Pengaruh pengajian kitab al Akhlak Lil Banin terhadap pembentukan akhlak siswa di Komunitas Belajar al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo.

(1)

SKRIPSI

Oleh :

Edwin Firmansyah NIM. D71213090

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

APRIL 2017


(2)

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Oleh :

Edwin Firmansyah NIM. D71213090

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

APRIL 2017


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

Kampoeng Sinaoe Sidoarjo.

Kata Kunci: Pengajian, Kitab Al Akhlak Lil Banin, Pembentukan Akhlak.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana pengajian kitab Al Akhlak Lil Banin di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo? (2) Bagaimana pembentukan akhlak siswa di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo ? (3) Bagaimana pengaruh pengajian kitab Al Akhlak Lil Banin terhadap pembentukan akhlak siswa di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo?

Instrument pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi. Dokumentasi sebagai instrument pengumpulan data primer dan teknik wawancara sebagai instrument pengumpulan data sekunder. Sedangkan analisis data menggunakan teknik prosentase untuk data yang bersifat deskriptif dan teknik Product Moment untuk data yang bersifat kuantitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Pengajian kitab Al Akhlak Lil Banin termasuk kategori baik. (2) Pembentukan akhlak siswa dalam kategori baik. (3) Hasil perhitungan Product Moment diperoleh angka yang nilainya tersebut menunjukkan lebih besar dari Harga Kritik Product Moment baik pada taraf signifikansi 5 % maupun 1 %, berarti hipotesis alternatif (Ha) diterima, dan hipotesis nihil (Ho) ditolak.

Kesimpulan bahwa terdapat pengaruh antara variabel pengajian kitab Al Akhlak Lil Banin terhadap pembentukan akhlak siswa di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo sebesar 33 %


(8)

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Kegunaan Penelitian... 10

E. Penelitian Terdahulu ... 11

F. Batasan Masalah... 13

G. Definisi Operasional... 14

H. Sistematika Pembahasan ... 16


(9)

b. Macam-Macam Pengajian ... 19

c. Pendekatan Pengajian ... 23

d. Metode Pengajian ... 24

2. Kitab Al Akhlak Lil Banin ... 34

a. Pengertian Kitab Al Akhlak Lil Banin ... 34

b. Materi Kitab Al Akhlak Lil Banin ... 36

B. Pembentukan Akhlak Siswa ... 38

1. Hakikat Akhlak ... 38

a. Pengertian Akhlak ... 38

b. Sumber dan Macam-Macam Akhlak ... 42

c. Tujuan Akhlak ... 48

2. Hakikat Siswa ... 50

a. Pengertian Siswa ... 50

b. Dasar-Dasar Kebutuhan Anak Untuk Memperoleh Pendidikan ... 51

3. Pembentukan Akhlak Siswa ... 59

C. Pengaruh Pengajian Kitab Al Akhlak Lil Banin Terhadap Pembentukan Akhlak Siswa ... 61


(10)

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 64

1. Jenis Penelitian ... 64

2. Rancangan Penelitian ... 64

B. Variabel, Indikator, dan Instrumen Penelitian ... 66

1. Variabel ... 66

2. Indikator ... 67

3. Instrumen Penelitian ... 68

C. Populasi dan Sampel ... 69

D. Teknik Pengumpulan Data ... 70

E. Teknik Analisa Data ... 71

BAB IV : LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 74

1. Letak Geografis Komunitas Belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo ... 74

2. Sejarah Singkat Kampoeng Sinaoe ... 75

3. Profil Komunitas Belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo ... 76


(11)

8. Sarana dan Prasarana Kampoeng Sinaoe ... 83

B. Penyajian dan Analisis Data ... 84

1. Penyajian Data ... 86

a. Pelaksanaan Pengajian Kitab Al Akhlak Lil Banin ... 86

b. Pembentukan Akhlak Siswa ... 89

c. Pengaruh Pengajian Kitab Al Lil Banin Terhadap Pembentukan Akhlak Siswa ... 92

2. Analisis Data ... 92

a. Pelaksanaan Pengajian Kitab Al Akhlak Lil Banin ... 93

b. Pembentukan Akhlak Siswa ... 95

c. Pengaruh Pengajian Kitab Al Akhlak Lil Banin Terhadap Pembentukan Akhlak Siswa ... 97

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ...110


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Akhlak merupakan ukuran kemanusiaan yang hakiki dan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia.1 Permasalahan akhlak pada saat ini menjadi topik penting dalam setiap kehidupan manusia. Para ahli ilmu sosial, sampai sekarang sependapat bahwa kualitas manusia tidak dapat diukur hanya dari keunggulan keilmuan dan keahlian semata, tetapi juga diukur dari kualitas akhlak.2

Krisis pada saat ini yang semua berpangkal dari krisis akhlak nampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai fenomena dan gejala sosial seperti praktek sopan santun yang sudah mulai memudar, kasus-kasus kekerasan, geng motor, pornografi, tawuran, bentrok antar warga, dan ketidak jujuran yang tercermim dengan semakin meningkatnya korupsi yang seolah telah menjadi pemandangan sehari-hari dinegeri ini.3

Persoalan akhlak yang terjadi di masyarakat, khususnya di kalangan anak ataupun remaja bahkan pelajar sekolah sebenarnya disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang menyebabkan kebobrokan perilaku anak tidak

1Ali Mas’ud,

Akhlak Tasawuf, (Sidoarjo: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), h. 7

2

Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet IV, h. 37

3

Ridhahani, Transformasi Nilai-Nilai Karakter/Akhlak Dalam Proses Pembelajaran, (Yogyakarta: LKiS, 2013), h. 1


(13)

terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi yang tidak bisa dimaknai secara positif. Sebaliknya perkembangan teknologi ditandai dengan sikap negatif, sehingga teknologi yang kian canggih disalah gunakan penggunaannya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh manusia sekarang ini, tidak sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan perilakunya, baik ia sebagai manusia yang beragama, maupun sebagai makhluk individual dan sosial.

Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia atas kemajuan yang dialaminya, ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya yang dapat membahagiakan hidupnya adalah nilai material. Sehingga manusia terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya berfungsi untuk memlihara dan mengendalikan akhlak manusia.4 Selain itu, jika dikaitkan dengan proses pendidikan, khususnya pendidikan agama islam yang ada di sekolah, maka hal tersebut tidak lepas dari faktor pendekatan pembelajaran agama yang masih terfokus pada aspek kognitif.

Dan itulah mengapa Allah swt menurunkan Nabi Muhammad SAW di tengah-tengah manusia. Rasulullah SAW bersabda :

ِقاْخَْا َمِراَكَم َمََُِْ ُتْثِعُب اَََِإ

4


(14)

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan

akhlak yang baik. (HR. Bukhari)”5

Maka dari itu kita wajib meniru akhlaq seperti Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah manusia terbaik yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Sebagai orang mukmin kita sangat wajib meniru budi pekerti dan keluhuran akhlaqnya. Ini dijelaskan dalam Surah al quran Al-Ahzab : 21

َمْوَـيْلاَو َهَللا وُجْرَـي َناَك ْنَمِل ٌةَنَسَح ٌةَوْسُأ ِهَللا ِلوُسَر ِِ ْمُكَل َناَك ْدَقَل

اًرِثَك َهَللا َرَكَذَو َرِخ ْْا

Artinya : “Sesungguhnya adalah bagi kamu pada Rasulullah itu teladan yang baik; Bagi barangsiapa yang mengharapkan Allah

dan Hari Kemudian dan yang banyak ingat kepada Allah”. (Qs

Al Ahzab : 21)6

Amin Abdullah menjelaskan bahwa pendidikan agama yang selama ini berlangsung disekolah lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata. Pendidikan agama kurang perhatian terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan yang kognitif

5

HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 273 (Shahiihul Adabil Mufrad no. 207), Ahmad (II/381), dan al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 45)

6

Al Qur’an dan Terjemah, Departemen Agama Republik Indonesia, (Jakarta: CV Toha Putra


(15)

menjadi makna dan nilai yang perlu diinternalisasikan dalam diri setiap peserta didik lewat berbagai cara, media dan forum yang ada.7 Hal ini menunjukkan bahwa selama ini pembelajaran pendidikan agama islam berlangsung secara konvensional, dan lebih mementingkan hasil secara kognitif.

Degradasi perilaku anak juga dikarenakan kurangnya pendidikan akhlak atau pembentukan akhlak pada waktu kecil. Idealnya pendidikan akhlak dilakukan sejak dini dalam rangka penanaman nilai-nilai akhlak, pendidikan akhlak atau pembentukan akhlak aaupun moral islami sejak dini pada dasarnya merupakan keniscayaan di tengah kemerosotan akhlak yang melanda bangsa ini.

Zakiah Darajat mengungkapkan bahwa pendidikan moral seharusnya dilakukan sejak masih kecil sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Setiap anak lahir belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan belum mengetahui batas-batas ketentuan moral yang berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap-sikap yang dianggap baik buat pertumbuhan moral maka anak-anak akan tumbuh besar tanpa mengenal moral. Jika anak-anak dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua yang tidak bermoral atau tidak mengerti cara mendidik, ditambah pula dengan lingkungan yang goncang, tidak mengindahkan moral, sudah tentu anak kurang bermoral.8

7

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 90

8

Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 17


(16)

Pendidikan ataupun pembentukan akhlak dalam konteks islam sebenarnya sudah dilakukan agama islam melalui misi kenabian Rasulullah saw. Dalam konteks ini, misi utama yang diemban oleh Nabi Muhammad saw pada awalnya adalah menyempurnakan akhlak yang mulia.9

Akhlak merupakan fondasi dasar menuju bangsa yang bermartabat. Di sinilah pentingnya pembentukan akhlak sejak dini. Pembentukan akhlak untuk anak-anak sebenarnya sudah menjadi perhatian para ulama ataupun ilmuan islam. Perhatian ulama terhadap pembentukan akhlak tampak pada kitab Al-Akhlaq Lil Banin, kitab yang terdiri dari 3 jilid tersebut di karang oleh Umar Bin Ahmad Baraja.

Kitab Al-Akhlak Lil Banin hampir digunakan di berbagai pondok-pondok pesantren. Bahkan, sejak tahun 1950 an, dijadikan kitab wajib. Kitab tersebut tidak hanya digunakan di pondok pesantren, tetapi juga di madrasah.10 Kepopuleran kitab ini merambah di berbagai wilayah di Jawa Timur khususnya pondok pesantren. Di sebuah Komunitas Belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe yang berada di desa Siwalanpanji kecamatan Buduran kabupaten Sidoarjo di adakan pengajian kitab Al-Akhlak Lil Banin. Pengajian kitab ini di lakukan pada hari kamis malam jumat, di mana yang mengikuti pengajian kitab ini hampir 30 siswa baik dari tingat SD hingga mahasiswa, baik laki-laki maupun perempuan. Adapun guru yang memberikan pengajian adalah Pak Zamroni.

9

Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013), h. 129.

10


(17)

Di dalam kitab Al-Akhlak Lil Banin banyak di jelaskan tentang beberapa akhlak yang harus dilakukan dan juga ditinggalkan oleh seorang anak. Jika anak sudah mempelajari kitab ini maka anak juga akan mengetahui hal-hal atau akhlak yang baik itu seperti apa dan akhlak yang jelek harus dihindari juga seperti apa.

Kandungan materi yang terdapat dalam kitab Al-Akhlak Lil Banin berisi tentang akhlak keseharian bagi anak laki-laki dan perempuan. Berbagai perilaku akhlak yang harus menjadi pedoman topik dalam buku ini, seperti akhlak berjalan, akhlak duduk, akhlak berbicara, akhlak makan, akhlak mengjenguk orang sakit, akhlak berkunjung, akhlak memberi ucapan.

Pembentukan akhlak yang dilakukan dalam kitab ini tidak hanya sebatas perilaku islami saja tapi juga dimulai dari penguatan ibadah yang dilakukan. Contohnya seperti etika melakukan istikharah dan bermusyawarah, di mana anak diajarkan berserah diri kepada Allah swt.

Pembentukan akhlak dengan penguatan ibadah pada keseharian anak sehari-hari memiliki kemiripan dengan konsep pembentukan akhlak menurut Kamrani Buseri. Menurut beliau bahwa akhlak sebenarnya merupakan aplikasi dan refleksi dari nilai ilahiah, imaniah, ubudiah dan muamalah. Hal ini karena aspek moral atau akhlak muncul dalam diri seseorang karena pengaruh di luar nilai-nilai tersebut, bahkan bisa saja dipengaruhi oleh falsafah humanis. Sehingga bagi seseorang yang beragama, akhlak merupakan refleksi dari dimensi keberagamaan yang terintegrasi


(18)

kedalam kepribadiannya. Keyakinan yang bersumber dari agama memiliki pengaruh yang kuat terhadap tingkah laku individu karena merupakan puncak sumber nilai tertinggi dan lebih bersifat absolut.11

Kajian kitab ini sesungguhnya ingin mengungkap nilai-nilai akhlak yang ditanamkan serta bagaimana pola pembentukan akhlak yang ditanamkan sejak dini, yaitu siswa madrasah ibtidaiyah sederajat yang terdapat dalam kitab ini dan implikasinya terhadap pendidikan agama islam. Kajian kitab ini menggunakan pendekatan pedagogis dan psikologis dalam menganalisinya.

Pendekatan pedagogis nampak pada proses pendidikan yang digambarkan Umar Bin Ahmad Baraja dalam kitab ini menggunakan berbagai cara dalam pendidikan akhlak untuk anak. Salah satu cara yang banyak digunakan dalam kitab ini adalah dengan menampilkan kisah-kisah. Jika ditelusuri secara mendalam, khususnya dari jilid 1-3 maka kisah yang paling sering digunakan .

Metode kisah atau cerita sangat efektif dalam pencapaian tujuan pendidikan islam sebab dalam cerita memberikan kisah pelajaran kepada anak didik untuk senantiasa berfikir mengekspresikan sikap, serta terampil berperilaku sesuai dengan kandungan yang diharapkan oleh isi cerita atau kisah. Tujuan metode kisah pada aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik yang perwujudannya sesuai dengan

11

Kamrani Buseri, Nilai-Nilai Ilahiah Remaja Pelajar: Telaah Phenomenologis dan Strategi Pendidikannya, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 16.


(19)

pesan-pesan yang disampaikan oleh Rasulullah yang di antaranya berkaitan dengan masalah akidah, ibadah dan masalah muamalah.12

Pendekatan psikologis nampak dalam penjelasan dalam adab menjenguk orang yang sakit. Dalam konteks ini dapat dilihat dalam potongan penjelasan ini

“Termasuk adab pula, jangan menanyakan keadaannya dengan perkataan yang singkat apabila ia tidak keberatan menjawabnya. Kalau berat, cukuplah engkau tanyakan siapa merawatnya dan ajukan pertanyaanmu dengan suara yang sedang, karena suara yang sangat pelan bisa menimbulkan rasa takut di hatinya, sedangkan suara keras mungkin saja bisa membuatnya lebih gelisah dan memperparah penyakitnya.”

Deskripsi tentang adab menjenguk orang sakit seperti di atas mengandung makna psikologis. Dalam konteks ini, Umar Bin Ahmad Baraja setidaknya memberikan gambaran bahwa ketika menjenguk orang, yang perlu dilakukan seseorang menguatkannya dengan memberi motivasi, dan jangan memberikannya kecemasan atau ketakutan yang dapat memperparah penyakitnya, menambha pikirannya yang berdampak pada psikisnya.

Pendekatan pedagogis digunakan untuk mengungkap bagaimana pola pembentukan akhlak mulai dari tujuan, materi, dan metode dalam membentuk akhlak peserta didik melalui pendidikan yang terdapat dalam kitab tersebut.

12

Ali Syawakh Ishaq, Metodologi Pendidikan Al Qur’an dan Sunnah. Terj. Asmu’I Saliha Zakhsyari, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1995), h. 89.


(20)

Sedangkan pendekatan psikologis digunakan untuk mengidentifikasi kadar dan tingkat materi yang sesuai dengan tingkat umur seseorang dan perkembangan kognitif, afektif dan sosial moral peserta didik. Sehingga materi yang diberikan tidak berhenti menjadi semata-mata sistem nilai tanpa teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Komunitas Belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo adalah Komunitas Belajar yang memberikan pengajian kitab Al-Akhlak Lil Banin kepada siswa-siswinya.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti dan menelaah tentang pengaruh pengajian kitab Al-Akhlak Lil Banin yang di laksanakan di Komunitas Belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo. Penulis menuangkan

dalam bentuk skripsi yang berjudul “Pengaruh Pengajian Kitab Al-Akhlak Lil Banin

Terhadap Pembentukan Akhlak Siswa Komunitas Belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan pengajian kitab Al Akhlak Lil Banin di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo ?

2. Bagaimana pembentukan akhlak siswa di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo ?


(21)

3. Bagaimana pengaruh pengajian kitab Al Akhlak Lil Banin terhadap pembentukan akhlak siswa di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pelaksanaan pengajian kitab Al Akhlak Lil Banin di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo.

2. Untuk mengetahui pembentukan akhlak siswa di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo.

3. Untuk mengetahui pengaruh pengajian kitab Al Akhlak Lil Banin terhadap pembentukan akhlak siswa di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo.

D. Kegunaan Penelitian

1. Sebagai sarana studi kami tentang akhlak siswa khususnya di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sidoarjo dan permasalahan yang ada pada mereka.

2. Sebagai sarana studi kami tentang bagaimana cara menanggulangi permasalahan akhlak melalui Pengajian Kitab Al-Akhlak Lil Banin.

3. Sebagai sarana untuk menyumbangkan sebuah gagasan tentang menanggulangi permasalahan akhlak melalui pengajian kitab Al-Akhlak Lil Banin.


(22)

E. Penelitian Terdahulu

Untuk menghindari dari kegiatan peniruan/plagiasi penemuan dalam memecahkan sebuah permasalahan, maka disini kami akan memaparkan beberapa karya ilmiah yang mempunyai ranah pembahasan yang sama dengan pembahasan yang akan kami sampaikan didalam skripsi yang sedang kami rencanakan ini. Dan karya–karya tersebut nantinya juga menjadi bahan telaah kami dalam menyusun skripsi yang sedang kami rencanakan ini. Karya–karya Ilmiah itu diantaranya adalah:

Skripsi yang berjudul : “KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF

KH. HASYIM ASY'ARI DAN ZAKIYAH DARADJAT : STUDI KOMPARASI KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF KH. HASYIM ASY'ARI

DAN ZAKIYAH DARADJAT.” Karya ini ditulis oleh Ummi Thoyyibah

bersama dengan Bapak Dosen Pembimbing; Amir Maliki Abitolcha. Dari jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya yang terbit pada tahun 2016.

 Skripsi yang berjudul : “IMPLEMENTASI BUDAYA RELIGIUS DALAM

MEMBENTUK AKHLAK SISWA : STUDI KASUS SISWA KELAS VIII DI

MTSN TLASIH TULANGAN SIDOARJO.” Karya ini ditulis oleh Ovi

Munawaroh bersama dengan Bapak Dosen Pembimbing; Rubaidi. Dari jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya yang terbit pada tahun 2015.


(23)

 Skripsi yang berjudul : “STRATEGI PEMBENTUKAN SIKAP MODERAT SANTRI : STUDI DI PONDOK PESANTREN NGALAH PURWOSARI PASURUAN.” Karya ini ditulis oleh Muhammad Ainul Yaqin bersama

dengan Bapak Dosen Pembimbing; Shonhaji Sholeh. Dari jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya yang terbit pada tahun 2015.

 Skripsi yang berjudul : “IMPLEMENTASI PENDIDIKAN ANTIKORUPSI

DALAM PEMBENTUKAN MORAL SANTRI : STUDI KOMPARASI ANTARA MADRASAH ALIYAH PONDOK PESANTREN MAS DUNGDURO

KREMBANGAN TAMAN SIDOARJO DAN MA ISLAMIYAH

SUNNATUNNUR TUBAN.” Karya ini ditulis oleh Anang Fauzi bersama

dengan Bapak Dosen Pembimbing; Amir Maliki Abitolcha. Dari jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya yang terbit pada tahun 2014.

 Skripsi yang berjudul : “PEMBELAJARAN FIQH BERBASIS DEMOKRASI

MULTIKULTURAL DI MADRASAH DINIYAH DARUT TAQWA

SENGONAGUNG PURWOSARI PASURUAN.” Karya ini ditulis oleh Abdul

Ghofar bersama dengan Bapak Dosen Pembimbing; Masdar Hilmy. Dari jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya yang terbit pada tahun 2014.

 Skripsi yang berjudul : “PERAN PESANTREN NU DALAM

MEMBERDAYAKAN PENDIDIKAN ISLAM MASYARAKAT (STUDY KASUS


(24)

Karya ini ditulis oleh Himmatul Khoiro. Dari jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya yang terbit pada tahun 2011.

 Skripsi yang berjudul : “IMPLEMENTASI KURIKULUM PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM BERBASIS PESANTREN DI SEKOLAH DASAR AL-AHMADI SURABAYA.” Karya ini ditulis oleh Komariyah Indarawati bersama

dengan Dosen Pembimbing; Lilik Channa AW. Dari jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya yang terbit pada tahun 2009.

F. Batasan Masalah

Dalam skripsi yang sedang kami rencanakan ini. Kami beri judul : Pengaruh Pengajian Kitab Al-Akhlak Lil Banin Terhadap Pembentukan Akhlak Siswa Di Komunitas Belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo. Sesuai dengan judul, kami akan membahas tentang bagaimana pengaruh pengajian kitab Al-Akhlak Lil Banin terhadap pembentukan akhlak siswa di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo. Akhlak siswa merupakan sesuatu yang perlu untuk dibahas karena seiring dengan berkembangnya zaman, manusia banyak yang tidak memiliki akhlak yang baik terutama siswa yang sekarang banyak fenomena krisis moral. Didalam sana terdapat berbagai permasalahan–permasalahan yang cukup kompleks yang berhubungan dengan akhlak untuk diangkat sebagai bahan penelitian.


(25)

Selanjutnya permasalahan yang ada pada siswa mengenai akhlak, akan kami hubungkan dengan bagaimana pengajian kitab Al-Akhlak Lil Banin menanggulangi permasalahan tersebut dengan cara membentuk akhlak siswa menjadi lebih baik.

Mengenai permasalahan yang ada, kami akan membatasi tentang hakikat akhlak dan bagaimana berakhlak yang baik di dalam kehidupan sehari-hari yang ada di dalam kitab Al-Akhlak Lil Banin, yang dikarang oleh Umar Bin Ahmad Baraja.

G. Definisi Operasional

Agar pembahasan lebih fokus dan mengarah kepada sasaran pembahasan, maka dalam defenisi oprasional kami paparkan beberapa kata kunci sesuai dengan judul yang ada, yakni : Pengaruh Implementasi Pengajian Kitab Al-Akhlak Al Banin Terhadap Pembentukan Akhlak Siswa di Lembaga Bimbingan Belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo.

I. Pengaruh : Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang atau benda) yang

ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.”13

13


(26)

II. Pengajian : salah satu bentuk untuk dakwah. Pengajian mengandung

arti penyampaian pesan dakwah yang disampaikan

kepada mad’ū melalui metode bil-lisān,pengajian ini biasanya disampaikan oleh guru agama yang saat ini lebih identik dengan para kiai maupun ustadz dengan menggunakan acuan atau pegangan kitab-kitab. Pengajian merupakan pendidikan non formal yang khusus dalam bidang agama.14

III. Kitab Al-Akhlak Lil Banin : Kitab Al-Akhlak Lil Banin, yang terjadi kajian dalam karya tulis ini adalah kitab karangan ustadz Umar Bin Ahmad Baraja yang banyak memuat tentang pedoman-pedoman tingkah laku anak. Anak didik sejak kecil tidak boleh menyepelekan hal itu, karena hal itu masuk pada perkara yang jadi kunci kebaikan seorang anak ketika masih belajar maupun ketika sudah dewasa.

IV. Pembentukan Akhlak Siswa : Pembentukan berarti proses untuk membentuk. Sedangkan akhlak berarti merupakan sikap yang digerakkan oleh jiwa yang menimbulkan tindakan atau perbuatan dari manusia terhadap tuhan maupun sesama manusia ataupun terhadap dirinya secara pribadi dengan kata lain disebut moral.15 Dalam

14

Muhammad Zein, Metode Pendidikan Agama Islam Pada Lembaga Pendidikan Non Formal,(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1975), h. 17

15 Mas’ud Hasan Abdul Qahar dkk,

Kamus Istilah Pengetahuan Populer, (Bandung: CV Bintang Pelajar, 2010), h. 13-14


(27)

penelitian ini yang menjadi kajian adalah sikap yang biasa tampak pada objek yang diteliti di lembaga bimbingan belajar.

V. Komunitas Belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe : Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo adalah salah satu komunitas belajar yang berada di kawasan daerah pendidikan, yang berada di desa Siwalanpanji kecamatan Buduran kabupaten Sidoarjo. Sedangkan sistem pembelajaran di dalam komunitas belajar ini adalah mempelajari bahasa inggris juga mengkaji beberapa kitab yaitu:

a. Al-Akhlak Lil Banin

b. Ta’limul Muta’alim

Jadi yang di maksud di atas adalah pengaruh pengajian kitab Al-Akhlak Lil Banin terhadap pembentukan akhlak siswa yang tercermin pada perilaku siswa di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo.

H. Sistematika Pembahasan

Untuk memahami alur penulisan skripsi ini kami akan memaparkan beberapa bagian BAB pembahasan dari apa yang akan kami rencanakan nantinya:

Bab pertama merupakan pendahuluan, bab ini berisi Latar belakang permasalahan, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian, Definisi Operasional dan Sistematika Pembahasan.


(28)

Bab kedua merupakan landasan teori, bab ini mengemukakan 3 kerangka teori yang pertama berisi tentang pengajian kitab Al-Akhlak Lil Banin yang mencakup pengertian pengajian, yang terdiri dari macam-macam pengajian, pendekatan pengajian, metode pengajian, pengertian kitab Al-Akhlak Lil Banin yang terdiri dari pengertian dan materi kitab Al-Akhlak Lil Banin. Kerangka teori yang kedua adalah pembentukan akhlak siswa yang mencakup hakikat akhlak, yang berisi pengertian dan tujuan akhlak, sumber dan macam-macam akhlak. Setelah itu juga mencakup hakikat anak didik (siswa), yang terdiri dari pengertian anak didik dan dasar-dasar kebutuhan anak didik dalam pendidikan. Setelah itu adalah pembentukan akhlak siswa. Kemudian kerangka teori yang ketiga adalah pengaruh pengajian kitab Al-Akhlak Lil Banin terhadap pembentukan akhlak siswa. Selanjutnya yang terakhir yaitu hipotesa penelitian.

Bab ketiga merupakan metodologi penelitian, bab ini berisi jenis dan rancangan penelitian, variabel, indikator dan instrument penelitian, populasi dan sample, teknik pengumpulan data, teknik analisis data.

Bab keempat merupakan hasil penelitian, bab ini berisi tentang gambaran umum obyek penelitian, penyajian data dan analisis data.

Bab kelima merupakan bab terakhir ini berisi tentang kesimpulan dan saran penulis.


(29)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Pengajian Kitab Al Akhlak Lil Banin

1. Pengajian

a. Pengertian Pengajian

Pengajian menurut para ahli berbeda pendapat dalam mendefinisikan pengajian ini, diantara pendapat-pendapat mereka adalah:

Menurut Muhzakir mengatakan bahwa pengajian adalah : Istilah umum yang digunakan untuk menyebut berbagai kegiatan belajar dan mengajar agama.1

Menurut Sudjoko Prasodjo mengatakan bahwa pengajian adalah : kegiatan yang bersifat pendidikan kepada umum.2 Adapun pengajian sebagai pengajaran kyai terhadap para santri.

Dari beberapa definisi-definisi di atas adapun definisi tentang kelompok pengajian adalah : Kelompok belajar untuk mendalami ajaran agama islam secara bersama. Kelompok ini biasanya menyelenggarakan kegiatan belajar rutin di bawah bimbingan orang yang dipandang lebih mengetahui tentang ajaran agama.

1

Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat (Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa), (Yogyakarta: LKIS, 1999), h. 3.

2


(30)

Pembimbingan disapa dengan gelar ustadz (ustadzah untuk perempuan), kyai tuan guru, atau sapaan penghormatan lainnya.3

Berdasarkan penyataan diatas dapat diambil suatu penyataan bahwa

pengajian merupakan kelompok atau jama’ah yang berupaya untuk belajar

tentang agama. Sebab pengajian merupakan kelompok dari masyarakat yang berarti milik masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu hakekat dari kegiatan atau aktivitas pengajian itu sendiri adalah pembangunan nilai-nilai agama.

b. Macam-macam Pengajian

1) Pengajian Pasaran

Pengajian ini biasanya dilakukan bagi umat islam di bulan suci ramadhan merupakan bulan yang penuh berkah dan rahmat. Di bulan inilah pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup rapat-rapat. Tak heran, jika suasana bulan suci ramadhan berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Berbagai kegiatan keagamaanseperti tadarrus Al-Qur’an, ceramah agama, shalat tarawih dan sebagainya digelar di seluruh pelosok nusantara. Baik tua, muda maupun anak-anak dan laki-laki maupun perempuan semua terlibat dalam kegiatan tersebut.

Suasana yang lebih mencolok dari tempat-tempat lainnya adalah pondok pesantren. Meski pondok pesantren menyelenggarakan system

3

Badan Litbang dan Diklat Pulitbang kehidupan keagamaan, Peningkatan Peran Serta Masyarakat Dalam Pendalaman Ajaran Agama Melalui Majelis Ta’lim, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2007), h. 17.


(31)

pendidikan konvensional yang relatif, namun itu semua dipandang sebagai system pendidikan biasan. Dalam pada itu, sesungguhnya ada system pengajaran di pondok pesantren yang tidak akan dijumpai di tempat lainnya yakni pengajian “pasaran”.

Tidak dapat diketahui persis kapan dan siapa yang memunculkan ide pengajian model ini. Tetapi, dilihat dari kemiripan karakteristik yang dimilikinya dengan pengajaran system konvensional di pondok pesantren umur pengajian model ini diduga kuat setua umur kelahiran pondok pesantren itu sendiri.

Tujuan diadakannya pengajian pasaran adalah menyediakan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat muslim (santri mukim, santri kalong, alumni pesantren dan masyarakat sekitar) untuk mendalami pengetahuan dan pengalaman ajaran islam dalam suasana

pendidikan dan keagamaan yang khusyu’.4

Pengajian pasaran di pondok pesantren dalam proses pembelajarannya menggunakan sistem pendidikan klasik. Sebagaimana yang berlangsung pada sebelum abad ke-12 M, tradisi pendidikan klasik menyelenggarakan pendidikan dengan sistem bebas. Bebas di sini dipahami dengan kebebasan peserta untuk mengikuti pelajaran dan menentukan guru guru siapa saja. Ia boleh mengikuti pengajian itu

4

Team Proyek Peningkatan Pendidikan Luar Sekolah Pada Pondok Pesantren, Pola Pengembangan Pesantren Kilat, (Jawa Barat: Departemen Agama RI, 2003), h. 9-10.


(32)

berdasarkan kemauan dan minatnya masing-masing. Di pihak lain, guru menyelenggarakan pengajian secara masing-masing dengan membahas kitab sesuai dengan konsentrasi dan kemauannya. Pada sisi ini, pengajian pasaran sesungguhnya merupakan sistem pengajaran yang menjenuhkan di dalam tradisi pendidikan islam.

Secara teknis, pengajian pasaran dimulai setelah shalat fardhu atau pada waktu-waktu yang ditentukan. Sang kyai melakukan pengajiannya dengan menggunakan metode bandongan. Setelah pengajian selesai dilaksanakan, sang kyai langsung menutup pengajian dan santri-santripun pulang ketempatnya masing-masing.

2) pengajian Syawalan

Masyarakat Babakan Ciwaringin dapatlah dikatakan sebagai masyarakat yang memiliki meminjam istilah KH. Abdurrahman Wahid’sud kultur tersendiri. Alasan yang layak dikedepankan adalah masyarakat Babakan Ciwaringin melakukan sebuah tradisi yang berbeda dengan tradisi yang berbeda dengan tradisi masyarakat lain. Tradisi itu adalah pengajian syawalan. Disebut dengan nama pengajian syawalan disebabkan oleh waktu pelaksanaan pengajian itu adalah di awal-awal bulan syawal untuk setiap tahun, tepatnya tanggal 2 hingga 7 syawal.

Dalam tradisi syawalan, diselenggarakan serangkaian kegiatan pembelajaran yang memiliki karakteristik tersendiri. Di samping dalam


(33)

pembelajaran itu mengangkat isu atau tema-tema yang cukup tinggi untuk ukuran pesantren tradisional, juga peserta dalam pengajian itu adalah masyarakat Babakan Ciwaringin asli yang sedang mengenyam pendidikan di luar daerah Babakan. Untuk itu, dalam pengajian ini akan diketahui tingkat perkembangan pengetahuan yang dimiliki oleh para pelajar/santri Babakan asli.

Tradisi di atas tentu saja memiliki implikasi yang cukup signifikan dalam dinamika pengetahuan di kalangan masyarakat Babakan Ciwaringin di samping memancing menjamurnya wacana pengetahuan di kalangan masyarakat Babakan Ciwaringin, juga sebagai implikasi dari hal itu masyarakat Babakan akan semakin dewasa dalam menerima perubahan dinamika. Lebih-lebih pengajian syawalan diselenggarakan pada bulan syawalan diselenggrakan pada bulan syawal yang merupakan bulan silaturahim, pemilihan waktu di bulan syawal agaknya tidak hanya disebabkan oleh faktor kebetulan, tetapi memang waktu yang tepat untuk dipilih. Sebab, bulan syawal merypakan masa libur bagi santri, pelajar atau mahasiswa.5

Dari jenis-jenis pengajian yang merupakan suatu aktifitas belajar agama yang mempunyai tujuan tertentu yaitu: untuk mendalami pengetahuan dan pengalaman ajaran islam dalam suasana pendidikan dan pembangunan nilai agama.

5


(34)

c. Pendekatan Pengajian

Sisi lain yang erat kaitannya dengan kharisma dan fatwa seorang kyai sebagai pendekatan yang penting juga adalah pendekatan “pengajian”. Konsep pengajian pada hakekatnya erat kaitannya dengan masalah masyarakat, karena pengajian merupakan kelompok atau jama’ah yang berupaya untuk mengaji tentang agama. Secara pasti masyarakat juga merupakan kelompok atau jama’ah dan dapat dikatakan juga jama’ah pengajian adalah sehakekat dengan keberadaan masyarakat. Sebab pengajian merupakan kelompok dari masyarakat yang berarti milik masyarakat.

Penjabaran pendekatan pengajian terhadap masyarakat tentang lingkungan hidup memberikan implikasi suatu upaya menjelaskan masalah lingkungan hidup terhadap masyarakat melalui kegiatan pengajian. Dengan pendekatan ini diharapkan masyarakat memiliki pemahaman-pemahaman tentang pengembangan lingkungan hidup selaras dengan persepsi keagamaannya. Sebab hakekat dari pengajian adalah pembangunan nilai agama.

Operasionalisasi kegiatan tersebut adalah menyampaikan informasi tentang pengembangan lingkungan hidup dengan pola dakwah atau pengajian atau membahas masalah lingkungan hidup dengan pola dakwah dengan bahasa agama, dalam arti kata ajaran agama dijadikan dasar pengembangan lingkungan hidup dala kegiatan ini para kyai baik yang


(35)

berasal dari pondok maupun dari masyarakat yang memegang peranan penting karena merekalah tokoh sentral dalam kegiatan pengajian itu. Oleh karena itu antara pendekatan kharisma dengan pengajian saling terkait dan berhubungan satu sama lain.

Kaitan antara pendekatan kharisma dan pengajian terletak pada pelaksanaannya. Para kyai yang kharismatik sebagai pelaksanaan kegiatan pengajian dan pengajian itu sebagai alat dalam menyampaikan gagasan itu. Bentuk penyampaian materi pengembangan lingkungan pada masyarakat tersebut adalah secara terhadap sesuai dengan masalahnya yang dirasakan oleh masyarakat, seperti masalah ekonomi, pendidikan, sosial, budaya dan pelestarian lingkungan hidup.

Penerapan pendekatana pengajian oleh para kyai disertai dengan penggunaan beberapa metode dengan tujuan agar masyarakat dapat menerima dengan mudah tanpa paksaan.6

d. Metode Pengajian

Pemahaman tentang metode di sini merupakan acara penyapaan gagasan pengembangan lingkungan oleh para kyai kepada jama’ahnya atau masyarakat lingkungannya. Ada beberapa metode yang secara rutin dipergunakan dalam kegiatan ini.

6


(36)

1) Metode ceramah

Metode ceramah merupakan metode konvensional dalam kegiatan pengembangan islam yang diterapkan oleh para kyai dalam pengajian rutin yang ada di daerah Guluk-Guluk, Sumenep Madura. Seperti kelompok pengajian yasinan, tahlilan dan majelis ta’lim. Penerapan metode ceramah ini dimaksudkan sebagai upaya menyampaikan informasi tentang lingkungan hidup sehingga masyarakat memahami program itu dengan jelas dan baik.

Pola penerapan metode ceramah tentang lingkungan hidup dilaksanakan dengan cara integrative, yakni memadukan antara materi agama dengan lingkungan hidup dalam kegiatan pengajian. Atau media ajaran agama sebagai jalan untuk menjelaskan masalah lingkungan hidup.

2) Metode tanya jawab

Metode tanya jawab sebagai kelanjutan dari metode cerama. Setiap

pendengar atau jama’ah dari kelompok diberi kesempatan untuk

menanyakan hal-hal yang belum jelas dari penjelasan yang belum dikemukakan oleh para kyai atau penceramah. Dengan adanya kondisi yang sedemikian rupa secara spontan terjadi tanya jawab tentang masalah lingkungan yang diterangkan. Dan ada juga yang dengan sengaja menjelaskan masalahnya melalui kegiatan tanya jawab secara terbuka maksudnya setiap pertanyaan dijawab secara jelas dan gamblang.


(37)

Masalah pengembangan lingkungan hidup dan ide-ide penanganannya merupakan hal yang baru bagi masyarakat Guluk-Guluk. Oleh karena itu metode tanya jawab dipandang urgen sekali dalam penyampaian materi pengembangan lingkungan hidup, sehingga metode ceramah sebagai model pengajian yang diberikan oleh para kyai baik dari pondok maupun dari masyarakat.

3) Metode Bek-Rembek

Bek-Rembek merupakan istilah bahasa Madura yang berarti “musyawarah”. Kegiatan musyawarah pada dasarnya merupakan ciri masyarakat pedesaan di pulau Madura mengiringi adanya kegiatan gotong royong di lingkungan desa termasuk didalamnya wilayah Guluk-Guluk. Musyawarah atau Bek-Rembek sering juga disebut kegiatan “kumpulan”, karena kegiatan itu dilaksanakan dengan mengumpulkan masyarakat untuk bermusyawarah atau membicarakan kegiatan tertentu. Di dalam menunjang kegiatan pengembangan masyarakat dan lingkungan hidup, disamping kegiatan ceramah sesuai dengan kegiatan pengajian yang diadakan, sering juga terjadi perubahan bentuk pengajian itu menjadi kegiatan urun pendapat tentang program yang akan Bek-Rembek (rembug) diantara semua anggota masyarakat.

Dapat juga dipahami bahwa Bek-Rembek merupakan rentetan kegiatan pengajian yang diawali dengan ceramah dilanjutkan dengan tanya jawab dan di akhiri dengan Bek-Rembek (musyawarah). Dengan demikian


(38)

metode ceramah tanya jawab dan Bek-Rembek dapat terjadi secara spontan dalam suatu kegiatan pengajian di masyarakat Guluk-Guluk.7 4) Metode Weton atau Bandongan

Metode bandongan adalah cara penyampaian ajaran kitab kuning dimana seorang guru, kyai atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi ajaran/kitab kuning tersebut, sementara santri, murid atau siswa mendengarkan, memaknai dan menerima. Dalam metode ini, guru berperan aktif, sementara murid bersikap pasif.

5) Metode Sorogan

Dalam metode sorogan, sebaliknya santri yang menyodorkan kitab (sorog) yang akan dibahas dan sang guru mendengarkan, setelah itu beliau memberikan komentar dan bimbingan yang dianggap perlu bagi santri. Tetapi pada kedua metode ini, belum atau tidak terjadi dialog antar murid dan guru. Kedua metode ini pun sama-sama memiliki ciri pada penekanan yang sangat kuat pada pemahaman tekstual atau literal. Metode weton dan sorogan dapat bermanfaat ketika jumlah peserta didik cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara materi yang harus disampaikan cukup banyak. Memang tidak dapat dipungkiri metode ini mengandung beberapa kelemahan. Tidak terjadi dialog antara murid dan guru. Akhirnya, daya kreativitas dan aktivitas murid menjadi lemah. Untuk hal yang seperti ini, maka sebaiknya guru menyediakan

7


(39)

waktu yang cukup untuk terjadinya dialog, setidaknya ada waktu dan kesempatan murid bertanya kepada guru.

6) Metode Hafalan (Tahfidz)

Metode ini telah menjadi ciri yang melekat pada sistem pendidikan tradisional, termasuk pondok pesantren. Hal ini amat penting pada sistem keilmuan yang lebih mengutamakan argumen naqli, transmisi dan periwayatan (normatif). Akan tetapi ketika konsep keilmuan lebih menekankan rasionalitas seperti yang menjadi dasar sistem pendidikan modern, metode hafalan kurang dianggap penting. Sebaliknya yang penting adalah kreativitas dan kemampuan mengembangkan pengetahuan yang dimilki. Memang keberadaan metode hafalan ini masih perlu dipertahankan, sepanjang berkaitan dengan penggunaan argumen naqli dan kaidah-kaidah umum. Metode ini pun masih relevan untuk diberikan kepada murid-murid tingkat dasar dan menengah. Pada usia tingkat atas sebaiknya dikurangi dengan mempergunakan metode ini pada rumus-rumus dan kaidah-kaidah. Penekanan utama diberikan pada metode pemahaman dan diskusi.

7) Metode Diskusi (musyawarh/munazharah/mudzkarah)

Metode ini berarti penyajian bahan pelajaran dilakukan dengan cara muird atau santri membahasnya bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah tertentu yang ada dalam kitab kuning. Dalam kegiatan ini kyai atau guru bertindak sebagai “moderator”. Dengan


(40)

metode ini diharapkan dapat memacu pada santri untuk dapat lebih aktif dalam belajar. Melalui metode ini akan tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis dan logis. Adapun kegiatan mudzakarah dapat diartikan sebagai pertemuan ilmiah yang membahas masalah diniyah. Kegiatan ini dibedakan menjadi dua mcam berdasarkan peserta yang disertakan, mudzakarah yang diadakan sesama kyai dan pra ulama dan mudzakarah yang diselenggarakan sesama santri atau siswa, yang keduanya membahas masalah keagamaan.

Bila untuk kyai dan para ulama kegiatan ini lebih bertujuan untuk mencari jawaban dan jalan keluar untuk suatu masalah, maka kegiatan yang dilakukan para santri lebih berupa melatih diri dalam memecahkan sesuatu persoalan yang hasilnya kemudian diberikan kepada kyai. Dalam diskusi santri ini, kyai kadang-kadang bertindak sebagai pimpinan diskusi atau biasanya oleh santri senior atau bahkan para santri dibiarkan saja secara mandiri menyelenggarakannya.

Di beberapa pondok pesantren, mengaji kitab dengan metode di atas berjalan cukup baik dan bahkan mampu memacu para santri untuk melakukan telaah atas kitab-kitab yang besar-besar. Beberapa santri senior membaca beberapa kitab dalam satu majelis dan mendiskusikannya dihadapan kyai yang lebih bertindak sebagai fasilitator atau instruktur. Cara demikian ini memberikan dampak cukup baik bagi santri dalam pengajiannya. Dimasa lalu mengaji dengan metode seperti ini


(41)

bahkan menjadi tradisi para ulama. Perdebatan seringkali berjalan seru, tetapi tetap disertai dengan sikap saling menghormati dan menghargai. Di dunia modern sekarang ini, di mana semuanya berjalan dengan sangat cepat, metode belajar seperti di atas agaknya telah menjadi tuntutan yang mendesak. Apalagi kenyataan menunjukkan bahwa masa belajar para santru dewasa ini semakin singkat. Tuntutan kehidupan terus mengejar mereka untuk segera pulang dengan membawa kesuksesan.

Sesuai dengan macam-macam pengajian yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, memiliki ciri khas metode tersendiri diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pengajian Pasaran, metode yang dipakai adalah: a. Bondongan atau Wetonan

Bandongan atau biasa disebut metode wetonan adalah cara penyampaian kitab kuning di mana seorang guru, kyai atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab kuning, sementara santri, murid atau siswa mendengarkan memberi makna dan menerima. Dalam metode ini guru berperan aktif sementara murid bersifat pasif. Metode bandongan atau wetonan dapat bermanfaat ketika jumlah murid cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara materi yang harus disampaikan cukup banyak.


(42)

Sorogan adalah metode pengajaran yang berbeda dengan metode bandongan. dalam metode sorogan, murid membaca kitab kuning dan memberi makna sementara guru mendengarkan sambil memberi catatan, komentar atau bimbingan bila diperlukan. Akan tetapi metode ini dialog antara guru dengan murid belum atau tidak terjadi. Metode ini tepat bila diberikan kepada murid-murid seusia tingkat dasar (ibtidaiyah) dan tingkat menengah (tsanawiyah) yang segala sesuatunya masih perlu diberi atau dibekali.

Kedua metode di atas menyimpan beberapa kelemahan, di antaranya adalah ketika tidak terjadi dialog antara murid dan guru. Murid menjadi pasif. Kegiatan belajar mengajar terpusat pada guru. Akhirnya, daya kreativitas dan aktivitas murid menjadi lemah. Dalam hal ini, guru tidak segera memperoleh umpa balik tentang penguasaan materi yang disampaikan. Maka untuk hal yang terakhir ini, guru menyediakan sekurang-kurangnya waktu dan kesempatan kepada murid untuk bertanya.

c. Hafalan

Hafalan adalah sebuah metode pembelajaran yang mengharuskan murid mampu menghafal naskah atau syair-syair dengan tanpa melihat teks yang disaksikan oleh guru. Metode ini cukup relevan untuk di berikan kepada murid-murid usia anak-anak, tingkat dasar dan tingkat menengah. Pada usia di atas itu, metode hafalan sebaiknya di kurangi sedikit demi


(43)

sedikit dan lebih tepat digunakan untuk rumus-rumus dan kaidah-kaidah. Jika dilihat dari sisi geneologi tradisi pendidikan, metode hafalan merupakan implikasi dari pola pemikiran ahl al-hadits dan dampak dari asumsi dasar tentang konsep ilmu sebagai “apa yang diketahui dan tetap”. Ada sebuah argumen yang diajukan untuk mempertahankan metode ini,

yakni “orang-orang yang hafal adalah argumen atas mereka yang tidak

hafal”.

d. Diskusi (munazharah)

Metode ini dimaksudkan sebagai penyajian bahan pelajaran dengan cara murid atau santri membahasnya bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah tertentu yang ada dalam kitab kuning. Dalam metode ini, kyai atau guru bertindak sebagai “moderator”. Metode diskusi bertujuan agar murid atau santri aktif dalam belajar. Melalui metode ini, akan tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis dan logis.

Dari beberapa metode yang biasa dipakai dalam tradisi pesantren di atas metode yang dipakai khusus untuk pasaran adalah metode bandongan atau wetonan. Metode ini relatif tepat digunakan disebabkan oleh terbatasnya waktu yang tersedia, sementara peserta (murid) dan bahan materi yang akan diajarkan cukup banyak.

2. Pengajian Syawalan


(44)

a. Diskusi/seminar

Metode ini diterapkan dengan cara mengajikan materi tertentu yang akan di bahas, sesuai dengan topik yang sudah ditentukan. Metode ini dapat menambah kekuatan daya analisa peserta pengajian dan kemampuan saling menghormati dan mengeluarkan pendapat (sharing of ideas) sehingga pada gilirannya peserta memiliki pemahaman yang mendasar tentang konsep-konsep yang berkaitan.

b. Tanya jawab

Metode ini membri kesempatan kepada peserta pengajian untuk mengajukan pertanyaan dan pengertian yang masih belum dapat dicerna dan sekaligus mencoba memberikan jawaban berdasarkan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Tanya jawab dapat dilakukan dari peserta kepada pembicara, pembicara kepada peserta dan peserta kepada peserta. Metode ini mampu memberikan keterangan dan penjelasan terhadap permasalahan yang dialami.

c. Ceramah

Metode ceramah digunakan untuk memberikan keterangan-keterangan umum kepada peserta sehingga mereka memiliki pengetahuan yang standar. Pada pelaksanaannya, metode ini diterapkan pada situasi dan keadaan yang memungkinkan.


(45)

2. Kitab Al-Akhlak Lil Banin

a. Pengertian Kitab Al-Akhlak Lil Banin

Salah satu diantara sekian banyak kitab agama islam yang berbahasa arab yang telah dijadikan sebagai kitab standart, terutama untuk pelajaran akhlak dalam proses belajar mengajar di pesantren adalah kitab Al-Akhlak Lil Banin yang dikarang oleh seorang ulama salaf (ulama terdahulu) yang bernama As-Asyeikh Umar bin Achmad Baradja. Beliau hidup pada abad keenam hijriyah, zaman kemunduran dan kemerosotan Daulah Abbasiyah.8

Kitab Al-Akhlak Lil Banin, telah disyarahi oleh Syeikh Djamilah Bachmid. Menurut pensyarah ini, kitab tersebut banyak disukai dan mendapat tempat secukupnya dikalangan para pelajar dan para guru. Terutama di masa pemerintahan Murad Khan bin Salim, jadi pada abad XIV Masehi.9

Kitab ini adalah kitab akhlaq bukan kitab hukum, ialah akhlaq dalam menuntut ilmu. Yaitu akhlaq yang membawa kesuksesan orang menuntut ilmu, kepentingannya adalah untuk menjabarkan tata cara bagaimana agar sukses dalam menuntut ilmu.

Dengan demikian sangatlah penting bagi seorang santri pada khususnya dan para pelajar pada umumnya untuk mempelajari tentang banyak keilmuan yang

8

Busyiri Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosofis Muslim, (Yogyakarta: Al Amin Press, 1997), h. 101.

9

Ali As’ad, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan (terjemah Ta’lim Muta’alim),


(46)

berhubungan dengan akhlak, budi pekerti, moral dan sikap mental kemasyarakatan yang bertanggung jawab.

Kitab Al-Akhlak Lil Banin itu sendiri merupakan salah satu dari bermacam-macam kitab kuning yang ada di pesantren-pesantren pada umumnya. Adapun tujuan mempelajari kitab kuning menurut Zamakhsari Dhofir adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendidik calon-calon ulama’

2. Untuk mencari pengalaman dalam hal pendalaman perasaan keagamaan.10

Kemudian secara umum tujuan pengajaran kitab Al-Akhlak Lil Banin adalah untuk membantu santri dalam memahami dirinya dan lingkungannya dalam menuntut ilmu, memilih guru, ilmu, teman dan sebagainya, baik di lingkungan pesantren maupun di tempat-tempat lain dalam menuntut yang akan membentuk akhlak yang sesuai, serasi santri tepat untuk diberikan pengajaran kitab Al-Akhlak Lil Banin melalui tatap muka secara langsung oleh guru bidang studi (kyai) atau oleh wali kelas. Santri pada saat ini sangat membutuhkan akan bimbingan akhlak dalam menuntut ilmu, sehingga akhirnya mereka dapat memahami dan menela’ah akhlak yang sesuai dengan eksitensinya sebagai santri.

10

Zamakhsari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, (Jakarta: LP3ES Jakarta, 1984), h. 50.


(47)

Pengalaman tentang akhlak santri terutama yang ada hubungannya dengan pengajaran kitab Al Akhlak Lil Banin adalah melalui akhlak atau sikap guru/kyai. Pelaksanaan tersebut terutama yang ada hubungannya dengan akhlak dalam menuntut ilmu. Lebih lanjut dikatakan oleh Al Ghazali bahwa metode mendidik anak dengan memberikan contoh pelatihan dan pembiasaan kemudian nasehat dan anjuran sebagai alat pendidikan dalam rangka membina akhlak anak sesuai dengan ajaran islam.11

b. Materi Kitab Al-Akhlak Lil Banin

Materi yang dipakai dalam pengajaran kitab Al-Akhlak Lil Banin adalah isi dari kitab berikut:

1.Bagaimana akhlak yang harus dimiliki anak 2.Anak yang sopan

3.Anak yang tidak sopan

4.Anak harus bersikap sopan sejak kecilnya 5.Allah SWT

6.Anak yang jujur

7.Anak yang ta’at

8.Nabi Muhammad SAW

11


(48)

9.Sopan santun di dalam rumah 10. Abdullah di dalam rumahnya 11. Ibumu yang penyayang

12. Sopan santun anak terhadap ibunya 13. Shaleh dan ibunya

14. Ayahmu yang berbelas kasih

15. Sopan santun anak terhadap ayahnya 16. Kasih sayang ayah

17. Sopan santun anak terhadap saudara-saudaranya 18. Dua saudara yang saling mencintai

19. Sopan santun anak terhadap para kerabatnya 20. Musthafa dan kerabatnya Yahya

21. Sopan santun anak terhadap pelayannya 22. Anak yang suka mengganggu

23. Sopan santun anak terhadap para tetangganya 24. Hamid dan para tetangganya

25. Sebelum pergi ke sekolah 26. Sopan santun dalam berjalan 27. Sopan santun murid

28. Bagaimana murid memelihara alat-alatnya 29. Bagaimana murid memelihara alat-alat sekolah 30. Sopan santun murid terhadap gurunya


(49)

31. Sopan santun murid terhadap teman-temannya 32. Nasehat-nasehat umum (1)

33. Nasehat-nasehat umum (2)12

B. Pembentukan Akhlak Siswa 1. Hakikat akhlak

a. Pengertian akhlak

Pengertian akhlak secara etimologi, menurut pendekatan etimologi, perkataan “akhlak” berasal dari bahasa arab jama’ dari bentuk mufradnya “khuluqun”. Menurut logat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “khalkun” yang berarti kejadian, serta erat hubungan “khaliq”

yang berarti pencipta dan “makhluk yang berarti yang diciptakan.13

Baik kata akhlak atau khluq kedua-keduanya dapat dijumpai didalam

al-Qur„an sebagai berikut:

ٍميِظَع ٍقُلُخ ىلَعَل َكَنِإَو

Artinya:

12

Al Ustadz Umar Bin Achmad Baradja, Bimbingan Akhlak Bagi Putra-Putra Anda, (Surabaya: Prographic Studio, 1992).

13


(50)

Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Q.S Al Qalam 68:4)14

Sedangkan menurut pendekatan secara terminologi, berikut ini beberapa pakar mengemukakan pengertian akhlak sebagai berikut:

1) Ibn Miskawaih

Bahwa akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dahulu).15

2) Imam Al Ghazali

Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara’. Maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.16

3) Ahmad Amin

14

Al Qur’an dan Terjemah, Departemen Agama Republik Indonesia, (Jakarta: CV Toha Putra

Semarang, 1989), h. 960.

15

Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1989), h. 115-116.

16


(51)

Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak.

Menurut kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan manusia stelah imbang, sedang kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya. Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan besar inilah yang bernama akhlak.17

Jika diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa seluruh definisi akhlak sebagaimana tersebut diatas tidak ada yang saling bertentangan, melainkan saling melengkapi, yaitu sifat yang tertanam kuat dalam jiwa yang Nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan.

Jika dikaitkan dengan kata islami, maka akan berbentuk akhlak islami, secara sederhana akhlak islami diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran islam atau akhlak yang bersifat islami. Kata islam yang berada di belakang kata akhlak dalam menempati posisi sifat. Dengan demikian akhlak islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah,

17


(52)

disengaja, mendarah daging dan sebenarnya berdasarkan pada ajaran islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak islami juga bersifat universal.18

Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menjabarkan akhlak universal diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan sosial yang terkandung dalam ajaran etika dan moral. Menghormati kedua orang tua misalnya adalah akhlak yang bersifat mutlak dan universal. Sedangkan bagaiman bentuk dan cara menghormati orang tua itu dapat dimanifestasikan oleh hasil pemikiran manusia.

Jadi, akhlak islam bersifat mengarahkan, membimbing, mendorong, membangun peradaban manusia dan mengobati bagi penyakit sosial dari jiwa dan mental, serta tujuan berakhlak yang baik untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dengan demikian akhlak islami itu jauh lebih sempurna dibandingkan dengan akhlak lainnya. Jika akhlak lainnya hanya berbicara tentang hubungan dengan manusia, maka akhlak islami berbicara pula tentang cara berhubungan dengan binatang, tumbuh-tumbuhan, air, udara

18


(53)

dan lain sebagainya. Dengan cara demikian, masing-masing makhluk merasakan fungsi dan eksistensinya di dunia ini.19

b. Sumber dan macam-macam akhlak

1) Sumber akhlak

Persoalan “akhlak” didalam islam banyak dibicarakan dan dimuat

dalam al hadyts sember tersebut merupakan batasan-batasan dalam tindakan sehari-hari bagi manusia ada yang menjelaskan arti baik dan buruk. Memberi informasi kepada umat, apa yang mestinya harus diperbuat dan bagaimana harus bertindak. Sehingga dengan mudah dapat diketahui, apakah perbuatan itu terpuji atau tercela, benar atau salah.

Kita telah mengetahui bahwa akhlak islam adalah merupakan sistem moral atau akhlak yang berdasarkan islam, yakni bertitik tolak dari aqidah yang diwahyukan Allah kepada nabi atau rasulnya yang kemudian agar disampaikan kepada umatnya.

Akhlak islam, karena merupakan sistem akhlak yang berdasarkan kepada kepercayaan kepada tuhan, maka tentunya sesuai pula dengan dasar pada agama itu sendiri. Dengan demikian, dasar atau sumber

19


(54)

pokok dari pada akhlak adalah Al Qur’an dan hadits yang merupakan sumber utama dari agama itu sendiri.20

Pribadi Nabi Muhammad adalah contoh yang paling tepat untuk dijadikan teladan dalam membentuk kepribadian. Begitu juga sahabat-sahabat beliau yang selalu berpedoman kepada Al Qur’an dan as sunnah dalam kesehariannya. Beliau bersabda:

اَم اْوـّلِضَت ْنَل ِنْـيَرْـمَا ْمُكْيـِف ُتْكَرـَت :َلاَق ص ِها َلْوُسَر َنَا

ِهِـــلْوُسَر َةـَنُس َو ِها َباَتـِك :اَمِهـِب ْمُتـْكَسَمـَت

Artinya:

Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Nabi saw bersabda,

“telah ku tinggalkan atas kamu sekalian dua perkara, yang apabila

kamu berpegang kepada keduanya, maka tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnah rasulnya. (HR Al Hakim)21

Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa segala perbuatan atau tindakan manusia apapun bentuknya pada hakekatnya adalah bermaksud mencapai kebahagiaan, sedangkan untuk mencapai

20

A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), cet ke 2, h. 149.

21


(55)

kebahagiaan menurut sistem moral atau akhlak yang agamis (islam) dapat dicapai dengan jalan menuruti perintah Allah yakni dengan menjauhi segala larangannya dan mengerjakan segala perintahnya, sebagaimana yang tertera dalam pedoman dasar hidup bagi setiap muslim yakni Al Qur’an dan Al Hadits.

2) Macam-macam Akhlak a) akhlak Al-Karimah

Akhlak Al-Karimah atau akhlak yang mulia sangat amat jumlahnya, namun dilihat dari segi hubungan manusia dengan tuhan dan manusia dengan manusia, akhlak yang mulia itu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Akhlak Terhadap Allah

Akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan menjangkau hakekatnya.

2. Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Akhlak yang baik terhadap diri sendiri dapat diartikan menghargai, menghormati, menyayangi dan menjaga diri sendiri dengan sebaik-baiknya, karena sadar bahwa


(56)

dirinya itu sebagai ciptaan dan amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya.

Contohnya: Menghindari minuman yang beralkohol, menjaga kesucian jiwa, hidup sederhana serta jujur dan hindarkan perbuatan yang tercela.

3. Akhlak Terhadap Sesama Manusia

Manusia adalah makhluk sosial yang berkelanjutan eksistensinya secara fungsional dan optimal banyak bergantung pada orang lain, untuk itu ia perlu bekerjasama dan saling tolong-menolong dengan orang lain. Islam menganjurkan berakhlak yang baik kepada saudara, karena ia berjasa dalam ikut serta mendewasakan kita, dan merupakan orang yang paling dekat dengan kita. Caranya dapat dilakukan dengan memuliakannya, memberi bantuan, pertolongan dan menghargainya.22

Jadi, manusia menyaksikan dan menyadari bahwa Allah telah mengaruniakan kepadanya keutamaan yang tidak dapat terbilang dan karunia kenikmatan yang tidak bisa dihitung banyaknya, semua itu perlu disyukurinya dengan berupa berdzikir dengan hatinya. Sebaiknya dalam kehidupannya senantiasa berlaku hidup sopan dan

22


(57)

santun menjaga jiwanya agar selalu bersih, dapat terhindar dari perbuatan dosa, maksiat, sebab jiwa adalah yang terpenting dan pertama yang harus dijaga dan dipelihara dari hal-hal yang dapat mengotori dan merusaknya. Karena manusia dalah makhluk sosial maka ia perlu menciptakan suasana yang baik, satu dengan yang lainnya saling berakhlak yang baik.

b) Akhlak Al-Mazmumah

Akhlak Al-Mazmumah (akhlak yang tercela) adalah sebagai lawan atau kebalikan dari akhlak yang baik sebagaimana tersebut di atas. Dalam ajaran islam tetap membicarakan secara terperinci dengan tujuan agar dapat dipahami dengan benar, dan dapat diketahui cara-cara menjauhinya.

Berdasarkan petunjuk ajaran islam dijumpai berbagai macam akhlak yang tercela, di antaranya:

1. Berbohong

Ialah memberikan atau menyampaikan informasi yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya.


(58)

Ialah merasa atau mengaku dirinya besar, tinggi, mulia, melebihi orang lain. Pendek kata merasa dirinya lebih hebat.

3. Dengki

Ialah rasa atau sikap tidak senang atas kenikmatan yang diperoleh orang lain.

4. Bakhil atau kikir

Ialah sukar baginya mengurangi sebagian dari apa yang dimilikinya itu untuk orang lain.23

Sebagaimana diuraikan di atas maka akhlak dalam wujud pengamalannya di bedakan menjadi dua: akhlak terpuji dan akhlak yang tercela. Jika sesuai dengan perintah Allah dan rasulnya yang kemudian melahirkan perbuatan yang baik, maka itulah yang dinamakan akhlak yang terpuji, sedangkan jika ia sesuai dengan apa yang dilarang oleh Allah dan rasulnya dan melahirkan perbuatan-perbuatan yang buruk, maka itulah yang dinamakan akhlak yang tercela.24

23

Ibid., h. 57-59.

24

Musa Subaiti, Akhlak Keluarga Muhammad SAW, (Jakarta: Lentera Basritama, 1995), h. 31-32.


(59)

c) Tujuan akhlak

Tujuan dari pendidikan akhlak dalam islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Dengan kata lain pendidikan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (al-fadhilah). Berdasarkan tujuan ini, maka setiap saat, keadaan, pelajaran, aktifitas, merupakan sarana pendidikan akhlak. Dan setiap pendidik harus memelihara akhlak dan memeprhatikan akhlak di atas segala-galanya.25

Barmawie Umary dalam bukunya materi akhlak menyebutkan bahwa tujuan berakhlak adalah hubungan umat islam dengan Allah swt dan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis.26

Sedangkan Omar M. M.Al-Toumy Al-Syaibany, tujuan akhlak adalah menciptakan kebahagiaan dunia dan akhirat, kesempurnaan bagi individu dan menciptakan kebahagiaan, kemajuan, kekuatan dan keteguhan bagi masyarakat.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan akhlak pada prinsipnya adalah untuk mencapai kebahagiaan dan keharmonisan dalam berhubungan dengan Allah swt, di samping berhubungan dengan sesama

25

Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 160.

26


(60)

makhluk dan juga alam sekitar, hendak menciptakan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna serta lebih dari makhluk lainnya.

Pendidikan agama berkaitan erat dengan pendidikan akhlak, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Sebab yang baik adalah yang di anggap baik oleh agama dan yang buruk adalah apa yang dianggap buruk oleh agama. Sehingga nilai-nilai akhlak, keutamaan akhlak dalam masyarakat islam adalah akhlak dan keutamaan yang diajarkan oleh agama.27

27


(61)

2. Hakikat Siswa a. Pengertian Siswa

Dalam pengertian umum, siswa adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan sedangkan dalam arti sempit siswa adalah anak (pribadi yang belum dewasa) yang di serahkan kepada tanggung jawab pendidik.

Dalam bahasa Indonesia, makna siswa, murid, pelajar dan peserta didik merupakan sinonim (persamaan), semuanya bermakna anak yang sedang berguru (belajar dan bersekolah), anak yang sedang memperoleh pendidikan dasar dari satu lembaga pendidikan. Jadi dapat dikatakan bahwa anak didik merupakan semua orang yang sedang belajar, baik pada lembaga pendidikan secara formal maupun lembaga pendidikan non formal.

Siswa adalah subjek utama dalam pendidikan. Dialah yang belajar setiap saat. Belajar anak didik tidak mesti harus selalu berinteraksi dengan guru dalam proses interaksi edukatif.

Tokoh-tokoh aliran behaviorisme beranggapan bahwa anak didik yang melakukan aktivitas belajar seperti membaca buku, mendengarkan penjelasan guru, mengarahkan pandangan kepada seorang guru yang menjelaskan di depan kelas, termasuk dalam kategori belajar. Mereka tidak melihat ke dalam fenomena psikologis anak didik. Aliran ini berpegang pada


(62)

realitas dengan mata telanjang dengan mengabaikan proses mental dengan segala perubahannya, sebagai akibat dari aktivitas belajar tersebut.

Tetapi aliran kognitivisme mengatakan lain bahwa keberhasilan belajar itu ditentukan oleh perubahan mental dengan masuknya sejumlah kesan yang baru dan pada akhirnya mempengaruhi perilaku. Berbeda dengan aliran behaviorisme yang hanya melihat fenomena perilaku saja, aliran kognitivisme jauh melihat ke dalam fenomena psikologis.

b. Dasar-Dasar Kebutuhan Anak Untuk Memperoleh Pendidikan

Secara kodrati, anak memerlukan pendidikan atau bimbingan dari orang dewasa. Dasar kodrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak yang hidup di dunia ini.28

Rasulullah saw bersabda:

ُنْب ُسُنوُي َِِرَـبْخَأ ٍبَْو ُنْبا اَنَـثَدَح ََاَق ىَسيِع ُنْب ُدََْْأَو ِرِاَطلا وُبَأ َِِثَدَح

َلاَق َلاَق َةَرْـيَرُ اَبَأ َنَأ َُرَـبْخَأ ِنََْْرلا ِدْبَع َنْب َةَمَلَس اَبَأ َنَأ ٍباَهِش ِنْبا ْنَع َديِزَي

28

Nur Uhbiyati dan Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1996), h. 85.


(63)

ُلوُقَـي َُُ ِةَرْطِفْلا ىَلَع ُدَلوُي ََِإ ٍدوُلْوَم ْنِم اَم َمَلَسَو ِهْيَلَع ُهَللا ىَلَص ِهَللا ُلوُسَر

اوُءَرْـقا

{

مِيَقْلا ُنيِدلا َكِلَذ ِهَللا ِقْلَِِ َليِدْبَـت ََ اَهْـيَلَع َساَنلا َرَطَف َِِلا ِهَللا َةَرْطِف

}

Artinya:

Tiadalah seseorang yang dilahirkan melainkan menurut fitrahnya, maka akibat kedua orang tuanyalah yang Yahudikanknya atau me-Nasranikannya atau me-Majusikannya. Sebagaimana halnya binatang yang dilahirkan dengan sempurna, apakah kamu lihat binatang itu tidak

berhidung dan bertelinga ? kemudian Abi Hurairah berkata,”Apabila kamu

mau bacalah lazimilah fitrah Allah yang telah Allah ciptakan kepada manusia di atas fitrahnya. Tiada penggantian terhadap ciptaan Allah, itulah

agama yang lurus (islam).” (HR.Muslim)29

Ramayulis mengartikan fitrah dalam arti etimologi berarti al-khilqah,

al-ibda’, al-ja’l (penciptaan). Arti ini disamping dipergunakan untuk maksud

penciptaan alam semesta juga pada penciptaan manusia. Dengan makna

29


(64)

etimologi ini, maka hakekat manusia adalah sesuatu yang diciptakan, bukan menciptakan.

Sedangkan Allah swt berfirman:

ُمُكَل َلَعَجَو اًئْيَش َنوُمَلْعَـت ََ ْمُكِتاَهَمُأ ِنوُطُب ْنِم ْمُكَجَرْخَأ ُهَللاَو

َنوُرُكْشَت ْمُكَلَعَل َةَدِئْفَْْاَو َراَصْبَْْاَو َعْمَسلا

Artinya:

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl 16:78)30

Dari hadits dan ayat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa manusia itu untuk dapat menentukan status manusia sebagaimana mestinya adalah harus mendapatkan pendidikan. Dalam hal ini keharusan mendapatkan pendidikan itu jika diamati lebih jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan yang antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut.

a. Aspek Paedagogis

30

Al Qur’an dan Terjemah, Departemen Agama Republik Indonesia, (Jakarta: CV Toha Putra


(65)

Dalam aspek ini, para ahli didik memandang manusia sebagai animal educandum: makhluk yang memerlukan pendidikan. Adapaun manusia dengan potensi yang dimilikinya, mereka dapat dididik dan dikembangkan kearah yang diciptakan, setaraf dengan kemampuan yang dimilikinya.

Islam mengajarkan bahwa anak itu membawa berbagai potensi yang selanjutnya apabila potensi tersebut dididik dan dikembangkan ia akan menjadi manusia secara fisik dan mental akan memadai.

b. Aspek Sosiologi dan Kultural

Menurut ahli sosiologi pada prinsipnya, manusia adalah homosocius, yaitu makhluk yang berwatak dan berkemampuan dasar atau memiliki garizah (instink) untuk hidup bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial manusia memiliki rasa tanggung jawab sosial yang diperlukan dalam mengembangkan hubungan timbal balik dan saling pengaruh mempengaruhi antara anggota masyarakat dalam kesatuan hidup mereka.

Dengan demikian manusia dikatakan sebagai makhluk sosial berate pula manusia itu adalah makhluk yang berkebudayaan, baik moral maupun material. Di antara instink manusia adalah adanya kecenderungan mempertahankan segala apa yang dimilikinya termasuk kebudayaannya. Oleh karena itu maka manusia perlu melakukan pemindahan dan penyaluran serta pengoperan


(66)

kebudayaannya kepada generasi yang akan menggantikannya di kemudian hari.

c. Aspek Tauhid

Aspek tauhid ini adalah aspek pandangan yang menagkui bahwa manusia itu adalah makhluk yang berketuhanan yang menurut istlah ahli disebut homo divinous (makhluk yang percaya adanya tuhan) atau disebut juga homo religios (makhluk yang beragama). Adapun kemampuan dasar yang menyebabkan manusia menjadi makhluk yang berketuhanan atau garizah Diniyah (instink percaya pada agama). Itulah sebabnya, tanpa melalui proses pendidikan instink religios atau garizah Diniyah tersebut tidak akan mungkin dapat berkembang secara wajar. Dengan demikian pendidikan keagamaan mutlak diperlukan untuk mengembangkan kedua instink tersebut.

Karena itulah, anak didik memiliki beberapa karakteristik, diantaranya:

1. Belum memiliki pribadi dewasa susila, sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik.

2. Masih menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya, sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik.

3. Sebagai manusia memiliki sifat-sifat dasar yang sedang ia kembangkan secara terpadu, menyangkut seperti kebutuhan


(67)

biologis, rohani, sosial, intelegensi, emosi, kemampuan bicara, perbedaan individual dan sebagainya.

Dengan demikian anak didik sebagai manusia yang belum dewasa merasa tergantung kepada pendidiknya, anak didik merasa ia memiliki kekurangan-kekurangan tertentu, ia menyadari bahwa kemampuannya sangat terbatas dibanding dengan kemampuan pendidiknya. Kekurangan ini membawanya untuk mengadakan interaksi dengan pendidiknya dalam situasi pendidikan. Dalam situasi pendidikan itu jadi interaksi kedewasaan dan kebelum dewasaan.

Suatu hal yang perlu diperhatikan oleh seorang pendidik dalam membimbing anak didik adalah kebutuhan mereka. Ramayulis sebagimana mengutip pendapat al-Qussy membagi kebutuhan manusia dalam dua kebutuhan pokok, yaitu:

a. Kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmani seperti makan, minum dan sebagainya.

b. Kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan rohaniah.

Selanjutnya ia membagi kebutuhan rohaniah kepada enam macam yaitu:

1. Kebutuhan kasih sayang 2. Kebutuhan akan rasa nyaman


(68)

3. Kebutuhan akan rasa harga diri31 4. Kebutuhan akan rasa bebas 5. Kebutuhan akan sukses

6. Kebutuhan akan sesuatu kekuatan

Selanjutnya Law Head membagi kebutuhan manusia sebagai berikut:

1. Kebutuhan jasmani, sperti makan, minum, berbafas, perlindungan, seksual, kesehatan dan lain-lain

2. Kebutuhan rohani, seperti kasih sayang, rasa aman, penghargaan, belajar, menghubungkan diri dengan dunia yang lebih luas, mengaktualisasikan dirinya sendiri dan lain-lain

3. Kebutuhan yang menyangkut jasmani dan rohani, seperti istirahat, rekreasi, butuh supaya setiap potensi fisik dapat dikembangkan semaksimal mungkin, butuh agar setiap usaha dapat sukses

4. Kebutuhan sosial, seperti supaya dapat diterima oleh teman-temannya secara wajar, supaya dapat diterima oleh orang lebih tinggi dari dia seperti orang tuanya,

31

Sutirna, Perkembangan dan Pertumbuhan Peserta Didik, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2013), h. 89.


(69)

gurunya dan pemimpinnya, seperti kebutuhan untuk memperoleh prestasi dan posisi

5. Kebutuhan yang lebih tinggi sifatnya merupakan tuntutan rohani yang mendalam yaitu kebutuhan untuk meningkatkan diri yaitu kebutuhan terhadap agama

Dari kedua kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan yang paling esensi adalah kebutuhan agama. Agama dibutuhkan manusia karena memerlukan orientasi dan objek pengabdian dalam hidupnya. Oleh karena itu, tidak seorangpun yang tidak membutuhkan agama.

Faktor anak didik menurut Undang-Undang Sitem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 Tahun 2003, BAB V Pasal 12 bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik seagama. Mencakup pengertian “peserta didik” yaitu anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

Anak adalah makhluk yang masih membawa kemungkinan untuk berkembang baik jasmani dan rohani, ia memiliki jasmani yang


(1)

Pengajian kitab Al Akhlak Lil Banin di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo termasuk kategori baik dengan hasil prosentase di atas yang menunjukan 5 % untuk kategori baik dan 1 % untuk kategori kurang.

Pembentukan akhlak siswa di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo dalam kategori baik dengan hasil prosentase sebesar 2,85 % dan kategori kurang menghasilkan sebesar 1,03 %.

Hasil perhitungan Product Moment diperoleh angka 0,581 nilai tersebut menunjukkan lebih besar dari Harga Kritik Product Moment baik pada taraf signifikansi 5 % maupun 1 %, berarti hipotesis alternatif (Ha) yang mengatakan bahwa “pengaruh pengajian kitab Al Akhlak Lil Banin terhadap pembentukan akhlak siswa di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo” diterima, dan hipotesis nihil (Ho) yang mengatakan bahwa “tidak ada pengaruh pengajian kitab Al Akhlak Lil Banin terhadap pembentukan akhlak siswa di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo” ditolak.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pengajian kitab Al Akhlak Lil Banin terhadap pembentukan akhlak siswa di komunitas belajar Al Falah Islamic Course Kampoeng Sinaoe Sidoarjo. Terbukti dengan hasil perhitungan Product Moment diperoleh angka 0,581 nilai tersebut menunjukkan lebih besar dari Harga Kritik Product Moment baik pada taraf


(2)

B. Saran

Untuk dapat melakukan pembentukan akhlak siswa, maka ada baiknya dikemukakan beberapa saran khususnya untuk :

1. Guru

 Harus memiliki kewibawaan dan kepribadian yang kuat dan menarik.  Mampu memberi contoh perilaku yang baik terhadap siswa.

 Harus pandai dalam memahami karakter siswa.

 Menanamkan rasa disiplin dan tanggung jawab kepada siswa. 2. Orang Tua

 Harus bisa memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak.

 Mendidik anaknya tentang berperilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Mas’ud, Ali. Akhlak Tasawuf. Sidoarjo: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2012.

Hasan, Muhammad Tholhah. Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lantabora Press, 2005.

Ridhahani. Transformasi Nilai-Nilai Karakter/Akhlak Dalam Proses Pembelajaran. Yogyakarta: LKiS, 2013.

Mustofa, A. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.

HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 273 (Shahiihul Adabil Mufrad no. 207), Ahmad (II/381), dan al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 45).

Al Qur’an dan Terjemah.Departemen Agama Republik Indonesia. Jakarta: CV Toha

Putra Semarang, 1989.

Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam (Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama

Islam di Sekolah). Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.

Daradjat, Zakiah. Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya. Akhlak Tasawuf. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013.


(4)

Buseri, Kamrani. Nilai-Nilai Ilahiah Remaja Pelajar: Telaah Phenomenologis dan

Strategi Pendidikannya. Yogyakarta: UII Press, 2004.

Ishaq, Ali Syawakh. Metodologi Pendidikan Al Qur’an dan Sunnah. Terj. Asmu’I Saliha Zakhsyari. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1995.

http://kbbi.web.id/pengaruh diakses pada 15 Desember 2016 pukul 19.57 WIB. Zein, Muhammad. Metode Pendidikan Agama Islam Pada Lembaga Pendidikan Non

Formal. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1975.

Qahar, Mas’ud Hasan Abdul dkk. Kamus Istilah Pengetahuan Populer. Bandung: CV Bintang Pelajar, 2010.

Dirdjosanjoto, Pradjarta. Memelihara Umat (Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa). Yogyakarta: LKIS, 1999.

Ghazali, M. Bahri. Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta: CV Prasasti, 2003. Badan Litbang dan Diklat Pulitbang kehidupan keagamaan. Peningkatan Peran Serta

Masyarakat Dalam Pendalaman Ajaran Agama Melalui Majelis Ta’lim.

Jakarta: Departemen Agama RI, 2007.

Team Proyek Peningkatan Pendidikan Luar Sekolah Pada Pondok Pesantren. Pola

Pengembangan Pesantren Kilat. Jawa Barat: Departemen Agama RI, 2003.

Madjidi, Busyiri. Konsep Kependidikan Para Filosofis Muslim. Yogyakarta: Al Amin Press, 1997.

As’ad, Ali. Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan (terjemah Ta’lim


(5)

Dhofir, Zamakhsari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai. Jakarta: LP3ES Jakarta, 1984.

Zainuddin, dkk. Pemikiran Pendidikan Al Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Al Ustadz Umar Bin Achmad Baradja. Bimbingan Akhlak Bagi Putra-Putra Anda.

Surabaya: Prographic Studio, 1992.

Mahjuddin. Kuliah Akhlaq Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia, 1999.

Sudarsono. Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1989. Ardani, Moh. Akhlak Tasawuf. Bandung: PT Mitra Cahaya Utama, 2005.

Zahruddin AR. Pengantar Ilmu Akhlak, cet 1.

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf Islam & Akhlak. Jakarta: Amzah, 2011. Mustofa, A. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, 1997.

Kitab Al Muwaththa. Imam Malik. Jilid 2.

Subaiti, Musa. Akhlak Keluarga Muhammad SAW. Jakarta: Lentera Basritama, 1995. Mahmud, Ali Abdul Halim. Akhlak Mulia. Jakarta: Gema Insani Press, 2006.

Mohammad, Omar. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.

Uhbiyati, Nur dan Ahmadi, Abu. Ilmu Pendidikan Islam 1. Bandung: CV Pustaka Setia, 1996.

Sutirna. Perkembangan dan Pertumbuhan Peserta Didik. Yogyakarta: CV Andi Offset, 2013.


(6)

HR. At Tirmidzi no. 1978, Ahmad V/153 dan lainnya, hadits ini dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Shahiihul Jaami’ no. 97.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineke Cipta, 2006.

Narbuko, Kholid dan Ahmadi, Abu. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara, 2005.

Turmudzi dan Harini, Sri. Metode Statistika. Malang: UIN Malang, 2008.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur penelitian, suatu pendekatan praktek. Jakarta:Rineka Cipta, 2013.

Sudjono, Anas. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.