunakan pada persoalan lain. Hal ini relevan dengan

12

Indira Sunito, dkk., Metaphorming: Beberapa Strategi Berpikir Kreatif, (Jakarta: Indeks, 2013), h. 60.


(23)

kemampuan penalaran analogi yang ingin dibangun yaitu mengidentifikasi hubungan dan struktur antara masalah sumber dengan masalah target, sehingga masalah target dapat terpecahkan berdasarkan kesamaan struktur, data atau proses dengan masalah sumber. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa pendekatan

metaphorical thinking dapat dijadikan alternatif bagi permasalah rendahnya kemampuan penalaran analogi matematik siswa.

Berdasarkan pemaparan-pemaparan tersebut, maka penelitian ini akan mencoba menjawab atas permasalahan yang telah dipaparkan, yaitu dengan judul

“Pengaruh Pendekatan Metaphorical Thinking Terhadap Kemampuan

Penalaran Analogi Matematik Siswa”.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dapat diidentifikasi sebagai berikut:

a. Belum adanya upaya pembelajaran yang menekankan pada kemampuan penalaran matematik pada siswa.

b. Siswa cenderung kurang memahami dan mengenal konsep dasar matematika dengan baik.

c. Siswa kurang bisa memahami konsep-konsep matematika yang abstrak

d. Kemampuan penalaran analogi matematik siswa relatif rendah, khususnya pada kemampuan penalaran analogi matematik.

e. Hasil belajar yang diperoleh siswa relatif masih rendah.

C. Pembatasan Masalah

1. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

metaphorical thinking, yaitu pendekatan pembelajaran yang menggunakan hal-hal konkrit untuk memahami dan menjelaskan konsep-konsep abstrak dengan cara memilih dan mengorganisasikan hubungan-hubungan antara pengetahuan yang telah diperoleh siswa dengan pengetahuan yang akan diperolehnya.


(24)

2. Kemampuan penalaran yang dilihat yaitu kemampuan penalaran analogi matematik.

3. Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas IX di SMP dengan pokok bahasan Bangun Ruang Sisi Lengkung.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah yang akan diajukan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kemampuan penalaran analogi matematik siswa setelah diajarkan dengan pendekatan metaphorical thinking?

2. Bagaimana kemampuan penalaran analogi matematik siswa setelah diajarkan dengan pembelajaran konvensional?

3. Apakah kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajar dengan pendekatan metaphorical thinking lebih tinggi dari siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional?

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan kemampuan penalaran analogi matematik siswa setelah diajarkan dengan menggunakan pendekatan metaphorical thinking.

2. Menjelaskan kemampuan penalaran analogi matematik siswa setelah diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional.

3. Membandingkan kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.


(25)

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah:

1. Menambah wawasan dan mengetahui pengaruh kemampuan penalaran analogi matematik siswa setelah memperoleh pembelajaran metaphorical thinking. 2. Memberikan alternatif pembelajaran matematika bagi guru melalui pendekatan

metaphorical thinking.

3. Membantu siswa dalam upaya mengembangkan kemampuan penalaran, khususnya penalaran analogi matematik melalui pendekatan metaphorical thinking.


(26)

11

BAB II

KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN

HIPOTESIS

A.

Kajian Teori

1.

Penalaran Analogi Matematik

Pada setiap jenjang pendidikan, matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang dipelajari siswa di sekolah. Sekolah pun memberikan proporsi waktu yang lebih pada mata pelajaran ini. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya matematika untuk dipelajari siswa. Mempelajari matematika dapat meningkatkan proses berpikir (bernalar) siswa, sehingga siswa dapat memecahkan persoalan melalui proses berpikirnya. Selain itu, matematika merupakan ilmu yang dapat diterapkan di berbagai bidang seperti sains, ekonomi, dan lain-lain. Oleh karena itu, mempelajari matematika merupakan hal yang perlu bagi siswa, agar matematika dapat berguna bagi kehidupannya sehari-hari maupun di masa mendatang.

Matematika merupakan ilmu pengetahuan mengenai ide-ide atau konsep yang saling berkaitan, yang mencakup aritmatika, aljabar, geometri dan analisis. Matematika diperoleh dengan cara bernalar. Selain itu, mempelajari matematika bertujuan untuk mengembangkan cara berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif dan kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Secara bahasa, Matematika berasal dari akar kata mathema artinya pengetahuan, mathanein artinya berpikir atau belajar. Secara istilah, matematika adalah ilmu yang membahas angka-angka dan perhitungannya, membahas masalah-masalah numerik, mengenali kuantitas dan besaran, mempelajari hubungan pola, bentuk dan struktur, sarana berpikir, kumpulan sistem, struktur dan alat.1 Berdasarkan definisi tersebut, matematika berarti ilmu pengetahuan

1

Ali Hamzah dan Muhlisrarini, Perencanaan dan Strategi Pembelajaran Matematika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 48.


(27)

yang didapat dengan berpikir (bernalar). Karena matematika lebih ditekankan pada aktivitas dalam dunia rasio (penalaran).

Menurut Ruseffendi, Matematika itu penting baik sebagai alat bantu, sebagai ilmu, sebagai pembimbing pola berpikir, maupun sebagai pembentuk sikap.2 Matematika merupakan cara berpikir yang digunakan untuk memecahkan berbagai jenis persoalan. Matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran.

Depdiknas dalam Fadjar Shadiq menyatakan bahwa materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika.3 Hal tersebut menunjukkan bahwa matematika dan penalaran saling berkaitan. Untuk itu tujuan mata pelajaran matematika mencantumkan penalaran sebagai salah satu kemampuan yang harus dikuasai siswa guna mengembangkan dan mengekspresikan berbagai informasi yang didapat, menyusun pembuktian atau menjelaskan gagasan dari pernyataan matematika kemudian menarik kesimpulannya, serta melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi.

Kemampuan bernalar tidak hanya dibutuhkan para siswa ketika mereka belajar matematika maupun mata pelajaran lainnya, namun sangat dibutuhkan setiap manusia di saat memecahkan masalah ataupun di saat menentukan keputusan. Penalaran mengantarkan seseorang kepada berfikir logis dan sistematis. Melalui cara berfikir inilah seseorang dapat memecahkan persoalan secara tepat, teliti dan teratur. Sehingga kesimpulan atau keputusan yang didapat dari persoalan tersebut mencapai kebenaran yang rasional.

Penalaran berasal dari kata “nalar” yang berarti “kegiatan yang memungkinkan seseorang berpikir logis”. Sedangkan arti kata “penalaran” itu sendiri yaitu “cara (hal) menggunakan nalar, pemikiran atau cara berpikir sesuai

2

E. T. Ruseffendi, Pengajaran Matmatika Modern untuk Orang Tua Murid, Guru dan SPG (Bandung: Tarsito, 1979), h. 39.

3

Fadjar Shadiq, Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi, (Yogyakarta: Depdiknas, 2004), h. 3.


(28)

akal (logika)”.4 Menurut Surajiyo, penalaran merupakan konsep yang paling umum menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk sampai pada suatu kesimpulan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan lain (proposisi) yang telah diketahui.5 Jadi, penalaran adalah cara berpikir logis dengan langkah-langkah tertentu dalam menarik suatu kesimpulan berdasarkan hubungan proposisi-proposisi yang memiliki sifat-sifat atau hukum-hukum yang diakui kebenarannya. Dengan demikian, penalaran matematik adalah cara atau proses berpikir logis dalam menarik kesimpulan dari suatu permasalahan matematika yang diakui kebenarannya dengan langkah-langkah tertentu.

Menurut Sumarmo, penalaran matematik dibagi menjadi dua golongan yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif diartikan sebagai penarikan kesimpulan yang bersifat umum atau khusus berdasarkan data yang teramati. Nilai kebenaran dalam penalaran induktif dapat bersifat benar atau salah. Sedangkan penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati. Nilai kebenaran dalam penalaran deduktif bersifat mutlak benar atau salah dan tidak keduanya bersama-sama.6

Salah satu karakteristik matematika adalah sifatnya yang menekankan pada proses deduktif yang memerlukan penalaran logis dan aksiomatik, yang diawali dengan proses induktif yang meliputi penyusunan konjektur, model matematika, analogi dan/atau generalisasi, melalui pengamatan terhadap sejumlah data.7 Dengan kata lain penalaran induktif dapat mengantarkan siswa menemukan pola berpikir deduktif. Selain itu penalaran induktif banyak dijadikan sebagai pijakan untuk mendapatkan konsep matematika. Sehingga penarikan kesimpulan melalui proses induktif ini akan menjadi sangat penting, salah satunya adalah penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan dari dua hal yang berbeda yang disebut penalaran analogi.

4

Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gitamedia Press), h. 547. 5

Surajiyo, dkk., Dasar-dasar Logika, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 20.

6 Utari Sumarmo, “Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik”, dalam Makalah Matematika FMIPA UPI, Januari 2010, h. 5 -6.

7

Utari Sumarmo, dkk., Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan, (Bandung: UPI Press, 2008), h. 679.


(29)

Kata “Analogi” berarti “persamaan antara dua benda atau hal yang berlainan; sesuatu yang sama dalam bentuk, susunan atau fungsi tetapi berlainan asal-usulnya sehingga tidak ada hubungan kekerabatan”.8 Soekardijo dalam Tatag, mengatakan bahwa analogi adalah berbicara tentang suatu hal yang berlainan, dua hal yang berlainan itu diperbandingkan. Selanjutnya ia mengatakan jika dalam perbandingan hanya diperhatikan persamaan saja tanpa melihat perbedaan, maka timbullah analogi.9 Sejalan dengan hal tersebut, Dwirahayu mengatakan bahwa analogi artinya membandingkan satu hal dengan yang lainnya, ketika kita melakukan penalaran analogi artinya kita menarik kesimpulan tentang sesuatu hal berdasarkan kesamaan yang ada dalam pengetahuan dan pemahaman kita.10 Analogi yang menjelaskan perbandingan dapat berperan bagi pemahaman dengan menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan latar belakang yang sudah terbentuk dengan baik. Dengan kata lain, analogi dapat membantu siswa mempelajari informasi baru dengan menghubungkannya dengan konsep yang telah mereka ketahui.11 Berdasarkan pemaparan-pemaparan tersebut, maka penalaran analogi adalah proses bernalar dengan membandingkan dua hal yang berlainan dengan melihat kesamaannya, kemudian ditarik kesimpulan berdasarkan persamaan (keserupaan) tersebut.

Isoada dan Katagiri yang dikutip oleh Fadjar Shadiq menyatakan bahwa:

Analogical thinking is an extremely important method of thinking for establishing perspectives and discovering solutions.” Artinya, kemampuan

berpikir analogi adalah sangat penting dalam membentuk perspektif dan menemukan pemecahan masalah.12 Selain itu, pentingnya kemampuan penalaran analogi juga diungkapkan oleh Lawson dengan beberapa keuntungan analogi

8

Tim Prima Pena, Op.Cit., h. 51. 9

Tatag Yuli Eko Siswono dan Suwidiyanti, “Proses Berpikir Analogi Siswa dalam Memecahkan Masalah Matmatika”, Surabaya: FMIPA UNESA, Februari 2009, h. 2.

10Gelar Dwirahayu, “Pengaruh Pendekatan Analogi terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP”, Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, ALGORITMA, Vol.1, No.1, 2006, h. 61.

11

Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik. Terj. Drs. Marianto Samosir, S.H, (Jakarta: Indeks, 2011), h. 261.

12

Fadjar Shadiq, Penalaran dengan Analogi? Pengertiannya dan Mengapa Penting?, 7 September 2014, h. 6 ( http:// p4tkmatematika.org/ file/ ARTIKEL/ Artikel Matematika Penalaran dengan Analogi fadjar shadiq.pdf/).


(30)

dalam pengajaran antara lain:13(a)Dapat memudahkan siswa dalam memperoleh pengetahuan baru dengan cara mengaitkan atau membandingkan pengetahuan analogi yang dimiliki siswa; (b)Pengaitan tersebut akan membantu mengintegrasikan struktur-struktur pengetahuan yang terpisah agar terorganisasi menjadi struktur kognitif yang lebih utuh. Dengan organisasi yang lebih utuh akan mempermudah proses pengungkapan kembali pengetahuan baru; (c)Dapat dimanfaatkan dalam menanggulangi salah konsep.

Holyoak mengatakan bahwa penggunaan analogi dalam memecahkan masalah matematika melibatkan masalah sumber dan masalah target.14 Masalah sumber merupakan masalah yang sudah diketahui struktur penyelesaiannya oleh siswa, sehingga masalah sumber digunakan untuk membantu siswa memecahkan masalah target. Dalam hal ini, siswa menyelesaikan masalah target dengan memperhatikan masalah sumber dan menerapkan struktur masalah sumber pada masalah target tersebut. Dengan kata lain, masalah target dapat terselesaikan berdasarkan keserupaan struktur (data atau proses) dengan masalah sumber. Dalam menyelesaikan masalah sumber, siswa akan menggunakan strategi yang diketahui, konsep-konsep yang dimilikinya, sedangkan dalam menyelesaikan masalah target siswa akan menjadikan masalah sumber sebagai pengetahuan awal untuk menyelesaikan masalah target.

Berdasarkan pemaparan di atas, kemampuan penalaran analogi matematik adalah kemampuan bernalar dalam membandingkan dua hal yang berlainan dengan melihat kesamaan data, sifat atau proses, dimana perbandingan tersebut dibangun berdasarkan pengetahuan matematik yang dimiliki pada masalah sumber untuk menyelesaikan masalah target dengan memperhatikan kesimpulan dari kesamaan hubungan antara masalah sumber dengan masalah target. Adapun indikator penalaran analogi yang digunakan pada penelitian ini adalah

13Risqi Rahman dan Samsul Maarif, “Pengaruh Penggunaan Metode

Discovery terhadap Kemampuan Analogi Matematis Siswa SMK Al-Ikhsan Paramacitan Kabupaten Ciamis Jawa Barat”, Infinity, Vol 3, No.1, Februari 2014, h. 39.

14

Lindsey E. Richland, Keith J. Holyoak, and James W. Strigler, Analogy Use in Eight-Grade Mathematics Classrooms, Department of Psychology University of California, Los Angeles. Cognition and Instruction, 22(1), pp. 38.


(31)

menyelesaikan masalah target berdasarkan kesimpulan dari keserupaan data atau proses dengan masalah sumber.

Berikut merupakan contoh soal penalaran analogi matematik untuk siswa SMP/Mts:

1.

Taman A dan taman B akan ditanami sejumlah pohon dengan jarak yang sama. Hubungan antara taman A dengan 60 pohon serupa dengan

hubungan antara taman B dengan ... pohon.

Jawaban untuk pertanyaan di atas adalah hubungan antara taman A dengan 60 pohon serupa dengan hubungan antara taman B dengan 15 pohon. Sebab 60 pohon didapat dengan mengalikan keliling persegi dengan 0,5 m yang merupakan jarak antar pohon. Dengan demikian banyaknya pohon pada taman B juga didapat dengan mengalikan keliling segitiga sama sisi dengan 0,5 m yang merupakan jarak antar pohon yaitu 15 pohon.

2.

Jawaban untuk pertanyaan di atas adalah hubungan antara bangun ruang tabung dengan 4,710 liter serupa dengan hubungan antara bangun ruang kerucut dengan 0,616 liter. Sebab 4,710 liter merupakan volume dari

30 m

30 m 10 m

10 m 10 m

30 m

30 m

Taman A Taman B

15 cm 10 cm

12 cm 7 cm Serupa

dengan

Hubungan bangun ruang di atas dengan 4,71 liter.

Hubungan bangun ruang di atas dengan


(32)

tabung. Dengan demikian pada soal target juga menghitung volume dari kerucut yaitu 0,616 liter.

2. Pendekatan Metaphorical Thinking

Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran yang sifatnya masih sangat umum. Pendekatan merupakan langkah awal pembentukan suatu ide dalam memandang suatu masalah atau objek kajian. Pendekatan ini akan menentukan arah pelaksanaan ide tersebut untuk menggambarkan perlakuan yang diterapkan terhadap masalah atau objek kajian yang akan ditangani. 15 Untuk memperoleh hasil yang optimal dari perlakuan objek kajian atau penyelesaian masalah pada proses pembelajaran, maka diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang sesuai dan tepat.

Metafora merupakan proses yang dimulai dengan memindahkan arti dan asosiasi baru dari satu objek atau gagasan yang sudah diketahui (konkret) ke objek atau gagasan yang lain (abstrak).16 Kata “Metafora” merupakan “gaya bahasa yang menggunakan kata-kata bukan arti sesungguhnya, melainkan sebagai kiasan (lukisan) yang berdasarkan persamaan dan perbandingan.17 Metafora adalah pengalihan citra, makna, atau kualitas sebuah ungkapan (kiasan) kepada suatu ungkapan lain. Pengalihan tersebut dilakukan dengan cara merujuk suatu konsep kepada suatu konsep lain untuk mengisyaratkan kesamaan, analogi atau hubungan kedua konsep tersebut. Sebagai contoh, dalam metafora “Pelanggan adalah raja,” berbagai citra atau kualitas seorang raja, seperti kekuasaan, pengaruh, posisi, dan sebagainya dipindahkan kepada pelanggan.18

Dalam karya sastra, metafora sering digunakan untuk memperindah karya tersebut. Namun kenyataannya metafora bukan sekedar hiasan belaka. Ada konsep

15

Rusman, Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru (Edisi Kedua), (Depok: Rajagrafindo Persada, 2012), h. 380.

16

Indira sunito, dkk., Metaphorming: Beberapa strategi berpikir Kreatif, (Jakarta: Indeks, 2013), h. 60.

17

Tim Prima Pena, Op.Cit., h. 863. 18

Zantoichi Fay Ahmed, Pengertian, Teori, dan Klasifikasi Metafora, 8 Februari 2015, h. 1, (https://www.academia.edu/pengertian_umum_teori_dan_klasifikasi_metafora_nda).


(33)

yang tercakup dalam suatu metafora. Berikut merupakan teori mengenai konsep metafora menurut berberapa ilmuwan, diantaranya menurut Aristoteles, metafora merupakan sarana berpikir yang sangat efektif untuk memahami suatu konsep abstrak, yang dilakukan dengan cara memperluas makna konsep tersebut dengan cara membandingkannya dengan suatu konsep lain yang sudah dipahami. Melalui perbandingan itu terjadi pemindahan makna dari konsep yang sudah dipahami kepada konsep abstrak. Sejalan dengan hal tersebut, Richards berpendapat bahwa metafora merupakan proses kognitif yang dilakukan untuk memahami suatu gagasan yang asing (vehicle) melalui interaksi gagasan tersebut dengan gagasan lain yang maknanya secara harfiah sudah lebih dikenal (tenor).19 Dengan kata lain, konsep Aristoteles dan Richards sama-sama menekankan bahwa konteks yang terdapat dalam metafora sama-sama menekankan fungsi metafora sebagai bahasa figuratif.

Metafora digunakan untuk membentuk pemahaman melalui hubungan internal elemen-elemen kontekstual. Menurut teori kongnitif Lakoff dan Johnson, proses pemahaman/penyusunan konsep yang abstrak melalui pengalaman yang konkrit disebut metafora. Selanjutnya Lakoff dan Johnson mengemukakan bahwa metafora menghubungkan dua ranah konseptual, yang disebut ranah sumber dan ranah sasaran. Ranah sumber merupakan elemen-elemen kontekstual yang terdiri dari sekumpulan entitas, atribut atau proses yang terhubung secara harfiah, dan tersimpan dalam pikiran. Ranah sasaran cenderung bersifat lebih abstrak dan mengikuti struktur yang dimiliki ranah sumber melalui pemetaan. Oleh karena itu, entitas, atribut, dan proses dalam ranah sasaran diyakini berhubungan satu sama lain seperti pola yang dipetakan dari hubungan antara entitas, atribut, dan proses dalam ranah sumber. 20 Dengan kata lain, konsep abstrak secara khusus dipahami lewat proses metafora, yang berkenaan dengan konsep-konsep yang lebih konkrit.

Menurut Kövecses, metafora berdasarkan pada variasi pengalaman manusia, yang mencakup korelasi dalam pengalaman, berbagai macam kesamaan

19

Ibid., h. 2-8. 20


(34)

nonobjektif yang terbagi oleh dua konsep, dan kemungkinan lainnya. 21 Dengan demikian, metafora merupakan proses pemindahan sebuah konsep yang dikenal yang bersifat kontekstual kepada konsep lain yang masih asing atau abstrak agar konsep yang asing itu dapat dipahami. Pemindahan konsep itu bisa melalui perbandingan, interaksi, atau pemetaan.

Berdasarkan definisi dan teori yang telah dipaparkan, dapat dikatakan bahwa unsur-unsur dari metafora erat kaitannya dengan hal-hal yang bersifat kontekstual. Jadi, untuk memaknai sesuatu yang abstrak bisa dilakukan dengan mengaitkan hal-hal yang abstrak tersebut dengan hal-hal yang sudah dikenal terlebih dahulu atau hal yang konkrit yang erat kaitannya dengan kehidupan atau pengalaman manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari metafora terjadi jika dua daerah yang berbeda dari fungsi otak diaktifkan bersamaan. Sebagai contoh orang yang ramah disebut orang yang hangat. Kiasan ini muncul karena dalam otak secara bersamaan diaktifkan pengalaman tentang kehangatan ruangan yang membuat orang merasa nyaman di dalamnya, dan pengalaman tentang perasaan nyaman saat bersama dengan seorang yang ramah. Kedua pengalaman ini dihubungkan oleh perasaan nyaman. Pengaktifan kedua pengalaman yang berbeda ini memunculkan hubungan antara kedua pengalaman yang berbeda itu sehingga

muncullah kiasan „orang yang hangat’. Sama halnya dengan berfikir metaforik, dapat terjadi jika pada saat yang bersamaan diaktifkan pengalaman tentang dua konsep yang berbeda sehingga muncul hubungan antara konsep tersebut. Akibat selanjutnya konsep yang satu dapat dirasakan melalui konsep yang lain.

Jika pemikiran ini diterapkan dalam pembelajaran maka dapat dibayangkan bagaimana konsep yang abstrak dipahami melalui konsep yang lebih konkrit. Yaitu dengan mengaktifkan konsep abstrak tersebut bersamaan dengan konsep yang lebih konkrit, yang berkorespondensi dengan konsep abstrak tersebut. Kemudian membangun hubungan antar kedua konsep sehingga konsep

21

Zoltán Kövecses, Metaphor: a practical introduction, Second Edition, (New York: Oxford University Press, 2010), pp. 79.


(35)

yang abstrak tadi dapat dirasakan lewat konsep yang lebih konkrit. Dengan cara ini metafora dapat dipandang sebagai pemetaan dari satu daerah pengalaman ke daerah yang lain. Perlu ditekankan bahwa pemilihan daerah pengalaman yang lebih konkrit tidak sembarangan, tetapi tetap harus memiliki korespondensi logis dengan konsep abstrak yang akan dipahami.

Sebagai contoh konsep penjumlahan dan pengurangan dapat dipahami menggunakan koleksi benda. Diberikan masalah kepada siswa sebagai berikut:

“dalam sebuah kantong terdapat 5 kelereng, ada sekelompok anak yang terdiri

dari 8 orang ingin bermain kelereng. Apakah kelereng yang tersedia cukup untuk sekelompok anak tersebut? Apa yang dilakukan agar masing-masing anak

mendapat satu kelereng?”

Dalam hal ini siswa berhadapan dengan masalah dua himpunan yang berkorespondensi satu-satu. Jelas bahwa kedelapan anak tidak dapat berkorespondensi satu-satu dengan kelima kelereng, akan ada anak yang tidak mendapat bagian. Dengan demikian dapat disimpulkan kelereng yang tersedia tidak cukup. Pertanyaan kedua mengarahkan pada operasi penjumlahan atau pengurangan tergantung cara pandang siswa. Jika siswa mengatakan ambil kelereng lagi berikan kepada anak yang belum mendapat bagian masing-masing satu berarti siswa mengarah pada konsep penjumlahan (5 + 3 = 8). Namun jika siswa berpendapat ada 8 anak dan 5 kelereng maka ada 3 anak yang tidak mendapat jatah berarti anak lebih dekat pada pengurangan (8 – 5 = 3). Dalam hal ini penjumlahan yang dipahami oleh siswa adalah menggabungkan anggota dari dua himpunan beranggota sama ke dalam satu himpunan (himpunan 5 kelereng dengan 3 kelereng agar diperoleh 8 kelereng). Sementara pengurangan adalah mengeluarkan himpunan yang lebih kecil dari himpunan yang lebih besar (diambil lima orang yang telah memiliki kelereng dari delapan orang anak seluruhnya sehingga yang sisa adalah tiga orang anak). Selanjutnya guru tinggal mengarahkan pada konsep yang bersesuaian. Inilah salah satu contoh metafora dasar untuk membangun konsep operasi penjumlahan atau pengurangan.


(36)

Silver, dkk. berpendapat bahwa metafora dapat membantu para murid membentuk hubungan-hubungan antara materi yang belum diketahui dan materi yang sudah diketahui. Metafora juga dapat digunakan untuk membantu para murid memperoleh suatu pemahaman yang lebih mendalam tentang sesuatu yang sudah diketahui dengan memikirkannya melalui suatu cara baru.22 Selain itu, metafora juga dapat dijadikan sebagai alat untuk berfikir, menjelaskan atau menginterpretasikan mengenai ide-ide matematika dan prosesnya melalui langkah-langkah peristiwa nyata, dengan menyertakan objek dan proses sehari-hari atau dengan hal-hal yang telah dikenal.23

Berfikir metaforik atau metaphorical thinking merupakan cara berpikir dengan menggunakan metafora-metafora untuk memahami suatu konsep. Di dalam pembelajaran matematika, penggunaan metafora oleh siswa merupakan suatu cara untuk menghubungkan konsep matematika dengan konsep-konsep yang telah dikenal siswa dalam kehidupan sehari-hari, dimana siswa mengungkapkan konsep matematika tersebut dengan bahasanya sendiri yang menunjukkan pemahamannya terhadap konsep tersebut.

Hendriana berpendapat bahwa berpikir metaforik didefinisikan sebagai suatu proses berpikir untuk memahami dan mengkomunikasikan konsep-konsep abstrak dalam matematika menjadi hal yang lebih konkrit dengan membandingkan dua hal yang berbeda makna, baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan24. Sejalan dengan hal tersebut, Lakoff dan Nunez menjelaskan bahwa ide-ide abstrak dalam pikiran diorganisir melalui metaphorical thinking

yang dikonseptualisasikan dalam bentuk konkret melalui kesimpulan yang tepat dan cara bernalar yang didasari oleh sistem sensori motori. Metaphorical thinking

22

Harvey F. Silver, dkk., Strategi-Strategi Pengajaran: Memilih Strategi Berbasis Penelitian yang Tepat untuk Setiap Pelajaran.. Terj. Ellys Tjo, (Jakarta: Indeks, 2012), h. 145.

23

Mun Ye Lai, Constructing Meanings of Mathematical Registers Using Metaphorical Reasoning and Models, Mathematics Teacher Education and Development Journal, Adelaide, South Australia: Flinders University. Vol. 15.1, pp. 32.

24Heris Hendriana, “Pembelajaran Matemat

ika Humanis dengan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa”, Infinity, Vol 1, No.1, Februari 2012, h. 7.


(37)

merupakan mekanisme kognitif yang fundamental yang memungkinkan pemahaman konsep-konsep abstrak dalam bentuk konsep-konsep konkret.25

Menurut Holyoak dan Thagard, metafora pada metaphorical thinking

bergerak dari suatu konsep yang diketahui siswa menuju konsep lain yang belum diketahui atau sedang dipelajari siswa.26 Melalui proses bermetafora dalam

metaphorical thinking, siswa dilatih untuk melihat hubungan antara pengetahuan yang telah mereka peroleh dengan pengetahuan yang akan diperolehnya, sehingga siswa lebih memahami interelasi antar konsep-konsep yang dipelajari. Selanjutnya melalui metafora ide-ide siswa dapat dipetakan secara kuat dan bermakna ke dalam berbagai konteks yang berbeda.27 Dengan kata lain, dalam metaphorical thinking, siswa dilatih untuk berfikir dengan melihat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang telah mereka miliki dengan pengetahuan yang akan mereka peroleh. Selain itu, siswa juga dilatih untuk menganalogikan suatu model dan interpretasi atas pengetahuan yang mereka bangun berdasarkan metafora-metafora.

Carreira dalam penelitiannnya menyatakan bahwa fokus pada mekanisme yang terlibat dalam metaphorical thinking, asumsi pertama yang harus dibuat yaitu kemungkinan mengidentifikasi dua topik yang berbeda, topik utama (target) dan topik tambahan (asal). Tiap topik bekerja sebagai sistem konseptual ketimbang hanya sebuah elemen yang terputus. Asumsi kedua menyatakan kemungkinan terjadinya pengembangan koneksi dan hubungan antara kedua sistem. Kehadiran topik utama dalam pernyataan metaforik menginduksi atribut khusus pada topik kedua, yang mana membentuk dan menghasilkan kompleks implikasi yang diproyeksikan dalam topik utama. Hasil yang pokok dari metafora adalah memilih, menegaskan, menekankan, dan mengorganisasikan karakteristik dari topik target dengan mengusulkan dan menekankan ide tentang hal-hal yang

25Francesca Ferrara, Bridging Perception and Theory: What’s Role Can Metaphors and Imagery Play, European Research In Mathematics Education III, pp. 2.

26M. Afrilianto, “Peningkatan Pemahaman Konsep dan Kompetensi Strategis Matematis Siswa SMP dengan Pendekatan Metaphorical Thinking”, Infinity, Vol 1, no.2, September 2012, h. 106.

27

A. G. Schink. et al., Structures, Journeys, and Tools: Using Metaphors to Unpack Student Beliefs about Mathematics, School Science and Mathematics, 2008, pp. 594.


(38)

biasanya berlaku pada topik asal. 28 Lebih lanjut Carreira menjelaskan bahwa pernyataan metaforik mencetuskan analogi, akan tetapi ketimbang menjadi penyebab atau alasannya, analogi merupakan hasil dari metafora.29

Berpikir metaforik dalam matematika digunakan untuk memperjelas jalan pikiran seseorang yang dihubungkan dengan aktivitas matematiknya. Konsep-konsep abstrak yang diorganisasikan melalui berfikir metaforik dinyatakan dalam hal-hal konkrit. Berfikir metaforik atau metaphorical thinking memiliki tiga komponen yang meliputi:30

a. Grounding Metaphors, merupakan konseptual metafor yang menyoroti pengalaman sehari-hari terhadap konsep-konsep abstrak.

b. Redefinitional Metaphors, merupakan metafora-metafora yang pada umumnya menggantikan konsep dalam teknik pemahaman.

c. Linking Metaphors, merupakan metafora-metafora dalam matematika yang menyediakan konsep matematika ke dalam konsep matematika yang lain.

Menurut Siler, berfikir metaforik merupakan aktivitas yang merujuk kepada kegiatan yang mengubah sesuatu dari keadaan materi dan makna yang satu ke keadaan yang lain. Proses berfikir metaforik atau metaphorical thinking ini dimulai dengan memindahkan arti dan asosiasi baru dari satu objek atau gagasan ke objek atau gagasan yang lain.31 Dalam hal ini, objek atau gagasan baru yang akan dipelajari dihubungkan dengan objek atau gagasan lain yang lebih dikenal yang berhubungan dengan permasalahan kontekstual, sehingga hal yang baru tersebut dapat lebih dipahami dan dapat diterapkan pada konteks permasalahan lain yang berkaitan. Terdapat empat tahap metaphorical thinking yang dikemukan oleh Siler, diantaranya:32

28Susana Carreira, “Where There’s a Model, There’s a Metaphor: Metaphorical Thinking in Students’ Understandning of a Mathematical Model”, Mathematical Thinking and Learning, Portugal: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 2001, pp. 265.

29 Ibid. 30

R. Nunez, Mathematical Idea Analysis: What Embodied Cognitive Science can Say about the Human Nature of Mathematics, Proceedings of PME 24, Vol. 1, pp. 9.

31

Todd Siler, Think Like a Genius. (New York: Bantam Book, 1999), pp. 7. 32


(39)

1. Koneksi (Connection)

Menghubungkan dengan membandingkan dua atau lebih hal/ide-ide yang akan dipelajari dengan pengalaman sehari-hari atau dengan pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya yang memiliki tujuan untuk memahami sesuatu. 2. Penemuan (Discovery)

Mengeksplorasi perbandingan pada tahap sebelumnya secara mendalam dan menemukan sesuatu yang baru, serta memecahkan persoalan berdasarkan hubungan atau keterkaitan tersebut dengan cara melibatkan pengamatan dan pengalaman dan mengorganisasikan karakteristik dari topik utama dengan didukung oleh topik tambahan dalam bentuk pernyataan-pernyataan metaforik.

3. Penciptaan (Invention)

Menciptakan sesuatu dan membuat pemahaman baru berdasarkan pada tahap koneksi (connection) dan penemuan (discovery). Suatu penemuan memerlukan suatu proses dari menghubungkan sesuatu dengan yang lain, dan juga memerlukan pengamatan. Dalam hal ini, konsep abstrak dihubungkan dan dipahami melalui proses metafora. Kemudian metafor-metafor tersebut didefinisikan kembali sehingga menghasilkan suatu produk atau hasil yang mana merupakan konsep yang sedang dipelajari.

4. Aplikasi (Application)

Menerapkan produk atau hasil pada persoalan atau konteks lain.

Jadi, dapat dikatakan bahwa pada metaphorical thinking materi atau ide-ide matematika yang bersifat abstrak dipindahkan dan dihubungkan dengan materi atau ide-ide yang bersifat konkret (masalah kontekstual), kemudian dibangun keterkaitan diantara keduanya dengan cara memilih dan mengorganisasikan karakteristik masalah kontekstual yang sesuai untuk menjelaskan konsep matematika yang bersifat abstrak.

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, pendekatan metaphorical thinking adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan metafora-metafora untuk menjelaskan dan memahami suatu konsep. Pendekatan metaphorical


(40)

thinking yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan pembelajaran yang menyajikan permasalahan kontekstual yang disusun untuk dipahami, dijelaskan dan diinterpretasikan ke dalam konsep matematis atau sebaliknya, dengan cara menghubungkan dan membandingkan konsep konkrit yang sesuai dengan konsep matematis yang akan dipelajari; mengeksplorasi perbandingan tersebut secara mendalam, membangun keterkaitan dan menemukan konsep yang dimaksud; menghasilkan suatu pemahaman baru berdasarkan hasil temuan; dan mengaplikasikan konsep yang ditemukan ke dalam persoalan atau konteks lain.

Adapun tahapan-tahapan pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini adalahsebagai berikut:

Grounding Metaphors 1. Connection (Koneksi)

a. Guru merancang penyampaian materi yang dimulai dari pemberian masalah kontekstual yang disajikan dalam LKS

b. Siswa diminta untuk menghubungkan atau membandingkan permasalahan tersebut dengan konsep yang akan dipelajari

2. Discovery (Penemuan)

a. Siswa mengeksplorasi perbandingan pada tahap sebelumnya secara mendalam dan diminta untuk mengilustrasikan konsep-konsep utama dari masalah kontekstual yang telah diberikan

3. Invention (Penciptaan)

a. Hasil temuan atau konsep yang ditemukan melalui metafora didefinisikan kembali sesuai dengan materi yang sedang dipelajari

b. Guru dan siswa menyimpulkan kesamaan apa yang terbentuk dari perbandingan konsep-konsep tersebut

4. Application (Aplikasi)

a. Siswa mengaplikasikan atau menerapkan konsep yang telah disimpulkan pada konteks permasalahan lain yang berkaitan atau serupa.


(41)

Redefinitional Metaphors

1. Connection (Koneksi)

a. Guru menyajikan konsep yang sedang dipelajari

b. Siswa diminta untuk membuat metafora mereka sendiri berdasarkan konsep yang disajikan

2. Discovery (Penemuan)

a. Siswa mengeksplorasi perbandingan pada tahap sebelumnya secara mendalam dan diminta untuk mengilustrasikan konsep

3. Invention (Penciptaan)

a. Hasil temuan atau konsep yang ditemukan melalui metafora didefinisikan kembali sesuai dengan materi yang sedang dipelajari

b. Guru dan siswa menyimpulkan kesamaan apa yang terbentuk dari perbandingan konsep-konsep tersebut

4. Application (Aplikasi)

a. Siswa mengaplikasikan atau menerapkan konsep yang telah disimpulkan pada konteks permasalahan lain yang berkaitan atau serupa.

Linking Metaphors

1. Connection (Koneksi)

a. Siswa diminta untuk membandingkan dua soal berbeda yang telah disajikan

b. Siswa diminta mengidentifikasi dan mencari keserupaan apa yang terdapat pada kedua soal tersebut

2. Discovery (Penemuan)

a. Siswa diminta untuk menemukan dan memecahkan persoalan yang disajikan tersebut

3. Invention (Penciptaan)

a. Siswa diminta untuk menuliskan hasil temuan yaitu berupa rumus atau konsep dari kedua soal


(42)

4. Application (Aplikasi)

a. Siswa mengaplikasikan konsep yang telah disimpulkan pada tahap sebelumnya pada konteks permasalahan lain yang berkaitan atau serupa

3. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang umum digunakan di sekolah-sekolah. Pembelajaran konvensional biasanya merupakan pembelajaran dalam konteks klasikal yang sudah terbiasa dilakukan yang sifatnya berpusat pada guru. Dalam hal ini, pembelajaran konvensional yang biasa digunakan di sekolah tempat peneliti akan melaksanakan penelitian dan sifatnya berpusat pada guru yaitu strategi pembelajaran ekspositori.

Strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa. Dalam strategi ini materi pelajaran disampaikan langsung oleh guru. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi itu. Materi pelajaran seakan-akan sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk berpikir ulang.

Strategi pembelajaran ekspositori merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher centered approach). Dikatakan demikian sebab dalam strategi ini guru memegang peranan yang sangat dominan. Melalui strategi ini guru menyampaikan materi pembelajaran secara terstruktur dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan itu dapat dikuasai siswa dengan baik.33

Berikut merupakan langkah-langkah pembelajaran ekspositori:34

a. Persiapan, dalam tahap ini berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran.

33

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2010), h. 179

34


(43)

b. Penyajian, dalam tahap ini guru menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan. Guru berusaha semaksimal mungkin agar materi pelajaran dapat dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh siswa. c. Korelasi, dalam tahap ini guru menghubungkan materi pelajaran dengan

pengalaman siswa untuk memberikan makna terhadap materi pembelajaran. d. Menyimpulkan, adalah tahapan memahami inti dari materi pembelajaran yang

disajikan.

e. Mengaplikasikan, merupakan tahapan unjuk kemampuan siswa setelah menyimak penjelasan dari guru.

B. Hasil Penelitian Relevan

1. M. Afrilianto dengan judul penelitian “Peningkatan Pemahaman Konsep dan Kompetensi Strategis Matematis Siswa SMP dengan Pendekatan

Metaphorical Thinking” menemukan bahwa terdapat perbedaan peningkatan pemahaman konsep dan kompetensi strategis matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Selain itu, siswa menunjukkan respon positif terhadap pelajaran matematika, terhadap pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking, serta terhadap soal-soal pemahaman konsep dan kompetensi strategis matematis. Hal ini dikarenakan penggunaan

metaphorical thinking dalam proses belajar siswa menjadikan belajar siswa menjadi lebih bermakna (meaningful), karena siswa dapat melihat hubungan antara konsep yang dipelajarinya dengan konsep yang diketahuinya, sehingga siswa menyadari bahwa matematika bukanlah pelajaran yang sulit, tidak menarik dan membosankan, tetapi sebaliknya matematika merupakan pelajaran yang sangat menarik dan menyenangkan.35

2. Risqi Rahman dan Samsul Maarif dengan judul penelitian “Pengaruh Metode

Discovery terhadap Kemampuan Analogi Matematis Siswa SMK Al-Ikhsan

35


(44)

Pamarican Kabupaten Ciamis Jawa Barat” menemukan bahwa berdasarkan data penelitian, diketahui bahwa skor rerata kemampuan analogi matematis siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol secara berturut-turut adalah 15,00 dan 14,00. Kemudian hasil pengujian uji-t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor siswa kelas eksperimen dan siswa

kelas kontrol pada taraf signifikansi α = 0,05. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa kemampuan analogi matematis siswa yang belajar menggunakan metode discovery lebih baik dibandingkan dengan siswa yang belajar menggunakan metode ekspositori. Hal ini dikarenakan melalui metode

Discovery siswa dituntut untuk membuat analogi dalam menemukan konsep, prosedur dan prinsip matematika. Selain itu siswa mengaitkan kesamaan (analogi) konsep yang telah mereka dapatkan/ketahui sebelumnya dengan konsep yang sedang dipelajari guna menemukan konsep baru tentang materi yang sedang dipelajari, sehingga sejak awal siswa yang belajar dengan metode

discovery telah terlatih menggunakan analogi dalam menyelesaikan masalah matematika. 36

3. Nurbaiti Widyasari dengan judul penelitian “Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Disposisi Matematis Siswa SMP Melalui Pendekatan

Metaphorical Thinking” menemukan bahwa peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional, khususnya pada indikator kemampuan analogi memperoleh perbedaan rata-rata N-Gain terbesar diantara indikator yang lain yaitu sebesar 0,77. Hal tersebut menunjukkan kemampuan analogi kelas Metaphorical Thinking lebih baik dibandingkan kelas konvensional. Hal ini dikarenakan melalui pendekatan Metaphorical Thinking siswa belajar menganalogikan suatu model dan interpretasi atas

36


(45)

pengetahuan yang mereka bangun. Proses dalam penganalogian tersebut cukup berpengaruh besar terhadap peningkatan kemampuan analogi.37

C. Kerangka Berpikir

Pendekatan metaphorical thinking adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan metafora-metafora untuk menjelaskan dan memahami suatu konsep. Pendekatan metaphorical thinking yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan pembelajaran yang menyajikan permasalahan kontekstual yang disusun untuk dipahami, dijelaskan dan diinterpretasikan ke dalam konsep matematis atau sebaliknya, dengan cara menghubungkan dan membandingkan konsep konkrit yang sesuai dengan konsep matematis yang akan dipelajari; mengeksplorasi perbandingan tersebut secara mendalam, membangun keterkaitan dan menemukan konsep yang dimaksud; menghasilkan suatu pemahaman baru berdasarkan hasil temuan; dan mengaplikasikan konsep yang ditemukan ke dalam persoalan atau konteks lain.

Pendekatan Metaphorical thinking memiliki tiga komponen yaitu

grounding metaphors, redefinitional metaphors dan linking metaphors. Ketiga komponen ini dapat dibentuk melalui empat tahapan proses metaphorical thinking

yang dikemukakan oleh Siler, yaitu connection (koneksi), discovery (penemuan),

invention (penciptaan), application (aplikasi).

Pada grounding metaphor, tahapan pertama yaitu connection (koneksi). Pada tahap ini, guru merancang penyampaian materi yang dimulai dari pemberian masalah kontekstual. Selanjutnya siswa diminta untuk menghubungkan permasalahan yang diberikan dengan konsep yang sedang dipelajari. Tahapan kedua yaitu discovery (penemuan), siswa mengeksplorasi perbandingan pada tahap sebelumnya secara mendalam dan diminta untuk mengilustrasikan konsep-konsep utama dari masalah kontekstual yang telah diberikan. Tahapan ketiga yaitu invention (penciptaan), merupakan hasil temuan siswa berupa konsep yang

37Nurbaiti Widyasari, “Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Disposisi Matematis Siswa SMP melalui Pendekatan Metaphorical Thinking”, Tesis pada Sekolah Pascasarjana UPI Bandung, Bandung, 2013, h. 74 & 77, tidak dipublikasikan.


(46)

sedang dipelajari berdasarkan eksplorasi metafora pada tahapan sebelumnya. Tahapan keempat yaitu application (aplikasi), siswa menerapkan konsep yang ditemukan.

Komponen redefinitional metaphors merupakan kebalikan dari grounding metaphors. Siswa diminta untuk membuat metafora mereka sendiri berdasarkan konsep yang sedang dipelajari (abstrak). Pada kedua komponen ini siswa berlatih menginterpretasikan suatu model dengan analogi yang mereka bangun, sehingga diharapkan kemampuan analogi mereka dapat terasah.

Kemudian pada komponen linking metaphors, tahapan connection

(koneksi) siswa diminta untuk membandingkan dua soal berbeda yang telah disajikan, serta siswa diminta mengidentifikasi dan mencari keserupaan pada kedua soal. Tahapan discovery (penemuan), siswa diminta untuk menemukan dan memecahkan persoalan yang disajikan. Tahapan invention (penciptaan), siswa diminta untuk menuliskan hasil temuan yaitu berupa rumus atau konsep dari kedua soal. Kemudian tahapan application (aplikasi), siswa mengaplikasikan konsep yang telah disimpulkan pada tahap sebelumnya pada konteks permasalahan lain yang serupa. Melalui komponen ini siswa dilatih menyelesaikan masalah matematika berdasarkan keserupaan data atau proses pada soal, sehingga kemampuan analogi matematik siswa diharapkan menjadi lebih berkembang, karena kemampuan penalaran analogi matematik merupakan kemampuan dalam melihat keserupaan dalam dua hal yang berbeda dalam konteks matematika.

Berdasarkan teori yang telah dipaparkan, pendekatan metaphorical thinking ini melatih siswa untuk menemukan kesamaan pada dua hal atau lebih yang berbeda. Hal ini relevan dengan kemampuan penalaran analogi yang ingin dibangun, yaitu kemampuan bernalar dalam membandingkan dua hal yang berlainan dengan melihat kesamaan data, sifat atau proses, dimana perbandingan tersebut dibangun berdasarkan pengetahuan matematik yang dimiliki pada masalah sumber untuk menyelesaikan masalah target dengan memperhatikan kesimpulan dari kesamaan hubungan antara masalah sumber dengan masalah


(47)

target. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa pendekatan metaphorical thinking dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan kemampuan penalaran analogi matematik siswa.

Gambar 2.1

Peta Konsep Kerangka Berpikir Komponen

Tahapan

Pendekatan Metaphorical Thinking Grounding Metaphors (metafor yang menyoroti konsep konkret terhadap konsep abstrak) Linking Metaphors (metafor yang menyediakan konsep matematika

ke dalam konsep matematika yang lain Redefinitional Metaphors (metafor yang menyoroti konsep abstrak terhadap konsep konkret) Invention (menghasilkan suatu pemahaman baru berdasarkan hasil temuan) Discovery (mengeksplorasi perbandingan secara mendalam, membangun keterkaitan dan menemukan konsep yang dimaksud) Connection (Menghubungkan dan membandingkan hal-hal yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang sudah diketahui)sebelum nya Application (mengaplikasik an konsep yang

ditemukan ke dalam persoalan atau

konteks lain yang serupa)

Penalaran Analogi Matematik

(menyelesaikan masalah berdasarkan keserupaan data atau proses)


(48)

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pemaparan kajian teoritik dan kerangka berpikir, maka dapat

dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: “kemampuan penalaran analogi

matematik siswa yang diajar dengan pendekatan Metaphorical Thinking lebih tinggi daripada kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajar


(49)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di SMP Muhammadiyah 5 Jakarta yang beralamat di Jl. KH. Ahmad Dahlan, Matraman, Jakarta Timur, pada kelas IX semester ganjil tahun ajaran 2015/ 2016 yang dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan November 2015.

B.

Metode dan Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Quasi Eksperiment (eksperimen semu). Metode Quasi Eksperiment pada dasarnya sama dengan eksperimen murni, bedanya adalah dalam pengontrolan variabel. Pengontrolannya hanya dilakukan terhadap satu variabel saja, yaitu variabel yang dipandang paling dominan.1 Metode ini dilakukan apabila peneliti tidak dapat mengontrol secara penuh faktor lain yang dapat mempengaruhi variabel penelitian dan peneliti tidak dapat membuat ketentuan pembagian subjek, maka diperbolehkan menggunakan subjek sebagaimana adanya. Dalam pelaksanaannya, diperlukan dua kelompok, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Radomized Subjects Post-Test Only Control Group Design. Dalam penelitian ini terdapat dua kelas yang dipilih secara acak yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen diberikan treatment berupa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metaphorical Thinking. Sedangkan pada kelas kontrol dengan pembelajaran konvensional. Berikut merupakan tabel dengan rancangan penelitian

Radomized Subjects Post-Test Only Control Group Design:2

1

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), cet. VIII, h. 59.

2

Juliansyah Noor, Metode Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 116.


(50)

Tabel 3.1

Rancangan Desain Penelitian

Grup Variabel Terikat Postes

(R) Eksperimen X O1

(R) Kontrol - O2

Keterangan :

R : Random

X : Perlakukan yang diberikan pada kelas eksperimen, yaitu pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking

O1 : Hasil Posttest kemampuan penalaran analogi matematik siswa kelas

eksperimen

O2 : Hasil Posttest kemampuan penalaran analogi matematik siswa kelas

kontrol

C.

Populasi dan Sampel

Populasi adalah kelompok besar dan wilayah yang menjadi lingkup penelitian.3 Sedangkan pada penelitian ini hanya dilakukan terhadap sekelompok anggota populasi yang mewakili populasi. Sekelompok yang mewakili populasi ini yang secara nyata kita teliti dan tarik kesimpulan daripadanya disebut sampel.4

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IX SMP Muhammadiyah 5 Jakarta. Sampel yang akan diambil dalam penelitian ini menggunakan teknik sampel acak klaster (Cluster Random Sampling), yaitu pengambilan anggota sampel dari populasi yang dilakukan dengan merandom kelas. Teknik ini mengambil dua kelas dari tiga kelas yang tersedia yaitu kelas IX-A, IX-B dan IX-C. Satu kelas terpilih yaitu kelas IX-A dengan jumlah siswa 24 orang dijadikan kelas eksperimen yang dalam pembelajarannya menggunakan pendekatan metaphorical thinking, dan kelas yang satu lagi yaitu kelas IX-B dengan jumlah siswa 22 orang dijadikan kelas kontrol yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional.

3

Sukmadinata, op. cit., h. 250. 4


(51)

D.

Teknik Pengumpulan Data

Data diperoleh dari hasil posttest kedua kelompok sampel yang diberikan tes kemampuan penalaran analogi matematik yang sama, yang dilakukan pada akhir pokok bahasan materi yang telah dipelajari. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skor kemampuan penalaran analogi matematik siswa.

Tes kemampuan penalaran analogi matematik diberikan kepada kelas eksperimen yaitu kelas IX-A yang diterapkan dengan pendekatan Metaphorical Thinking dan kelas kontrol yaitu kelas IX-B yang diterapkan dengan pembelajaran konvensional. Tes kemampuan penalaran analogi matematik yang diberikan terdiri dari 6 butir soal berbentuk essai dengan pokok bahasan Bangun Ruang Sisi Lengkung.

E.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes berupa tes akhir (posttest) untuk mengukur kemampuan penalaran analogi matematik siswa. Intrumen tes tersebut diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan pokok bahasan bangun ruang sisi lengkung sebanyak 6 butir soal berupa tes essai, dimana tes yang diberikan kepada kedua kelas tersebut sama.

Pedoman penskoran diperlukan untuk memperoleh data kemampuan berpikir analogi matematik siswa pada tiap butir soal. Adapun kriteria penskoran kemampuan penalaran analogi matematik yang digunakan diadaptasi dari penelitian Samsul Ma’arif5 seperti pada Tabel 3.2 berikut ini:

5

Risqi Rahman dan Samsul Maarif, “Pengaruh Penggunaan Metode Discovery terhadap Kemampuan Analogi Matematis Siswa SMK Al-Ikhsan Pamarican Kabupaten Ciamis Jawa Barat”, Infinity, Vol. 3, No.1, Februari 2014, h. 45.


(52)

Tabel 3.2

Kriteria Penilaian Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Analogi Matematik

Skor Kriteria

4 Dapat menjawab semua aspek pertanyaan tentang analogi dan dijawab dengan benar dan jelas atau lengkap

3 Dapat menjawab hampir semua aspek pertanyaan tentang analogi dan dijawab dengan benar

2 Dapat menjawab hanya sebagian aspek pertanyaan tentang analogi dan dijawab dengan benar

1 Menjawab tidak sesuai atas aspek pertanyaan tentang analogi atau menarik kesimpulan salah

0 Tidak ada jawaban

Nilai Akhir = x SkorIdeal(100)

Skor Total

Skor Perolehan

Agar soal instrumen tes dapat dikatakan memenuhi syarat soal yang baik dilakukan proses uji validasi, daya pembeda soal, taraf kesukaran dan reabilitas.

1.

Validitas Instrumen

Instrumen tes yang digunakan dalam penelitian perlu dilakukan uji validitas agar ketetapan alat penilaian terhadap konsep yang dinilai sesuai. Sebelum dilakukan uji validitas instrumen tes penelitian ke siswa (validitas empiris), terlebih dahulu peneliti melakukan validitas instrumen tes penalaran analogi matematik siswa melalui metode validitas konten oleh para ahli dengan memberikan form penilaian instrumen tes penelitian kepada 1 dosen pendidikan matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1 guru matematika SMP Muhammadiyah 5 Jakarta, 4 guru matematika SMP Negeri 97 Jakarta, 2 guru


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)