Magister Pendidikan Bahasa Indonesia NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016

(1)

KOSAKATA YANG MEREPRESENTASIKAN IDEOLOGI PEREMPUAN

DALAM NOVELPEREMPUAN BERKALUNG SORBANKARYA ABIDAH

EL KHALIEQY

Liastuti Ustianingsih

Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia

Abstrak: Sosok perempuan baik sebagai pengarang maupun tokoh cerita dalam teks sastra selama ini dipandang masih berada di bawah bayang-bayang kaum pria. Secara nyata maupun terselubung,

perempuan masih diperlakukan sebagai ‘yang lain’ karena mereka ‘bukan’ pria. Kondisi sosial budaya masyarakat pada masa kelahiran

fiksi Indonesia memang masih mendeskriminasikan wanita.Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila tokoh pria dalam novel pun lebih banyak diunggulkan atau lebih banyak mengalami nasib yang lebih beruntung daripada tokoh wanita.Hal tersebut juga dipengaruhi oleh pandangan atau ideologi kelompok tertentu terhadap suatu kelompok lainnya. Ideologi diartikan sebagai sekumpulan ide-ide yang dimaksudkan untuk mendahulukan kepentingan-kepentingan kelompok sosial tertentu. Sering juga menimbulkan kerugian untuk orang lain. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian ini akan dititikberatkan pada ideologi yang terepresentasikan dalam teks yang dihasilkan oleh perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorbankarya Abidah El-Khalieqy.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif kritis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan analisis wacana Sumber data dalam penelitian ini adalah teks novel PBS karya Abidah El-Khalieqy, penerbit Arti Bumi Intaran Yogyakarta, cetakan keenam edisi revisi, Maret 2009 setebal 320 halaman.Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen utama yakni peneliti bertindak sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data, penafsir data, dan menjadi pelapor hasil penelitian. Dalam penelitian ini digunakan kajian tekstual yaitu menganalisis teks novelPerempuan Berkalung Sorbankarya Abidah El Khalieqy yang dalam hal ini berupa kosakata dengan langkah-langkah (1) membaca secara heuristic dan hermeneutis, (2) mendaftar data, (3) mengklasifikasi data, dan (4) menafsirkan data.Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut.Pertama,

terdapat tiga konstruksi ideologi yang terepresentasikan dalam “nilai pengalaman” kosakata, yakni (1) ideologi keterikatan pada struktur,

(2) ideologi penolakan terhadap hakikat kodrat, dan (3) ideologi pembelaan terhadap kelompoknya yang tertindas. Kedua, terdapat


(2)

relasional” kosakata, yakni (1) ideologi pengambilan distansi untuk

menunjukkan kemampuan, dan (2) ideologi pengurangan distansi dalam kerangka solidaritas.Ketiga, terdapat tiga konstruksi ideologi

yang terepresentasikan dalam “nilai ekspresif” kosakata, yaitu (1)

ideologi pemberontakan terhadap kemapanan laki-laki, (2) ideologi perasaan senasib dengan sesamanya, dan (3) ideologi teguh dalam berjuang.

Kata-kata kunci: ideologi, kosakata, bahasa perempuan

PENDAHULUAN

Perjuangan wanita Indonesia untuk memperoleh hak dan kesempatan yang sama dengan pria telah dimulai sejak zaman R.A. Kartini. Sekarang ini boleh dikatakan wanita Indonesia telah memperoleh hak dan kesempatan yang sama seperti kaum pria meskipun pada kenyataannya hal itu belum sepenuhnya dimiliki oleh sebagian wanita Indonesia. Perolehan hak dan kesempatan ini dimaksudkan agar

wanita Indonesia dapat

meningkatkan status dan peranannya di dalam keluarga dan masyarakat, sehingga bisa membawa wanita menjadi mitra sejajar pria yang sebenarnya dalam proses pembangunan yang sedang giat-giatnya dilaksanakan.

Selama ini perempuan dipandang sebagai sosok yang lemah.Banyak anggapan yang beredar di masyarakat tentang diri perempuan itu sendiri yang menyebabkan perempuan semakin terpinggirkan.Kaitannya dengan sastra, permasalahan yang ada tidak terbatas pada keterlibatan perempuan di dalam dunia penciptaan, kritik, dan sebagai penikmat saja, tetapi juga tidak kalah pentingnya adalah bagaimana sosok perempuan direpresentasikan di dalam sebuah teks sastra.Sosok perempuan baik sebagai pengarang maupun tokoh

cerita dalam teks sastra selama ini dipandang masih berada di bawah bayang-bayang kaum pria. Secara nyata maupun terselubung, perempuan masih diperlakukan

sebagai ‘yang lain’ karena mereka ‘bukan’ pria.Hal tersebut juga

dipengaruhi oleh pandangan atau ideologi kelompok tertentu terhadap suatu kelompok lainnya.Ideologi diartikan sebagai sekumpulan ide-ide

yang dimaksudkan untuk

mendahulukan kepentingan-kepentingan kelompok sosial tertentu. Sering juga menimbulkan kerugian untuk orang lain.

Jika ideologi dapat diartikan

sebagai “cara melihat dunia”, kajian

terhadap ideologi akan menghasilkan sebuah perian tentang pelbagai cara sebuah kelompok melihat dunia itu. Jika ideologi dapat diartikan sebagai

“cara melihat dunia”, kajian terhadap

ideologi akan menghasilkan sebuah interpretasi bagaimana sebuah ideologi berdampak pada produksi dan konsumsi teks-teks. Jika ideologi

dapat diartikan sebagai “cara melihat dunia”, kajian terhadap ideologi akan

memperoleh eksplanasi tentang bagaimana sebuah ideologi itu mengkonstruksi makna bagi subjek-subjeknya.

Perempuan terkadang lebih sering berbahasa dengan gaya kooperatif daripada laki-laki yang kompetitif (Santoso, 2012:2). Hal ini


(3)

mungkin karena perbedaan dalam penggunaan bahasa serta perbedaan sifat dan sikap antara laki-laki dan perempuan.selain perbedaan jenis kelamin serta pengalaman sosial. Dalam konteks di Indonesia, cara pandang dan cara pikir yang masih didominasi oleh laki-laki sehingga menciptakan suatu ketimpangan yang menganggap bahwa bahasa laki-laki mensubordinasikan bahasa atau posisi perempuan di hadapan laki-laki.

Dengan memahami bahasa perempuan, maka kita akan mengetahui realitas sosial yang ada padanya. Dalam setiap bahasa perempuan menyimpan ide-ide atau gagasan yang perlu diungkap secara komprehensif sehingga kita mengetahui konstruk ideologi yang diperjuangkan yang tersirat dalam bahasanya. Bahasa-bahasa yang digunakan tidaklah terlalu bebas dipilih, akan tetapi keadaan politis, sosial, budaya, dan ideologi yang kemudian menuntut adanya pilihan bahasa.

Keistimewaan dari novel

Perempuan Berkalung Sorban selain novel ini sudah difilmkan, tidak lagi menjadikan agama sebagai setting, tetapi lebih menyuarakan nilai-nilai Islam atau ajaran-ajaran Islam, bahkan mempersoalkan pemahaman umat Islam yang kurang bijak terhadap nilai-nilai Islam yang cenderung berpihak pada kelompok tertentu dan jenis kelamin tertentu. Abidah dalamPerempuan Berkalung Sorban dari kacamata perempuannya

mencoba mengangkat dan

memperjuangkan kaum perempuan pada posisi yang sebenarnya yakni sejajar dengan laki-laki dengan cara mempersoalkan pemahaman kaum

laki-laki yang cenderung mendudukkan perempuan dalam inferioritas.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian ini akan dititikberatkan pada osakata yang merepresentasikan ideologi perempuan dalam teks yang dihasilkan oleh perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban

karya Abidah El-Khalieqy.

Manfaat Penulisan Artikel

Sesuai dengan kajian, maka hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat untuk menambah khasanah studi kesusasteraan Indonesia dan menambah wawasan tentang penelitian gender dalam karya sastra melalui kajian wacana kritis ideologi gender.Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat membangkitkan minat penciptaan terhadap karya sastra, khususnya karya sastra fiksi dalam bentuk novel.

Bagi dunia pendidikan, hasil penelitian ini minimal diharapkan dapat dijadikan acuan untuk bahan perkuliahan teori sastra, apresiasi prosa dan sosiologi sastra di sekolah dan perguruan tinggi.Selanjutnya, di sekolah hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan ajar khususnya yang berhubungan dengan materi menentukan unsur ekstrinsik karya sastra dan nilai-nilai didaktis dalam karya sastra.

Bagi pembaca, diharapkan dapat memberi motivasi dan pengetahuan akan pentingnya kajian terhadap karya sastra khususnya yang berhubungan dengan gender dan feminisme dalam karya sastra. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memotivasi peneliti


(4)

selanjutnya untuk mampu meneliti karya sastra lain dengan menggunakan teori wacana kritis ideologi gender.

METODE

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif kritis dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan analisis wacana.Oleh sebab itu, analisis wacana kritis tidak bisa dianggap sebagai pendekatan netral namun sebagai pendekatan kritis yang secara politik ditujukan bagi timbulnya perubahan sosial.Analisis

wacana kritis itu bersifat “kritis”

maksudnya adalah bahwa analisis ini bertujuan mengungkap praktik peran

kewacanaan dalam upaya

melestarikan dunia sosial, termasuk hubungan-hubungan sosial yang melibatkan hubungan kekuasaan yang tak sepadan. Atas nama emansipasi, pendekatan analisis wacana kritis memihak pada kelompok-kelompok sosial tertindas.

Data dalam penelitian ini berupa kosakata yang memiliki nilai ideologis tertentu dalam novel

Perempuan Berkalung Sorban

(PBS), karya Abidah El-Khalieqy. Sesuai dengan tujuan dan metode penelitian ini, maka langkah-langkah analisis data yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut: (1) Membaca sumber data yaitu novel Perempuan Berkalung Sorban

karya Abidah El Khalieqy secara heuristik dan hermeneutis untuk dapat memahami dan menghayati secara kritis, utuh, dan menyeluruh terhadap sumber data. Hasil dari tahapan ini berupa catatan-catatan mengenai unsur-unsur atau bagian

teks yang untuk sementara dianggap memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti. (2) Identifikasi data sesuai dengan indicator masalah yang diteliti. (3) Pengkodean data sesuai dengan kelompok masalah yang diteliti. (4) Deskripsi data, menguraikan strategi wacana tanpa menghubungkan dengan aspek lain. (5) Interpretasi data yang menafsirkan hasil analisis data pada

tahap pertama dengan

menghubungkannya dengan proses produksi teks serta merujuk pada teori yang dijadikan dasar penelitian, yaitu teori analisis wacana kritis dengan model kajian kritik sastra feminis. (6) Eksplanasi data untuk mencari penjelasan atas hasil penafsiran pada tahap pertama dan kedua.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kosakata yang

Merepresentasikan Ideologi Perempuan dalam Nilai Pengalaman Kosakata

Dari analisis kritis terhadap

“nilai pengalaman” kosakata,

terdapat beberapa ideologi yang selalu dipegang dan diperjuangkan perempuan sebagai berikut.

4.1.1 Ideologi Keterikatan pada Struktur

Meminjam istilah dari bidang sosiologi, istilah struktur merujuk

pada “kode tersembunyi yang

berfungsi menjadi pedoman bagi individu dalam menjalankan peran

sosialnya” (Santoso, 2009:172).

Beberapa elite perempuan berpandangan akan keterikatannya kepada keluarga, lingkungan, masyarakat, bangsa, kaum, dan negaranya. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan berikut ini.


(5)

(1) “Anakku, Nisa. Di dunia ini, semua yang diciptakan oleh Allah, apa saja jenis kelaminnya, baik laki-laki atau perempuan, semuanya sama baiknya, sama bagusnya, sama enaknya. Sebab, Allah juga memberikan kenikmatan yang sama pada keduanya. Tinggal bagaimana kita mensyukurinya. Jadi laki-laki, enak. Jadi

perempuan juga enak.” (hlmn.

27)

Konteks dari kutipan di atas yakni ketika Annisa protes kepada ibunya kenapa tidak dilahirkan menjadi anak laki-laki, karena menurut Annisa menjadi seorang anak laki-laki itu lebih enak bisa main layang-layang, menunggang kuda, main di sawah, pergi ke kantor,dan lain sebagainya, tidak seperti anak perempuan yang mempunyai kewajiban banyak sekali seperti mencuci, memasak, menyetrika, mengepel, menyapu, menyuapi, menyusui, memandikan anaknya, dan banyak lagi.

Frasa “semua yang diciptakan oleh Allah, apa saja, sama baiknya”,

menunjukkan bahwa perempuan Indonesiaadalah makhluk yang menyandarkan pada kekuatan struktur yang lebih fundamental, yakni agama yang mengikat setiap makhluk yang memeluknya. Dalam pandangan perempuan, apa yang dihadapinya adalah semata-mata karena kekuasaan struktur, tidak ada tempat untuk melawan struktur yang fundamental itu.

Selain terikat pada struktur agama, perempuan Indonesia juga

merupakan makhluk yang

menyandarkan dirinya pada kekuatan

struktur yang lain, yakni “keluarga”

yang mengikat perempuan yang memiliki tugas dan peran itu.

Tugasnya sebagai “istri”, “ibu”, telah

membawanya kepada sebuah keadaan yang tidak mungkin diabaikannya. Ia sadar bahwa peran

“sebagai seorang ibu”, “sebagai seorang istri”, dan “sebagai warga negara” telah membawa konsekuensi

tertentu hingga apa yang dilakukannya perlu dinaturalisasikan dan dilembagakan kepada publik atau orang lain. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan-kutipan berikut ini.

(2) Betapa pentingnya para remaja putri mengetahui hak-hak dan kewajiban mereka sebagai muslimah, baik sebagai anak, seorang murid, seorang ibu, anggota masyarakat, warga negara dan lebih-lebih seorang istri kelak di kemudian hari (hlmn. 73)

(3) Lalu bukti kurang sempurna agamanya kaum perempuan

adalah hak warisnya yang separuh laki-laki, tidak bisa menjadi wali nikah, tidak memiliki hak talak, hak rujuk, juga hak untuk berpoligami. Perempuan juga memiliki hukum yang berbeda mengenai shalat Jumat, iktikaf di masjid, soal adzan, khutbah dan lain sebagainya. (hlmn. 68)

Frasa “kaum perempuan”

pada kutipan (3), memberikan indikator yang lebih jelas bahwa perempuan tampaknya memang tidak dapat melepaskan diri dari

keterperangkapan itu.Kata “kaum” secara leksikal berarti “orang-orang

yang segolongan”.Ini artinya bahwa


(6)

melepaskan diri dari cengkeraman struktur itu.

Kosakata ideologi keterikatan pada struktur di atas, diwujudkan dengan menggunakan pola klasifikasi. Pola klasifikasi (classification scheme) merujuk pada kosakata yang diorganisasikan ke dalam pelbagai tipe wacana (Fairclough, dalam Santoso, 2009:65).Salah satu fungsi kosakata adalah untuk mengklasifikasi kondisi realitas. Dalam rumusan yang lebih lengkap, seperti diutarakan oleh Lee, (dalam Santoso, 2009:65), bahasa

dapat dilihat sebagai “alat” untuk

mengklasifikasikan pengalaman dunia kita dalam banyak cara yang berbeda dan dalam banyak tingkat yang berbeda pula. Kosakata perempuan, ibu, istri, janda, anak perempuan, digunakan untuk mengklasifikasikan manusia menurut jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui.Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis laki-laki dan perempuan selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan.secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.

4.1.2 Ideologi Penolakan Terhadap Kodrat

Beberapa perempuan

membangun sebuah ideologi yang

mencoba “menolak keberadaan kodrat bagi perempuan”.sementara

itu, ideologi dominan di Indonesia pada umumnya adalah wanita sudah lahir dengan kodratnya yakni sebagai ibu rumah tangga yang menjalankan peran-peran domestik, makhluk yang secara kodrat sebagai manusia kelas dua, makhluk yang secara kodrat menjalankan fungsi sebagai objek, dan sebagainya. Perempuan hanya sebagai konco wingking atau dalam

istilah bahasa Jawanya “swargo nunut neroko katut” (Fakih,

2003:12).Perempuan dikonsepkan hanya bisa macak, masak, manak.Di luar itu adalah pekerjaan laki-laki, seperti pada contoh kutipan berikut ini.

(4) Kewajiban seorang laki-laki, yang terutama adalah bekerja mencari nafkah, baik di kantor, di sawah, di laut atau dimana saja. Sedangkan seorang perempuan, mereka juga memiliki kewajiban, yang terutama adalah mengurus urusan rumah tangga dan

mendidik anak. Jadi, memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, dan merapikan seluruh rumah adalah kewajiban seorang perempuan(hlmn. 25)

Pada kutipan di atas, kosakata mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, memasak, mengurus rumah tangga dianggap sebagai

“kodrat wanita”.Adanya anggapan

bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa


(7)

semua pekerjaan gender rumah tangga menjadi tangggung jawab kaum perempuan.Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, hingga memelihara anak.

Di kalangan masyarakat luas beredar pandangan atau keyakinan bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis pekerjaan perempuan, seperti semua pekerjaan gender, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, serta

dikategorikan sebagai “bukan produktif” sehingga tidak

diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara itu kaum perempuan, karena anggapan gender ini, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak, kaum laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan gender itu.

(5) “Apa itu tidak melawan kodrat wanita, Nis.”

“Ha… ini masalahnya, Lek.Banyak perempuan dan istri yang belum mengerti kodratnya

sendiri.Kodrat wanita itu hanya hamil, melahirkan, dan menyusui anaknya.Kalau mencuci, memasak dan mendidik anak itu tanggung jawab suami.Nabi saja sering melaksanakan pekerjaan rumah tangga.Kalau dalam hal jimak, Lek, suami dan istri itu sama-sama punya hak untuk

merasakan enaknya… jadi

bukan kewajiban istri saja, tapi

juga kewajiban suami… kok ndomblong aja to, Lek?” (hlmn.

209)

Frasa “melawan kodrat wanita” dan “belum mengerti kodratnya”,

seperti pada kutipan (5) memberikan penegasan bahwa menjadi wanita pada hakikatnya sama menjadi pria. Ia mesti dipandang sebagai manusia, bukan karena memiliki jenis kelamin tertentu yang sudah terkonstruksi oleh faktor-faktor sosial budaya. Beberapa perempuan juga memperjuangkan sebuah konsep bahwa harkat dan martabat perempuan adalah hasil konstruksi sosial.Dia amat bergantung kepada individu perempuan itu sendiri dan kesediaan laki-laki untuk menerima perempuan dalam konsep kesetaraan dan keadilan gender.

Abidah sebagai seorang perempuan, sadar bahwa stereotip dan stigma terhadap perempuan lebih berkaitan dengan label-label konstruksi sosial dan karenanya perlu dihilangkan dengan pelbagai cara. Salah satunya adalah melalui usaha wanita untuk menunjukkan kepada pria bahwa ia mampu mengerjakan pelbagai tugas seperti laki-laki, atau berkarakter “kuat” dan

tidak cengeng seperti laki-laki. Contoh pada kutipan berikut ini. (6) Jika aku naik kuda, semua orang

mendongak ke arahku jika bicara denganku. Aku juga bisa

memimpin pasukan perang

seperti Aisyah atau Putri Budur, sehingga para laki-laki perkasa menjadi tunduk di belakangku.”

(hlmn. 27)

Beberapa perempuan juga memperjuangkan konsep bahwa


(8)

harkat dan martabat perempuan adalah hasil konstruksi sosial.

(7) “…pergaulan suami istri harus dilakukan dengan cara yang baik, yang menyenangkan bagi kedua belah pihak. Menurut

al-Qur’an, kedudukan suami dan istri itu setara. Sama-sama memiliki hak dan kewajibannya sesuai akal pikiran, perasaan, dan hatinya. Jadi tidak berlaku hukum, satu majikan satunya

budak.” (hlmn. 139)

Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat, di mana apa yang sesungguhnya gender, karena pada dasarnya konstruksi sosial, justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan. Justru sebagian besar yang dewasa ini sering dianggap atau dinamakan sebagai

“kodrat wanita” adalah konstruksi

sosial dan kultural atau gender.Misalnya saja sering diungkapkan bahwa mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan gender sering dianggap

sebagai “kodrat wanita”.Padahal

kenyataannya, bahwa kaum perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak, merawat dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu.Oleh karena itu, boleh jadi urusan mendidik anak dan merawat kebersihan rumah tangga bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. Oleh karena jenis pekerjaan itu bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal, apa yang sering disebut

sebagai “kodrat wanita” atau “takdir Tuhan atas wanita” dalam kasus

mendidik anak dan mengatur kebersihan rumah tangga, sesungguhnya, adalah gender.

Fitur formal kebahasaan yang digunakan dalam komunikasi adalah metafora.Metafora adalah ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang yang dipakai karena makna yang dimaksud terdapat pada prediksi ungkapan kebahasaan itu.(Wahab, 1990: 142). Piranti metafora juga mengandung rmakna tentang pemahaman dan pengalaman akan sejenis hal yang dimaksudkan dengan perihal yang lain. Dengan kata lain, metafora itu sesuatu yang dideskripsikan diganti dengan uraian lain yang dapat dibandingkan. Menurut Beard (dalam Santoso, 2009: 67) metafora disematkan ke dalam cara bagaimana kita mengkonstruksikan dunia di sekitar kita dan cara dunia dikonstruksikan oleh orang lain untuk kita.

Berikut dikemukakan

penggunaan metafora yang muncul dalam kosakata nilai pengalaman, ideologi penolakan terhadap kodrat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, karya Abidah El Khalieqy.

Tabel. 4.1 Daftar Kosakata Metafora

Kutipan Ekspresi Metafora

Kesan yang Muncul

(12) makhluk

nomor dua hiperbola

(15)

pohon-pohon akan tergetar dan burung kolibri sahabatku menjadi


(9)

gelisah

(15)

ke tingkatan galaksiku yang begitu tinggi

hiperbola

4.1.3 Ideologi Pembelaan Terhadap Kelompoknya yang Tertindas

Perempuan Indonesia sadar akan keberadaan kaumnya yang sampai saat ini tertindas, baik dari segi ekonomi, sosial, bahkan linguistik. Dari segi ekonomi, mereka tidak memiliki akses ke pusat-pusat sumber ekonomi.Dari segi sosial, mereka menjalankan peran yang sering hanya sebagai pelengkap penderita bagi kaum laki-laki.Dari segi linguistik, mereka sering tidak memperoleh hak yang proposional dalam pembentukan teks. Teks yang ada adalah buatan laki-laki (man’s made). Dengan demikian, cara pandang yang dilahirkan pun juga cenderung cara pandang laki-laki. Perhatikan kutipan berikut ini.

(8) “Bukankah penindasan dan

diskriminasi terhadap perempuan itu dimulai sejak mereka lahir? Bahkan boleh jadi sejak mereka belum lahir

dan diperkirakan akan lahir.”

(hlmn.. 185)

Pada kutipan di atas, untuk menunjukkan komitmen pembelaan, Abidah sebagai pengarang perempuan mengusung frasa seperti

“diskriminasi terhadap perempuan”, “penindasan terhadap perempuan”.

Dalam pandangan pengarang, sampai saat ini nasib perempuan masih dalam posisi ditindas, didiskriminasi, dikalahkan, dan disubordinasi oleh

sistem yang dibuat menurut kacamata laki-laki.Tentu saja ini tidak menguntungkan bagi perempuan.oleh karena itu, kelompok yang terdiskriminasi, tertindas, perlu dibela.

Terkait dengan fitur-fitur formal kebahasaan yang digunakan atau dipilih dalam komunikasi, Fairclough (dalam Santoso, 2009: 64) mengemukakan bahwa nilai pengalaman kosakata diwujudkan dalam pelbagai pilihan yang meliputi (a) pola klasifikasi, (b) kata yang secara ideologis diperjuangkan, (c) proses leksikal, (d) relasi makna, dan (e) metafora.

Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban ini, dari nilai pengalaman kosakata ideologi pembelaan terhadap kelompoknya yang tertindas, terdapat fitur kata-kata ideologis yang diperjuangkan, seperti kosakata diskriminasi dan penindasan. Kata-kata tersebut diusahakan ditanamkan atau dinaturalisasikan ke dalam pikiran para individu masyarakat sasaran melalui pelbagai aktivitas agar kata-kata tertentu itu menjadi bagian dari kehidupan individu dan masyarakat itu, serta dipercayai sebagai bagian

“yang penting” bagi kehidupannya.

Kata-kata seperti ini akan sering digunakan dan sering dimunculkan oleh para penghasil teks.

4.2 Kosakata yang

Merepresentasikan Ideologi Perempuan dalam Nilai Relasional Kosakata

Dari analisis kritis terhadap

“nilai relasional” kosakata terdapat

beberapa ideologi yang

diperjuangkan perempuan sebagai berikut.


(10)

4.2.1 Ideologi Pengambilan

Distansi Untuk

Menunjukkan Kemampuan

Perempuan Indonesia juga sadar bahwa salah satu yang harus diperjuangkan adalah menuntaskan pekerjaan.Ia harus mampu menunjukkan kepada kekuatan hegemonik bahwa perempuan pun bisa melakukan sesuatu. Tanpa perjuangan untuk menunjukkan kemampuan, perempuan akan selalu diremehkan oleh kekuatan hegemonik itu.

(9) “Lho? Ibu jangan misunderstanding terus dong.”

(hlmn. 121)

(10) Tak ada lagi yang memuji kecepatanku dalam mentasrif kata, fa’ala, yafa’lu, fa’lan, wa maf’alan, wa huwa fa’ilun, wa dzaka maf’ulun…(hlmn. 44)

Pada kutipan di atas, terlihat Abidah menggunakan kosakata asing. Hal ini untuk menunjukkan bahwa penghasil teks mampu menguasai sesuatu sejajar dengan apa yang dapat dikuasai oleh kekuatan hegemonik, yakni kekuasaan laki-laki. Sebagai kelompok subordinat, penghasil teks perlu menunjukkan kekuatan yang dimilikinya sehingga kelompok dominan semakin mengakuinya. Tanpa usaha ini kelompok dominan tidak akan memahami. Cara yang

paling tepat untuk “menandingi”

kekuatan hegemoni adalah menunjukkan bahwa ia mampu.

4.2.2 Ideologi Pengurangan Distansi dalam Kerangka Solidaritas

Perempuan Indonesia juga memanfatkan penggunaan bentuk-bentuk informal, seperti penggunaan

kosakata sehari-hari, kolokial, gaul, dan/atau nonbaku. Penggunaan bahasa informal atau bahasa gaul dilakukan oleh Abidah untuk menunjukkan keakraban terhadap pembacanya. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan berikut ini. (11) “Nisa ada PR yang belum digarap, Bu. Nanti bisa kena

setrap.” (hlmn. 33)

(12) “Anak bandel seperti ini jangan

dilulu, nanti

kebablasen,Ngelunjak.” (hlmn.

40)

(13) “ Yah.. kira-kira, miriplah

dengan Nisa.”

“Mirip apanya, Lek?”

“Bandelnyakali.” (hlmn. 46)

Gaya seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan dengan pengarang lainnya karena pengarang tertentu selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan erat dengan selera pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu di sekitarnya. Sehingga dapat didefinisikan bahwa gaya digunakan sebagai cara pemakaian bahasa yang spesifik oleh seorang pengarang. Gaya merupakan kemajiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan kata-kata, kelompok kata, kalimat, dan ungkapan yang pada akhirnya akan ikut menentukan keberhasilan, keindahan, dan kemasukakalan suatu karya yang menjadi hasil ekspresi dirinya

Pada kosakata nilai relasional, terdapat fitur lingual kosakata yang menggunakan kata-kata formal dan informal yang mencolok.Kedua wujud pilihan kata itu berada pada payung persoalan formality, yakni sebuah kepemilikan yang lazim dalam banyak masyarakat, baik pada


(11)

tataran praktik maupun wacana, yang berkenaan dengan prestise sosial yang tinggi dan akses yang terbatas (Fairclough, dalam Santoso, 2012: 148).Dalam konteks ini yang terjadi adalah tuntutan tingkat formalitas dalam sebuah relasi sosial.

Kata formal adalah kosakata yang dipergunakan untuk tujuan menciptakan prestise sosial tertentu dan menciptakan jarak sosial (social distance) dengan para pendengar.Kata-kata formal ditunjukkan melalui pilihan kosakata asing dan kosakata ilmiah yang dapat mendatangkan nada formal. Pilihan kosakata seperti ini akan menciptakan kesan-kesan kekuasaan, posisi, dan status. Kata-kata formal yang dipilih itu dalam pandangan studi bahasa kritis selain berperan sebagai “wadah informasi”, juga

yang lebih penting adalah berperan

sebagai “pengontrol” terhadap mitra tutur serta “penonjol identitas” bagi

penuturnya.

Kata-kata informal adalah kosakata yang digunakan untuk tujuan menciptakan keakraban, kesantunan, solidaritas, dan ekspresi afektif dengan pendengar.Pilihan kata-kata informal ditunjukkan melalui pilihan kosakata sehari-hari.Kosakata ini amat mudah dipahami oleh publik.

4.3 Kosakata yang

Merepresentasikan Ideologi Perempuan dalam Nilai Ekspresif Kosakata

Dari analisis kritis terhadap

“nilai ekspresif” kosakata terdapat

beberapa ideologi yang

diperjuangkan perempuan sebagai berikut.

4.3.1 Ideologi Pemberontakan Terhadap Kemapanan Laki-Laki

Terdapat pandangan hidup yang cukup menonjol dari beberapa perempuan Indonesia, yakni

“pemberontakan” terhadap

kemapanan laki-laki.

(14) “…Kenapa diam! Kenapa tak

kau ceritakan kehebatanmu naik kuda telah menyaingi Tjut Nyak Dhien! Kau ini sok pintar, Nisa. Apa begitu yang diajarklan bapak dan ibumu selama ini? Kau iniperempuan. Mau jadi pahlawan ya? Pencilakan. Pethakilan! (hlmn. 40)

(15) “Tetapi anak perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sudah cukup jika telah mengaji dan khatam. Kami

juga tidak terlalu keburu. …,”

suara laki-laki sang tamu (hlmn. 81)

(16) “Sejak malam pertama sampai

sekarang,tak bosan-bosannya,

ia menyakitiku, menjambak rambutku, menendang dan menempeleng, memaksa dan memaki serta melecehkanku sebagai perempuan dan seorang istri.”(hlmn. 132)

Pada kutipan di atas, terdapat frasa yang menandai evaluasi penghasil teks terhadap realitas di sekitarnya, terutama masalah dominasi laki-laki yang sudah berlangsung turun-temurun dan sikap fatalistik perempuan terhadap keadaan yang ada. Frasa-frasa “kau

ini anak perempuan”, “sok pintar”, “perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi”, ‘mencincang hak dan kebebasanku sebagai manusia”, “ia


(12)

menendang dan menempeleng, memaksa dan memaki serta melecehkanku sebagai perempuan

dan seorang istri”, memberikan

pemahaman bahwa pengarang ingin mengkritisi kelompoknya sendiri yang mayoritas tidak kritis dengan keadaan seperti itu. Abidah tidak menyalahkan begitu saja kepada struktur, dominasi laki-laki, kekuatan budaya, kekuatan konstruksi sosial, lebih dari itu Abidah merasa prihatin kepada kaum perempuan sendiri yang tidak sadar dengan kondisinya yang semakin terpuruk.Kaum perempuan sering berlaku manja, meminta keistimewaan, cengeng, pasrah kepada nasib, serta karakter lembek lainnya.

Dengan perjuangan itu, bagaimanapun kaum perempuan akan dapat menentukan cara-cara

untuk “menggambarkan pandangan

kaum perempuan ke dalam

kehidupan kultural kita”. Atau paling

tidak dapat tercipta apa yang disebut pandangan perempuan (female gaze). Dengan cara ini, laki-laki lebih menghargai bahwa ada cara pandang lain atau cara pandang the other di luar cara pandang yang secara bawah sadar selama ini berlaku, yakni cara pandang dari self. Cara pandang yang baru itu paling tidak dapat menempatkan perempuan pada posisi yang lebih baik, posisi yang lebih setara, posisi yang memiliki akses yang banyak bagi perempuan, tanpa harus merugikan pemilik cara pandang sebelumnya yang sudah dianggap baku dan universal, yakni laki-laki.

4.3.2 Ideologi Perasaan Senasib dengan Sesamanya

Perempuan Indonesia memiliki “perasaan senasib dengan sesama perempuan”.

(17) Ibu pernah mengatakan, perempuan itu bagai godaan. Semacam buah semangka atau buah peer di gurun sahara.

Perempuan adalahsarang fitnah, tetapi laki-laki bukan sarang mafia. Jika perempuan keluar rumah, tujuh puluh setan menderap berbaris menyertainya. (hlmn. 49) (18) Ah, betapa bodohnya otakku

jika semua itu harus menjadi bagian dari hidupku. Betapa malangnya menjadi seorang perempuan, jika sampai mati harus tidak boleh menolak semua yang bertentangan dengan hati nurani.(hlmn. 72)

Sebagai pengarang

perempuan, Abidah mencoba mengangkat perempuan sebagai tokoh utama dalam karya sastra

dengan berbagai sisi

kehidupannya.Fenomena tersebut merupakan khasanah baru dalam dunia sastra karena selama ini dunia sastra lebih didominasi oleh laki-laki, sehingga ketika orang berbicara tentang kanon sastra maka yang dijadikan tolok ukur adalah penulis laki-laki (Djajanegara, 2000: 17-18).Citra perempuan sebagaimana yang digambarkan oleh pengarang laki-laki, biasanya ditentukan oleh pendekatan-pendekatan tradisional yang ada dalam budaya patriarki, yang tidak cocok dengan keadaan yang dialami oleh perempuan karena penilaian yang diberikan terhadap perempuan seringkali dianggap tidak adil dan tidak teliti.


(13)

4.3.3 Ideologi Teguh dalam Berjuang

Perempuan Indonesia juga memperjuangkan salah satu

pandangan hidup tentang “teguh dalam berjuang”, seperti dalam

kutipan berikut ini.

(19) Menurut Lek Khudori, satu-satunya cara agar aku tetap bangkit adalah terus belajar dan belajar. Melanjutkan sekolah sampaisarjana. Dan semuanya pula telah tersedia balasan. Tunggulah sampai lidahku fasih menjawab semua persoalan dunia.(hlmn. 97)

Di sini, Abidah sebagai pengarang novel PBS, mencoba mengangkat dan memperjuangkan kaum perempuan pada posisi yang sebenarnya yakni sejajar dengan laki-laki dengan cara mempersoalkan pemahaman kaum laki-laki yang cenderung mendudukkan perempuan dalam inferioritas. Abidah El Khalieqy berjuang bukan untuk melawan kaum patriarki, tetapi ia lebih menginginkan menempatkan perempuan dapat bersanding sejajar dengan laki-laki.

Dalam novel PBS, Annisa adalah tokoh perempuan yang dibentuk pengarang sebagai agen atau pioneer perbaikan derajat kaum perempuan khususnya dalam lingkungan pondok pesantren. Annisa berusaha membebaskan diri dan perempuan lain dari kebiasaan dan cara pandang yang memandang sesuatu dari sudut jenis kelamin. Dalam hal ini, Annisa digambarkan sebagai sosok yang mempunyai tekad kuat dan pantang menyerah. Tekad itu ia manifestasikan ketika menghadapi berbagai masalah yang menyudutkannya.Frasa-frasa “aku

tidak mau kebahagiaanku dirampas”, “belajar dan terus belajar”, “melanjutkan sekolah sampai sarjana”, “tunggu sampai lidahku

fasih menjawab persoalan dunia”, “kau pasti akan mencapaisegala apa yang kau inginkan”, “perjuanganmu

untuk itu banyak sekali

halangannya”, “belajar dan mencari

ilmu sampai jasadmu berbaring di

antara dua batu nisan”,

menggambarkan ideologi teguh dalam berjuang.

Ketika hak-hak perempuan untuk memperoleh kesetaraan peran dalam keluarga maupun dalam masyarakat tidak dijamin maka terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan oleh laki-laki.Dalam sistem patriarki laki-laki memiliki kuasa penuh terhadap perempuan sehingga mereka dapat melakukan apapun yang diinginkan terhadap istrinya.Secara ekonomi perempuan tergantung kepada suaminya karena mereka tidak memperoleh uang atas jerih payah kerjanya.

SIMPULAN

Hasil penelitian ini dapat

disimpulkan sebagai

berikut.Pertama, terdapat tiga konstruksi ideologi yang

terepresentasikan dalam “nilai pengalaman” kosakata, yakni (1)

ideologi keterikatan pada struktur, (2) ideologi penolakan terhadap hakikat kodrat, dan (3) ideologi pembelaan terhadap kelompoknya yang tertindas. Kedua, terdapat dua konstruksi ideologi yang

terepresentasikan dalam “nilai relasional” kosakata, yakni (1)

ideologi pengambilan distansi untuk menunjukkan kemampuan, dan (2)


(14)

ideologi pengurangan distansi dalam kerangka solidaritas.Ketiga, terdapat tiga konstruksi ideologi yang

terepresentasikan dalam “nilai ekspresif” kosakata, yaitu (1)

ideologi pemberontakan terhadap kemapanan laki-laki, (2) ideologi perasaan senasib dengan sesamanya, dan (3) ideologi teguh dalam berjuang.

Terdapat proses institusional yang cukup kompleks dalam bahasa perempuan. proses ini berupa pertarungan atau perebutan lintas institusi yang akhirnya bermuara ke dalam pilihan kosakata tertentu. Pilihan dan pemaknaan terhadap ideologi perempuan amat ditentukan oleh asumsi-asumsi yang dibangun oleh elite perempuan.asumsi ini amat ditentukan oleh institusi yang melatarbelaknginya. Elite perempuan yang diuntungkan oleh sistem atau elite perempuan yang terkurung, cenderung berada pada perspektif keterikatan pada struktur.Mereka itu rata-rata adalah perempuan yang

tidak terlalu banyak

menuntut.Mereka merasa bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah karena memang kodrat yang dibawa sejak lahir.

Sebaliknya elite perempuan yang tidak diuntungkan oleh sistem atau elite perempuan yang aktivis, cenderung berada pada perspektif mendobrak hakikat kodrat. Dalam pandangan mereka, kodrat hanyalah konstruksi sosial yang berlangsung secara turun-temurun tanpa ada proses mengkritik terhadap apa yang sudah biasa berlangsung itu. Keberadaan kodrat itu pada umumnya sering merugikan perempuan.oleh karena itu, kodrat haruslah dokritik. Dengan

mengkritik, female gazeakan didengar oleh kelompok hegemonik.

Di tengah dikotomi pandangan keterikatan pada struktur dan perlawanan terhadap kodrat, ada elite perempuan yang mengambil jalan tengah.Mereka ingin meraih kedua-duanya. Kelompok ini sadar bahwa kekuatan hegemonic tidak begitu mudah untuk ditaklukan sehingga ia mengambil jalan kompromi dan konvergensi.

Terdapat proses sosiokultural yang cukup kompleks dalam bahasa perempuan. prose situ berupa pertarungan sistem sosiobudaya lama dan baru. Sistem budaya lama yang didominasi oleh sistem budaya tradisional mendapat tantangan dari sistem budaya baru yang didominasi budaya-budaya global.Bagi penganut sistem sosiobudaya lama, menjadi ibu dan menjadi istri, adalah nilai

luhur yang perlu

dilestarikan.Menjadi ibu dan istri bukanlah pilihan.Ia merupakan sebuah keniscayaan yang tidak boleh dan tidak dapat ditolak. Ada dimensi vertical dalam menjalankan peran-peran itu.

Sebaliknya, bagi penganut sistem sosiobudaya baru, menjadi ibu dan istri adalah sebuah pilihan.Karena sifatnya yang opsional itu, seorang perempuan tidak memiliki keharusan untuk menjalankan peran itu. Peran-peran hasil konstruksi sosial itu dapat diperjuangkan untuk dapat berubah melalui proses panjang dan terus menerus. Masa depan perempuan sangat ditentukan oleh perempuan itu sendiri. Laki-laki hanyalah sebagai mitra atau teman dalam berproses itu.Ia bukan penentu bagi proses menjadi perempuan itu.


(15)

SARAN

5.2.1 Bagi Perempuan

Dalam menghadapi

kehidupan ini, perempuan harus senantiasa memiliki karakter pribadi yang tegar, optimistis, dan penuh vitalitas diri.Ia harus dapat menempatkan dirinya secara tepat dalam setiap pola relasi kehidupannya, baik di dalam keluarga, masyarakat maupun pekerjaannya. Ia harus senantiasa berupaya untuk memperoleh nilai penghargaan dan pengakuan dari masyarakat secara layak.

Perempuan sebagai sosok pribadi yang dinamis, ia harus selalu kritis atas segala peristiwa dan perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupannya. Di mana dengan perubahan tersebut, perempuan harus meningkatkan motivasi, tujuan, kemampuan, dan kewajibannya untuk membangun citra dirinya.

Selain itu, perempuan juga harus senantiasa menumbuhkan rasa keberanian untuk mengakhiri semua tindak marginalisasi, subordinasi,

stereotype, tindak kekerasan (violence), serta beban kerja yang tidak proporsional. Perempuan harus senantiasa bersungguh-sungguh memperjuangkan hak-haknya untuk menuntut persamaan kedudukan dan peranannya, serta pekerjaan yang sama dengan laki-laki.

5.2.2 Bagi Pengajar Sastra

Kajian novel ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pemilihan bahan pengajaran apresiasi, karena banyak berisi pesan moral dan didaktis, yang sangat berguna bagi perkembangan pribadi anak, terutama anak didik perempuan

yang sedang berupaya untuk mencari jati dirinya.

DAFTAR RUJUKAN

Baidhawy, Z. (Ed.). 1997. Wacana Teologi Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Bhasin, K. 1995. Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap

Kaum Perempuan.

Yogyakarta: Bentang dan Kalyanamitra

Budianta, M. 1998. Sastra dan Ideologi Gender.Horison. Tahun XXXII, No. 4 hlm. 6-13 Darma, Yoce Aliyah. 2009. Analisis

Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya

Eriyanto, 2001.Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara

Fakih, Mansour. 2013. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Fayumi, Badriyah, dkk. 2001.

Keadilan dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam). Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI.

Hafidz, W. 1998.Pola relasi Gender dan Permasalahannya dalam Sih Handayani dan Yos Soetiyoso

(Eds).Merekonstruksi Realitas dengan Perspektif Gender

(hlm. 23-34). Yogyakarta:

Sekretariat Bersama

Perempuan Yogyakarta dan OXFAM UK/I.

Heroepoetri, Arimbi dan R. Valentin.2004. Percakapan Tentang Feminisme VS


(16)

Neoliberalisme.Jakarta: debtWatch Indonesia.

Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Kushartanti. 2005. Pesona Bahasa: langkah awal memahami linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Mu’awanah, Elfi dan Rifa Hidayah.

2006. Menuju Kesetaraan Gender.Malang: Kutub Minar Muslikhati, Siti. 2004. Feminisme

dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani

Sadli, S., & Soemarti, P. 1995. Identitas Gender dan Peranan Gender dalam T. O. Ihromi.Kajian Wanita dalam Pembangunan (hlm. 69-82). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Santoso, Anang. 2009. Bahasa Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan. Jakarta: Bumi Aksara

---. 2012. Studi Bahasa Kritis. Bandung: Mandar Maju

Saptari, R. & Holzner, B. 1997.Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Saryono, D. 1997. Citra Wanita

dalam Novel

Indonesia.Paradigma, Tahun 3, No. 5, Januari-Juli, hlm. 15-51

Sumiarni, Endang. 2004. Jender dan Feminisme.

Yogyakarta.Wonderful Pubhlising Company.

Tong, Rosemarie Putnam. 2009.Feminist Tought: a more comprehensive introduction.


(1)

tataran praktik maupun wacana, yang berkenaan dengan prestise sosial yang tinggi dan akses yang terbatas (Fairclough, dalam Santoso, 2012: 148).Dalam konteks ini yang terjadi adalah tuntutan tingkat formalitas dalam sebuah relasi sosial.

Kata formal adalah kosakata yang dipergunakan untuk tujuan menciptakan prestise sosial tertentu dan menciptakan jarak sosial (social

distance) dengan para

pendengar.Kata-kata formal ditunjukkan melalui pilihan kosakata asing dan kosakata ilmiah yang dapat mendatangkan nada formal. Pilihan kosakata seperti ini akan menciptakan kesan-kesan kekuasaan, posisi, dan status. Kata-kata formal yang dipilih itu dalam pandangan studi bahasa kritis selain berperan sebagai “wadah informasi”, juga

yang lebih penting adalah berperan

sebagai “pengontrol” terhadap mitra tutur serta “penonjol identitas” bagi

penuturnya.

Kata-kata informal adalah kosakata yang digunakan untuk tujuan menciptakan keakraban, kesantunan, solidaritas, dan ekspresi afektif dengan pendengar.Pilihan kata-kata informal ditunjukkan melalui pilihan kosakata sehari-hari.Kosakata ini amat mudah dipahami oleh publik.

4.3 Kosakata yang

Merepresentasikan Ideologi Perempuan dalam Nilai Ekspresif Kosakata

Dari analisis kritis terhadap

“nilai ekspresif” kosakata terdapat

beberapa ideologi yang diperjuangkan perempuan sebagai berikut.

4.3.1 Ideologi Pemberontakan Terhadap Kemapanan Laki-Laki

Terdapat pandangan hidup yang cukup menonjol dari beberapa perempuan Indonesia, yakni

“pemberontakan” terhadap

kemapanan laki-laki.

(14) “…Kenapa diam! Kenapa tak

kau ceritakan kehebatanmu naik kuda telah menyaingi Tjut Nyak Dhien! Kau ini sok pintar, Nisa. Apa begitu yang diajarklan bapak dan ibumu selama ini? Kau iniperempuan. Mau jadi pahlawan ya? Pencilakan. Pethakilan! (hlmn. 40)

(15) “Tetapi anak perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sudah cukup jika telah mengaji dan khatam. Kami

juga tidak terlalu keburu. …,”

suara laki-laki sang tamu (hlmn. 81)

(16) “Sejak malam pertama sampai

sekarang,tak bosan-bosannya, ia menyakitiku, menjambak rambutku, menendang dan menempeleng, memaksa dan memaki serta melecehkanku sebagai perempuan dan seorang istri.”(hlmn. 132)

Pada kutipan di atas, terdapat frasa yang menandai evaluasi penghasil teks terhadap realitas di sekitarnya, terutama masalah dominasi laki-laki yang sudah berlangsung turun-temurun dan sikap fatalistik perempuan terhadap keadaan yang ada. Frasa-frasa “kau

ini anak perempuan”, “sok pintar”, “perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi”, ‘mencincang hak dan kebebasanku sebagai manusia”, “ia


(2)

menendang dan menempeleng, memaksa dan memaki serta melecehkanku sebagai perempuan

dan seorang istri”, memberikan

pemahaman bahwa pengarang ingin mengkritisi kelompoknya sendiri yang mayoritas tidak kritis dengan keadaan seperti itu. Abidah tidak menyalahkan begitu saja kepada struktur, dominasi laki-laki, kekuatan budaya, kekuatan konstruksi sosial, lebih dari itu Abidah merasa prihatin kepada kaum perempuan sendiri yang tidak sadar dengan kondisinya yang semakin terpuruk.Kaum perempuan sering berlaku manja, meminta keistimewaan, cengeng, pasrah kepada nasib, serta karakter lembek lainnya.

Dengan perjuangan itu, bagaimanapun kaum perempuan akan dapat menentukan cara-cara

untuk “menggambarkan pandangan

kaum perempuan ke dalam

kehidupan kultural kita”. Atau paling

tidak dapat tercipta apa yang disebut pandangan perempuan (female gaze). Dengan cara ini, laki-laki lebih menghargai bahwa ada cara pandang lain atau cara pandang the other di luar cara pandang yang secara bawah sadar selama ini berlaku, yakni cara pandang dari self. Cara pandang yang baru itu paling tidak dapat menempatkan perempuan pada posisi yang lebih baik, posisi yang lebih setara, posisi yang memiliki akses yang banyak bagi perempuan, tanpa harus merugikan pemilik cara pandang sebelumnya yang sudah dianggap baku dan universal, yakni laki-laki.

4.3.2 Ideologi Perasaan Senasib dengan Sesamanya

Perempuan Indonesia memiliki “perasaan senasib dengan sesama perempuan”.

(17) Ibu pernah mengatakan, perempuan itu bagai godaan. Semacam buah semangka atau buah peer di gurun sahara. Perempuan adalahsarang fitnah, tetapi laki-laki bukan sarang mafia. Jika perempuan keluar rumah, tujuh puluh setan menderap berbaris menyertainya. (hlmn. 49) (18) Ah, betapa bodohnya otakku

jika semua itu harus menjadi bagian dari hidupku. Betapa malangnya menjadi seorang perempuan, jika sampai mati harus tidak boleh menolak semua yang bertentangan dengan hati nurani.(hlmn. 72)

Sebagai pengarang perempuan, Abidah mencoba mengangkat perempuan sebagai tokoh utama dalam karya sastra dengan berbagai sisi kehidupannya.Fenomena tersebut merupakan khasanah baru dalam dunia sastra karena selama ini dunia sastra lebih didominasi oleh laki-laki, sehingga ketika orang berbicara tentang kanon sastra maka yang dijadikan tolok ukur adalah penulis laki-laki (Djajanegara, 2000: 17-18).Citra perempuan sebagaimana yang digambarkan oleh pengarang laki-laki, biasanya ditentukan oleh pendekatan-pendekatan tradisional yang ada dalam budaya patriarki, yang tidak cocok dengan keadaan yang dialami oleh perempuan karena penilaian yang diberikan terhadap perempuan seringkali dianggap tidak adil dan tidak teliti.


(3)

4.3.3 Ideologi Teguh dalam Berjuang

Perempuan Indonesia juga memperjuangkan salah satu

pandangan hidup tentang “teguh dalam berjuang”, seperti dalam

kutipan berikut ini.

(19) Menurut Lek Khudori, satu-satunya cara agar aku tetap bangkit adalah terus belajar dan belajar. Melanjutkan sekolah sampaisarjana. Dan semuanya pula telah tersedia balasan. Tunggulah sampai lidahku fasih menjawab semua persoalan dunia.(hlmn. 97)

Di sini, Abidah sebagai pengarang novel PBS, mencoba mengangkat dan memperjuangkan kaum perempuan pada posisi yang sebenarnya yakni sejajar dengan laki-laki dengan cara mempersoalkan pemahaman kaum laki-laki yang cenderung mendudukkan perempuan dalam inferioritas. Abidah El Khalieqy berjuang bukan untuk melawan kaum patriarki, tetapi ia lebih menginginkan menempatkan perempuan dapat bersanding sejajar dengan laki-laki.

Dalam novel PBS, Annisa adalah tokoh perempuan yang dibentuk pengarang sebagai agen atau pioneer perbaikan derajat kaum perempuan khususnya dalam lingkungan pondok pesantren. Annisa berusaha membebaskan diri dan perempuan lain dari kebiasaan dan cara pandang yang memandang sesuatu dari sudut jenis kelamin. Dalam hal ini, Annisa digambarkan sebagai sosok yang mempunyai tekad kuat dan pantang menyerah. Tekad itu ia manifestasikan ketika menghadapi berbagai masalah yang

tidak mau kebahagiaanku dirampas”, “belajar dan terus belajar”, “melanjutkan sekolah sampai sarjana”, “tunggu sampai lidahku

fasih menjawab persoalan dunia”, “kau pasti akan mencapaisegala apa yang kau inginkan”, “perjuanganmu

untuk itu banyak sekali

halangannya”, “belajar dan mencari

ilmu sampai jasadmu berbaring di

antara dua batu nisan”,

menggambarkan ideologi teguh dalam berjuang.

Ketika hak-hak perempuan untuk memperoleh kesetaraan peran dalam keluarga maupun dalam masyarakat tidak dijamin maka terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan oleh laki-laki.Dalam sistem patriarki laki-laki memiliki kuasa penuh terhadap perempuan sehingga mereka dapat melakukan apapun yang diinginkan terhadap istrinya.Secara ekonomi perempuan tergantung kepada suaminya karena mereka tidak memperoleh uang atas jerih payah kerjanya.

SIMPULAN

Hasil penelitian ini dapat

disimpulkan sebagai

berikut.Pertama, terdapat tiga konstruksi ideologi yang

terepresentasikan dalam “nilai pengalaman” kosakata, yakni (1)

ideologi keterikatan pada struktur, (2) ideologi penolakan terhadap hakikat kodrat, dan (3) ideologi pembelaan terhadap kelompoknya yang tertindas. Kedua, terdapat dua konstruksi ideologi yang

terepresentasikan dalam “nilai relasional” kosakata, yakni (1)


(4)

ideologi pengurangan distansi dalam kerangka solidaritas.Ketiga, terdapat tiga konstruksi ideologi yang

terepresentasikan dalam “nilai ekspresif” kosakata, yaitu (1)

ideologi pemberontakan terhadap kemapanan laki-laki, (2) ideologi perasaan senasib dengan sesamanya, dan (3) ideologi teguh dalam berjuang.

Terdapat proses institusional yang cukup kompleks dalam bahasa perempuan. proses ini berupa pertarungan atau perebutan lintas institusi yang akhirnya bermuara ke dalam pilihan kosakata tertentu. Pilihan dan pemaknaan terhadap ideologi perempuan amat ditentukan oleh asumsi-asumsi yang dibangun oleh elite perempuan.asumsi ini amat ditentukan oleh institusi yang melatarbelaknginya. Elite perempuan yang diuntungkan oleh sistem atau elite perempuan yang terkurung, cenderung berada pada perspektif keterikatan pada struktur.Mereka itu rata-rata adalah perempuan yang tidak terlalu banyak menuntut.Mereka merasa bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah karena memang kodrat yang dibawa sejak lahir.

Sebaliknya elite perempuan yang tidak diuntungkan oleh sistem atau elite perempuan yang aktivis, cenderung berada pada perspektif mendobrak hakikat kodrat. Dalam pandangan mereka, kodrat hanyalah konstruksi sosial yang berlangsung secara turun-temurun tanpa ada proses mengkritik terhadap apa yang sudah biasa berlangsung itu. Keberadaan kodrat itu pada umumnya sering merugikan perempuan.oleh karena itu, kodrat haruslah dokritik. Dengan

mengkritik, female gazeakan didengar oleh kelompok hegemonik.

Di tengah dikotomi pandangan keterikatan pada struktur dan perlawanan terhadap kodrat, ada elite perempuan yang mengambil jalan tengah.Mereka ingin meraih kedua-duanya. Kelompok ini sadar bahwa kekuatan hegemonic tidak begitu mudah untuk ditaklukan sehingga ia mengambil jalan kompromi dan konvergensi.

Terdapat proses sosiokultural yang cukup kompleks dalam bahasa perempuan. prose situ berupa pertarungan sistem sosiobudaya lama dan baru. Sistem budaya lama yang didominasi oleh sistem budaya tradisional mendapat tantangan dari sistem budaya baru yang didominasi budaya-budaya global.Bagi penganut sistem sosiobudaya lama, menjadi ibu dan menjadi istri, adalah nilai

luhur yang perlu

dilestarikan.Menjadi ibu dan istri bukanlah pilihan.Ia merupakan sebuah keniscayaan yang tidak boleh dan tidak dapat ditolak. Ada dimensi vertical dalam menjalankan peran-peran itu.

Sebaliknya, bagi penganut sistem sosiobudaya baru, menjadi ibu dan istri adalah sebuah pilihan.Karena sifatnya yang opsional itu, seorang perempuan tidak memiliki keharusan untuk menjalankan peran itu. Peran-peran hasil konstruksi sosial itu dapat diperjuangkan untuk dapat berubah melalui proses panjang dan terus menerus. Masa depan perempuan sangat ditentukan oleh perempuan itu sendiri. Laki-laki hanyalah sebagai mitra atau teman dalam berproses itu.Ia bukan penentu bagi proses menjadi perempuan itu.


(5)

SARAN

5.2.1 Bagi Perempuan

Dalam menghadapi

kehidupan ini, perempuan harus senantiasa memiliki karakter pribadi yang tegar, optimistis, dan penuh vitalitas diri.Ia harus dapat menempatkan dirinya secara tepat dalam setiap pola relasi kehidupannya, baik di dalam keluarga, masyarakat maupun pekerjaannya. Ia harus senantiasa berupaya untuk memperoleh nilai penghargaan dan pengakuan dari masyarakat secara layak.

Perempuan sebagai sosok pribadi yang dinamis, ia harus selalu kritis atas segala peristiwa dan perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupannya. Di mana dengan perubahan tersebut, perempuan harus meningkatkan motivasi, tujuan, kemampuan, dan kewajibannya untuk membangun citra dirinya.

Selain itu, perempuan juga harus senantiasa menumbuhkan rasa keberanian untuk mengakhiri semua tindak marginalisasi, subordinasi, stereotype, tindak kekerasan (violence), serta beban kerja yang tidak proporsional. Perempuan harus senantiasa bersungguh-sungguh memperjuangkan hak-haknya untuk menuntut persamaan kedudukan dan peranannya, serta pekerjaan yang sama dengan laki-laki.

5.2.2 Bagi Pengajar Sastra

Kajian novel ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pemilihan bahan pengajaran apresiasi, karena banyak berisi pesan moral dan didaktis, yang sangat berguna bagi perkembangan pribadi anak, terutama anak didik perempuan

yang sedang berupaya untuk mencari jati dirinya.

DAFTAR RUJUKAN

Baidhawy, Z. (Ed.). 1997. Wacana Teologi Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Bhasin, K. 1995. Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap

Kaum Perempuan.

Yogyakarta: Bentang dan Kalyanamitra

Budianta, M. 1998. Sastra dan Ideologi Gender.Horison. Tahun XXXII, No. 4 hlm. 6-13 Darma, Yoce Aliyah. 2009. Analisis

Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya

Eriyanto, 2001.Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara

Fakih, Mansour. 2013. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Fayumi, Badriyah, dkk. 2001. Keadilan dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam). Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI.

Hafidz, W. 1998.Pola relasi Gender dan Permasalahannya dalam Sih Handayani dan Yos Soetiyoso

(Eds).Merekonstruksi Realitas dengan Perspektif Gender (hlm. 23-34). Yogyakarta: Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta dan OXFAM UK/I.

Heroepoetri, Arimbi dan R. Valentin.2004. Percakapan


(6)

Neoliberalisme.Jakarta: debtWatch Indonesia.

Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Kushartanti. 2005. Pesona Bahasa: langkah awal memahami linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Mu’awanah, Elfi dan Rifa Hidayah.

2006. Menuju Kesetaraan Gender.Malang: Kutub Minar Muslikhati, Siti. 2004. Feminisme

dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani

Sadli, S., & Soemarti, P. 1995. Identitas Gender dan Peranan Gender dalam T. O. Ihromi.Kajian Wanita dalam Pembangunan (hlm. 69-82). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Santoso, Anang. 2009. Bahasa Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan. Jakarta: Bumi Aksara

---. 2012. Studi Bahasa Kritis. Bandung: Mandar Maju

Saptari, R. & Holzner, B. 1997.Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Saryono, D. 1997. Citra Wanita

dalam Novel

Indonesia.Paradigma, Tahun 3, No. 5, Januari-Juli, hlm. 15-51

Sumiarni, Endang. 2004. Jender dan Feminisme.

Yogyakarta.Wonderful Pubhlising Company.

Tong, Rosemarie Putnam. 2009.Feminist Tought: a more comprehensive introduction. Colorado: Westview Press.