IMPLEMENTASI KITAB TA'LIM AL-MUTA'ALLIM DAN WASHOYA AL-ABA' LIL ABNA DALAM PEMBENTUKAN AKHLAK SANTRI : STUDI KASUS DI PONDOK ESANTREN MIFTAHUL MUBTADIIN KREMPYANG TANJUNGANOM NGANJUK.

(1)

AKHLAK SANTRI (STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN

MIFTAHUL MUBTADIIN KREMPYANG TANJUNGANOM

NGANJUK)

SKRIPSI

Oleh: Fitri Novitasari

D31212104

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TERBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


(2)

(3)

(4)

(5)

vii

(studi kasus di pondok pesantren Miftahul Mubtadiin Krempyang Tanjunganom Nganjuk). Ada tiga pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini : (1) Bagaimana akhlak santri pondok pesantren miftahul mubtadiin krempyang tanjunganom (2) Bagaimana pembelajaran kitab Ta’lim Al-Muta’allim dan Washoya Al-Abaa’ Lil Abnaa’ di pondok pesantren miftahul mubtadiin (3) Bagaimana implementasi kitab Ta’lim Al-Muta’allim dan Washoya Al-Abaa’ Lil Abnaa’ dalam pembentukan akhlak santri pondok pesantren miftahul mubtadiin.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif ini dipergunakan, karena penulis mencoba melihat, mengamati dan menelaah implementasi kitab Ta’lim Al-Muta’allim dan Washaya Al-Aba’ Lil Abnaa’ dalam pembentukan akhlak santri, yang tidak mungkin dilakukan dengan analisa angka-angka dan statistik sebagaimana yang lazim dalam penelitian kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitab Ta’lim Muta’allim dan Washoya Al-Abaa’ Lil Abnaa’ mengandung pendidikan akhlak yang berorientasi pada pembentukan akhlak santri. Kitab Ta’lim Al-Muta’allim memberikan perhatian penuh pada cara-cara yang seharusnya dilakukan oleh para penuntut ilmu. Dari semua bab yang ada dalam kitab ini, semuanya berkonsentrasi pada perbaikan akhlak, sehingga menjadikan ini identik dengan kitab yang membahas tentang ilmu pengetahuan. Dari berbagai keterangan yang ada tentang ilmu pengetahuan sebagian besar berkonsentrasi pada perbaikan akhlak yang harus dilakukan oleh peserta didik dalam menuntut ilmu. tujuan pembelajaran kitab Ta’lim al-Muta’allim yang diterapkan di Pon-Pes Miftahul Mubtadiin Krempyang Tanjunganom Nganjuk adalah untuk membentuk kepribadian santri yang beradab dalam belajar dan meningkatkan semangat santri dalam menuntut ilmu untuk menghasilkan buah ilmu yang manfaat, bermanfaat untuk dirinya maupun untuk orang lain.

Kitab Washoya Al-Aba’ Lil Abnaa’ adalah Kitab yang berisi wasiat seorang guru terhadap muridnya tentang akhlak. Dalam mengungkapkan nasihat-nasihatnya tentang akhlak Syaikh Muhammad Syakir menempatkan dirinya sebagai guru yang sedang menasehati muridnya. Dimana relasi guru dan murid di sini diumpamakan sebagaimana orang tua dan anak kandung. Sebagai Kitab yang berisi tentang wasiat-wasiat akhlak, Washoya Al-Abaa’ lil Abnaa’ sudah pasti mencakup pula beberapa nilai pendidikan akhlak. Betapa pentingnya berakhlak mulia, apalagi seorang yang sedang menuntut ilmu. Akhlak yang baik adalah perhiasan setiap orang bagi dirinya, teman-teman, keluarga dan masyarakat, karena dengan berakhlak baik akan dihormati dan dicintai setiap orang. Kedua kitab ini sangat cocok untuk dikaji karena keduanya membahas tentang akhlak. keduanya memberikan perhatian khusus pada pentingnya berakhlakul karimah.


(6)

xii

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

PEDOMAN TRANSLITRASI ARAB-LATIN ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Penelitian Terdahulu ... 11


(7)

xiii

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 19

A. Tinjauan tentang Kitab Ta’lim Al-Muta’allim ... 19

1. Kitab Ta’lim Muta’allim ... 19

2. Biografi Pengarang Kitab Ta’lim Al-Muta’allim ... 21

3. Materi Kitab Ta’lim Al-Muta’allim ... 25

B. Tinjauan tentang Kitab Washoya Al-Aba’ Lil Abna’ ... 38

1. Kitab Washoya Al-Aba’ Lil Abna’ ... 38

2. Biografi Pengarang Kitab Washoya Al-Aba’ Lil Abna’ ... 39

3. Materi Kitab Washoya Al-Aba’ Lil Abna’ ... 42

C. Tinjauan tentang Akhlak ... 44

1. Pengertian Akhlak ... 44

2. Ruang Lingkup Akhlak ... 46

3. Tujuan Pendidikan Akhlak ... 47

4. Pembagian Akhlak ... 49

5. Faktor-Faktor Pembentukan Akhlak ... 51

D. Tinjauan tentang Pondok Pesantren ... 59

1. Pengertian Pondok Pesantren ... 59

2. Jenis-Jenis Pondok Pesantren ... 61


(8)

xiv

4. Kitab Ta’lim Al-Muta’allim dan Washaya Al-Aba’ Lil Abnaa’

Sebagai Sumber Pembentukan Akhlak Santri ... 66

BAB III : METODE PENELITIAN ... 69

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian...69

B. Kehadiran Peneliti ... 71

C. Lokasi Penelitian ... 72

D. Metode Penentuan Subjek ... 72

E. Sumber data ... 73

F. Prosedur pengumpulan data ... 74

G. Analisis data ... 76

H. tahap-tahap penelitian ... 78

BAB IV : GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN ... 79

A. Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin ... 79

1. Sejarah Berdirinya Ponpes Miftahul Mubtadiin ... 79

2. Silsilah KH. Muhammad Ghozali Manan ... 81

3. Pemberian Nama dan Faktor yang Mendorong Berdirinya Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin...84

4. Letak Geografis Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin...85

B. Eksistensi Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin...87

1. Visi, Misi dan Tujuan ... 87


(9)

xv

1. Kurikulum Pendidikan Salaf ... 92

2. Kurikulum Pendidikan Modern (Khalaf) ... 95

D. Pola Pengembangan Pondok Pesantren ... 95

1. Lahirnya Lembaga Sekolah ... 95

2. Lahirnya Perguruan Tinggi (STAIDA) ... 96

BAB V : ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN ... 98

A. Gambaran Akhlak/Perilaku Santri Miftahul Mubtadiin ... 98

B. Pembelajaran Kitab Ta’lim al-Muta’allim dan Washaya al-Aba’ Lil Abna’ Di Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin ... 104

C. Implementasi Kitab Ta’lim al-Muta’allim dan Washaya al-Aba’ Lil Abna’ Dalam Pembentukan Akhlak Santri ... 114

D. Pembentukan Akhlak Dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim dan Washaya al-Aba’ Lil Abna’...117

BAB VI : PENUTUP ... 120

A. Kesimpulan ... 120

B. Saran-saran ... 121


(10)

xvi


(11)

xvii

Lampiran 1 Data Ponpes Miftahul Mubtadiin Putri

Lampiran 2 Jadwal Kegiatan Santri Ponpes Miftahul Mubtadiin Putri Lampiran 3 Struktur Kepengurusan Ponpes Miftahul Mubtadiin Putri Lampiran 4 Tata Tertib Ponpes Miftahul Mubtadiin Putri

Lampiran 5 Data Ustadz dan Santri Putra Miftahul Mubtadiin Lampiran 6 Struktur Kepengurusan Putra Miftahul Mubtadiin Lampiran 7 Tata Tertib Ponpes Putra Miftahul Mubtadiin Lampiran 8 Instrumen Wawancara

Lampiran 9 Surat Izin Penelitian Lampiran 10 Surat Hasil Penelitian Lampiran 11 Surat Tugas Pembimbing Lampiran 12 Kartu Konsultasi


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan Islam, yakni lembaga yang digunakan untuk mempelajari agama Islam, sekaligus sebagai pusat penyebarannnya. Sebagai pusat penyebaran agama Islam pesantren dituntut untuk mengembangkan fungsi dan perannya, salah satu peran penting pesantren yaitu mengupayakan tenaga-tenaga atau misi-misi agama, yang nantinya diharapkan mampu membawa perubahan kondisi, situasi, dan tradisi masyarakat yang lebih baik.

Pesantren juga merupakan lembaga pendidikan islam tertua yang berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim di indonesia. Tujuan umum pesantren adalah membimbing peserta didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi penyampai ajaran Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.1

Pesantren adalah pendidikan yang melakukan kegiatan sepanjang waktu. Artinya murid atau santri tinggal di asrama dalam kawasan (pondok) bersama guru, kyai dan para senior mereka. Maka dengan begitu hubungan yang di jalin

1Fa’uti Subhan,

Membangun Sekolah Unggulan Dalam Sistem Pesantren (Surabaya: Alpha, 2006), h. 8

1


(13)

diantara mereka dalam proses pendidikan akan berjalan lebih intensif dan tidak sekedar hubungan guru dan murid dalam kelas. Ditengah himpitan berbagai kemajuan iptek beserta kelembagaan lain dan perangkatnya, pesantren sebagai lembaga pendidikan islam yang tertua di indonesia dengan segala kekhasan dan keunikannya masih mampu eksis hingga sekarang.

Kitab kuning merupakan salah satu fenomena dalam pondok pesantren dan menjadi tradisi yang selalu melekat pada pesantren. Kitab kuning pada dasarnya merupakan istilah yang dimunculkan oleh kalangan luar pesantren untuk meremehkan kadar keilmuaan pesantren. Bagi mereka kitab kuning sebagai kitab yang memiliki kadar keilmuwan yang rendah dan menyebabkan stagnasi intelektual.2 Istilah kitab kuning sebenarnya dilekatkan pada kitab warisan abad pertengahan Islam yang masih digunakan pesantren hingga saat ini.3

Salah satu kitab yang banyak diajarkan di pondok pesantren adalah kitab Ta‟lim Al-Muta‟allim. Kitab karya az-Zarnuji ini adalah salah satu kitab klasik, yang namanya dikenal dikalangan kyai dan santri di seluruh pesantren Indonesia. Kitab yang banyak memberikan banyak konsep-konsep dan masalah pendidikan dalam berbagai aspeknya ini banyak diajarkan bagi para penuntut pemula dalam lingkungan pesantren. Hal ini sangatlah wajar, karena dalam kitab ini banyak dijelaskan pedoman-pedoman yang harus dilakukan oleh para peserta didik

2

Amin Hoedari, dkk, Masa Depan Pesantren: Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangan Kompleksitas Global (Jakarta: IRD Press, 2004), h. 148.

3


(14)

(santri) dalam menuntut ilmu selama di pesantren, agar ilmu mereka bisa barokah.

Dalam kitab tersebut sang muallif (pengarang) menerangkan tentang ilmu dan keutamaannya, kewajiban dan niat belajar materi dan metode belajar dan konsep lainnya. Kitab ini dimaksudkan sebagai buku petunjuk tentang metode belajar bagi para santri. Pengarang mengelompokkan pembahasan pada tiga belas bab. Pada bab pertama dijelaskan tentang keutamaaan ilmu, keutamaannya serta kewajiban dalam menuntut ilmu. Dalam buku ini banyak dijelaskan tentang etika antara murid dengan ilmu pengetahuan, murid dengan guru dan cara-cara mendapatkan ilmu dengan baik.

Daya tarik kitab ini yang banyak menjelaskan tentang ilmu pengetahuan menjadi nilai plus bagi para pendidik. Terutama di pondok-pondok pesantren, baik pondok salaf (tradisional) maupun pondok yang mengaku sebagai pondok modern.

Selain kitab Ta‟lim Al Muta‟allim ada juga kitab Washoya Al Aba‟ Lil Abnaa‟ karya Syekh Muhammad Syakir, yang di dalamnya berisi pelajaran atau tuntunan dasar tentang akhlak yang mulia. Kitab ini sengaja ditulis untuk para pelajar ilmu agama (santri). Kitab ini mengandung berbagai persoalan akhlak yang paling mendasar yang sangat diperlukan oleh setiap pelajar.

Dengan pengajaran kitab-kitab tersebut, tentunya pondok pesantren berharap ada transfer ilmu pengetahuan juga berdampak pada perilaku santri sehari-hari. Kitab Ta‟lim Al-Muta‟llim disebut sebagai kitab metode belajar,


(15)

tetapi tampaknya di kalangan pesantren ada kecenderungan untuk menyebutkan bahwa etika santri, terutama kepada gurunya merupakan salah satu perangkat untuk memperoleh ilmu. Dan yang menjadi sasaran dari pengajaran kitab ini adalah perubahan akhlak santri menuju yang lebih baik.

Pendidikan akhlak penting artinya bagi setiap manusia dan setiap warga negara. Dalam pendidikan islam tujuan pokok dan utama serta merupakan esensi pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak manusia. Hal ini karena setiap bangsa dan warga negara mengharap generasi penerusnya dapat lebih baik dari generasi sebelumnya.

Pendidikan Islam bukan sekedar mengisi otak para pelajar atau santri dengan fakta-fakta melainkan juga dengan memperbaiki dan mendidik mereka dengan akhlak yang baik. Tujuan pendidikan Islam adalah mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sehingga ia tidak menyalahgunakan fungsi kelhalifahannya. Dan membina serta mengarahkan potensi akal jiwa dan jasmaninya agar dapat mencapai kebahagian di hidup dunia dan akhirat.4

Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam diri dengan kuat yang dapat melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa berfikir panjang, merenung, atau memaksakan diri.5 Dengan demikian untuk meraih kesempurnaan akhlak, seseorang harus melatih diri dan membiasakan diri berfikir dan berkehendak, serta membiasakan mewujudkan pemikiran dan

4

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 54.

5

Thoyib Sah Saputra dan Wahyudin, Akidah Akhlak Madrasah Aliyah Kelas X (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2009), h. 55.


(16)

kehendaknya itu dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara demikian seseorang akan meraih kesempurnaan akhlak, sebab akhlak seseorang bukanlah tindakan yang direncanakan pada saat-saat tertentu saja, namun akhlak merupakan keutuhan kehendak dan perbuatan yang melekat pada seseorang yang akan tampak pada perilakunya sehari-hari.6

Berbicara masalah pembentukan akhlak sama dengan berbicara tentang tujuan pendidikan, karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi misalnya mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan islam. Demikian pula Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah, yaitu hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk agama Islam.7

Menurut sebagian ahli bahwa akhlak tidak perlu dibentuk karena akhlak adalah instinct (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi golongan ini bahwa masalah akhlak adalah pembawaan dari manusia sendiri, yaitu kecenderungan kepada kebaikan atau fitrah yang ada dalam diri manusia, dan dapat juga berupa kata hati atau intuisi yang selalu cenderung kepada kebenaran. Dengan pandangan seperti ini, maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya,

6

Ibid.

7

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), cet IV, h. 48-49.


(17)

walaupun tanpa dibentuk atau diusahakan. Kelompok ini lebih lanjut menduga bahwa akhlak adalah gambaran batin sebagaimana terpantul dalam perbuatan lahir. Perbuatan lahir ini tidak akan sanggup mengubah perbuatan batiin. Orang yang bakatnya pendek misalnya tidak dapat dengan sendirinya meninggikan dirinya. Demikian sebaliknya.

Selanjutnya ada pula pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh. Kelompok yang mendukung pendapat yang kedua ini umumnya datang dari ulama-ulama Islam yang cenderung pada akhlak. Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, al-Ghazali dan lain-lain termasuk kepada kelompok yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil usaha (Muktasabah). Imam al-Ghazali misalnya mengatakan “Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadis nabi yang mengatakan “perbaikilah akhlak kamu sekalian”.

Pada kenyataan di lapangan, usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina, dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi Muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu bapak, sayang kepada sesama makhluk Tuhan dan seterusnya.8 Keadaan sebaliknya juga menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak dibina akhlaknya,

8


(18)

atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan dan pendidikan, ternyata menjadi anak-anak yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan berbagai perbuatan tercela dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina. Keadaan pembinaan ini semakin terasa diperlukan terutama pada saat di mana semakin banyak tantangan dan godaan sebagai dampak dari kemajuan bidang iptek.

Dengan uraian tersebut di atas kita dapat mengatakan bahwa akhlak merupakan hasil usaha dalam mendidik dan melatih dengan sungguh-sungguh terhadap berbagai potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia. Jika program pendidikan dan pembinaan akhlak itu dirancang dengan baik, sistematik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan menghasilkan anak-anak atau orang-orang yang baik akhlaknya. Di sinilah letak peran dan fungsi lembaga pendidikan.

Dengan demikian pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk anak, dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Pembentukan akhlak ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa akhlak adalah hasil usaha pembinaan, bukan terjadi dengan sendirinya. Potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia, termasuk di dalamnya akal, nafsu amarah, nafsu syahwat, fitrah, kata hati, hati nurani dan intuisi dibina secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat.9

9


(19)

Pembentukan akhlak sangatlah penting dilakukan agar terbentuknya pribadi-pribadi Muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu bapak, sayang kepada sesama makhluk Tuhan dan seterusnya. Pembentukan akhlak ini dapat dibentuk melalui pendidikan, salah satunya dalam pendidikan islam atau lebih dikenal dengan pesantren. Dalam pesantren ada beberapa kegiatan, Kitab kuning merupakan salah satu fenomena dalam pondok pesantren dan menjadi tradisi yang selalu melekat pada pesantren.

Pondok pesantren Miftahul Mubtadiin terletak di Krempyang Tanjunganom Nganjuk, pondok ini termasuk pondok terbesar yang berada di Nganjuk dan memiliki banyak santri yang datang dari berbagai daerah.di pondok pesantren ini banyak sekali kitab-kitab yang dipelajari, mulai dari yang dasar sampai yang paling atas tingkatannya. Terutama tentang kitab yang ada kaitannya dengan Akhlak.

Maka dari itu di sini peneliti menganggap sangatlah pentingnya akhlak bagi santri sebagai generasi masa depan yang menjadi Muslim yang bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia. Sehingga penulis mengadakan penelitian tentang “Implementasi Kitab Ta’lim Al-Muta’allim dan Washoya Al-Abaa’ Lil Abnaa’ Dalam Pembentukan Akhlak Santri (Studi Kasus Di Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin Krempyang Tanjunganom Nganjuk)”.


(20)

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas maka dikemukakan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana akhlak santri pondok pesantren Miftahul Mubtadi’in Krempyang Tanjunganom Nganjuk?

2. Bagaimana pembelajaran kitab Ta‟lim Al-Muta‟allim dan Washoya al-aba‟ lil abnaa‟ di pondok pesantren Miftahul Mubtadi’in Krempyang Tanjunganom Nganjuk?

3. Bagaimana implementasi kitab Ta‟lim al-Muta‟allim dan Washoya al-aba‟ lil abnaa‟ Miftahul Mubtadi’in dalam pembentukan akhlak santri di pondok pesantren Miftahul Mubtadi’in Krempyang Tanjunganom Nganjuk?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui akhlak santri pondok pesantren Miftahul Mubtadi’in Krempyang Tanjunganom Nganjuk.

2. Untuk mengetahui pembelajaran kitab Ta‟lim Al-Muta‟allim dan Washoya al-aba‟ lil abnaa‟ di pondok pesantren Miftahul Mubtadi’in Krempyang Tanjunganom Nganjuk.


(21)

3. Untuk mengetahui implementasi kitab Ta‟lim Al-Muta‟allim dan Washoya al-aba‟ lil abnaa‟ Miftahul Mubtadi’in dalam pembentukan akhlak santri di pondok pesantren Miftahul Mubtadi’in Krempyang Tanjunganom Nganjuk.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk mendukung teori-teori yang sudah ada sebelumnya sehubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian.

b. Sebagai bahan perbandingan bagi penelitian berikutnya yang sejenis. c. Untuk memperkaya khasanah keilmuan terutama pengetahuan tentang

implementasi kitab Ta‟lim Al-Muta‟allim dan Washoya Al-Aba‟ Lil Abnaa‟ dalam membentuk akhlak santri di pondok pesantren Miftakhul Mubtadi’in krempyang tanjunganom nganjuk.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan atau sumbangan pemikiran mengenai implementasi kitab Ta‟lim Al -Muta‟allim dan Washoya Al-Aba‟ Lil Abnaa‟ dalam membentuk akhlak santri di pondok pesantren Miftakhul Mubtadi’in krempyang tanjunganom nganjuk.


(22)

b. Bagi peneliti, diharapkan dapat menumbuhkan pengetahuan dan memperluas wawasan berdasarkan pengalaman dari apa yang ditemui di lapangan tempat penelitian.

c. Bagi pesantren, sebagai gambaran untuk memperbaiki dan mendidik santri agar dapat berakhlakul karimah.

d. Bagi santri, diharapkan bahwa implementasi kitab Ta‟lim Al-Muta‟allim dan Washoya Al-Aba‟ Lil Abnaa‟ sangat penting dalam pembentukan akhlak santri.

e. Bagi pembaca, penelitian ini dapat dijadikan informasi dan pengetahuan.

E. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu mengenai akhlak adalah Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Burhan Muklishin Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya (2003), dengan judul “Pembinaan Akhlak Remaja Melalui Media Persaudaraan Setia Hati Terate Di Rayon Kurung Rejo Prambon Nganjuk.” Di dalam skripsi ini mencoba mengangkat salah satu organisasi pencak silat yang sedang berkembang pesat pada saat ini, yaitu persaudaraan Setia Hati Ternate (PSHT) di Rayon Kurung Rejo Prambon Nganjuk, dalam hal ini pemberian pembinaan akhlak remaja, khususnya yang dilakukan terhadap siswanya.

Penelitian yang dilakukan oleh Agus Gunawan jurusan Tarbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya (2010), dengan judul “Konsep Pembinaan Akhlak Pada


(23)

Anak (Studi Tentang Perspektif Syaikh Muhammad Syakir Dalam Kitab Washoya Al-Abaa‟ Lil Abnaa‟)”.dalam skripsi ini menjelaskan tentang relevansi konsep pembinaan akhlak pada kitab Washoya al-aba’ lil abnaa’ dengan konsep pembinaan akhlak pada masa kini adalah saling melengkapi. Kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa, kondisi zaman pada era Syaikh Muhammad Syakir dengan era sekarang mengalami perubahan serta perkembangan. Sehingga proses pembinaan akhlak yang diterapkannya pun juga tidak sama persis, dan keduanya memiliki kesesuaian akan tetapi kesesuaian tersebut tidak secara keseluruhan sehingga perlu direvisi serta dikembangkan dengan konsepan yang lebih baru dan sesuai dengan situasi dan kondisi zaman yang ada.

Penelitian yang dilakukan oleh Mochammad Zaenal Muttaqin jurusan Tarbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya (2014), dengan judul “Peranan Ekstrakurikuler Pengajian Kitabnashaihul „Ibad Dalam Pembentukan Ari Akhlak Peserta Didik di MA Hasyim Asy‟ari Bangsri Sukodono”.dalam skripsi ini hasil penelitian yang penulis lakukan, bahwa ekstrakurikuler pengajian kitab Nashaihul „Ibad di MA Hasyim Asy’ari bangsri sukodono memiliki peranan yang besar dalam proses pembentukan akhlak peserta didik karena dengan adanya kegiatan ekstrakurikuler tersebut dapat tercipta peserta didik yang mempunyai akhlak yang mulia seperti: sifat jujur, adanya budaya mengucapkan salam ketika bertemu dengan guru, dan sholat dhuha.

Penelitian yang dilakukan oleh Inni Fardiana jurusan Tarbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya (2006), dengan judul “Efektifitas Kitab Ta‟lim Al


(24)

-Muta‟allim Dalam Pembentukan Akhlak Santri TMI Putri Al-Amien II Preduan Sumenep Madura”. Hasil dari penelitian dalam skripsi ini antara kitab Ta‟lim Al -Muta‟allim dan disiplin pondok saling melengkapi dan saling mendukung. Hal inilah yang membuat kitab Ta‟lim Al-Muta‟allim menjadi efektif dalam membentuk akhlak santri.

Berdasarkan penelusuran penelitian terdahulu, yang menbedakan penelitian terdahulu dengan penelitian kali ini adalah belum ada yang membahas secara langsung tentang “Implementasi Kitab Ta‟lim Al-Muta‟allim dan Washoya Al-Aba‟ Lil Abnaa‟ Dalam Pembentukan Akhlak Santri”. Dengan demikian, keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan.

F. Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada pengkajian tentang :

1. Penelitian ini hanya dilakukan di pondok pesantren Miftakhul Mubtadi’in krempyang tanjunganom nganjuk.

2. Penelitian ini hanya terbatas pada implementasi kitab Ta‟lim Al-Muta‟allim dan Washoya Al-Aba‟ Lil Abnaa‟ dalam pembentukan akhlak santri.

Hasil penelitian ini hanya berlaku pada subyek penelitian ini yaitu santri di pondok pesantren Miftahul Mubtadi’in Krempyang Tanjunganom Nganjuk.


(25)

G. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi yang menjadikan variabel-variabel yang sedang diteliti menjadi bersifat operasional dalam kaitannya dengan proses pengukuran variabel-variabel tersebut. Definisi operasional memungkinkan sebuah konsep yang bersifat abstrak dijadikan suatu yang operasional sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan pengukuran.10

Judul penelitian skripsi yang penulis buat adalah “Implementasi Kitab Ta’lim Al-Muta’allim dan Washoya Al-Aba’ Lil Abnaa’ Dalam Pembentukan Akhlak Santri (Studi Kasus Di Pondok Pesantren Miftakhul Mubtadi’in Krempyang Tanjunganom Nganjuk)”.

Dari judul ini didasari kiranya ada penjelasan kata-kata atau istilah agar mudah difahami. Oleh karena itu dikemukakan batasan-batasan makna yang terdapat dalam judul tersebut, yaitu sebagai berikut:

1. Implementasi

Implementasi menurut kamus lengkap bahasa indonesia adalah penerapan atau pelaksanaan.11

Implementasi yaitu pelaksana.12 Implementasi juga berasal dari kata dalam bahasa inggris implement yang berarti melaksanakan, jadi

10

Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif ( Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), h. 27.

11

Sulchan Yasyin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: AMANAH, 1997), h. 221.

12


(26)

implementation yang diindonesiakan menjadi implementasi berarti pelaksanaan.13

2. Kitab Ta’lim Al-Muta’allim

Kitab ta’lim al-muta’allim adalah kitab karangan Syeikh Al-Zarnuji yang banyak memuat tentang pedoman-pedoman bagi santri dalam menuntut ilmu baik ketika masih belajar, maupun ketika sudah menamatkan pelajarannya. Di dalamnya beliau menyebutkan bermacam-macam bekal yang harus dipersiapkan dan selalu dibawa dalam menempuh perjalanan mencari ilmu agar para santri sampai pada tujuan mereka yaitu meraih ilmu manfaat dan barakah.14

3. Kitab Washoya al-Aba’ Lil Abnaa’

Kitab washaya Al-Abaa’ Lil Abnaa’ karya seorang ulama terkenal mesir Muhammah Syakir adalah kitab yang berisi bimbingan akhlak yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari yang besar manfaatnya untuk seluruh umat manusia dalam mewujudkan bangsa yang berbudi luhur dan bertaqwa kepada Allah Swt.15

4. Pembentukan

13

Jhon M Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, t.t), h. 313.

14

Az Zarnuji, Ta‟limul Muta‟allim, Terjemah Abu Na’im (Kediri: Mukjizat, 2015), h. x

15

M. Syakir, Washaya Al-Abaa‟ Lil Abnaa‟, terj M. Fadlil Said An-Nadwi, (Surabaya: Al-Hidayah,


(27)

Bentuk adalah wujud, rupa, gambaran.16 Pembentukan berarti proses untuk membentuk.17

5. Akhlak

Secara bahasa akhlak mempunyai arti “budi pekerti, tabiat, watak”.18

Akhlak dapat juga diartikan perilaku.19 6. Santri

Santri adalah siswa yang tinggal di pesantren guna menyerahkan diri.20 7. Pondok Pesantren Miftakhul Mubtadiin

Pesantren miftakhul mubtadiin adalah pondok pesantren yang didirikan oleh KH. M. Ghozali Manan pada tahun 1940. Pondok pesantren ini terletak di Desa Krempyang Kecamatan Tanjunganom Kabupaten Nganjuk.

H. Sistematika Pembahasan

Dalam penelitian yang berjudul “Implementasi Kitab Ta‟lim Al -Muta‟allim dan Washoya Al-Aba‟ Lil Abna‟ Dalam Pembentukan Akhlak Santri (Studi Kasus Di Pondok Pesantren Miftakhul Mubtadi’in Krempyang Tanjunganom Nganjuk)”, menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab pertama merupakan bab pendahuluanyang memaparkan pokok-pokok persoalan yang akan dibahas dalam penelitian, yang meliputi: latar

16

Sulchan Yasyin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Ibid.,h. 69.

17

Pius A. Purtanto, dkk, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: arloka, tth), h. 136.

18

Thoyib Sah Saputra dan Wahyudin, Akidah Akhlak Madrasah Aliyah Kelas X (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2009), h. 54.

19

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 20.

20


(28)

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu, definisi operasional, ruang lingkup dan batasan masalah, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua merupakan bab kajian teori yang terdiri dari empat sub pokok bahasan. Pertama, pembahasan tinjauan tentang kitab ta’lim al-muta’allim. Kedua, tinjauan tentang kitab washoya al-aba’ lil abna’. Ketiga tinjauan tentang akhlak. Keempat tinjauan tentang pondok pesantren. Dan yang terakhir tentang kitab ta’lim al-muta’allim dan washoya al-aba’ lil abna sebagai sumber pembentukan akhlak.

Bab ketiga merupakan bab metode penelitian yang berisikan tentang pendekatan dan jenis penelitian, kehadirian peneliti, lokasi penelitian, metode penelitian subjek, sumber data, prosedur penelitian data, analisis data, tahap-tahap penelitian.

Bab keempat merupakan bab gambaran umum objek penelitian, yang berisikan tentang pondok pesantren miftahul mubtadiin, eksistensi pondok pesantren miftahul mubtadiin, pola pengembangan kurikulum di pondok pesantren miftahul mubtadiin, pola pengembangan pondok pesantren miftahul mubtadiin.

Bab kelima merupakan bab analisis dan hasil penelitian, yang berisikan tentang gambaran perilaku/akhlak santri pondok pesantren miftahul mubtadiin, pembelajaran kitab ta‟lim al-muta‟allim dan washoya al-aba‟ lil abna‟ di pondok pesantren miftahul mubtadiin, implementasi kitab ta‟lim al-muta‟allim dan


(29)

washoya al-aba‟ lil abna‟ dalam pembentukan akhlak di pondok pesantren miftahul mubtadiin, pembentukan akhlak kitab ta‟lim al-muta‟allim dan washoya al-aba‟ lil abna‟.

Bab keenam merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari skripsi dan saran-saran dari peneliti untuk perbaikan-perbaikan yang mungkin dapat dilakukan oleh pihak yang terkait.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Kitab Ta’lim Al Muta’allim 1. Kitab Ta’lim Al-Muta’allim

Salah satu diantara sekian banyak kitab agama Islam yang berbahasa arab yang telah dijadikan sebagai kitab standart, terutama untuk pelajaran akhlak dalam proses belajar mengajar di pesantren adalah kitab ta’lim al-muta’allim yang dikarang oleh seorang ulama salaf (ulama terdahulu) yang bernama as-syeikh az-zarnuji. Beliau hidup pada akhir abad keenam hijriah, zaman kemunduran dan kemrosotan daulah abbasiyah.21

Kitab ta’lim al muta’allim lengkapnya adalah ta’lim al-muta’allim thariqutt ta’allum yang artinya mengajar orang yang sedang belajar untuk menuntut ilmu dengan cara memberikan tuntunan tentang metode belajar. Menurut kitab ini, keberhasilan seorang menuntut ilmu tidak hanya ditentukan oleh ketekunan dan kesungguhannya menela’ah buku dengan didukung kecerdasan akal, melainkan juga ditentukan dengan adanya faktor yang lebih dominant yaitu bersikap tawadhu’ (rendah hati) kepada guru. Oleh karena itu mempelajari ilmu tentang cara belajar seperti yang diajarkan dalam kitab ta’lim bagi setiap penuntut ilmu khususnya dalam ilmu-ilmu agama islam

21

Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosofis Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997), h. 101.


(31)

adalah termasuk tuntutan dengan diharuskan menurut ajaran ta’lim al -muta’allim, dimaksudkan agar lebih menyempurnakan dan memperlancar proses pencapaian tujuan dan cita-cita yang diharapkan dalam menuntut ilmu.

Kitab ini adalah kitab akhlak, akhlak dalam menuntut ilmu. Yaitu akhlak yang membawa kesuksesan orang menuntut ilmu, kepentingannya adalah untuk menjabarkan tata cara bagaimana agar sukses dalam menuntut ilmu.

Dengan demikian, sangatlah penting bagi seorang santri pada khususnya dan para pelajar pada umumnya untuk mempelajari tentang banyak keilmuan yang berhubungan dengan akhlak, budi pekerti, moral dan sikap mental kemasyarakatan yang bertanggung jawab.

Kitab ta’lim al-muta’allim itu sendiri merupakan salah satu dari bermacam-macam kitab kuning yang ada di pesantren-pesantren umumnya. Adapun tujuan mempelajari kitab kuning menurut zamakhsari dhofier adalah sebagai berikut:

a. Untuk mendidik calon-calon ulama’

b. Untuk mencari pengalaman dalam hal penda;aman perasaan keagamaan.22 Kemudian secara umum tujuan pengajaran kitab ta’lim al-muta’allim adalah untuk membantu santri dalam memahami dirinya dan lingkungannya dalam menuntut ilmu, memilih guru, ilmu, teman dan sebagainya, baik di

22

Zamakhsari dhifir, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (jakarta: LP3ES, 1984), h. 50.


(32)

lingkungan pesantren maupun di tempat-tempat lain dalam menuntut ilmu yang membentuk akhlak yang sesuai, serasi dan seimbang dengan diri dan lingkungannya. Di pesantren inilah santri tepat untuk diberikan pengajaran kitab ta’lim al-muta’allim melalui tatap muka secara langsung oleh guru bidang study (kyai). Santri pada saat ini sangant membutuhkan akan bimbingan akhlak dalam menuntut ilmu, sehingga akhirnya mereka dapat memahami dan menela’ah akhlak yang sesuai dengan eksistensinya sebagai santri.

Pengenalan tentang akhlak santri terutama yang ada hubungannya dengan pengajaran kitab ta’lim al-muta’allim adalah melalui akhlak atau sikap guru/kyai. Pelaksanaan tersebut terutama yang ada hubungannya dengan akhlak dalam menuntut ilmu. Lebih lanjut dikatakan oleh al-ghazali bahwa metode mendidik anak dengan memberikan contoh, pelatihan dan pembiasaan kemudian nasehat dan anjuran sebagai alat pendidikan dalam rangka membina akhlak anak sesuai dengan ajaran agama islam.23

2. Biografi Pengarang Kitab Ta’lim al-Muta’allim (Syekh Al-Zarnuji)

Kata “Syekh” adalah panggilan kehormatan untuk pengarang kitab ini. Sedangkan Az-Zarnuji adalah nama marga yang diambil dari nama kota tempat beliau berada, yaitu kota Zarnuji di antara dua kata itu ada yang menulis gelar Burhanuddin (bukti kebenaran agama), sehingga menjadi Syekh

23


(33)

Burhanuddin Az-Zarnuji. Zarnuj masuk kota Irak, tetapi kota itu dalam peta sekarang masuk wilayah Turkistan (Afganistan).24

Az-Zarnuji memiliki nama lengkap Burhanuddin Al-Islami. Di kalangan ulama belum ada kepastian mengenai tanggal kelahirannya. Az-zarnuji wafat tahun 571 H/ 1175, berasal dari suatu daerah yang bernama Afghanistan dan menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkand, yaitu kota yang menjadi pusat kegiatan keilmuan dan pengajaran. Masjid-masjid di kedua kota tersebut dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan ta’lim yang diasuh oleh Burhanudin Al-Marginani, Samsudin Abdul Al-Wajdi dan lain-lain.25

Syekh Az-Zarnuji belajar kepada para ulama’ besar waktu itu. Antara lain, seperti disebut dalam Ta’lim al-Muta’allim sendiri adalah Burhanuddin Ali bin Abu Abu Bakar Al-Marghinani, ulama’ besar bermadzhab Hanafi yang mengarang kitab Al-Hidayah, suatu kitab fiqih rujukan utama dalam madzhabnya beliau wafat tahun 593 H/ 1197 M. Ruknul Islam Muhammad bin Abu Bakar popular dengan gelar Khowair Zadeh atau Imam Zadeh. Beliau ulama besar ahli fiqih bermadzhab Hanafi, pujangga sekaligus penyair, pernah menjadi mufti di Bocharqa dan sangat masyhur fatwa-fatwanya. Wafat tahun 573 H/ 1177 M. Syekh Hammad bin Ibrahim, seorang ulama’ ahli fiqih bermadzhab hanafi, sastrawan dan ahli kalam. Wafat tahun 576 H/ 1180 M. Syekh Fakhruddin Alkasyani yaitu Abu Bakar bin Mas’ud Alkasyani, ahli

24

Az Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, Terjemah Abu Na’im (Kediri: Mukjizat, 2015), h. xi

25


(34)

fiqih bermadzhab Hanafi, pengarang kitab Badai’us Shana’i. Wafat tahun 587 H/ 1191 M. Syekh Fakhruddin

Qadli Khan Al Kuzjandi, ulama besar yang dikenal sebagai mujtahid dalam madzhab Syafe’i, dan banyak kitab karangannya. Beliau wafat tahun 592 H/ 1192 M. Rukhnuddun Al Farghani yang digelari Al-Adib Al-Mukhtar (sastrawan pujangga pilihan), seorang ulama fiqih, bermadzhab Hanafi pujangga sekaligus penyair. Wafat tahun 594H/ 1198 M. Melihat para guru beliau, maka Syekh Az Zarnuji adalah seorang ulama ahli fiqih bermadzhab Hanafi dan sekaligus menekuni bidang pendidikan. Sedangkan mengenai kewafatan al-Zarnuji terdapat perbedaan, ada yang menyatakan al-Zarnuji wafat pada tahun 591 H (1195 M).26

3. Isi Kitab Ta’lim al-Muta’allim

Kitab ini oleh pengarangnya dimaksudkan sebagai buku petunjuk tentang metode bagi para santri. Dalam kitab ini pengarang mengelompokkan pembahasan pada tiga belas bab, yaitu:27

a. Tentang Hakikat Ilmu, Fiqih Dan Keutamaannya 1) Kewajiban belajar

Dan wajib bagi seorang muslim mempelajari ilmu sesuatu yang sedang di alami dengan sebatas ilmu yang dapat mengantarkan yang

26

Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi abad ke-21, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), h. 31.

27


(35)

wajib, karena hal-hal yang dapat mengantarkan pada pelaksanaan kefardhuan itu juga menjadi fardlu, dan hal-hal yang dapat mengantarkan pada pelaksanaan kewajiban itu juga menjadi wajib. Begitu juga tentang puasa dan zakat jika dia punya harta, dan berhaji jika telah wajib atasnya, begitu juga halnya dengan berdagang jika dia memang pedagang.

2) Keutamaan ilmu

Dan kemuliaan ilmu tidaklah samar bagi seseorang karena ilmu dikhususkan untuk manusia, sebab semua sifat selain ilmu, bisa dimiliki manusia dan binatang, seperti sifat berani, dan sifat sangat berani, sifat kuat, sifat baik, sifat kasih sayang, dan lain sebagainya selain ilmu.

3) Belajar ilmu akhlak

(sebagaimana wajib mempelajari ilmu hati) begitu juga halnya pada semua akhlak seperti sifat baik, sifat pelit, sifat pengecut, sifat pemberani, sifat pemberani, sifat sombong, sifat merendah, sifat menjaga diri dari hal haram, sifat berlebih-lebihan (mubazir), sifat terlalu perhitungan (sangat pelit) dan lainnya. Maka sesungguhnya sifat sombong, sifat bakhil, sifat pengecut, sifat berlebih-lebihan adalah haram, dan tidak mungkin dapat menghindarinya kecuali dengan mengetahui kriteria sifat-sifat tersebut serta mengetahui cara


(36)

menghilangkannya. Oleh karena itu orang islam wajib mengetahuinya.28

4) Ilmu yang fardhu kifayah dan yang haram dipelajari

Adapun mempelajari amalan agama yang dikerjakan pada saat tertentu itu adalah fardhu kifayah, bila sebagian orang melaksanakannya pada suatu negeri maka mereka semuanya bergabung/terkena dalam dosa. Maka wajib atas para imam (penguasa) untuk menyuruh mereka pada yang demikian itu dan memaksa penduduk negeri untuk melaksanakan itu.

5) Definisi ilmu

Adapun pengertian Ilmu itu adalah suatu sifat yang dengannya sesuatu yang disebutkan menjadi jelas bagi orang yang memilikinya. b. Tentang Niat Saat Belajar

1) Niat belajar

Bagi para pelajar harus niat pada saat belajar, karena niat adalah pokok dari segala hal, berdasarkan sabda Nabi saw, sesungguhnya segala sesuatu itu bergantung pada niat (hadits shohih). 2) Niatan baik dan buruk

Dan seyogyanya para pelajar dalam menuntut ilmu untuk berniat mendapatkan ridho Allah swt (di dunia) dan di negeri akhirat, menghilangkan kebodohan yang ada pada dirinya dan pada

28


(37)

orang bodoh yang lain, menghidupkan agama, melanggengkan Islam, karena kelanggengan Islam itu dengan ilmu. Tidak sah berbuat zuhud dan bertaqwa sementara dalam kebodohan.

3) Kelezatan dan hikmah ilmu

Barang siapa yang merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkan ilmu niscaya ia sedikit sekali tertarik dengan apa yang ada pada manusia.

4) Pantangan ahli ilmu

Bagi pemilik ilmu, seyogyanya tidak mengunakan dirinya dengan sifat rakus yang bukan pada tempatnya, dan hendaknya menjauh dari apa yang mengakibatkan hinanya ilmu dan si pemiliknya, dan hendaknya engkau menjadi orang yang merendah. 5) Saran khusus buat pelajar

c. Memilih Ilmu, Guru, Teman Dan Ketabahan Menuntut Ilmu 1) Syarat-syarat ilmu yang dipilih

Penting bagi pelajar memilih dari tiap-tiap ilmu yang terbaik, dan ilmu yang menjadi kebutuhannya dalam urusan agamanya pada saat sekarang, lalu ilmu yang dia butuhkan pada masa yang akan datang.

2) Syarat-syarat guru yang dipilih

Adapun memilih guru, maka sepantasnya untuk memilih guru yang paling alim dan wara’ dan lebih tua usianya, sebagaimana Abu


(38)

Hanifah telah memilih Hammad bin Abi Sulaiman (sebagai gurunya) setelah menimbang dan merenung.

3) Bermusyawarah

Demikianlah, sebaiknya pelajar bermusyawarah pada setiap urusan. Karena sesungguhnya Allah swt menyuruh Rasulnya untuk bermusyawarah pada setiap urusan, padahal tidak ada orang yang lebih pinter dari beliau, atas dasar itulah maka diperintahkan bermusyawarah. Dan Rasul senantiasa bermusyawarah dengan para sahabat-sahabatnya pada segala urusan sampai masalah kebutuhan rumah tangga.

4) Sabar dan tabah dalam belajar

Ketahuilah, bahwasannya sabar dan tekun/tabah pada (satu guru) adalah sumber yang amat penting dalam semua urusan, bahkan hal itu sangat mulia.

5) Memilih teman

Adapun memilih teman, maka sepantasnya untuk memilih teman yang bersungguh-sungguh, wira’i (sifat hati-hati dari barang haram), yang memiliki tabiat yang lurus dan yang berusaha mengerti. Dan hendaklah menjauhi orang-orang malas, penganguran, banyak ngomong, banyak membuat kekacauan, suka menfitnah.


(39)

d. Mengagungkan Ilmu Dan Pemiliknya 1) Mengagungkan ilmu

Ketahuilah, bahwasannya penuntut ilmu itu tidak akan mendapatkan ilmu dan tidak bisa memanfaatkanya kecuali dengan mengagungkan ilmu dan pemiliknya, memuliakan guru dan menghormatinya.

2) Mengagungkan guru

Dan di antara cara mengagungkan ilmu adalah mengagungkan guru. Ilmu adalah sesuatu yang mulia yang karena mulianya, harta seberapapun banyaknya tidak akan sesuai untuk di bandingkan dengan ilmu, karena hanya ilmulah yang membedakan manusia dari makhluq lainnya.

3) Memuliakan kitab

Di antara cara menghormati ilmu adalah menghormati ilmu adalah menghormati kitab, seyogyanya bagi penuntut ilmu, jangan sampai mengambil kitab kecuali dengan keadaan suci.

4) Menghormati teman

Di antara cara mengagungkan ilmu adalah dengan mengagungkan teman belajar dan orang yang ia belajar kepadanya (yakni guru) adapun memperlihatkan cinta kasih sayang itu tercela kecuali dalam menuntut ilmu, karena si pelajar harus berusaha


(40)

menampakkan sayangnya terhadap gurunya dan teman-temannya agar bisa mendapatkan ilmu dari mereka.

5) Sikap selalu hormat dan khidmah

Dan sebaiknya juga bagi penuntut ilmu untuk mendengar/mencari ilmu dan hikmah dengan penuh rasa mengagungkan dan hormat. Sekalipun ia sudah pernah mendengar satu masalah atau hikmah seribu kali. Dikatakan barang siapa yang rasa hormat pada satu masalah atau hikmah yang telah didengarnya seribu kali tidak seperti rasa hormat pada masalah itu saat pertama kali maka ia tidaklah termasuk ahlul ilmu.

6) Jangan memilih ilmu sendiri

Dan sebaliknya bagi penuntut ilmu untuk tidak memilih satu macam ilmu untuk tidak memilih satu macam ilmu menurut keinginan sendiri, akan tetapi hendaklah menyerahkan urusannya kepada guru, karena guru sesungguhnya telah mencapai/melewati percobaan dalam hal itu, dan beliau lebih tau apa yang baik bagi tiap-tiap pribadi seorang, dan yang patut/layak dengan tabiat kepribadiannya.

7) Jangan duduk terlalu dekat dengan guru

Sebaiknya bagi para penuntut ilmu, jangan duduk terlalu dekat dengan guru pada saat belajar jika tidak terpaksa, akan tetapi sebaiknya antara dia dan gurunya ada jarak panjang busur panah, karena demikian itu lebih mendekati kepada menghormati guru.


(41)

8) Menyingkiri akhlak tercela

Dan sebaiknya bagi penuntut ilmu untuk menjauhi akhlak tercela, karena akhlak tercela itu adalah laksana anjing secara maknawi.

e. Tentang Bersungguh-Sungguh, Kontinuitas Dan Cita-Cita Luhur 1) Kesungguhan hati

Kemudian bagi penuntut ilmu haruslah bersungguh-sungguh, terus-menerus, dan selalu dalam menuntut ilmu.

2) Kontinuitas dan mengulang pelajaran

Dan harus bagi penuntut ilmu untuk terus-menerus belajar dan mengulang-ulang pelajaran di awal dan akhir malam, karena sesungguhnya antara magrab dan isya’. Dan waktu tengah malam adalah waktu yang penuh berkah.

3) Menyantuni diri

Dan janganlah memaksakan diri, jangan membuat diri sampai lelah sehingga menjadi putus berbuat, akan tetapi hendaklah menggunakannya dengan penuh kasih sayang/ menyantuni diri sendiri dalam belajar (maksudnya kalau capek istirahat).

4) Cita-cita luhur

Kemudian bagi orang yang menuntut ilmu itu harus memiliki keinginan/cita-cita yang tinggi dalam hal ilmu, karena sesungguhnya


(42)

seseorang akan terbang dengan cita-citanya seperti halnya burung yang terbang dengan kedua sayapnya.

5) Usaha sekuat tenaga

Untuk menghasilkan ilmu sebaiknya bagi penuntut ilmu bersusah payah, bersungguh-sungguh dan terus menerus (kontinu) dengan merenungkan keagungan dari suatu ilmu, karena ilmu itu langgeng sedangkan harta itu musnah.

6) Sebab kemalasan

7) Cara mengurangi makan

Adapun cara mengurangi makan adalah merenungkan manfaat dari sedikit makan yaitu menjdaikan badan sehat, menjaga diri dari hal haram, dan suka mengutamakan/mmendahulukan orang lain.

f. Memulai Belajar Batasan Belajar Dan Urut-Urutannya 1) Hari mulai belajar

2) Panjang pendeknya pelajaran

Seyogyanya batasan belajar pelajaran bagi pemula yaitu seukuran/sebatas pelajaran yang mampu untuk dihafal dengan di ulang dua kali, dan setiap harinya menambah satu kalimat sehingga sekalipun pelajaran itu panjang dan banyak akan tetap bisa di hafal dengan diulang dua kali, dan dia terus menambah dengan berlahan dan bertahap.


(43)

3) Tingkat pelajaran yang didahulukan

Sebaiknya pelajar memulai belajar dengan suatu kitab yang lebih mudah untuk di faham.

4) Membuat catatan

Dan seyogyanya, selalu mencatat hasil pengajian dari ustad, setelah menghafalnya dan diulang berkali-kali, karena hal itu sangat bermanfaat.

5) Usaha memahami pelajaran

Dan seyogyanya pelajar bersungguh-sungguh untuk memahami apa yang disampaikan oleh gurunya atau dengan cara merenungkan, berfikir, dan banyak mengulang-ulang, karena sesungguhnya sedikit mengaji pengajian disertai banyak mengulang-ulanag dan merenung, maka akan mudah didapat dimengerti.

6) Berdo’a

Juga seyogyanya pelajar untuk bersungguh-sungguh (dalam belajar dan memahami) dan selalu berdo’a kepa Allah swt, merendahkan diri kepada Allah, karena dia (Allah) sesungguhnya akan menerima doa orang-orang yang berdoa kepadaNya, dan tidak akan merugi orang selalu mengharapkan rohmat dan ampunanya.

7) Mudzakarah munadharah dan mutharahah

Dan diharuskan bagi penuntut ilmu untuk selalu mudzakarah (musyawarah), bertukar pikiran dan dialog.


(44)

8) Menggali ilmu

Dan sebaiknya bagi penuntut ilmu yaitu selalu merenungkan/berfikir dalam semua waktunya tentang mempelajari ilmu-ilmu yang sulit, dan ia harus membiasakan demikian itu, karena sesungguhnya ilmu-ilmu yang sulit bisa di dapat hanya di renung/di fikir, oleh karena itu dikatakan; merenunglah/berfikirlah niscaya engkau akan dapatkan.

9) Pembiayaan untuk ilmu 10)Bersyukur

Dan seperti halnya demikian, seorang pelajar seyogyanya sibuk bersyukur pada Allah dengan lisan (mulut), hati, anggota badan, dan dengan harta benda.

11)Pengorbanan harta untuk ilmu

Barang siapa yang memiliki harta maka janganlah bakhil/pelit, dan sebaiknya dia berlindung kepada Allah swt, dari sifat bakhil. 12)Loba dan tamak

Dan selanjutnya, seorang pelajar seyogyanya memiliki cita-cita tinggi serta tidak mengharap-harap harta benda orang lain.


(45)

14)Lillahi ta’ala

Dan sepantasnya pelajar jangan mengharap-harap kecuali kepada Allah swt, dan jangan takut kecuali kepadanya, demikian itu akan tampak jelas dari dia senang melanggar aturan syari’at atau tidak. 15)Mengukur kemampuan diri sendiri

Dan sebaiknya bagi pelajar menghitung dan mentargetkan dalam mengulang-ulang, karen atidak akan tertanam dalam hatinya sehingga dia sampai pada yang ditargetkannya.

16)Metode menghafal

Dan seyogyanya si pelajar mengulang-ulang pelajaran yang kemaren lima kali, pelajaran yang sebelumnya lagi tiga kali, dan pelajaran yang sebelumnya lagi tiga kali, dan pelajaran yang sebelumnya dua kali dan pelajaran sebelumnya satu kali.

17)Panik dan bingung

Dan seyogyanya bagi penuntut ilmu tidak sampai panik dan bingung, karena hal itu bencana (yang dapat menghalangi kesuksesan). 18)Sebuah metode belajar

g. Tentang Bertawakal 1) Urusan rizki

Kemudian haruslah bagi penuntut ilmu bertawakal dalam menuntut ilmu, jangan memperhatikan urusan rizki dan jangan sibuk hatinya dengan yang demikian itu.


(46)

2) Pengaruh urusan duniawi

Dan janganlah orang yang berakal mengkhawatirkan urusan dunia, karena kekhawatiran dan kesusahan tidak dapat menolak musibah dan tidak bermanfaat bahkan memudharatkan hati, aqal, badan dan membuatnya tidak dapat berbuat baik.

3) Hidup dengan prihatin

Dan seharusnya bagi penuntut ilmu menanggung kesulitan dan keletihan dalam perjalanan untuk belajar.

4) Menggunakan seluruh waktu buat ilmu

Dan sepantasnya bagi para penuntut ilmu untuk tidak menyibukkan diri dengan sesuatu lain selain ilmu, dan jangan berpaling dari ilmu fiqih.

h. Waktu Untuk Mendapatkan Ilmu

Dikatakan; waktu belajar dari buaian ibu sampai liang lahat. Paling utamanya waktu (untuk belajar) adalah masa muda dan pada waktu sahur, dan waktu antara magrib dan isya’.

i. Tentang Kasih Sayang Dan Nasehat 1) Kasih sayang

Seyogyanya, keberadaan sosok orang yang berilmu memiliki rasa kasih sayang, suka menasehati, tidak hasad (iri hati), karena sesungguhnya sifat hasad itu memudharatkan dan tidak bermanfaat.


(47)

2) Menghadapi kedengkian

Dan seyogyanya si pelajar tidak bertengkar dan bermusuhan (terus berselisih) dengan seseorang, karena hal itu hanya menyia-nyiakan waktu.

j. Mengambil Pelajaran

1) Mengambil pelajaran dari para sesepuh

Sebaiknya, para penuntut ilmu selalu berguru pada para guru, dan mengambil ilmu dari mereka, karena tidaklah setiap apa yang yang telah lepas/hilang akan didapat.

2) Prihatin dan rendah di mata manusia

Dan bagi para penuntut ilmu harus untuk siap menerima beban yang berat/kesulitan dan kehinaan dalam menuntut ilmu.

k. Waro’ (Menjaga Diri Dari Haram) Pada Masa Belajar 1) Menghadap kiblat

2) Perbuatan adab dan sunnah

Seyogyanya, penuntut ilmu tidak meremehkan adab (sopan santun) dan sunah-sunah Rasul, sebab siapa yang mengabaikan adab maka terhalang dari menjalankan ibadah-ibadah sunnah, sedangkan orang yang mengabaikan sunnah akan terhalang dari menjalankan ibadah-ibadah fardhu, dan siapa yang meremehkan fardhu akan terhalang dari meraih pahala akhirat.


(48)

l. Hal-Hal Yang Membuat Hafal Dan Membuat Mudah Lupa

Adapun hal yang paling kuat sebagai penyebab kuat hafalan adalah bersungguh-sungguh, terus-menerus, sedikit makan, melakukan sholat malam. Membaca al-qur’an termasuk bagian dari sebab yang memperkuat hafalan.29

1) Penyebab lupa

Adapun hal-hal yang mengakibatkan mudah lupa adalah perbuatan maksiat, sangat cemas dan sedih dalam urusan dunia, terlalu sibuk dan bergantung (dengan hal-hal yang berkaitan dengan urusan dunia).

m. Hal-Hal Yang Mendatangkan Rizki Dan Yang Mencegahnya, Dan Yang Memperpanjang Usia Serta Yang Menguranginya

1) Pandangan rizki

Adapun sebab-sebab kuat yang menarik dan menghasilkan rizki yaitu mendirikan sholat dengan penuh rasa ta’dhim dan khusyu’, menyempurnakan rukun-rukun sholat, dan kewajiban-kewajiban lainnya dalam sholat, menjalankan sunnah-sunnahnya dan adabnya. 2) Penambah usia

Di antara yang bisa menambah umur adalah perbuatan baik, meninggalkan hal-hal yang bisa menyakitkan orang lain, memuliakan orang-orang yang lebih tua dari kita, bersilaturrahim, dan dia membaca

29


(49)

berikut ini di waktu pagi dan sore, setiap hari tiga kali ءلم ه بس ل ... ز ل

3) Kesehatan badan

Dan seorang pelajar harus mempelajari ilmu kedokteran (tentang pengobatan).

B. Tinjauan Tentang Washaya Al Abaa’ Lil Abnaa’

1. Kitab Washaya Al-Abaa’ Lil Abnaa’

Kitab washaya Al-Abaa’ Lil Abnaa’ karya seorang ulama terkenal mesir Muhammah Syakir adalah kitab yang berisi bimbingan akhlak yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari yang besar manfaatnya untuk seluruh umat manusia dalam mewujudkan bangsa yang berbudi luhur dan bertaqwa kepada Allah Swt.30 Kitab washaya al-abaa’ lil abnaa’ karya muhammad syakir ini tersusun atas dua puluh pasal. Kitab ini sejak puluhan tahun diajarkan di pondok pesantren di indonesia untuk santri tingkat dasar dengan teks aslinya yang berbahasa arab.

Kitab washaya al-abaa’ lil abnaa’ ini berisi pelajaran atau tuntunan dasar tentang akhlak yang mulia. Kitab ini sengaja ditulis untuk para pelajar ilmu agama (santri). Kitab ini mengandung berbagai persoalan akhlak yang paling mendasar yang sangat diperlukan oleh setiap pelajar. Apabila allah

30

M. Syakir, Washaya Al-Abaa’ Lil Abnaa’, terj M. Fadlil Said An-Nadwi, (Surabaya: Al-Hidayah, t.t), h. 7.


(50)

memberi petunjuk kepada pelajar hingga dapat mempraktekkan kandungan kitab ini, maka dia dapat diharapkan ilmunya diberi kemanfaatan oleh Allah, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat umum.31

Di kalangan pesantren kitab ini sering disebut sebagai “kitab kuning” yaitu salah satu kitab klasik berbahasa arab. Selama ini penggunaan kitab washoya di madrasah diniyah dan pesantren belum memunculkan jawaban bagaiman relevansi kitab ini karen atidak ada pejabaran tujuan instruksional dalam kurikulum, selain itu digunakannya kitab Washoya karena motif kurikulum warisan. Dalam hal ini mengakibatkan kurang terkuaknya signifikansi penggunaan kitab ini.

2. Biografi Pengarang Kitab Washaya Al-Abaa’ Lil Abnaa’ (Syaikh Muhammad Syakir Al-Iskandari)

Beliau adalah seorang tokoh pembaharu di universitas Al-Azhar.32 Dan juga sebagai penulis yang produktif yang dikenal sebagai keluarga Abi „Ulayyaa’ dan keluarga yang dermawan yang telah dikenal sebagai keluarga yang paling mulia dan paling dermawan di kota jurja. Beliau lahir di jurja

31

Ibid,. h. 9

32

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Akar dan Awal (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 172.


(51)

pada pertengahan Syawal tahun 1282 H. Ayahnya bernama Ahmad bin Abdul Qadir bin Abdul Warits.33

Semasa hidupnya beliau menghafal Al-Qur’an dan belajar dasar-dasar studi di jurja. Kemudian beliau berpergian untuk menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar. Pada saat belajar di sana beliau belajar dengan guru-guru besar pada masa itu. Pada tahun 1307 H beliaudipercayai untuk memberikan fatwa dan menduduki jabatan sebagai ketua mahkamah mudiniyah Al-Qulyubiyyah, 3dan tinggal di sana selama tujuh tahun sampai beliau dipilih menjadi Qadhi (hakim) untuk negeri sudan pada tahun 1317 H.

Syaikh Muhammad Syakir adalah orang pertama yang menduduki jabatan ini dan orang pertama yang menetapkan hukum-hukum hakim yang syar’i di sudan di atas asas yang paling terpercaya dan paling kuat.34

Pada tahun 1322 H, beliau ditunjuk sebagai guru bagi para ulama-ulama Iskandariyyah sampai membuahkan hasil dan memunculkan bagi kaum muslimin, orang-orang yang menunjukkan umat supaya dapat mengembalikan kejayaan Islam di seantero dunia. Selain itu, beliau juga sebagai wakil para guru Al-Azhar, sampai beliau menebarkan benih-benih yang baik ketika itu, beliau mengunakan kesempatan dengan mendirikan Jam’iyyah Tasyni’iyyah pada tahun 1913 H.

33

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat: Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), h. 160.

34


(52)

Kemudian beliau berusaha utuk menjadi anggota organisasi tersebut sebagai pilihannya dari sisi pemerintah Mesir.35 Dengan itulah beliau meninggalkan jabatannya, serta enggan untuk kembali pada satu bagian pun dan jabatan-jabatan tersebut. Beliau tidak lagi berhasrat setelah itu kepada sesuatu yang memikat dirinya, bahkan beliau lebih mengutamakan untuk hidup dalam keadaan pikiran, amalan hati, dan ilmu yang bebas lepas. Disamping itu, beliau memiliki pemikiran-pemikiran yang benar pada tulisannya, dan ucapan-ucapan yang membakar, senantiasa ada yang menentang itu semua yang mengumandangkannya pada pikiran-pikiran sebagian besar orang-orang yang bersikeras terhadap perkara-perkara Ijtimaiyyah. Dan termasuk karakteristik beliau yaitu bahwa beliau mengkokohkan agamanya, mengkokohkan dirinya di dalam aqidahnya., mengkokohkan pemikirannya. Beliau merupakan seorang tokoh pemberani bukan pengecut, tidak menghindar dari seorangpun, dan tidak merasa takut kecuali keppada Allah Ta’ala.

Pada akhir hayatnya, beliau terbaring di rumahnya karena sakit, dan selalu berada di ranjangnya tatkala lumpuh menimpanya. Beliau merasakan sakitnya dengan sabar dan penuh berharap akan ampuna-Nya, ridha terhadap Tuhannya dan terhadap dirinya, dengan penuh keyakinan bahwa dirinya benar-benar telah menegakkan apa yang diwajibkan bagi dirinya berdasarkan

35


(53)

agamanya dan umatnya, menunggu panggilan Rabbnya kepada hambaNya yang shaleh, sebagaimana Allah berfirman:

ط ل س ّنل تّ أ ةّن

)( تّنج ل )( بع ف ل ف )( ًةّ ضرم ًة ض ر كبر لإ عجر )(

Artinya:

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Qs: Al-Fajr: 27-30)36

beliau wafat pada tahun 1358 H yang bertepatan pada 1939 M. Semoga Allah Ta’ala merahmati beliau dengan rahmat yang luas dan semoga juga terlimpah bagi anak beliau yaitu Al-„Allamah Syaikh Ahmad Muhammad Syakir Abil Asybal seorang muhaddits besar, beliau telah menulis suatu risalah tentang perjalanan hidup ayahnya yang diberi nama “Muhammad Syakir” seorang tokoh dan para tokoh zaman.

3. Isi Kitab Washaya Al-Abaa’ Lil Abnaa’

Kitab Washaya al-Abaa’ Lil Abnaa’ karya Muhammad Syakir ini tersusun atas dua puluh pasal, yakni:37

a. Nasehat guru kepada muridnya

36

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Pustaka Agung Harapan, 2006), h. 595.

37


(54)

b. Pesan taqwa kepada Allah

c. Kewajiban terhadap allah dan rasul-Nya d. Hak dan kewajiban terhadap kedua orang tua e. Hak dan kewajiban terhadap teman

f. Tata cara menuntut ilmu g. Tata cara belajar dan diskusi

h. Tata cara berolah raga dan berjalan di jalan raya i. Tata cara menghadiri pertemuan

j. Tata cara makan dan minum

k. Tata cara beribadah dan masuk masjid l. Keutamaan kejujuran

m. Keutamaan amanah n. Keutamaan menjaga diri

o. Harga diri, kesantrian, dan kehormatan

p. Menggunjing, mengadu domba, dengki, sombong, dan lalai q. Taubat, cemas, pengharapan, sabar, serta syukur

r. Keutamaan kerja diserta tawakkal dan zuhud s. Ikhlas dalam segala amal

t. Wasiat terakhir tentang memperbanyak membaca al-Qur’an dan menghafalkan ayat-ayatnya yang mulia, instropeksi diri serta memperbanyak mendekatkan diri kepada Allah dan berdoa untuk diri sendiri, kedua orang tua dan semua teman yang seiman.


(55)

C. Tinjauan Tentang Akhlak 1. Pengertian Akhlak

Secara etimologis, kata Akhlak berasal dari bahasa Arab ( ا ) dengan unsur “ ,ل , ” yang merupakan bentuk jamak dari kata ل (khuluk) yang artinya tabiat, budi pekerti, kebiasaan atau adab.38 Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “khalqun” ( ل ) yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan “khaliq” ( ل ) yang berarti pencipta, dan “makhluk” ( ل م) yang berarti yang diciptakan.39 ( ل ل ( jamak dari kata ( ا ) yang artinya tabiat, budi pekerti.40 Tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat, dan telah menjadi kebiasaan.41 Akhlak diartikan juga sikap yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingkah laku) mungkin baik dan mungkin juga buruk.42

Akhlak atau budi pekerti, dalam bahasa inggris disamakan dengan “moral” atau ethics”, yang berasal dari bahasa yunani “mores” dan “ethicos” yang berarti adat kebiasaan. Dari adat kebiasaan inilah muncul tatanan moral, etika yang kemudian menjadi budi pekerti. Sedangkan menurut istilah akhlak adalah sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya.sifat itu dapat lahir berupa perbuatan baik

38

Ensiklopedi Islam, Akhlak (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h. 130

39

Zahrudin AR, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 1

40

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 364.

41

Ensiklopedi Hukum Islam, cet. 1 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h. 72-73.

42

Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 346.


(56)

disebut akhlak mulia atau perbuatan buruk disebut akhlak tercela sesuai dengan pembinaannya.43

Secara terminologi akhlak berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.44

Secara Istilah, Terdapat Berbagai Pendapat Para Ahli Tentang Akhlaq, Yaitu:45

a. Imam Al-Ghazali

“Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dahulu)”.

b. Ibnu Maskawaih

“Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dahulu)”.46

c. Abdul Hamid

“Akhlak ialah ilmu tentang keutamaan yang harus dilakukan dengan cara mengikutinya sehingga jiwannya terisi dengan kebaikan, dan

43

Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 1

44

Ismail Nawawi, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: VIV Press, 2013), h. 280.

45

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2012), cet. Ke-2, h. 2-3

46

Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 4.


(57)

tentang keburukan yang harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong (bersih) dari segala bentuk keburukan”.

d. Ibrahim Anis

“Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan”.47

e. Abdul Karim Zaidan

“Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang depan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk”.

f. Dr. M Abdullah Dirroz

“Akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat)”..

Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah suatu tindakan tanpa pemikiran dan pertimbangan yang terjadi karena kebiasaan melakukan tindakan tersebut.

2. Ruang Lingkup Akhlak

Menurut Hamzah Ya’qub yang dikutip oleh Ali Mas’ud, yang menjadi lapangan pembehasan kahlaq ialah sebagai berikut:

47


(58)

a. Membahas tentang cara-cara menilai baik dan buruknya suatu pekerjaan

b. Menyelidiki faktor-faktor penting yang mempengaruhi dan mendorong lahirnya tingkah laku manusia

c. Menerangkan mana akhlaq yang baik dan mana akhlaq yang buruk menurut ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits d. Mengajarkan cara-cara yang perlu ditempuh untuk meningkatkan budi

pekerti ke jenjang kemuliaan

e. Menegaskan arti dan tujuan hidup yang sebenarnya, sehingga dapat merangsang manusia secara aktif mengerjakan kebaikan dan menjauhi segala kelakuan yang buruk dan tercela.48

3. Tujuan Pendidikan Akhlak

Tujuan dari pendidikan akhlak dalam islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Dalam kata lain pendidikan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (al-fadhilah). Berdasarkan tujuan ini, maka setiap sata, keadaan, pelajaran, aktivitas,

48Ali Mas’ud,


(59)

merupakan sarana pendidikan akhlak. Dan setiap pendidik harus memelihara akhlak dan memperhatikan akhlak di atas segala-galanya.49

Tujuan pendidikan akhlak menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi memberikan penjelasan bahwa tujuan dari pendidikan akhlak adalah untuk membentuk orang-orang yang bermoral baik, berkeinginan keras, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, jujur serta ikhlas suci.50

Zakiah Darajat menyatakan bahwa perbuatan akhlak mempunyai tujuan langsung yang dekat, yaitu harga, dan tujuan jauh adalah ridha Allah melalui amal shaleh dan jaminan kebahagiaan akhirat.51

Barmawie umary dalam bukunya materi akhlak menyebutkan bahwa tujuan berakhlak adalah hubungan umat islam dengan Allah SWT dan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis.52

Sedangkan Omar M. M. Al-Toumy Al-Syaibany, tujuan akhlak adalah menciptakan kebahagiaan dunia dan akhirat, kesempurnaan bagi individu dan menciptakan kebahagiaan, kemajuan, kekuatan dan keteguhan bagi masyarakat.53

49

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), cet ke-4, h. 115.

50

Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustari, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), H. 104.

51

Zakiah Darajat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga Dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), h. 11.

52

Barmawie Umary, Materi Akhlak (Solo: CV Ramadhani, 1998), h. 2.

53

Omar M. M.al-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979, cet ke-2, h. 346.


(60)

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan akhlak pada prinsipnya adalah untuk mencapai kebahagiaan dan keharmonisan dalam berhubungan dengan allah SWT, di samping berhubungan dengan sesama makhluk dan juga alam sekitar, hendak menciptakan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna serta lebih dari makhluk lainnya.

4. Pembagian Akhlak

ada dua jenis akhlak dalam islam, yaitu akhlaqul karimah (akhlak terpuji) dan akhlaqul madzmumah (akhlak tercela).54

a. akhlaqul karimah

akhlak yang baik dan benar menurut syari’at Islam. yang termasuk akhlaqul karimah adalah:55

1) al-amanah

suatu sifat dan sikap pribadi yang setia, tulus hati dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya, berupa harta benda, rahasia maupun tugas kewajiban.

2) ash-shidqu

54

Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Prespektif Al-Qur’an, Cet 1, (Jakarta: Amzah, 2007), h. 12.

55Ali Mas’ud,


(61)

memberitahukan sesuatu sesuai dengan fakta (kejadian) nya, atau mengabari lainnya menurut apa yang ia yakini akan kebenarannya, dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah benar atau jujur.

3) al-adlu

berlaku sama tengah dalam segala urusan dan melaksanakannya sesuai dengan ketentuan syari’at.

4) asy-syaja’ah

keteguhan hati dalam membela dan mempertahankan yang benar, tidak mundur karena dicela, tidak maju karena dipuji, jika ia salah ia terus terang dan tiada malu mengakui kesalahannya.

5) tawadlu’

memelihara pergaulan dalam hubungan sesama manusia tanpa perasaan kelebihan diri dari orang lain serta tidak merendahkan orang lain.

b. akhlaqul madzmumah

akhlak yang tidak baik dan tidak benar menurut syari’at Islam atau perilaku yang dibenci Allah Swt, dan merusak hubungan harmonis dengan sesama manusia.56 yang termasuk akhlaqul madzmumah adalah:57

1) menghina

56

Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Prespektif Al-Qur’an, Ibid., 57Ali Mas’ud,


(62)

menghina adalah mengeluarkan kata-kata yang merendahkan dan menyakiti hati orang lain, termasuk mengolok-olok, mencela, melaknat/mengutuk, memaki dan mengejek.

2) Bergunjing

Membicarakan kejelekan atau aib orang lain atau menyebut masalah orang lain yang tidak disukainya, sekalipun hal tersebut benar-benar terjadi.

3) Dengki

sikap batin, keadaan hati, atau rasa tidak tenang, benci, dan antipati terhadap orang lain yang mendaoatkan kesenangan, nikmat, memiliki kelebihan darinya.

4) riya’

riya’ adalah sikap ingin dipuji oleh orang lain, karena dirinya merasa lebih dari orang lain.

5) Berdusta

Berdusta adalah berbicara dengan tidak sesuai kenyataan, berkata dusta adalah salah satu ciri kaum muunafik.

5. Faktor-Faktor Pembentukan Akhlak

Berbagai faktor yang mempengaruhi bentuk akhlak, adalah merupakan faktor penting yang berperan dalam menentukan baik dan buruknya tingkah


(63)

laku seseorang. Faktor-faktor tersebut juga turut memproduk dan mempegaruhi tingkah laku seseorang dalam pergaulan hidupnya sehari-hari.58

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk akhlak itu meliputi: instink, keturunan, lingkungan, kebiasaan, kehendak dan pendidikan.

a. Instink

Instink (naluri) adalah pola perilaku yang tidak dipelajari, mekanisme yang dianggap ada sejak lahir dan juga muncul pada setiap spesies.

Dari definisi di atas, dapat ditarik pengertian bahwa setiap kelakuan manusia, lahir dari suatu kkehendak yang digerakkan oleh naluri. Naluri merupakan tabiat yang dibawa manusia sejak lahir, jadi merupakan suatu pembawaan asli manusia.

Dalam ilmu akhlak pemahaman tentang instink ini amatlah penting, karena tidak akan merasa cukup kalau hanya menyelidiki tindak tanduk lahir dari manusia saja, melainkan merasa perlu juga menyelidiki latar belakang kejiwaan yang mempengaruhi dan mendorong suatu perbuatan tersebut.

Perlu diketahui bahwa kekuatan naluri dalam diri masing-masing individu berbeda satu dengan lainnya, sehingga menyebabkan daya pendorong dan kesanggupan berbuat masing-masing manusia berbeda pula.

58


(64)

b. Pola dasar bawaan (keturunan)

Dari realitas yang berlaku di alam ini menyatakan bahwa, cabang itu menyerupai pokoknya, dan pokok itu melahirkan apa yang serupa atau hampir serupa dengannya. Hal ini bisa dilihat pada beberapa anak menyerupai pokok-pokok mereka dan membawa sifat-sifat mereka, walaupun pokok-pokok itu sudah jauh. Perpindahan dari pokok-pokok kepada cabang-cabang inilah yang diamakan dengan keturunan.

Turunan adalah kekuatan yang menjadikan anak menurut gambaran orang tua. Ada yag mengatakan turunan adalah persamaan antara cabang dan pokok. Ada pula yang mengatakan bahwa turunan adalah yang terbelakang mempunyai persediaan persamaan dengan yang terdahulu.59

Keturunan, pembawaan atau heredity merupakan segala ciri, sifat, potensi, kemampuan yang dimiliki individu karena kelahirannya. Ciri, sifat, dan kemampuan-kemampuan tersebut dibawa individu dari kelahirannya, dan diterima sebagai ketuurunan dari orang tuanya.60

Keturunan memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Ia lahir ke dunia ini membawa berbagai ragam warisan yang berasal dari kedua ibu-bapak, atau nenek dan kakek. Warisan (turunan atau pembawaan) tersebut yang terpenting antara lain

59

Rahmad Djatmika, Sistem Etika Islami, (Surabaya: Pustaka Islam, 1985), h. 76.

60

Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologis Proses Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja RosdaKarya, 2005), Cet. Ke-3, h. 44.


(65)

bentuk tubuh, raut muka, warna kulit, intelegensi, bakat, sifat-sifat atau watak, dan penyakit.61

Adapun yang diturunkan orang tua kepada anaknya, itu bukanlah sifat yang dimiliki yang telah tumbuh dengan matang karena pengaruh lingkungan, adat atau pendidikan melainkan sifat-sifat bawaan sejak lahir. Sifat-sifat yang diturunka pada garis besarnya ada dua macam:

1) Sifat-sifat jasmaniah

Yakni kekuatan dan kelemahan otot dan urat syaraf orang tua dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Orang tua yang kekar ototnya, kemungkinan mewariskan kekekaran itu pada anak cucunya, misalnya orang-orang negro. Dan orang tua yang lemah atau sakit fisiknya kemungkinan mewariskan pula kelemahan dan penyakit itu pada cucunya.

2) Sifat rohaniah

Yakni lemah atau kuatnya suatu naluri dapat diturunkan pula oleh orang tua yang kelak mempengaruhi tingkah laku anak cucunya. c. Lingkungan

Salah satu faktor yang banyak memberikan pengaruh bagi kelakuan seseorang adalah lingkungan. Oleh karena itu seseorang yang hidup dalam lingkungan yang baik, secara langsung akan dapat

61

Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), ed. Revisi, cet. Ke-2, h. 47


(66)

membentuk nama baik baginya. Sebaliknya orang yang hidup dalam suatu lingkungan yang buruk, dia akan terbawa buruk walaupun dia sendiri misalnya tidak melakukan keburukan. Hal demikian biasanya lambat laun akan mempengaruhi cara kehidupan orang tersebut.

Lingkungan adalah segala sesuatu yang melingkungi atau mengelilingi individu sepanjang hidupnya. Karena luasnnya pengertian “segala sesuatu” itu maka dapat disebut baik lingkungan fisik seperti rumahnya, orang tuanya, sekolahnya, teman-teman sepermainannya dan sebagainnya, maupun lingkungan psikologis seperti aspirasinya, cita-citanya, masalah-masalah yag dihadapinya dan lain sebagainnya.62

Manusia hidup selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Itulah sebabnya manusia harus bergaul. Dan dalam pergaulan ii timbullah interaksi yang saling mempengaruhi dalam pikiran, sifat dann tingkah laku. Lingkungan pergaulan ini dapat dibagi atas beberapa kategori:

1) Lingkungan dalam rumah tangga 2) Lingkungan sekolah

3) Lingkungan pekerjaan 4) Lingkungan organisasi 5) Lingkungan ekonomi

6) Lingkungan pergaulan yang bersifat umum dan bebas.63

62Ali Mas’ud,

Akhlak Tasawuf, Ibid.,h. 44

63


(67)

d. Kebiasaan

Salah satu faktor penting dalam akhlak manusia adalah kebiasaan. Kebiasaan adalah perbuatan yang selalu diulang-ulang sehingga mudah dikerjakan. Banyak sebab yang membentuk adat kebiasaan, diantarannya: mungkin sebab kebiasaan yang sudah ada kemudian melanjutkannya, mungkin juga karena lingkungan tempat dia bergaul yang membawa dan memberi pengaruh yang kuat dalam kehidupan sehari-harii dan lain sebagainya.64

Di samping itu ada dua faktor penting yang melahirkann adat kebiasaann.

1) Karena adanya kecenderungan hati kepada perbuatan itu dia merasa senang untuk melakukannya.

2) Diperuntutkannya kecenderungan hati itu dengan praktek yang diulang-ulang sehingga menjadi biasa.

Orang yang sudah menerima suatu perbuatan menjadi kebiasaan atau adat dalam dirinya, maka perbuatan itu sukar ditinggalkan, karena berakar kuat dalam pribadinya. Begitu kuatnya pengaruh kebiasaan sehingga ketika akan dirubah, biasannya akan menimbulkan reaksi yang cukup keras dari dalam pribadi itu sendiri.

64Ali Mas’ud,


(68)

e. Kehendak

Salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak adalah kehendak. Kehendak merupakan faktor yang menggerakkan manusia utuk berbuat dengan sungguh-sungguh. Seseorang dapat bekerja sampai larut malam, dan pergi menuntut ilmu di negeri seberang berkat kekatan kehendak. Di dalam perilaku manusia, kehendak ini merupakan kekuatan yang mendorong manusia berakhlak. Kehedaklah yang mendorong manusia berusaha dan bekerja, tanpa kehendak semua ide, keyakinan, kepercayaan, pengetahuan menjadi pasif dan tidak ada arti bagi hidupnya.

65

Dengan demikian, kehendak ini mendapatkan perhatian khusus dalam lapangan etik, karena itulah yang menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Dari kehendak inilah menjelma niat yang baik dan yang buruk, sehingga perbuatan atau tingkah laku manusia menjadi baik dan buruk karena kehendaknya.66

Perbuatan hasil dari kehendak mengandung:67 1) Perasaan

2) Keinginan 3) Pertimbangan f. Pendidikan

65

Ibid., h. 46

66

Ibid., h. 47

67


(1)

2. Kepada Ustad dan Ustadzah

Diharapkan guru tidak hanya menggunakan metode tradisional tetapi juga harus menguasai metode modern.

3. Kepada Pengurus Putra dan Putra

Hendaknya pengurus secara kontinue dan tidak lengah untuk memperhatikan dan mengawasi santri-santri dalam melaksanakan tugas-tugas belajarnya, perilakunya, dan ibadahnya kepada Allah SWT.

4. Kepada Santri Putri dan Putra

Diharapkan tidak hanya mempelajari secara kognitif (keilmuan) saja tetapi juga bisa menerapkan dalam kehidupan sehari-hari apa yang ada dalam kitab-kitab yang dikaji di pondok pesantren.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Purtanto, Pius dkk. t.t. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka.

Abdullah, Taufik. 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Akar dan Awal. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve.

Abdullah,Yatimin. 2007. Studi Akhlak Dalam Prespektif Al-Qur’an, Cet 1. Jakarta: Amzah.

Ahmadi, Abu. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. 1993. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Al-Syaibany, Omar M. M.al-Toumy. 1979. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

AR, Zahrudin. 2004. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. AR, Zahruddin dan Hasanuddin Sinaga. 2004. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada.

Arifin, Zainal. 2013. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik: Jakarta.

PT Rineka Cipta.

AS, Asmaran . 1999. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Az Zarnuji, 2015. Ta’limul Muta’allim, Terjemah Abu Na’im. Kediri: Mukjizat. Azwar, Saifuddin. 2003. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(3)

Bawani, Imam. 1990. Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.

D. Marimba, Ahmad. 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.

Darajat, Zakiah. 1995. Pendidikan Islam Dalam Keluarga Dan Sekolah. Jakarta: Ruhama.

Daud Ali, Muhammad. 2011. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Dhifir, Zamakhsari. 1984. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.

Djatmika, Rahmad. 1985. Sistem Etika Islami. Surabaya: Pustaka Islam. Ensiklopedi Hukum Islam. 2001. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Ensiklopedi Islam. 2005. Akhlak . Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Hoedari, Amin dkk. 2004. Masa Depan Pesantren: Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangan Kompleksitas Global. Jakarta: IRD Press.

Ibrahim. 2015. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Yogyakarta: Erlangga. J. Moleong, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Langgulung, Hasan. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi abad ke-21. Jakarta: Pustaka Al-Husna.


(4)

M Echols, Jhon. t.t. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Madjidi, Busyairi. 1997. Konsep Kependidikan Para Filosofis Muslim. Yogyakarta: Al-Amin Press.

Mas’ud, Ali. 2012. Akhlak Tasawuf . Sidoarjo: CV Dwiputra Pustaka Jaya.

Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.

Mustofa, A. 1997. Akhlak Tasawuf . Bandung: CV Pustaka Setia.

Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Nata, Abuddin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Nawawi, Ismail. 2013. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: VIV Press.

Purwo Draminto , WJS. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Raharjo, M. Dawam. t.t. Pesantren dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Ramayulis. 2004. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Sah Saputra, Thoyib dan Wahyudin. 2009. Akidah Akhlak Madrasah Aliyah Kelas X Semarang: PT Karya Toha Putra.

Salahuddin, Mahfudh. 1990. Pengantar Psikologi Pendidikan. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif . Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif . Yogyakarta: Graha Ilmu.


(5)

Subhan, Fa’uti. 2006. Membangun Sekolah Unggulan Dalam Sistem Pesantren. Surabaya: Alpha.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Landasan Psikologis Proses Pendidikan. Bandung: PT Remaja RosdaKarya.

Syakir, M. t.t. Washaya Al-Abaa’ Lil Abnaa’, terj M. Fadlil Said An-Nadwi. Surabaya: Al-Hidayah.

Tim Penyusun Buku Pedoman Skripsi. 2010. Pedoman Penulisan Skripsi Program Studi Pendidikan Agama Islam. Surabaya: IAIN Press.

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2012. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN SA Press.

Umary, Barmawie. 1998. Materi Akhlak. Solo: CV Ramadhani.

Van Bruinessen , Martin. 1995 Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat: Tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.

Yasyin, Sulchan. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: AMANAH. Zainuddin, dkk. 1996. Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara. Zarkasyi, Abdullah Sukri. 2005. Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren.


(6)

Hasbullah. 1996. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.