EKSISTENSI KOBUNG (LANGGAR) DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MADURA DI DESA BUKEK KECAMATAN TELANAKAN KABUPATEN PAMEKASAN.

(1)

EKSISTENSI

KOBUNG

(LANGGAR) DALAM KEHIDUPAN

MASYARAKAT MADURA DI DESA BUKEK KECAMATAN

TELANAKAN KABUPATEN PAMEKASAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial

(S.Sos) dalam Bidang Sosiologi

Oleh:

GITA TRI UTARI

NUR AINI ANZARSARI

NIM:B05212007

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

J U R U S A N I L M U S O S I A L

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Nur Aini Anzarsari, 2015, Eksistensi Kobung (Langgar) dalam Kehidupan Masyarakat

Madura di Desa Bukek Kecamatan Telanakan Kabupaten Pamekasan, “Skripsi Program

Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya.”

Kata Kunci: Eksistensi Kobung, Kehidupan Masyarakat Madura

Dari berbagai permasalahan yang ada, peneliti membatasi rumusan masalah yang hendak dikaji dalam skripi ini ialah sebagai berikut, Bagaimana Latar Belakang munculnya bangunan Khobung dalam kehidupan masyarakat Madura desa Bukek Kecamatan Telanakan Kabupaten Pamekasan. Namun dari satu pembahasan tersebut, terdapat sub pembahasan yaitu, bagaimana fungsi kobung dalam kehidupan masyarakat Desa Bukek Kecamatan Telanakan Kabupaten Pamekasan.

Untuk menjawab rumusan masalah di atas, metode yang digunakan oleh peneliti adalah metode kualitatif deskriptif, dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara dan dokumentasi. Metode ini dipilih agar diperoleh data penelitian yang bersifat mendalam dan menyeluruh mengenai eksistensi Kobung dalam kehidupan masyarakat desa Bukek kecamatan Telanakan kabupaten Pamekasan. Teori yang digunakan dalam menganalisis data yang diperoleh adalah teori interaksionisme simbolik oleh G.H Mead.

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa; (1) Dengan sedikitnya keberadaan Masjid di desa Bukek ini menjadi salah satu faktor yang melatar belakangi masyarakat Madura membangun Kobung tersebut di Rumah pribadi mereka. Masyarakat desa Bukek juga percaya bahwa betapa pentingnya shalat itu dilakukan secara berjama’ah dari pada shalat yang dilakukan sendiri-sendiri atau perseorangan. (2) Kobung adalah bangunan yang merupakan bentuk pengekspresian nilai agama mereka dalam kehidupan sehari-hari. dalam fungsinya, Kobung berfungsi sebagai pusat aktivitas laki-laki, yaitu transfer nilai religi, sebagai tempat bekerja pada siang hari, tempat menerima tamu, tempat istirahat dan tidur laki-laki, serta dipakai untuk melakukan ritual keseharian. Kobung juga menjadi gambaran dari nilai-nilai tradisi luhur masyarakat Madura. Nilai luhur yang ditekankan berupa kesopanan, kehormatan, dan agama.


(6)

ABSTRACT

Nur Aini Anzarsari, 2015, The existence of Khobung (Langgar) in Maduranese social life

at Bukek, Telanakan, Pamekasan regency, “Thesis, Sociology Department, Social and Political Science Faculty. UIN Sunan Ampel Surabaya.”

Key Words : The existence of Khobung, Maduranese social life

From the various existing problems, the researcher limited formulation of the problems reviewed in this thesis as, How the background of Khobung building appearance is in Maduranese social life at Bukek, Telanakan, Pamekasan regency. Yet from one of the discussion, there is sub discussion, it is how the function of Khobung is in Maduranese social life at Bukek, Telanakan, Pamekasan regency.

To answer formulation of the problems above, the researcher applied descriptive qualitative method by observation data collection technique, interview and documentation. This method is chosen in order to get research data deeply and comprehensively on Khobung existence in Maduranese social life at Bukek, Telanakan, Pamekasan regency. The theory used in analyzing data got is symbolic interactionism theory by G.H Mead.

From the result of this research is found that; (1) The less of mosque existence in Bukek village became one of background factors why Maduranese people built Khobung

around their own house. Bukek people also believed how important prayer is done together than done lonely. (2) Khobung is a building as symbol to their expression of religious values in daily life. In it’s function, Khobung has a function as central activity of men, as religious values transfer, as work place in the noon, as place to receive guests, as rest place of men, and also it is used to do daily activity. Khobung is the values of the ancestral traditions of the Maduranese. The noble values emphasized here is about decency, honor, and religion.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

MOTTO ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN PERTANGGUNG JAWABAN PENULISAN SKRIPSI ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB1 : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Definisi Konseptual ... 8

F. Telaah Pustaka ... 11

G. Metode Penelitian ... 14

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 14

2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

3. Pemilihan Subyek Penelitian ... 16

4. Tahap-Tahap Penelitian ... 17

5. Teknik Pengumpulan Data ... 18

6. Teknik Analisis Data... 21

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 22

H. Sistematika Pembahasan ... 25

BAB II : TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK SEBAGAI ALAT ANALISA ...26

A. Interaksionisme Simbolik ... 29

a. Interaksionisme Simbolik George H. Mead... 34

b. Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer ... 41

BAB III : EKSISTENSI KOBUNG DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MADUR ..47

A. Profil Desa Bukek ... 47

1. Kondisi Geografis ... 47

2. Kondisi Demografi... 49

3. Kondisi Topografi ... 49

a. Jenis Pekerjaan atau Mata Pencaharian ... 50

b. Kondisi Pendidikan ... 53


(8)

B. Eksistensi Kobung Dalam Kehidupan Masyarakat Madura di Desa Bukek

Kecamatan Telanakan Kabupaten Pamekasan ... 57

a. Latar Belakang Munculnya Bangunan Kobung dalam Kehidupan Masyarakat Desa Bukek ... 59

b. Fungsi Kobung dalam Kehidupan Masyarakat Desa Bukek... 75

C. Eksistensi Kobung Dalam Perspektif Interaksionisme Simbolik ... 85

BAB IV : PENUTUP ... 94

A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 99 LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Pedoman Wawancara 2. Jadwal Penelitian

3. Surat Keterangan (bukti melakukan penelitian) 4. Biodata Peneliti


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Pemilihan Subyek Penelitian ... 17 Tabel 3.1. Jumlah Penduduk Tiap Tahun Desa Bukek ... 49 Tabel 3.2. Pendidikan Masyarakat Desa Bukek ... 54


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Peta Desa Bukek ... 48

Foto 3.2. Model Permukiman Tanean Lanjang Desa Bukek ... 59

Foto 3.3. Bangunan Kobung Sebagai Praktik Belajar Mengajar ... 77


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Madura dicitrakan sebagai masyarakat yang sangat memperhatikan nilai-nilai keagamaan. Tradisi keberagamaan dipelihara dan dipegang teguh dengan sepenuh hati di kalangan anggota masyarakat. Sistem nilai dan ajaran Islam itu meresap ke akar budayanya dan menjadi pedoman hidup sehari-hari. Sebagai yang tersirat dalam nasehat terpuji yang masih relevan dan menjadi keharusan sebagai jati diri orang Madura seperti, nilai kesopanan, nilai kehormatan, dan nilai agama. Melihat hal ini terdapat pada pemberian tingkatan kehormatan yaitu, “Buppa’ Babbu’

Guru rato” menjadi cermin yang menggambarkan realitas ini.

Dengan memposisikan bapak dan ibu sebagai figur kecil yang sangat di hormati bagi individu (manusia) Madura. Dan dalam konteks sosial, dalam konteks sosial, figur utama sebagai panutan yang sangat dihormati adalah kiai. Bagi orang madura kiai adalah Guruh/guru yang mempunyai jasa yang besar dalam kehidupannya, dengan cara mendidik dan mengajar pengetahuan agama, serta memberikan tuntunan dan pedoman dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Setelah kiai berulah para ratoh, yakni pejabat, birokrasi agama.1

1

Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa (yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 4


(12)

2

Seorang peneliti Madura, Kuntowijoyo melihatnya dalam persepektif ekologis masyarakat Madura. Menurutnya, Madura didominasi oleh ekosistem tegalan dibandingkan persawahan. Dimana ekologi tegal ini sangat tidak menguntungkan dari segi pertumbuhan produksi pertanian yang sangat bergantung kepada curah hujan. Dalam ekosistem sawah dimensi ekonomisasi lebih cepat terjadi, tidak demikian dengan tegalan. Dengan sistem ekologis tegal, orang Madura dalam mengelolah tanah pertaniannya tidak melibatkan keterlibatan banyak orang, biasanya hanya cukup dengan satu anggota keluarga.

Ekologi tegal telah membuat pola permukiman tersendiri yang unik. Permukiman biasanya dibuat di dekat tegal. Yang menempatipun hanya terbatas kalangan dari keluarga pemilik tegal ataupun penggarap tegal. Hal itu membuat pola permukiman di Madura seperti terdiri dari dusun-dusun kecil yang biasa disebut Tanean Lanjeng.

Lembaga religius dan kultural yang hanya sedikit menyumbangkan dalam kehidupan sosial di desa. Dengan melihat hampir semua kelurga memiliki langgar pribadi sebagai tempat pembinaan keagamaan tersendiri dan jarang digunakan untuk seluruh desa. Keberadaan Masjid di desa hanya digunakan untuk shalat jum’at. Dengan kondisi demikian tentu menambah sulitnya sulitnya masyarakat desa membentuk satuan sosial.

Dalam pelaksanaan shalat Jum’at, dalam ketentuan syariat tidaklah syah sembahyang Jum’at bila tidak dihadiri 40 orang jama’ah. Nilai keagamaan ini tentunya memaksa orang Madura untuk membangun masjid


(13)

3

desa. Keharusan agamalah yang membuat orang Madura menjadi sebuah masyarakat dengan membentuk organisasi sosial yang didasarkan pada agama dan otoritas kiai. Dalam konteks inilah menurut Kuntowijoyo, agama dan kiai di Madura menjadi “organizing principle”. Agama

memberikan “collective sentiment” melalui upacara-upacara ibadah dan ritual serta sistem simbol yang satu. 2

Dalam konteks solidaritas sosial dengan istilah mechanic solidarity

yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Dalam sosiologi, masyarakatnya disebut paguyuban, semua orang akan guyub (mengikuti saja) apa-apa yang sudah menjadi ketentuan bersama. Ketika ada perang, pemberontakan dan perlawanan, orang bergerak atas dasar solidaritas mekanis, tanpa menanyakan alasan dan tujuan gerakannya. Demikian caranya, maka kiai berhasil menggerakan santri, petani, dan warga desa.3

Dalam Islam pembangunan Masjid menjadi manifes bagi masyarakat muslim dan keadaan Islam dalam tiap ruang dan waktu. Dengan banyaknya pembangunan masjid, maka bermakna banyak muslim yang berada di sekitar masjid-masjid yang di bangun itu. Dan banyak pula muslim yang memakai masjid dalam kehidupannya. Apabila sedikit pengunjung masjid yang banyak itu, berarti bahwa dalam kuantitas orang (yang mengaku) Islam yang banyak itu hanya sebagian kecil yang

2

Kuntowijoyo, Perubahan Soaial Dalam Masyarakat Agraris Madura (Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002), 60

3


(14)

4

sungguh muslim. Apabila kurang dilakukan pembangunan, berarti kurang pula kegiatan Islam.4

Dalam tatanan permukiman masyarakat Madura di desa Bukek terdapat Tanean lanjang, bangunan ini adalah model permukiman adat madura yang terdiri dari kumpulan rumah dengan kepala keluarga yang mengikatnya. Letaknya sangat berdekatan dengan lahan garapan mata air atau sungai. Tanean lanjang terdiri dari beberapa rumah yang dibangun berdekatan dan hanya memiliki satu halaman memanjang.

Halaman tersebut biasanya dimanfaatkan sebagai tempat menjemur hasil panen, tempat bermain anak-anak, dan tempat di adakannya acara hajatan perkawinan, atau upacara kematian. Rumah disusun berdasarkan hirarki dalam keluarga. Barat-timur adalah arah yang menunjukan urutan tua muda. Susunan barat-timur terletak rumah orang tua, anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicit dari keturunan perempuan. Di ujung paling barat terletak langgar.

Tanean lanjang akan dilengkapi dengan langgar (di Pamekasan disebut kobhung), Tempat para keluarga beribadah. Ibadah shalat berjamaah biasanya dilakukan setiap kali masuk waktu shalat dimana sesepuh tertua akan memimpin jamaah shalat yang diikuti oleh anak, cucu dan menantu. Demikian juga, jika salah satu keluarga menggelar acara do’a bersama, maka tempat utama bagi para tetamu adalah kobhung. Sama halnya jika ada salah satu dari anggota keluarga yang meninggal dunia,

4

Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Antara,1975), 246


(15)

5

kobhung menjadi tempat yang utama untuk melakukan shalat jenazah.

Kobhung selalu berada di ujung barat, selain merupakan arah kiblat juga memudahkan mengawasi keamanan.5

Kobung diyakini masyarakat Madura sebagai bangunan yang wajib ada disetiap rumah. mereka cenderung menyamakan fungsi langgar dengan kobung yang mereka miliki, sementara pengertian langgar itu sendiri adalah sebutan yang dikhususkan sebagai lembaga non formal tempat mengaji Al-Qur’’an dan ilmu keislaman klasik lainnya. Bangunan ini ada di rumah kiai atau guru ngaji. Kobung juga dipercaya sebagai tempat pewarisan nilai-nilai luhur masyarakat madura seperti nilai kesopanan, nilai kehormatan, dan nilai-nilai agama. Kesopanan merupakan salah satu adat atau tradisi yang penting bagi orang madura. Kesopanan itu berkaitan dengan pemenuhan aturan yang sudah menjadi adat kebiasaan yang meliputi hubungan antar generasi, pangkat, jenis kelamin, baik secara sosial maupun pribadi. Mereka yang melanggar aturan ini akan mendapatkan cemoohan dan mereka akan diklaim sebagai ta’ tao battonna

langghar, yakni orang yang tidak pernah masuk langgar dan mengaji, sehingga dia tidak tahu tatakrama dan kesopanan.

Kobung menjadi salah satu upaya orang Madura dalam menjaga kehormatan keluarga terutama wanita. Salah satu fungsi kobung yang lain adalah sebagai tempat penginapan tetamu laki-laki baik yang sudah kenal dan lebih-lebih yang tidak dikenal. Pantang bagi orang madura menerima

5Samsul Ma’arif,


(16)

6

para tamu didalam rumah kecuali tamu perempuan. Ini semata-mata upaya preventiv agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, semisal main mata atau bahkan terjadinya perselingkuhan yang pada akhirnya hilangnya kehormatan keluarga.

Menurut Hegel dan Marx dalam buku Dialektika Ruang Publik , “apa yang sekarang menjadi otoritatif, mendapatkannya tidak selalu lewat paksaan atau kekerasan dari kebiasaan adat istiadat, jadi sungguh-sungguh berasal dari sebuah wawasan yang mendalam dan argumentasi”. Dalam pemikiran manusia ketika bercakap-cakap dengan istri atau sahabat-sahabatnya di perapian ruang tamu adalah satu hal, sementara percakapan yang berlangsung dikerumuna orang, dimana siapapun dapat mendudkung satu gagasan dan menolak yang lain adalah hal lain.6 Dimana beliau juga berbicara tentang opini dan pandangan subjektif menyediakan sebuah ilmu pengetahuan yang berbeda. Hal ini terletak pada pengekspresian makna dan pokok pengertiannya secara tidak ambigu, gamblang dan terbuka.

Masyarakat Madura khususnya Desa Bukek melihatnya kobung

sebagai ruang publik dan bukan lagi menjadi ruang privat yang hanya bisa di pakai untuk batas keluarganya saja. Dengan pengekspresian makna yang mereka punya tentang kobung itu di dapat bukan dari paksaan adat istiadat yang ada. Akan tetapi sudah menjadi kebiasaan masyarakat madura dalam mengartikan hal tersebut secara gamblang dan terbuka.

6

Jurgen Hebermas, Ruang Publik Sebuah KajianTtentang Kategori Masyarakat Borjuis (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), 168


(17)

7

Berdasarkan pemaparan diatas, perlu adanya kejelasan dalam hal ini dengan melihat fenomena yang terjadi di desa Bukek kecamatan Telanakan kabupaten Pamekasan. Bangaimana sebenarnya eksistensi dan fungsi kobung itu dalam kehidupan masyarakat desa Bukek. Dimana agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya. nilainya adalah agama tapi simbolnya adalah kebudayaan.

B. Rumusan Masalah

Pada penelitian yang akan dilakukan peneliti ini terkait dengan eksistensi Kobung dalam kehidupan masyarakat Madura desa Bukek mempunyai rumusan masalah yakni:

1. Bagaimana Latar Belakang munculnya bangunan Khobung dalam kehidupan masyarakat Madura desa Bukek Kecamatan Telanakan Kabupaten Pamekasan?

2. Apa fungsi kobung dalam kehidupan masyarakat Desa Bukek Kecamatan Telanakan Kabupaten Pamekasan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Ingin mengetahui Latar Belakang munculnya bangunan Khobung

dalam kehidupan masyarakat Madura desa Bukek Kecamatan Telanakan Kabupaten Pamekasan.

2. Ingin mengetahui fungsi kobung dalam kehidupan masyarakat desa Bukek kecamatan Telanakan kabupaten Pamekasan.


(18)

8

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan khazanah keilmuan di bidang Ilmu sosial dan Politik, khususnya Sosiologi dalam mata kuliah Agama dan Lintas Budaya.

2. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan dapat pula menjadi pengembangan bagi masyarakat Madura kedepannya.

E. Definisi Konsep

1. Eksisitensi

Kualitas-kualitas menonjol bagi pribadi-pribadi, bukan kualitas manusia yang abstrak atau alam atau dunia secara umum.7 Maksudnya, kualitas yang menonjol pada diri manusia. Seperti masyarakat desa Bukek ini, mereka mempunyai keyakinan atau pemikirannya sendri terhadap bangunan Kobung itu sendiri. Dengan pentingnya keberadaan Kobung dalam suatau rumah.

Dimana fungsi Kobung tidak hanya sebagai tempat untuk menunaikan ibadah Shalat, namun terdapat fungsi-fungsi lain yang menurut mereka penting. Misal, memfungsikan langgar sebagai tempat menerima orang luar (laki-laki) dengan beranggapan

7


(19)

9

menjaga keamanan bagi keluarganya khususnya perempuan, istri atau anak perempuannya.

2. Kobung (langgar)

Surau atau langgar awalnya merupakan unsur kebudayaan asli dalam rangka kepercayaan asli pada suatu suku. Dimana fungsi dari bangunan ini adalah sebagai tempat bertemu, berkumpul, berapat dan tempat tidur pemuda-pemuda. Setelah islam masuk di Indonesia bangunan ini menjadi bangunan Islam. Yang awalnya bagunan kudus penduduk (surau/langgar) menjadi bangunan kudus Islam. Karena dilihatnya fungsi dari langgar itu sendiri banyak menampung konsepsi kebudayaan mesjid yang diberikan Nabi dulu yang bisa diterapkan sampai saat ini di era modern. 8

Dalam arsitekturnya surau atau langgar dapat sama dengan masjid. Hanya saja keduanya memiliki perbedaan dalam peralatan dan perlengkapan. Dan dalam fungsi menjalankan shalat pada hari-hari besar ataupun shalat berjamaah yang mengharuskan melebihi dari 40 jama’ah maka masjid mengambil alih fungsi surau atau langgar tersebut sebagai syarat sah dalam hukum Islam.

Pada masyarakat Madura yang masih dalam keadaan asli, bangunan yang sejenis masih menjalankan fungsi kebudayaan dan kepercayaan asli.

8

Sudi Gazalba, Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Antara,1975), 291


(20)

10

Sama halnya di desa Bukek, Kobung menjadi Tempat para keluarga beribadah, ibadah shalat berjamaah biasanya dilakukan setiap kali masuk waktu shalat dimana sesepuh tertua akan memimpin jamaah shalat yang diikuti oleh anak, cucu dan menantu. Demikian juga, jika salah satu keluarga menggelar acara do’a bersama, maka tempat utama bagi para tetamu adalah

kobhung. Sama halnya jika ada salah satu dari anggota keluarga yang meninggal dunia, kobhung menjadi tempat yang utama untuk melakukan shalat jenazah. Kobhung selalu berada di ujung barat, selain merupakan arah kiblat juga memudahkan mengawasi keamanan.

3. Masyarakat

Dalam bahasa Inggris masyarakat adalah society yang berasal dari kata socius artinya kawan, sedangkan kata masyarakat berasal dari bahasa arab yaitu Syirk, yang artinya bergaul, adanya saling bergaul ini tentu ada bentuk-bentuk aturan hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia seorang melainkan disebabkan oleh unsur-unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan.

Ralph Linton menyatakan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri


(21)

11

mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas yang dirumuskan dengan jelas.9

F. Telaah Pustaka

1. Kajian Pustaka

Dalam kehidupan bermasyarakat manusia, tercipta ruang sosial. ruang sosial dibedakan sesuai dengan sifat sosialisasinya. Ruang bersama merupakan salah satu bagian ruang sosial tradisional Nusantara. Yang menandakan adanya kebersamaan pada masyarakat Madura. Hal ini terlihat pada pola permukiman yang ada di Madura yaitu Tanean Lanjang. Pola permukiman Tanean Lanjang merupakan suatu kumpulan rumah yang terdiri atas keluarga yang mengikatnya. Susunan rumah disusun berdasarkan hirarki dalam keluarga. Barat-timur adalah arah yang menunjukan urutan tua muda. Sistem yang demikian mengakibatkan ikatan kekeluargaan menjadi sangat erat. Sedangkan hubungan antar kelompok sangat renggang karena letak permukiman yang menyebar dan terpisah.

Lembaga religius dan kultural yang hanya sedikit menyumbangkan dalam kehidupan sosial di desa. Dengan melihat hampir semua kelurga memiliki langgar pribadi sebagai tempat pembinaan keagamaan tersendiri dan jarang digunakan untuk seluruh desa. Keberadaan Masjid di desa

9


(22)

12

hanya digunakan untuk shalat jum’at. Dengan kondisi demikian tentu menambah sulitnya sulitnya masyarakat desa membentuk satuan sosial.10

Terbentuknya permukiman tradisional Madura diawali dengan sebuah rumah orang tua, yang disebut dengan Tongguh. Tongguh adalah rumah cikal bakal atau leluhur suatu keluarga. tongguh dilengkapi dengan Langgar, kandang, dan dapur. Posisi Tongguh selalu ada di ujung barat sesudah langgar. Langgar selalu berada diujung barat sebagai akhiran masa bangunan yang ada.11

Dalam setiap Tanean Lanjang akan di sertai dengan bangunan langgar yang di fungsikan sebagai tempat peribadatan mereka sebagi umat Islam. banguan ini ada di setiap rumah masyarakat Madura. Hal ini dimaksudkan Mereka dalam pengekspresian nilai agama mereka dengan cara-cara mereka seperti mengekspresikan pada bangunan, cara beribadah, sikap mereka, dan lain sebagainya. Dalam konteks tersebut membuat jalinan akulturasi antara budaya lokal dan agama yang bersifat sakral dalam konteks aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Jika dilihat dari aspek aksitekturnya langgar yang dimiliki masyarakat Madura berbentuk bangunan berkolong dengan kontruksi kayu jati. Atapnya berbentuk kampung dengan penutup genteng. Atap emperan di depannya terdapat lantai kolong yang lebih rendah dari lantai utamanya, kesan demokratis di dalamnya tampak karena bangunan ini terbuka. langgar yang dimiliki masyarakt Madura memberikan gambaran khas bagi

10 Kuntowijoyo, Perubahan Soaial Dalam Masyarakat Agraris Madura (Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002), 60

11Samsul Ma’arif,


(23)

13

Masyarakat Madura yang memiliki sifat terbuka dan gampang beradaptasi dengan orang lain dan masyarakat lingkungan sekitar.

Begitu pentingnya keberadaan kobung dalam kehidupan masyarakat desa Bukek ini, sehingga ada anggapan bahwa tanean tanpa kobung di anggap kurang lengkap atau istilah maduranya camplang atau tak gennah. Dalam kehidupannya fungsi kobung itu sendiri menjadi simbol masyarakat madura, terkait dengan tata letak kobung itu sendiri di ujung depan. Selain berfungsi untuk mengawasi keadaan di luar juga menjadi ciri khas masyarakat madura yang mempunyai sifat keterbukaan dan memiliki interaksi yang sangat baik antar tetangga dan masyarakat sekitar.

Makna khusus yang di berikan oleh masyarakat desa Bukek ini tercermin pada sifat teori interaksionisme simbolik itu sendiri, bahwa nilai atau makna sebuah simbol tergantung kepada kesepakatan orang-orang atau kelompok yang mempergunakan simbol itu. makna suatu simbol hanya dapat di tangkap melalui cara-cara atau proses penafsiran. Makana dari suatu simbol tertentu dalam proses interaksi sosial tidak begitu saja bisa langsung diterima dan dimengerti oleh semua orang, melainkan harus terlebih dahulu ditafsirkan. Dan suatu simbol tergantung konteks situasi dan daerah dimana simbol itu dipergunakan.

Seseorang membangun sebuah langgar, sebutan langgar ini pasti membawa kita sebagai orang surabaya di pakai sebagai shalat lima waktu dan tempat untuk belajar ilmu agama saja. Dan kepemilikan bangunan langgar ini dipergunakan untuk umum. Lain halnya di Madura langgar


(24)

14

yang dimiliki mereka berbeda dengan langgar umum lainnya ada persamaan dan ada perbedaannya. Dimana langgar ini dimiliki oleh pribadi yang dibangun dan dipergunakan untuk keluarganya saja. Fungsi langgar di madura bukan hanya untuk shalat lima waktu saja akan tetapi bangunan ini dimanfaatkan mereka untuk menerima tamu laki-laki, sebagai tempat peristirahatan, dan lain sebagainya. Hal ini bisa disimpulkan bahwa simbol itu tergantung pada konteks situasi dan kondisi di suatu tempat, seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Penelitian mengenai eksistensi Kobung (Langgar) sebelumnya belum pernah dilakukan, tetapi ada beberapa peneliti membahas tentang: 1. Peneliti Toyyibah, 2014 tentang “Tanean Lanjeng di Madura: Studi

Tentang Tata Permukiman Islam di Cangkreng Lenteng Kabupaten Sumenep Jawa Timur”. Pada skripsi ini menjelaskan tentang permukiman tanean lanjang di Madura, dimana tata permukiman umat Islam menggunakan tata budaya Madura dan Islam. Seperti roma

(rumah) dilihat dari sisi madura roma tempat mengatur ekonomi, sedangkan Islam tempat bertemunya dengan keluarga inti (intim). Kemudian langger (musholla) dilihat dari sisi Madura tempat bertemunya orang dalam dengan orang luar, dari sisi Islam tempat bertemunya dengan tuhan. Yang membedakannya, penulis hanya melihat dari satu arah yaitu eksistensi dan fungsi pada langgar


(25)

15

2. Peneliti Aji Bayu Kusuma, 2013 tentang “Konsepsi Langgar Sebagai Ruang Sakral Pada Tanean Lanjang”. Pada skripsi ini ada kesamaan menjelaskan langgar menjadi ruang yang sakral pada bangunan Tanean Lanjang.di mana fungsi langgar sebagai aktivitas laki-laki , yaitu sebagai tempat menerima tamu laki, sebagai tempat istirahat laki-laki. Perbedaannya terletak pada fokus penelitiannya, dimana peneliti ini lebih kepada bentuk aksitektur dan elemen tradisional permukiman Madura, dan metode menarik kesimpulan untuk memahami pentingnya pemakanaan langgar pada permukiman Tanean Lanjang.

3. Peneliti Noer Hasan, 2008 tentang “Kobung (Bangunan Tradisional Pewaris Nilai Masyarakat Madura Tempo Dulu)”. Dalam Tesis ini ada kesamaan pembahasan yakni fungsi dari kobung itu sendiri. Yang membedakan penulis ialah, tentang fokus dari pembahasan dalam tesis ini adalah nilai-nilai tradisi yang diperthankan melalui adanya bangunan kobung tanpa adanya pembahasan tentang latar belakang mengapa mereka membangun Kobung selain dari segi agama, seperti keinginan masyarakat desa Bukek ini yang mereka inginkan hanyalah bisa shalat berjama’ah namun dengan masalah pekerjaan mereka sebagai petani yang tidak bisa menentukan kapan mereka bisa pulang tepat waktu. Juga dengan keterbatasan Masjid yang membuat mereka ingin membangun bangunan tersebut.


(26)

16

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan jenis Penelitian a. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi. Dalam pendekatan ini peneliti diharuskan untuk mengamati serta memehami bagaimana cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. menguraikan budaya secara menyeluruh, dari hal yang bersifat material dan yang bersifat abstrak. Seperti alat-alat, pakaian, bangunan, dan sebagainya, pengalaman, kepercayaan, norma, dan sistem nilai kelompok yang diteliti.12

Dalam mengamati dan memahami masyarakat, peneliti mengikuti orang-orang yang di teliti dalam kehidupan sehari-hari, dengan melihat apa yang mereka lakukan, kapan, dengan siapa, dan dalam keadaan apa, dan menanyai mereka mengenai tindakan mereka. Maka dari itu peneliti menggunakan persepektif etnografi dengan paradigma definisi sosial.

Paradigma dalam sebuah penelitian adalah suatu pandangan yang menjadi landasan untuk mencari jawaban atas realitas yang ada, serta hubungan antara peneliti dengan realitas, dan bagaimana cara peneliti mengetahui realitas yang ada.13

12

Dedy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 161

13

Anis Fuad Kandung Sapto Nugroho, Panduan Praktis Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), 2


(27)

17

b. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dan menghasilkan data deskiptif. Karena bermaksud untuk mendalami dan menghayati suatu obyek. Dimana penelitian ini lebih menekankan proses dari pada hasil dari obyek penelitian.

Moleong menjelaskan metode penelitian kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau lisan dari prilaku orang-orang yang diteliti.14 Di samping itu penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang menilai dan mengungkapkan permasalahan dengan apa adanya sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan.

Alasan peneliti memilih metode deskriptif kualitatif adalah

pertama, bertujuan untuk mengetahui eksistensi Kobung (langgar) dalam kehidupan masyarakat Madura di desa Bukek kcamatan Telanakan kabupaten Pamekasan. Kedua, untuk memperoleh data yang akurat, peneliti masih perlu untuk terjun ke lapangan langsung dan memposisikan dirinya sebagai instrumen penelitian, sebagai salah satu ciri penelitian kualiatif.

2. Lokasi dan waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 3-4 bulan di Desa Bukek Kecamatan Telanakan Kabupaten Pamekasan. dan penelitian ini mengambil lokasi di desa Bukek karena peneliti mempunyai kerabat

14

Anis Fuad Kandung Sapto Nugroho, Panduan Praktis Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), 54


(28)

18

yang ada di desa tersebut. Dan menjadi salah satu dari pemilik Kobung

(langgar) dan berfungsi sampai saat ini, dengan sedikit memahami keadaan di desa tersebut. Hal ini memudahkan peneliti mendapatkan data yang akurat.

a. Lokasi

Lokasi penelitian ini adalah tempat dimana penelitian akan dilakukan. Dalam penelitian ini peneliti mengambil lokasi di Desa Bukek Kecamatan Telanakan Kabupaten Pamekasan Madura.

b. Waktu

Peneliti pada saat penelitian menggunakan waktu selama 3 bulan yang dimulai pada tanggal 10 November 2015.

3. Pemilihan Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini subyek penelitian yang dipilih oleh peneliti adalah lebih fokus kepada pemilik kobung (langgar), tokoh masyarakat yang ada di desa tersebut, masyarakat sekitar Masjid, dan pengurus Masjid. Yang peneliti anggap mampu dan sanggup untuk menjelaskan tentang tema terkait dengan penelitian ini agar data yang diperoleh juga diharapkan mengahsilkan data yang valid.

Berikut ini adalah nama-nama informan:

Tabel 1.1 : Daftar Narasumber

No Nama Umur Status

1 Subairi 45 Tahun Ustad

2 Syifa 27 Tahun Mahasiswi

3 Aji 89 Tahun Kiai

4 Jauzi 89 Tahun Kiai

5 Sunandi 28 Tahun Guru

6 Ali 80 Tahun Kiai


(29)

19

8 Drai 78 Tahun Pemilik Kobung

9 Suwito 50 Tahun Pemilik Kobung

10 Udi 67 Tahun Pemilik Kobung

11 Syafi’i 80 Tahun Pemilik Kobung

12 Suhairi 89 Tahun Tokoh Masyarakat

13 Darma’i 80 Tahun Ustad

1 Parman 60 Tahun Takmir Masjid

15 Junaidi 76 Tahun Pemilik Kobung

16 Ajiz 89 Tahun Ustad

17 Wati 68 Tahun Ustdzah

18 Saleh 89 Tahun Pemilik Kobung

19 Rais 70 Tahun Pemilik Kobung

20 Iim 30 Tahun Guru

21 Dzaroni 68 Tahun Pemilik Kobung

22 Ira 31 Tahun Guru

23 Azizah 17 Tahun Siswi

24 Sofiyah 42 Tahun Pemilik Kobung

25 Fatimah 67 Tahun Pemilik Kobung

4. Tahap-Tahap Penelitian

Penelitian ini peneliti menggunakan model penelitian Bogdan yaitu Pra Lapangan, Kegiatan Lapangan, dan Analisis Intensif, dengan gambaran penelitian sebagai berikut:

a. Tahap Pra Lapangan

Pada tahap ini peneliti melakukan berbagai persiapan baik yang berkaitan dengan konsep penelitian maupun persiapan perlengkapan yang dibutuhkan. Persiapan tersebut berkaitan dengan: penyususnan perencanaan penelitian, pemilihan lapangan penelitian, pengurusan pada pihak terkait.

b. Tahap Pekerjaan Lapangan

Pada tahap ini peneliti lebih banyak berkutat pada pencarian dan pengumpulan data yang ada di lapangan melalui berbagai teknik


(30)

20

yang digunakan. Pada tahap ini peneliti akan berusaha mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang eksistensi Kobung (langgar) dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan Kobung

(langgar) di desa Bukek Kecamatan Telanakan Kabupaten Pamekasan dengan memilih dan memanfaatkan informasi serta mendokumentasi berbagai kegiatan penelitian di lapangan.

c. Tahap Analisis Intensif

Setelah semua data dari lapangan terkumpul, peneliti akan melakukan analisis terhadap data yang ada untuk kemudian diambil data yang tepat sesuai dengan permasalahan penelitian.

5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode observasi, interview (wawancara) dan dokumentasi. Dalam hal ini jelasnya peneliti menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

a. Observasi

Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dal kulit. Oleh karena itu, observvasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu dengan pancaindra lainnya. Seseorang


(31)

21

yang sedang melakukan pengamatan, tidak selamanya menggunakan pancaindra mata saja, tetapi selalu mengkaitkan apa yang dilihatnya dengan apa yang dihasilkan oleh pancaindra lainnya, seperti apa yang ia dengar, apa yang ia cicipi, apa yang ia rasakan dari penciumannya bahkan dari apa yang ia rasakan dari sentuhan-sentuhan kulitnya.

Suatu kegiatan pengamatan baru dikategorikan sebagai kegiatan pengumpulan data peneliti apabila memiliki kriteria sebagai berikut:

1. Pengamatan digunakan dalam penelitian dan telah direncanakan secara sistematik.

2. Pengamatan harus berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan.

3. Pengamatan tersebut dicatat secara sistematik dan dihubungkan dengan proposisi umum dan bahkan dipaparkan sebagai suatu yang hanya menarik perhatian 4. Pengamatan dapat dicek dan dikontrol mengeni validitas

dan reliabilitas.15

Dalam hal ini peneliti menggunakan dua cara observasi yaitu:

Pertama , observasi langsung, dimana peneliti melakukan pengamatan yang dilakukan secara langsung pada objek yang diobservasi, dalam arti bahwa pengamat tidak menggunakan “media

15

Burhan Bungin, metodologi Penelitian Sosial, (Surabaya: Airlangga University Perss), 142.


(32)

22

media transparan”. Hal ini dimaksudkan bahwa peneliti secara langsung melihat atau mengamati apa yang terjadi pada obyek penelitian.

Kedua, setelah proses pengamatan secara langsung peneliti dalam pengumpulan data melakukan pencatatan langsung hasil observasi agar bisa dijadikan bahan penulisan proposal skripsi.16

Observasi dilakukan di daerah dimana masyarakatnya masih banyak yang memakai atau mempunyai bangunan Kobung, yakni di Madura seperti yang telah dijelaskan pada bagian lokasih dan waktu. b. Wawancara

Metode wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai. Dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Intinya bahwa disetiap penggunaan metode ini selalu muncul beberapa hal yaitu, pewawancara, responden, materi wawancara, dan pedoman wawancara.

Koentjaraningrat menambahkan bahwa menjalankan wawancara yang dapat menarik sebanyak mungkin keterangan dari informan dan dapat menumbuhkan rapport yang sebaik-baiknya

16

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada Univercity Perss, 1991), 95


(33)

23

memang merupakan suatu kepandaian yang hanya dapat dicapai dengan banyak pengalaman.17

c. Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari sesesorang. Serta membaca literatur-literatur yang terkait dengan studi. Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil-dalil atau hukum-hukum dan nilai-nilai yang berhubungan dengan masalah penelitian.

Dokumen-dokumen yang bisa menguat data yang diperoleh dari observasi dan wawancara. Terkait hal ini peneliti mengambil dokumen seperti gambar bangunan Kobung, Masjid, dan model tatanan masyarakat Madura khususnya desa Bukek yaitu Tanean Lanjang.

6. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber,, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi), dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh. Analisis data adalah proses mencari data dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan masyarakat terutama

17


(34)

24

pada masyarakat yang masih mepunyai dan memfungsikan kobung

(langgar) di desa Bukek, catatan lapangan selama proses penelitian, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data dalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari. Dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Keabsaan dalam penelitian, sering hanya ditentukan pada uji aliditas dan relibilitas. Sedangkan pada penelitian kualitatif kriteria utama terhadap data hasil penelitian adalah, bersifat, alid, reliabilitas, dan objektif. Validitas merupakan derjat ketepatan antara kenyataan yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Terdapat dua macam aliditas penelitian. Yaitu validitas internal dan aliditas eksternal. Validitas internal berkenaan dengan derajat akurasi desain penelitian dengan hasil yang dicapai.

Validitas eksternal berkenaan dengan derajat akurasi apakah hasil penelitian dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada populasi di mana sampel tersebut diambil. Atau bisa diartikan bahwa hal penelitian tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang dijadikan sebagai objek penelitian. Reliabilitas berkenaan dengan derajat konsistensi dan stabilitas data ata temuan. Objektivitas berkenaan dengan derajat kesepakatan antar banyak orang terhadap suatu data.


(35)

25

Dalam penelitian kualitatif dibutuhkan pengecekan keabsahan data agar peneliti ini dapat dipertanggung jawabkan. Adapun keabsahan data yang digunakan adalah:

1. Memperpanjang Keikutsertaan

Peneliti harus melakukan penggalian data dilapangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seorang peneliti metode kualitatif membutuhkan waktu yang panjang. Dengan keaslian data yang didapatkan dapat membangun tingkat kepercayaan yang tinggi pada hasil penelitian. Peneliti juga akan mendapatkan bahwa untuk mempelajari keadaan lapangan yang berkaitan dengan penelitian yang sedang dilaksanakan.

Teknik ini memudahkan peneliti untuk terbuka pada pengaruhi fenomena yang sedang diteliti.

2. Keikutsertaan Pengamatan

Teknik ini dikemukakan untuk memahami pola perilaku, situasi, kondisi, dan proses tertentu sebagai pokok penelitian. Hal tersebut berarti peneliti secara mendalam serta tekun dalam mengamati berbagai faktor dan aktifitas tertentu.

Proses yang berkesinambungan tersebut yang menjadi peneliti mudah menguraikan permasalahan dengan menunjang data yang alid dan sesuai. Ketekunan pengamatan ini bermaksud menentukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan dari pada


(36)

26

hal tersebut secara rinci, atau dengan dengan kata lain penelit i hendaknya mengdakan pengamatan dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol. Kemudian faktor tersebut ditelaah secara rinci sampai pada suatu seluruh faktor yang telah ditelaah sudah bisa dipahami dengan cara yang biasa. 3. Trianggulasi

Berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan susatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yan berbeda, hal ini dicapai dengan jalan:

1) Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dilakukan orang secara pribadi.

2) Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian denagn apa yang dikatakan sepanjang waktu.

3) Membandingkan keadaan pada persepektif seseorang dengan berbagai pendapat orang lain.

4) Membandingkan hasil observasi dengan isi sesuatu dokumen yang berkaitan.

a. Trianggulasi dengan metode terdapat dua strategi yaitu:

1) Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data.

2) Pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dan metode yang sama.


(37)

27

H. Sistimatika Pembahasan

Agar penelitian ini sistematis dan mudah dibaca maka sistematika pembahasan dijabarkan dengan urutan:

BAB pertama berisi Pendahuluan. Bab ini merupakan deskripsi yang menjelaskan tentang objek yang diteliti, menjawab pertanyaan what, kegunaan penelitian serta alasan penelitian dilakukan. Oleh karena itu, maka bab ini terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi Konseptual, Telaah Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.

BAB kedua berisi Teori Perubahan Sosial. Dalam bab kajian teori ini, peneliti memperhatikan relevansi teori yang akan digunakan dalam menganalisis masalah yang akan di pergunakan guna adanya implementasi judul penelitian EKSISTENSI KOBUNG (LANGGAR) DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MADURA DI DESA BUKEK KECAMATAN TELANAKAN KABUPATEN PAMEKASAN.

BAB ketiga berisi Latar belakang munculnya bangunan Kobung

dalam kehidupan masyarakat Madura khususnya desa Bukek. Dalam bab penyajian data, peneliti memberikan gambaran tentang data-data yang diperoleh. Penyajian data dibuat secara tertulis dan dapat juga disertakan gambar, tabel atau bagian yang mendukung data.

Dalam menganalisis data, peneliti dapat mengemukakan kecenderungan-kecenderungan yang ada, pola-pola berdasarkan


(38)

28

kategori atau tipologi yang disusun oleh subjek untuk menjelaskan dunianya.18 Dalam bab ini peneliti juga memberikan gambaran tentang data-data yang dikemas dalam bentuk analisis deskripsi. Setelah itu akan dilakukan penganalisaan data dengan menggunakan teori yang relevan, yakni terkait EKSISTENSI KOBUNG DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MADURA DI DESA BUKEK KECAMATAN TELANAKAN KABUPATEN PAMEKASAN.

BAB keempat berisi Penutup. Dalam bab penutup ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian menjadi elemen penting bab penutup. Disamping itu, adanya saran dan rekomendasi dari hasil penelitian ada pada bab penutup ini.

18

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer (Jakarta : Rajawali Pers, 2001), 248.


(39)

29

BAB II

TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK SEBAGAI ALAT ANALISIS

Sebagai obyek kajian sosiologi adalah masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok-kelompoknya. Kelompok tersebut mencangkup: keluarga, etnis/ suku bangsa, komunitas pemerintahan, dan berbagai organisasi sosial, agama, politik, budaya, bisnis dan organisasi lainnya.

Thomas khun adalah seorang ahli alam yang mencoba memberikan suatu konsep yang memudahkan mereka mempelajari suatu disiplin ilmu. Dalam karyanya tentang The Structure of Scientific Revolution

tahun 1962. Yang sangat mempengaruhi perkembangan ilmu sosiologi pada saat itu. Istilah ini kemudian di populerkan oleh beberapa tokoh yaitu Robert Friedrich dengan bukunya Sosiology of Sosiology tahun 1970. Selanjudnya diikuti oleh Lodahl dan Cordon tahun 1972, Philips tahun 1973, Effrat tahun 1972 serta Friendrichs sendiri tahun 1972 a dan tahun 1972 b.1

Yang menjadi tujuan Khun dalam konsep ini adalah untuk menentang asumsi atau pemikiran dikalangan ilmuan pada saat itu tentang perkembangan ilmu pengetahuan. Para ilmuan beranggapan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan itu terjadi secara komulatif. Menurut Khun

1

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 3


(40)

30

hal itu tidak benar adanya, Khun beranggapan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan itu terjadi secara revolusi. Perkembangan ilmu pengetahuan ini sebagai akibat dari revolusi. Dimana perkembangan ilmu pengetahuan dalam kondisi tertentu akan mengalami perubahan pengembangan di dalamnya.

Menurut Khun paradigma sosiologi dilihatnya dari konsep exemplar yang dimilkinya. Dimana hasil-hasil pengembangan ilmu pengetahuan yang diterima secara umum adalah yang memperoleh kedudukan sebagai exemplar. Sebagai contoh, Emile Durkheim sosiolog dari prancis dengan paradigma fakta sosialnya, paradigma definisi sosial yang dirintis oleh Max Weber dimana ia terkenal sebagai sosiolog ternama di jerman. Dan paradigma perilaku sosial yang dikembangkan oleh Burrhus Frederic Skinner. Ada sedikit masalah yang berbau politis dalam kategorisasi ini. Dan dunia mengakui 3 sosok pembangun fondasi sosiologi yaitu, Emile durkhem, Max Weber dan Karl Marx.

Ritzer mempaparkan elemen-elemen yang memebentuk tiga paradigma besar dalam sosiologi. Paradigma fakta sosial, teori-teori yang berada dilingkup tersebut adalah teori fungsional struktural, teori konflik, dan teori sistem. Yang menjadi Subject matter Durkhem adalah fakta sosioal, hal ini terlihat dari karyanya The Rules of Sociological Metbod tahun 1895 dan

Suicide tahun 1897. Ia melihatnya struktur dan institusi sosial dalam skala yang besar, dimana proposi fakta sosial itu terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai keluarga,


(41)

31

pemerintah dan sebagainya. Metode yang dipakai lebih kepada perbandingan sejarah atau bisa juga kuesioner wawancara.

Paradigma definisi sosial, yang menjadi exemplar pada

paradigma ini adalah dari karya Weber. Dengan analisanya tentang tindakan sosial (social action). Konsep yang dipaparkan Weber sangat berbeda dengan konsep Durkheim. Ia tidak memisahkan antara struktur sosial dengan peranata sosial, justru keduanya membantu dalam pembentukan tindakan manusia. Yang di dalam diri manusia itu sendiri terdapat arti atau makna. Teori-teori yang masuk kedalam paradigma ini adalah teori aksi (action theory), interaksionisme simbolik (simbolic interaksionism), dan fenomenologi (phenomenology). Dimana metode yang dipakai dalam paradigma ini adalah observasi atau pengamatan, dan tidak hanya itu mereka juga bisa menggunakan kuesioner dan wawancara.

Dalam paradigma dengan pendekatan sosiologi, periode utama sejarah manusia dapat dipandang sebagai perangkat paradigma tertentu dalam sistem kepercayaan, yakni definisi yang jelas tentang realitas kehidupan fisik dan sosial.2

Gambaran Weber dan Mead tentang tingkah laku masyarakat dalam paradigma definisi sosial ini terdapat pada bagaimana seseorang berpikir dan menghasilkan karya yang di dasari oleh hubungan sosial. dimana masyarakat digambarkan sebagai sejumlah hubungan dan nilai dengan proses sosialisasi dan interaksi. Untuk individu digambarkan sebagai orientasi nilai-nilai utama yang muncul dalam konteks masyarakat secara khusus.

2

Graham C. Kinloch, perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 57


(42)

32

A. Interaksionisme Simbolik

Teori interaksionisme simbolik ini berkembang pertama kali di Universitas Chicago yang dikenal sebagai aliran Chicago. Tokoh besar dari teori ini adalah Jhon Dewey dan Charles Horton Cooley adalah filosof yang semula mengembangkan teori interaksionisme simbolik di Universitas Michigan. Dewey yang pindah ke universitas Chicago mempengaruhi beberapa orang tokoh disana.

Para pemikir tersebut memberikan pemikirannya yang bertujuan untuk mengembangkan perspektif ini:

1. Georg Simmel, di dalam bukunya yang berjudul “Conflict and The Web of Group Affiliations” (1922/1955). Menurutnya kepribadian

manusia dapat muncul dan dibentuk oleh kelompok dan budaya dimana ia hidup. Dimana dia berpikir dan bertingkah laku yang didapat dari pengaruh keanggotaannya dalam kelompok tertentu. 2. William James, menurutnya manusia mempunyai kemampuan untuk

meliht dirinya sebagai obyek. Self kemampuan itu memungkinkan terjadinya pengembangan dalam sikap dan perasaan dari dirinya sendiri dan lebih lanjut ia bisa membentuk tanggapan-tanggapan yang ditujukan kepada dirinya sendiri sebagai proses membentuk cara-cara mengenali dunia sekitarnya.

3. Charles Horton Cooley, ia menjelaskan dua hal tentang self. Pertama, dia melihat self sebagai menjadi suatu proses dimana individu melihat dirinya sendiri adalah sebagai obyek dan bersamaan dengan obyek lainnya dalam ruang lingkup sosialnya. Kedua, komunikasinya dengan orang lain akan memungkin munculnya self itu sendiri. Dengan terjadinya interaksi dengan orang lain, dimana seorang individu akan dapat menafsirkan gerak-gerik orang lain dan demikian dia dapat melihat dirinya berdasarkan sudut pandang orang lain. Mereka


(43)

33

membayangkan bagaimana orang lain menilai mereka. Dengan demikian mereka membentuk gambaran-gambaran tentang diri sendiri. Cooley menamakan proses ini “looking glass self” (diri

berdasarkan penilaian orang lain). Dia juga mengakui bahwa self

muncul dari interaksi berdasarkan konteks kelompok. Dilah yang mengembangkan konsep tentang kelompok primer yang cukup menentukan perkembangan kepribadian seseorang.

4. John Dewey, yang menjadi pendukung utama pragmatisme, dia memusatkan perhatiannya pada proses penyesuaian diri manusia dengan dunia. Menurutnya di dalam diri manusia mempunyai keunikan, keunikan ini dilihat dari proses penyesuaian diri dengan kondisi-kondisi hidupnya. Ia menegaskan bahwa yang unik dalam diri manusia adalah kemampuannya untuk berfikir. Selama hidupnya manusia berusaha untuk memahami kesadaran manusia. Konsep yang seperti ini banyak mempengaruhi Herbert Mead, ia telah menunjukan bahwa pikiran timbul dari interaksi dengan dunia sosial.3

Teori ini berasal dari berbagai sumber tetapi tidak ada satupun sumber yang dapat memberikan pernyataan tunggal isi dari teori ini. Tetapi ada satu pemikiran yang memaparkan bahwa ide dasar teori ini bersifat menentang behaviorisme radikal yang dipelopori oleh J.B Watson. Dimana hal ini tercermin dari gagasan tokoh sentral teori interaksionisme simbolik yaitu G.H Mead yang bermaksud untuk membedakan teori ini dengan teori beaviorisme radikal itu.4 Dalam pengertiannya behavior adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia secara obyektif dari luar. Sedang kan Mead dari interaksionisme simbolik, mempelajari

3

Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prestasi Pustaka,2007), 97 4

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 51


(44)

34

tindakan sosial dengan mempergunakan teknik itrospeksi untuk dapat mengetahui barang sesuatu yang melatar belakangi tindakan sosial itu dari sudut actor.

Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses interaksi.

Teori ini menolak pandangan paradigma fakta sosial dan paradigma prilaku sosial (social behavior) dengan alasan yang sama. Karna keduanya tidak mengakui arti penting kedudukan individu. bagi paradigma fakta sosial, individu dipandangnya sebagai orang yang terlalu mudah dikendalikan oleh kekuatan yang berasal dari luar dirinya seperti kultur, norma dan peran-peran sosial. Mereka tidak melihat bahwa didiri manusia mempunyai kepribadian sendri. Sedangkan paradikma perilaku sosial melihat tingkahlaku manusia sama-sama ditentukan oleh suatu rangsangan yang datang dari luar dirinya. Dengan melupakan bahwa manusia mampu menciptakan dunia sendiri.

Prinsip dasar teori ini adalah:

1. Tak seperti binatang, manusia memiliki akal untuk berfikir 2. Kemampuan berfikir dibentuk oleh interaksi sosial


(45)

35

3. Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka yang khusus itu.

4. Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan berinteraksi.

5. Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi.

6. Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan,sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif mereka dan kemudian memilijh satu di antara serangkaian peluang tindakan itu. Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat.5

Berbeda dengan hewan manusia mempunyai otak untuk mengembangkan pikiran. Dimana interaksionisme simbolik ini tidak membeyangkan pikiran sebagai benda, sesuatu yang memiliki struktur fisik, tetapi lebih membayangkan sebagai proses yang berkelanjutan. Hal ini yang membedakan manusia dengan hewan, yang mana hewan hanya bisa melakukan tukar menukar isyarat yang di dalamnya akan terjadi aksi dan reaksi. Namun hal tersebut tidak bermaksud untuk memberikan suatu pesan yang akurat.

Yang kedua, kemampuan berpikir manusia dikembangkan dari proses interaksi (sosialisasi). Yang mana hal ini ditujukan untuk mengembangkan cara hidup manusia itu sendiri. Dimana dalam proses ini manusia akan menerima berbagai informasi, menyusun, dan menyesuaikan informsi itu dengan kebutuhan mereka sendiri.

5


(46)

36

Selanjutnya, manusia akan mempelajari suatu simbol atau makana yang didapatnya dari proses sosialisasi tersebut. Selanjutnya mereka juga bisa menanggapi tanda-tanda atau simbol-simbol dengan cara berfikir. Tanda-tanda atau simbol-simbol mempunyai artinya sendiri, yang mana simbol ini merupakan aspek penting yang memungkinkan manusia untuk bertin dak menurut cara-cara yang khas yang dilakukan manusia itu sendiri (kemampuan berfikir khusus).

Makna dan simbol merupakan dampak dari tindakan dan interaksi manusia. Simbol atau arti memberikan ciri-ciri khusus pada tindakan sosial manusia yang mana melibatkan aktor tunggal dan pada interaksi sosial manusia dengan melibatkan dua orang aktor atau lebih yang terlibat dalam tindakan sosial tersebut. Dalam proses interaksi sosial inilah manusia secara simbolik mengkomunikasihkan arti terhadap orang lain yang terlibat. Dimana orang lain akan menafsirkan simbol komunikasi itu dan mengorientasikan tindakan balasan mereka berdasarkan penafsiran mereka.

Mereka juga mampu mengubah arti atau simbol yang mereka dapatkan dari proses interaksi tersebut. Hal ini dikarenakan manusia juga mempunyai hak untuk membuat suatu pilihan dengan cara berpikir mereka yang berbeda. Orang tidak harus menyetujui arti dan simbol yang dipaksakan terhadap mereka. Dalam penafsiran mereka sendiri, manusia mampu membentuk arti baru dan deretan arti baru terhadap situasi yang


(47)

37

mereka rasakan. Mereka juga mampu membuat pilihn yang unik dan bebas.

Kemampuan aktor untuk membuat perbedaan ini , dimana mereka melihat pada fenomena “jaringan sosial”. dalam jaringan sosial ini tidak melihat pada struktur sosial yang di dasari oleh suatu paksaan dalam suatu struktur. Melainkan lebih melihat dari sebagai hubungan sosialnya memberkahi individunya dengan arti dan menggunakannya untuk tujuan pribadi dan kolektif.

Teori ini memiliki spektrum pemikiran yang beragam. Antara George Herbert Mead dan Herbert Blumer, yang menjadi tokoh utama teori ini, ternyata memiliki segi-segi persamaan dan perbedaannya. Konsep sosialitas Mead dipengaruhi oleh teori relativitas Einstein dan prinsip-prinsip teori evolusi Darwin. Sementara itu, konsep-konsep yang dikembangkan Blumer adalah beberapa yang mengacu pada gurunya yaitu Mead. Selain itu, Blumer mendapat pengaruh kuat dari aliran pragmatisme filsafat, terutama dari Jhon Dewey.

a. Interaksionisme Simbolik George H. Mead

Dalam bukunya yang berjudul Mind, Self, Society, dalam buku ini Mead lebih memperhatikan bagaiman pemikiran itu muncul setelah masyarakat. Yang artinya keseluruhan sosial mendahului pemikiran individual secara logika maupun temporer. Bagi Mead mustahil jika tanpa didahului adanya kelompok sosial.


(48)

38

Mead adalah pemikir yang sangat penting dalam sejarah interaksionisme simbolik. Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Yang menjadi penting dalam pemikiran Mead adalah:

Pentingnya makna bagi perilaku manusia

a. Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain terhadap mereka.

b. Makan yang diciptakan dalam interaksi antar manusia. c. Makna dimodofikasi melalui proses interpretif. . Pentingnya konsep mengenai diri

a. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.

b. Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku. Hubungan antara individu dan masyarakat

a. Orang dan kelompok- kelompk dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial.

b. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

Mead dalam menganalisis suatu tindakan hampir sama dengan pendekatan behavioris dengan memusatkan perhatian pada rangsangan yang juga disebut stimulus dan tanggapan atau response. Tetapi, stimulus disini tidak menghasilkan respon manusia secara otomatis dan tanpa pikiran. Stimulus yang dipikirkan Mead adalah sebuah kesempatan atau peluang untuk bertindak, bukan sebagai paksaan atau perintah. Dalam hal


(49)

39

ini Mead mencoba mengidentifikasi empat basis dan tahap tindakan yang saling berhubungan. Dengan melihat dari perbedaan antara hewan dengan manusia.

Yang pertama adalah Impuls (dorongan hati), dimana dengan adanya rangsangan yang spontan muncul dari dirinya atau dari luar dirinya (lingkungan) yang mendorong actor untuk melakukan sesuatu terhadap rangsangan itu. Terkait dengan perbedaan manusia dengan hewan, ia mencontohkan ketika actor (hewan maupun manusia) merasakan lapar maka secara spontan dan tanpa pikir akan memberikan respon atas impuls tersebut. Akan tetapi ada kemungkinan besar pada actor manusia akan memikirkan reaksi yang tepat. Manusia akan mempertimbangkan dan mengantisipasi akibat reaksinya itu untuk situasi saat ini dan masa depan. Hal itu ia dapat dari dalam dirinya, ada juga yang di dapat dari luar dirinya atau liangkungan sekitarnya. Dimana ia menghadapi suatu masalah dari lingkungannya yang harus diatasi oleh octor tersebut. Seperti, jika ia merasa lapar dan di dalam lingkungan tersebut tidak ditemukannya sesuatu yang bisa dimakan atau keterbtasan makanan. Hal ini dapat menimbulkan dorongan bagi actor untuk bertindak. Konsep dari Mead tentang melibatkan aktor dan lingkungan.

Yang kedua, persepsi (perception). Dimana aktor manusia mempunyai hak untuk menyelidiki dan beraiksi terhadap rangsangan yang ia dapat dari luar. Mereka akan menerima sekaligus akan berfikir sejenak untuk memahami dan menilai stimuli tersebut. Menurut keyakinan Mead,


(50)

40

manusia tidak hanya tunduk pada rangsangan yang ia dapatkan dari luar, mereka juga aktif untuk memilih ciri-ciri rangsangan dan memilih dari sekumpuln rangsangan.

Yang ketiga, manipulasi (manipulation). Setelah aktor memahami implus dari dirinya dan objek tersebut, langkah selanjutnya adalah memanipulasi objek atau mengambil tindakan yang berkenaan dengan objek tersebut. Tahap ini merupakan hal yang penting dalam proses tindakan agar tanggapan tidak diwujudkan secara spontan atau tanpa adanya proses berpikir. Dalam proses ini memungkinkan aktor untuk merenungkan berbagai macam tanggapan dari luar dirinya sebagai salah satu pertimbangannya.

Yang keempat, konsumsi (consumation), setelah sebelumnya aktor mempertimbangkan tindakannya barulah aktor bisa memutuskan atau mengambil tindakan yang memuaskan dorongan hati yan sesungguhnya.6

Pandangan Mead tentang isyarat (gesture) adalah gerakan organisme pertama yang bertindak sebagai rangsangan khusus yang menimbulkan tanggapan (secara sosial) yang tepat dari organisme kedua.7

Begitupun pandangan Mead terhadap simbol-simbol yang signifikan. Menurutnya simbol yang signifikan yang dimiliki manusia adalah suara dalam bentuk bahasa. Dimana fungsi dari bahasa itu sendiri adalah menggerakan tanggapan yang sama di pihak individu yang gerbicara maupun pihak lainnya. Hal ini bisa sangat mudah untuk merangsang orang

6

George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, 2005), 276

7


(51)

41

yang berbicara dan yang mendengarkan. simbol disini beda dengan tanda. Makna sebuah tanda biasanya identik dengan panca indra, sedangkan simbol bisa abstrak.

Simbol adalah sesuatu yang lepas dari apa yang disimbolkan, karena komunikasi manusia itu tidak terbatas pada ruang, penampilan atau sosok fisik, dan waktu di mana pengalaman inderawi itu berlangsung. Sebaliknya manusia dapat berkomunikasi tentang objek dan tindakan jauh di luar batas waktu dan ruang. Manusia mempunyai daya khayal dan memilki kesepakatan bersama akan pengertian suatu simbol.

Mengingat teori Mead ini adalah hanya melalui simbol yang signifikan dalam bentuk bahasa manusia bisa berfikir, satu hal yang memebedakannya dengan hewan.8

Kaum Interaksionisme simbolik menggunakan istilah makna dan penafsiran pada tahapan manusia yang komplek. Yang di dalamnya melibatkan simbol-simbol dan kesadaran, tetapi mereka juga dapat menghindari istilah tersebut pada level yang non-sombolis. Akan tetapi dalam pemikiran Mead posisi makna terletak pada proses sosial secara menyeluruh yang di dalamnya tidak meletakan pemikiran dalam wilayah yang terpisah. Dalam proses sosialah manusia bisa mengkomunikasikan dan juga membentuk objek pemikirannya.9

Mind (pikiran), Guna mempertahankan keberlangsungan suatu

kehidupan sosial, maka para aktor harus menghayati simbol-simbol yang

8

George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, 2005), 279

9

Irving M. Zetlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss, 1998), 344


(52)

42

sama. hal itu berarti bahwa mereka harus mengerti bahasa yang sama. proses-proses berpikir, beraksi, dan berinteraksi menjadi mungkin karena simbol-simbol yang penting dalam kelompok sosial itu mempunyai arti yang sama dan membangkitkan reaksi yang sama pada orang yang menggunakan simbol-simbol itu maupun pada orang yang bereaksi terhadap simbol-simbol tersebut.

Mead juga menekankan pentingnya fleksibilitas dari akal budi itu. Hal ini memungkinkan terjadinya interaksi walaupun dalam suatu kondisi tertentu orang tidak mengerti arti dari simbol yang diberikan. Maereka akan menerka-nerka atau mencari tahu akan simbol yang sudah diberikan sehingga itu akan memungkinkan terjadinya suatu interaksi. Hal ini membuktikan bahwa sifat dari akal budi itu sendiri adalah bersifat fleksibel dari pikiran. Dengan singkat Mead beranggapan bahwa Berpikir adalah suatu proses individu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan memilih dan menggunakan symbol-simbol yang bermakna. Melalui proses interaksi dengan diri sendiri itu, individu memilih mana diantra stimulus yang tertuju kepadanya akan ditanggapinya. Dengan demikian, individu tidak secara langsung menanggapi stimulus,tetapi terlebih dahulu memilih dan kemudian memutuskan stimulus yang akan ditanggapinya.

Self (kedirian), dalam hal ini Mead melihatnya dari bagaimana kemampuan manusia mengembangkan akal budi itu sendiri. Dalam arti ini

self bukanlah suatu obyek melainkan suatu proses yang mempunyai kemampuan untuk memberikan jawaban ataupun tanggapan kepada diri


(53)

43

sendiri sebagaimana orang lain juga memberikan jawaban atau tanggapan tersebut. Kemampuan untuk memberikan jawaban sebagaimana aturan-aturan, norma-norma, hukum memberikan jawaban kepadanya. Untuk mengambil bagian dalam percakapan sendiri dengan orang lain. Dengan kemampuan untuk menyadari apa yang sedang dikatakannya dan kemampuan untuk menentukan apa yang harus dilakukan pada tahap berikutnya.

Hal ini ditunjukannya dengan penegasan “I” dan “Me”. Dimana “I” menjadi subyek dan “Me” sebagai obyek. “I” adalah diri yang mempunyai sifat non-reflektif. Dimana ia merespon pada suatu prilaku tanpa adanya refleksi dan pertimbangan. Dan untuk “Me” adalah kebalikan dari “I”. Jika di dalam suatu aksi dan reaksi itu ditemukan sedikit pertimbangan, pikiran, atau refleksi, maka pada saat itu “I” menjadi “Me”.10 Dapat disimpulkan bahwa, faktor I dalam kehidupan individu sangat menentukan proses perubahan baik di level individu dan masyarakat pada umumnya.

Society (masyarakat), beda dengan pandangan Durkhem atau Marx yang melihat masyarakat secara luas atau dalam strukturnya yang makro. Dia hanya melihat masyarakat ada sebelum individu dan proses mental atau proses berpikir muncul dari masyarakat.

Analisis Mead tentang masyarakat, menggabungkan kajian fenomena mikro dan makro dari masyarakat. Mead mengatakan ada tiga

10


(54)

44

unsur dalam masyarakat yaitu individu biologis, masyarakat mikro, dan masyarakat makro.

Pada awalnya, konsep individu biologis dimaknai oleh Mead sebagai individu yang polos dan belum mendapatkan pengaruh apa-apa dari lingkungannya. Dan ketika individu itu mulai memasuki wilayah masyarakat yang mikro, maka individu itu akan terpengaruh dalam perilakunya. Dan masyarakat makro itu sendiri terbentuk dari serangkaian kompleks dari perilaku individu yang dipengaruhi oleh lingkungan mikro dari individu itu sendiri, seperti keluarga. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengaruh antara perilaku individu dan masyarakat baik mikro dan makro berhubungan timbal balik.

Med tetap konsisten dalam pemikirannya tentang karakter dialektika interaksi manusia dengan lingkungannya. Dimana manusia berhak untuk menentukan lingkungannya dan dengan waktu bersamaan pula lingkungan akan menentukan dirinya.11

b. Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer

Menurut Blumer, yang menjadi pokok pikiran interaksionisme simbolik ada tiga, yaitu: tindakan manusia terhadap sesuatu atas dasar makna, dan makna itu berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain, serta makna itu bisa dirubah melalui proses penafsiran yang di gunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya.12 Hal ini

11

Irving M. Zetlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss, 1998), 359

12

I.B Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,2012), 115


(55)

45

berhubungan dengan ketiga bagian dari Mind, Self, and Society dari Mead. Titik- tolak pemikiran Mead adalah diskusi mengenai ciri-ciri terpenting yang memisahkan manusia dengan binatang.

Menurut Blumer manusia itu memiliki “kedirian” (slef). Ia dapat membuat dirinya sebagai objek dari tindakannya sendiri, atau ia bertindak menuju pada dirinya sendiri sebagaimana ia dapat bertindak menuju pada tindakan orang lain. Hal ini mendorong individu untuk membuat indikasi terhadap dirinya sendiri, adapun indikiasi kedirian itu kita sebut dengan keseluruhan kesadaran.13

Menurutnya tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa pengaruh dari luar beda dengan pendapat dari kaum fungsionalis struktural tidak pula dari kekuatan dalam yang di nyatakan oleh kaum reduksionis-psikologis. Bulmer menyanggah individu bukan dikelilingi oleh lingkungan obyek-obyek potensial yang mempermainkannya dan membentuk perilakunya. Tapi ia setuju jika keberadaan individu ini membentuk obyek-obyek itu. Melihat dari penafsiran atau tindakan seseorang berdasarkan simbol-simbol. Dengan demikian manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif, yang menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui proses self-indication. Proses dimana terjadinya komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberi makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu.

13

Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gajah Mada Univercity Perss, 1998), 332


(56)

46

Dalam konteks sosial dimana individu mencoba mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana ia menafsirkan tindakan itu. Blumer mempunyai ambisius dalam memunculkan paradigma baru dalam sosiologi, yakni dengan melakukan berbagai studi yang mendalam mengenai berbagai persoalan dengan menggunakan pendekatan interaksionisme simbolik. Blumer membedakan secara lebih jelas antara model stimulus-respon dari pendektan behaviorisme dan simbolik atau komponen meaningful dari interaksi sosial.

Blumer melihatnya bahwa semua stimulus pertama kali dilihat dan diinterpretasikan oleh aktor dalam makna sebelum aktor merespon (bertindak). Kontribusi penting dari Blumer antara lain adalah konsepnya mengenai penafsiran (interpretation). Dalam tindakan manusia itu penuh dengan penafsiran dan pengertian. Tindakan-tindakan dimana tindakan itu saling diselaraskan yang disebut oleh kaum fungsionalis sebagai struktur sosial. Blumer menyebutnya fenomena sebagai tindakan bersama. Orang terlibat dalam tindakan bersama yang erupakan struktur sosial. Proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menghancurkan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menghancurkan kelompok. Hal ini terlihat pada penekanan dalam penjelasan kaum fungsionalisme struktural dan interaksionisme simbolik. Dimana kaum fungsionalis menekankan bahwa manusia adalah hasil


(57)

47

produk dari masyarakatnya, dan kaum interaksionisme simbolik menekankan bahwa struktur sosial merupakan hasil interaksi manusia.

Blumer menegaskan dua perbedaan kaum fungsional struktural dan interaksionis-simbolis. Pertama dari sudut interaksi simbolis. Organisasi masyarakat manusia merupakan suatu kerangka dimana tindakan sosial berlangsung dan bukan merupakan penentu tindakan itu. Kedua, organisasi yang demikian dan perubahan yang terjadi di dalamnya adalah produk dari kegiatan unit-unit yang bertindak dan tidak oleh “kekuatan-kekuatan” yang membuat unit-unit itu berada di luar penjelasan.14

Sebagaimana Mead yang menjelaskan tentang “I” dan “Me”, dimana “I” menjadi unsur dari dorongan, pengalaman, ambisi, dan orientasi pribadi. Dan “Me” adalah suara pendukung yang di dapat dari masyarakat sekitar. Dalam self dikontruksi melalui interaksi, dalam hal ini bisa dilalui dengan beberapa tahap.

Tahap pertama, individu menginternalisasi objek. Dalam tahap ini individu menyadari ataupun memahami realitas yang menjadi tempat dia berhunbungan dan berusaha melepaskan diri dari tekanannya. Selanjutnya ketika individu sudah menginternalisasi objek secara fisik dan benar-benar menguasainya, dan objek tersebut menjadi bagian dari pengalaman batinnya. Maka tahap selanjutnya adalah proses transmisi dimana dia

14

Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 261


(58)

48

menyadari bahwa dia merupakan objek bersama dari objek-objek lain yang berada di lingkungannya.15

Masjid adalah simbol agama yang dimiliki oleh orang Islam, dimana masjid diartikan sebagai lembaga, pusat ibadat dan kebudayaan adalah di dapat dari bentuk bangunannya. Dengan memberikan fungsi-fungsi masjid kepadanya, menjadikanlah masjid. Waktu masyarakat tertentu masuk Islam, mereka menjadikan bangunan-bangunan suci mereka sebelum Islam menjadi masjid.

Dalam sejarah Islam setelah kurun Nabi kelihatan kekudusan masjid meningkat dalam tanggapan umat Islam. Hal ini dinyatakan diri dalam ungkapan bait Allah (rumah Allah), yang disebutkan pada tiap masjid, sedang pada mulanya ungkapan itu hanya dipergunakan pada ka’bah saja.

15

Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial (Dari Klasik Hingga Moderen), (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 83


(59)

49

BAB III

EKSISTENSI KOBUNG DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

MADURA

A.Profil Desa Bukek

1. Kondisi Geografis

Desa Bukek merupakan salah satu desa yang terletak di kecamatan Telanakan. Desa ini merupakan salah satu desa yang paling tengah di antara desa-desa dikecamatan Telanakan. Desa Bukek terletak di tengah-tengah kota Pamekasan , namun jarak yang ditempuh untuk bisa sampai di desa Bukek adalah sekitar 21 km dari ibukota kabupaten dengan lama tempuh 0,5 jam. Sedangkan Jarak tempuh desa Bukek di pemerintah kecamatan adalah 8 km dengan lama tempuh 0,2 jam.

Letak daerah desa Bukek ialah 1019-1158 BT dan 4031-5021 LS . Dengan Ketinggian dari permukaan laut adalah 12m. Desa Bukek dibagi menjadi lima dusun yaitu: Dusun Utara, Dusun Tengah, Dusun Timur, Dusun Barat, Dusun Selatan. Adapun batas wilayah desa bukek ini adalah, sebelah selatan merupakan Desa Gugul kecamatan telanakan, sebelah utara adalah Desa Tejah Timur yang merupakan kecamatan Pamekasan, sebelah timur desa Panglegur kecamatan Telanakan, dan sebelah barat ada desa Larangan Selampar kecamatan Telanakan.


(60)

50

Transportasi antara daerah di desa Bukek juga relatif lancar, namun kondisi jalan agak sedikit buruk. Jalan dari arah desa Panglegur sampai desa Bukek ditempuh dengan kondisi jalan yang penuh bebatuan. Namun hal ini tidak begitu membahayakan untuk pengguna jalan, keberadaan desa Bukek dapat dijangkau oleh kendaraan pribadi dan berada di jalur alternatif sampang-bangkalan-surabaya. Sehingga mobilitas warga desa Bukek cukup tinggi. Hal tersebut sangat memudahkan aktivitas masyarakat desa Bukek karena dapat menjangkau sumber-sumber kegiatan ekonomi.

Gambar 3.1: Peta Desa Bukek kecamatan Telanakan kabupaten Pamekasan


(1)

98

tempat peribadahan mereka dan sedikitnya bangunan masjid atau langgar umum di desa Bukek. Yang pertama tentang pengkhususan tempat peribadahan mereka, dimana dalam hukum agama yang mereka yakni Agama Islam, yang mewajibkan mereka mensucikan diri terlebih dahulu sebelum melaksanakan shalat dan mensucikan tempat yang akan digunakan untuk shalat. Sehingga mereka meyakini bahwa bangunan khobung ini adalah tempat suci yang harus dipisahkan dari tempat-tempat yang digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Terlihat dari bangunan ini libih tinggi dari rumah mereka, sehingga bangunan ini jauh dari barang-barang najis.

Yang kedua, tentang sedikitnya keberadaan Masjid atau langgar umum di desa Bukek ini. Dimana di desa Bukek ini hanya terdapat 2 bangunan masjid namun letaknya jauh dari permukiman warga. Keberadaan masjid itu hanya digunakan oleh masyarakat sekitar yang dekat dengan masjid untuk shalat lima waktu. Dan untuk Masyarakat Bukek sendiri hanya akan menggunakannya dalam hal yang mewajibkannya untuk shalat berjama’ah di masjid. Seperti shalat jum’at, shalat besar idul adha, idul fitri dan lain sebagainya.

Betapa pentingnya shalat itu dilakukan secara berjama’ah ketimbang shalat yang dilakukan sendiri-sendiri atau perseorangan. Hal ini menjadi alasan Udi untuk membangun Kobung di rumahnya, karena keterbatasan waktu yang ia miliki dan juga permasalahan jarak antara masjid dengan rumahnya sangat jauh.


(2)

99

Dari latar belakang yang melandasi masyarakat tersebut akhirnya masyarakat membangun Kobung di setiap rumah mereka.

Terakhir kesimpulan yang didapatkan peneliti terkait dengan fungsi dari kobung itu sendiri bagi kehidupan mereka. Masyarakat Madura khususnya desa Bukek ini cenderung menyamakan fungsi kobung dengan langgar desa atau langgar umum. Yang kita ketahui dewasa ini sebutan Langgar adalah sebutan yang dikhususkan sebagai lembaga non formal tempat mengaji Al-Qur’an dan ilmu keislaman klasik lainnya. dan bangunan ini biasanya berada di rumah seorang kiai atau guru ngaji.

Di desa Bukek ini terdapat persamaa fungsi antara bangunan Kobung dan Langgar umum, Selain sama-sama sebagai tempat sahalat 5 waktu kobung juga berfungsi sebagai tempat mengajar ngaji untuk anak-anak dari masyarakat sekitar. Namun fungsi bangunan Kobung ini tidak hanya dibuat untuk kegiatan tersebut saja, melainkan ada beberapa kegiatan yang bisa dilakukan di dalam bangunan tersebut yakni: menerima tamu laki-laki dari luar, hal ini dikarenakan . Dengan cara pemisahan seperti inilah masyarakat Madura untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti main mata dengan istrinya dengan ujung terjadinya perselingkuhan. Dan juga menghindari dari fitnah yang merugikan dirinya dan keluargannya. Kedudukan perempuan pada masyarakat Madura jelas sekali posisinya, terlindungi dan memiliki posisi yang istimewa. Dimana di Madura perempuan itu


(3)

100

harus di jaga dan di hormati jadi perempuan tidak boleh menerima tamu laki-laki dan jika tidak ada suami atau bapak ketika ada tamu laki-laki maka cukup menyaut saja dari dalam sehingga tamu laki-laki itu tahu kalau di dalam rumah tidak ada laki-lakinya.

Bangunan ini juga menjadi pusat utama untuk mengadakan hajatan atau acara-acara Islam seperti, Maulid Nabi. Bangunan ini juga bermanfaat Jika ada salah satu keluarga mereka yang meninggal maka bangunan ini sangat berguna untuk menshalatinya. Karena menurut orang madura akan ada khifayahnya untuk menshalatinya di tempat tinggalnya sendiri. hal ini mencerminkan bahwa berdirinya bangunan Kobung ini sangat bermanfaat. Bukan hanya bermanfaat untuk kehidupan sipemilik Kobung akan tetapi juga bermanfaat untuk keberlangsungan interaksi sosial mereka dengan orang lain.

B. Saran

Hasil dalam penelitian ini hanya bersifat sementara, peneliti merasa masih banyak hal yang bisa dikorek mengenai bangunan Kobung yang sudah menjadi kebudayaan dari masyarakat Madura ini. Maka dari itu peneliti berharap pembaca dan kepada peneliti selanjutnya mensistematisasikan dari hasil penelitian ini. Peneliti juga menyarankan agar peneliti berikutnya untuk bisa mencantumkan data-data terukur secara angka-angka, sehingga penemuan-penemuan dapat diukur, diuji dan diamati.


(4)

101

Dengan metode penelitian yang berbeda seperti penelitian Kuantitatif. Dimana dalam metode penelitian kuantitatif ini adalah metode yang menekankan pada aspek pengukuran secara obyektif terhadap fenomena sosial. dengan tujuan untuk menjelaskan suatu masalah tetapi menghasilkan generalisasi. Yang artinya suatu kenyataan atau kebenaran yang terjadi dalam suatu realitas tentang suatu masalah yang diperkirakan akan berlaku pada suatu populasi tertentu.

Dan untuk masyarakat Madura, peneliti mensarankan agar tidak sampai kehilangan identitasnya sebagai masyarakat agamis dengan diikutinya kebiasaan atau kebudayaannya yang bermacam-macam. Dengan jalinan akulturasi antara budaya lokal dan agama yang bersifat sakral dalam konteks aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aris Fuad Kandung Sapto Nugroho. Panduan Praktis Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu 2014.

Burhan Bungin. metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University Perss.

Gazalba, Sidi. Mesjid Pusat Ibadat Dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Antara 1975.

George Ritzer. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers 2013.

George Ritzer. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media 2005.

Graham C. Kinloch. perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi. Bandung: Pustaka Setia 2005.

Hebermas, Jurgen. Ruang Publik sebuah kajian tentang kategori masyarakat borjuis. Yogyakarta: Kreasi Wacana 2007.

I.B Wirawan. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group 2012.

Irving M. Zetlin. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss 1998.

Kuntowijoyo. Perubahan Soaial Dalam Masyarakat Agraris Madura. Jogjakarta: Mata Bangsa 2002.

Kuntowijoy. Muslim Tanpa Masjid .Bandung:Mizan 2001.

Ma’arif, Samsul, The History Of Madura. Yogyakarta: Araska 2015.

Margaret M. Poloma. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2000.

Mulyana, Dedy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2006.


(6)

2

Nawawi Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada Univercity Perss 1991.

Rozaki, Abdur. menabur karisma menuai kuasa. Yogyakarta: Pustaka Marwa 2004.

Sindung Haryanto. Spektrum Teori Sosial (Dari Klasik Hingga Moderen). Jogjakarta: Ar-Ruzz Media 2012.

Tim Penyusun MKD. IAD-ISD-IBD. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pers 2012.