MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI DAN SOSIAL PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS : Studi Pengembangan Pada Sekolah Dasar Inklusif.

(1)

MODEL PEMBELAJARAN

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI

DAN SOSIAL PESERTA DIDIK

BERKEBUTUHAN KHUSUS

(Studi Pengembangan Pada Sekolah Dasar Inklusif)

DISERTASI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Doktor Ilmu Pendidikan

Bidang Pengembangan Kurikulum

Promovendus

Nandi Warnandi

1104021

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG 2015


(2)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Model pembelajaran umtuk meningkatkan kemampuan emosi dan sosial anak berkebutuhan khusus (Studi pengembangan pada sekolah dasar pendidikan inklusif)” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri. Saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi apabila di kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran etika keilmuan atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Juli 2015

Yang membuat pernyataan,


(3)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA DISERTASI

Promotor Merangkap Ketua,

Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd.

Ko Promotor Merangkap Sekretaris,

Prof. Dr. Hj. Mulyani Somantri, M.Sc.

Anggota,

Dr. Juang Sunanto, M.Ed.

Mengetahui/Menyetujui

Ketua Program Studi Pengembangan Kurikulum Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia


(4)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu ABSTRAK

Kemampuan emosi dan sosial PDBK di sekolah dasar inklusif sangat lemah, banyak faktor penyebab yang melatar belakanginya, diantaranya di sekolah inklusif belum ada model pembelajaran secara khusus memfokuskan untuk meningkatkan kemampuan emosi dan sosial. Rumusan masalah; “Apakah model pembelajaran Teams Games Tournamen (TGT) dapat meningkatkan kemampuan emosi dan sosial PDBK di sekolah dasar inklusif, dan apakah model pembelajaran TGT lebih baik daripada model pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di sekolah dasar inklusif”? Tujuan penelitian; Untuk menghasilkan model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di sekolah dasar inklusif. Hipotesis penelitian; “Model pembelajaran TGT dapat meningkatkan kemampuan emosi dan sosial PDBK, dan model pembelajaran TGT lebih baik daripada model pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di sekolah dasar inklusif. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan (Research and Development). Untuk menjawab permasalahan penelitian yang diajukan penulis menggunakan metode campuran, mengkombinasikan antara metode kualitatif dan kuantitatif dengan tujuan memperoleh jawaban penelitian yang lebih baik sesuai pertanyaan penelitian. Analisis data menggunakan kualitatif dan kuantitatif. Kedua jenis data dalam penelitian ini bersifat saling mendukung, mengingat keduanya diperlukan untuk memperkuat latar dari berbagai temuan dalam penelitian ini. Data diolah melalui analisis kuantitatif dengan menggunakan uji t. Hasil penelitian; Model pembelajaran yang digunakan di sekolah dasar inklusif sifatnya klasikal, belum menggambarkan adanya upaya meningkatkan kemampuan emosi dan sosial bagi peserta didik, dalam pembelajaran PDBK sering tidak dilibatkan, selalu dianggap tidak mampu dan selalu ditempatkan pada posisi tempat duduk di belakang. Penggunaan model TGT di sekolah dasar inklusif membawa dampak positif terhadap peningkatan kemampuan emosi dan sosial PDBK, hasil pembelajaran dengan model TGT selalu menunjukkan kenaikan angka yang sangat signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa model poembelajaran TGT yang disesuaikan dengan kondisi PDBK, dianggap tepat untuk meningkatkan kemampuan emosi dan sosial. Penggunaan model pembelajaran TGT lebih baik daripada model konvensional dalam meningkatkan kemampuan emosi dan sosial PDBK di sekolah dasar inklusif.Kompetensi emosi dan sosial PDBK di sekolah dasar inklusif sebahagian besar berada di bawah peserta didik pada umumnya. Rekomendasi; Direktorat PKLK, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota agar mensosialisasikan penggunaan model TGT dalam pembelajaran di sekolah dasar inklusif. Guru agar menggunakan model TGT, namun tetap memperhatikan hambatan yang dimiliki PDBK. Kepada peneliti berikutnya alangkah baiknya kalau subjek penelitiannya diperluas sehingga hasil penelitian benar-benar mewakili pembelajaran bagi PDBK.


(5)

ABSTRACT

There are a number of reasons why the emotional and social abilities of students with special needs in inclusive primary schools are very low, among others, is the fact that the schools have not developed learning models specifically focusing on improving emotional and social abilities. Then, the problem formulated in this research is: “Can TGT (Teams-Games-Tournament) learning model improve the emotional and social abilities of students with special needs in inclusive primary schools, and is TGT learning model better than conventional learning model in improving the emotional and social abilities of students with special needs in inclusive primary schools?”Hence, the research aims to: Produce a learning model that can improve the emotional and social abilities of students with special needs in inclusive primary schools. The research hypothesized: “TGT learning model can improve the emotional and social abilities of students with special needs, and TGT learning model is better than conventional learning model in improving the emotional and social abilities of students with special needs in inclusive primary schools. The method adopted was Research and Development. To meet the research objectives, the researcher employed mixed methods, combining qualitative and quantitative methods with the aim of obtaining answers more appropriate to the research questions. The two types of data in the research are mutually completing, considering both of them are required to strengthen the research findings. The data were then analyzed quantitatively using t-test. The research results show: The learning models used in inclusive primary schools are conventional, showing that there has not been any effort in improving the emotional and social abilities of students with special needs, where they are frequently not involved in teaching and learning, considered as incapable,and positioned at the back of the classroom. The use of TGT model has brought significant impact on the improvement of special needs students’ emotional and social abilities, where there were significant increases in the learning outcomes using TGT model that it could be concluded that TGT learning model adjusted to special needs students’ condition was suitable to improve their emotional and social needs. Furthermore, TGT model was better than the conventional one in improving the emotional and social abilities of students with special needs in inclusive schools. It was also found that the emotional and social competence of students with special needs in inclusive schools in majority lagged behind students in general. Hence, it is recommended that Directorate of Special Education and Services, Provincial Department of Education, and Regional/Municipal Department of Education create extension programs to disseminate TGT model, while continuing to consider the obstacles faced by students with special needs. The future researchers are expected to broaden the scope of research subjects, so that the research findings will truly represent the special needs students’ teaching and learning.


(6)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 22

C. Pertanyaan Penelitian ... 24

D. Tujuan Penelitian ... 24

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ... 25

F. Struktur Organisasi Disertasi ... 26

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIMIKIRAN ... 28

A. Kajian Pustaka... 28

1. Pendidikan Inklusif ... 28

2. Anak Berkebutuhan Khusu... 37

3. Konsep Emosi dan Sosial ... 41

4. Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Emosi dan Sosial... 66

a. Konsep Kurikulum dan Pembelajaran, ... 66

b. Model Pembelajaran ... 70

c. Model Teams Games Tournaments (TGT) ... 74

d. Implementasi Model TGT Dalam Pembelajaran ... 79

e. Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Emosi dan Sosial ... 87

B. Hasil Penelitian Terdahulu... 89

C. Kerangka Pemikiran... 89

BAB III METODE PENELITIAN ... 94

A. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 94

1. Pra survai... 94

2. Uji Coba Terbatas ... 95

3. Uji coba Luas... 96


(7)

B. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 97

C. Prosedur Penelitian ... 100

1. Studi Pendahuluan ... 100

2. Pengembangan Model ... 100

D. Definisi Operasional Variabel ... 102

E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 105

1. Observasi ... 106

2. Angket... 107

F. Analisis Data ... 108

1. Analisis Data Kualitatif ... 108

2. Analisis Data Kuantitatif ... 108

G. Hipotesis Penelitian... 110

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 112

A. Hasil Penelitian ... 112

1. Kondisi Model Pembelajaran ... 112

a. Kondisi Guru ... 112

b. Pembelajaran ... 113

2. Model Pembelajaran... 115

a. Pengembangan Model Pembelajaran ... 117

b. Uji Coba Model ... 121

3. Emosi dan Sosial PDBK di Sekolah Dasar Inklusif... 161

a. Hasil Studi Pendahuluan ... 161

b. Kompetensi Emosi dan Sosial ABK di Sekolah Dasar Inklusif ... 163

c. Perkembangan Emosi Sosial PDBK ... 165

B. Pembahasan ... 166

1. Kondisi Model Pembelajaran ... 166

a. Kondisi Guru ... 166

b. Pembelajaran ... 166

2. Model Pembelajaran Yang Tepat ... 168

3. Efektifitas Model Pembelajara ... 170

4. Kompetensi Emosi dan Sosial ... 179

5. Pendukung/Penghambat Implementasi Model Pembelajaran ... 180

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 183

B. Rekopmendasi ... 185

DAFTAR PUSTAKA ... 188

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 193 RIWAYAT HIDUP


(8)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 ... 40

Tabel 2.2 ... 43

Tabel 2.3 ... 51

Tabel 2.4 ... 55

Tabel 3.1 ... 95

Tabel 3.2 ... 95

Tabel 3.3 ... 96

Tabel 3.4 ... 96

Tabel 6 ... 194

Tabel 7 ... 195

Tabel 8 ... 204

Tabel 9 ... 205

Tabel 10 ... 206

Tabel 11 ... 207

Tabel 12 ... 208

Tabel 13 ... 209

Tabel 14 ... 210

Tabel 15 ... 211

Tabel 16 ... 212

Tabel 17 ... 213

Tabel 18 ... 213

Tabel 19 ... 214

Tabel 20 ... 214

Tabel 21 ... 215

Tabel 22 ... 215


(9)

Tabel 24 ... 216

Tabel 25 ... 216

Tabel 26 ... 217

Tabel 27 ... 217

Tabel 28 ... 217

Tabel 29 ... 218

Tabel 30 ... 218

Tabel 31 ... 218

Tabel 32 ... 219

Tabel 33 ... 219

Tabel 34 ... 219

Tabel 35 ... 220

Tabel 36 ... 220

Tabel 37 ... 220

Tabel 38 ... 221

Tabel 39 ... 221

Tabel 40 ... 221

Tabel 41 ... 222

Tabel 42 ... 222

Tabel 43 ... 223

Tabel 44 ... 223

Tabel 45 ... 224

Tabel 46 ... 224

Tabel 47 ... 225

Tabel 48 ... 225

Tabel 49 ... 226

Tabel 50 ... 226

Tabel 51 ... 227

Tabel 52 ... 227


(10)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Tabel 55 ... 229

Tabel 56 ... 229

Tabel 57 ... 230

Tabel 58 ... 230

Tabel 59 ... 231

Tabel 60 ... 231

Tabel 61 ... 232

Tabel 62 ... 232

Tabel 63 ... 233

Tabel 64 ... 233

Tabel 65 ... 234

Tabel 66 ... 234

Tabel 67 ... 235

Tabel 68 ... 235

Tabel 69 ... 236

Tabel 70 ... 236

Tabel 71 ... 237

Tabel 72 ... 237

Tabel 73 ... 238

Tabel 74 ... 238

Tabel 75 ... 239


(11)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1... 93

Bagan 3.1... 99

Bagan 4.1... 119

Bagan 4.2... 120

Bagan 4.3... 172


(12)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

LAMPIRAN


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) sangat erat kaitannya dengan kualitas atau mutu pendidikan di Indonesia, karena pendidikan merupakan salah satu wahana yang dipandang dapat meningkatkan kecerdasan dan mengembangkan semua potensi yang dimiliki individu. Pendidikan sangat potensial untuk mewujudkan kehidupan yang cerdas. Jalal, (2001:8) menegaskan bahwa “Hanya dengan pendidikan nasional yang tepat dapat disiapkan manusia dan masyarakat yang demokratis, religious, memiliki kemampuan untuk memahami, menerapkan, dan mengembangkan nilai-nilai budaya yang menjunjung tinggi kemandirian dan keunggulan”. Pendidikan yang tepat diharapkan mampu mengembangkan segala potensi yang dimiliki individu pada bidang nilai dan sikap, pengetahuan, serta keterampilan. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 bahwa pendidikan adalah:

Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengenalan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (Undang-undang SISDIKNAS; 2003:2).

Keberhasilan pendidikan diharapkan memberikan dampak positif terhadap pembangunan Nasional diberbagai bidang, sesuai dengan bunyi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3, Tentang Tujuan Pendidikan Nasional dikemukakan bahwa;

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang


(14)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2 demokratis serta bertanggung jawab. (Undang-undang SISDIKNAS; 2003).

Untuk menciptakan generasi yang lebih maju maka pengembangan aspek emosi dan sosial tidak boleh berada di bawah pengembangan aspek kognitif dan psikomotor. Orang tua perlu membangun kompetensi emosi dan sosial anaknya, mereka harus mulai membangun kecerdasan emosi dan sosial sejak dini. Anak harus mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar mereka, menjalin hubungan emosional dan juga mendapatkan nutrisi yang seimbang. Pentingnya pengembangan kemampuan emosi dan sosial dikemukakan Ibrahim, (2014) “betapa pentingnya perkembangan sosio -emosional anak saat mereka masih dalam tahap pertumbuhan. Kemampuan sosial akan makin berkembang bila anak ikut berpartisipasi aktif, bukan hanya mengamati dan merasakan pengaruh orang dewasa di sekitarnya”. Orang tua merupakan role-model, dan anak dapat belajar meniru sikap orang tua dengan lingkungan sosialnya.

Individu sebagai makhluk sosial, dimulai dari sejak lahir hingga sepanjang hidupnya akan selalu berhubungan dengan individu lain maupun lingkungannya atau melakukan relasi interpersonal. Perilaku sosio-emosional individu menurut Krech, (1962) dapat dilihat dari “kecenderungan peranan (role disposition) dapat dikatakan memadai, manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut: (1) yakin akan kemampuannya dalam bergaul secara sosial; (2) memiliki pengaruh yang kuat terhadap teman sebaya; (3) mampu memimpin teman-teman dalam kelompok; dan (4) tidak mudah terpengaruh orang lain dalam bergaul. Sebaliknya, perilaku sosio-emosional individu dikatakan kurang atau tidak memadai manakala menunjukan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut: (1) kurang mampu bergaul secara sosial; (2) mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain; (3) pasif dalam mengelola kelompok; dan (4) tergantung kepada orang lain bila akan melakukan suatu tindakan”. Sikap sosial akan terbentuk melalui interaksi sosial yang dialami oleh individu.


(15)

Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi antara individu yang satu dengan lainnya, terjadi hubungan timbal balik akan turut mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Pembentukan sikap sosial individu menurut Krech, (1962), dipengaruhi oleh faktor; 1) Pengalaman pribadi; apa yang telah dan sedang dialami oleh individu akan ikut membentuk dan mempengaruhi terhadap stimulus sosial individu. 2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting; merupakan salah satu diantara konponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap individu. 3) Pengaruh kebudayaan; dimana individu hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap individu. Kebudayaan telah mewarnai sikap masyarakatnya, karena kebudayaan yang memberi corak pengalaman individu menjadi anggota kelompok masyarakatnya. 4) Media masa (politik); mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya membawa pola pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. 5) Lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga keagamaan; sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap, dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan, maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap individu. 6) Faktor emosional; sikap individu kadang-kadang merupakan bentuk pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai penyaluran prustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap sosial individu terbentuk dan berkembang sesuai dengan perkembangan individu itu sendiri, akan tetapi tidak satupun dari perkembangan kehidupan individu terpisahkan dari kehidupan sesamanya. Jadi sikap sosial setiap individu berkembang menurut pola yang sama akan tetapi perkembangannya berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya.


(16)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

4 Keluarga harus memberikan lingkungan yang kondusif terhadap perkembangan emosi dan sosial putra-putrinya, memberikan perhatian, kasih sayang, membina komunikasi dua arah, siap menerima keluhan dan mencarikan jalan keluar terhadap permasalahan putra-putrinya, serta memberikan suasana yang sejuk. Orang tua tidak memberikan tuntutan yang berlebihan dan menghindari larangan yang tidak terlalu penting serta memberikan pengawasan dan pengarahan secukupnya. Pembatasan dan tuntutan hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan anak, berikan tugas serta tanggung jawab sesuai dengan posisinya. Penegakan disiplin dilakukan dengan bijaksana disiplin yang mendidik disertai dengan pengertian terhadap makna disiplin tersebut merupakan pilihan yang baik. Disiplin yang terlalu kaku atau keras, disertai hukuman badan dapat menimbulkan penolakan atau bahkan pemberontakan dari anak-anak. Sikap pemberontakan, antipati dari seorang anak tentu saja dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan semua pihak. Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah sikap konsisten dari orang tua. Tidak konsistennya sikap orangtua dapat menimbulkan kebimbangan anak-anak dalam perilakunya. Anak-anak akan mengalami kesulitan dalam mengambil pelajaran apa-apa yang telah diperoleh dari orang tuanya. Hasil penelitian Bandura, dalam Goleman, (1996), “Anak-anak yang diperlakukan kurang baik, disia-siakan, dan tidak dihargai, sering menampakkan hasil pekerjaannya paling jelek, mereka paling cemas, tidak punya perhatian, tidak berperasaan, kadang-kadang agresif, kadang-kadang-kadang-kadang menarik diri, serta rasio tinggal kelas diantara mereka adalah 65%”.

Sekolah merupakan tempat dimana anak-anak menghabiskan sebagian waktunya, sekolah harus mampu menyediakan tempat untuk mentransfer ilmu pengetehuan, sekolah diharapkan mampu menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak-anak dengan menyediakan fasilitas yang bersifat rekreatif dan positif, sehingga anak-anak dapat menyalurkan aktifitasnya. Peraturan-peraturan dan disiplin sekolah diharapkan dilakukan dengan


(17)

bijaksana sehingga mendapat tanggapan yang positif dari para peserta didiknya. Guru diharapkan mampu menjadi orangtua kedua di sekolah, selain memberikan ilmu pengetahuan juga memberikan teladan yang baik. Membina hubungan yang harmonis dengan peserta didik, sabar, pengertian, dan siap membantu peserta didik jika ada yang memiliki kesulitan atau permasalahan.

Masyarakat diharapkan dapat menjadi wahana yang baik bagi perkembangan emosi dan sosial anak-anak. Masyarakat diharapkan menyediakan fasilitas bermain, menyalurkan hoby, untuk penyaluran emosi dan sosial anak-anak secara positif, masyarakat juga diharapkan dapat memberi perlindungan, memberi contoh yang baik dalam mengontrol atau mengelola emosi dan sosial.

Perkembangan emosi dan sosial pada peserta didik kadang-kadang tidak sesuai dengan harapan para orang tua maupun guru, peserta didik memiliki karakteristik khusus dalam berperilaku yang direalisasikan dalam bentuk tindakan-tindakan tertentu, seperti; 1) Pembangkangan; bentuk tingkah laku melawan, perilaku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak peserta didik. 2) Agresi; adalah perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun kata-kata (verbal). Agresi merupakan salah bentuk reaksi terhadap rasa frustasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya). 3) Berselisih/bertengkar; sikap ini terjadi jika anak merasa tersinggung atau terganggu oleh anak lain. 4) Menggoda; merupakan bentuk lain dari sikap agresif, menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan) yang menimbulkan marah pada orang yang digodanya. 5) Persaingan; yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh orang lain. 6) Tingkah laku berkuasa; yaitu tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, wujud dari sikap ini adalah memaksa, meminta, menyuruh, mengancam dan


(18)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

6 lain sebagainya. 7) Mementingkan diri sendiri; yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya.

Peserta didik diharapkan memiliki kemampuan emosi dan sosialnya secara matang, sesuai dengan perkembangan aspek-aspek lainnya. Berbagai pendapat mengemukakan tentang kematangan emosi dan sosial individu, Hurlock, (1980) “Anak laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada masa akhir remaja tidak “meledakkan” emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Helms & Turner, (1984) mengemukakan bahwa pola perilaku sosial anak yaitu meliputi: 1) anak dapat bekerjasama (cooperating) dengan teman; 2) anak mampu menghargai (altruism) teman, baik menghargai milik, pendapat, hasil karya teman atau kondisi-kondisi yang ada pada teman; 3) anak mampu berbagi (sharing) kepada teman; 4) anak mampu membantu (helping other) kepada teman. Hurlock (1980) mengemukakan “...bahwa pola perilaku sosial pada anak yang terdiri dari meniru, persaingan, kerjasama, simpati, empati, dukungan sosial, membagi, dan perilaku akrab.” Afiati, (2005: 14) menjelaskan keterampilan sosial yang disebut juga prososial behavior mencakup perilaku; a) empati; anak-anak mengekspresikan rasa haru dengan memberikan perhatian kepada seseorang yang sedang tertekan karena suatu masalah, dan mengungkapkan perasaan yang sedang mengalami konflik sebagai bentuk bahwa anak menyadari perasaan yang dialami orang lain; b) kemurahan hati atau kedermawanan; anak-anak berbagi dan memberikan suatu barang miliknya pada orang lain, c) kerjasama; anak-anak bergantian dan menuruti perintah secara suka rela tanpa menimbulkan pertengkaran; dan d) memberi bantuan; anak-anak membantu orang lain yang membutuhkan bantuan. Kenyataannya banyak peserta didik sekolah dasar yang tidak mampu mencapai perkembangan emosi dan sosial secara normal. Hasil temuan Hadis, (dalam Widyasari, 2008) “bahwa anak yang berbakat akademik


(19)

dalam satu kelas homogen, sekitar 25-30% siswanya mengalami masalah-masalah emosi dan sosial”. Dampak dari terhambatnya emosi dan sosial tidak sedikit kasus yang membawa peserta didik untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, diantaranya dimuat di Harian Pikiran Rakyat Selasa, 07 Februari 2006, Jumat (27/01/2006) seorang anak di Lampung bunuh diri, dua hari sebelumnya seorang anak di Bantul Yogyakarta gantung diri, karena frustrasi dengan kemiskinan yang membelit keluarganya. Pernah diberitakan juga seorang anak nekad gantung diri akibat seragam pramukanya masih basah, tidak mampu membayar SPP sebesar Rp 2.500,00 per bulan, dan tidak mampu membayar biaya ekstrakurikuler. Diberitakan dalam siaran televisi Global petang tanggal 29 Mei 2006, seorang anak berusia delapan tahun meninggal dengan cara gantung diri di tali jemuran rumahnya. Kuat dugaan penyebab bunuh diri pada anak ini, sebab sebelumnya dimarahi oleh seorang guru di sekolah, karena belum memotong kuku jari. Masih banyak lagi kasus serupa yang mengindikasikan bahwa anak-anak tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi persoalan. Selain kasus di dalam negeri, banyak terjadi juga di luar negeri, seperti; Peristiwa yang terjadi di Shangsi China. Xiao Wei, 10 tahun, dia nekad duduk di jendela lantai 3 apartemen rumahnya dan berteriak "Aku akan lompat," karena ayahnya terlambat memberikan uang saku, maka Xiao Wei meninggal dengan cara bunuh diri. Di Amerika menimpa seorang anak perempuan berusia 12 tahun bernama Rebecca Ann Sedwick bunuh diri, setelah ia di-bully rame-rame secara online oleh 15 anak perempuan.

Kasus bunuh diri pada anak-anak mungkin masih banyak lagi dengan faktor penyebab yang berbeda-beda, dan diduga bahwa hal ini bisa terjadi karena adanya hambatan pada aspek emosi dan sosial yang dialami oleh peserta didik. Kenyataan di lapangan anak orang miskin, sekolah dengan sederhana dan apa adanya. Tidak ada fasilitas pendukung seperti laboratorium, fasilitas olah raga yang lengkap serta sarana bermain. Di sisi lain, anak orang-orang kaya bergelimangan dengan fasilitas dan kehidupan


(20)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

8 mewah. Perbedaan mencolok ini seringkali menjadi kecemburuan dalam masyarakat. Selain itu diperparah oleh kondisi sosial kemasyarakatan, kehidupan masyarakat Indonesia seringkali sama dengan apa yang telah dipertontonkan di layar televisi, yang telah menyulap kebaikan dengan keburukan dan sebaliknya. Pada televisi, peserta didik digambarkan dengan penuh persaingan dan saling ejek mengenai status dan strata sosial. Permasalahan hambatan emosi dan sosial pada peserta didik sangat memerlukan pemecahan. Guru di sekolah harus menciptakan suasana yang menyenangkan bagi peserta didik. Kondisi sekolah yang damai, ramah, dan penuh kekeluargaan dapat menekan tingkat frustrasi peserta didik. Selain itu pentingnya menciptakan kesetiakawanan, peserta didik harus didorong untuk dapat memahami dan menerima perbedaan.

Sejalan dengan banyaknya kasus yang menimpa para peserta didik dan bunyi undang-undang SISDIKNAS tahun 2003, telah ditetapkan visi pendidikan tahun 2025, yaitu “menciptakan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif. Cerdas yang dimaksud di sini adalah cerdas komprehensif, yaitu cerdas spiritual dan cerdas sosial/emosional dalam ranah sikap, cerdas intelektual dalam ranah pengetahuan, serta cerdas kinestetis dalam ranah keterampilan”.

Tujuan dan visi pendidikan tidak hanya ditujukan pada anak normal, tetapi mencakup peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK). Dalam UU No. 20 Tahun 2003, pada pasal 5, pasal 15 serta penjelasannya dikemukakan bahwa pendidikan khusus dapat diselenggarakan secara inklusif berupa satuan pendidikan khusus. Inklusif merupakan jawaban dari berbagai upaya untuk merealisasikan “Pendidikan untuk semua” (Education for All/EFA).

Konsep inklusi dikemukakan oleh Skjorten, (2003: 37) bahwa kita telah diciptakan sederajat walaupun berbeda-beda. Apapun jenis kelamin, penampilan, kesehatan atau kemampuan berfungsi, kita telah diciptakan ke dalam satu masyarakat. Masyarakat dikatakan normal jika ditandai oleh keragaman dan keserbaragaman, bukan oleh keseragaman. Inklusif adalah


(21)

sistem layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Prinsip mendasar inklusif dikeluarkan oleh UNESCO (1994) berbunyi;

Selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama, tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada diri mereka. Inklusif mengenal dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari para siswanya, mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan belajarnya, dan menjamin diberikannya pendidikan berkualitas kepada semua siswa melalui penyusunan kurikulum yang tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pembelajaran yang tepat, pemanfaatan sumber dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan kemitraan dengan masyarakat sekitarnya.

Selanjutnya UNESCO (2005) mengemukakan alasan-alasan tentang pelaksanaan inklusif, yaitu;

(1) it is a means to realize the right to high quality education without discrimination and having equal opportunities, (2) it is ameans to advance towards more democratic and fair societies, (3) it is a means to improve the quality of education and the professional development of teachers, (4) it is a means to leam to live together and build our owen identity, and (5) it is a means to improve the efficiency and cost-benefit relationship of the education system.

Maksud dari alasan di atas bahwa inklusif dapat mewujudkan hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas tanpa membeda-bedakan, dan setiap peserta didik mempunyai hak yang sama, memajukan masyarakat yang lebih demokratis dan adil, meningkatkan kualitas pendidikan dan mengembangkan profesionalisme guru, belajar hidup bersama dan membangun identitas diri, serta meningkatkan efisiensi dan keuntungan biaya hubungannya dengan system pendidikan.

Anak berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan di inklusif sudah barang tentu memerlukan adanya perhatian dan layanan khusus pada aspek-aspek tertentu, pembelajaran harus disesuaikan dengan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik, termasuk pada aspek


(22)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

10 pengembangan emosi dan sosialnya. Setiap peserta didik mempunyai karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda, oleh karena itu sistem pendidikan seyogyanya dirancang, dilaksanakan dengan memperhatikan keanekaragaman, karakteristik, dan kebutuhan peserta didik. Mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus harus memperoleh akses ke sekolah reguler, sekolah harus mengakomodasi PDBK dalam rangka memberikan layanan pendidikan yang berpusat pada diri peserta didik, sesuai dengan kebutuhan masing-masing peserta didik. Pembelajaran yang berpusat pada diri peserta didik diharapkan dapat menguntungkan bagi perkembangan peserta didik, dan akhirnya akan memberikan keuntungan bagi masyarakat pada umumnya. Inklusif diharapkan dapat mengurangi angka dropout dan tinggal kelas yang sering merupakan bagian dari permasalahan pendidikan, serta menjamin tercapainya tingkat prestasi belajar yang lebih tinggi sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing anak.

Memiliki kematangan emosi dan sosial bagi peserta didik yang mengikuti pembelajaran di sekolah dasar reguler, tentunya merupakan hal yang sangat sulit, karena untuk memiliki kematangan emosi dan sosial yang baik peserta didik harus melalui proses pembelajaran pada lingkungan yang heterogen, padahal untuk memenuhi kebutuhan emosi dan sosial bagi PDBK lebih tinggi jika dibandingkan dengan peserta didik pada umumnya. Hasil penelitian Rosyidah, (2004) diakses dari Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 01, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id 103, tentang kebutuhan sosial peserta didik di sekolah menyimpulkan bahwa pada umumnya peserta didik memiliki kebutuhan sosial yang tinggi akan rasa aman, rasa mencintai, rasa memiliki, harga diri dan aktualisasi diri. PDBK sama dengan anak pada umumnya memiliki harapan, yaitu ingin diterima oleh teman-teman seusianya, dan oleh masyarakat secara umum.

Hambatan yang dimiliki oleh peserta didik sering berdampak terhadap perkembangan emosi dan sosial, PDBK sering mengalami keterlambatan


(23)

apabila dibandingkan dengan perkembangan emosi dan sosial peserta didik sebayanya. PDBK sering mengalami hambatan dalam penyesuaian sosial dengan lingkungan, karena setiap interaksi atau pekerjaan, diantaranya dipengaruhi oleh faktor emosi dan sosial yang dimiliki oleh setiap anak. Emosi dan sosial PDBK sering tidak efektif, seperti dikemukakan Soe, (2003: 421) yaitu;

1) Merasa tidak memenuhi standar budayanya akan daya tarik fisik (kecacatan), sehingga mendapat reaksi diskriminatif dari masyarakat, 2) Sikap terhadap penderita cacat beragam mulai dari ketidak acuhan sampai pada kurangnya pemahaman, sehingga menjadi overprotektif atau bahkan terlalu simpati, 3) Individu normal seringkali tidak mengetahui bagaimana cara merespon individu penyandang cacat. Permasalahan yang dihadapi PDBK di inklusif, yaitu lemahnya kemampuan emosi dan sosial. Secara psikologis PDBK tidak siap menghadapi lingkungan yang heterogen, kurang memiliki keterampilan berinteraksi sosial, mengalami deprivasi emosi, sering memiliki pola emosi yang negatif, seperti perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan yang mendalam. Shelvin (2005) dalam Hadi (2012) mengemukakan masalah yang dihadapi individu akibat kecacatannya, yaitu;

1) Ejekan dan perlakuan kasar, merupakan isu yang lebih luas dibandingkan persahabatan, 2) Iklim sosial di dalam kelas berperan penting dalam penyetaraan martabat dalam belajar, tetapi para guru sering kali sibuk dengan urusan kurikulum dan ujian, 3) Setiap orang memerlukan strategi untuk menghadapi secara berani setiap bahasa dan tingkah laku yang yang menindas.

Masalah yang sering dihadapi oleh para guru dalam menghadapi PDBK di inklusif diantaranya beragamnya hambatan yang dialami PDBK, tentu keberagaman ini akan menyulitkan bagi guru dalam memberikan pembelajaran. Secara garis besarnya jenis hambatan yang dimiliki PDBK, adalah;

1. Anak dengan hambatan penglihatan; kesulitan yang dihadapi anak ialah tidak mampu belajar secara visual tentang stimulus-stimmlus apa saja ysng akan diberi respoan, kurangnya penerimaan dari masyarakat,


(24)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

12 kesalahan dalam memberikan perlakuan, dan ketergantungan pada orang lain adalah hambatan yang sering dihadapi anak dengan hambatan penglihatan.

2. Anak dengan hambatan komunikasi; sering menafsirkan sesuatu secara negatif atau salah, akibatnya timbul sikap menutup diri, bertindak agresif, atau menampakkan kebimbangan dan keragu-raguan. Selain itu anak sering mengalami kecemasan karena menghadapi lingkungan yang beraneka ragam komunikasinya.

3. Anak dengan hambatan kecerdasan; anak tipe ini sering memperlihatkan emosi yang tidak matang, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya, impulsive, lancang dan tidak dapat diterima, sehingga sering ditolak oleh kelompok teman sebaya.

4. Anak dengan hambatan motorik; akibat perlakuan lingkungan sering berakibat menjadi ketergantungan, takut, dan cemas dalam menghadapi lingkungan yang tidak dikenal. Selain itu anak sering tidak dapat berpartisipasi secara penuh.

5. Anak dengan hambatan emosi dan perilaku; akibat ketidak matangan emosi sering berdampak pada ketidakmampuan mengendalikan emosi dan berakibat pada ketidakstabilan emosi, mudah marah, mudah tersinggung, dan tidak memahami perasaan orang lain.

6. Anak dengan kesulitan belajar; anak ini mengalami hambatan dalam memproses informasi, sehingga mengalami kesulitan dalam pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung.

7. Anak dengan hambatan autistik; anak ini mengalami hambatan dalam perkembangannya, sehingga mengalami hambatan pada aspek interaksi dan komunikasi.

Masalah lain yang sering dihadapi PDBK dalam bersosialisasi, yaitu kurangnya penerimaan dari guru, teman sebaya, atau masyarakat serta kesalahan dalam memberikan perlakuan. Masyarakat sering beranggapan bahwa hambatan yang dialami PDBK akan menghambat pada


(25)

kegiatan-kegiatan lainnya. Sikap negatif dari guru, teman sebaya atau masyarakat dapat menghambat perkembangan emosi dan sosial, kemungkinan lainnya masyarakat akan memperlakukan PDBK dengan memberikan bantuan secara berlebihan. Reaksi dari orang tua, teman sebaya, guru maupun masyarakat terhadap PDBK dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Penerimaan secara realistik terhadap PDBK; sikap ini ditunjukkan dengan memberikan kasih sayang yang wajar serta memberikan perlakuan yang sama dengan anak lainnya.

2. Penyangkalan terhadap PDBK; hambatan yang dialami anak ditanggapi oleh orang tua dengan sikap terbuka, tetapi disertai alasan-alasan yang tidak realistik terhadap anaknya.

3. Overprotection atau perlindungan yang berlebihan; biasanya diberikan

oleh orang tua sebagai konpensasi karena perasaan bersalah terhadap PDBK.

4. Penolakan secara tertutup; biasanya ditunjukkan dengan sikap menyembunyikan ABK (disembunyikan).

5. Penolakan secara terbuka; biasanya orang tua menyadari bahwa anaknya adalah ABK, tetapi orang tua tidak menerima kehadiran anaknya dikatagorikan ABK, akhirnya bersikap menjadi masa bodoh.

Kematangan emosi dan sosial PDBK sebetulnya sangat memungkinkan untuk dikembangkan, memiliki kecenderungan ramah, terbuka, dapat bersosialisasi dengan dukungan dan orang sekitar, terutama jika mendapat dukungan dari teman sebaya saat bersosialisasi di sekolah. Salah satu fungsi terpenting dari kelompok teman sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Santrock, (2004: 287) mengemukakan melalui kelompok teman sebaya anak-anak menerima umpan balik dari teman-teman mereka tentang kemampuan mereka. Anak-anak menilai apa yang mereka lakukan, apakah dia lebih baik daripada teman-temannya, sama, ataukah lebih buruk dari apa yang


(26)

anak-Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

14 anak lain kerjakan. Hal demikian akan sulit dilakukan dalam keluarga karena saudara kandung biasanya lebih tua atau lebih muda (bukan sebaya).

Hasil studi pendahuluan dari beberapa sekolah dasar penyelenggara inklusif dapat disimpulkan;

1. Implementasi pendidikan inklusif mendapat dukungan yang sangat positif dari berbagai pihak, diantaranya dari pemerintah, masyarakat, kepala sekolah, guru, dan peserta didik lainnya. Sebelumnya telah mendapat dukungan dari UNESCO, (2000) “… sekolah harus mengakomodasi peserta didik, terlepas dari kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, dan kondisi lainnya. Inklusif menekankan perlunya anak-anak yang selama ini termarjinalkan untuk memperoleh layanan pendidikan dan berpartisipasi dalam pembelajaran. Inklusif akan mendorong terjadinya interaksi yang sehat antara peserta didik regular dengan PDBK. Sunanto, (2004: 4), mengemukakan “kehadiran inklusif, bukan hanya sekedar menerima peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah umum, namun lebih pada upaya membaurkan kehadiran peserta didik berkebutuhan khusus dalam dimensi psikologis, akademis, sosial, dan kultur serta institusional”. Dari pandangan itu jelaslah bahwa inklusif memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada PDBK untuk mengembangkan kemampuan emosi dan sosial. Pengembangan emosi dan sosial di sekolah dasar inklusif akan memberikan keuntungan pada PDBK, dimana ia benar-benar merasakan kehidupan pada masyarakat umum. PDBK akan berinteraksi dengan peserta didik regular secara bebas, dan juga berinteraksi dengan PDBK jenis lainnya.

2. Masih terdapat perbedaan persepsi diantara guru sekolah regular terhadap PDBK yang belajar di inklusif, dimana ada anggapan bahwa yang bertanggung jawab terhadap PDBK adalah GPK atau guru pendamping, guru regular hanya berkewajiban menerima dan mempersilahkan peserta didik untuk belajar bersama, guru tidak boleh memberikan layanan secara khusus apalagi mengistimewakannya, jika peserta didik tidak mampu


(27)

mengikuti pembelajaran secara umum, maka dipersilahkan menemui GPK. Seharunya dalam pelaksanaan inklusif diperlukan penyesuaian-penyesuaian dan fleksibilitas, seperti pada kurikulum, model dan strategi pembelajaran, materi, evaluasi pembelajaran, dan lain sebagainya sesuai dengan jenis hambatan dan kemampuan peserta didik.

3. Sampai saat ini di inklusif belum memiliki model pembelajaran yang secara khusus bertujuan untuk mengembangkan emosi dan sosial. Untuk mengoptimalkan perkembangan emosi dan sosial PDBK di sekolah dasar penyelenggara inklusif, tentunya harus ada program atau model pembelajaran yang secara khusus dapat mengembangkan emosi dan sosial. Kelemahan yang terjadi menurut pengamatan penulis para guru tidak mengadakan modifikasi pembelajaran, artinya kegiatan pembelajaran berjalan secara konvensional. Akibat dari penggunaan model pembelajaran secara konvensional tidak semua peserta didik mampu mengikuti pembelajaran secara aktif, walaupun ada kegiatan kelompok tetap saja PDBK tidak mendapatkan porsi belajar secara optimal. Selain itu dalam pembelajaran, guru belum memperhatikan potensi yang dimiliki semua peserta didik. Pada sekolah-sekolah yang memiliki GPK, pembelajaran sering dilakukan secara terpisah, maksudnya PDBK belajar bersama GPK, sedang peserta didik lainnya belajar bersama guru kelas. Dampak dari pembelajaran secara konvensional adalah perkembangan emosi dan sosial peserta didik dirasakan kurang optimal, sebagian siswa khususnya PDBK sering mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan guru, berkomunikasi dan bergaul dengan temannya, tidak percaya diri, dan tidak mandiri.

4. Lemahnya kompetensi para guru terhadap metodologi pembelajaran bagi PDBK; para guru regular yang ada di sekolah dasar penyelenggara inklusif jika dilihat dari kualifikasi akademis sebetulnya sudah bergelar sarjana, para guru telah memperoleh pelatihan tentang inklusif namun dalam menghadapi PDBK masih perlu ditingkatkan, para guru belum


(28)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

16 menguasai tentang perencanaan, peleksanaan pembelajaran, dan evaluasi yang sesuai dengan karakteristik semua peserta didik. Berdasarkan hasil pengamatan di beberapa inklusif, dapat dikemukakan bahwa guru sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusif belum menggambarkan kualifikasi guru inklusif bagi PDBK secara memadai. Kompetensi yang harus dimiliki oleh para guru di inklusif, adalah: a) Kompetensi pedagogik, yaitu menguasai karakteristik PDBK dari aspek fisik, emosi, sosial, cultural, emosional, dan intelektual. Pada umumnya guru inklusif belum memadai dalam melakukan identifikasi atau asesmen terhadap karakteristik PDBK. Pada sekolah yang memiliki GPK, asesmen masih dilakukan sepenuhnya oleh GPK, seharusnya dilakukan bersama-sama, sehingga hasil identifikasi dan asesmen tersebut dapat ditindaklanjuti dengan penyusunan program pendidikan individual. Pelaksanaan program pendidikan individual bagi PDBK seharusnya dilakukan secara bersama-sama oleh guru reguler dan GPK. b) Kompetensi kepribadian, yaitu menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, serta dalam memperlakukan PDBK. Pada umumnya para guru reguler di inklusif cenderung melindungi secara berlebihan terhadap PDBK, atau sebaliknya mengangap bahwa mereka tidak mampu mengikuti kegiatan pembelajaran, sehingga kurang dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran. c) Komponen kompetensi sosial, yaitu bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif terhadap PDBK, karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi. Pada umumnya para guru berdasarkan hasil pengamatan di beberapa inklusif, profil dan potret guru belum menggambarkan kualifikasi guru inklusif bagi PDBK secara memadai. d) Komponen kompetensi profesional, yaitu mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif; dan memanfaatkan


(29)

teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri dalam pembelajaran bagi PDBK.

5. Hasil observasi terhadap kemampuan emosi dan sosial PDBK, meliputi a) interaksi PDBK dengan peserta didik lainnya, b) respon PDBK terhadap sikap peserta didik lainnya, c) respon peserta didik lain terhadap PDBK, d) Kemampuan untuk memahami, menata, dan mengekpresikan aspek-aspek emosi dan sosial peserta didik dalam mewujudkan keberhasilan mengelola tugas-tugas belajar, membangun hubungan, memecahkan masalah sehari-hari serta beradaptasi dengan tuntutan perkembangan dan pertumbuhan yang kompleks, mencakup kesadaran diri, pengendalian tingkah laku yang impulsif, bekerja dengan kooperatif, peduli pada diri sendiri, dan orang lain. Dari poin-poin di atas dijabarkan menjadi item pertanyaan dan masing-masing pertanyaan diberi bobot dua, sehingga rentangan skornya yaitu 0 – 100. Hasil observasi ditabulasi dengan menggunakan kriteria; 1) 0 – 25 sangat rendah, 26 – 50 rendah, 51 – 75 cukup, dan 76 – 100 baik. Hasil studi awal terhadap PDBK yang ada di inklusif menunjukkan bahwa kemampuan emosi dan sosial berada pada tahap rendah (26 – 50). Selain itu kenyataan di lapangan bahwa PDBK yang ada di inklusif lebih sering belajar dan bermain sendiri malahan ada kecenderungan tidak memiliki teman, dan memiliki sikap pasif terhadap berbagai kegiatan. Begitu juga dalam pembelajaran, belum sepenuhnya terakomodasi, masih terdapat PDBK yang dibiarkan duduk di deretan paling belakang, belajar secara terpisah sendiri atau bersama pendamping. PDBK tidak dilibatkan mengikuti pembelajaran di kelas secara penuh, dalam kegiatan-kegiatan tanya jawab atau mengerjakan tugas-tugas pembelajaran. Ada anggapan bahwa PDBK tidak akan mampu menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Oleh karena itu layanan pendidikan di inklusif harus segera mendapat perhatian, termasuk penanganan masalah emosi dan sosial. Melalui inklusif kesempatan PDBK untuk memperoleh berbagai layanan memiliki hak yang sama seperti


(30)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

18 peserta didik lainnya. Adalah kewajiban sekolah untuk mengakomodasi semua kebutuhan peserta didiknya.

Kondisi emosi dan sosial individu dapat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Sukmadinata, (2003:163) mengemukakan;

Seseorang yang memiliki kondisi hubungan yang wajar dengan orang lain di sekitarnya akan memiliki ketentraman hidup, dan hal ini akan mempengaruhi konsentrasi dan kegiatan belajarnya. Sebaliknya seorang yang mengalami kesulitan dalam hubungan sosial dengan temannya atau gurunya atau orang tuanya akan mengalami kecemasan, ketidaktentraman dan situasi ini akan mempengaruhi usaha belajarnya. Tujuan yang ingin diperoleh dari pendidikan yang menekankan pada aspek emosi dan sosial adalah berkembangnya kemampuan emosi dan sosial individu sesuai dengan usianya. Elias, (1997: 3) mengemukakan tujuan pendidikan pada aspek emosi dan sosial adalah “mengajarkan peserta didik untuk menjadi warga negara yang baik dengan nilai positif dan untuk berinteraksi secara efektif serta berperilaku secara konstruktif”. Setiap individu memerlukan perhatian secara khusus, terlebih lagi pada anak yang mengalami hambatan emosi dan sosial. Pentingnya perhatian khusus dikemukakan Smith “Latihan terarah dalam kemampuan sosial sangat berguna bagi peserta didik yang mengalami gangguan emosi dan sosial, agar mendapatkan keberhasilan di inklusif” Selanjutnya dikemukakan juga dalam U.S. Public Health Service, (2000: 3), yaitu;

(a) mengembangkan kepekaan dan keterampilan mengurus diri sendiri untuk mencapai kesuksesan di sekolah dan dalam hidup, (b) menggunakan kepekaan sosial dan keterampilan interpersonal untuk mengembangkan dan menjaga hubungan yang positif, dan (c) menujukkan keterampilan pembuatan keputusan dan perilaku yang bertanggung jawab dalam konteks pribadi, sekolah, dan komunitas. Setiap individu memiliki kemampuan emosi dan sosial yang bervariasi, untuk memudahkan dalam pemberian layanan pendidikan, maka aspek ini harus dikembangkan sedini mungkin baik di sekolah, lingkungan keluarga, maupun masyarakat. Kegiatan diawali dengan terlebih dahulu mengadakan asesmen terhadap hambatan dan potensi yang dimiliki peserta didik. Cara


(31)

yang paling efektif dalam menangani masalah emosi dan sosial, yaitu mencegah terjadinya masalah semakin berat melalui pendekatan proaktif dan pengembangan keterampilan sosial. Hasil penelitian Rigmalia, (2012; 5) dikemukakan;

Pengembangan keterampilan sosial perlu didukung sejak awal, dengan keterampilan sosial yang baik maka peserta didik dapat belajar berperilaku mengenai perilaku yang diterima secara sosial, yang memungkinkan terjadinya interaksi dengan cara yang dapat menimbulkan respon positif dan membantu menghindari respon negatif dari yang lain.

Perkembangan kemampuan emosi dan sosial peserta didiki o tidak akan lepas dari pengaruh faktor lingkungan fisik, psikis, maupun sosial. Hal ini dikemukakan oleh Vigotsky dalam Woolfolk, (2009:75), bahwa kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melalui dua tataran, yaitu pertama pada tataran sosial tempat dimana orang membentuk lingkungan sosialnya (intermental), dan kedua pada tataran psikologis dalam diri individu yang bersangkutan (intramental). Teori di atas menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor primer terhadap pengembangan emosi dan sosial individu, sedangkan intramental dipandang sebagai turunan yang tumbuh dan berkembang melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial.

Berdasarkan paparan di atas, penulis mennyimpulkan bahwa kemampuan emosi dan sosial PDBK pada setting inklusif sangat lemah, hal ini diduga karena belum ada model pembelajaran yang dianggap mampu mengembangkan emosi dan sosial bagi semua peserta didik, selain itu pendekatan yang selama ini digunakan guru selalu menggunakan pendekatan konvensional. Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud mengadakan penelitian yang berhubungan dengan pengembangan emosi dan sosial peserta didik di inklusif, dengan harapan menemukan model pembelajaran yang dapat dijadikan pegangan dalam mengembangkan emosi dan sosial di inklusif. Salah satu model pembelajaran yang dapat


(32)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

20 mengembangkan kemampuan emosi adalah model pembelajaran Teams

Games Tournament (TGT) yaitu salah satu tipe model pembelajaran

kooperatif yang melibatkan aktivitas seluruh pesera didik tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran peserta didik sebagai tutor sebaya, mengandung unsur permainan dan reinforcement. Pembelajaran dilandasi teori perkembangan kognitif Piaget dan konstruktivisme Vygotsky. Pembelajaran yang berpusat pada individu dan mengkonstruksi materi pembelajaran dengan menerapkan proses pembelajaran yang membangun hubungan sosial peserta didik. Vygotsky mengemukakan “meskipun pada akhirnya peserta didik akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui pengalaman sehari-hari. Vygotsky yakin bahwa peserta didik akan jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang lain”. Aktivitas pembelajaran dengan permainan dalam pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan peserta didik belajar lebih rileks, dapat menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, bekerja sama, terjadi persaingan sehat dan seluruh peserta didik terlibat dalam pembelajaran. Pembelajaran dengan model TGT, kelas dibagi kedalam kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 4 sampai 5 orang peserta didik yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya, kemudian peserta didik diharuskan bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil, pembelajaran dengan menggunakan TGT dilakukan melalui turnamen permainan akademik. Dalam turnamen itu peserta didik bertanding mewakili timnya dengan anggota tim lain, dimana setiap anggota tim berdasarkan hasil assesmen memiliki nomor urut yang artinya kemampuannya setara dengan nomor yang sama pada kelompok lainnya. Pendekatan yang digunakan dalam TGT adalah pendekatan secara kelompok, yaitu dengan membentuk kelompok-kelompok kecil dalam pembelajaran. Pembentukan kelompok kecil membuat peserta didik aktif dalam pembelajaran. Ciri dari pendekatan secara berkelompok dapat ditinjau dari segi tujuan belajar dalam kelompok kecil, yaitu; (a) memberi


(33)

kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah secara rasional, (b) mengembangkan sikap sosial dan semangat bergotong royong (c) mendinamisasikan kegiatan kelompok dalam belajar sehingga setiap kelompok merasa memiliki tanggung jawab, dan (d) mengembangkan kemampuan kepemimpinan dalam kelompok.

Keuntungan menggunakan TGT dalam pembelajaran dikemukakan Slavin, (2008) adalah sebagai berikut; 1) Peserta didik memperoleh teman yang secara signifikan lebih banyak dari kelompok rasial mereka dari pada dalam kelas tradisional. 2) Meningkatkan persepsi peserta didik, bahwa hasil yang mereka peroleh tergantung dari kinerja dan bukannya pada keberuntungan. 3) Dapat meningkatkan harga diri sosial peserta didik. 4) Dapat meningkatkan kekooperatifan terhadap yang lain (kerja sama verbal dan nonperbal, kompetisi yang lebih sedikit). 5) Keterlibatan peserta didik lebih tinggi dalam belajar bersama. 6) Model pembelajaran TGT dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar peserta didik, karena dapat belajar lebih rileks, serta dapat menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. 7) Model pembelajaran TGT dapat menambah wawasan tentang berbagai model pembelajaran serta dapat meningkatkan kompetensi guru. Keuntungan lainnya dikemukakan Slavin (2008) bahwa “TGT memiliki dimensi kegembiraan yang diperoleh dari penggunaan permainan, teman satu tim akan saling membantu dalam mempersiapkan diri untuk permainan”. Pada diri peserta didik akan timbul rasa senang saat pembelajaran dilaksanakan, serta timbulnya motivasi belajar, karena di dalamnya terdapat nuansa bermain. Selanjutnya Slavin, (2008) mengemukakan “perspektif motivasional pada pembelajaran kooperatif terutama memfokuskan pada penghargaan atau struktur tujuan dimana para peserta didik bekerja”. Deutsch, (1949) dalam Slavin, (2008) mengidentifikasi tiga struktur tujuan dalam pembelajaran kooperatif, yaitu; 1) Kooperatif, dimana tujuan dari setiap individu memberi kontribusi pada tujuan anggota yang lain. 2) Kompetitif, dimana usaha berorientasi tujuan


(34)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

22 dari tiap individu menghalangi pencapaian tujuan anggota lainnya. 3) Individualistik, dimana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu tidak memiliki konsekwensi apapun bagi pencapaian tujuan anggota lainnya.

Studi pendahuluan dilakukan pada beberapa sekolah dasar penyelenggara inklusif, bertujuan untuk mengetahui kemampuan emosi dan sosial peserta didik. Penelitian dilakukan pada kelas satu sampai kelas empat. Melalui kegiatan wawancara dan observasi pada guru kelas, dan kepala sekolah. Wawancara dilakukan untuk mengetahui; (1) Kondisi objektif pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di inklusif, (2) Model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik, meliputi; perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan kegiatan lainnya yang dapat meningkatkan kemampuan emosi dan sosial. (3) Perkembangan emosi dan sosial PDBK selama belajar di inklusif, meliputi; perkembangan emosi dan sosial, serta kelebihan maupun kekurangan perkembangan emosi dan sosial PDBK yang belajar di inklusif. Sedangkan observasi dilakukan untuk mengetahui tentang kemampuan emosi dan sosial, serta interaksi dengan peserta didik lain di inklusif, meliputi; interaksi peserta didik dengan peserta didik lainnya, dan respon PDBK terhadap sikap peserta didik lainnya. Penemuan model pembelajaran dianggap sangat penting, karena jika perkembangan emosi dan sosial PDBK tidak segera mendapat perhatian, maka akan berdampak terhadap perolehan prestasi belajar lainnya.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, yaitu rendahnya kemampuan emosi dan sosial peserta didi di sekolah dasar inklusif, faktor-faktor yang memiliki keterkaitan dengan lemahnya kemampuan emosi dan sosial peserta didik, adalah sebagai berikut;

Dalam pembelajaran di inklusif belum ada model pembelajaran yang secara khusus memfokuskan untuk meningkatkan kemampuan emosi dan


(35)

sosial. Untuk meningkatkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik harus ada model pembelajaran yang khusus membicarakan tentang meningkatkan kemampuan emosi dan sosial. Selain itu para guru tidak mengadakan modifikasi pembelajaran, artinya kegiatan pembelajaran berjalan secara konvensional, akibatnya PDBK tidak mampu mengikuti pembelajaran secara aktif, walaupun guru telah berusaha membentuk kegiatan kelompok tetap saja PDBK tidak mendapatkan porsi belajar secara optimal. Model pembelajaran TGT yang didesain secara khusus akan memberikan kemudahan kepada para peserta didik dalam memecahkan permasalahan dan menjawab persoalan-persoalan, sebagaimana dikemukakan Slavin, (2006: 10) “Peserta didik akan belajar lebih mudah menemukan jawaban, dan memahami konsep yang sulit jika membicarakannya dalam kelompok”.

Kompetensi para guru regular yang ada di sekolah dasar penyelenggara inklusif masih perlu ditingkatkan, para guru masih memiliki kelemahan dalam bidang; 1) Perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi yang sesuai dengan karakteristik peserta didik. 2) Melakukan identifikasi dan asesmen terhadap karakteristik peserta didik. 3) Menyusun dan melaksanakan program pendidikan individual. 4) Para guru cenderung melindungi secara berlebihan terhadap PDBK, atau sebaliknya mengangap bahwa mereka tidak mampu mengikuti kegiatan pembelajaran, sehingga kurang dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran. 5) Belum memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri dalam pembelajaran.

Perkembangan emosi dan social peserta didik yang ada di inklusif memiliki hambatan yang sangat bervariasi dan kurang mendapat penanganan, yaitu; hambatan penglihatan, hambatan komunikasi, hambatan kecerdasan, hambatan gerak, hambatan emosi dan sosial, kesulitan belajar, serta autistik. Kemampuan emosi dan sosial peserta didik yang ada di inklusif sangat bervariasi, yaitu berada pada tahap rendah dan sedang.


(36)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

24 Dalam pembelajaran, belum seluruh peserta didik terakomodasi, termasuk di dalamnya PDBK, yaitu masih dibiarkan duduk di deretan paling belakang, belajar sendiri, belajar bersama pendamping atau guru pembimbing khusus, dan tidak dilibatkan dalam kegiatan tanya jawab atau mengerjakan tugas-tugas pembelajaran.

Sehubungan luasnya permasalahan mengenai perkembangan emosi dan sosial bagi peserta didik di sekolah dasar inklusif, penelitian ini membatasi pada salah satu permasalahan yang dianggap paling dominan untuk meningkatkan kemampuan emosi dan sosial, yaitu “Model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di sekolah dasar inklusif”. Dari batasan masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah model pembelajaran TGT dapat meningkatkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di sekolah dasar inklusif, dan apakah model pembelajaran TGT lebih baik daripada model pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di sekolah dasar inklusif”?

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penulis mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kondisi model pembelajaran saat ini dalam meningkatkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di sekolah dasar inklusif?

2. Model pembelajaran apakah yang dianggap tepat untuk meningkatkan kemampuan emosi dan sosial di sekolah dasar inklusif?

3. Bagaimanakah efektivitas model pembelajaran yang dikembangkan dalam meningkatkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di sekolah dasar inklusif?

4. Bagaimanakah kompetensi emosi dan sosial PDBK yang belajar di sekolah dasar inklusif?


(37)

D. Tujuan Penelitian

Tujuan akhir penelitian ini adalah menghasilkan model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di sekolah dasar inklusif. Model pembelajaran yang dihasilkan diharapkan menjadi panduan bagi guru-guru di sekolah dasar inklusif. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan kondisi model pembelajaran saat ini dalam meningkatkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di sekolah dasar inklusif.

2. Untuk mendeskripsikan model pembelajaran yang dianggap tepat untuk meningkatkan kemampuan emosi dan sosial di sekolah dasar inklusif. 3. Untuk mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran yang

dikembangkan dalam meningkatkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di sekolah dasar inklusif.

4. Untuk mendeskripsikan kompetensi emosi dan sosial PDBK yang belajar di sekolah dasar inklusif.

E. Manfaat / Signifikansi Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian dengan judul “Pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di sekolah dasar inklusif”, adalah:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis manfaat penelitian ini diharapkan dapat menemukan konsep dan prinsip mengenai model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan emosi dan sosial bagi peserta didik di sekolah dasar inklusif. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan tentang inklusif kearah yang lebih maju, serta menjadi bahan kajian bagi pengembang kurikulum dalam rangka pengembangan kurikulum. Penemuan model pembelajaran diharapkan dapat memberikan suatu


(38)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

26 pandangan tentang cara mengembangkan kemampuan emosi dan sosial PDBK yang belajar di sekolah dasar inklusif, serta ditemukannya layanan pendidikan yang bermutu.

2. Manfaat dari segi kebijakan

Setelah ditemukannya model pembelajaran yang diduga mampu meningkatkan kemampuan emosi dan sosial bagi PDBK, maka hasil penelitian dianggap sangat mendukung kebijakan pemerintah yaitu PP No. 70 Tahun 2009. Selanjutnya diharapkan lahir kebijakan tentang implementasi model pembelajaran.

3. Manfaat Praktis

a. Memberikan alternatif pilihan dalam pelaksanaan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di sekolah dasar inklusif.

b. Memberikan sumbangan dalam meningkatkan layanan pendidikan, berupa model pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di inklusif..

c. Memberikan panduan dalam mengembangkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik di sekolah dasar inklusif.

4. Manfaat dari segi isu serta aksi sosial

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan dampak dalam mengembangkan kemampuan emosi dan sosial peserta didik, dan menambah wawasan kepada para guru, orang tua dan masyarakat, sehingga akhirnya layanan kepada PDBK dapat terlaksana secara optimal dan mendukung gerakan inklusif secara nasional, dimana rencana pemerintah dalam mengimplementasikan inklusif akan melibatkan “sekolah negeri, swasta, madrasah, hingga pondok pesantren”.


(39)

F. Struktur Organisasi Disertasi

Disertasi ini terdiri dari lima Bab, meliputi Bab 1 pendahuluan, Bab II Kajian Pustaka, Kerangka Pemikiran, dan Hipotesis Penelitian, Bab III Metode Penelitian, Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, dan Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi. Lebih lengkap penulis paparkan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan; Pada bab ini akan diuraikan mengenai; latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

Bab II Kajian Pustaka dan Kerangka Pemikiran; Kajian Pustaka; Pada bagian ini akan diuraikan beberapa teori tentang; pendidikan inklusif; konsep inklusif; tujuan inklusif, permasalahan inklusif. anak berkebutuhan khusus (ABK); pengertian, jenis-jenis ABK. konsep emosi dan sosial, perkembangan emosi dan sosial, kerangka teori model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan emosi dan sosial, konsep kurikulum, pembelajaran, model pembelajaran, implementasi dalam pembelajaran, dan prosedur pembelajaran, Hasil penelitian terdahulu, dan Kerangka Pemikiran.

Bab III Metode Penelitian; pada bab ini dibahas tentang; metode penelitian, prosedur penelitian, lokasi dan subjek penelitian, variable penelitian, pengembangan instrumen penelitian, strategi pengumpulan data, analisis data, dan hipotesis penelitian.

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan; pada bab ini diuraikan tentanghasil penelitian yang meliputi emosi dan sosial, kondiai pembelajaran, dan model pembelajaran, meliputi; rencana model hipotetik, hasil uji coba model pembelajaran; hasil uji model awal, hasil uji coba terbatas, hasil uji coba luas, hasil uji validasi. dan pembahasan hasil penelitian.

Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi; pada bab ini diuraikan tentang kesimpulan hasil penelitian, dan rekomendasi.


(40)

Nandi Warnandi, 2015

MOD EL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI D AN SOSIAL PESERTA D IDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu


(1)

Nandi Warnandi, 2015

tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Penggunaan model TGT secara optimal akan berakibat optimalnya komunikasi yang terjadi dalam pembelajaran, peserta didik akan belajar dengan aktif dan menyenangkan, serta terjadi ikatan sosial sesama peserta didik.

b. Keberadaan PDBK di sekolah dasar hendaknya jangan dijadikan beban dan hambatan. Berikanlah kesempatan belajar seluas-luasnya, libatkanlah PDBK secara aktif pada seluruh kegiatan pembelajaran (tanyan jawab, diskusi, pemberiaan tugas, dan lain sebagainya), serta hilangkan anggapan bahwa PDBK itu tidak mampu dan harus selalu didampingi GPK.

4. Untuk peneliti berikutnya

Penelitian ini dilakukan dengan subjek penelitian yang tidak terlalu banyak, karena disesuaikan dengan kemampuan yang saat ini ada pada penulis. Penulis menyarankan alangkah baiknya kalau subjek penelitiannya diperluas lagi sehingga hasil penelitian benar-benar mewakili pembelajaran bagi PDBK. Masih banyak model pembelajaran yang dapat diimplementasikan pada sekolah inklusif, penulis menyarankan lakukanlah penelitian dengan model lainnya, yang pada akhirnya PDBK mendapatkan perlakuan yang sama dalam pembelajaran. Selain itu untuk meningkatkan kualitas hasil belajar di sekolah dasar pendidikan inklusif tentunya masih banyak, kepada para calon peneliti penulis mempersilahkan mengkaji persoalan-persoalan yang terdapat di sekolah inklusif, demi kemajuan pendidikan bagi PDBK di masa yang akan datang.


(2)

Nandi Warnandi, 2015

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. (2011). Memahami Riset Prilaku dan Sosial. Bandung. CV Pustaka Cendekia Utama.

Alimin, Z. (2010). Asesmen Keterampilan Membaca dan Matematika /

Aritmatika Bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Direktorat Pembinaan SLB

Kemendiknas.

Alimin, Z. (2011). Paradigma Pendidikan Inklusif Sebagai Upaya Memperluas

Askes dan Perbaikan Mutu Pendidikan.Bandung. Jurnal Asesmen dan

Intervensi ABK. Vol. 10. Juni 2011.

Alma, B. (2010). Guru Profesional Menguasai Metode dan Tampil Mengajar. Bandung. Alfabeta.

Apiati. (2012). Perkembangan Sosial. Tersedia;

http://downloadgratisarea.blogspot.com/2012/10/keterampilan-sosial.html

(senin 22-09-2014).

Aziz, AH. (2012). Karakter Guru Profesional Melahirkan Murid Unngguil

Menjawab Tantangan Masa Depan. Jakarta. Al-Mawardi.

Baihaqi, MIF. (2005). Psikiatri. Bandung : Refika Aditama.

Bandura, A., Pastoreli, et al. (1999). Self-efficacy Pathways to childhood

Depresion. Journal Of Personality and Social Psichologi, 76 (2). 258-269.

DEPDIKNAS. (2003). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. N0. 20/2003. Jakarta. Sinar Grafika.

Elias, J.M., at al. (1997). Promoting Social And Emotional Learning. Alexandria, Virginia USA. Association for Supervision Curriculum Development. Feldman, P.O. (2009). Human Development – Perkembangan Manusia. – Edisi

10 Buku 1. Jakarta. Salemba Humanika.

Ginnis, P. (2008). Trik & Taktik Mengajar Strategi Meningkatkan Pencapaian

Pengajaran di Kelas. Jakarta. PT Indeks.

Goleman, D. (2000). Emotional Intelligence Kecerdasan Emosional Mengapa

Lebih Penting Daripada IQ. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Hadis, A. (2008). Kematangan Emosi Dengan Penyesuaian Sosial Pada Siswa


(3)

Nandi Warnandi, 2015

Muhamadiyah. Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 01, Thn.2013

http://ejournal.umm.ac.id 104

Hamalik, O. (1990). Pengembangan Kurikulum Dasar-dasar dan Pengembangannya. Bandung. Mandar Maju.

Hasan, P.B.A. (2006). Psikologi Perkembangan Islami (Menyingkap Rentang

Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian.Jakarta.

PT. Raja Grafindo Persada.

Heijnen, Els. (2005). Kecacatan dan Kebutuhan Pendidikan Khusus. Journal Eenet. Asia Edisi Perdana Juni 2005.

Hurlock, B.E. (1980). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta. Erlangga.

Ibrahim, R. (2014). Kemampuan Sosial Bantu Anak Beradaptasi. Jurnal

Psikologi. [Online]. Tersedia:

http://www.psikologizone.com/kemampuan-sosial-bantu-anak-beradaptasi/065116810.

Jalal, F., Supriadi, D. (2001). Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi

Daerah. Jakarta. Depdiknas – Bapenas – Adicita Karya Nusa.

Johnsen, H.B. dan Skjorten, M.D. (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah

Pengantar. Bandung. Program Pascasarjana Universitas Pendidikan

Indonesia.

Joyce, B., Weil, M., Calhoun, E. (2009). Models of Teaching Model-Model

Pengajaran. Alih Bahasa Ahmad Fawahid. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Jurnal Online Psikologi Vol.01 No. 01, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id 112 Kalat, J.W. (2012). Biopsikologi Biological Psychology – Buku 2 – Edisi 9.

Jakarta. Salemba Humanika.

King, L.A. (2010). Psikologio Umum Sebuah Pandangan Apresiatif. Jakarta. Salemba Humanika.

Krech, D., Cruchfield. (1962). Individual in Society. California. Mac Graw Hill Book Company, Inc.

Macintyre, C. (2001). Play For children with special Needs. London. David Fulton Publisher. Ltd.

Mahmuddin. (2011). Strategi Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams


(4)

Nandi Warnandi, 2015

http://mahmuddin.wordpress.com/2009/12/23/strategi-pembelajaran-kooperatif-tipe-teams-games-tournament-tgt/ (Selasa, 17 Juni 2014). Notodiputro, KA. (2013). Kurikulum 2013 Kompetensi Dasar. Jakarta.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Olson, MH., dan Hergenhahn, B.R., (2010). Theories Of Learning (Teori

Belajar). Jakarta. Kencana Prenanda Media Grouf.

Partin, R.L. (2009). Kiat Nyaman Mengajar Di Dalam Kelas – Ediisi Kedua – Jilid 1. Jakarta. PT. Indeks.

Patton, M.Q. (1990). Qualitative Evaluation Research Methods (2nd Ed). Newbury Park, CA: Sage.

Prawitasari, (1995), Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 01, Thn. 2013

http://ejournal.umm.ac.id 106

Rahman (2013:48). Pengembangan Model Kurikulum Berbasis Perkembangan

Anak Untuk Membentuk Karakter Anak Pada Taman Kanak -Kanak (TK).

Disertasi. Bandung. SPS. UPI. Tidak dipublikasikan.

Rohendi dan Sutarno. (2012). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

Teams Games Tournament Berbasis Multimedia Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Teknologi Komunikasi Dan

Informasi. [Online]. Tersedia:

http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2012/02/laporan-penelitian-

pembelajaran.html-Rigmalia, D. (2012; 5). Program Bimbingan Kelompok Melalui Permainan

Untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Bagi siswa Pada SD Penyelenggara Pendidikan Inklusif. Disertasi. Bandung. SPS. UPI. Tidak

Dipublikasikan.

Ruhimat, T. (2009). Kurikulum & Pembelajaran. Bandung. Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.

Rusman. (2010). Model Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta. PT Rajawali Grafindo Persada.

Sanjaya, W. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran Teori dan Praktik

Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta.


(5)

Nandi Warnandi, 2015

Santrock, J.W. (2002). Life Span Development. Diterjemahkan oleh Damanik, Juda. Jakarta. Erlangga.

Setiawan, B. (2006). Fenomena Bunuh Diri Peserta Didik. Bandung. Pikiran

Rakyat. [Online]. Tersedia:

http://bennisetiawan.blogspot.com/2006/12/fenomena-bunuh-diri-peserta-didik.html.(Rabu, 03 September 2014).

Slavin, R.E. (2008). Pengantar Psikologi I. (8 nd ed). Alih Bahasa. Allyman Bacon.

Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning. London. Allyman Bacon.

Smith, D.J. (1998). Inklusi Sekolah Ramah Untuk Semua (Dialihbahasakan oleh Sugiarmin dan Baihaqi). Bandung. Nuansa.

Somantri, S.T. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung. PT. Reflika Aditama.

Stubbs, S. (2005). Pendidikan Inklusif, Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber. Bandung. Jurusan PLB FIP UPI. Alih Bahasa: Susi Septaviana.

Soetjiningsih, CH. (2012). Perkembangan Anak Sejak Pembuahan Sampai

Dengan Kanak-kanak Akhir.Jakarta. Prenanda Media Group.

Sudrajat, A. (2008). Perilaku Sosial Individu Menurut Krech, et.al.[Online]. Tersedia: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/24/perilaku-sosial-individu/. (Rabu, 03 Maret 2014).

Sugiarmin, M. (2012). Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Inklusivitas Hasil Belajar Peserta Didik.Bandung. Sekolah

Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Disertasi Tidak Dipublikasikan.

Sugiyono. (20010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif. Dan R&D. Bandung. Alfabeta.

Sukmadinata, N.S. (2000). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek . Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.

Sukmadinata, N.S. (2003). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.

Sukmadinata, N.S. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.


(6)

Nandi Warnandi, 2015

Sumantri, M. dan Permana J. (1998/1999). Strategi Belajar Mengajar.Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – Ditrektorat Jenderal Pendidikan Tinggi – Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar (Primary School Teacher Development Project). IBRD: Loan 3496 – IND.

Sunardi dan Sunaryo. (2006). Intervensi Dini Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional – Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi – Direktorat Pembinaan Tenaga Kependidikan dan Tenaga Perguruan Tinggi.

Susilowati, E. (2013). Kematangan Emosi Dengan Penyesuaian Sosial Pada Siswa Akselerasi Tingkat SMP. Malang. Fakultas Psikologi. Universitas Muhamadiyah Malang. Jurnal Online Psikologi. Vol. 01 No. 01, Thn. 2013. [Online]. Tersedia: http://ejournal.umm.ac.id.

UNESCO. (1994). The Salamanca Statement and Framework for Action on

Special Needs Education. Geneva. UNESCO.

UNESCO. (2005). Embracing Diversity: Toolkit for Creating Inclusive,

Learning Friendly Environments. UNOSCO.

Purwanta, E. (2005). Modifikasi Perilaku. Jakarta. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional – Ditrektorat Jenderal Pendidikan Tinggi – Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi..

Willis, R.D. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta. Erlangga.

Woolfolk. (1995). Education Psychology Active Learning Edition. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Yusuf, M. (2005). Pendidikan Bagi Anak Dengan Problem Belajar. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional – direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

– Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan Dan Ketenagaan Prguruan Tinggi.

Yusuf, S. (2008). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung. PT. Remaja Rosda Karya.

Zais, R. S. (1976). Curriculum Principles and Foundations. New York; Harper and Row Publisher. Inc.


Dokumen yang terkait

PENGELOLAAN PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH DASAR PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF Pengelolaan Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Dasar Penyelenggara Pendidikan Inklusif Sekolah Dasar Negeri Iii Giriwono Wonogiri.

0 5 21

Pembelajaran Berbasis Model Nondirective untuk Meningkatkan Percaya Diri dan Kemampuan Berbicara Peserta Didik: Penelitian Tindakan Kelas di Kelas IV Sekolah Dasar.

0 0 78

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN CLASSROOM COMMUNITY PARTNERSHIP (CCP) UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN KOGNITIF SOSIAL (SOCIAL COGNITIVE SKILLS) PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN PPKn PADA SISWA SEKOLAH DASAR.

1 16 72

MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI DAN SOSIAL PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS : Studi Pengembangan Pada Sekolah Dasar Inklusif.

0 2 68

PENGEMBANGAN STRATEGI INTERNALISASI NILAI KEBERSAMAAN PADA PESERTA DIDIK SEKOLAH DASAR INKLUSIF.

1 13 74

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP.

3 18 98

MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PESERTA DIDIK BERKESULITAN BELAJAR (LEARNING DIFFICULTIES) DI SEKOLAH DASAR REGULER.

0 0 53

MODIFIKASI PENILAIAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH DASAR PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF.

3 10 86

MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN EMOSI DAN SOSIAL PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS : Studi Pengembangan Pada Sekolah Dasar Inklusif - repository UPI D PK 1104021 Title

0 0 3

Keefektifan Model Pembelajaran Bermain untuk Meningkatkan Kebugaran Jasmani Peserta Didik Sekolah Dasar Kelas Bawah

0 0 15