PERILAKU BERISIKO TERTULAR HIV MELALUI JALUR SEKSUAL PEKERJA BANGUNAN DI PECATU TAHUN 2016.

(1)

UNIVERSITAS UDAYANA

PERILAKU BERISIKO TERTULAR HIV MELALUI JALUR

SEKSUAL PEKERJA BANGUNAN DI PECATU TAHUN 2016

ANASTASIA BUNGA MELANI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(2)

ii

UNIVERSITAS UDAYANA

PERILAKU BERISIKO TERTULAR HIV MELALUI JALUR

SEKSUAL PEKERJA BANGUNAN DI PECATU TAHUN 2016

ANASTASIA BUNGA MELANI

NIM. 1120025039

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(3)

iii

UNIVERSITAS UDAYANA

PERILAKU BERISIKO TERTULAR HIV MELALUI JALUR

SEKSUAL PEKERJA BANGUNAN DI PECATU TAHUN 2016

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

ANASTASIA BUNGA MELANI

NIM. 1120025039

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(4)

(5)

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perilaku Berisiko Tertular HIV Melalui Jalur Seksual Pekerja Bangunan Di Pecatu Tahun 2016”ini tepat pada waktunya.

Ucapan terima kasih diberikan dalam penyusunan skripsi ini kepada:

1. dr. I Md. Ady Wirawan, M.P.H., PhD selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Made Kerta Duana, S.K.M, M.P.H., selaku Ketua Bagian Kesehatan Kerja yang telah memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Dr. dr. Partha Muliawan, MSc.(OM) selaku pembimbing yang telah menyediakan waktu dalam memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Kepala Proyek, Project Manager beserta para staf proyek di Pecatu hingga pekerja

proyek yang telah menyediakan waktu dan tempat, serta memberi masukan, bimbingan dan membantu dalam pengumpulan data untuk penyusunan skripsi ini. 5. Kedua orang tua dan adik-adik yang telah memberikan dukungan material dan

moril dalam penyusunan skripsi ini.

6. Keluarga kecil, suami dan anak tercinta yang selalu memberikan semangat dan membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.

7. Teman–teman mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana angkatan 2012dan semua pihak yang telah membantu dan memberikan masukan-masukan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenaitu, kritik dan saran yang membangunn sangat penulis harapkan.

Denpasar, 01 Juli 2016


(7)

vii

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA BAGIAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA SKRIPSI

JUNI 2016

Anastasia Bunga Melani

Perilaku Berisiko Tertular HIV Melalui Jalur Seksual Pekerja Bangunan Di Pecatu Tahun 2016

ABSTRAK

Pekerja yang termasuk dalam mobile migrant population menjadi salah satu kelompok berisiko terhadap penularan HIV/AIDS dan memiliki kecenderungan melakukan perilaku seksual berisiko (terutama pada PSK). Pekerja bangunan termasuk dalam mobile migrant population karena berasal dari luar daerah, jauh dari pasangan dan keluarga serta berpindah-pindah tempat kerja.Perusahaan ini menyediakan jasa konstruksi, melibatkan pekerja dalam jumlah besar dan seluruh pekerja yang terlibat pada proyek di Pecatu berasal dari luar Bali. Pada Kepmenakertrans No.68 Tahun 2004 dijelaskan bahwa perusahaan wajib melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja dan perusahaan tersebut belum melakukan upaya tersebut.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku berisiko tertular HIV melalui jalur seksual pada pekerja bangunan di Pecatu tahun 2016. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study dengan pendekatan deskriptif kuantitatif. Sampel penelitian sebanyak 105 orang yang merupakan pekerja bangunan proyek di Pecatu. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah systematic random sampling dan alat yang digunakan berupa kuesioner.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 63,8% responden memiliki perilaku berisiko tertular HIV. Perilaku berisiko tertular HIV lebih banyak ditemukan pada kelompok umur ≥20 tahun, responden yang belum menikah, pendidikan rendah, frekuensi yang sering pulang kedaerah asal dalam 6 bulan terakhir, pengetahuan tinggi tentang HIV/AIDS dan tidak pernah mendapatkan penyuluhan tentang HIV/AIDS.

Tingkat pengetahuan yang dikategorikan tinggi tidak sebanding dengan perilaku berisiko tertular HIV melalui jalur seksual yang dimiliki responden pada proyek di Pecatu. Maka dari itu, pihak perusahaan perlu melakukan kerjasama dengan LSM maupun Puskesmas yang memberikan pendampingan kepada pekerja seperti: konseling dan pendidikan HIV/AIDS.


(8)

viii

PUBLIC HEALTH PROGRAM

MEDICAL FACULTY OF UDAYANA UNIVERSITY OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH DIVISION UNDERGRADUATE THESIS

JUNE 2016

Anastasia Bunga Melani

Risk Behavior of HIV-Infected Through Sexual Transmission of Construction Laborers in Pecatu 2016

ABSTRACT

Workers which belong to the mobile migrant population become one of the groups at risk of being infected with HIV/AIDS and have a tendency to do risky sexual behavior (especially on Commercial Sex Worker). Construction laborers is one of the mobile migrant population because they come from outside the region, far from their families and also couples , and moved the workplace. The companies is one of which is provide construction services, and now the company has a project in Pecatu which is involving a large numbers of laborers and employees which comes from outside Bali. In Kepmenakertrans No.68, 2004 explained that the company is obliged to make efforts for preventing and controlling HIV/AIDS in the workplace, whereas the company has not made that effort yet.

The purpose of this study is to determine the risk behavior of HIV-infected through sexual transmition among construction laborers in Pecatu on 2016. This study is used a cross-sectional design with quantitative descriptive approach. Samples are 105 people who are a construction laborers in Pecatu project. The sampling technique is used a systematic random sampling and by using a questionnaire as the instrument.

The results showed that 63,8% of respondents have a risk behavior of

HIV-infected. HIV risk behaviors are more common in respondents at age ≥20 years, low

education, never married, the frequency of construction laborers which often return in the last 6 months, high knowledge about HIV/AIDS and have never been exposed to HIV counseling.

The level of knowledge categorized as high risk behavior is not comparable to contracting HIV through sexual transmition of the respondents in the project in Pecatu . Therefore, employers need to cooperate with NGOs and public health center that provide assistance to workers such as: counseling and HIV/AIDS education .


(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman judul ... i

Halaman judul dengan spesifikasi ... ii

Halaman pernyataan ujian skripsi ... Error! Bookmark not defined. Halaman pernyataan perbaikan skripsi ... Error! Bookmark not defined. Kata pengantar ... vi

Abstrak ... vii

Daftar isi ... ix

Daftar tabel ... xii

Daftar gambar... xiii

Daftar lampiran ... xiv

Daftar singkatan dan lambang ... xv

BAB IPENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Pertanyaan Penelitian ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.4.1. Tujuan Umum ... 4

1.4.2. Tujuan Khusus ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 5

1.5.1. Manfaat Teoritis ... 5

1.5.2. Manfaat Praktis ... 5

1.6. Ruang Lingkup Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 68 tahun 2004 ... 6

2.2. Tenaga Kerja Migran ... 7

2.3. HIV/AIDS ... 8

2.3.1. Pengertian HIV/AIDS ... 8

2.3.2. Cara penularan HIV/AIDS ... 8

2.3.3. Gejala-gejala HIV/AIDS ... 9

2.3.4. Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS ... 9

2.3.4.1.Layanan komprehensif HIV/AIDS yang berkesinambungan ... 9


(10)

x

2.4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku berisiko terhadap HIV/AIDS .

... 12

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL . 14 3.1. Kerangka Konsep ... 14

3.2. Variabel dan Definisi Operasional Variabel ... 16

3.2.1. Variabel penelitian ... 16

3.2.2. Definisi operasional variabel ... 16

BAB IV METODE PENELITIAN ... 19

4.1. Desain Penelitian ... 19

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 19

4.3.1. Populasi ... 19

4.3.2. Sampel ... 19

4.4. Instrumen Penelitian... 20

4.5. Metode Pengumpulan Data ... 20

4.6. Pengolahan data ... 21

4.7. Analisis Data ... 22

4.8. Etika Penelitian ... 22

BAB V HASIL PENELITIAN ... 23

5.1. Karakteristik Responden ... 24

5.2. Keterpaparan Responden Terhadap Penyuluhan ... 26

5.3. Pengetahuan Responden Terkait HIV/AIDS ... 27

5.4. Perilaku Berisiko Responden Tertular HIV Melalui Jalur Seksual ... 29

5.6. Perilaku Berisiko Responden Tertular HIV Melalui Jalur Seksual Berdasarkan Karakteristik Umur, Tingkat Pendidikan, Status Perkawinan, Frekuensi Pulang Ke Daerah Asal, Pengetahuan dan Keterpaparan Terhadap Penyuluhan ... 33

BAB VI PEMBAHASAN ... 34

6.1. Karakteristik Responden ... 34

6.2. Keterpaparan Tehadap Penyuluhan... 35

6.3. Pengetahuan Terkait HIV/AIDS ... 35

6.4. Perilaku Berisiko Tertular HIV Melalui Jalur Seksual ... 36

6.5. Perilaku Berisiko Responden Tertular HIV ... 36

6.6. Keterbatasan penelitian ... 39

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 40

7.1. Simpulan ... 40


(11)

xi

DAFTAR PUSTAKA ... 41 LAMPIRAN ... 43


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ... 16

Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Responden ... 24

Tabel 5.2 Distribusi Mobilitas responden ... 24

Tabel 5.3 Distribusi Status responden ... 26

Tabel 5.4 Distribusi Keterpaparan Responden Terhadap Penyuluhan... 27

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Skor Pengetahuan Responden Tentang HIV/AIDS .. 27

Tabel 5.6 Distribusi Pengetahuan Responden Terkait HIV/AIDS... 28

Tabel 5.7 Distribusi Kategori Perilaku Responden Tertular HIV ... 30

Tabel 5.8 Distribusi Perilaku Berisiko Responden Tertular HIV ... 30

Tabel 5.9 Distribusi Perilaku Mencari PSK ... 32


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informasi dan Persetujuan Mengikuti Penelitian (Informed Consent) Lampiran 2. Lembar Persetujuan Responden Penelitian

Lampiran 3. Kuesioner Penelitian Lampiran 4. Jadwal Penelitian Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian Lampiran 6. Lampiran Stata


(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

Daftar Singkatan

AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome ASA : Aksi Stop AIDS

BPS : Badan Pusat Statistik CDC : Center for Disease Control HIV : Human Immunodeficiency Virus IDU : Injecting Drug User

ILO : Intenasional Labour Organization KIE : Komunikasi, Informasi dan Edukasi K3 : Keselamatan dan Kesehatan Kerja LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MDGs : Millenium Development Goal ODHA : Orang dengan HIV/AIDS PSK : Pekerja Seks Komersial

STBP : Survei Terpadu Biologis dan Perilaku TAR : Terapi Anti Retroviral

Daftar Lambang


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit menular akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh serta mengakibatkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh dan mudah terinfeksi berbagai penyakit lain. Sebelum memasuki fase AIDS, penderita berstatus HIV positif. Hingga saat ini belum ada vaksin untuk mencegah HIV/AIDS dan pengobatan yang dapat dilakukan hanya dengan peningkatan Terapi Anti Retroviral (TAR) yang efektif dan terjangkau untuk memperpanjang usia dan memelihara kehidupan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (World Health Organization, 2005). Kejadian HIV/AIDS menjadi perhatian seluruh dunia termasuk Indonesia hingga mencantumkan HIV/AIDS sebagai tujuan Millenium Development Goals (MDGs) yang ke enam. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka kejadian HIV/AIDS di Indonesia dan upaya mengendalikan penyebaran serta menurunkan jumlah kasus baru. Salah satu upaya yang telah dilakukan yaitu penggunaan kondom pada hubungan seksual yang berisiko tinggi menularkan HIV/AIDS. Namun upaya ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan, berdasarkan hasil Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011 menunjukkan bahwa penggunaan kondom baru mencapai 35% pada pekerja seks komersial (PSK) dan 14% pada pelanggan. Upaya pencegahan lainnya berupa peningkatan pengetahuan penduduk melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Penguatan penanggulangan HIV/AIDS juga dilakukan melalui penerbitan berbagai peraturan daerah terkait pencegahan dan penanggulangannya. Peraturan tentang penanggulangan HIV/AIDS di Bali diatur dalam Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2005 (Bappenas, 2012).

Menurut data Riskesdas 2010, berdasarkan status perkawinan orang yang sudah kawin kejadian HIV/AIDS sebesar 70,9% dan sebanyak 51,2% terjadi didaerah perkotaan. Menurut tingkat pendidikan kejadian terbesar pada kelompok tamat SD sebesar 29,2% dan 32,6% terjadi pada kelompok pekerja petani/nelayan/buruh (KementerianKesehatan Republik Indonesia, 2010).


(17)

2

Pengetahuan terkait cara penularan HIV pada petani/nelayan dan buruh yang mengetahui penularan HIV melalui hubungan seksual yang tidak aman sebesar 33,6%, penggunaan jarum suntik bersama sebesar 31,0% dan transfusi darah yang tidak aman sebesar 26,8%. Setelah tiga tahun berturut-turut (2010-2012) jumlah kasus HIV positif dan AIDS di Indonesia cukup stabil yaitu 21.591 (2010), 21.031 (2011), 21.511 (2012), namun mengalami peningkatan pada tahun 2013 sebanyak 29.037 jumlah kasus baru HIV positif dengan kenaikan mencapai 35%. Menurut jenis kelamin, persentase kasus baru AIDS 2013 pada kelompok laki-laki 1,9 kali lebih besar dibandingkan pada kelompok perempuan. Berdasarkan kelompok umur sebagian besar kasus baru AIDS pada usia 20-29 tahun yang termasuk kelompok usia produktif yang aktif secara seksual. Cara penularan dengan hubungan heteroseksual merupakan persentase tertinggi sebesar 78%, selanjutnyainjecting drug user (IDU) sebesar 9,3% dan homoseksual sebesar 4,3% (KementerianKesehatan Republik Indonesia, 2014). Data laporan menurut Ditjen PP dan PL Kemenkes RI 2014, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Bali sebanyak 9.637 dengan HIV dan AIDS 4.261 sedangkan prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk Bali menempati urutan ke 3 sebesar 109, 52% setelah Papua Barat dan Papua.

Pekerja yang termasuk dalam mobile migrant population menjadi salah satu kelompok yang berisiko terhadap penularan HIV/AIDS. Hal ini disebabkan oleh perpindahan tempat kerja dalam waktu yang relatif singkat dengan menghabiskan waktu yang lama di tempat tujuan bekerja, jauh dari keluarga dan pertumbuhan industri seks disekitar lingkungan kerjanya. Pada penelitian yang dilakukan Hugo, (2001) terdapat hubungan yang jelas antara penduduk yang memiliki mobilitas tinggi dengan kecenderungan melakukan perilaku seksual berisiko (terutama pada PSK) dibandingkan dengan kelompok yang kurang dinamis.Gaji yang didapatkan seminggu sekali cenderung digunakan untuk melakukan transaksi seks dengan perempuan pekerja seks komersial (PSK) (Rokhmah, 2014).

Salah satu sektor pekerjaan yang termasuk kedalam mobile migrant population adalah pekerja bangunan. Hal ini disebabkan para pekerja bangunan berasal dari luar daerah, jauh dari pasangan dan keluarga, serta berpindah-pindah dan menetap disuatu tempat dalam waktu yang singkat. Di Ho Chi Minh City, Vietnam, pekerja konstruksi yang bergerak menjadi salah satu kelompok yang dianggap paling rentan untuk terinfeksi HIV dan untuk berperan dalam penyebarannya (United Nations


(18)

3

Development Programs, 2003). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mutia, (2008) terdapat 18% perilaku seksual berisiko pada pekerja bangunan, hal ini harus menjadi perhatian yang serius karena dapat menjadi jembatan penyebaran HIV dari kelompok yang berisiko tinggi (PSK) pada kelompok yang berisiko rendah (ibu rumah tangga dan anak-anak).

Berbagai faktor mempengaruhi perilaku berisiko pada pekerja bangunan dan salah satu yang mempengaruhi yaitu pengetahuan. Hasil penelitian pada pekerja bangunan yang dilakukan oleh Mutia, (2008) menunjukkan bahwa responden yang memiliki informasi kurang mengenai HIV/AIDS berisiko 4,8 kali kemungkinan untuk berperilaku seksual berisiko dibandingkan responden yang memiliki informasi yang cukup. Menurut Luthfiana, (2012) hasil analisis bivariat antara pengetahuan, sikap dan perilaku berisiko, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara variabel pengetahuan dan sikap terhadap HIV/AIDS dengan nilai p=0,002 dan antara sikap dengan pengetahuan berisiko HIV/AIDS nilai p=0,001. Responden yang memiliki pengetahuan rendah mempunyai peluang 1,78 kali untuk berperilaku berisiko HIV/AIDS. Salah satu perusahaan yang memobilisasi pekerja bangunan dalam jumlah besar adalah perusahaan yang menyediakan jasa konstruksi.

Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan yang menyediakan jasa kontruksi milik swasta. Salah satu proyek yang saat ini masih berjalan terletak di Pecatu. Pada saat ini pembangunan masih dalam tahap pekerjaan struktur yang melibatkan 300 pekerja bangunan yang berasal dari luar Bali, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh pekerja bangunan tersebut merupakan pekerja migran. Menurut Hugo, (2001) hubungan antara buruh migran dan industri seks menjadi titik penting dalam penyebaran HIV/AIDS. Titik penting disini adalah PSK di Indonesia bekerja jauh dari kampung halamannya, hal ini juga terjadi pada buruh migran yang menggunakan jasa PSK. Sehingga terdapat ancaman “persebaran ganda”. Hal ini dibuktikan dengan studi kasus yang dilakukan di Irian Jaya/Papua, bahwa memang terbukti baik daerah asal buruh migran serta PSK sama-sama terpusat disatu daerah tertentu. Pada saat wawancara langsung yang dilakukan pada 10 pekerja sebanyak 6 pekerja bangunan mengetahui informasi mengenai HIV/AIDS dan 4 pekerja tidak. Pengetahuan terkait penyebab HIV/AIDS sebanyak 4 pekerja mengatakan disebabkan oleh virus, seorang pekerja menjawab oleh bakteri dan 5 pekerja tidak mengetahui penyebab HIV/AIDS. Seluruh pekerja juga tidak pernah mendapatkan


(19)

4

dan mengikuti penyuluhan terkait HIV/AIDS. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 68 tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulan HIV/AIDS di Tempat Kerja mewajibkan perusahaan untuk melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja, perusahaan ini belum melakukan upaya tersebut, sehingga sesuai dengan wawancara yang dilakukan pada 10 pekerja bahwa selama proyek tersebut berlangsung belum pernah dilakukan penyuluhan terkait penanggulan dan upaya pencegahan HIV/AIDS.

1.2. Rumusan Masalah

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 68 tahun 2004 mewajibkan perusahaan untuk melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja. Perusahaan ini belum melakukan upaya tersebut, disamping itu pekerja bangunan yang dipekerjakan merupakan pekerja migran yang memungkinkan adanya perilaku berisiko HIV/AIDS. Berdasarkan pengamatan awal dari proses wawancara dengan 10 pekerja bangunan, diperoleh bahwa sebanyak 50% pekerja tidak mengetahui penyebab HIV/AIDS dan 40% pekerja tidak mengetahui informasi HIV/AIDS, hal ini menunjukkan perlunya penggalian informasi mengenai pengetahuan terhadap HIV/AIDS.

1.3.Pertanyaan Penelitian

1.3.1. Bagaimana tingkat pengetahuan pekerja bangunan tentang HIV di Pecatu tahun 2016?

1.3.2. Bagaimana perilaku berisiko tertular HIV yang melalui jalur seksual pekerja bangunan di Pecatu tahun 2016?

1.4.Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum penelitian ini yaitu untuk mengetahui perilaku berisiko tertular HIV yang melalui jalur seksual pekerja bangunan di Pecatu tahun 2016.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik individu pada pekerja bangunan di Pecatu tahun 2016.

2. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pekerja bangunan tentang HIV di Pecatu tahun 2016.


(20)

5

3. Untuk mengetahui perilaku berisiko tertular HIV yang melalui jalur seksual pekerja bangunan di Pecatu tahun 2016

1.5.Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai tingkat pengetahuan dan perilaku berisiko tertular HIV melalui jalur seksual pada pekerja bangunan.

2. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan terutama berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan perilaku pekerja bangunan tentang HIV.

1.5.2. Manfaat Praktis

1. Memberikan gambaran kepada pihak perusahaan yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan perilaku berisiko tertular HIV melalui jalur seksual pada pekerja bangunan di Pecatu tahun 2016.

2. Memberikan masukan kepada pihak perusahaan untuk membuat program terkait upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS melalui kerja sama dengan instansi kesehatan dalam hal screening dan penyediaan obat bagi pekerja bangunan yang terlibat dalam proyek perusahaan.

1.6.Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) khususnya berkaitan dengan produktivitas kerja pada pekerja bangunan yang disebabkan oleh pengetahuan dan perilaku berisiko HIV melalui jalur seksual pada pekerja bangunan di Pecatu tahun 2016.


(21)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 68 tahun 2004

Peraturan terkait pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja dapat dilihat pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 68 tahun 2004. Keputusan ini dibuat berdasarkan Code of Parctice Intenasional Labour Organization (ILO) mengenai HIV/AIDS di tempat kerja yang melarang perusahaan untuk melakukan segala bentuk diskriminasi dan penyaringan dalam proses rekrutmen dan promosi. Keputusan tersebut juga dibuat untuk mewajibkan perusahaan merumuskan kebijakan serta menciptakan program pencegahan di tempat kerja. Adapun hal yang melatarbelakangi terbentuknya kebijakan ini adalah kasus HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat dan banyak terjadi pada usia produktif yang akan memberikan dampak negatif terhadap produktivitas perusahaan (KementerianTenaga Kerja dan Transmigrasi, 2004). Untuk mengantisipasi dampak HIV/AIDS di tempat kerja perlu adanya upaya pencegahan dan penanggulangan yang optimal. Pedoman bagi perusahaan dan pekerja/buruh dalam pelaksanaan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS melalui program Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 68 tahun 2004 perusahaan wajib untuk melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja dengan melaksanakan beberapa hal meliputi:

a. Mengembangkan kebijakan tentang upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS;

b. Mengkomunikasikan kebijakan dengan cara memberikan informasi dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan;

c. Memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh dengan HIV/AIDS dari tindakan dan perlakuan diskriminasi;

d. Menerapkan prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) khusus untuk pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS sesuai dengan standar.


(22)

7

Sepanjang tahun 2003, ILO memprakarsai sebuah upaya untuk mendorong Pemerintah Indonesia, asosiasi pengusaha dan serikat pekerja menandatangani Deklarasi Komitmen Tripartit (Pemerintah khususnya Departemen Tenaga Kerja, perwakilan asosiasi pengusaha dan serikat pekerja) untuk bertindak dalam menanggulangi HIV/AIDS di dunia kerja, yang berpedoman pada Code of ParcticeILO untuk mendorong dan mendukung upaya stigma dan diskriminasi. Sebagai tindak lanjut deklarasi tersebut, ILO bekerjasama dengan Departemen Tenaga Kerja dan Aksi Stop AIDS (ASA) untuk menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi dan pelatihan dalam penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja pada tingkat nasional dan regional. Yang menjadi peserta diambil dari kantor-kantor Departemen Tenaga Kerja di tingkat nasional dan regional. Proses ini mendorong pengembangan lebih lanjut kerangka hukum dari Keputusan Menteri yang meliputi: a. Menetapkan dan menempatkan upaya-upaya anti stigma dan anti diskriminasi; b. Menyediakan akses bagi para pekerja di sektor formal untuk memperoleh

informasi, layanan pencegahan HIV/AIDS serta upaya-upaya non-diskriminasi di tempat kerja.

Jumlah perusahaan yang memiliki kebijakan dan program HIV/AIDS di tempat kerja sebanyak 35 dengan total perusahaan yang terdapat di Indonesia sebanyak 60.000, 110 perusahaan berpartisipasi dalam program pencegahan HIV/AIDS serta 550.000 pekerja telah menjangkau informasi dan pendidikan mengenai HIV/AIDS di tempat kerja. ILO Jakarta dan ASA menyelenggarakan berbagai pertemuan tingkat tinggi dan pelatihan tingkat nasional mengenai program kebijakan HIV/AIDS di tempat kerja. Sebanyak 250 perusahaan menghadiri pelatihan yang diadakan di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Batam (Husain, 2005).

2.2. Tenaga Kerja Migran

Migrasi tenaga kerja didefinisikan sebagai perpindahan manusia yang melintasi perbatasan negara, provinsi, kabupaten/kota dengan tujuan mendapatkan pekerjaan di wilayah tersebut. Migrasi tenaga kerja di Asia termasuk Indonesia sebagian besar bersifat temporer, yaitu pekerja mempunyai kontrak selama satu atau dua tahun. Selain itu tenaga kerja migran didominasi oleh pekerja dengan keterampilan rendah seperti pekerjaan di proyek bangunan, rumah tangga, pertanian, industri pegolahan dan sektor jasa. Tenaga kerja migran dapat dibedakan menjadi dua yaitu tenaga migran internasional dan tenaga migran internal. Tenaga migran internasional


(23)

8

merupakan buruh migran yang berpindah melintasi perbatasan negara, sedangkan tenaga migran internal merupakan buruh migran yang melewati batas provinsi atau kabupaten/kota. Salah satu jenis pekerjaan yang memiliki mobilitas yang tinggi dan termasuk tenaga migran adalah pekerja/buruh bangunan (International Organization for Migration, 2010).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Denpasar tahun 2013 persentase tenaga kerja bangunan/konstruksi7,17% untuk kota Denpasar dan Bali sebesar 9,29%.Perusahaan ini menyediakan jasa konstruksi dan salah satu pembangunan yang sedang berjalan adalah proyek di Pecatu. Sebanyak 300 pekerja/buruh migran terlibat dalam pembangunan ini dan semuanya tidak tinggal bersama keluarga atau pasangan mereka.

2.3. HIV/AIDS

2.3.1. Pengertian HIV/AIDS

HIV merupakan virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama CD4 sehingga merusak sistem kekebalan tubuh. Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang biak virus HIV baru, kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat penting untuk sistem kekebalan tubuh agar tidak mudah terserang penyakit (Hasdianah dan Dewi, 2014). HIV hidup di semua cairan tubuh manusia, tetapi dapat ditularkan melalui darah, air mani (bukan sperma), cairan vagina, dan ASI (Murni dkk., 2003).

AIDS merupakan suatu kondisi medis yang berupa kumpulan gejala karena terinfeksi HIV yang menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh, sering berwujud infeksi yang bersifat ikutan (oportunistik) dan hingga saat ini belum ditemukan vaksin dan obat penyembuhannya (Kemenakertrans, 2004). Pada saat kekebalan tubuh melemah, muncul berbagai masalah kesehatan dan gejala yang biasanya muncul batuk, demam atau diare. Namun, setelah terinfeksi HIV tidak segera muncul gejala, karena diperlukan waktu lama untuk terjadinya replikasi virus.

2.3.2. Cara penularan HIV/AIDS

Adapun kegiatan yang dapat menularkan HIV adalah menurut Murni dkk., (2003) sebagai berikut:

1. Hubungan seks tanpa kondom pada kelompok yang berisiko. 2. Jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan dipakai bergantian.


(24)

9

3. Peralatan dokter yang tidak steril.

4. Mendapatkan transfusi darah yang mengandung HIV.

5. Ibu yang positif HIV dan menularkan pada janinnya dalam kandungan, ketika melahirkan dan saat memberikan ASI.

HIV tidak dapat menular dengan cara: bersentuhan, berciuman, bersalaman, berpelukan, peralatan makan dan minum, gigitan nyamuk, tinggal serumah dengan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan duduk bersama dalam satu ruangan (Murni dkk., 2003).

2.3.3. Gejala-gejala HIV/AIDS

Apabila seseorang sudah terinfeksi HIV tidak segera timbul gejala, karena butuh waktu untuk terjadinya replikasi virus. Masa inkubasi infeksi HIV berbeda-beda tergantung pada dosis infeksi dan daya tahan tubuh individu dengan HIV. Untuk keperluan survei AIDS di Indonesia berpedoman pada definisi kasus AIDS yang disusun oleh US Center for Disease Control (CDC) dan disetujui oleh WHO. Berdasarkan diagnosis tersebut, AIDS ditetapkan bila terdapat gejala mayor dan minor meliputi (Mutia, 2008):

1. Gejala mayor:

 Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan.

 Diare kronis lebih dari 1 bulan, baik berulang maupun terusmenerus.  Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 bulan.

2. Gejala minor:

 Batuk kronis selama lebih dari 1 bulan.

 Infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh jamur Candida albicans.

 Munculnya Herpes zorter berulang.

2.3.4. Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS

2.3.4.1. Layanan komprehensif HIV/AIDS yang berkesinambungan

Layanan komprehensif merupakan upaya yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Layanan yang berkesinambungan adalah layanan HIV/AIDS secara paripurna. Dalam kaitannya layanan komprehensif dan berkesinambungan di tempat kerja harus melibatkan pihak ketiga seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau puskesmas terdekat yang sesuai dengan Kepmenakertrans No. 68 tahun


(25)

10

2004. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012 jenis layanan komprehensif HIV/AIDS meliputi:

a. Promosi dan pencegahan: promosi kesehatan (KIE), ketersediaan dan akses alat pencegahan (kondom), dan life skills education. Upaya promosi dan pencegahan dalam kaitannya pada buruh migran (pekerja bangunan) dapat dilakukan oleh perusahaan dengan memberikan penyuluhan terkait pemahaman HIV/AIDS, pencegahan dan risiko yang terjadi pada pekerja dan lingkungan sekitar. Sesuai dengan Kepmenakertrans No. 68 tahun 2004 perusahaan wajib memberikan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja, karena setiap pekerja memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan memberikan pengetahuan pada pekerja dan menyediakan akses alat pencegahan berupa kondom secara gratis oleh pekerja akan meminimalisir perilaku berisiko pada pekerja.

b. Tata laksana klinis HIV/AIDS: tatalaksana medis dasar, terapi ARV dan dukungan gizi. Kepmenakertrans No. 68 tahun 2004 tidak mewajibkan pekerja untuk melakukan tes HIV, tes ini dilakukan secara sukarela dengan persetujuan tertulis. Pihak perusahaan dilarang melakukan tes HIV untuk proses perekrutan atau sebagai pemeriksaan kesehatan rutin. Dan tidak melakukan pemecatan pada pekerja dengan alasan positif HIV. Apabila terdapat pekerja yang positif HIV dengan melakukan tes secara sukarela, pihak perusahaan harus memfasilitasi dan memberikan informasi bagi pekerja dalam mengakses ARV untuk menekan perkembangan virus.

c. Dukungan psikososial, legal dan ekonomi: dukungan psikososial, spiritual, sosial, ekonomi dan dukungan legal. Apabila buruh migran (pekerja bangunan) dengan sukarela melakukan tes HIV dan hasil tes tersebut positif, pihak perusahaan harus memberikan perlindungan pada pekerja dari diskriminasi sesuai yang tercantum dalam Kepmenakertrans No. 68 tahun 2004.

Dengan memusatkan upaya pencegah HIV/AIDS di tempat kerja, maka pekerja yang berisiko bisa dijangkau. Tempat kerja merupakan tempat berkumpulnya sejumlah besar pekerja yang sebagian besar waktunya dihabiskan di tempat kerja. Selain itu tempat kerja juga memungkinkan untuk diselenggarakannya program pendidikan kesehatan. Program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di


(26)

11

tempat kerja merupakan salah satu upaya yang efektif dan membutuhkan biaya yang lebih sedikit (Mutia, 2008).

2.3.5. HIV/AIDS pada mobile migrant population

Penduduk Indonesia memiliki mobilitas tinggi dan menjadi salah satu dari dua atau tiga kelompok buruh migran di dunia. Ini merupakan potensi besar dalam penyebaran HIV/AIDS. Pada tiap kasusnya ada satu elemen mobilitas penduduk yang jelas berpengaruh terhadap tingginya kasus HIV/AIDS melalui buruh migran yang berkaitan dengan industri seks komersial di tiap provinsi. Pertumbuhan industri seks komersial dimana terdapat konsentrasi buruh migran memberikan risiko infeksi yang lebih besar. Daerah semacam itu termasuk wilayah transit, tempat kerja yang mempekerjakan buruh migran dalam jumlah besar, pelabuhan dan dermaga, lokasi konstruksi dan perkebunan. Ada pola yang jelas dalam kasus penduduk dengan mobilitas tinggi yang memiliki kecenderungan berperilaku risiko tinggi terutama dalam hal berhubungan seksual dengan PSK dibandingkan dengan kelompok yang kurang dinamis. Bentuk paling dominan dari mobilitas penduduk internal masyarakat Indonesia sekarang ini adalah migrasi buruh. Ini biasanya melibatkan para buruh yang meninggalkan keluarga, kebanyakan berasal dari desa, penduduk asli dan sering bepergian dalam jarak yang lumayan jauh untuk bekerja di kota, perusahaan tambang, pabrik dan lokasi pembangunan yang terdiri dari orang dewasa muda. Buruh migran ini termasuk dalam kelompok berisiko tinggi (Hugo, 2001).

Beberapa jenis pekerjaan memiliki risiko terinfeksi HIV/AIDSadalah mobile migrant population merupakan salah satu kelompok yang berisiko terhadap penularan HIV/AIDS. Hal ini dikarenakan tuntutan pekerjaan yang sering berpindah tempat, jauh dari pasangan ataupun keluarga dan lepas dari kungkungan perilaku tradisional terutama terkait perilaku seksual. Mobile migrant population memiliki pola dan tingkat mobilitas yang berbeda-beda yang turut menjadi faktor pengaruh terhadap tingginya perilaku seksual berisiko. Menurut Hugo, (2001) terdapat hubungan yang jelas antara penduduk yang memiliki mobilitas tinggi dengan kecenderungan melakukan perilaku seksual berisiko (terutama pada PSK) dibandingkan dengan kelompok yang kurang dinamis. Proporsi hasil survei terkait perilaku seksual buruh bangunan migran di Denpasar menunjukkan 90% responden pernah melakukan hubungan seksual dengan PSK, orang asing ataupun pacar sendiri. Sebagian besar respon berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan dan tanpa


(27)

12

menggunakan kondom. Proporsi perilaku seksual pada pekerja migran sebanyak 43% pernah berhubungan seksual dengan PSK dan dari jumlah tersebut sebanyak 86% mengaku tidak menggunakan kondom. Berdasarkan hasil analisis menurut jenis pekerjaan epidemi HIV/AIDS banyak terkonsentrasi pada buruh (42%). Berdasarkan hasil analisis menurut jenis pekerjaan epidemi HIV/AIDS banyak terkonsentrasi pada buruh (42%). Hal ini menunjukkan bahwa besar risiko pada kelompok mobile migrant population dan pekerja bangunan merupakan salah satu dalam kelompok tersebut (Mariyah, 1992; Berliana, 1999).

2.4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku berisiko terhadap HIV/AIDS

1. Tingkat pendidikan

Pendidikan berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menerima serta merespon informasi yang diperolehnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kemampuan menyerap informasi kesehatan juga semakin baik. Namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Amiruddin dan Yanti, (2011)hubungan tingkat pendidikan dengan tindakan berisiko tertular HIV/AIDS pada anak jalanan bahwa yang melakukan tindakan berisiko responden yang tingkat pendidikannya tinggi lebih besar dari pada tingkat pendidikannya rendah. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Luthfiana, (2012) bahwa hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi pendidikan tinggi dan rendah dengan perilaku berisiko terhadap penyakit HIV/AIDS (p=0,640).

2. Status perkawinan

Status sudah kawin terkadang menunjukkan hubungan dengan perilaku seksual berisiko. Hasil penelitian Mutia, (2008) sebanyak 26% responden yang melakukan perilaku seksual berisiko berstatus sudah kawin dan 14% responden yang melakukan perilaku seksual berisiko berstatus belum kawin. Status kawin ditemukan terdapat hubungan dengan perilaku seksual berisiko pada penduduk yang sering berpindah-pindah, jauh dari pasangan atau keluarga (mobile migrant population).

3. Frekuensi pulang ke daerah asal

Menurut Berliani, (1999) terkait perilaku seksual pekerja migran (TKI) sebanyak 41,2% melakukan hubungan seks karena dorongan batin dan 23,5% alasan kesepian, bosan dan mencari hiburan. Sebagian besar responden dapat menjenguk


(28)

13

keluarga 2 atau 3 kali dalam setahun. Kondisi yang jauh dari pasangan karena terikat kontak kerja yang panjang (rata-rata dua tahun) sering menyebabkan pekerja migran untuk melakukan hubungan seks tidak dengan pasangannya. Masa kerja yang panjang dan kesempatan yang minim untuk bertemu keluarga dapat memicu kebosanan dan kesepian serta tekanan batin bagi pekerja migran dengan kebutuhan seksual yang tidak terpenuhi.

4. Keterpaparan terhadap penyuluhan

Di Ho Chi Minh City, Vietnam, terdapat hubungan antara keterpaparan penyuluhan terhadap peningkatan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada pekerja bangunan. Terdapat peningkatan yang signifikan berkaitan dalam hal pemahaman HIV, efektivitas kondom, keyakinan pekerja bangunan dalam mendapatkan serta memakai kondom dan keputusan untuk para pekerja bangunan yang terpapar dengan program penyuluhan (UNDP, 2003).

Hasil analisis bivariat antara keterpaparan terhadap penyuluhan dengan perilaku seksual berisiko pada buruh bangunan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p=0,496). Akan tetapi terdapat kecenderungan bahwa responden yang pernah mengikuti penyuluhan justru memiliki perilaku seksual yang berisiko dibandingkan responden yang belum pernah mengikuti penyuluhan. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah responden yang pernah mengikuti penyuluhan dan memiliki perilaku seksual berisiko pada buruh bangunan sebesar 24%, persentase ini lebih besar dibandingkan dengan jumlah responden yang belum mengikuti penyuluhan dan memiliki perilaku seksual berisiko yaitu sebesar 17% (Mutia, 2008).


(1)

merupakan buruh migran yang berpindah melintasi perbatasan negara, sedangkan tenaga migran internal merupakan buruh migran yang melewati batas provinsi atau kabupaten/kota. Salah satu jenis pekerjaan yang memiliki mobilitas yang tinggi dan termasuk tenaga migran adalah pekerja/buruh bangunan (International Organization for Migration, 2010).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Denpasar tahun 2013 persentase tenaga kerja bangunan/konstruksi7,17% untuk kota Denpasar dan Bali sebesar 9,29%.Perusahaan ini menyediakan jasa konstruksi dan salah satu pembangunan yang sedang berjalan adalah proyek di Pecatu. Sebanyak 300 pekerja/buruh migran terlibat dalam pembangunan ini dan semuanya tidak tinggal bersama keluarga atau pasangan mereka.

2.3. HIV/AIDS

2.3.1. Pengertian HIV/AIDS

HIV merupakan virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama CD4 sehingga merusak sistem kekebalan tubuh. Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang biak virus HIV baru, kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat penting untuk sistem kekebalan tubuh agar tidak mudah terserang penyakit (Hasdianah dan Dewi, 2014). HIV hidup di semua cairan tubuh manusia, tetapi dapat ditularkan melalui darah, air mani (bukan sperma), cairan vagina, dan ASI (Murni dkk., 2003).

AIDS merupakan suatu kondisi medis yang berupa kumpulan gejala karena terinfeksi HIV yang menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh, sering berwujud infeksi yang bersifat ikutan (oportunistik) dan hingga saat ini belum ditemukan vaksin dan obat penyembuhannya (Kemenakertrans, 2004). Pada saat kekebalan tubuh melemah, muncul berbagai masalah kesehatan dan gejala yang biasanya muncul batuk, demam atau diare. Namun, setelah terinfeksi HIV tidak segera muncul gejala, karena diperlukan waktu lama untuk terjadinya replikasi virus. 2.3.2. Cara penularan HIV/AIDS

Adapun kegiatan yang dapat menularkan HIV adalah menurut Murni dkk., (2003) sebagai berikut:

1. Hubungan seks tanpa kondom pada kelompok yang berisiko. 2. Jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan dipakai bergantian.


(2)

3. Peralatan dokter yang tidak steril.

4. Mendapatkan transfusi darah yang mengandung HIV.

5. Ibu yang positif HIV dan menularkan pada janinnya dalam kandungan, ketika melahirkan dan saat memberikan ASI.

HIV tidak dapat menular dengan cara: bersentuhan, berciuman, bersalaman, berpelukan, peralatan makan dan minum, gigitan nyamuk, tinggal serumah dengan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan duduk bersama dalam satu ruangan (Murni dkk., 2003).

2.3.3. Gejala-gejala HIV/AIDS

Apabila seseorang sudah terinfeksi HIV tidak segera timbul gejala, karena butuh waktu untuk terjadinya replikasi virus. Masa inkubasi infeksi HIV berbeda-beda tergantung pada dosis infeksi dan daya tahan tubuh individu dengan HIV. Untuk keperluan survei AIDS di Indonesia berpedoman pada definisi kasus AIDS yang disusun oleh US Center for Disease Control (CDC) dan disetujui oleh WHO. Berdasarkan diagnosis tersebut, AIDS ditetapkan bila terdapat gejala mayor dan minor meliputi (Mutia, 2008):

1. Gejala mayor:

 Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan.

 Diare kronis lebih dari 1 bulan, baik berulang maupun terusmenerus.  Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 bulan.

2. Gejala minor:

 Batuk kronis selama lebih dari 1 bulan.

 Infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh jamur Candida albicans.

 Munculnya Herpes zorter berulang.

2.3.4. Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS

2.3.4.1. Layanan komprehensif HIV/AIDS yang berkesinambungan

Layanan komprehensif merupakan upaya yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Layanan yang berkesinambungan adalah layanan HIV/AIDS secara paripurna. Dalam kaitannya layanan komprehensif dan berkesinambungan di tempat kerja harus melibatkan pihak ketiga seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau puskesmas terdekat yang sesuai dengan Kepmenakertrans No. 68 tahun


(3)

2004. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012 jenis layanan komprehensif HIV/AIDS meliputi:

a. Promosi dan pencegahan: promosi kesehatan (KIE), ketersediaan dan akses alat pencegahan (kondom), dan life skills education. Upaya promosi dan pencegahan dalam kaitannya pada buruh migran (pekerja bangunan) dapat dilakukan oleh perusahaan dengan memberikan penyuluhan terkait pemahaman HIV/AIDS, pencegahan dan risiko yang terjadi pada pekerja dan lingkungan sekitar. Sesuai dengan Kepmenakertrans No. 68 tahun 2004 perusahaan wajib memberikan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja, karena setiap pekerja memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan memberikan pengetahuan pada pekerja dan menyediakan akses alat pencegahan berupa kondom secara gratis oleh pekerja akan meminimalisir perilaku berisiko pada pekerja.

b. Tata laksana klinis HIV/AIDS: tatalaksana medis dasar, terapi ARV dan dukungan gizi. Kepmenakertrans No. 68 tahun 2004 tidak mewajibkan pekerja untuk melakukan tes HIV, tes ini dilakukan secara sukarela dengan persetujuan tertulis. Pihak perusahaan dilarang melakukan tes HIV untuk proses perekrutan atau sebagai pemeriksaan kesehatan rutin. Dan tidak melakukan pemecatan pada pekerja dengan alasan positif HIV. Apabila terdapat pekerja yang positif HIV dengan melakukan tes secara sukarela, pihak perusahaan harus memfasilitasi dan memberikan informasi bagi pekerja dalam mengakses ARV untuk menekan perkembangan virus.

c. Dukungan psikososial, legal dan ekonomi: dukungan psikososial, spiritual, sosial, ekonomi dan dukungan legal. Apabila buruh migran (pekerja bangunan) dengan sukarela melakukan tes HIV dan hasil tes tersebut positif, pihak perusahaan harus memberikan perlindungan pada pekerja dari diskriminasi sesuai yang tercantum dalam Kepmenakertrans No. 68 tahun 2004.

Dengan memusatkan upaya pencegah HIV/AIDS di tempat kerja, maka pekerja yang berisiko bisa dijangkau. Tempat kerja merupakan tempat berkumpulnya sejumlah besar pekerja yang sebagian besar waktunya dihabiskan di tempat kerja. Selain itu tempat kerja juga memungkinkan untuk diselenggarakannya program pendidikan kesehatan. Program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di


(4)

tempat kerja merupakan salah satu upaya yang efektif dan membutuhkan biaya yang lebih sedikit (Mutia, 2008).

2.3.5. HIV/AIDS pada mobile migrant population

Penduduk Indonesia memiliki mobilitas tinggi dan menjadi salah satu dari dua atau tiga kelompok buruh migran di dunia. Ini merupakan potensi besar dalam penyebaran HIV/AIDS. Pada tiap kasusnya ada satu elemen mobilitas penduduk yang jelas berpengaruh terhadap tingginya kasus HIV/AIDS melalui buruh migran yang berkaitan dengan industri seks komersial di tiap provinsi. Pertumbuhan industri seks komersial dimana terdapat konsentrasi buruh migran memberikan risiko infeksi yang lebih besar. Daerah semacam itu termasuk wilayah transit, tempat kerja yang mempekerjakan buruh migran dalam jumlah besar, pelabuhan dan dermaga, lokasi konstruksi dan perkebunan. Ada pola yang jelas dalam kasus penduduk dengan mobilitas tinggi yang memiliki kecenderungan berperilaku risiko tinggi terutama dalam hal berhubungan seksual dengan PSK dibandingkan dengan kelompok yang kurang dinamis. Bentuk paling dominan dari mobilitas penduduk internal masyarakat Indonesia sekarang ini adalah migrasi buruh. Ini biasanya melibatkan para buruh yang meninggalkan keluarga, kebanyakan berasal dari desa, penduduk asli dan sering bepergian dalam jarak yang lumayan jauh untuk bekerja di kota, perusahaan tambang, pabrik dan lokasi pembangunan yang terdiri dari orang dewasa muda. Buruh migran ini termasuk dalam kelompok berisiko tinggi (Hugo, 2001).

Beberapa jenis pekerjaan memiliki risiko terinfeksi HIV/AIDSadalah mobile migrant population merupakan salah satu kelompok yang berisiko terhadap penularan HIV/AIDS. Hal ini dikarenakan tuntutan pekerjaan yang sering berpindah tempat, jauh dari pasangan ataupun keluarga dan lepas dari kungkungan perilaku tradisional terutama terkait perilaku seksual. Mobile migrant population memiliki pola dan tingkat mobilitas yang berbeda-beda yang turut menjadi faktor pengaruh terhadap tingginya perilaku seksual berisiko. Menurut Hugo, (2001) terdapat hubungan yang jelas antara penduduk yang memiliki mobilitas tinggi dengan kecenderungan melakukan perilaku seksual berisiko (terutama pada PSK) dibandingkan dengan kelompok yang kurang dinamis. Proporsi hasil survei terkait perilaku seksual buruh bangunan migran di Denpasar menunjukkan 90% responden pernah melakukan hubungan seksual dengan PSK, orang asing ataupun pacar sendiri. Sebagian besar respon berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan dan tanpa


(5)

menggunakan kondom. Proporsi perilaku seksual pada pekerja migran sebanyak 43% pernah berhubungan seksual dengan PSK dan dari jumlah tersebut sebanyak 86% mengaku tidak menggunakan kondom. Berdasarkan hasil analisis menurut jenis pekerjaan epidemi HIV/AIDS banyak terkonsentrasi pada buruh (42%). Berdasarkan hasil analisis menurut jenis pekerjaan epidemi HIV/AIDS banyak terkonsentrasi pada buruh (42%). Hal ini menunjukkan bahwa besar risiko pada kelompok mobile migrant population dan pekerja bangunan merupakan salah satu dalam kelompok tersebut (Mariyah, 1992; Berliana, 1999).

2.4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku berisiko terhadap HIV/AIDS

1. Tingkat pendidikan

Pendidikan berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menerima serta merespon informasi yang diperolehnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kemampuan menyerap informasi kesehatan juga semakin baik. Namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Amiruddin dan Yanti, (2011)hubungan tingkat pendidikan dengan tindakan berisiko tertular HIV/AIDS pada anak jalanan bahwa yang melakukan tindakan berisiko responden yang tingkat pendidikannya tinggi lebih besar dari pada tingkat pendidikannya rendah. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Luthfiana, (2012) bahwa hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi pendidikan tinggi dan rendah dengan perilaku berisiko terhadap penyakit HIV/AIDS (p=0,640).

2. Status perkawinan

Status sudah kawin terkadang menunjukkan hubungan dengan perilaku seksual berisiko. Hasil penelitian Mutia, (2008) sebanyak 26% responden yang melakukan perilaku seksual berisiko berstatus sudah kawin dan 14% responden yang melakukan perilaku seksual berisiko berstatus belum kawin. Status kawin ditemukan terdapat hubungan dengan perilaku seksual berisiko pada penduduk yang sering berpindah-pindah, jauh dari pasangan atau keluarga (mobile migrant population).

3. Frekuensi pulang ke daerah asal

Menurut Berliani, (1999) terkait perilaku seksual pekerja migran (TKI) sebanyak 41,2% melakukan hubungan seks karena dorongan batin dan 23,5% alasan kesepian, bosan dan mencari hiburan. Sebagian besar responden dapat menjenguk


(6)

keluarga 2 atau 3 kali dalam setahun. Kondisi yang jauh dari pasangan karena terikat kontak kerja yang panjang (rata-rata dua tahun) sering menyebabkan pekerja migran untuk melakukan hubungan seks tidak dengan pasangannya. Masa kerja yang panjang dan kesempatan yang minim untuk bertemu keluarga dapat memicu kebosanan dan kesepian serta tekanan batin bagi pekerja migran dengan kebutuhan seksual yang tidak terpenuhi.

4. Keterpaparan terhadap penyuluhan

Di Ho Chi Minh City, Vietnam, terdapat hubungan antara keterpaparan penyuluhan terhadap peningkatan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada pekerja bangunan. Terdapat peningkatan yang signifikan berkaitan dalam hal pemahaman HIV, efektivitas kondom, keyakinan pekerja bangunan dalam mendapatkan serta memakai kondom dan keputusan untuk para pekerja bangunan yang terpapar dengan program penyuluhan (UNDP, 2003).

Hasil analisis bivariat antara keterpaparan terhadap penyuluhan dengan perilaku seksual berisiko pada buruh bangunan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p=0,496). Akan tetapi terdapat kecenderungan bahwa responden yang pernah mengikuti penyuluhan justru memiliki perilaku seksual yang berisiko dibandingkan responden yang belum pernah mengikuti penyuluhan. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah responden yang pernah mengikuti penyuluhan dan memiliki perilaku seksual berisiko pada buruh bangunan sebesar 24%, persentase ini lebih besar dibandingkan dengan jumlah responden yang belum mengikuti penyuluhan dan memiliki perilaku seksual berisiko yaitu sebesar 17% (Mutia, 2008).