PENGEMBANGAN PANDUAN METODE MULTISENSORI DALAM PEMBELAJARAN PEMAHAMAN MAKNA KATA BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN.

(1)

i DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN UCAPAN TERIMA KASIH KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR BAGAN DAFTAR LAMPIRAN ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… i ii iii vi vii viii ix xi

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………. B. Fokus Penelitian …………..……….. C. Pertanyaan Penelitian .……… D. Tujuan dan Manfaat .………..

E. Penjelasan Konsep .………

F. Metode Penelitian ………..

1 5 5 6 7 8 BAB II. PEMBELAJARAN PEMAHAMAN MAKNA KATA PADA ANAK

TUNAGRAHITA RINGAN

A. Perkembangan Bahasa Pada Anak Tunagrahita Ringan ………… B. Pemahaman Makna Kata Pada Anak Tunagrahita Ringan ……… C. Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna

Kata Bagi Anak Tunagrahita Ringan ……….……… 16 32


(2)

ii BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian ………. B. Subyek dan Lokasi Penelitian ……… C. Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrumen …… D. Teknik Analisis Data ………... E. Prosedur Penelitian ………. F. Teknik Analisis Data ………..

46 47 49 54 57 37

BAB. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ………... B. Pembahasan Penelitian ………

62 112 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan ……….

B. Rekomendasi ………...

124 127 DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN – LAMPIRAN ………..

128 131


(3)

iii

DAFTAR TABEL Tabel

3.1 Gambaran Informan dari Unsur Guru ………..……… 3.2 Gambaran Informan Dari Unsur Siwa/Anak ……..……….. 3.3 Kisi-Kisi dan Teknik Pengambilan Data ………... 4.1 Hasil Observasi Persiapan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata

Kelas 1 SDLB C …..………. 4.2 Hasil Observasi Persiapan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata

Kelas VII SMPLB C ……… 4.3 Hasil Observasi Persiapan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas X SMALB C ………... 4.4 Hasil Wawancara Persiapan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas I SDLB C ………...……….…….. 4.5. Hasil Wawancara Persiapan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas VII SMPLB C ……….. 4.6 Hasil Wawancara Persiapan Pembelajaran Pemahaman Makna

Kata Kelas X SMALB C ………. 4.7 Rangkuman Data Persiapan yang Dilakukan Guru Dalam

Pembelajaran Pemahaman Makna kata Saat Ini ………. 4.8 Hasil Observasi Pelaksanaan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Saat Ini Kelas I SDLB C ……….……….. 4.9 Hasil Observasi Pelaksanaan Pembelajaran Pemahaman Makna

Kata Saat Ini Kelas VII SMPLB C ……….……….. 4.10 Hasil Observasi Pelaksanaan Pembelajaran Pemahaman Makna

Kata Saat Ini Kelas X SMALB C ……….……….. 4.11 Hasil Wawancara Pelaksanaan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Saat Ini Kelas I SDLB C ….……….………….. 4.12 Hasil Wawancara Pelaksanaan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Saat Ini Kelas VII SMPLB C ….……….…………..

48 49 53 64 65 65 67 67 69 71 74 77 80 82 84


(4)

iv

4.13 Hasil Wawancara Pelaksanaan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Saat Ini Kelas X SMALB C ….……….. 4.14. Rangkuman Data Pelaksanaan Pembelajaran Pemahaman Makna

Kata Saat Ini ……… 4.15. Hasil Observasi Guru Menerapakan Metode Multisensori Dalam

Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas I SDLB C ……….. 4.16 Hasil Observasi Guru Menerapakan Metode Multisensori Dalam

Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas VII SMPLB C …..

4.17. Hasil Observasi Guru Menerapakan Metode Multisensori Dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas X SMALB C …….. 4.18 Hasil Wawancara Guru Menerapakan Metode Multisensori Dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas I SDLB C ………….. 4.19 Hasil Wawancara Guru Menerapakan Metode Multisensori Dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas VII SMPLB C …….. 4.20 Hasil Wawancara Guru Menerapakan Metode Multisensori Dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas X SMALB C ………. 4.21 Rangkuman Data Guru Menerapakan Metode Multisensori Dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata ……….. 4.22 Hasil Observasi Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan

Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas I SDLB C ………..……….. 4.23 Hasil Observasi Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan

Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas VII SMPLB C ………..………... 4.24 Hasil Observasi Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas X SMALB C ………..……….. 4.25 Hasil Wawancara Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas I SDLB C ………..…………... 4.26 Hasil Wawancara Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas VII SMPLB C ………..……...

86 86 87 89 90 92 93 94 94 96 99 100 101 102


(5)

v

4.27 Hasil Wawancara Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas X SMALB C ………..……….. 4.28 Rangkuman Data Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata .………..……….. 4.29 Rangkuman Data Hasil Penelitian Kondisi Obyektif Pembelajaran

Pemahaman Makna Kata Saat Ini ... 4.30 Rangkuman Proses Penyusunan Panduan Metode Multisensori

Dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Bagi Anak Tunagrahita Ringan ………...

103

104

105


(6)

vi

DAFTAR BAGAN Bagan

3.1 PROSEDUR PENELITIAN ………..……… 4.1 Draf Panduan ………...……….. 4.2 Panduan Hasil FGD ...………... 4.3 Panduan Akhir ……..….……….

61 106 109 111


(7)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Pedoman Observasi ………... Pedoman Wawancara ... Hasil Observasi ……….. Hasil Wawancara ………... Daftar Hadir Peserta FGD ……… Keputusan Direktur SPs UPI tentang Pengangkatan Pembimbing Penulisan Tesis (S2) …….………... Hasil Ujian Komprehensif Program Magister (S2) ………

128 129 133 136 144

145 147


(8)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Guru dibeberapa sekolah luar biasa (SLB) sering mengeluhkan tentang kesulitaannya dalam pembelajaran memahami makna kata benda pada anak didiknya yang tunagrahita. Diantara keluhan itu misalnya, ketika guru meminta anak menunjukkan benda kongkrit “buku” anak hanya mengangguk atau ada anak yang menjawab “tulis”, ada pula yang “membeo” mengulang lagi ucapan guru “buku”, anak tidak menunjuk benda kongkrit buku. Kondisi lain yang teramati diantaranya ada anak tungrahita kelas 1 yang menginginkan sesuatu benda tapi tidak bisa menyebutkan benda itu, ia hanya bisa menunjuknya. Perilaku seperti ini sering membingungkan karena orang yang diharapkan dapat membantunya tidak tahu benda atau keinginan yang dimaksud oleh anak.

Dari kondisi tersebut menurut guru sudah mencoba dengan berbagai cara. Hasilnya siswa hanya bisa meniru ucapan guru terhadap kata yang diajarkan tanpa memahami maknanya.

Padahal pemahaman makna kata ini penting untuk menunjang berbagai proses pembelajaran. Berbagai materi pelajaran membutuhkan pemahaman makna kata sehingga siswa mampu menangkap berbagai pengetahuan untuk mencapai hasil belajar yang baik. Selain itu, disadari atau tidak, pemahaman akan makna kata sangat menentukan untuk dapat melakukan komunikasi dua


(9)

2 arah dengan baik, karena dengan kata-kata seseorang dapat mengungkapkan apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dilakukan ke dalam simbol-simbol bahasa serta menangkap berbagai informasi baik lisan maupun tulisan. Tentunya ini menjadi lebih rumit bagi anak tunagrahita karena adanya hambatan dalam kognitifnya, tapi tetap penting untuk dikuasai.

Untuk menguasai makna kata pada anak tunagrahita tentunya akan berbeda dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya. Proses untuk memahami makna kata bagi anak tunagrahita membutuhkan pendekatan yang tepat dalam mengembangkan kemampuan berbahasa dan berkomunikasi yang menitik beratkan pada kemampuan pemahaman akan kata yang mereka dengar (reseptif) atau mereka ucapkan (ekspresif). Pendekatan yang diterapkan hendaknya tidak hanya menstimulus salah satu modalitas/indera saja, akan tetapi harus mencakup keseluruhan modalitas yang dimiliki oleh anak. Hal ini didukung oleh pendapat Supartina (Edja, 1995:15) yang mengemukakan:

semakin banyak benda yang dilihat, didengar, diraba, atau dimanipulis, dirasa, dan dicium, maka akan semakin pesat berlangsungnya perkembangan persepsi dan makin banyak tanggapan yang diperoleh maka akan makin pesat pulalah perkembangan bahasanya.

Dari pernyataan di atas dapat dimaknai bahwa perlu adanya optimalisasi berbagai sensori yang dimiliki oleh siswa. Melalui optimalisasi tersebut diharapkan akan lebih banyak saluran reseptif yang mampu menangkap informasi untuk mempermudah memahami makna kata. Dalam kegiatan pembelajaran ini perlu diupayakan dengan optimalisasi indera visual, auditori, kinestetik, dan taktil (VAKT) atau dikenal pula dengan sebutan


(10)

3 metode multisensori, yang diharapkan menjadi suatu alternatif solusi dalam memgembangkan kemampuan pemahaman makna kata. Metode ini dilakukan berdasarkan prinsip pengamatan terhadap berbagai indera-indera secara terpadu melalui modalitas sensori yang dimiliki seseorang.

Penelitian yang relevan telah dilakukan sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Suharyati (2005) membuktikan bahwa penerapan metodemultisensori/VAKT dalam pembelajaran bahasa dapat meningkatkan kemampuan kosa kata siswa tunarungu. Maka metode multisensori ini juga sesuai dengan karakteristik anak tunagrahita yang mudah memahami sesuatu yang bersifat kongkrit (dapat dilihat, di rasa, dan di raba) daripada hal-hal yang bersifat abstrak.

Kondisi di lapangan, terlihat bahwa metode ini jarang digunakan untuk dijadikan solusi dalam meningkatkan pemahaman akan kata yang dikuasai siswa, di dalam penerapan metode ini dirasakan sulit dilakukan oleh guru terhadap siswa, hal ini berkaitan dengan terbatasnya sarana penunjang serta petunjuk praktis dari teknik multisensori itu sendiri. Pada umumnya guru-guru di sekolah biasa (SLB) telah mengetahui istilah metode multisensory. Tapi belum memahami penggunaannya secara luas. Guru-guru SLB lebih mengenal metode multi sensori sebagai salah satu metode dalam pembelajaran membaca.

Padahal penggunaan metode multisensori dapat secara luas digunakan tidak hanya untuk belajar membaca. Seperti yang pernah dilakukan oleh Dede (2006) dalam penelitiannya pembelajaran pemahaman kata pada anak autis


(11)

4 dengan menggunakan metode multisensori. Sejalan dengan Dede, Awwah (2005) yang meneliti penggunaan metode multisensori untuk meningkatkan kosa kata pada anak tunarungu. Yang terpenting dari penelitian tersebut adalah metode multisensory dapat dikembangkan penerapannya pada pemahaman makna kata.

Berdasarkan observasi peneliti, penggunaan metode multisensori untuk kepentingan pemahaman makna kata, khususnya bagi anak tunagrahita, belum ditemukan adanya panduan atau pedoman penggunaannya untuk kepentingan tersebut.

Panduan ini penting adanya karena dapat memberikan arahan prosedur yang sistematis sesuai dengan konsep metode multisensori dan pembelajaran menjadi lebih efektif. Selain itu, sebagai akibat dari pergeseran penggunaan dari yang biasa diterapkan dalam belajar membaca menjadi diterapkan dalam pembelajaran pemahaman makna kata. Dengan pergesern seperti demikian maka akan memunculkan inovasi dalam penerapannya sehingga diperlukan adanya panduan penggunaanya.

Dengan adanya panduan maka pembelajaran pemahaman makna kata melalui metode multisensori menjadi semakin menarik dan dapat dilaksanakan secara efektif. Guru menjadi memiliki arah yang jelas dalam pembelajaran pemahaman makna kata dan dapat melaksanakan sesuai dengan porsesdur metode multisensory.

Berdasarkan berbagai pemikiran di atas agar metode multi sensory dapat digunakan dan menjadi solusi masalah pemahaman makna kata maka perlu


(12)

5 adanya panduan penggunaan metode multisensory dalam pembelajaran pemahaman makna kata.

B. Fokus

Fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana panduan metode multisensori dalam pemahaman makna kata bagi anak tunagrahita ringan?

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan fokus tersebut di atas maka pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi objektif pembelajaran pemahaman makna kata saat ini? a. Bagaimanakah persiapan yang dilakukan guru dalam pembelajaran

pemahaman makna kata saat ini?

b. Bagaimanakah proses pelaksanaan pembelajaran pemahaman makna kata saat ini?

c. Bagaimana guru menerapkan metode multisensori dalam pembelajaran pemahaman makna kata?

d. Apa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat dalam pembelajaran pemahaman makna kata melalui metode multsensori? 2. Panduan metode multisensori yang bagaimana yang dapat diterapkan

dalam dalam pembelajaran pemahaman makna kata bagi anak tunagrahita ringan?


(13)

6 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran mengenai panduan metode multisensori dalam pembelajaran pemahaman makna kata bagi anak tunagrahita ringan.

b. Tujuan Khusus

1) Memperoleh gambaran kondisi objektif pembelajaran pemahaman makna kata yang dilakukan saat ini.

2) Mengembangkan panduan metode multisensori dalam pembelajaran pemahaman makna kata bagi anak tunagrahita ringan.

2. Manfaat penelitian a. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan oleh guru di sekolah dalam upayanya untuk meningkatkan kemampuan pemahaman makna kata anak tunagrahita. Bermanfaat pula bagi pihak sekolah dalam rangka memperkaya fasilitas sumber referensi guru dalam pembelajaran.


(14)

7 b. Manfaat Teoritis

Memberikan kontribusi pengayaan disiplin ilmu pendidikan kebutuhan khusus (PKKh) serta mendorong peneliti lainnya untuk meneliti lebih lanjut.

E. Penjelasan Konsep

Penjelasan konsep dimaksudkan agar ada pemahaman yang sama mengenai konsep-konsep yang menjadi focus utama dalam penelitian ini: 1. Metode multisensori

Metode multisensori dalam peelitian ini adalah suatu metode dalam pembelajaran yang di dalamnya terdapat proses stimulasi modalitas indera yang dimiliki oleh anak, diantaranya visual, auditori, kinestetik, dan taktual.

2. Pemahaman makna kata

Pemahaman makna kata dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai pengertian suatu kata yang jelas dan tepat yang diujarkan sesuai dengan yang maksud oleh pikiran dan perasaan sehingga dapat menghasilkan reaksi tertentu.

3. Pengembangan panduan penggunaan

Pengembangan panduan penggunaan maksudnya adalah peneliti merancang suatu panduan yang dapat digunakan oleh guru


(15)

8 dalam menerapkan metode multisensori pada pembelajaran pemahaman makna kata bagi anak tunagrahita ringan.

F. Metode Penelitian

Metode penelitiannya adalah metode deskriptif. Pengertian metode deskriptif diungkapkan oleh Ali (1990) adalah:

metode yang digunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa sekarang dan dapat dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan data, klasifikasi data, analisis/laporan dengan tujuan utama membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu deskripsi situasi.

Data yang diperoleh adalah data kualitatif, yaitu berupa kata-kata yang menggambarkan kondisi sesuai dengan pertanyaan penelitian. Data tersebut disajikan dalam bentuk deskripsi sehingga diperoleh gambaran yang utuh apa adanya tentang hasil penelitian sesuai dengan pertanyaan penelitian.

Di dalam metode penelitian ini juga disajikan pembahasan tentang pendekatan penelitian, subyek dan lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, serta prosedur penelitian. Berikut penjelasannya di bawah ini.

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, sebab penelitian ini berupaya untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan, mengutamakan proses bagaimana data dapat diperoleh


(16)

9 sehingga data tersebut menjadi akurat dan layak digunakan dalam penelitian. Sejalan yang dinyatakan oleh Moleong (2004: 6) bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian, misalnya; perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Data atau informasi yang diungkap berupa kata-kata baik secara lisan maupun secara tertulis, gambaran secara deskripsi berdasarkan pertanyaan penelitian yang diperoleh dari subyek tentang pendapatnya dan perbuatannya pada saat dilakukan penelitian.

2. Sumber Data dan Lokasi Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini adalah guru kelas 1 SDLB C sebanyak satu orang, guru kelas VII SMPLB C satu orang, dan guru kelas X SMALB C satu orang. Jadi subyeknya ada 3 orang. Guru tersebut telah memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 1 tahun dan telah mengikuti sertifikasi guru. Sumber data ini selanjutnya disebut informan utama. Selain unsur guru, sumber data lainnya adalah anak tunagrahita ringan yang ada di kelas 1 SDLB C, kelas VII SMPLB C, dan kelas X SMALB C SLB Roudhotul Jannah.

Lokasi penelitian adalah di SLB Roudhotul Jannah yang berada di gugus 50 Kabupaten Bandung. Dipilihnya SLB tersebut karena sebagai pusat kegiatan gugus 50 puluh, telah terakreditasi dan telah memiliki guru-guru anak tunagrahita yang telah disertifikasi.


(17)

10 3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah teknik yang digunakan dalam penelti untuk memperoleh data yang dibutuhkan sehingga mampu menjawab pertanyaan penelitian ini. Teknik yang digunakan adalah observasi, wawancara, studi dokumen.

Adapun teknik pengumpulan datanya sebagai berikut: a. Observasi

Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi non-partisipatori atau dengan pengamatan langsung tanpa melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan yang dilakukan di lokasi penelitian. Teknik observasi non-partisipatif digunakan untuk melihat perilaku dan tindakan yang dilakukan guru dan siswa dalam setting lingkungan kelas ketika pembelajaran berlangsung. Observasi dilakukan sebagai teknik pengumpulan data utama guna memperoleh kejelasan dan kekayaan informasi yang bersifat faktual dan observeble. Menurut Guba dan Lincoln dalam Moleong (2005), dalam penelitian kualitatif secara metodologis penggunaan observasi dapat mengoptimalkan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan dan sebagainya.

Melalui teknik observasi akan diperoleh data tentang kondisi obyektif pembelajaran pemahaman makna kata saat yang meliputi persiapan, proses pelaksanaan, penerapan metode


(18)

11 multisensori dalam pembelajaran pemahaman makna kata, serta faktor pendukung dan penghambat dalam pembelajaran pemahaman makna kata melalui metode multisensori.

b. Wawancara

Menurut Susan Stainback yang dikutip Sugiyono (2005: 72) mengemukakan bahwa wawancara ‘... provide the researcher a means to gain a deeper understanding of how the participant interpret a situation or phenomenon than can be gained through observation alone.’ Jadi dengan wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan (informan) dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi. Teknik wawancara yang dipergunakan dalam pengumpulan data ini terdiri dari wawancara semi terstruktur dan wawancara tak berstruktur.

Wawancara semi terstruktur digunakan dengan tujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya (Sugiyono, 2005: 73). Wawancara dilakukan dalam suasana yang alami, kekeluargaan dan dalam waktu yang fleksibel. Dengan wawancara peneliti dapat mengungkapkan perspektif emik, yaitu pandangan, gagasan dan pikiran dari subyek penelitian. Informasi


(19)

12 yang diperoleh dari hasil wawancara dicatat dan dapat disalin menjadi bentuk tulisan/laporan.

Melalui teknik wawancara diharapkan dapat dikumpulkan data mengenai:

1) Persiapan yang dilakukan guru dalam pembelajaran pemahaman makna kata saat ini.

2) Proses pelaksanaan pembelajaran pemahaman makna kata saat ini.

3) Penerapan metode multisensori dalam pembelajaran pemahaman makna kata.

4) Faktor pendukung dan penghambat dalam pembelajaran pemahaman makna kata melalui metode multsensori.

c. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi dalam penelitian kualitatif merupakan pelengkap dari penggunaan teknik observasi dan wawancara. Sebagaimana diungkapkan oleh Satori dan Komariah (2010 : 149) bahwa studi dokumentasi itu adalah:

mengumpulkan dokumen dan data yang diperlukan dalam permasalahan penelitian lalu ditelaah secara intens sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan serta pembuktian suatu kejadian.

Peneliti, melalui teknik ini mengumpulkan dan mengkaji berbagai dokumen yang berkaitan untuk pengembangan panduan ini,


(20)

13 diantaranya instrument asesmen dan program pembelajaran (silabus, RPP).

4. Teknik Analisis Data

Secara garis besar prosedur pengolahan dan analisis data menurut Hopkins (Moleong, 1994) adalah sebagai berikut :

a. Pengumpulan dan Kategorisasi Data

Kegiatan ini dilakukan pada semua catatan lapangan/observasi, wawancara. Data tersebut diinterpretasi sedemikian rupa sehingga kemudian lebih mudah digolongkan atau dikategorisasi. Hasil interpretasi ini disusun sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan untuk menjelaskan suatu kondisi.

b. Interpretasi

Pada tahap ini, temuan–temuan yang peneliti dapatkan di lapangan, diinterpretasikan dengan merujuk kepada acuan teoritik dan norma–norma praktis yang disepakati. Peneliti berusaha memunculkan makna dari setiap data yang diperoleh di samping menggambarkan perolehan data secara deskriptif analitik, sehingga akhirnya diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai permasalahan peneliti. Berdasarkan interpretasi ini diharapkan dapat diperoleh makna yang berarti, baik sebagai bahan untuk kegiatan


(21)

14 tindakan selanjutnya maupun untuk kepentingan peningkatan kinerja dan profesionalitas guru itu sendiri.

5. Prosedur Penelitian

Prosedur adalah langkah dan cara yang dilakukan oleh peneliti dalam suatu penelitian. Adapun prosedur yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Studi Kondisi Objek Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Saat Ini

Dalam tahap ini peneliti mengumpulkan data mengenai kondisi pembelajaran pemahaman makna kata. Adapun kondisi yang diungkap diantaranya persiapan, proses pelaksanaan, penerapan/penggunaan metode multisensori oleh guru, faktor pendukung serta penghambat dalam penggunaan metode multisensori.

b. Analisis Hasil Studi Kondisi Objektif dan Merumuskan Draf Panduan

Setelah diperoleh data kondisi obyektif, selanjunya data itu diolah dan dianalisis untuk dijadikan dasar dalam menyusun draf panduan. Setelah diolah maka dirumuskanlah draf panduannya.


(22)

15 c. Tahap Validasi

Draf panduan yang telah disusun kemudian dibawa ke dalam focus group discussion (FGD). Draf panduan ditelaah noleh unsur guru kelas dan guru mata pelajaran. Dari tahap ini menghasilkan draf panduan hasil FGD

d. Finalisasi/Tahap Akhir Rancangan Penduan Penggunaan Metode Multisensori

Draf hasil FGD dianalisis kembali oleh peneliti untun perumusan terakhir. Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam penelitian ini. Dari tahap ini akan dihasilkan panduan yang bersifat hipotetik.


(23)

16 BAB II

PEMBELAJARAN PEMAHAMAN MAKNA KATA PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

Pada intinya, bab ini akan membahas tentang dampak ketunagrahitaan terhadap pemahaman makna kata dan bagaimana pembelajaran pemahaman makna kata dengan menggunakan metode multisensori bagi anak tunagrahita ringan. Pada bagian awal dijelaskan tentang perkembangan bahasa karena pemahaman makna kata merupakan bagian dari perkembangan bahasa. Secara berurut bab ini akan membahas topik-topik sebgai berikut:

A. Perkembangan Bahasa Pada Anak Tunagrahita Ringan

Perkembangan bahasa pada seorang anak, termasuk anak tunagrahita, tentunya tidak lepas dari bagaimana bahasa itu diperoleh. Bahasa yang diperoleh seorang anak sebenarnya melalui proses yang cukup rumit tidak serta merta ia memperolehnya hingga berpengaruh kepada perkembangan bahasanya. Oleh karena itu telah terjadi perbendaan pandangan tentang bagaimana seorang anak memperoleh bahasa. Pandangan yang berbeda itu melahirkan teori perolehan bahasa. Teori-teori tersebut akan dibahas di bawah ini.


(24)

17 1. Teori Perolehan Bahasa

Sebelum membahas tentang perkembangan bahasa, perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang teori perolehan bahasa. Teori ini terdiri dari 3 pandangan, yaitu teori behavioral, teori psikolinguistik, dan teori kognitif. Di bawah ini akan diejelaskan satu per satu teori-teori tersebut.

a. Teori Behavioral

Dari sudut ini perkembangan bahasa dikaji dari sudut pandang teori operant conditioning B.F. Skinner (Lerner, 1988). Pandangan ini berkeyakinan bahwa bahasa dapat dipelajari melalui imitasi dan penguatan (reinforcement). Bayi yang pada awalnya tidak memiliki pengetahuan/pengalaman berbahasa, secara bertahap memperoleh keterampilan berbahasa melalui imitasi yang mendapatkan penguatan dari model (lingkungan) yang ditirunya itu. Contoh, orang tua yang gembira/senang melihat bayinya mengucapkan bunyi bicara suatu kata tertentu. Kemudian orang tua itu mengikuti apa yang bayi ucapkan (penguatan) dengan respon yang menyenangkan. Maka bayi akan mengulang bunyi ucapan itu dan mencoba meniru ucapan orang tuanya. Jadi, melalui perilaku bahasa dapat dipelajari dengan prinsip-prinsip imitasi dan penguatan.

Dalam konteks pembelajaran bahasa, teori behavioral berpandangan bahwa perilaku berbahasa dapat dimunculkan dan


(25)

18 dibentuk melalui manipulasi stimulus dan factor-faktor penguatan yang ada dilingkungannya.

b. Teori Psikolinguistik

Teori psikolinguistik berpandangan bahwa ‘mekanisme perkembangan bahasa dipengaruhi oleh factor biologis dan genetic’ (Lenneberg, 1967 dalam Lerner, 1988). Pandangan ini berkeyakinan bahwa anak-anak belajar bahasa dan menggunakannya karena adanya pengaruh factor biologis. Kemampuan berbahasa merupakan kemampuan pembawaan sejak lahir. Jadi kapasistas itu sudah dibawa oleh manusia sebagai factor genetic.

Ketika anak belajar berbahasa sesungguhnya ia telah memiliki modal berbahasa yang dibawanya sejak lahir. Oleh karena itu anak-anak belajar berbahasa tidak hanya belajar satu set kalimat tetapi lebih kepada internalisasi system bahasa untuk memperoleh pemahaman dan membuat kalimat baru.

Implikasinya dalam pembelajaran kita harus mengenali bahasa sebagai sutau fenomena alam yang ada dalam diri manusia. Melalui penataan stimulasi lingkungan dan mendorong penggunaan bahasa yang terintegrasi, maka kemampuan berbahasa anak akan berkembang.


(26)

19 c. Teori Kognitif

Kognisi dapat diartikan sebagai proses memahami sesuatu yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan (Alimin, 2008). Dimana pemahaman tersebut diperoleh melalui proses yaitu proses sensoris dan persepsi (visual, auditif, kinestetk, dan taktual). Proses itu sendiri terjadi melalui suatu struktur kognitif yang disebut skemata.

Jean Piaget menyebut struktur kognitif sebagai skemata (Schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya dan berlangsung terus-menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya. Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru tersebut dilakukan dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi adalah proses “kognitif di mana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya” (Suparno, 2001 dalam Indriyani, 2011). Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Menurut Wadsworth dalam (Suparno, 2001:22) asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, tetapi memperkembangkan


(27)

20 skema. Sebagai contoh, seorang anak yang baru pertama kali melihat harimau maka ia akan menyebut harimau itu sebagai kucing besar, karena ia baru memiliki konsep kucing yang sering dilihatnya. Ia memiliki konsep kucing dalam skemanya dan ketika ia melihat harimau untuk pertama kalinya, maka konsep kucinglah yang paling dekat dengan stimulus.

Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Contoh seperti di atas, untuk pertama kalinya anak akan menyebut harimau dengan sebutan kucing atau kucing besar. Melalui proses sensori dan persepsi maka skema yang sudah ada terjadi perubahan yaitu adanya penambahan skema tentang harimau. anak menjadi memahami bahwa harimau itu bukan kucing tetapi sebagai konsep baru bahwa ada binatang yang disebut harimau sehingga tersimpan dalam pemahamannya tentang harimau.

Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistim kognisi seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap berikutnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisi dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar


(28)

21 keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas. Sehingga “perkembangan bahasa seorang anak akan semakin berkembang sesuai dengan kematangan mentalnya” (Lerner, 1988:317).

Pembelajaran bahasa dalam perspektif teori kognitif adalah menciptakan interaksi antara anak dengan berbagai pengalaman belajar, pengalaman berbahasa, dan menciptakan lingkungan yang mendorong anak untuk memperoleh pemahaman bahasa. Kuncinya adalah memulai dari apa yang sudah anak ketahui dan secara aktif menciptakan pembelajaran yang membangun pemahaman. Sehingga perkembangan bahasa dan kemampuan pemahamannya akan berkembang secara bertahap sejalan dengan perkembangan pengalaman berbahasanya.

Setelah membahas teori-teori perolehan bahasa di atas, maka ada pertanyaan bagaimanakah anak tunagrahita memperoleh perkembangan bahasanya? Jika dikaji dari tiga teori di atas maka anak tunagrahita memperoleh perkembangan bahasanya dapat melalui tiga sudut padang itu “… yang membedakannya dengan anak-anak pada umumnya adalah anak tunagrahita lebih lambat dan lebih terbatas” (Somad, 2009).

2. Perkembangan Bahasa Pada Anak Tunagrahita

Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh dengan sangat menakjubkan melalui beberapa cara. Pertama, anak dapat belajar bahasa apa


(29)

22 saja yang mereka dengan sehari-hari dengan cepat. Hampir semua anak pada umunya dapat menguasai aturan dasar bahasa kurang lebih pada usia 3 – 4 tahun (Gauri, 2007). Kedua, bahasa apapun memiliki kalimat yang tidak terbatas, dan kalimat-kalimat dari bahasa yang mereka dengar dan mereka ucapkan, belum pernah ia dengar sebelumnya. Hal ini berarti anak-anak belajar bahasa tidak sekedar meniru ucapan yang mereka dengar, anak-anak harus belajar konsep gramatikal yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat.

Anak-anak belajar bahasa erat kaitannya dengan perkembangan kognitif, sehingga perkembangan bahasa akan sejalan dengan perkembangan kognitifnya. Pada kenyataanya, anak tunagrahita mengalami hambatan dalam perkembangan kognitifnya sehingga perkembangan bahasanya juga terhambat. Hambatan tersebut ditunjukkan dengan tidak seiramanya antara perkembangan bahasa dengan usia kalendernya (cronolical age), tetapi lebih seirama dengan usia mentalnya (mental age).

Anak tunagrahita yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak dibandingkan dengan yang mengalami gangguan bicara (Rochyadi, 2005:23). Hasil penelitian Robert Ingall (Rochyadi, 2005) tentang kemampuan berbahasa anak tunagrahita dengan menggunakan ITPA (Illionis Test of Psycholinguistic Abilities), menunjukkan bahwa 1) anak tunagrahita memperoleh keterampilan berbahasa pada dasarnya sama seperti anak normal, 2) kecepatan anak tunagrahita dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih rendah dari pada anak normal, 3) kebanyakan anak tunagrahita


(30)

23 tidak dapat mencapai keterampilan bahasa yang sempurna, 4) perkembangan bahasa anak tunagrahita sangat terlambat dibandingkan dengan anak normal, sekalipun pada MA yang sama, 5) anak tunagrahita mengalami kesulitan tertentu dalam menguasai gramatikal, 6) bahasa tunagrahita bersifat kongkrit, 7) anak tunagrahita tidak dapat dapat menggunakan kalimat majemuk. Ia akan banyak menggunakan kalimat tunggal.

McLean dan Synder (Sunardi dan Sunaryo, 2006:191) menemukan bahwa anak tunagrahita cenderung mengalami kesulitan dalam keterampilan berbahasa, meliputi morfologi, sintaksis, dan semantic. Dalam hal semantic mereka cenderung kesulitan dalam menggunakan kata benda, sinonim, penggunaan kata sifat, dan dalam pengelompokkan hubungan antara obyek dengan ruang, waktu, kualitas, dan kuantitas.

Senada dengan hal di atas, Sutjihati (Sunardi dan Sunaryo, 2006) menjelaskan bahwa anak tunagrahita disamping dalam komunikasi sehari-hari cenderung menggunakan kalimat tunggal, pada mereka umumnya juga mengalami gangguan dalam artikulasi, kualitas suara, dan ritme, serta mengalami kelambatan dalam perkembangan bicara.

Secara lebih teperinci Gauri (2007) memaparkan perkembangan bahasa pada anak tunagrahita. Dalam penjelasannya ini Gauri Pruthi menyajikan hasil penelitian perkembangan bahasa pada anak Down syndrome.


(31)

24 a. Perkembangan Prabahasa

Perkembangan ini dimulai dari bayi baru lahir. Jika dilihat dari masa ini maka antara bayi norma dan bayi Down syndrome hampir memiliki perkembangan yang sama (Gauri, 2007). Hanya saja bayi normal lebih aktif dan menunjukkan perilaku tangisan yang lebih keras/lepas.

Bellugi (Gauri, 2007) meneliti perkembangan pra bahasa pada populasi tunagrahita dari kelompok syndrome yang lain, misalnya frgile X, mereka sangat miskin kontak mata sehingga mereka ini sulit memperoleh pengalaman berbahasa lewat imitasi visual. Sedangkan, itu anak-anak Williams syndrome lebih banyak tertarik mengamati wajah dan sepanjang hari lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengamati wajah seseorang.

b. Perkembangan Vokal

Hasil penelitian Oller dkk (Gauri, 2007) terhadap anak-anak Down syndrome usia 0 – 2 tahun menunjukkan bahwa perkembangan vocal (babbling) anak-anak ini tertinggal 2 bulan dibandingkan dengan anak normal. Anak Down syndrome usia ini juga tidak stabil dalam perkembangan babbling/merabannya atau cenderung kurang aktif melakukannya dibanding anak- anak normal. Lynch (Gauri, 2007) menyebutkan pula, “… selain persoalan tersebut mereka menunjukkan keterlambatan perkembangan motoriknya serta memiliki hipotonus”.


(32)

25 c. Perkembangan Sosial dan Komunikasi

Bayi Down syndrome (0-18 bulan) memperlihatkan keterlambatan perkembangan kontak mata, begitu pula dalam perkembangan merabannya (Berger & Cunninghan dalam Gauri, 2007). Sejalan dengan itu Jasnow dan kawan-kawan (Gauri, 2007) menyatakan mereka juga kurang memiliki interaksi dengan ibunya. Pada usia satu tahun lebih mereka mulai lebih dominan menggunakan penglihatannya dibandingkan menggunakan anggota tubuh lainnya untuk mengeksplorasi lingkungan. Bayi Down syndrome (18 bulan) juga menunjukkan ketertarikan dengan ibunya atau orang lain dengan kontak mata, namun mereka kesulitan berinteraksi dengan ibunya dan mainannya dalam waktu bersamaan. Komuniksi yang terjalin dengan ibu lebih banyak menggunakan kontak mata disbanding vokalisasi ucapannya.

Perbedaan perkembangan pola interaksi semakin terlihat jelas ketika bayi Down syndrome memasuki usia dua tahun lebih. Perbedaan tersebut direfleksikan dalam bentuk bermain dan komunikasi.

Mundy dan kawan-kawan (Gauri, 2007) melakukan penelitian yang komprehensif tentang komunikasi social terhadap kelompok anak-anak Down syndrome usia 2-3 tahun. Anak-anak tersebut dibandingkan dengan anak-anak normal dengan usia yang sama. Hasilnya anak-anak Down syndrome menunjukkan perilaku interaksi social yang lebih banyak dibandingkan dengan anak pada umumnya. Tapi anak Down syndrome


(33)

26 lebih sedikit berkata-kata dan tidak mampu mengungkapkan apa yang dimintanya melalui ucapan dibanding dengan anak pada umumnya.

Anak-anak Down syndrome juga lebih focus kepada orang-orang disekitar dari pada objek bendanya ketika menginginkan sesuatu. Kondisi tersebut merefeksikan keterlabatan perkembangan bahasanya. Mereka lebih suka menarik tangan, menujuk, atau melakukan gesture tertentu kepada orang sekitar ketika menginginkan sesuatu dari pada meminta objek dengan ucapan.

Bellugi (Gauri, 2007) meneliti perkembangan pra bahasa pada populasi tunagrahita dari kelompok syndrome yang lain, misalnya frgile X, mereka sangat miskin kontak mata sehingga mereka ini sulit memperoleh pengalaman berbahasa lewat imitasi visual. Sedangkan, itu anak-anak Williams syndrome lebih banyak tertarik mengamati wajah dan sepanjang hari lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengamati wajah seseorang.

Anak-anak Down syndrome ini semakin bertambah usia maka ia semakin bertambah ramah (friendly) kepada orang-orang disekitarnya.

d. Perkembangan Semantik

Semantik adalah bagian dari struktur bahasa yang lebih menekan pada perkembangan pemahaman makna kata dan makna kata dalam satu kelompok/kalimat.


(34)

27 Perkembangan bahasa anak-anak normal mulai menunjukkan perkembangan yang sangat pesat ketika mereka mulai berusia satu tahun. Perkembangan bahasanya terlihat pada perbendaharaaan kata yang dimilikinya. Semakin berkembang ketika usia 36 bulan, mereka menguasai lebih dari 500 kata dan mereka memahami kata-kata tersebut (Fenson, 1994 dalam Gauri, 2007).

Perkembangan perbendaharaan kata pada anak Down syndrome ternyata sebanding dengan usia mentalnya, bahkan ada yang benar-benar tertinggal dikarenakan adanya hambatan ganda, yaitu gangguan bicara (Miller et al., 1994 dalam Gauri, 2007).

Penelitian terakhir tentang penggunaan kata benda (kaitannya dalam masalah semantic) pada anak Down syndrome ternyata mereka ini lebih menggunakan kata dasarnya atau pada tingkat dasar (misalnya mobil, kuda) tidak mencapai tingkat subordinatnya (contoh Mercedes, zebra) atau tingkat superordinat (misalnya, kendaraan, hewan). Semua objek dipilih karena kelompok dasarnya misalnya anak tidak mempertimbangkan mobil sedan, truk, atau bis, semua itu akan dilabel sebagai mobil. Anak kesulitan jika harus melabel hingga subordinat dan superordinat. Begitu pula dengan kuda, maka anak tidak akan mempertimbangkan kuda zebra, kuda stallion dll. Mereka hanya akan melabel pada tingkat dasar, yaitu kuda.

Penelitian lain yang mendukung Mervisn dan Bertrand (Gauri, 2007) yang memperjelas bahwa anak-anak Down syndrome lebih


(35)

28 memahami objek secara keseluruhan, tidak memahami dari atributnya atau bagian-bagian dari objek itu.

e. Perkembangan Fonologis (Bunyi Bahasa)

Sejalan dengan peroleh makna kata , mereka juga belajar bagaimana mengartikulasikannya (mengucapkannya) sesuai dengan aturan bahasa yang berlaku. Hampir semua perkembangan fonologis semakin sempurna ketika anak-anak mulai masuk sekolah. Namun, mereka terkadang harus berhadapan dengan kesalahan-kesalahan pengucapan.

Anak-anak tunagrahita cenderung memperlihatkan adanya gangguan artikulasi. Anak-anak Down syndrome menunjukkan kesulitan pada aspek fonologis yang dapat berkaitan dengan keterlabatan perkembangan merabannya dan bisa juga diakibatkan keterlabatan perkembangan bahasanya secara umum.

Penelitian Dodd (Gauri, 2007) membandingkan kesalahan fonologi pada anak-anak Down syndrome berat dengan anak tunagrahita ringan, dan anak-anak normal, mereka itu memiliki usia mental yang sama. Hasilnya, anak-anak Down syndrome lebih banyak memiliki kesalahan fonologis dan memiliki berbagai variasi kesalahan yang sangat berbeda dibandingkan dengan dua kelompok lainnya, serta anak-anak Down syndrome perkembangan fonologi jauh tertinggal secara signifikan dari level kognitifmya.


(36)

29 f. Perkembangan Tata Bahasa Awal

Setelah kemampuan melabel/member nama suatu objek dikuasai, kemudian anak-anak biasanya mencoba mengkombinasikan kata-kata yang sudah dipahami dirangkai menjadi dua-tiga kata sehingga membentuk ucapan/perkataan sederhana yang juga disebut ucapan telegrafik. Secara beratahap kemampuan anak-anak dalam membuat kalimat semakin bertambah panjang, seiirng dengan bertambahnya pemahaman makna kata dan elemen-elemen gramatikal. pertumbuhan seperti itu dapat diukur dengan Mean Length Utterances (MLU) (Brown, 1973 dalam Gauri, 2007).

Perkembangan tata bahasa awal juga ditemukan pada anak-anak tunagrahita. Tapi perkembangannya terlambat dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya. Berbegai penelitian telah dilakukan untuk mengkaji masalah tersebut terhadap anak-anak Down syndrome. Hasilnya jika diukur dengan MLU maka pada mereka itu akan ditemukan penyebaran perubahan rata-ratanya sangat bervariasi.

Contoh, hasil penelitian terhadap anak perempuan Down syndrome yang belum menunjukkan kemampuan menyusun ucapan yang terdiri dari dua kata, sedangkan usianya 4 tahun. Namun rata-rata MLU nya sama dengan anak-anak normal ketika ia usia 5 tahun 6 bulan.

Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa ditemukan bahwa pada anak-anak Down syndrome mampu merangkai dua kata menjadi ungkapan


(37)

30 yang bermakna terjadi pada usia enam tahun. Tentunya hal itu tertinngal banyak oleh anak-anak normal (Tager, 1990 dalam Gauri, 2007).

g. Perkembangan Pragmatik

Selain, fonologi, kosa kata dan tata bahasa, anak-anak juga harus belajar menggunakan bahasa secara efektif sesuai dengan konteks sosialnya. Dalam percakapan normal partisipan harus saling berbagi giliran, berada ada dalam topic pembicaraan yang sama, pernyataan dari pesan yang disampaikan harus jelas dan sesuai aturan budayanya sehingga mendukung setiap individu dalam percakapan tersebut.

Dalam penelitian terhadap perkembangan pada anak-anak normal yang menyelidiki beberapa aspek perkembangan pragmatic, di dalam tersusun atas perkembangan perilaku bicara, kompetensi percakapan, dan sensitifitas terhadap kebutuhan pendengar. Perkembangan perilaku bicara tersusun atas perilaku ketika meminta, perintah, mengeluh, menolak, interaksi, dll; kompetensi percakapan terdiri dari mampu mengelola topic percakapan dalam waktu yang lama, saling bergiliran bicara, dan mampu menambahkan informasi baru sesuai dengan topik yang sedang berlangsung; sensitive terhadap kebutuhan pendengar/lawan bicara dengan cara merespon dengan tepat terhadap apa yang diminta.


(38)

31 1) Perkembangan Perilaku Bicara

Sangat kontras sekali anatar kemampuan sintaksis dan kemampuan pragmatis anak-anak Down syndrome ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan pragmatis anak-anak Down syndrome, setelah diukur melalui MLU, ternyata sama dengan anak-anak normal, yaitu berada pada rentang 1,7 hingga 2,0. Namun secara fungsional tetap tertinggal dibandingkan dengan anak normal meskipun dengan usia mental yang sama.

Dari aspek functional lainnya ketika meminta, anak-anak Down syndrome lebih banyak menggunakan satu kata. Begitu pula dengan yang lainnya.

2) Kompetensi Percakapan

Anak-anak pada umumnya mampu berbagi giliran untuk bercakap-cakap sebab mereka sejak awal perkembangan bahasa sudah memiliki pengalaman belajar berintekasi bahasa dengan ibunya. Berbeda dengan anak-anak Down syndrome mereka sedikit mengambil pengalaman berbahasa sejak awal sehingga kesulitan untuk kesulitan untuk berbagi giliran bicara, kesulitan melakukan percakapan sesuai topic, sering beralih topic pembicaraan bukan menambah informasi untuk memperkuat topic perbincangan.


(39)

32 3) Sensitifitas Terhadap Kebutuhan Pendengar

Lawan bicara terkadang membutuhkan informasi tambahan, meminta pengulangan ucapan/pembicaraan, atau minta penjelasan. Jika itu bisa dipahami maka perbincangan akan semakin menarik. Hanya saja itu sulit bagi anak-anak Down syndrome. Mereka lebih focus pada perbincangannya sendiri. Namun demikian, penelitian pada anak-anak Down syndrome usia 10 tahun ke atas, mereka lebih mampu melakukan itu walau pun sebatas mengulang pembicaraan.

Berdasarkan perkembangan bahasa di atas maka kemampuan bahasa anak tunagrahita cukup rendah. Masalah kemampuan bahasa yang rendah pada anak tunagrahita mengisyaratkan bahwa pendidikan yang diberikan kepada mereka seyogianya dirancang sebaik mungkin dengan menghindari penggunaan bahasa yang kompleks (rumit). “Bahasa yang digunakan hendaknya berbentuk kalimat tunggal yang pendek, gunakan media atau alat peraga untuk mengkongkritkan konsep-konsep abstrak agar ia memahaminya.” (Rochyadi, 2005:24).

B. Pemahaman Makna Kata Pada Anak Tunagrahita Ringan 1. Pengertian Makna Kata

Kata “makna” menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2000:703) dapat diartikan sebagai 1) arti; 2) maksud pembicara atau penulis, dan 3) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.


(40)

33 Menurut Tarmansyah (1996:67) “makna adalah isi yang terkandung dalam ujaran hingga dapat menghasilkan reaksi tertentu”. Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2000:513), “kata” diartikan sebagai:

1) unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang erupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa, 2) ujar; bicara, 3) satuan (unsur bahasa yang terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas.

Makna kata (semantik) merupakan bagian dari unsur bahasa. Sebagaimana penjelasan berikut ini bahwa para ahli bahasa membagi bahasa ke dalam beberapa aspek. Aspek pertama adalah bahasa ditinjau dari bagaimana bahasa itu diterima (reseptif) dan diungkapkan (ekspresif). Aspek kedua adalah bahasa ditinjau sebagai suatu system yang terdiri atas fonologi, sintaks, morfologi, semantic (pemahaman makna kata) dan pragmatic.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka “makna kata” dapat diartikan sebagai pengertian suatu kata yang jelas dan tepat yang diujarkan sesuai dengan yang maksud oleh pikiran dan perasaan sehingga dapat menghasilkan reaksi tertentu.

2. Kemampuan Pemahaman Makna Kata Anak Tunagrahita

Anak tunagrahita memiliki kecerdasan di bawah rata-rata normal (IQ di bawah 70 pada skala WISC) (Rochayadi dan Alimin, 2003). Akibat


(41)

34 kecerdasannya dibawah rata-rata berdampak pada perkembangannya, salah satunya berdampak pada perkembangan bahasa.

Perkembangan bahasa anak tunagrahita mengalami hambatan, hal tersebut dapat dilihat dari kemampuan/keterampilan berbicaranya terlambat padahal organ bicara dan pendengarannya cukup baik. Sehingga, mereka “… terkesan sedikit berbicara dan sulit untuk memahami kata-kata serta sulit mengungkapkan bahasa ekspresifnya.” (Dalwadi, 2002).

Dapat diamati pula pada anak-anak Down syndrome, kemampuan pemahaman makna kata (semantic) pada anak Down syndrome ternyata sebanding dengan usia mentalnya, bahkan ada yang benar-benar tertinggal dikarenakan adanya hambatan ganda, yaitu gangguan bicara (Miller et al., 1994 dalam Gauri, 2007).

Penelitian terakhir tentang pemahaman makna kata ini, lebih tepatnya pada penggunaan kata benda, pada anak Down syndrome, ternyata mereka ini lebih banyak menggunakan kata dasarnya atau pada tingkat dasar (misalnya mobil, kuda) tidak mencapai tingkat subordinatnya (contoh Mercedes, zebra) atau tingkat superordinat (misalnya, kendaraan, hewan). Semua objek dipilih karena kelompok dasarnya misalnya anak tidak mempertimbangkan mobil sedan, truk, atau bis, semua itu akan dilabel sebagai mobil. Anak kesulitan jika harus melabel hingga subordinat dan superordinat. Begitu pula dengan kuda, maka anak tidak akan mempertimbangkan kuda zebra, kuda stallion dll. Mereka hanya akan melabel pada tingkat dasar, yaitu kuda.


(42)

35 Penelitian lain yang mendukung Mervisn dan Bertrand (Gauri, 2007) yang memperjelas bahwa anak-anak Down syndrome lebih memahami objek secara keseluruhan, tidak memahami dari atributnya atau bagian-bagian dari objek itu.

Itulah akibat dari adanya hambatan perkembangan kognitif yang menyebabkan adanya keterbatasan untuk memahami makna kata tertentu. Sehingga kondisinya menjadi sangat tertinggal dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya meskipun dengan usia mental yang sama.

Jadi anak tunagrahita mengalami hambatan dalam pemahaman makna kata bukan dikarenakan oleh terganggunya pendengaran atau organ bicaranya yang rusak.

C. Metode Multisensori Dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Bagi Anak Tunagrahita Ringan

Montesori (Crain, 2007) menyatakan bahwa anak tunagrahita sangat senang dan mudah belajar jika belajar dengan menggunakan objek kongkrit dan memiliki tekstur. Ditambahkan pula oleh Piaget bahwa proses terbentuknya pemahaman dalam belajar diawali melalui tahapan belajar dari kongkrit menuju abstrak. Jadi anak tunagrahita membutuhkan metode yang dapat memberi peluang kondisi seperti demikian dapat terjadi. Kondisi seperti itu terdapat dalam metode multisensori.


(43)

36 Selanjutnya akan dibahas tentang apa dan bagaimana metode multisensory, serta penggunaanya dalam pembelajaran pemahaman makna kata.

1. Pengertian Multisensori

Secara harfiah multisensory dimaknai sebagai “berbagai indera”. Makna secara istilah multisensori adalah penggabungan/integrasi berbagai indera dalam satu konteks kegiatan (Shodiq, 1996). Apabila ditinjau sebagai suatu metode pembelajaran maka metode multisensori dimaknai sebagai upaya optimalisasi berbagai indera melalui berbagai aktifitas yang dapat menyebabkan subyek didik menangkap informasi atau pengetahuan dengan indera yang dimilikinya.

Kaitanya dengan pembelajaran makna kata Supartina (Edja, 1995:15) mengemukakan bahwa melalui metode multisensori (multiindera) maka subyek didik akan semakin banyaka memahami kata-kata karena ia dilibatkan dalam aktifitas mengamati, mendengar, meraba, merasa, mencium, atau dianipulasi. Dengan demikian semakin pesat perkembangan persepsi dan makin banyak tanggapan yang diperoleh maka akan makin pesat pulalah perkembangan bahasanya.

2. Teori Belajar Kognitif Melandasi Metode Multisensori

Teori belajar kognitif, merupakan teori yang berdasarkan proses berpikir di belakang perilaku. Perubahan perilaku diamati dan digunakan


(44)

37 sebagai indikator terhadap apa yang terjadi dalam otak peserta didik. Jean Piaget adalah pelopor terkenal teori ini. Gagasan utama dalam teori kognitif adalah perwakilan mental yang disebut skema. Skema akan menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima akan dipahami seseorang. Jika informasi sesuai dengan skema yang ada, maka peserta didik akan menyerap informasi tersebut ke dalam skemanya. Seandainya tidak sesuai dengan skema yang ada, informasi akan ditolak atau diubah, atau disesuaikan dengan skema, atau skema yang akan diubah dan disesuaikan (Suparno, 2001 dalam Indriyani, 2011).

Pandangan kognitif juga memiliki pengaruh dalam proses perolehan bahasa pada anak-anak. Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab terdahulu bahwa teori kognitif merupakan salah satu teori yang membangun proses perolehan bahasa.

Teori kognitif mengakui bahwa belajar melibatkan penggabungan-penggabungan (assosiasi) yang dibangun melalui keterkaitan atau pengulangan. Mereka juga mengakui pentingnya penguatan (reinforcement), walaupun lebih menekankan pada pemberian balikan (feedback) pada tanggapan yang benar dalam perannya sebagai pendorong (motivator). Jadi walaupun menerima sebagian dari konsep behavioris, para penganut teori kognitif memandang belajar sebagai perlibatan penguasaan atau penataan kembali struktur kognitif seseorang memproses dan menyimpan informasi (Good dan Brophy: 1990 dalam Crain, 2007).


(45)

38 Dalam bagian ini akan diuraikan lebih rinci pembelajaran model Gagne. Model pembelajaran yang ditawarkan lebih operasinal, sehingga mudah dipahami penerapan dalam pembelajaran. Terdapat tiga konsep pokok dalam model pembelajaran Gagne (Yulaelawati, 2004) yaitu tentang kondisi internal dan eksternal pebelajar, kejadian belajar, dan Kejadian pembelajaran.

a. Kondisi internal dan eksternal. Komponen penting di dalam belajar, yaitu kondisi internal-eksternal. Kondisi internal merupakan hukum yang digunakan Gagne di dalam menjelaskan kesiapan sipebelajar atau siswa. Komponen kondisi internal merupakan dasar bagi sipebelajar untuk melakukan interaksi atau kesiapan di dalam menerima stimulasi dari lingkungan. Kondisi eksternal merupakan stimulus yang dapat berinteraksi dengan kondisi internal sipebelajar, yang berupa acara pembelajaran yang cocok dengan tahapan fase-fase belajar. Dengan demikian kejadian-kejadian eksternal perlu diatur sedemikian rupa agar pengaruhnya terhadap proses internal dalam diri pebelajar dapat menghasilkan respon sesuai dengan yang diharapkan dari pembelajaran. b. Kejadian belajar. Proses internal yang terjadi dalam proses belajar pada

diri anak disebut sebagai kejadian belajar. Kejadian belajar yang berpengaruh terhadap siswa selanjutnya akan menghasilkan hasil belajar berupa kemampuan atau kompetensi. Guru perlu memahami dalam proses belajar pada diri anak melibatkan seluruh indera, otak serta otot. Keadaan lingkungan akan memberikan situasi stimulus atau rangsang


(46)

39 yang berpengaruh dalam penyimpanan pengetahuan sebagai ingatan. Berdasarkan ingatan ini maka timbullah respon dari pebelajar apabila diberikan suatu stimulus. Secara sederhana dapat digambarkan proses pembelajaran pada diri individu terjadi melalui alur bahwa: input yang diberikan dalam bentuk perintah dari guru, bahan bacaan, bahan ajar, dan dari pengalaman akan dicatat pada indera, kemudian disimpan dalam ingatan jangka pendek untuk selanjutnya disimpan dalam ingatan jangka panjang. Ketika pebelajar menghadapi permasalahan atau memerlukan informasi, pengetahuan dan ingatan jangka panjang dapat dikeluarkan sebagai suatu output.

c. Kejadian pembelajaran.

Pengaturan kejadian-kejadian eksternal untuk mengaktifkan dan mendukung proses internal dalam kejadian belajar seseorang adalah merupakan sebagai kejadian pembelajaran. Gagne menguraikan peran kondisi internal dan eksternal siswa yang berpengrauh dalam pembelajaran dan berperan dalam memperbaiki kejadian belajar seseorang, sehingga kondisi ini perlu direncanakan guna meningkatkan hasil belajar siswa. Terdapat sembilan kejadian pembelajaran yaitu: mengaktifkan motivasi, menjelaskan pebelajar tentang tujuan, mengarahkan perhatian, menstimulasi perhatian, menyediakan bimbingan, meningkatkan ingatan, meningkatkan transfer, menimbulkan kinerja, dan meyediakan balikan.


(47)

40 Dari pemaparan di atas memunculkan pengembangan teori belajar kognitif untuk digunakan dalam suatu metode. Metode ini di dalamnya mengoptimalkan segala macam fungsi sensori yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif. Didasari pula oleh pernyataan Piaget bahwa proses pemahaman yang terbentuk dalam kognitif seseorang dikarenakan adanya proses informasi atau pegetahuan yang diterima dan dipersepsi melalui berbagai indera/sensori, sehingga terbentuk pemahaman. Selanjutnya muncul gagasan integrasi berbagai modalitas sensori yang dikembangkan oleh Fernald dan Gillingham.

3. Penggunaan Metode Multisensori

Multisensori ini dikenal juga dengan istilah VAKT (sistem Visual-Auditori-Kinestetik-Taktil). Multisensori yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan ide yang dikembangkan oleh Gillingham dan Stillman (Shodiq, 1996:93). Menurut Gillingham dan Stillman multisensori pada dasarnya sangat baik digunakan dalam belajar membaca, khususnya membaca permulaan. Akan tetapi dalam penelitan ini digunakan dalam meningkatkan pemahaman akan bahasa baik yang didengar maupun yang diucapkan oleh orang lain sebelumnya.

Optimalisasi sensori ini dilakukan berdasarkan prinsip pengamatan terhadap berbagai indera-indera secara terpadu yang dimiliki oleh seseorang. Optimalisasi multisensori artinya memfungsikan seluruh indera sensori (indera penangkap) dalam memperoleh kesan-kesan melalui


(48)

41 perabaan, visual, perasaan, kinestetis, dan pendengaran (Tarmansyah, 1995:143). Dengan mengembangkan berbagai kemampuan pengamatan yang dimiliki seseorang, guru memberikan rangsangan melalui berbagai modalitas sensori yang dimilikinya. Berkaitan dengan masalah sensori Prayitno (Edja, 1995:23) menyatakan bahwa: “makin banyak indera anak yang terlibat dalam proses belajar maka semakin mudah dan pahamlah anak dengan apa yang dipelajari”. Pendapat itu didukung Amin (1995:222) yang mengangkapkan bahwa: “malatih sensori motor atau penginderaan merupakan suatu pekerjaan yang memiliki arti yang sangat penting dalam pendidikan”.

Dalam konteks pembelajaran membaca permulaan, metode multisensory telah dikembangkan oleh Fernald, Gillingham, dan Glass. Berikut dijelaskan penggunaanya masing-masing:

a. Fernald

Fernald telah mengembangkan suatu metode pengajaran membaca multi sensori yang sering dikenal pula sebagai metode VAKT (Visual Auditori Kinestetik Taktil), metode ini menggunakan materi bacaan yang dipilih dari kata-kata yang diucapkan oleh anak dan tiap kata diajarkan secara utuh. Metode ini memiliki empat tahapan, tahapan pertama, guru menulis kata yang hendak dipelajari di atas kertas dengan krayon. Selanjutnya anak menelusuri tulisan tersebut dengan jarinya (taktil kinestetik), pada saat ini menulusuri tulisan tersebut, anak melihat tulisan (visual), dan mengucapkannya dengan keras (auditori).


(49)

42 Proses semacam ini diulang-ulang sehingga anak dapat menulis kata tersebut dengan benar tanpa melihat contoh. Jika anak telah dapat menulis dan membaca dengan benar, bahan bacaan tersebut disimpan, pada tahapan kedua anak tidak terlalu lama diminta menelusuri tulisan-tulisan dengan jari, tetapi mempelajari tulisan-tulisan guru dengan melihat guru menulis, sambil mengucapkannya. Anak-anak mempelajari kata-kata baru pada tahapan ketiga, dengan melihat tulisan di papan tulis atau tulisan cetak, dengan mengucapkan kata tersebut sebelum menulis. Pada tahapan ini anak dimulai membaca tulisan dari buku. Pada tahapan keempat, anak mampu mengingat kata-kata yang dicetak atau bagian-bagian dari kata yang telah dipelajari.

b. Gillingham

Gillingham, merupakan pendekatan terstruktur dari taraf tinggi yang memerlukan lima jam pelajaran selama dua tahun. Aktifitas pertama diarahkan pada belajar berbagai bunyi huruf dan perpaduan huruf-huruf tersebut. Anak menggunakan teknik menjiplak untuk memperlajari berbagai huruf. Bunyi-bunyi tunggal huruf selanjutnya dikombinasikan ke dalam kelompok-kelompok yang lebih besar dan kemudian program, fonik diselesaikan.

Penggunaan metode multisensori yang berkembang saat ini lebih banyak digunakan untuk kepentingan pembelajaran membaca. Metode


(50)

43 tersebut dengan segala prosedurnya sudah biasa digunakan oleh sebagian guru di kelas 1. Namun pemanfaatan lebih lanjut belum banyak dijumpai, terutama dalam pengembangan kemampuan pemahaman makna kata pada anak tunagrahita ringan.

Padahal jika dilihat dari prosesdur penggunakan metode multisensori yang dikembangkan oleh Fernald dan Gillingham ada peluang untuk dikembangkan dalam kepentingan pembelajaran pemahaman makna kata bagi anak tunagrahita ringan. Peluang pengembangan itu didasari pada optimalisasi integrasi berbagai sensori, tahapan pembelajaran mulai dari objek kongkrit, dan adanya penggunaan media pembelajaran. Itu semua cukup memungkinkan bagi anak tunagrahita mampu mengikuti pembelajaran pemahaman makna kata.

Berikut di bawah ini contoh penerapan metode multisensori dalam pembelajaran pemahaman makna kata:

1. Persiapan

Di dalam persiapan ini yang perlu dilakukan adalah asesmen dan perencanaan. Guru perlu melakukan asesmen sehingga diperoleh data kemampuan pemahaman makna kata anak didiknya dan akan diketahui pula kata apa saja yang belum dipahami oleh anak didiknya. Dari hasil asesmen dapat dijadikan dasar bagi guru untuk menentukan materi pembelajaran pemahaman makna kata. Selain itu dapat pula digunakan sebagai dasar dalam menyusun materi pelajaran lainnya. Sehingga materi yang disampaikan dapat menggunakan bahasa atau kata yang dapat


(51)

44 dipahami oleh anak didiknya. Penting adanya perencanaan dalam pembelajaran agar pembelajaran berjalan sesuai dengan tujuan dan indicator yang diharapkan serta proses pembelajaran dapat berjalan secara sistematis. Di dalam perencanaan guru dapat dimulai dari standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang telah disusunya sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak.

Selanjutnya dari SK dan KD yang telah disusun maka disusunlah rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dalam hal ini RPP pemahaman makna kata. Dalam penyusunan RPP perlu diperhatikan komponen, identitas kelas dan satuan pendidikan, jam pelajaran, jam pertemuan, indicator, tujuan pembelajaran, pendahuluan, materi pembelajaran (pemahaman makna kata, langkah-langkah pembelajaran, alat/media pembelajaran, sumber/referensi, penutup, dan evaluasi/penilaian.

2. Langkah-langkah

Ada pun langkah-langkah penerapan metode multi sensori dalam pemahaman makna kata dapat dilakukan seperti cntoh di bawah ini. Contoh ini adalah salah satu penerapan dalam pembelajaran pemahaman makna kata benda:

a. anak diminta untuk melihat benda. b. anak diminta untuk memegang benda.

c. anak diminta untuk meraba keseluruhan sisi benda.


(52)

45 e. guru menyebutkan nama benda.

f. anak menirukan ucapan guru menyebutkan benda. g. anak melihat gambar benda pada kartu.

h. guru mengucapkan nama benda tersebut.

i. anak menirukan ucapan guru dengan menyebutkan nama benda. j. anak diperlihatkan pada benda dan gambar benda.

k. guru menjelaskan bahwa benda yang ada pada gambar sama dengan benda aslinya.

l. guru menjelaskan secara sederhana ciri-ciri benda kongkrit dan benda yang ada pada gambar.


(53)

46

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti membutuhkan sistematika yang jelas tentang langkah-langkah yang akan diambil sehubungan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapainya. Melalui metode penelitian akan tergambar prosedur atau langkah-langkah yang harus ditempuh, waktu penelitian, sumber data, dan kondisi data yang dikumpulkan, serta dengan cara bagaimana data tersebut diperoleh dan diolah.

Data dalam penelitian ini berupa data kualitatif, cara penyajian data yang diperoleh dari lapangan disajikan apa adanya tanpa adanya manipulasi. Sehingga berdasarkan cara penyajian data yang disampaikan, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pengertian metode deskriptif diungkapkan oleh Ali (1990) adalah:

metode yang digunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa sekarang dan dapat dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan data, klasifikasi data, analisis/laporan dengan tujuan utama membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu deskripsi situasi.

Gambaran hasil penelitian yang diperoleh yaitu berupa uraian atau penjelasan dalam bentuk deskripsi tentang berbagai macam pendapat para subyek secara objektif mengenai desain panduan penggunaan metode multisensori.

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. pendekatan ini dipilih berangkat dari sebuah fenomena yang terjadi pada anak


(54)

47 tunagrahita yang sulit memahami makna kata dan kondisi guru yang kesulitan untuk memanfaatkan metode multisensori dikarenakan belum ada petunjuk praktisnya atau pedomannya yang dapat digunakan dalam pembelajaran pemahaman makna kata tersebut.

Alasan pemilihan pendekatan ini karena penelitian ini berupaya untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan, mengutamakan proses bagaimana data dapat diperoleh sehingga data tersebut menjadi akurat dan layak digunakan dalam penelitian. Data atau informasi yang diungkap berupa kata-kata baik secara lisan maupun secara tertulis, gambaran secara deskripsi berdasarkan pertanyaan penelitian yang diperoleh dari subyek tentang pendapatnya dan perbuatannya pada saat dilakukan penelitian.

Mengenai penelitian kualitatif Moleong (2004:6) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa.

B. Sumber Data dan Lokasi Penelitian 1. Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini adalah unsur guru SLB dan siswa/anak tunagrahita ringan. Guru SLB yang dimaksud adalah guru SLB Roudhotul Jannah yang mengajar sebagai guru kelas di kelas 1 SDLB C satu orang, kelas VII SMPLB C satu orang, dan guru kelas X SMALB C satu orang. Jadi jumlah sumber data seluruhnya adalah tiga orang.


(55)

48 Guru-guru tersebut di atas dijadikan sumber data utama selanjutnya disebut sebagai informan utama karena mereka adalah guru kelas untuk anak tunagrahita yang telah disertifikasi dan berada di SLB pusat kegiatan gugus. Mereka juga pernah menjadi guru model dalam kegiatan kelompok kerja guru (KKG) di tingkat gugus. Gambaran informan dari unsur guru sebagai berikut :

Tabel 3.1

Gambaran Informan dari Unsur Guru

NO NAMA USIA L/P JABATAN PENDIDIKAN

1 IR 42 Th P Guru Kelas 1 SDLB C S1/PLB

2 IS 32 Th P Guru Kelas VII

SMPLB C

S1/PLB

3 TRD 45 Th P Guru Kelas X

SMALB C

S1/PLB

Sumber data yang berasal dari unsur siswa/anak adalah anak tunagrahita ringan yang menjadi siswa di kelas yang gurunya dijadikan sumber data. Sumber data dari unsure siswa disebut informan pendukung. Adapun gambaran sumber data dari unsur anak tunagrahita ringan adalah sebagai berikut:


(56)

49 Tabel 3.2

Gambaran Informan dari Unsur Anak Tunagrahita Ringan

NO NAMA USIA L/P KELAS

1 AR 8 Th P Kelas 1 SDLB C

2 ZL 7 Th P Kelas 1 SDLB C

3 RZ 8 Th L Kelas 1 SDLB C

4 IN 15 Th P Kelas VII SMPLB C

5 HS 16 Th P Kelas VII SMPLB C

6 RI 17 Th L Kelas X SMALB C

7 VE 17 Th P Kelas X SMALB C

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SLB Roudhotul Zannah Soreang Kabupaten Bandung. Dipilihnya SLB ini karena sebagai pusat kegiatan gugus, sudah diakreditasi dan memiliki guru bagi anak tunagrahita yang telah disertifikasi serta menjadi guru model dalam kegiatan ditingkat gugus.

C. Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrumen Penelitian Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan maka peneliti akan menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara observasi, dan studi dokumentasi. Ketiga teknik tersebut dilakukan pada tahap studi kondisi


(57)

50 objektif pembelajaran pemahaman makna kata saat ini. Mengenai pedoman observasi, wawancara dan studi dokumentasi dapat dilihat pada lampiran.

1. Observasi

Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi non-partisipatori atau dengan pengamatan langsung tanpa melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan yang dilakukan di lokasi penelitian. Teknik observasi non-partisipatif digunakan untuk melihat perilaku dan tindakan yang dilakukan guru dan siswa dalam setting lingkungan kelas ketika pembelajaran berlangsung. Observasi dilakukan sebagai teknik pengumpulan data utama guna memperoleh kejelasan dan kekayaan informasi yang bersifat faktual dan observeble. Menurut Guba dan Lincoln dalam Moleong (2005), dalam penelitian kualitatif secara metodologis penggunaan observasi dapat mengoptimalkan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan dan sebagainya.

Observasi dilakukan terhadap tiga hal a) pelaksanaan pembelajaran pemahaman makna kata saat ini, b) penerapan metode multisensori dalam pembelajaran pemahaman makna kata yang dilakukan oleh guru, c) faktor pendukung dan penghambat dalam pembelajaran pemahaman makna kata melalui metode multisensori.


(58)

51 2. Wawancara

Menurut Stainback yang dikutip Sugiyono (2005: 72) mengemukakan bahwa wawancara ‘... provide the researcher a means to gain a deeper understanding of how the participant interpret a situation or phenomenon than can be gained through observation alone.’ Jadi dengan wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan (informan) dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi. Teknik wawancara yang dipergunakan dalam pengumpulan data ini terdiri dari wawancara semi terstruktur dan wawancara tak berstruktur.

Wawancara semi terstruktur digunakan dengan tujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya (Sugiyono, 2005: 73). Wawancara dilakukan dalam suasana yang alami, kekeluargaan dan dalam waktu yang fleksibel. Dengan wawancara peneliti dapat mengungkapkan perspektif emik, yaitu pandangan, gagasan dan pikiran dari subyek penelitian. Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dicatat dan dapat disalin menjadi bentuk tulisan/laporan.Peneliti melakukan wawancara terhadap tiga orang subyek guru. Wawancara dilakukan berdasarkan pertanyaan penelitian a) pembelajaran pemahaman makna kata saat ini, b) penerapan metode multisensory dalam pembelajaran pemahaman makna kata yang dilakukan oleh guru, c) factor pendukung dan penghambat dalam pembelajaran pemahaman makna kata melalui


(59)

52 metode multisensory, d) desain penggunaan multi sensori seperti bagaimana yang dapat digunakan dalam pembelajaran makna kata.

3. Studi Dokumentasi

Satori dan Komariah (2010:149) mendefinisikan studi dokumentasi itu adalah “mengumpulkan dokumen dan data yang diperlukan dalam permasalahan penelitian lalu ditelaah secara intens sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan serta pembuktian suatu kejadian.”

Studi dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan:

a. Format asesmen b. Silabus

c. Persiapan Mengajar

d. Catatan Pelaksanaan Pembelajaran Harian

Setelah menentukan teknik pengumpulan data sebagaimana telah dijelaskan di atas maka berikutnya adalah pengembangan instrument penelitian. Pengembangan instrument ini diawali dengan membuat kisi seperti di bawah ini:


(60)

53 Tabel 3.3

Kisi-kisi dan Teknik Pengumpulan Data

DESAIN PANDUAN PENGGUNAAN METODE MULTI SENSORI DALAM PEMBELAJARAN MAKNA KATA BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

No Pertanyaan Penelitian

Aspek Indikator Sumber Data Teknik

1 Bagaimana pembelajaran pemahaman

pemahaman makna kata saat ini?

a. Persiapan • Asesmen, silabus, RPP Guru Anak Wawancara observasi Studi dokumen b. Pelaksanaan • Waktu pelaksanaan

• Penggunaan media

• Evaluasi Guru Anak Wawancara observasi Studi dokumen

c. Penerapan metode multisensori dalam pembelajaran

pemahaman makna kata

• Guru mengintegrasikan berbagai sensori anak tunagrahita ringan ketika pembelajaran Guru Anak Wawancara observasi Studi dokumen

d. Faktor pendukung dan penghambat

• Media

pembelajaran

• Penataan lingkungan

Guru Wawancara

2 Desain panduan penggunaan metode

Perumusan Panduan • Kegiatan pendahuluan

Guru Observasi


(61)

54 multisensory yang

bagaimana yang dapat diterapkan dalam dalam pembelajaran pemahaman makna kata bagi anak tunagrahita ringan?

• Kegiatan inti


(62)

55 D. Teknik Analisis Data Penelitian

Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan teknik analisis data yang dikembangkan dalam penelitian, meliputi : 1) proses pencatatan data, 2) teknik analisis data, dan 3) teknik pemeriksaan dan keabsahan data.

1. Proses Pencatatan Data

Prosedur yang dilakukan agar memudahkan dalam menganalisis data yaitu : pencatatan data, membuat petunjuk tertentu (coding), memilih alat yang digunakan, dan mengadakan analisis data.

a. Pencatatan data

Pencatatan data dilakukan dalam format catatan lapangan yang dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut :

1) Pencatatan awal dilakukan selama wawancara, observasi, studi dokumentasi dengan menggunakan kata kunci.

2) Perluasan yang merupakan bentuk catatan lapangan yang terdiri dari catatan deskriptif dan reflektif yang merupakan tanggapan peneliti

3) Melakukan perbaikan (revisi)

b. Membuat petunjuk tertentu (coding)

Membuat petunjuk tertentu atau pengkodean khusus (coding) pada catatan lapangan agar data mudah dianalisis.


(63)

56 c. Memilih alat yang mudah digunakan

Memilih alat yang mudah digunakan dalam pengumpulan data dilakukan oleh penulis, antara lain menyiapkan notes, pinsil, pulpen/balpoint, alat perekam

d. Mengadakan analisis data

Analisis data dilakukan secara simultan dan intensif setelah selesainya pengumpulan data.

2. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung dari tahap pengumpulan data sampai akhir. Analisis data yang dimaksud adalah kegiatan yang merupakan lanjutan dari langkah pengolahan data. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data ini yaitu melalui reduksi data, penyajian data atau display data dan penarikan kesimpulan (konklusi) dan verifikasi.

Pada tahap reduksi data, peneliti memilih data yang relevan dengan tujuan penelitian. Informasi dari lapangan sebagai bahan mentah disingkat, diringkas, disusun lebih sistematis, serta diangkat pokok-pokok yang penting sehingga mudah dikendalikan.

Penyajian data (display data) dilakukan untuk melihat gambaran/deskripsi keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari


(1)

126 Jannah dalam pelaksanaan pembelajaran pemahaman makna kata belum menerapkan metode multisensori.

d. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Melalui Metode Multsensori.

IR, IS, dan TRD memiliki pendapat yang sama mengenai faktor pendukung dan penghambat dalam pembelajaran pemahaman makna kata melalui metode multisensori ini. Ketiga guru tersebut berpendapat bahwa faktor pendukungnya adalah media pembelajaran sedangkan faktor penghambatnya adalah kemampuan pemahaman makna kata anak tunagrahita ringan yang ada di kelasnya.

2. Desain Panduan Penggunaan Metode Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Bagi Anak Tunagrahita Ringan

Berdasarkan hasil penelitian maka desain panduan ini terdiri dari tiga bab. Bab pertama berisi dasar pemikiran, pengertian multisensori, tujuan, ruang lingkup dan subyeknya, serta dicantumkan adanya diagram alur (flow chart). Bab dua tentang prosedur penggunaan metode multisensori, terdiri dari identifikasi kemampuan pemahaman makna kata, persiapan dan pelaksanaan. Bab tiga tentang evaluasi, berisi tentang cara melakukan evaluasi proses dan evaluasi hasil pembelajaran dengan tes kinerja, teknik penskoran dan penilaian, serta dalam evaluasi ini terdapat kolom deskripsi kemampuan setiap anak dalam setiap evaluasi.


(2)

127 B. Rekomendasi

Berdasarkan pembahasan dan temuan-temuan lapangan maka ada beberapa hal rekomendasi yang terkait dengan:

1. Bagi Guru

Panduan ini dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran pemahaman makna kata sehari-hari. Agar lebih menguasai penerapannya maka perlu adanya pelatihan penggunaan metode multisensori itu sendiri. (prosedurnya perlu dijelaskan, seperti apa?)

2. Bagi Sekolah

Pihak sekolah diharapkan dapat melengkapi (tdk hanya menyediakan tapi juga cara penggunaanya) media pembelajarannya sehingga guru tidak kesulitan mencari media pembelajaran. Untuk penyediaan media pembelajaran pihak sekolah dapat bekerjasama dengan orang tua dan pihak pemerintah.

Diharapkan pula bahwa panduan ini dapat ditetapkan sebagai referensi oleh pihak sekolah. Dengan demikian guru tidak lagi kesulitan mencari sumber penerapan prosedur metode multisensori

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini menghasilkan panduan yang bersifat hipotetik sehingga direkomendasikan adanya penelitian lanjutan untuk menguji


(3)

128 desain tersebut sehingga menjadi panduan yang dapat digunakan secara luas dan valid serta reliable. (kekurangannya, desain penelitiannya).


(4)

128 DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. (1990) Penelitian Kependidikan. Bandung: Angkasa

Alimin, Z. (2009). Hambatan Belajar dan Perkembangan. Tersedia di: zaenalalimin.blogspot.com

Amin, M. (1995). Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud PPTG.

Arikunto, S. (1998) Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Awwah, L. (2006) Upaya Guru dalam Menjelaskan Makna Kata Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia. Skripsi Sarjana PLB FIP UPI. Tidak diterbitkan.

Crain, W. (2007). Teori Perkembangan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Dalwadi (2002). Pengaruh Metoda SAS terhadap Kemampuan Membaca Permulaan Anak Tunagrahita Ringan di SLB Purnama Asih. Skripsi Jurusan PLB FIPUPI Bandung: tidak diterbitkan.

Dede, H. (2006). Meningkatkan Perbendaharaan Kata Pada Anak Autis dengan Menggunakan Metode Multisensori. Skripsi Jurusan PLB FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Depdiknas (2000) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikanas

Depdiknas. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Stndar Isi. Jakarta: Depdiknas

Dimyati dan Moedjiono (2006). Perencanaan Pengajaran di Sekolah Dasar. Bandung: Tarsito.

Edja. (1995). Latihan Bina Bicara Bagi Anak Tunarungu. Modul Perkuliahan Jurusan PLB FIP UPI Bandung: tidak diteritkan

Fathoni, W. (2004). Penelitian Tindakan Kelas di Sekolah Dasar. Semarang: Media Press.

Gauri, P. (2007). Language development Children with Mentally Retarded. Tersedia di:

http://goertzel.org/dynapsyc/2007/Language%20development.htm. [20 Oktober 2011]


(5)

129 Haryanov, N. (1998). Bahasa Pemograman Dengan BASIC. Bandung:

Rosdakarya

Hidayat. (2009). Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan Anak Tunagrahita. Perkulian Prodi PKKh SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan Indriyani, D. (2011). Penalaran Moral Anak Tunagrahita Ditinjau dari

Kemampuan Kognisi dan Pola Pengasuhan Orang Tua. Tesis Prodi PKKh SPs UPI: tidak diterbitkan.

Iwan, S. (…). Focus Group Discussion (Kelompok Diskusi Terarah). Tersedia di: ………

Kustawan, D. (2006). Evaluasi Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Inklusif. Tesis Prodi PKKh SPs UPI: tidak diterbitkan.

Lerner, J. (1988). Learning Disability. New York: Hugton Miflin Company

Mcloughlin dan Lewis. (1986). Assessing Student with Special Needs. Boston: Wesley Publishing.

Moleong, L, J. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Erlangga. Nasution (1982 ), Metode Research, Bandung, Jemmars.

Natawidjaya, R. (2001). Perencanaan dan Strategi Pembelajaran. Modul Perkuliahan FKIP Universitas Terbuka Bandung: tidak diterbitkan. Rahardja, Dj. (2006). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. CRICED: Tsukuba

Jepang

Rochyadi, E. dan Alimin, Z. (2003). Program Pembelajaran Individual Bagi Anak Tunagrahita. Dirjen Dikti: Jakarta.

Rochayadi, E. (2005). Program Pembelajaran Individual Bagi Anak tnagrahita. Jakarta; Dirjen Dikti.

Shodiq, M. (1996). Pendidikan Bagi Anak Disleksia. Jakarta: Dirjen Dikti.

Satori, Dj., dan Komariah, S. (2010) Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Somad, P. (2009). Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan Anak yang Mengalami Gangguan Komunikasi. Perkuliahan Prodi PKKh SPs UPI: tidak diterbitkan.


(6)

130 Sugiyono. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Alfabeta:

Bandung

Suharyati (2005) Multisensori Dalam Pembelajaran Bahasa Ujaran Pada Siswa Tunarungu. Skripsi sarjana PLB FIP UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Sukarja dan Dardjo. (1995) Bina Bicara, Persepsi Bunyi dan Irama. Bandung: Depdikbud.

Sunardi dan Sunaryo. (2006). Intervensi Dini Pada Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.

Suparno, K. (2001). Psikologi Perkembangan Anak Usia Balita. Bandung: Armico.

Surakhmad, S. (1980). Metode Penelitian. Bandung. Tarsito

Tarmansyah (1996) Gangguan Komunikasi. Bandung: Depdikbud Dikti: Tidak diterbitkan.