Analisis Perilaku Berisiko Pada Pekerja Pengelasan di Jalan Mahkamah Medan Tahun 2011

(1)

ANALISIS PERILAKU BERISIKO PADA PEKERJA PENGELASAN DI JALAN MAHKAMAH MEDAN TAHUN 2011

SKRIPSI

Oleh :

NIM : 071000034

GRACE BAHAGIARNI SIRAIT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

ANALISIS PERILAKU BERISIKO PADA PEKERJA PENGELASAN DI JALAN MAHKAMAH MEDAN TAHUN 2011

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

071000034

GRACE BAHAGIARNI SIRAIT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul

ANALISIS PERILAKU BERISIKO PADA PEKERJA PENGELASAN DI JALAN MAHKAMAH MEDAN TAHUN 2011

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :

NIM. 071000034

GRACE BAHAGIARNI SIRAIT

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 28 Desember 2011 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

(dr. Halinda Sari Lubis, MKKK)

NIP. 19650615 199601 2 003 NIP. 19620206 199203 1 002 (Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes.)

Penguji II Penguji III

(Eka Lestari Mahyuni, SKM. M.Kes.) (Umi Salmah, SKM. M.Kes.) NIP. 19791107 200501 2 003 NIP. 19730523 200812 2 002

Medan, Januari 2012 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan,

(Dr. Drs. Surya Utama, MS NIP. 19610831 198903 1 00 )


(4)

ABSTRAK

Usaha pengelasan merupakan salah satu sektor informal yang mempunyai tingkat bahaya dan risiko yang cukup tinggi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menganalisis perilaku berisiko pada pekerja pengelasan di Jalan Mahkamah Medan Tahun 2011.

Variabel penelitian ini meliputi perilaku berisiko pada pekerja, gambaran tabulasi silang antara anteseden dan perilaku berisiko, dan gambaran tabulasi silang antara konsekuensi dan perilaku berisiko. Penelitian ini dilakukan terhadap pekerja pengelasan di Jalan Mahkamah Medan dengan sampel sebanyak 45 orang dari 154 orang populasi pekerja (35 bengkel las). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan observasi terhadap pekerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku berisiko tinggi pada pekerja pengelasan terdapat pada kategori tidak menggunakan alat pelindung diri.

Pada variabel anteseden meliputi pengetahuan, pelatihan, pengawasan, peraturan dan ketersediaan fasilitas. Kategori tertinggi terdapat pada tidak adanya pelatihan dan perilaku risiko rendah. Sedangkan Variabel konsekuensi sanksi dan penghargaan. Variabel tidak adanya penghargaan dan perilaku berisiko tinggi merupakan variabel tertinggi. Keseluruhan perilaku berisiko tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyakit akibat kerja (PAK) dan kecelakaan kerja

Disarankan agar pemerintah hendaknya memberikan pelatihan kepada pihak pemilik bengkel las agar dapat menerapkan keselamatan kerja di bengkel las masing-masing. Selain itu pihak pemilik bengkel las juga harus menyediakan alat pelindung diri yang lengkap bagi masing-masing pekerja.


(5)

ABSTRACT

Welding business is one of the informal venture that have a high level of danger and risk. Thisresearch is a descriptive study that head to analyze the behavior of risk in workers welding on the Mahkamah Medan Street at 2011.

Variables of the study include to workers behavioral risk, the cross tabulation between antecedents and risk behavior, and the cross tabulation between consequences and risk behaviors. This study conducted over to the workers in the welding garage with a sample of court road as much as 45 workers population of 154 worker (35 welding shops). data accumulation is done by using the questionaire and observations over to the workers. The results showed that the highest-risk behaviors in welding workers are in the category of do not use personal protective equipmen (PPE).

antecedent variables include of knowledge, regulations, training, supervision and availability of facilities present in highest category of lack of training and low-risk behaviors. whereas in the consequences variable that include of sanctions and rewards, the highest category of variables contained in the absence of reward and high risk behaviors. Entirety of risk behaviors can lead to the occurrence of occupational diseases and work accident.

suggested that government have to provide health and safety training to the welding shop owners so that they can implement health and safety to the welding workers in welding shops respectively. Furthermore welding workshop owner have also provide complete personal protective equipment (PPE) complete for each employee.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Grace Bahagiarni Sirait

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/ Tanggal Lahir : Pematangsiantar / 27 Oktober 1988

Agama : Kristen Protestan

Status : Belum Kawin

Alamat Rumah : Jln. Labu No.39 Tomuan Pematangsiantar Nama Orang Tua

a. Ayah : Drs. Jonny Sirait

b. Ibu : Corry Linda Situmeang, S.pd Jumlah saudara : 5 (lima) Orang

Anak Ke : 4 (empat)

Riwayat Pendidikan : 1. SD Negeri 122387 Pematangsiantar (1995–2001) 2. SMP Negeri 1 Pematangsiantar (2001-2004) 3. SMA Negeri 3 Pematangsiantar (2004-2007) 4. Fakultas Kesehatan Masyarakat USU (2007-2011)


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kemudahan dan petunjuk kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “Analisis Perilaku Berisiko Pada Pekerja Pengelasan di Jalan Mahkamah Medan Tahun 2011”.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Ir. Gerry Silaban, M.kes selaku Ketua Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja FKM USU dan selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saran dan masukan untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini. 3. Ibu dr. Halinda Sari Lubis, MKKK, selaku Dosen Pembimbing I yang telah

banyak memberikan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Ibu Eka Lestari Mahyuni, SKM, M.kes selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan dan masukan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

5. Ibu Umi Salma SKM. M.Kes, selaku Dosen Penguji II yang telah banyak memberikan saran dan masukan untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini. 6. Ibu Ernawati Nasution SKM. M.Kes selaku Dosen Penasihat Akademik.


(8)

7. Para Dosen dan Pegawai Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Kepala Lurah Kelurahan Mesjid yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis.

9. Masing-masing pemilik unit usaha pengelasan dan para pekerja bengkel las di Jalan Mahkamah Medan tahun 2011

10.Kepada orang tua saya terkasih bapak Drs. Jonny Sirait dan ibunda Corry Linda, Spd yang telah memberikan doa tanpa kenal waktu, semangat, nasihat, dukungan, dan kasih sayang yang tak terhitung banyaknya. Kalian adalah inspirasi terbesar dalam pencapaian tujuan hidupku.

11.Kakak saya Irene Sirait, Amd beserta Abang Ipar saya Rudi Hutagaol, SE, Abang saya Nico Sirait beserta Kakak Ipar saya Ernawati Siimanjuntak dan Kakak saya Nur Intan Sirait, AMKeb, dan Adik saya Dorgis Sirait.

12.Kepada keponakan-keponakan saya terkasih, Nathan Hutagaol, Faust Hutagaol, Tisha Hutagaol dan Rafael Sirait yang selalu memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi saya.

13.Sahabat-sahabat seperjuangan, Astri, Ega, Kak Ellizabeth, Sheila, Pipit, Popo, Sri, Kak Lelly, Bang Bedah, Kak Nelly dan Kak Juni.

14.Abang-abang senior dan adik-adik junior di GMKI FKM USU

15.Rekan-rekan peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan seluruh teman-teman di FKM USU.

Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan serta masih diperlukan penyempurnaan, hal ini tidak terlepas dari keterbatasan


(9)

kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan penelitian selanjutnya.

Medan, Desember 2011 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Riwayat Hidup ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1. Tujuan Umum ... 6

1.3.2. Tujuan Khusus ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelasan 2.1.1. Deskripsi Umum Las ... 7

2.1.2. Jenis-Jenis Pengelasan ... 7

2.1.3. Manajemen Dalam Pengelasan... ….. 9

2.1.4. Bahaya Dalam Pengelasan ... 11

2.1.5. Perlengkapan Keselamatan Kerja Las ... 14

2.2. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ... 17

2.2.1. Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja ... 17

2.2.2 Persyaratan Keselamatan Kerja ... 18

2.3. Kecelakaan Kerja ... 20

2.4. Konsep Perilaku ... 22

2.4.1. Pengertian Perilaku ... 22

2.4.2. Determinan Perilaku ... 24

2.5. Tindakan Tidak Aman ... 25

2.5.1. Pengertian Tindakan Tidak Aman ... 25

2.5.2. Klasifikasi Tindakan Tidak Aman ... 26

2.6. Teori dan Model Perilaku Kesehatan ... 27

2.6.1. Teori Lawrence Green ... 27

2.6.2. Behavior Based Safety ... 27

2.6.3. Model ABC dan Perilaku ... 28

2.6.3.1. Anteseden ... 30


(11)

2.7.1. Pelatihan ... 35

2.7.2. Peraturan ... 36

2.7.3. Pengawasan ... 38

2.7.4. Ketersediaan Fasilitas ... 39

2.7.5. Hukuman dan Penghargaan) ... 40

2.8. Kerangka Konsep ... 42

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 43

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43

3.3.1. Populasi ... 43

3.3.2. Sampel ... 44

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.4.1. Data Primer... 44

3.4.2. Data Sekunder ... 45

3.5. Definisi Operasional ... 45

3.7. Teknik Analisis Data ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Bengkel las ... 48

4.2. Karakteristik Responden ... 49

4.2.1. Usia ... 50

4.2.2. Tingkat Pendidikan... 50

4.2.4. Masa Kerja ... 51

4.3. Gambaran Perilaku Berisiko ... 51

4.3.1. Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Pekerja ... 51

4.3.2. Melemparkan Peralatan Kerja Antar Sesama Pekerja ... 52

4.3.3. Merokok Pada Saat Bekerja ... 53

4.3.4. Bercanda atau Berkelakar Saat Bekerja ... 54

4.35. Bekerja Dengan Terburu-buru. ... 54

4.4. Anteseden ... 55

4.4.1. Pengetahuan. ... 55

4.4.2. Peraturan ... 56

4.4.3. Pelatihan ... 57

4.4.4. Pengawasan ... 58

4.4.5. Ketersediaan Fasilitas... 59

4.5 Konsekuensi ... 60

4.5.1. Sanksi ... 60

4.5.2. Penghargaan... 61

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Gambaran Perilaku Berisiko ... 62

5.3.1. Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Pekerja ... 63

5.3.2. Melemparkan Peralatan Kerja Antar Sesama Pekerja ... 64

5.3.3. Merokok Pada Saat Bekerja ... 65


(12)

5.35. Bekerja Dengan Terburu-buru. ... 65

5.2. Anteseden ... 66

5.2.1. Pengetahuan ... 66

5.2.2. Peraturan ... 68

5.2.3. Pelatihan ... 69

5.2.4. Pengawasan ... 70

5.2.5. Ketersediaan Fasilitas... 71

5.3 Konsekuensi ... 73

4.5.1. Sanksi ... 73

4.5.2. Penghargaan... 74

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 76

6.2 Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Lampiran 1. Master Data Lampiran 2. Output Lampiran 3. Dokumentasi Lampiran 4. Kuesioner Lampiran 5. Data Pekerja


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah Pekerja Berdasarkan Kelompok Umur Pada Pekerja

Pengelasan di Jalan Mahkamah Meda Tahun 201 ... 9 Tabel 4.2 Jumlah Pekerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pada Pekerja Pengelasan di Jalan Mahkamah Medan Tahun

2011 ... 50 Tabel 4.3 Jumlah Pekerja Berdasarkan Massa Kerja Pada Pekerja

Pengelasan di Jalan Mahkamah Medan Tahun 2011 ... 50 Tabel 4.4 Perilaku Berisiko Pada Pekerja Pengelasan di Jalan Mahkamah

Medan Tahun 2011 ... 51 Tabel 4.5 Perilaku Berisiko Menggunakan Alat Pelindung Diri Pada

Pekerja Pengelasan di Jalan Mahkamah Medan

Tahun 2011 ... 52 Tabel 4.6 Perilaku Berisiko Melemparkan Peralatan Kerja Antar Sesama

Pekerja Pada Pekerja Pengelasan di Jalan Mahkamah Medan

Tahun 2011 ... 53 Tabel 4.7 Perilaku Berisiko Merokok Pada Pekerja Pengelasan di Jalan

Mahkamah Medan Tahun 2011 ... 53 Tabel 4.8 Perilaku Berisiko Bercanda atau Berkelakar Saat Bekerja

Pekerja Pada Pekerja Pengelasan di Jalan Mahkamah Medan

Tahun 2011 ... 54 Tabel 4.9 Perilaku Berisiko Melakukan Pekerjaan Dengan Terburu-Buru

Pada Pekerja Pengelasan di Jalan Mahkamah Medan Tahun

2011 ... 55 Tabel 4.10 Tingkat Pengetahuan Pada Pekerja Pengelasan

di Jalan Mahkamah Medan Tahun 2011 ... 55 Tabel 4.11 Ada Tidaknya Peraturan Atau Tata Tertib di Tiap Unit Usaha

Pengelasan Jalan Mahkamah Medan Tahun 2011 ... 56 Tabel 4.12 Ada Tidaknya Pelatihan Pada Pekerja Pengelasan

di Jalan Mahkamah Medan Tahun 2011 ... 57 Tabel 4.13 Ada Tidaknya Pengawasan Pada Pekerja Unit

Usaha Pengelasan di Jalan Mahkamah Medan Tahun 2011 ... 58 Tabel 4.14 Ketersediaan Fasilitas di Tiap Unit Usaha Pengelasan


(14)

Tabel 4.15 Ada Tidaknya Sanksi Pada Pekerja Pengelasan

di Jalan Mahkamah Medan Tahun 2011 ... 60 Tabel 4.16 Ada Tidaknya Penghargaan Pada Pekerja Pengelasan


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Teori Domino Heinrich ... 20 Gambar 2.2. Hubungan Anteseden, Perilaku dan Konsekuensi ... 30


(16)

ABSTRAK

Usaha pengelasan merupakan salah satu sektor informal yang mempunyai tingkat bahaya dan risiko yang cukup tinggi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menganalisis perilaku berisiko pada pekerja pengelasan di Jalan Mahkamah Medan Tahun 2011.

Variabel penelitian ini meliputi perilaku berisiko pada pekerja, gambaran tabulasi silang antara anteseden dan perilaku berisiko, dan gambaran tabulasi silang antara konsekuensi dan perilaku berisiko. Penelitian ini dilakukan terhadap pekerja pengelasan di Jalan Mahkamah Medan dengan sampel sebanyak 45 orang dari 154 orang populasi pekerja (35 bengkel las). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan observasi terhadap pekerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku berisiko tinggi pada pekerja pengelasan terdapat pada kategori tidak menggunakan alat pelindung diri.

Pada variabel anteseden meliputi pengetahuan, pelatihan, pengawasan, peraturan dan ketersediaan fasilitas. Kategori tertinggi terdapat pada tidak adanya pelatihan dan perilaku risiko rendah. Sedangkan Variabel konsekuensi sanksi dan penghargaan. Variabel tidak adanya penghargaan dan perilaku berisiko tinggi merupakan variabel tertinggi. Keseluruhan perilaku berisiko tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyakit akibat kerja (PAK) dan kecelakaan kerja

Disarankan agar pemerintah hendaknya memberikan pelatihan kepada pihak pemilik bengkel las agar dapat menerapkan keselamatan kerja di bengkel las masing-masing. Selain itu pihak pemilik bengkel las juga harus menyediakan alat pelindung diri yang lengkap bagi masing-masing pekerja.


(17)

ABSTRACT

Welding business is one of the informal venture that have a high level of danger and risk. Thisresearch is a descriptive study that head to analyze the behavior of risk in workers welding on the Mahkamah Medan Street at 2011.

Variables of the study include to workers behavioral risk, the cross tabulation between antecedents and risk behavior, and the cross tabulation between consequences and risk behaviors. This study conducted over to the workers in the welding garage with a sample of court road as much as 45 workers population of 154 worker (35 welding shops). data accumulation is done by using the questionaire and observations over to the workers. The results showed that the highest-risk behaviors in welding workers are in the category of do not use personal protective equipmen (PPE).

antecedent variables include of knowledge, regulations, training, supervision and availability of facilities present in highest category of lack of training and low-risk behaviors. whereas in the consequences variable that include of sanctions and rewards, the highest category of variables contained in the absence of reward and high risk behaviors. Entirety of risk behaviors can lead to the occurrence of occupational diseases and work accident.

suggested that government have to provide health and safety training to the welding shop owners so that they can implement health and safety to the welding workers in welding shops respectively. Furthermore welding workshop owner have also provide complete personal protective equipment (PPE) complete for each employee.


(18)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Upaya pembangunan nasional yang dilakukan oleh suatu bangsa pada umumnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup rakyatnya. Pembangunan sektor industri saat ini merupakan salah satu andalan dalam pembangunan nasional Indonesia yang berdampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan dan pemerataan pembangunan. Di sisi lain kegiatan industri dalam proses produksinya selalu disertai faktor-faktor yang mengandung risiko bahaya dengan terjadinya kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja.

Setiap ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan kerja harus dicegah, ancaman seperti itu akan membawa kerugian material, moril maupun waktu terutama terhadap kesejahteraan tenaga kerja. Perlu disadari bahwa pencegahan terhadap bahaya tersebut jauh lebih baik daripada menunggu sampai kecelakaan terjadi yang biasanya memerlukan biaya yang lebih besar untuk penanganan dan pemberian kompensasinya. Upaya perlindungan tenaga kerja dimaksudkan sebagai upaya yang dilakukan untuk menjaga keselamatan dan kesehatan kerja supaya terhindar dari risiko atau bahaya yang timbul (Simanjuntak, 1991).

Perkembangan industri di Indonesia saat ini berlangsung amat pesat, baik industri formal maupun informal seperti industri rumah tangga, pertanian, perdagangan dan perkebunan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pekerja yang bekerja di sektor informal mencapai 72,72 juta orang. Ini berarti naik dibandingkan dengan 71,35 juta orang pada bulan yang sama pada tahun 2008. Data statistik tahun 2009 menunjukkan bahwa 68% pekerja Indonesia saat ini bekerja di


(19)

sektor informal dengan gaji rendah dan pekerjaan berisiko serta tidak ada kontrak kerja yang aman, termasuk perlindungan sosial atau perwakilan pekerja (Abidin, 2010).

Industri informal adalah kegiatan ekonomi tradisional, usaha-usaha di luar sektor modern/formal yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut yaitu : sederhana, skala usaha relatif kecil, umumnya belum terorganisir dengan baik (Effendi, 2002).

Situasi dan kondisi kerja yang berbahaya dari tempat kerja yang tidak aman dapat mengakibatkan terjadinya kasus-kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, terlebih lagi pada sektor informal yang tidak memiliki jaminan sosial. Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya dirasakan langsung oleh si pekerja sebagai korban, tetapi juga diderita oleh perusahaan.

Pada awal tahun 1980 muncul pandangan baru tentang keselamatan dan kesehatan kerja yaitu behavioral safety. Behavioral safety adalah aplikasi sistematis dari riset psikologi tentang perilaku manusia pada masalah keselamatan (safety) ditempat kerja. Behavioral safety lebih menekankan aspek perilaku manusia terhadap terjadinya kecelakaan di tempat kerja (Anonim, 2009).

Menurut Suizer (1999) salah seorang praktisi behavioral safety seperti yang dikutip dalam wacana majalah katiga tahun 2009 mengemukakan bahwa para praktisi safety telah melupakan aspek utama dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja yaitu aspek behavioral (perilaku) para pekerja. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Dominic Cooper (1999) yang berpendapat walaupun sulit untuk dikontrol secara tepat, 80-95% dari seluruh kecelakaan kerja yang terjadi disebabkan oleh unsafe behavior. Pendapat Cooper tersebut didukung oleh hasil riset dari NSC (National Safety Council) tentang penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Hasil riset


(20)

NCS menunjukkan bahwa penyebab terjadinya kecelakaan kerja 88% adalah karena unsafe action, 10% karena unsafe condition, dan 2% tidak diketahui dengan pasti penyebabnya.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Prasetiyo (2011), tindakan tidak aman merupakan salah satu faktor penyumbang terbesar kecelakaan kerja, yang merupakan cerminan dari perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja. Tindakan tidak aman ini dapat dianggap sebagai hasil dari kesalahan yang dilakukan baik oleh pekerja yang terlibat secara langsung maupun kesalahan yang dilakukan oleh organisasi yaitu pihak manajemen. Suatu tindakan tidak aman yang merupakan pelanggaran dari peraturan atau standar yang dilakukan oleh pekerja bisa secara sadar maupun tidak sadar, memungkinkan sebagai penyebab terjadinya suatu kecelakaan.

Usaha pengelasan merupakan salah satu sektor informal yang mempunyai tingkat bahaya dan berisiko terhadap terjadinya kecelakaan kerja dan timbulnya penyakit akibat kerja. Pekerjaan ini berhubungan dengan penggunaan alat-alat pengelasan yang menghasilkan suhu tinggi, pencahayaan dengan intensitas tinggi, kebisingan (noise). Disamping itu, akan terjadi pula percikan-percikan api dan kerak-kerak logam pada pemotongan berbagai logam. Semua keadaan ini dapat menimbulkan bahaya kecelakaan atau penyakit akibat kerja (PAK) seperti terbakar, penyumbatan saluran pernafasan/paru-paru, sakit mata atau bahkan bisa menimbulkan kebutaan dan cacat permanen. Selain pekerja pengelasan itu sendiri, bahaya pengelasan juga bisa mengenai orang yang berada disekitar lingkungan bengkel las, sebagai contoh sederhana penglihatan seseorang bisa terganggu apabila terkena percikan api pengelasan (Suharno, 2008).


(21)

Konstruksi las banyak sekali digunakan, pelaksanaan pekerjaan las makin besar sehingga kecelakaan-kecelakaan yang berhubungan dengan pengelasan menjadi makin banyak. Kecelakaan umumnya disebabkan kurang kehati-hatian pada pengerjaan las, pemakaian alat pelindung yang kurang benar, pengaturan lingkungan yang tidak tepat. Untuk menghindari kecelakaan tersebut, perlu penguasaan tertentu dan mengetahui tindakan-tindakan yang menyebabkan faktor-faktor tersebut (Anggoro dan Dewi, 1999).

Berdasarkan hasil studi kasus industri pengelasan di Bali oleh Adioka (1997), dalam Syaaf (2008) diketahui bahwa kecelakaan kerja terjadi disebabkan oleh langkah kerja yang tidak aman, peralatan kerja yang tidak memadai, dan kondisi lingkungan fisik yang buruk. Studi memperlihatkan bahwa 70% dari pekerja mengalami pegal pada punggung setelah bekerja, 30% mengalami hearing loss (berkurangnya kemampuan pendengaran), dan pengetahuan mereka juga kurang serta tingkat pendidikan maksimal setingkat SMA.

Salah satu pusat bengkel las terbesar di kota Medan terletak di Jalan Mahkamah Medan dengan jumlah 35 bengkel las dan jumlah pekerja sebanyak 154 pekerja. Bengkel las merupakan industri kecil yang menghasilkan berbagai produk seperti pagar pekarangan, pintu gerbang, jerjak pintu atau jendela rumah, aneka jenis permainan anak-anak yang terbuat dari besi dan lain-lain. Dalam proses kerjanya sebuah unit las busur listrik terdiri dari mesin las, kabel-kabel las, penjepit atau klem, dan perlengkapan-perlengkapan pendukung lainnya, selain itu proses pembuatan produk-produk, pengelasan menggunakan mesin-mesin yang berhubungan dengan panas yang berasal dari mesin las, radiasi akibat proses pengelasan, listrik sebagai sumber tenaga mesin. Proses kerja pengelasan diawali dengan pemilihan bahan yang


(22)

sesuai dengan kebutuhan, setelah bahan diperoleh dilakukan pemotongan sesuai dengan kebutuhan, setelah ukuran bahan dipotong sesuai dengan kebutuhan maka material yang telah dipotong tersebut dibentukan sesuai dengan model yang diinginkan konsumen, setelah pembentukan selesai dilakukan pengelasan untuk menyambungkan material-material yang telah dibentuk tersebut, setelah pengelasan, material dipoles untuk menghasilkan bentuk yang menarik dan indah.

1.2. Rumusan masalah

Seringnya terjadi kecelakaan kerja seperti tersengat listrik, terkena radiasi panas, terkena gerinda pada saat pemotongan besi, terkena percikan bunga api pada saat proses pengelasan memunculkan pertanyaan apa yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan kerja tersebut.

Perilaku tidak aman dari pekerja merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja di bengkel las. Untuk itu, peneliti bertujuan untuk menganalisis perilaku berisiko pada pekerja yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja di bengkel las di Jalan Mahkamah Medan tahun 2011.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah menganalisis perilaku berisiko pada pekerja pengelasan di Jalan Mahkamah Medan tahun 2011.


(23)

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran faktor anteseden yang mempengaruhi perilaku pekerja bengkel las di Jalan Mahkamah Medan tahun 2011.

2. Untuk mengetahui gambaran faktor konsekuensi yang mempengaruhi perilaku berisiko pada pekerja pengelasan di Jalan Mahkamah Medan tahun 2011.

3. Untuk mengetahui gambaran perilaku berisiko pada pekerja pengelasan di Jalan Mahkamah Medan tahun 2011.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Diharapkan dapat menjadi masukan dalam rangka mempromosikan keselamatan kesehatan kerja (K3) kepada pekerja bengkel las di Jalan Mahkamah Medan melalui wawancara.

2. Bagi penulis untuk menambah wawasan dan pengetahuan dan keilmuan Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3) melalui pendekatan yang lebih aplikatif.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelasan

2.1.1. Deskripsi Umum Las

Menurut penemuan-penemuan benda bersejarah, dapat diketahui bahwa teknik penyambungan logam telah diketahui sejak dari zaman prasejarah, misalnya pembrasingan logam paduan emas tembaga dan pematrian timbal-timah, menurut keterangan telah diketahui dan dipraktekkan dalam rentang waktu antara tahun 4000 sampai 3000 SM dan diduga sumber panas berasal dari pembakaran kayu dan arang. Pada abad ke 19 teknologi pengelasan berkembang dengan pesat karena telah dipergunakannya sumber energi listrik (Suharno, 2008).

Menurut Deutsce Industrie Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam paduan yang dilaksankan dalam keadaan, dijelaskan lebih lanjut bahwa las adalah sesuatu proses dimana bahan dan jenis yang sama digabungkan menjadi satu sehingga terbentuk suatu sambungan melalui ikatan kimia yang dihasilkan dari pemakaian panas dan tekanan (Suharno, 2008).

2.1.2. Jenis-Jenis Pengelasan

Berdasarkan proses pengelasan, maka pengelasan terbagi menjadi dua antara lain (Bintoro, 1999) :

1. Las Oksi Asetilen

Las oksi asetilen merupakan proses pengelasan secara manual dengan pemanasan permukaan logam yang akan dilas atau disambung sampai mencair oleh nyala gas asetilen melalui pembakaran C2H2 dengan gas O2 dengan atau tanpa logam


(25)

sangat sangat tinggi sehingga dapat mencairkan logam. Gas asetilen merupakan salah satu jenis gas yang sangat mudah terbakar dibawah pengaruh suhu dan tekanan. Gas asetilen disimpan di dalam suatu tabung yang mampu menahan tekanan kerja. Bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh gas asetilen antara lain:

a. Polimerisasi, peristiwa ini akan menyebabkan suhu gas meningkat jauh lebih tinggi dalam waktu yang sangat singkat. Polimerisasi ini akan terjadi pada suhu 300°C, jika berada pada tekanan 1 atm. Oleh sebab itu, gas asetilen tidak boleh disimpan atau digunakan pada suhu diatas 300°C.

b. Disosiasi, yaitu adanya panas yang ditimbulkan oleh proses pembentukan zat-zat. Disosiasi terjadi pada suhu 600°C jika berada pada tekanan 1 atm atau 530°C jika tekanan 3 atm. Jika terjadi disosiasi maka tekanan gas meningkat dan hal ini sangat membahayaka karena bisa menimbulkan ledakan.

2. Las listrik

Las tahanan listrik adalah proses pengelasan yang dilakukan dengan jalan mengalirkan arus listrik melalui bidang atau permukaan-permukaan benda yang akan disambung. Elektroda-elektroda yang dialiri listrik digunakan untuk menekan benda kerja dengan tekanan yang cukup. Penyambungan dua buah logam atau lebih menjadi satu dengan jalan pelelehan atau pencairan dengan busur nyala listrik. Tahanan yang ditimbulkan oleh arus listrik pada bidang-bidang sentuhan akan menimbulkan panas dan berguna untuk mencairkan permukaan yang akan disambung.

Bahaya pada las listrik yaitu, loncatan bunga api yang terjadi pada nyala busur listrik karena adanya potensial tegangan atau beda tegangan antara ujung-ujung elektroda dan benda kerja. Tegangan yang digunakan sangat menentukan terjadinya loncatan bunga api, semakin besar tegangan semakin mudah terjadi loncatan bunga


(26)

api listrik. Hal yang perlu diperhatikan, bahwa tegangan yang tinggi akan membahayakan operator las, karena tubuh manusia hanya mampu menderita tegangan listrik sekitar 42 volt. Selain penggunaan arus dan tegangan yang bisa membahayakan operator, nyala busur listrik juga memancarkan sinar ultra violet dan sinar infra merah yang berinteraksi sangat tinggi. Pancaran atau radiasi dari sinar tersebut sangat membahayakan mata maupun kulit manusia (Bintoro, 1999).

2.1.3. Manajemen dalam Pengelasan

Juru las yang terampil dan peralatan las yang baik belum tentu dapat menjamin hasil las yang bermutu tinggi, apabila sarana lainnya tidak terpenuhi. Manajemen pengelasan dalam hal ini harus mengatur beberapa sarana penting yang dapat mempengaruhi hasil pengelasan seperti pelaksanaan yang aman, pengawasan mutu, dan pemeriksaan proses. Manajemen tersebut terdiri atas beberapa pengawasan (Wiryosumarto dan Okumura, 2004) antara lain :

1. Pengamanan pelaksanaan

Agar pengelasan dapat dilakukan dengan aman, alat-alat pengamanan harus lengkap dan juru las harus mengerti dan dapat serta mau menggunakan alat pengaman tersebut, dalam hal ini yang penting adalah :

a. Pemakaian baju kerja yang sesuai dan aman. b. Pemakaian pelindung dengan baik.

c. Pada pengelasan di tempat yang tinggi harus menggunakan alat pengaman agar tidak terjatuh.

d. Pengamanan terhadap bahaya kebakaran dan ledakan. 2. Pengawasan umum


(27)

Untuk mendapatkan mutu pengelasan yang baik perlu adanya pengawasan pada peralatan yang digunakan, bahan las yang dipilih, pelaksanaan dan keterampilan. Pengawasan yang dimaksud diatas diterangkan sebagai berikut

a. Pengawasan peralatan

Dengan menggunakan peralatan yang sempurna, akan diperoleh mutu hasil lasan yang baik dan efisiensi kerja yang tinggi, karena itu diperlukan sistem manajemen yang dapat menentukan cara-cara pemilihan alat, pembelian alat, peminjaman alat kepada pekerja dan cara memperbaiki alat yang rusak.

b. Pengawasan bahan las

Pengaturan pembelian bahan las baik dalam jenis maupun dalam jumlah harus menjamin agar selalu terdapat jumlah persediaan seperti yang telah ditentukan dan yang sesuai dengan jadwal pelaksanaan.

c. Pengawasan pelaksanaan

Apabila proses pengelasan telah ditentukan, maka perlu untuk mengadakan pengawasan agar prosedur pengelasan diikuti sepenuhnya. Untuk mempermudah pengawasan dan menghindari kesalahan perlu dibuat petunjuk kerja yang terperinci yang meliputi kondisi pengelasan, penggunaan alat, pemakaian bahan, prosedur pengerjaan dan cara-cara mengadakan perbaikan bila terjadi cacat. d. Pengawasan keterampilan

Untuk mendapatkan juru las yang terampil perlu diadakan pelatihan dan pendidikan. Tiap-tiap juru las harus mempunyai kualifikasi berdasarkan peraturan yang ditentukan oleh badan yang berwenang dalam bidang konstruksi yang sesuai dan menguasai tentang pengelasan.


(28)

Pengawasan terhadap proses ditujukan untuk mempertinggi produktivitas, yang berarti hasil yang baik dengan cepat dan murah. Pengawasan proses meliputi pengawasan dan pengaturan tempat, pengaturan pekerja, pengaturan bahan, alat dan lain sebagainya.

2.1.4. Bahaya Dalam Pengelasan

Pada pekerjaan pengelasan banyak risiko yang akan terjadi apabila tidak hati-hati terhadap penggunaan peralatan, mesin dan posisi kerja yang salah. Beberapa risiko bahaya yang paling utama pada pengelasan (Wiryosumarto dan Okumura, 2004) antara lain :

1. Cahaya dan sinar yang berbahaya

Selama proses pengelasan akan timbul cahaya dan sinar yang dapat membahayakan juru las dan pekerja lain yang ada di sekitar pengelasan. Cahaya tersebut meliputi cahaya yang dapat dilihat atau cahaya tampak, sinar ultraviolet dan sinar inframerah.

a. Sinar ultraviolet

Sinar ultraviolet sebenarnya adalah pancaran yang mudah diserap, tetapi sinar ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Bila sinar ultraviolet yang terserap oleh lensa dan kornea mata melebihi jumlah tertentu maka pada mata akan terasa seakan-akan ada benda asing di dalamnya. Dalam waktu antara 6 sampai 12 jam kemudian mata akan menjadi sakit selama 6 sampai 24 jam. Pada umunya rasa sakit ini akan hilang setelah 48 jam.


(29)

Semua cahaya tampak yang masuk ke mata akan diteruskan oleh lensa dan kornea ke retina mata. Bila cahaya ini terlalu kuat maka akan segera menjadi lelah dan kalau terlalu lama mungkin akan menjadi sakit. Rasa lelah dan sakit ini sifatnya juga hanya sementara.

c. Sinar inframerah

Adanya sinar inframerah tidak segera terasa oleh mata, karena itu sinar ini lebih berbahaya sebab tidak diketahui, tidak terlihat dan tidak terasa. Pengaruh sinar inframerah terhadap mata sama dengan pengaruh panas, yaitu menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata, terjadinya penyakit kornea, presbiopia yang terlalu dini dan terjadinya kerabunan.

2. Arus listrik yang berbahaya

Besarnya kejutan yang timbul karena listrik tergantung pada besarnya arus dan keadaan badan manusia. Tingkat dari kejutan dan hubungannya dengan besar arus adalah sebagai berikut:

a. Arus 1 mA hanya akan menimbulkan kejutan yang kecil saja dan tidak membahayakan.

b. Arus 5 mA akan memberikan stimulasi yang cukup tinggi pada otot dan menimbulkan rasa sakit.

c. Arus 10 mA akan menyebabkan rasa sakit yang hebat.

d. Arus20 mA akan menyebabkan terjadi pengerutan pada otot sehingga orang yang terkena tidak dapat melepaskan dirinya tanpa bantuan orang lain.

e. Arus 50 mA sangat berbahaya bagi tubuh. f. Arus 100 mA dapat mengakibatkan kematian. 3. Debu dan gas dalam asap las.


(30)

Debu dalam asap las besarnya berkisar antara 0,2 µ m sampai dengan 3 µ m. Komposisi kimia dari debu asap las tergantung dari jenis pengelasan dan elektroda yang digunakan. Bila elektroda jenis hydrogen rendah, di dalam debu asap akan terdapat fluor (F) dan oksida kalium (K2O). Dalam pengelasan busur listrik tanpa gas,

asapnya akan banyak mengandung oksida magnesium (MgO).

Gas-gas yang terjadi pada waktu pengelasan adalah gas karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), ozon (CO3) dan gas nitrogen dioksida (NO2).

4. Bahaya kebakaran.

Kebakaran terjadi karena adanya kontak langsung antara api pengelasan dengan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti solar, bensin, gas, cat kertas dan bahan lainnya yang mudah terbakar. Bahaya kebakaran juga dapat terjadi karena kabel yang menjadi panas yang disebabkan karena hubungan yang kurang baik, kabel yang tidak sesuai atau adanya kebocoran listrik karena isolasi yang rusak.

5. Bahaya Jatuh.

Didalam pengelasan dimana ada pengelasan di tempat yang tinggi akan selalu ada bahaya terjatuh dan kejatuhan. Bahaya ini dapat menimbulkan luka ringan ataupun berat bahkan kematian karena itu usaha pencegahannya harus diperhatikan.

2.1.5. Perlengkapan Keselamatan Kerja Las

Demi keamanan dan kesehatan tubuh, operator las harus memakai alat-alat yang mampu melindungi tubuh dari bahaya-bahaya yang ditimbulkan akibat pengelasan. Perlengkapan tersebut antara lain (Bintoro, 1999):


(31)

Bentuk dan pelindung muka ada beberapa macam tetapi secara prinsip pelindung muka mempunyai fungsi yang sama, yaitu melindungi mata dan muka dari pancaran sinar las dan percikan bunga api. Pelindung muka mempunyai kacamata yang terbuat dari bahan tembus pandang yang berwarna sangat gelap dan hanya mampu ditembus oleh sinar las. Kacamata ini berfungsi melihat benda kerja yang dilas dengan mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke mata.

2. Kacamata bening

Untuk membersihkan torak atau untuk proses finishing misalnya penggerindaan, mata perlu perlindungan, tetapi tidak dengan pelindung muka las. Mata tidak mampu melihat benda kerja karena kacamata yang berada pada pelindung muka sangat gelap. Oleh karena itu, diperlukan kacamata bening yang mampu digunakan untuk melihat benda kerja dan sangat ringan sehingga tidak mengganggu proses pekerjaan.

3. Masker wajah

Masker berfungsi untuk menyediakan udara segar yang akan dihirup oleh sistem pernapasan manusia. Masker digunakan untuk pengelasan ruangan yang sistem sirkulasi udaranya tidak baik. Karena proses pengelasan akan menghasilkan gas-gas yang membahayakan sistem pernapasan jika dihirup dalam jumlah besar. Jika gas hasil pengelasan tidak segera dialirkan ke luar ruangan maka akan dihirup oleh operator.

4. Pakaian las

Pakaian ini berfungsi untuk melindungi tubuh dari percikan bunga api dan pancaran sinar las. Pakaian las terbuat dari bahan yang lemas sehingga tidak membatasi gerak si pemakai. Selain bahan pakaian yang digunakan lemas, juga harus


(32)

ringan, tidak mudah terbakar, dan mampu menahan panas atau bersifat isolator. Model lengan dan celana dibuat panjang agar mampu melindungi seluruh tubuh dengan baik.

5. Pelindung badan (apron)

Untuk melindungi kulit dan organ-organ tubuh pada bagian badan dari percikan bunga api dan pancaran sinar las yang mempunyai intensitas tinggi maka pada bagian badan perlu dilindungi sperti halnya pada bagian muka, karena baju las yang digunakan belum mampu sepenuhnya melindungi kulit dan organ tubuh pada bagian dada.

6. Sarung tangan

Kontak dengan panas dan listrik sering terjadi yaitu melewati kedua tangan, contoh: penggantian elektroda atau memegang sebagian dari benda kerja yang memperoleh panas secara konduksi dari proses pengelasan. Untuk melindungi tangan dari panas dan listrik maka operator las harus menggunakan sarung tangan, karena mempunyai sifat mampu menjadi isolator panas dan listrik (mampu menahan panas dan tidak menghantarkan listrik).

7. Sepatu las

Sepatu las dapat melindungi telapak dan jari-jari kaki kemungkinan tergencet benda keras, benda panas atau sengatan listrik. Dengan memakai sepatu las bebarti tidak ada aliran arus listrik dari mesin las ke ground (tanah) melewati tubuh kita, karena bahan sepatu berfungsi sebagai isolator listrik.


(33)

2.2. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

2.2.1. Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Keselamatan (safety) mempunyai arti keadaan terbebas dari celaka (accident) ataupun hampir celaka (near miss acccident). Upaya kesehatan kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun pekerja lain di sekelilingnya, sehingga diperoleh produktivitas kerja yang optimal.

Kesehatan kerja merupakan hubungan dua arah antara pekerjaan dan kesehatan. Kesehatan kerja tidak hanya menyangkut hubungan antara efek lingkungan kerja misalnya panas, bising debu, zat-zat kimia dan lain-lain, tetapi hubungan antara status kesehatan pekerja dengan kemampuannya untuk melakukan tugas yang harus dikerjakannya. Tujuan utama kesehatan kerja adalah mencegah timbulnya gangguan kesehatan daripada mengobatinya (Suma’mur, 2009).

Menurut Depnaker RI (2005), Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah segala daya dan upaya dan pemikiran yang dilakukan dalam rangka mencegah, mengurangi, dan menanggulangi terjadinya kecelakaan dan dampaknya melalui langkah-langkah identifikasi, analisa, dan pengendalian bahaya dengan menerapkan sistem pengendalian bahaya secara tepat dan melaksanakan perundang-undangan tentang keselamatan dan kesehatan kerja.

2.2.2. Persyaratan Keselamatan Kerja

Persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja menurut Undang-undang No. 1 tahun 1970 (Suma’mur, 2009) adalah sebagai berikut :

1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan, hal ini berkaitan dengan upaya pencegahan kecelakaan dan setiap pekerjaan atau kegiatan berbahaya.


(34)

2. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran, berkaitan dengan sistem proteksi dan pencegahan kebakaran (fire protection system) dalam rancangan bangun, operasi, dan penggunaan sarana, pabrik, banguna dan fasilitas lainnya. 3. Mencegah dan mengurangi bahaya kebakaran, meliputi upaya pencegahan

bahaya kebakaran (fire prevention) dalam kegiatan yang dapat mengandung bahaya kebakaran, menggunakan api atau kegiatan lainnya.

4. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri dalam kejadian kebakaran atau kejadian lainnya. Berkaitan dengan sistem tanggap darurat (emergency response) serta fasilitas penyelamat di dalam bangunan atau tempat kerja (means of escape).

5. Memberikan pertolongan dalam kecelakaan. Menyangkut aspek P3K atau pertolongan jika terjadi kecelakaan termasuk resque dan pertolongan korban. 6. Memberikan alat pelindung diri bagi pekerja. Berkaitan dengan penyediaan alat

keselamatan yang sesuai untuk setiap pekerjaan yang berbahaya.

7. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran. Berkaitan dengan keselamatan lingkungan kerja, pencemaran atau buangan industri serta kesehatan kerja.

8. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik, psikis, peracunan, infeksi, dan penularan.

9. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai. 10. Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik. 11. Menyelenggarakan penyegaran udara yang baik.


(35)

13. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan dan proses kerja. Berkaitan dengan aspek ergonomi di tempat kerja.

14. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan. Berkaitan dengan keselamatan konstruksi dan bangunan mulai dari pembangunan sampai penempatannya.

15. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan, dan penyimpanan barang. Syarat ini berkaitan dengan kegiatan pelabuhan dan pergudangan.

16. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya, berkaitan dengan keselamatan ketenagalistrikan.

17. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahayanya menjadi bertambah tinggi .

2.3. Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya, sebab kecelakaan harus diteliti dan ditemukan, agar selanjutnya dengan tindakan korektif yang ditujukan kepada penyebab itu serta dengan upaya preventif lebih lanjut kecelakaan dapat dicegah dan kecelakaan serupa tidak terulang kembali. Ada dua golongan penyebab kecelakaan kerja. Golongan pertama adalah faktor mekanisme dan lingkungan, yang meliputi segala sesuatu selain faktor manusia. Golongan kedua adalah faktor manusia itu sendiri yang merupakan penyebab kecelakaan (Suma’mur 2009)


(36)

Gambar 2.1 Teori Domino Heinrich

Teori ini menyatakan bahwa kecelakaan merupakan akibat dari peristiwa berurutan, kiasan seperti garis domino jatuh. Jika salah satu domino jatuh, itu akan memicu jatuhnya berikutnya, dan domino berikutnya, dan domino berikutnya, hingga domino terakhir. Menghapus faktor kunci membantu mencegah terjadinya reaksi berantai. Heinrich menyoroti domino ketiga sebagai Kunci domino.

Faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya kecelakaan kerja antara lain : 1. Situasi kerja

Situasi kerja berkaitan dengan kondisi lingkungan kerja yang mempengaruhi produktivitas pekerja. Situasi kerja yang dimaksud meliputi :

a. Pengendalian manajemen yang kurang b. Standar kerja yang minim

c. Lingkungan kerja yang tidak memenuhi standar

d. Peralatan kerja yang gagal atau tempat kerja yang tidak mencukupi 2. Kesalahan orang

Kesalahan orang meliputi :

a. Keterampilan dan pengetahuan pekerja yang minim b. Masalah fisik dan mental

c. Motivasi yang minim atau salah penempatan d. Perhatian yang kurang


(37)

3. Tindakan tidak aman

Kesepakatan domino ketiga Heinrich dengan penyebab langsung terjadinya kecelakaan. Heinrich merasa bahwa tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman merupakan faktor utama penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Kondisi lingkungan kerja yang dimaksud sperti :

a. Tidak mengikut i metode kerja yang telah disetujui b. Mengambil jalan pintas

c. Menyingkirkan atau tidak menggunakan perlengkapan keselamatan kerja. 4. Kecelakaan

Heinrich mendefinisikan kecelakaan sebagai kejadian yang sudah umum terjadi dilingkungan kerja.

a. Kejadian yang tidak terduga

b. Akibat kontak dengan mesin atau listrik yang berbahaya c. Terjatuh

d. Terhantam mesin atau material yang jatuh, dan sebagainya 5. Cedera/ kerusakan

Cedera atau kerusakan terhadap pekerja dibedakan menjadi.

a. Terhadap pekerja yang meliputi sakit dan penderitaan, kehilangan pendapatan, kehilangan kualitas hidup.

b. Terhadap majikan meliputi kerusakan pabrik, pembayaran kompensasi, kerugian produksi, dan kemungkinan proses pengadilan (Ridley, 2006)


(38)

2.4. Konsep Perilaku 2.4.1. Pengertian Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya (Sarwono, 2007).

Perilaku diartikan sebagai semua kegiatan atau aktivitas, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Skiner bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organism, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons (Notoatmodjo, 2003).

Perilaku dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan bentuk respon terhadap stimulus yang diterima (Notoatmodjo, 2003) yakni :

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk-bentuk


(39)

tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

2.4.2. Determinan Perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan penggabungan dari berbagai faktor. Faktor-faktor yang dimaksud yakni faktor internal dan faktor eksternal (lingkungan) (Notoatmodjo, 2003) antara lain:

1. Faktor internal

Faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. Aliran ini disebut aliran negatisme yang di tokohi oleh Schopenhower (Jerman) yang mengatakan bahwa perilaku manusia itu sudah dibawa sejak lahir. 2. Faktor eksternal

Faktor eksternal yaitu lingkungan baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupaka faktor yang dominan mewarnai perilaku seseorang. Hal ini sesuai dengan aliran positivisme yang dikemukakan oleh Jhon Locke yang mengatakan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh lingkungan.


(40)

2.5. Tindakan Tidak Aman

2.5.1. Pengertian Tindakan Tidak Aman

Menurut Illyas (2000) dalam Pratiwi (2009) perilaku tidak aman adalah perilaku yang dilakukan oleh pekerja yang menyimpang dari prinsip-prinsip keselamatan atau tidak sesuai dengan prosedur kerja yang berisiko untuk timbulnya masalah.

Menurut Kletz (2001) dalam Pratiwi (2009) menyatakan bahwa pada dasarnya tindakan/perilaku tidak aman merupakan kesalahan manusia dalam mengambil sikap/tindakan. Klasifikasi kesalahan manusia antara lain :

1. Kesalahan karena lupa

Kesalahan terjadi biasanya pada seseorang yang sebetulnya tahu, mampu dan berniat, mengerjakan secara benar dan aman dan telah biasa dilakukan, namun melakukan kesalahan karena lupa. Contoh : menekan tombol yang salah, lupa membuka atau menutup keran.

2. Kesalahan karena tidak tahu

Kesalahan terjadi karena orang tersebut tidak mengetahui cara mengerjakan/mengoperasikan peralatan secara benar dan aman atau terjadi kesalahan perhitungan. Hal tersebut terjadi disebabkan karena kurang pelatihan, kurang/ salah instruksi, perubahan informasi.

3. Kesalahan karena tidak mampu

Kesalahan terjadi karena tidak mampu melakukan tugasnya. Contoh : pekerjaan terlalu sulit, beban fisik maupun mental pekerjaan terlalu berat, tugas/ informasi terlalu banyak.


(41)

4. Kesalahan karena kurang motivasi

Kesalahan karena kurang motivasi ini bisa terjadi karena hal-hal :

a. Dorongan pribadi (desire) : ingin cepat selesai, melalui jalan pintas, ingin nyaman, malas memakai APD, menarik perhatian dengan mengambil resiko berlebihan.

2.5.2. Klasifkasi tindakan tidak aman

Menurut Bird (1990) dalam Pratiwi (2009) tindakan tidak aman meliputi sebagai berikut :

1. Pengoperasian peralatan pada kecepatan yang tidak pantas. 2. Mengoperasika peralatan pada otoritas yang tidak pantas. 3. Penggunaan peralatan yang tidak sesuai.

4. Penggunaan peralatan yang cacat.

5. Tindakan yang menyebabkan alat keselamatan tidak dapat dioperasikan. 6. Kegagalan memberi isyarat atau untuk menjalani/mengamankan peralatan. 7. Kegagalan menggunakan APD.

8. Penempatan peralatan/persediaan yang tidak sesuai. 9. Pengambilan posisi kerja yang tidak sesuai.

10. Memperbaiki/ merawat peralatan yang sedang bergerak. 11. Bercanda dalam bekerja.

12. Bekerja di bawah pengaruh alkohol. 13. Penggunaan obat-obat terlarang.


(42)

2.6. Teori dan Model Perilaku Kesehatan 2.6.1. Teori Lawrence Green

Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2005), faktor perilaku ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu:

a. Faktor predisposisi (disposing), yaitu faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi.

b. Faktor pemungkin (enabling), adalah faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku, antara lain sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya kesehatan.

c. Faktor penguat (reinforcing), faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, seperti pada tokoh panutan bagi seseorang dalam berperilaku. 2.6.2. Behavior Based Safety (BBS)

Pengertian Behavior Based Safety (BBS) atau perilaku berbasis keselamatan menurut Krause (1999) dalam Syaaf (2008) merupakan proses yang membantu pekerja mengidentifikasi dan memilih perilaku aman dan selamat atau tidak dengan proses sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi perilaku yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja.

2. Mengumpulkan data kelompok pekerja.

3. Memberikan feedback dua arah mengenai perilaku keselamatan dan kesehatan kerja.


(43)

Eckenfelder (2003) dalam Syaaf (2008) mengemukakan beberapa kelebihan dari pendekatan BBS yaitu:

a. Mengutamakan pekerja.

b. Mendefinisikan safe/unsafe behavior

c. Melatih perilaku yang diharapkan dan mengurangi perilaku yang salah. d. Melibatkan partisipasi pekerja dalam prosesnya.

e. Melibatkan Top supervisor untuk pelaksanaan program.

Tujuan dari perilaku berbasis keselamatan adalah untuk mengubah perilaku pekerja dari perilaku “berisiko” menjadi perilaku “aman”. Para peneliti menggunakan apa yang disebut dengan model ABC untuk mengubah perilaku pekerja.

2.6.3. Model ABC dan Perilaku

Menurut Geller (2001) dalam Syaaf (2008) perilaku merupakan fungsi dari lingkungan sekitar. Kejadian yang terjadi di lingkungan sekitar dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kejadian yang mendahului suatu perilaku dan kejadian yang mengikuti suatu perilaku. Kejadian yang muncul sebelum suatu perilaku disebut anteseden sedangkan kejadian yang mengikuti suatu perilaku disebut konsekuensi. Perilaku memiliki prinsip dasar dapat dipelajari dan diubah dengan mengidentifikasi dan memanipulasi keadaan lingkungan atau stimulus yang mendahului dan mengikuti suatu perilaku

Fleming dan Lardner (2002) dalam Syaaf (2008) menjelaskan bahwa elemen inti dari modifikasi perilaku adalah model ABC dari perilaku. Menurut model ABC , perilaku dipicu oleh beberapa rangkaian peristiwa anteseden (sesuatu yang mendahului sebuah perilaku dan secara kausal terhubung dengan perilaku itu sendiri) dan diikuti oleh konsekuensi (hasil nyata dari perilaku bagi individu) yang dapat


(44)

meningkatkan atau menurunkan kemungkinan perilaku tersebut akan terulang kembali. Analisis ABC membantu dalam mengidentifikasi cara-cara untuk mengubah perilaku dengan memastikan keberadaan anteseden yang tepat dan konsekuensi yang mengandung perilaku yang diharapakan Anteseden yang juga disebut sebagai aktivator dapat memunculkan suatu perilaku untuk mendapatkan konsekuensi yang diharapkan (reward) atau menghindari konsekuensi yang tidak diharapkan ( penalty). Dengan demikian, anteseden mengarahkan suatu perilaku dan konsekuensi menentukan apakah perilaku tersebut akan muncul kembali. Hubungan antara anteseden, perilaku, dan konsekuensi dapat dilihat pada gambar. Panah dua arah diantara perilaku dan konsekuensi menegaskan bahwa konsekuensi mempengaruhi kemungkinan perilaku tersebut akan muncul kembali. Konsekuensi dapat menguatkan atau melemahkan perilaku sehingga dapat meningkatkan atau mengurangi frekuensi kemunculan perilaku tersebut. Dengan kata lain, konsekuensi dapat meningkatkan atau menurunkan kemungkinan perilaku akan muncul kembali dalam kondisi yang serupa (McSween, 2003). Anteseden adalah penting namun tidak cukup berpengaruh untuk menghasilkan perilaku. Konsekuensi menjelaskan mengapa orang mengadopsi perilaku tertentu (Fleming dan. Lardner, 2002).

Gambar 2.2 Hubungan anteseden, perilaku, dan konsekuensi

Anteseden Conse

quences Behavior


(45)

Model ABC dapat digunakan untuk mempromosikan perilaku sehat dan selamat. Sebagai contoh, analisis ABC dapat digunakan untuk menyelidiki mengapa pekerja tidak menggunakan alat pelindung telinga pada lingkungan yang bising dan mngidentifikasi bagaimana cara untuk mempromosikan penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT) sehingga dapat mengurangi kehilangan pendengaran (Fleming dan Lardner, 2002).

2.6.3.1. Anteseden (Antecedent)

Anteseden adalah peristiwa lingkungan yang membentuk tahap atau pemicu perilaku. Anteseden yang secara reliable mengisyaratkan waktu untuk menjalankan sebuah perilaku dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya suatu perilaku pada saat dan tempat yang tepat. Anteseden dapat bersifat alamiah (dipicu oleh peristiwa-peritiwa lingkungan) dan terencana (dipicu oleh pesan/peringatan yang dibuat oleh komunikator) (Graeff, dkk. 1996).

Contoh anteseden yaitu peraturan dan prosedur, peralatan dan perlengkapan yang sesuai, informasi, rambu-rambu, keterampilan dan pengetahuan, serta pelatihan Menurut Anne R. French seperti yang dikutip Roughton (2002), anteseden dapat berupa safety meetings, penetapan tujuan, peraturan, perjanjian kontrak, kebijakan dan prosedur, penambahan dan pengurangan insentif, intruksi, penempatan rambu label keselamatan, pelatihan, permodelan ( Fleming dan Lardner, 2002).

Meskipun anteseden diperlukan untuk memicu perilaku, namun kehadirannya tidak menjamin kemunculan suatu perilaku. Sebagai contoh, adanya peraturan dan prosedur keselamatan belum tentu memunculkan perilaku aman. Bagaimanapun anteseden yang memiliki efek jangka panjang seperti pengetahuan sangat penting untuk menciptakan perilaku aman. Anteseden adalah penting untuk memunculkan


(46)

perilaku, tetapi pengaruhnya tidak cukup untuk membuat perilaku tersebut bertahan selamanya. Untuk memelihara perilaku dalam jangka panjang dibutuhkan konsekuensi yang signifikan bagi individu (Fleming dan Lardner, 2002).

2.6.3.2. Konsekuensi (Consequences)

Konsekuensi adalah peristiwa lingkungan yang mengikuti sebuah perilaku, yang juga menguatkan, melemahkan atau menghentikan suatu perilaku. Secara umum, orang cenderung mengulangi perilaku-perilaku yang membawa hasil-hasil positif dan menghindari perilaku-perilaku yang memberikan hasil-hasil negatif. (Graeff, dkk, 1996).

Konsekuensi didefenisikan sebagai hasil nyata dari perilaku individu yang mempengaruhi kemungkinan perilaku tersebut akan muncul kembali. Dengan demikian, frekuensi suatu perilaku dapat meningkat atau menurun dengan menetapkan konsekuensi yang mengikuti perilaku tersebut. (Fleming dan Lardner, 2002).

Konsekuensi dapa berupa pembuktian diri, penerimaan atau penolakan dari rekan kerja, sanksi, umpan balik, cedera atau cacat, penghargaan, kenyamanan atau ketidaknyamanan, rasa terimakasih, penghematan waktu (Roughton, 2002).

Ada tiga macam konsekuensi yang mempengaruhi perilaku, yaitu penguatan positif, peguatan negatif, dan hukuman. Penguatan positif dan penguatan negatif memperbesar kemungkinan suatu perilaku untuk muncul kembali sedangkan hukuman memperkecil kemungkinan suatu perilaku untuk muncul kembali (Fleming dan Lardner, 2002).


(47)

dan penghargaan. Penguatan negative dapat berupa terhindar dari sesuatu yang tidak diingiinkan seperti terhindar dari pengucilan oleh rekan kerja, terhindar dari rasa sakit, terhindar dari kehilangan insentif, dan terhindar dari denda. Hukuman dapat berupa mendapatkan sesuatu yang tidak diinginkan atau kehilangan sesuatu yang dimiliki atau diinginkan seperti kehilangan keuntungan, aksipendisiplinan, rasa sakit/cedera, perasaaan bersalah (Fleming dan Lardner, 2002).

Konsekuensi diatas dapat digunakan satu saja atau gabungan ketiganya untuk mengubah perilaku. Sebagai contoh, frekuensi seorang manajer mengadakan inspeksi dapat ditingkat dengan :

1. Penguatan positif berupa pujian dari atasan setelah melakukan inspeksi. 2. Penguatan negative untuk menghindari pengucilan oleh rekan kerja jika tidak

melaksanakan inspeksi.

3. Hukuman berupa bonus bagi manajer dikurangi jika tidak melakukan isnpeksi.

Meskipun penguatan positif dan penguatan negatif sama-sama meningkatkan frekuensi kemunculan suatu perilaku, keduanya menimbulkan hasil yang berbeda. Penguatan negatif hanya menghasilkan perilaku untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Dengan kata lain mempengaruhi penilaian individu. Seseorang memunculkan perilaku karena memang keinginannya bukan karena keharusan (Fleming dan Lardner, 2002).

Penguatan dan hukuman ditentukan berdasarkan efeknya. Jadi sebuah konsekuensi yang tidak dapat mengurangi frekuensi dari perilaku bukan merupakan hukuman dan konsekuensi yang tidak dapat meningkatkan frekuensi bukan merupakan penguatan. Faktanya, suatu tindakan yang sama dapat sekaligus menjadi


(48)

penguatan bagi seseorang dalam situasi dan hukuman dalam situasi lain (Fleming dan Lardner, 2002).

Seringkali konsekuensi menimbulkan efek yang bertentangan dengan efek yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena konsekuensi pada perilaku tidak ditentukan oleh tindakan khusus atau tujuan yang diharapkan, tetapi orang yang melakukan perilaku tersebut. Sebagai contoh, seorang manajer ingin memberikan penghargaan atas keterlibatan pekerja dalam program peningkatan keselamatan, Ia mengundang pekerjanya untuk menghadiri makan malam dan upacara penghargaan serta menghadiahkan tiket permainan golf di akhir minggu untuk dua orang. Meskipun maksud manajer tersebut adalah memberikan penguatan positif, namun hadiah tersebut tidak memiliki efek yang diharapkan jika penerimanya merupakan orang tua tunggal. Karyawan tersebut kemungkinan besar tidak akan menggunakan kesempatannya untuk berlibur karena tidak memiliki seseorang untuk diajak, tidak dapat meninggalkan anaknya sehingga tidak bisa bermain golf (Fleming dan Lardner, 2002).

Berdasarkan ilustrasi diatas, aspek permasalahan ketika menggunakan modifikasi perilau untuk mengubah perilaku adalah dalam memiki konsekuensi yang menurut orang lain memberikan penguatan baginya. Apa yang kita pikir dapat memberikan penguatan belum tentu efeknya bagi orang lain. Ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penguatan yang efektif yaitu:

a. Melibatkan target individu atau kelompok dalam menentukan konsekuensi. b. Memperhatikan apa yang dipilih oleh target individu atau kelompok untuk


(49)

mereka secara aktif dapat digunakan untuk menguatkan aktivitas lain yang kurang diinginkan.

c. Dalam menggunakan analisis ABC pada perilaku yang kompleks dibutuhkan beberapa kriteria untuk menilai efek konsekuensi.

2.7. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Kerja 2.7.1. Pelatihan

Salah satu cara yang baik untuk mempromosikan keselamatan di tempat kerja adalah dengan memberikan pelatihan bagi pekerja. Pelatihan keselamatan awal harus menjadi bagian proses orientasi pekerja baru. Pelatihan selanjutnya diarahkan pada pembentukan pengetahuan yang baru, spesifik dan lebih dalam serta memperbaharui pengetahuan yang sudah ada (Goestsch, 1996).

Pelatihan memberikan manfaat ganda dalam promosi keselamatan. Pertama, pelatihan memastikan pekerja tahu bagaimana cara bekerja dengan aman dan mengapa hal itu penting. Kedua, pelatihan menunjukkan bahwa manajamen memiliki komitmen terhadap keselamatan. Pelatihan merupakan komponen utama dalam setiap program keselamatan. Pelatihan dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman kerja terhadap hazard dan risiko. Dengan adanya peningkatan kesadaran terhadap risiko, pekerja dapat menghindari kondisi tertentu dengan mengenali pajanan dan memodifikasinya dengan mengubah prosedur kerja menjadi lebih aman

Latihan keselamatan adalah penting mengingat kebanyakan kecelakaan terjadi pada pekerja baru yang belum terbiasa bekerja dengan selamat. Sebabnya adalah ketidaktahuan cara mencegahnya, sekalipun tahu tentang adanya suatu risiko bahaya tersebut. Ada pula tenaga kerja baru yang sebenarnya menaruh perhatian tehadap


(50)

adanya bahaya, tetapi ia tidak mau disebut takut dan akhirnya menderita kecelakaan. Pentingnya segi keselamatan harus ditekankan kepada tenaga kerja oleh pelatih, pimpinan kelompok atau isntruktur (Suma’mur 2009).

2.7.2. Peraturan

Dalam penelitiannya Pratiwi (2009) mengemukakan pendapat beberapa ahli seperti Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mengkomunikasikan standar, norma dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan (Geller, 2001). Peraturan memiliki peran besar dalam menentukan perilaku mana yang dapat diterima dan tidak dapat diterima (Roughton, 2002).

Notoatmodjo (1993) dalam Syaaf (2008) menyebutkan salah satu strategi perubahan perilaku adalah dengan menggunakan kekuatan atau kekuasaan misalnya peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri.

Secara umum, kewajiban manajemen dalam peraturan keselamatan dapat dirangkum sebagai berikut (Goestch, 1996):

1. Manajemen harus memiliki peraturan yang memastikan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.

2. Manajemen harus memastikan bahwa setiap pekerjanya memahami peraturan tersebut.

3. Manajamen harus memastikan bahwa peraturan tersebut dilaksanakan secara objektif dan konsisten.


(51)

Manajemen yang tidak memenuhi kriteria di atas dianggap teledor. Memiliki peraturan saja tidak cukup, demikian juga memiliki peraturan dan meningkatkan kesadaran pekerja terhadap peraturan. Manajemen harus merumuskan peraturan yang sesuai, mengkonsumsikan peraturan tersebut kepada pekerja, dan menegakkan peraturan tersebut di tempat kerja. Penegakkan peraturan merupakan hal yang sering dilupakan (Goestch, 1996).

Objektivitas dan konsistensi merupakan hal yang penting ketika menegakkan peraturan. Objektivitas maksudnya peraturan tersebut berlaku bagi semua pekerja dari mulai pekerja baru hingga kepada eksekutif. Konsistensi maksudnya adalah peraturan tersebut ditegakkan dalam setiap kondisi tanpa ada pengaruh dari luar. Hal ini berarti hukuman diberikan kepada setiap pelanggaran. Gagal untuk menjadi objektif dan konsisten dapat menurunkan kredibilitas dan efektivitas upaya perusahaan untuk mempromosikan keselamatan (Goestch, 1996).

Peraturan keselamatan akan lebih efektif jika dibuat dalam bentuk tertulis dikomunikasikan dan didiskusikan dengan seluruh pekerja yang terlibat. Hubungan antar peraturan keselamatan dan konsekuensi yang diterima akibat pelanggaran dapat didiskusikan bersama dengan pekerja. Pekerja kemudian diminta untuk menandatangani pernyataan bahwa mereka telah membaca dan memahami peraturan tersebut dan juga telah mendapatkan penjelasan tentang konsekuensi yang akan mereka terima bila melanggarnya. Ketika pekerja ikut dilibatkan dalam perumusan peraturan, mereka akan lebih memahami dan mau mengikuti peraturan tersebut (Roughton, 2002).


(52)

Petunjuk untuk membangun peraturan keselamatan (Goestch, 1996) antara lain: 1. Kurangi jumlah peraturan. Terlalu banyak peraturan dapat menimbulkan

overload.

2. Tulis peraturan dalam bahasa yang jelas dan mudah dipahami. Langsung pada poin pentingnya saja dan hindari penggunaan kata-kata yang memiliki makna ambigu atau sulit dipahami.

3. Tulis hanya peraturan penting untuk memastikan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.

4. Libatkan pekerja dalam perumusan peraturan yang berlaku bagi area operasi tertentu.

5. Rumuskan hanya peraturan yang dapat dan akan ditegakkan. 6. Gunakan akal sehat dalam merumuskan peraturan.

2.7.3. Pengawasan

Kelemahan dari peraturan keselamatan adalah hanya berupa tulisan yang menyebutkan bagaimana seseorang bisa selamat, tetapi tidak mengawasi tindakan aktivitasnya. Pekerja akan cenderung melupakan kewajibannya dalam beberapa hari atau minggu (Roughton, 2002). Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan untuk menegakkan peraturan di tempat kerja.

Menurut Roughton (2002), beberapa tipe individu yang harus terlibat dalam mengawasi tempat kerja yaitu :

1. Pengawas (Supervisor)

Setiap pengawas yang ditunjuk harus mendapatkan pelatihan terlebih dahulu mengenai bahaya yang mungkin akan ditemui dan juga pengendaliannya.


(53)

2. Pekerja

Ini merupakan salah satu cara untuk melibatkan pekerja dalam proses keselamatan. Setiap pekerja harus mengerti mengenai potensi bahaya dan cara melindungi diri dan rekan kerjanya dari bahaya tersebut. Mereka yang terlibat dalam pengawasan membutuhkan pelatihan dalam mengenali dan mengendalikan potensi hazard.

3. Safety Professional

Safety Professional harus menyediakan bimbingan dan petunjuk tentang metode inspeksi. Safety Professional dapat diandalkan untuk bertanggung jawab terhadap kesuksesan atau permasalahan dalam program pencegahan dan pengendalian bahaya.

2.7.4. Ketersediaan Fasilitas

Penggunaan APD merupakan penyambung dari berbagai upaya pencegahan kecelakaan lainnya atau ketika tidak ada metode atau praktek lain yang mungkin untuk dilakukan (Roughton, 2002).

Aneka alat-alat APD adalah kaca mata (goggles), safety shoes, sarung tangan, topi pengaman, pelindung telinga, pelindung paru-paru, dan lain-lain. Desain dan pembuatan APD harus memenuhi standar-standar tertentu dan sudah diuji terlebih dahulu kemampuan perlindungannya (Suma’mur, 2009).

Melindungi Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2005) perilaku dapat terbentuk dari tiga faktor, salah satunya faktor pendukung (enabling) yaitu ketersediaan fasilitas atau sarana kesehatan. Ketersediaan APD dalam hal ini merupakan salah satu bentuk dari faktor pendukung perilaku, dimana suatu perilaku


(54)

otomatis belum terwujud dalam suatu tindakan jika tidak terdapat fasilitas yang mendukung terbentuknya sikap tersebut

Pekerja membutuhkan pelatihan tentang APD agar dapat dimengerti arti pentingnya penggunaan APD dan bagaimana cara menggunakan serta merawatnya dengan baik. Pekerja juga harus diberitahu mengenai keterbatasan dari APD. APD tidak selalu cocok untuk digunakan dalam setiap situasi karena memang didesain secara khusus untuk suatu pekerjaan saja. Selain pelatihan, penguatan positif dan peraturan yang mengatur tentang penggunaan APD juga sangat dibutuhkan.

2.7.5. Hukuman dan Penghargaan

Menurut Geller (2011) hukuman adalah konsekuensi yang diterima individu atau kelompok sebagai bentuk akibat dari perilaku yang tidak diharapkan. Hukuman dapat menekan atau melemahkan perilaku. Hukuman tidak hanya berorientasi untuk meghukum pekerja yang melanggar peraturan, melainkan sebagai control terhadap lingkungan kerja sehingga pekerja terlindung dari insiden (Roughton, 2002).

Sedangkan penghargaan menurut Geller (2001) dalam Syaaf (2008) adalah konsekuensi positif yang diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan mengembangkan, mendukung dan memelihara perilaku yang diharapkan. Jika digunakan sebagaimana mestinya, penghargaan dapat memberikan yang terbaik kepada setiap orang karena penghargaan membentuk parasaan percaya diri, penghargaan diri, pengendalian diri, optimistisme, dan rasa memiliki.

Menurut Wilde dalam Syaaf (2008) penekanan pada hukuman dapat memotivasi perilaku seseorang dalam keselamatan, namun bukti dari efektifitasnya tidak diketahui dengan pasti. Adapun kelemahan dari hukuman ini adalah :


(55)

1. Efek Atribusi. Sebagai contoh, menilai seseorang sebagai karakteristik yang tidak diharapkan dapat merangsang seseorang untuk berperilaku seperti mereka benar-benar memiliki karakteristik itu. Menilai seseorang tidak bertanggung jawab akan membuat mereka berperilaku seperti itu.

2. Penekanan pada pengendalian proses pembentukan perilaku. Sebagai contoh menggunakan alat pelindung diri atau mematuhi batas kecepatan kerja daripada menekankan pada hasil akhir yang ingin dicapai yaitu keselamatan. Pengendalian proses tidak praktis untuk didesain dan diimplementasikan serta tidak dapat merangkum seluruh perilaku yang tidak diharapkan dari pekerja dalam setiap waktu.

3. Hukuman membawa efek samping negatif. Hukuman menimbulkan disfungsi iklim organisasi yang tidak ditandai oleh dendam, tidak mau bekerja sama, sikap antagonis, bahkan sabotase. Hasilnya, perilaku yang tidak diharapkan mungkin akan muncul.


(56)

2.8. Kerangka Konsep

Anteseden yang terdiri dari pengetahuan, pelatihan, peraturan, pengawasan dan ketersediaan fasilitas merupakan variable bebas (dependen) sedangkan konsekuensi merupakan variabel bebas (dependen) yang memiliki keterkaitan timbal balik dengan perilaku berisiko. Perilaku berisiko merupakan variabel terikat (independen).

Anteseden

1. Pengetahuan tentang bahaya di tempat kerja. 2. Pelatihan keselamatan 3. Peraturan

4. Pengawasan

5. Ketersediaan fasilitas

Consequences

1. Sanksi 2. Penghargaan


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk menganalisis perilaku berisiko pada pekerja pengelasan di Jalan Mahkamah Medan tahun 2011.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di bengkel las Jalan Mahkamah Kelurahan Mesjid Kecamatan Medan Maimun.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini berlangsung selama bulan September- November 2011. 3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja dari 35 bengkel las yang berjumlah 154 pekerja bengkel las yang berada di Jalan Mahkamah Medan.

3.3.2. Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik sampel random dengan rumus :

n = n =

n = 45 pekerja bengkel las NZc2.p(1 – p) NG2 +Zc2. P(1 – p)

154. (1,96)2.0,5(1-0,5)2


(58)

Keterangan :

Zc = Nilai derajat kepercayaan 95% = 1,96

P = Proporsi dari populasi yang ditetapkan, p = 0.5 G = Galat pendugaan = 0.1

N = Besar sampel N = Populasi

D = tingkat kepercayaan (0,1) K = Kelipatan

N = Jumlah anggota populasi N = Jumlah anggota sampel

3.4. Teknik Pengumpuan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pekerja bengkel las di Jalan Mahkamah Medan tahun 2011 yang berpedoman pada kuesioner yang dimodifiasi dari kuesioner Syaat (2008). Selain wawancara, pengumpulan data juga dilakukan dengan observasi.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder berupa profil kelurahan diperoleh dari kantor kelurahan Mesjid, Kecamatan Medan Maimun, Kotamadya Medan tempat penelitian diadakan.

3.5. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Skala Ukur Alat

Ukur

Indikator 1. Perilaku

Berisiko

Tindakan yang dilakukan pekerja yang berpotensi untuk

menimbulkan kecelakaan kerja:

a. Penggunaan APD b. Melemparkan peralatan

kerja saat memberikannya kepada rekan kerja

c. Bekerja dengan terburu-buru

d. Bercanda saat bekerja

1. Sering 2. Kadang-kadang 3. Tidak pernah Lembar kuesioner •

Perilaku resiko tinggi jika nilai yang diperoleh lebih dari atau sama dengan nilai median

• Perilaku resiko rendah jika nilai yang diperoleh


(59)

median 2. Pengetahuan Informasi yang diketahui

pekerja tentang keselamatan kerja bengkel las

Ordinal Lembar kuesioner •

Baik jika nilai yang diperoleh lebih dari atau sama dengan nilai median

• Tidak baik jika nilai yang

diperoleh kurang dari nilai median 3. Pelatihan

Keselamatan

Kegiatan pelatihan keselamatan yang pernah

diperoleh pekerja

1. Ya 2. Tidak

Lembar kuesioner •

Ada jika nilai yang diperoleh lebih dari atau sama dengan nilai median

• Tidak Ada jika nilai yang

diperoleh kurang dari nilai median 4. Peraturan Peraturan atau peraturan yang

dimiliki oleh bengkel las

1. Ya 2. Tidak

Lembar Kuesioner •

Baik jika nilai yang diperoleh lebih dari atau sama dengan nilai median

• Tidak baik jika nilai yang

diperoleh kurang dari nilai median 5. Pengawasan Kegiatan pemantauan dan

pengarahan pada pekerja untuk berperilaku aman saat

bekerja

1. Ya 2. Tidak

Lembar kuesioner •

Baik jika nilai yang diperoleh lebih dari atau sama dengan nilai median

• Tidak baik jika nilai yang

diperoleh kurang dari nilai median 6. Fasilitas/kete-

rsediaan saran dan prasaran

Ketersediaan alat pelindug diri, alat pengaman, dan

prosedur kerja yang

1. Ya 2. Tidak

Lembar kuesioner •

Baik jika nilai yang diperoleh lebih dari atau


(60)

menunjang perilaku aman dan selamat dalam bekerja

sama dengan nilai median

• Tidak baik jika nilai yang

diperoleh kurang dari nilai median

7. Sanksi Suatu tindakan yang

diberikan kepada pekerja jika melakukan pelanggaran

1. Ya 2. Tidak

Lembar kuesioner •

Ada jika nilai yang diperoleh lebih dari atau sama dengan nilai median

• Tidak ada jika nilai yang

diperoleh kurang dari nilai median 8. Penghargaan Suatu tindakan yang

diberikan kepada pekerja jika melakukan pekerjaan dengan

baik.

1. Ya 2. Tidak

Lembar kuesioner •

ada jika nilai yang diperoleh lebih dari atau sama dengan nilai median

• Tidak ada jika nilai yang

diperoleh kurang dari nilai median

3.6. Teknik Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan menggunakan analisa univariat untuk mengetahui distribusi frekuensi dan persentase dari masing-masing variabel.


(61)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Bengkel las Jalan Mahkamah Medan.

Bengkel las Jalan Makamah Medan terletak di lingkungan 7 Kelurahan Mesjid Kecamatan Medan Maimun Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Bengkel las terdiri dari 35 bengkel las dan jumlah pekerja sebanyak 154 pekerja. Setiap bengkel les memiliki jumlah pekerja yang berbeda-beda., satu bengkel las ada yang terdiri dari 2 sampai 8 pekerja. Pekerja di bengkel las Jalan Mahkamah Medan merupakan buruh harian lepas dan tinggal di sekitar Jalan Mahkamah Medan.

Bengkel las di Jalan Mahkamah Medan merupakan usaha yang dikelola secara perorangan yang menghasilkan berbagai produk seperti pagar pekarangan, pintu gerbang, jerjak pintu atau jendela rumah, aneka jenis permainan anak-anak yang terbuat dari besi dan lain-lain. Dalam Proses produksinya pengelasan menggunakan peralatan seperti las busur listrik, las oksi astilen, mesin gerinda, palu, kabel-kabel las, penjepit atau klem, dan perlengkapan-perlengkapan pendukung lainnya.

Proses kerja pengelasan diawali dengan pemilihan bahan yang sesuai dengan kebutuhan, setelah bahan diperoleh dilakukan pemotongan sesuai dengan kebutuhan, setelah ukuran bahan dipotong sesuai dengan kebutuhan maka material yang telah dipotong tersebut dibentukan sesuai dengan model yang diinginkan konsumen, setelah pembentukan selesai dilakukan pengelasan untuk menyambungkan material-material yang telah dibentuk tersebut, setelah pengelasan, material-material dipoles untuk menghasilkan bentuk yang menarik dan indah.

Dalam proses kerja, produk-produk las mengandung bahaya terhadap pekerja yang dapat menimbulkan penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja karena mesin


(1)

(2)

Lampiran 4. Kuesioner Penelitian

KUESIONER PENELITIAN

ANALISIS PERILAKU BERISIKO PADA PEKERJA PENGELASAN DI JALAN JALAN MAHKAMAH MEDAN TAHUN 2011

• Isilah data diri saudara pada kolom yang telah disediakan. Petunjuk Pengisian Kuesioner

• Bacalah pertanyaan dengan seksama dan jawablah seluruh pertanyaan dibawah ini • Jawablah pertanyaan dengan berilah tanda silang (x) pada jawaban yang benar

dan apabila ingin merubah jawaban, berilah garis double strip (=) pada jawaban yang salah dan kemudian silang (x) pada jawaban lain yang saudara pilih.

A.

1. Nama : ……….

IDENTITAS RESPONDEN

2. Umur : ……….

3. Pendikan : ……….

4. Massa Kerja : ……….

B. ANTESEDEN

1. Menurut saudara, apa yang dimaksud dengan bahaya K3 di bengkel las? I. PENGETAHUAN

a. Sesuatu yang membahyakan jiwa dan kesehatan pekerja

b. Sesuatu yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi perusahaan c. Tidak tahu

2. Menurut saudara bahaya apa yang ada pada proses pengelasan?

a. Terkena sinar yang berbahaya, tersengat arus listrik, terpapar kebisingan dan debu

b. Sesuatu yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi perusahaan c. Tidak tahu

3. Menurut saudara, apa yang dimaksud dengan risiko bahaya di bengkel las?

a. Sesuatu yang dapat menimbulkan akiba buruk pada manusia, asset perusahaan dan lingkungan di sekitar bengkel las.

b. Besarnya kemungkinan tingkat keparahan dan potensi kerugian yang diakibatkan bagi perusahaan.

c. Tidak tahu

4. Apakah yang dimaksud dengan perilaku selamat pada saat bekerja?

a. Menggunakan alat pelindung diri pada saaat bekerja, tidak merokok pada saat bekerja, mengikuti peraturan di tempat kerja.

b. Menggunakan alat pelindung diri. c. Tidak tahu.

5. Menurut saudara apa yang dimaksud dengan perilaku berisiko pada saat bekerja? a. Tidak menggunakan APD pada saat bekerja, melemparkan peralatan kerja


(3)

6. Apakah manfaat menggunakan alat pelindung diri pada saat bekerja? a. Sebagai alat pelindung diri dari bahaya yang ada di tempat kerja. b. Sebagai perlengkapan pada saat bekerja.

c. Tidak tahu.

7. Menurut anda, manfaat dari tidak melempar alat kerja saat memberikan ke teman?

a. Agar tidak membahayakan keselamatan diri dan orang lain yang dapat berisiko menimbulkan celaka/ cedera

b. Tidak mengganggu pekerjaan lain. c. Tidak tahu

8. Menurut anda, manfaat dari tidak bekerja dengan terburu-buru adalah: a. Dapat berkonsentrasi dengan baik sehingga pekerjaan dapat selesai dengan baik

b. Tidak mengganggu orang lain c. Tidak tahu

9. Menurut anda manfaat dari tidak bercanda atau berkelakar saat bekerja

a. Dapat berkonsentrasi dengan baik sehingga pekerjaan dapat selesai dengan baik

b. Tidak ditegur oleh atasan/ pengawas c. Tidak tahu

10.Menurut anda manfaat dari tidak merokok saat bekerja adalah

a. Dapat berkonsentrasi dengan baik sehingga pekerjaan dapat selesai dengan baik tidak mengganggu pekerjaan orang lain

c. Tidak ditegur oleh atasan/pengawas c. Tidak tahu

II. No.

PERATURAN

Pertanyaan Ya Tidak

1. Apakah di bengkel las tempat anda bekerja terdapat peraturan/tata tertib Standar Prosedur Kerja (SOP) terhadap setiap aktivitas pekerjaan

2. Apakah pada area-area pengelasan dipasang rambu-rambu mengenai pentingnya menggunakan alat pelindung diri dalam bekerja

3. Apakah pihak pemilik bengkel las mewajibkan kepada seluruh pekerja untuk menggunakan alat pelindung diri ketika bekerja


(4)

III. No

PELATIHAN

Pertanyaan Ya Tidak

1. Apakah sebelum saudara bekerja di bengkel las ini, saudara dibekali dengan pelatihan terlebih dahulu oleh pihak pemilik bengkel las

2. Apakah saudara pernah mengikuti pelatihan yang diberikan oleh pihak pemerintah terkait keselamatan dalam bekerja

IV. No.

PENGAWASAN

Pertanyaan Ya Tidak

1. Apakah ada pengawas yang bertugas mengawasi saudara (pekerja) pada saat bekerja

2. Apakah yang menjadi pengawas di bengkel las saudara bekerja merupakan pemilik usaha itu sendiri

3. Apakah pengawas memberikan teguran apabila terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja

4 apakah pengawas selalu memeriksa kelengkapan Alat Pelindung Diri (APD) saudara bekerja

V. No.

KETERSEDIAAN FASILITAS/SARANA DAN PRASARANA

Pertanyaan Ya Tidak

1. Apakah pihak pemilik bengkel las menyediakan alat pelindung diri di bengkel las

2. Apakah pihak pemilik bengkel las selalu melakukan pemeriksaan terhadap kondisi/kelayakan alat pelindung diri

3. Apakah selalu ada penggantian untuk alat pelindung diri yang rusak oleh pemilik usaha

4. Apakah di bengkel las diterapkan standar prosedur kerja untuk bekerja dengan aman baik tertulis maupun tidak tertulis

5. Apakah pada saat melakukan pkerjaan di luar lingkungan bengkel las disediakan alat pengaman tambahan oleh pemilik bengkel las

C. KONSEKUENSI I.

No.

SANKSI

Pertanyaan Ya Tidak

1. Apakah ada sanksi yang diterapkan di bengkel las tempat saudara bekerja apabila ada pekerja yang bekerja tidak aman


(5)

II. No.

PENGHARGAAN

Pertanyaan Ya Tidak

1. Apakah ada penghargaan yang diterapkan di bengkel las tempat saudara bekerja apabila ada pekerja yang bekerja tidak aman

2. Apakah ada penghargaan yang diberikan mempengaruhi perilaku saudara dalam bekerja

D. PERILAKU TIDAK AMAN

No. Pertanyaan Ya

Kadang-kadang

Tidak

1. Apakah saudara menggunakan alat pelindung diri pada saat bekerja

2. Apakah saudara melemparkan peralatan kerja untuk memberikannya kepada rekan kerja saudara

3. Apakah pada saat bekerja, saudara bekerja sambil bersenda gurau

4. Apakah pada saat bekerja, saudara bekerja sambil merokok

5. Apakah saudara melakukan pekerjaan dengan cepat dan terburu-buru demi menyelesaikan tugas dalam waktu singkat


(6)

Lampiran 5. Data Pekerja

Data Jumlah Bengkel las dan Jumlah Pekerja di Jalan Mahkamah Medan Tahun 2011

No. Nama Bengkel Las Jumlah Pekerja Total Tukang Kernet

1 Ladon 1 2 3

2 P'zal Bengkel Las 1 6 7

3 Irzon Bengkel Las 1 2 3

4 Family Las 1 1 2

5 Manatap Bengkel Las 1 2 3

6 Bengkel Las 33 1 1 2

7 Sederhana Bengkel Las 2 3 5

8 Nauli Mangerbang 2 2 4

9 Ananda 2 1 3

10 Citra Teknik 1 2 3

11 Dua Saudara (5) 4 5 9

12 Berdikari 1 1 2

13 Maju Jaya 8 8 16

14 Tunas Harapan 1 1 2

15 Adi Bengkel Las 1 1 2

16 Mekar Jaya 2 2 4

17 Hari Jaya 2 2 4

18 Elmatur 2 2 4

19 Mentari Bengkel Las 3 2 5

20 Areo Stainless 2 2 4

21 Muhammad Rizky 2 4 6

22 Karya Sepakat 2 3 5

23 Sepakat Raya 6 3 9

24 M. Nauli 4 2 6

25 Joshua Teknik 2 2 4

26 Dunia Stainless 2 1 3

27 Mahkamah Teknik 1 1 2

28 Mitra Sepakat 3 2 5

29 Rizky Bengkel Las 4 2 6

30 Cahaya 2 1 3

31 Sederhana Stainless 2 2 4

32 Kurnia Bengkel Las 1 2 3