PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN CLASSROOM COMMUNITY PARTNERSHIP (CCP) UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN KOGNITIF SOSIAL (SOCIAL COGNITIVE SKILLS) PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN PPKn PADA SISWA SEKOLAH DASAR.

(1)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

LEMBARAN PERSETUJUAN ...ii

HALAMAN PERNYATAAN ...iv

ABSTRAK ...v

ABSTRACT ...vi

KATA PENGANTAR ...vi

UCAPAN TERIMA KASIH ...vii

DAFTAR ISI ...ix

DAFTAR TABEL ...xiii

DAFTAR GAMBAR ...xv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian ...1

B.Identifikasi dan Perumusan Masalah ...13

C.Definisi Operasional ...15

D.Tujuan Penelitian ...17

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ...18

F. Struktur Organisasi Disertasi ...20

BAB II KAJIAN TEORITIK, MODEL PEMBELAJARAN CLASSROOM COMMUNITY PARTNERSHIP (CCP) A. Kajian teoritik model pembelajaran classroom community partnership (CCP) 1. Teori Kognitif Sosial (social cognitive theory) ...22

a. Self-Efficacy...28

b. Self-regulated ...37

2. Studi terdahulu tentang kemampuan kognitif sosial (social cognitive skills) dan posisi penelitian ...47

3. Peran guru secara umum ...53

a. Guru Sebagai Fasilitator ...60

b. Guru Sebagai Pengelola ...60

c. Guru Sebagai Evaluator...63

4. Karakteristik perkembangan peserta didik di sekolah ...66

a. Perkembangan kemampuan peserta didik menurut para ahli ...66

b. Perkembangan peserta didik pada jenjang sekolah dasar kelas lima ...71

5. Peran orang tua dalam pendidikan dan pembelajaran anak di sekolah dan di rumah ...75

a. Peran Orang Tua dalam Pola Pengasuhan Anak ...75

b. Peran Orang Tua dalam Pendidikandan Pembelajaran Anak di Sekolah dan di Rumah ...76

B.Defenisi model pembelajaran, dasar pertimbangan pemilihan model pembelajaran dan ciri-ciri model pembelajaran secara umum ...79

1. Defenisi model pembelajaran ...79


(2)

3. Ciri-ciri model pembelajaran secara umum ...82

C.Desain model terdahulu dan desain model pembelajaran CCP yang Dikembangkan ...82

1. Desain model terdahulu ...82

a. Model school, family and community partnerships ...82

b. Model System Social ...85

c. Model Learning community in classroom ...87

2. Model Classroom Community Partnership (CCP) a. Asumsi dasar pengembangan model CCP dalam Pembelajaran PPKn ...94

b. Landasan filsafat model pembelajaran CCP ...96

c. Landasan teori model pembelajaran CCP ...99

d. Komponen model pembelajaran CCP ...111

e. Karakteristik Model Pembelajaran Classroom Community Partnership (CCP) dalam pembelajaran PPKn ...118

f. Kekuatan dan Kelemahan Model Pembelajaran Classroom Community Partnership (CCP). ...120

g. Desain teoritik model pembelajaran CCP ...121

h. Desain dan implementasi model pembelajaran CCP dalam pembelajaran PPKn ...125

i. Bentuk operasional model pembelajaran Classroom Community Partnership (CCP) dalam pembelajaran PPKn. ...130

D.Model Pembelajaran Classroom Community Parnership (CCP) Kurikulum dalam Pembelajaran PPKn...132

1. Model Pembelajaran Classroom Community Partnership.(CCP) dalam Kurikulum PPKn ...132

2. Kajian kurikulum 2013 dalam implementasi model pembelajaran CCP ...145

3. Hubungan model pembelajaran CCP dengan pembelajaran tematik terintegratif ...146

4. Peranan Model Classroom Community Partnership (CCP) dalam pembelajaran PPKn untuk meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik ...154

E. Kerangka Berpikir Penelitian... 158

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 162

B. Prosedur Penelitian ... 163

C. Subjek dan Lokasi Penelitian ... 185

D. Instrumen dan teknik Pengumpulan Data ... 188

E. Pengembangan Instrumen Penelitian ... 190

F. Analisis Data ... 191

G. Waktu Penelitian ... 193

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 194

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 194

2. Deskripsi Tentang Hasil Pra Survei ... 203


(3)

b. Kemampuan dan kinerja guru ... 209

c. Kondisi dan pemanfaatan sarana dan perasarana serta lingkungan ... 210

3. Perencanaan dan pengembangan model pembelajaran Classroom Community Partnership (CCP) untuk meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik dalam pembelajaran PPKn di sekolah dasar. ... 212

a. Model pembelajaran CCP yang dikembangkan ... 213

b. Langkah-langkah pengembangan model ... 219

4. Implementasi Desain model pembelajaran CCP untuk meningkatkan kemampuan kognitif sosial dalam pembelajaran PPKn di sekolah dasar .... 223

a. Strategi impelementasi model pembelajaran CCP ... 223

b. Peran guru dalam implementasi model pembelajaran CCP ... 227

c. Peran orang tua dalam implementasi model pembelajaran CCP ... 231

d. Sarana pendukung yang diperlukan dalam implementasi model CCP ... 233

e. Teknik assesment yang digunakan dalam dalam implementasi model pembelajaran CCP ... 234

5. Dampak penerapan model CCP dalam meningkatkan kemampuan Kognitif sosial peserta didik dalam pembelajaran PPKn di sekolah dasar.236 6. Uji coba terbatas model pembelajaran CCP dalam meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik SD. ... 237

a. Dampak penerapan model bagi kinerja guru ... 246

b. Dampak penerapan model bagi orang tua ... 247

7. Uji coba lebih luas model pembelajaran CCP dalam meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik di sekolah dasar. ... 263

a. Hasil belajar peserta didik dalam implementasi model CCP dalam skala lebih luas ... 263

b. Dampak penerapan model bagi kinerja guru ... 260

c. Dampak penerapan model bagi orang tua ... 261

8. Uji validasi model pembelajaran CCP dalam meningkatkan kemampuan kognitif sosial di Sekolah Dasar. ... 263

a. Disain model pembelajaran CCP dalam uji validasi ... 263

b. Hasil uji validasi terhadap hasil belajar peserta didik ... 265

c. Hasil uji validasi kemampuan kognitif sosial peserta didik Sekolah Dasar Fa,Fb dan Ga,Gb. ... 267

d. Validasi model pada pengguna (peserta didik, orang tua, guru) ... 271

9. Interpertasi hasil penelitian ... 274

a. Studi pendahuluan ... 272

b. Hasil pengembangan model pembelajaran ... 275

10. Interpertasi uji coba terbatas model pembelajaran CCP ... 277

a. Substansi isi dan fleksibelitas struktur model CCP ... 277

b. Peran guru ... 277

c. Peran orang tua ... 278

d. Peningkatan kemampuan kognitif sosial ... 278

e. Interpertasi uji lebih luas ... 279

f. Interpertasi hasil validasi ... 281

B. Pembahasan... 283

1. Kondisi pembelajaran PPKn di Sekolah Dasar ... 284 2. Disain model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan kognitif


(4)

Sosial (social cognitive skills) siswa Sekolah Dasar ... 287

3. Implementasi desain model pembelajaran CCP hasil pengembangan ... 288

4. Dampak penerapan model yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif social siswa dalam pembelajaran PPKn di SD ... 294

5. Dampak penerapan model bagi kinerja guru ... 299

6. Dampak penerapan model bagi peran orang tua ... 301

C. Generalisasi hasil penelitian ... 305

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Hasil Penelitian dan Pengembangan ... 308

1. Kondisi pembelajaran PPKn saat ini sebelum implementasi model pembelajaran CCP. ... 308

2. Desain Model pembelajaran CCP yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik dalam pembelajaran PPKndi sekolah dasar. ... 308

3. Implementasi Model Pembelajaran CCP ... 311

4. Dampak Implementasi Model Pembelajaran CCP ... 312

B. Implikasi hasil pengembangan ... 315

1. Implikasi praktis ... 316

2. Implikasi teoritis ... 317

C. Rekomendasi ... 318

1. Rekomendasi kepada pihak pengguna ... 318

2. Rekomendasi kepada pihak terkait yang bertanggungjawab 3. terhadap peningkatan kualitas pembelajaran (Departemen Pendidikan Dasar dan Menengah) ... 320

4. Rekomendasi kepada peneliti yang akan melakukan penelitian lanjut ... 320 Daftar Pustaka


(5)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Penelitian

Globalisasi adalah suatu proses yang melahirkan ketergantungan antar bangsa dan antarnegara yang ditandai oleh derasnya arus lalulintas barang, jasa, dan modal dalam batas-batas tertentu juga tenaga kerja. Dalam proses ini tidak serta dapat dihindari munculnya persaingan dan sekaligus juga kerjasama ekonomi, yang akan menghasilkan dampak positif dan negatif. Bangsa dan negara yang dapat memanfaatkan dan mengambil peluang dari proses globalisasi, sebaliknya negara-negara yang tidak mampu memanfaatkan dan mengambil peluang akan mengalami kerugian.

Masuk dalam kisaran globalisasi tanpa identitas kultural yang jelas, akan menghantarkan suatu bangsa larut dalam globalisasi dan menjadi “kuli” dari kekuatan-kekuatan global. Dalam kondisi demikian bangsa Indonesia sebagai bagian dari proses tersebut harus terjun secara cerdas, sehingga tidak larut, terpengaruh dan hanya sebagai objek dalam arus globalisasi. Kondisi ini merupakan persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa pada dekade kini. Salah satu bidang yang menjadi orientasi untuk dapat menjawab persoalan besar tersebut adalah bidang pendidikan.

Bidang pendidikan menjadi tolak ukur utama perkembangan peradaban suatu bangsa, karena pendidikan menjadi komponen utama yang mendorong kemajuan dalam pembangunan di berbagai sektor kehidupan, yang menuntut peran berbagai pihak dalam menyokong kemajuan pendidikan. Pendapat yang tidak jauh berbeda diungkapkan oleh Danim (2003, hlm. 38) bahwa “dalam dunia pendidikan terjadi transformasi dan mobilisasi sosial atau terjadi proses sosialisasi dan inkulturasi dari berbagai ragam budaya yang berbeda”. Keragaman budaya yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia dan proses ini terjadi secara berkesinambungan di semua daerah.


(6)

Pentingnya pendidikan diungkapkan Zamroni (2007, hlm. 81) bahwa :

“pendidikan sebagai proses kepanjangan tangan keluarga untuk mendewasakan anak dalam mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal, sehingga dapat hidup layak ditengah-tengah masyarakatnya, tidak saja berguna bagi diri pribadi tetapi juga berguna bagi masyarakat sekitar dan bangsanya”.

Pendapat tersebut memperlihatkan suatu bentuk koordinasi kelembagaan yang selaras dalam pendidikan baik secara formal, maupun informal yang berguna dalam pengembangan sumber daya manusia dengan berbagai potensi yang berguna dalam peningkatan harkat hidup dan martabat suatu bangsa.

Peran pendidikan sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dalam proses mewujudkan masyarakat menuju kehidupan yang demokratis. Pengembangan peserta didik sebagai subjek dengan status sebagai warga negara yang sadar hukum, bertanggung jawab dan berkarakter Pancasila, sebagaimana diungkapkan pada Pasal 37 (ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 Tahun 2003 (UU SPN No 20 Tahun 2003) mewajibkan kurikulum pendidikan dasar dan menegah untuk memuat pendidkan kewarganegaraan pada setiap jenjang pendidikan yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Khususnya pada pendidikan dasar yang memiliki tujuan “memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik dalam mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara serta mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan pada sekolah pendidikan menengah pertama.” (Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah nomor 23 Tahun 2006 tentang standar kompetensi lulusan (SKL) untuk satuan pendidikan dasar dan menengah).

Berdasarkan kebijakan tersebut maka pendidikan pada sekolah dasar harus diterapkan secara utuh guna pembentukan dan pengembangan karakter, intelektual dan emosional sehingga secara fundamental peserta didik pada jenjang ini dapat memiliki pengetahuan dasar yang memadai sebagai penunjang untuk melangkah pada


(7)

jenjang selanjutnya. Dengan demikian konsep dasar pendidikan kewarganegaraan yang ditanamkan pada pendidikan dasar haruslah konsep-konsep fundamental tentang diri dan lingkungan, yang dapat membentuk peserta didik menjadi warga masyarakat utuh yang mengenal dan taat pada aturan yang berlaku pada lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, serta secara komprehensif dapat membentuk dan mengembangkan kemampuan anak baik secara kognitf, afektif maupun psikomotor.

Kemampuan tersebut di atas dikembangkan sebagian besar negara dengan tujuan terkait dengan kewarganegaraan yang bertanggung jawab. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) disajikan menjadi bermakna bagi anak yang sangat muda, dengan cara yang berbeda dari pendekatan yang diadopsi pada tingkat sekolah menengah, misalnya, ada penekanan yang lebih besar pada sekolah dasar untuk belajar prinsip-prinsip yang mengatur kehidupan di masyarakat dari pada perolehan pengetahuan teoritis. Kondisi yang sama juga dikembangkan pada negara-negara di Eropa fokus pendidikan kewarganegara-negaraan yaitu “kemampuan untuk mengembangkan rasa hormat dalam hubungan dengan anak-anak lain atas dasar bahwa setiap orang milik hak yang sama memperoleh pendidikan. Anak-anak juga diajarkan bagaimana untuk bertindak atau berinteraksi dalam berbagai situasi yang mungkin mereka hadapi didalam maupun di luar sekolah”.(European Commission, 2012, hlm. 18)

Salah satu kemampuan yang penting untuk dikembangkan adalah kemampuan kognitif sosial (social cognitive skills) sebagaimana diungkapkan oleh Bennett dkk. (dalam Ronto,2008, hlm.13) bahwa „kemampuan kognitif sosial adalah kemampuan antar pribadi termasuk pengetahuan individu, persepsi, sikap, dan perilaku dalam kaitannya dengan situasi sosial‟. Pendapat ini selaras dengan hasil penelitian Erdley dkk. (2010, hlm. 16) yang berjudul “social-cognitive models and skills dimana para peneliti mempelajari kompetensi sosial-kognitif proses yang mendasari perilaku individu. Hasil temuan mereka secara teoritis menyimpulkan bahwa perbedaan individu dalam keterampilan sosial dapat membantu menjelaskan mengapa orang


(8)

dihadapkan dengan situasi sosial yang sama dapat memilih untuk bertindak dengan cara yang sangat berbeda.

Konsepsi dan hasil penelitian tersebut bersumber dari teori kognitif sosial (social cognitive theory) yang dikemukakan oleh Bandura (1986, hlm. 11), dimana dia menyatakan:

Within the social cognitive perspective, social factors play an influential role in cognitive development and there are many motivators of the pursuit of competence. Maturational factors and the information gained from exploratory experiences contribute to cognitive growth. However, most valuable knowledge is imparted socially.

Maksud Bandura dalam teori tersebut bahwa dalam perspektif kognitif sosial, faktor-faktor sosial memainkan peran yang berpengaruh dalam perkembangan kognitif dan ada beragam motivasi dalam mencapai kompetensi. Faktor kematangan dan informasi yang diperoleh dari pengalaman eksplorasi memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan kognitif. Walau demikian pengetahuan yang paling berharga adalah yang disampaikan secara sosial. Dalam teori ini, kemudian Bandura (1986, hlm.27) mengungkapkan bahwa setiap orang berperilaku dengan beberapa cara:

“… people learn behaviors and attitudes through four means. With regard to beliefs, he writes,People's conceptions about themselves and the nature of things are developed and verified through four different processes: direct experience of the effects produced by their actions, vicarious experience of the effects produced by somebody else's actions, judgments voiced by others, and derivation of further knowledge from what they already know by using rules of inference”.

Maksud dari pendapat Bandura tersebut adalah orang belajar perilaku dan sikap melalui empat cara yaitu orang berkenaan dengan keyakinan, konsepsi orang tentang diri mereka, dan sifat dari benda-benda yang dikembangkan dan diverifikasi melalui empat proses yang berbeda yakni pengalaman langsung dari pengaruh yang dihasilkan oleh tindakan mereka, pengalaman yang dilakukan dari efek yang dihasilkan oleh tindakan orang lain, penilaian orang lain, dan turunan dari pengetahuan dari apa yang mereka sudah tahu dengan menggunakan aturan inferensi.


(9)

Pendapat Bandura dalam teori kognitif sosial tersebut memiliki keterkaitan dengan kemampuan kognitif sosial peserta didik yang sangat penting untuk ditingkatkan pada peserta didik di sekolah dasar. Berdasarkan hasil pengamatan pada studi pendahuluan, ditemukan pada silabus lebih menekankan pada penguasaan konsep, dan RPP (yang berpedoman pada kurikulum 2006) terdapat pendekatan CTL (contectual teaching and learning) tetapi dalam implementasi pembelajaran PPKn, pendekatan tersebut tidak digunakan, selain itu kebiasaan menggunakan pengalaman orang lain (teman sebaya, maupun sumber belajar lain di luar kelas tidak digunakan. Selain itu dalam proses pembelajaran penilaian orang lain (teman sebaya) jarang digunakan. Kondisi ini juga didukung dengan menejemen sekolah yang tertutup, keterlibatan orang tua hanya sebatas pada komite dan jika surat teguran yang dikirimkan bagi orang tua peserta didik dengan anak bermasalah. Sehingga dapat disimpulkan dalam pembelajaran PPKn di sekolah dasar keempat komponen yang diungkapakan Bandura (pengalaman langsung, pengalaman orang lain, penilaian orang lain, dan pengaruh pengetahuan) tidak tergambar pada proses pembelajaran yang berlangsung.

Kondisi tersebut sangat bertolak belakang dengan kondisi ideal akan pentingnya pengembangan kemampuan kognitif sosial dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn), yang mendukung kerangka kerja united nations educational, scientific and cultural organization (UNESCO) yang diungkapkan dorji komisi UNESCO pada Lokakarya Asian-Afrika di Paro pada tanggal 12 Juni 2011, yaitu “learning to live together (LTLT),” dalam memupuk toleransi, pengembangan pemahaman interkultural, pendidikan berkelanjutan, memfasilitasi perdamaian, nondiskriminasi dan dialog antarsesama umat beragama, sebab learning to live together merupakan pilar penting dalam pendidikan global.

Sebagai perwujudan dari misi tersebut, PPKn sebagai salah satu mata pelajaran yang bermanfaat dalam pengembangan kepribadian, yang bersumber pada idiologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia, sangat penting untuk pemberdayaan individu.


(10)

Oleh karena itu anak-anak perlu diajarkan secara sistematis dan diberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan, kemampuan berbahasa dan kepercayaan diri sangat memungkinkan peserta didik untuk berpartisipasi penuh dalam proses pengambilan keputusan. Untuk mewujudkan misi tersebut, maka Heath dkk, (2007, hlm. 2) mengungkapkan “PPKn pada pendidikan dasar, mengintegrasikan pengalaman belajar dalam cara yang kohesi, memberikan kesempatan bagi perluasan budaya, sosial dan cakrawala politik, terutama dalam hal mengembangkan rasa identitas, dan penghargaan terhadap keragaman masyarakat kita.”

Kemampuan kognitif sosial sebagaimana diungkapkan oleh Bandura (1986, hlm. 24) pada teori kognitif sosial bahwa “belajar sebagai proses mental internal yang mungkin secara tidak langsung tercermin dalam perubahan perilaku”. Perilaku mandiri sangat penting untuk proses pembelajaran dan dua konsep terkait dalam kemampuan kognitif sosial yang menjadi orientasi Bandura (1986) adalah self-regulated dan self-efficacy.

Self-regulated perilaku adalah proses yang menggunakan pikiran dan tindakan orang itu sendiri untuk mencapai tujuan. Tanpa pengaturan diri, orang tidak akan mempertahankan perilaku sampai bisa diperkuat. Selanjutnya Bandura (1986) mengungkapkan self-regulated terbagi atas beberapa bagian yaitu penentuan tujuan, observasi diri, penilaian diri, dan penguatan diri. Selanjutnya self-efficacy adalah keyakinan bahwa seseorang dapat melaksanakan perilaku untuk menghasilkan hasil. Self-efficacy mempengaruhi perilaku dalam tiga cara: pilihan perilaku, kualitas kinerja individu dan ketekunan.

Mengacu pada tujuan pembelajaran PPKn dan tujuan PPKn hasil survey international civic and citizenship education study (ICCS) pada lima negara di Asia (Chinese Taipei, Hong Kong SAR, Indonesia, Republic of Korea, Thailand) dan dilaporkan oleh Fraillon dkk. (2012, hlm. 26) bahwa.

“…Civic and citizenship education in Indonesia is intended to develop


(11)

improve their sense of citizenship under the Indonesian constitution. The name of the curricular subject (kewarganegaraan) relates to the rights and obligations of citizens. According to Indonesia’s national education act, the aim of this curricular area is to prepare students to become world citizens who adhere to democratic values and responsibilities”.

Pendapat tersebut menggambarkan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia dimaksudkan untuk mengembangkan kesadaran peserta didik dan pengetahuan tentang hak dan kewajiban peserta didik sebagai warga Negara, serta meningkatkan rasa kewarganegaraan dalam konstitusi Indonesia. Nama mata pelajaran (pendidikan kewarganegaraan) berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tujuan kurikuler mata pelajaran ini adalah untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga dunia yang mematuhi nilai-nilai dan tanggung jawab demokratis.

Kondisi ideal dan kenyataan tentang perkembangan pendidikan kewarganegaraan yang diungkapkan oleh ICCS tersebut di atas, bertolak belakang dengan hasil tes yang dilakukan untuk beberapa Negara Asia termasuk Indonesia tentang kemampuan peserta didik secara umum tentang pengetahuan kewarganegaraan dalam setiap studi tentang keyakinan nilai dan sikap peserta didik berkaitan dengan kewarganegaraan. Survei internasional ICCS termasuk tes pengetahuan kewarganegaraan yang terdiri dari 80 item, yang 79 digunakan untuk membentuk skala dalam analisis. Tujuh puluh tiga item untuk pilihan ganda, empat pilihan jawaban yang benar-salah dan tiga pengecoh lainnya. Sisa enam item untuk tanggapan terbuka, dengan peserta didik diminta untuk menulis tanggapan singkat untuk setiap pertanyaan. Tes disajikan secara seimbang diputar desain kluster, yang berarti bahwa salah satu peserta didik menyelesaikan sekitar 35 item tes. Tes Pengetahuan kewarganegaraan oleh ICCS meliputi berbagai aspek pengetahuan kewarganegaraan, yang dipetakan ke empat domain konten (civic society and systems, civic principles, civic participation, civic identities) dan dua domain kognitif (knowing as well as reasoning and analyzing), sebagaimana didefinisikan dalam penilaian kerangka ICCS (Schulz, dkk. 2008). Hasilnya menggambarkan peserta


(12)

didik Indonesia dan Thailand memiliki ujian rata-rata setengah standar deviasi internasional atau lebih di bawah standar internasional dan daerah rata-rata ICCS.

Hasil survei internasional ICCS tersebut menggambarkan lemahnya keyakinan dan sikap peserta didik tentang nilai-nilai kewarganegaraan. Kondisi serupa juga tergambar dengan hasil studi pendahuluan yang memperlihatkan lemahnya kemampuan kognitif sosial peserta didik, dimana hasil tes kemampuan kognitif sosial peserta didik dalam pembelajaran PPKn yang dinilai dengan menggunakan angket penilaian diri (self-efficacy dan self-regulated) yang terdiri dari sembilan aspek dengan 135 pernyataan kepada peserta didik kelas lima pada tiga sekolah yang memiliki karakteristik berbeda dari segi lokasi, latar belakang agama peserta didik ( SD Kristen I Waimahu, SD negeri 10 Ambon, dan SD Alfatah 2 Ambon) peserta didik terhadap kemampuannya. Dari 100% peserta didik memiliki keyakinan rata-rata dibawah 60% terhadap kemampuan kognitif sosialnya dalam pembelajaran PPKn. Dari hasil tersebut, maka kemampuan yang perlu ditingkatkan dan dikembangkan adalah kemampuan kognitif sosial bagi pengembangan diri peserta didik, untuk menghasilkan peserta didik sebagai warga negara sebagaimana diungkapkan oleh (Maftuh dan Sapriya, 2005, hlm. 30).” menghasilkan warga negara yang baik (to be good citizens), warga negara yang memiliki kecerdasan (civics inteliegence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (civics responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat”.

Selanjutnya Miller (2010, hlm. 1) mengungkapkan bahwa “Kemampuan kognisi sosial sebagai jantung dari kemampuan anak untuk bergaul dengan orang lain dan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang mereka.” (dasar kemampuan ini penting terletak pada pengembangan "theory of mind" mengacu pada pemahaman kita tentan`g manusia sebagai makhluk mental, masing-masing dengan keadaan mentalnya sendiri, seperti pikiran, keinginan, motif dan perasaan.


(13)

Pendapat Miller tersebut di atas, menunjukan bahwa kemampuan kognitif sosial sangat penting ditingkatkan pada pendidikan anak usia sekolah dasar, hal ini terkait dengan perkembangan anak usia sekolah dasar yang berada pada tahap operasional concrete (7-12 tahun) sebagaimana pendapat Piaget (dalam Parke & Gauvain, 2009, hlm. 278) bahwa „pada masa ini anak masih memiliki kemampuan yang terbatas pada benda fisik dan yang ada disekitar kehidupan anak‟.

Selanjutnya untuk meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik pada tahapan perkembangan anak tersebut, dalam pembelajaran PPKn di sekolah dasar, maka dibutuhkan suatu kreatifitas guru selaku penanggung jawab dalam proses pembelajaran dalam menentukan model atau pendekatan pembelajaran yang tepat yang perlu dikembangkan sehingga melalui proses yang berlangsung dalam pembelajaran PPKn pada peserta didik kelas lima (sesuai dengan subjek penelitian) dapat mencapai tujuan pembelajaran PPKn dan kemampuan kognitif sosial dapat ditingkatkan.

Dari hasil pengamatan pada studi pendahuluan, pembelajaran PPKn selama ini lebih banyak berlangsung dengan pendekatan konvensional, pembelajaran berlangsung monoton, dan guru menjadi satu-satunya sumber informasi. Selain itu, dalam pembelajaran materi PPKn sebenarnya banyak yang bisa diajarkan sesuai realitas kehidupan peserta didik. Namun, dalam prakteknya kebiasaan guru mengajar dengan ceramah, akhirnya, semua materi disajikan dalam bentuk ceramah dan tanya jawab. Akibatnya apa yang didapat peserta didik sekedar apa yang disampaikan oleh gurunya. (Hasil Penelitian pra survei, Agustus 2012).

Menyadari fenomena ini merupakan suatu kondisi yang akan menimbulkan efek yang berkesinambungan dalam kehidupan peserta didik , kurang pengetahuan guru dalam kemampuan pedagogik, melihat selama ini pembelajaran yang berlangsung lebih berorientasi pada aspek kognitif, dan kurang menyentuh aspek sosial peserta didik, maka, pentingya kemampuan penguasaan terhadap model pembelajaran yang dapat membawa dampak yang signifikan terhadap peningkatan


(14)

kemampuan kognitif sosial peserta didik dalam pembelajaran PPKn, yang berpengaruh pada hasil belajar dan prestasi belajar peserta didik di sekolah dasar.

Dalam kondisi demikian, maka model pembelajaran yang perlu dikembangkan adalah suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif sosial (social cognitive skills) peserta didik. Model Pembelajaran yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan tersebut yaitu model pembelajaran classroom community partnership (CCP). Model Pembelajaran CCP merupakan hasil kolaborasi antara beberapa model pembelajaran yaitu (1) Model Pembelajaran“school, family and community partnerships “dikembangkan oleh Epstein (1996) dimana inti dari model ini yaitu bagaimana sekolah, keluarga membagun hubungan kerjasama dalam meningkatkan kemampuan anak (2) model pembelajaran the developing intellect; cognitive development, learning styles, and adjustable model yang dikemukakan Barry Wadsworth dengan menggunakan ide Piaget tentang belajar dan mengajar dalam Joyce dkk. (2000 hlm. 267), inti dari model pembelajaran ini adalah bagaimana kemampuan peserta didik dapat ditingkatkan melalui kreasi lingkungan oleh guru. (3) social system model yang dikembangkan oleh Getzels dan Thelen dalam Arends (2008, hlm. 142). Inti dari model ini yaitu bagaimana mendesain kelas sebgai lingkungan belajar sebagai suatu lingkungan sosial dalam skala mikro, sehingga peserta didik dapat merasakan berada dalam suatu masyarakat kecil dengan nilai dan norma yang berlaku, dan (4) model learning community in classroom oleh Watskin (2004, hlm. 5) inti dari model ini yaitu bagaimana menjadikan kelas sebagai komunitas belajar.

Untuk meningkatkan kemampuan kognitif sosial (social cognitive skills) peserta didik, maka perpaduan antara keempat model pembelajaran tersebut di atas dengan memanfaatkan setiap kelebihan dari model dan mengurangi kelemahan dengan saling melengkapi antara satu model dengan model yang lain, dan arah pengembangannya harus disesuaikan dengan tingkatan perkembangan anak pada usia


(15)

sekolah dasar kelas lima sebagai subjek dalam penelitian, serta tuntutan dalam kajian pembelajaran pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (PPKn).

Model Pembelajarn classroom community partnership (CCP), sebagai perpaduan antara keempat model pembelajaran, memiliki kajian pokok yaitu peranan guru dan keterlibatan orang tua dalam pengembangan kemampuan anak di sekolah terlebih khusus dalam pembelajaran PPKn di kelas lima, kerja sama antara peserta didik sebagai suatu nilai positif yang penting dikembangkan dalam proses pendidikan dan pembelajaran, kreasi lingkungan belajar oleh guru yang memungkinkan anak dapat mengembangkan kemampuannya, serta desain kelas sebagai komunitas belajar (learning community).

Peneliti mencoba mendesain model pembelajaran CCP sebagai suatu model yang dapat menjawab kebutuhan peserta didik di tingkat sekolah dasar dan tuntutan dalam pembelajaran PPKn yang secara konseptual berorientasi pada hak dan kewajiban warga negara dalam koridor aturan hukum positif yang berlaku, dengan memanfaatkan keterlibatan orang tua dan peranan guru dalam melakukan kreasi lingkungan belajar sebagai komunitas belajar (learning community) sebagai sampel sistem sosial dalam skala mikro. Keterlibatan orang tua dalam model CCP merupakan salah satu cara untuk mempersiapkan warga belajar yang sadar dan taat hukum melalui proses permodelan yang berlangsung dalam lingkungan kelas sebagai masyarakat belajar.

Keterlibatan orang tua dalam model tersebut sebagai kajian aspek sosial, hal ini didukung dengan kebijakan pemerintah yang termuat dalam pasal 7 ayat ( 2) yang menyatakan orang tua dari anak usia wajib belajar, berhak memberikan pendidikan dasar kepada anaknya, dan pasal 8 UU No 20 Tahun 2003 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa masyarakat berhak berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Berdasarkan kebijakan ini, maka guru dapat melibatkan orang tua atau masyarakat


(16)

dalam proses pembelajaran, guna mencapai tujuan dari materi pelajaran, khususnya materi pembelajaran di sekolah dasar.

Dengan demikian proses pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung di sekolah haruslah dirancang dengan berbagai pertimbangan, dan lingkungan belajar yang mampu mengembangkan interaksi sosial antar peserta didik merupakan salah satu aspek yang patut dipertimbangkan. Sebagaimana diungkapkan oleh Vigotsky dalam Van der Veer (2007, hlm. 17) “social environment in which the child finds itself and the relationship of the child to other people”. Pendapat Vigotsky ini didukung oleh pendapat Saylor dkk. (1981, hlm. 129) dengan pernyataan sebagai berikut.

Individuals learn by observing people in their social context. In addition to the school, the social context includes the family, peer groups, community group(such as religious organizations and youth groups), and mass communication. The education effectiveness of any one of these agencies or groups will depend on such factors as communication between agencues and the degree of congruence of their values, goals, and methods of education. Professional educators have a special responsibility for building bridges with other elements in the student’ social context.

Pernyataan ini memiliki arti bahwa setiap individu dapat belajar dengan mengamati orang lain dalam kehidupan sosial mereka. Selain sekolah sosial, keluarga, teman sebaya, kelompok masyarakat, dan komunikasi massa juga merupakan konteks sosial yang dapat dijadikan sebagai lingkungan bagi anak untuk belajar. Sebab pendidikan yang efektif akan sangat tergantung pada tujuan dan metode pendidikan serta komunikasi antar lembaga dan penyesuain dengan nilai-nilai yang dianut. Dengan demikian guru sebagai pendidik profesional memiliki tanggung jawab khusus untuk membangun jembatan dengan berbagai unsur dalam konteks kehidupan sosial peserta didik.

Berdasarkan pendapat Vigotsky dan Saylor dkk, maka salah satu cara yang dapat dilakukan oleh guru yakni mengembangkan suatu model pembelajaran yang secara langsung mengubah kelas yang memungkinkan peserta didik dapat terlibat


(17)

secara aktif dalam pengenalan diri dan lingkungan, dimana guru sebagai fasilitator merancang suasana kelas selayaknya suatu komunitas masyarakat yang hidup dengan aturan dan norma kehidupan. Sesuai dengan teori sosial Bandura dan Vigotsky dalam Hill (2011, hlm. 196) mengungkapkan‟ perilaku seseorang dapat dibentuk melalui pengamatan,‟. Pendapat ini dapat diwujudkan degan kondisi kelas yang dibangun dengan kemitraan antara guru dan orang tua peserta didik sebagai salah satu sumber berlajar, sehingga peserta didik secara utuh dapat mengembangkan kemampuan kognitif sosial, dengan mengenal diri dan lingkungan dalam proses pendidikan dan pembelajaran yang terjadi khususnya dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian tersebut, maka penulis tertarik meneliti masalah yang terfokus pada peningkatan kemampuan kognitif sosial (social cognitive skills) dalam pembelajaran PPKn di sekolah dasar dengan mengembangkan model pembelajaran. Berdasarkan fokus tersebut maka judul disertasi ini adalah: pengembangan model pembelajaran CCP untuk peningkatan kemampuan kognitif sosial (social cognitive skills) peserta didik dalam pembelajaran PPKn di sekolah dasar”.

B.Identifikasi dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Hasil survei internasional ICCS pada latar belakang masalah menggambarkan lemahnya keyakinan dan sikap peserta didik tentang nilai-nilai kewarganegaraan ICCS (2008). Selain isu internasional tersebut, hasil survey (Agustus, 2012) mengungkapkan sejumlah masalah pokok yang terkait dengan pembelajaran di lapangan yaitu

a) Pembelajaran PPKn selama ini lebih banyak berlangsung dengan pendekatan konvensional, pembelajaran berlangsung monoton, dan guru menjadi satu-satunya sumber informasi.


(18)

b) Metode atau strategi yang digunakan masih berorientasi pada peningkatan kemampuan kognitif sosial peserta didik

c) Terkait dengan sumber belajar, selama ini orang tua masih berpikir pengetahuan hanya dapat diperoleh di sekolah melalui guru, sedangkan orang tua dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar, dan di dalam pembelajaran materi PPKn sebenarnya banyak yang bisa diajarkan sesuai realitas kehidupan peserta didik dengan memanfaatkan orang tua sebagai salah satu sumber belajar.

d) Desain kelas tidak membangun kehidupan demokrasi peserta didik, sedangkan hakikat pembelajaran PPKn yaitu untuk menghasilkan warga negara yang baik (to be good citizens), warga negara yang memiliki kecerdasan (civics inteliegence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (civics responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

Untuk mengatasi permasalahan yang terjadi tersebut didalam pembelajaran PPKn, serta mewujudkan kondisi ideal tersebut, maka dibutuhkan peserta didik dengan kemampuan kognitif sosial yang baik, sebab kemampuan ini sebagai jantung dari kemampuan anak untuk bergaul dengan orang lain dan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang mereka. Kemampuan anak ini dapat terakomodir dengan model pembelajaran yang tepat. Demikian untuk menjawab tuntutan tersebut, maka diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik dengan memberdayakan segala sumber belajar. Rancangan model pembelajaran yang dimaksudkan yaitu model pembelajaran classroom community partnership (CCP).

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian dan hasil indentifikasi masalah tersebut di atas, maka masalah pokok yang akan diteliti adalah: Model pembelajaran


(19)

bagaimana yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik di sekolah dasar ?

Selanjutnya dari masalah pokok tersebut, masalah khusus yang dapat diteliti yaitu:

1. Bagaimana kondisi pembelajaran PPKn saat ini di sekolah dasar ?

2. Bagaimana model pembelajaran CCP yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik dalam pembelajaran PPKn di sekolah dasar ? Dengan pertanyaan khusus sebagai berikut:

a) Desain model pembelajaran CCP bagaimana yang dapat meningkatkan self-efficacy dan self-regulated peserta didik sekolah dasar?

b) Bagaimana implementasi desain model pembelajaran yang dikembangkan untuk dapat meningkatkan kemampuan kognitif sosial dalam pembelajaran PPKn di sekolah dasar?

c) Bagaimana dampak penerapan model yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik dalam pembelajaran PPKn di sekolah dasar?

d) Apa dampak penerapan model bagi kinerja guru? e) Apa dampak penerapan model bagi peran orang tua? C.Definisi Operasional

Definisi operasional pada penelitian adalah unsur penelitian yang terkait dengan variabel yang terdapat dalam judul penelitian atau yang tercakup dalam paradigma penelitian sesuai dengan hasil perumusan masalah. Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu yang bersangkutan memang bias mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab (Supranto, 2003, hlm. 322). Definisi operasional adalah unsur penelitian memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel (Singarimbun, 1995, hlm. 25).

Untuk memperjelas variabel dengan indikator yang terukur, maka secara operasional teoritis didefenisikan aspek tersebut sebagai berikut:


(20)

a. Model Pembelajaran classroom community partnership (CCP) adalah Model pembelajaran yang melihat kelas sebagai suatu komunitas belajar, sebagai bagian dari sistem sosial dimana kemampuan kognitif sosial peserta didik dapat berkembang dalam interaksi sosial yang berlangsung . Adapun definisi dari sub-variabel tersebut adalah sebagai berikut :

a) Desain kelas sebagai komunitas belajar (learning community) merupakan suatu kegiatan yang mempengaruhi keterlibatan dan prestasi peserta didik , dan menentukan bagaimana kelas seorang guru akan berubah dari sekedar kelompok individu menjadi sebuah kelompok kohesif yang ditandai dengan ekspetasi yang tinggi, hubungan yang penuh perhatian, dan pengalihan informasi yang produktif. (Arends, 2008, hlm. 139).

b) Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. (Undang-undang No. 14 tahun 2005)

c) Keterlibatan orang tua (parental involvement) menurut the north west regional, educational laboratory (NREL,1999) adalah partisipasi aktif orang tua atau wali anak yang berkelanjutan dalam pendidikan anak.

b. Kemampuan kognitif sosial (social cognitive skills) adalah domain antar pribadi termasuk pengetahuan individu, persepsi, sikap, dan perilaku dalam kaitannya dengan situasi sosial. (Ronto, 2008, hlm. 13). Adapun defenisi dari sub-variabel sebagai berikut :

a) Self-efficacy didefinisikan sebagai keyakinan orang tentang kemampuan mereka untuk menghasilkan tingkat kinerja mempengaruhi kehidupan. Keyakinan self-efficacy menentukan bagaimana orang merasa, berpikir, memotivasi diri dan berperilaku. Keyakinan tersebut menghasilkan efek yang beragam melalui empat proses utama yaitu performance outcomes, vicarious experiences, verbal persuasion dan physiological feedback. Untuk mengukur


(21)

pencapaian dari aspek ini maka digunakan skala likert dan skala gutman untuk mengukur keyakinan peserta didik terhadap kemampuan dirinya.

b) Self-regulated adalah proses yang menggunakan pikiran dan tindakan orang sendiri untuk mencapai tujuan. Dengan self-regulated dapat mengidentifikasi tujuan dan mengadopsi dan mempertahankan strategi mereka sendiri untuk mencapai tujuan. Tanpa pengaturan diri, orang tidak akan mempertahankan perilaku sampai bisa diperkuat. Self-regulated sangat penting untuk memahami kemampuan kognif dan sosial, karena banyak perilaku manusia terjadi tanpa penguatan langsung. Untuk mengukur pencapaian dari aspek ini maka digunakan skala likert untuk mengukur keyakinan peserta didik terhadap kemampuan dirinya.

c) Prestasi akademik adalah hasil belajar terakhir yang dicapai oleh peserta didik dalam jangka waktu tertentu, yang mana di sekolah prestasi akademik peserta didik biasanya dinyatakan dalam bentuk angka atau symbol tertentu. Kemudian dengan angka atau simbol tersebut, orang lain atau peserta didik sendiri akan dapat mengetahui sejauh mana prestasi akademik yang telah dicapai. (Suryabrata, 2006, hlm. 297).

D.Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan model pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan kognitif sosial (social cognitive skills) peserta didik sekolah dasar.

2. Tujuan Khusus

Secara khusus tujuan penelitian ini adalah

a. Untuk mengetahui bagaimana kondisi pembelajaran PPKn saat ini.

b. Untuk mengetahui desain model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik dalam pembelajaran PPKn di sekolah dasar. Secara khusus dapat mengetahui:


(22)

1) Mengetahui desain model yang dapat meningkatkan self-efficacy peserta didik sekolah dasar.

2) Mengetahui desain model pembelajaran yang dapat meningkatkan self-regulated peserta didik sekolah dasar.

c. Mengetahui bagaimana implementasi desain model pembelajaran yang dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik . Dan secara khusus untuk mengatahui:

1) Stategi implementasi yang digunakan. 2) Peranan guru dalam implementasi model. 3) Peranan orang tua dalam implementasi model.

4) Sarana pendukung yang digunakan dalam implementasi model. 5) Teknik assesmen yang digunakan dalam implementasi model.

d. Mengetahui bagaimana dampak penerapan model yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik .

e. Mengetahui dampak penerapan model bagi kinerja guru. f. Mengetahui dampak penerapan model bagi peran orang tua. E.Manfaat/Signifikansi Penelitian

a. Manfaat dari segi teori model dan peranan teori

Berdasarkan hasil analisis dari kajian pengembangan teori dan prinsip pada model pembelajaran CCP, dan kemampuan kognitif sosial peserta didik di sekolah dasar, maka penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembagan peserta didik, hal ini disebabkan pada studi penelitian terdahulu dan kajian teoritis, kemampuan kognitif sosial banyak dikaji atau dikembangkan dalam pengembangan ilmu psikologi, sains dan kajian sosial kebudayaan (kajian gender). Dengan demikian kajian kemampuan kognitif sosial menggunakan model pembelajaran CCP dengan karakteristik yang berbeda dari model pembelajaran formal yang pada umumnya diterapkan di sekolah-sekolah dasar di Indonesia, yakni adanya keterlibatan orang tua dalam


(23)

proses pembelajaran yang berlangsung di kelas, merupakan suatu bentuk produk inovatif yang berkontribusi sangat berarti dalam pengembangan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan secara komprehenshif.

b. Manfaat dari segi kebijakan

Kebijakan dalam pengembangan peserta didik dalam proses pembelajaran PPKn memiliki kecendurungan mengkotak-kotakan kemampuan peserta didik sangat berdampak buruk pada perkembangan peserta didik hal ini ditandai dengan rendahnya kemampuan peserta didik untuk; berpikir, mengeksplorasi diri, bersosialisai dengan lingkungan, merosotnya moral peserta didik, dampak tersebut juga ditimbulkan dengan adanya kontrol orang tua terhadap perkembangan anak yang berkurang, kepercayaan peserta didik kepada guru tidak diimbangi dengan peranan guru yang profesional menyebabkan ketidak seimbangan dalam proses pendidikan formal dan informal. Pengembangan kemampuan kognitif sosial sebagai integrasi dari kemampuan kognitif dan sosial merupakan suatu manifestasi ideal dalam pendidikan peserta didik khususnya dalam pembelajaran PPKn yang berorientasi pada aspek hak dan kewajiban berdasarkan hukum positif. Dengan membangun relasi yang positif antara orang tua dan guru dalam pembelajaran PPKn merupakan suatu cara yang berarti dan bermakna dalam pengembangn peserta didik menjadi pribadi dan warga negara yang pancasilais.

c. Manfaat dari segi praktik

Pengembangan model pembelajaran ini, selain memberikan manfaat teoritik juga memiliki manfaat praktis, yaitu:

a) Bagi pihak pengambil keputusan, hasil penelitian ini berupa produk pembelajaran pada bidang studi PPKn yang dapat mengikatkan Kemampuan kognitif sosial peserta didik dan dapat diterapkan pada sekolah dasar.


(24)

b) Bagi guru, dengan pemanfaatan model ini, dapat memperbaiki kondisi pembelajaran yang komunikatif dengan orang tua peserta didik .

c) Bagi peserta didik, diterapkan model pembelajaran ini diharapkan dapat memahami materi PPKn secara teoritis maupun praktis serta dapat peningkatan kemampuan kognitif sosial.

d) Bagi orang tua, dengan pengembangan model ini dapat meningkatkan fungsi kontrol orang tua tentang perkembangan anak di sekolah dasar, serta dapat membangun komunikasi antara orang tua dan guru.

d. Manfaat dari segi isu dan aksi sosial.

Dalam penelitian peningkatan kemampuan kognitif sosial di sekolah dasar dengan pengembangan model CCP dalam pembelajaran PPKn, dapat memberikan pengalaman baru bagi guru dan orang tua, dimana aspek demokratisasi nampak di kelas PPKn, sebab secara langsung profesionalisme guru diuji dengan keterlibatan orang tua dalam proses pembelajaran. Pengalaman ini merupakan suatu yang baru, namun dapat berdampak besar kepada peserta didik terkait dengan self-efficacy dan self-regulated dalam proses pendidikan yang terjadi secara formal dan informal. Dengan demikian kerjasama yang baik antara kedua belah pihak sangat diperlukan dalam pengembanga nilai-nilai kewarganegaraan.

F. Struktur Organisasi Disertasi

Untuk memahami alur pikir dalam penulisan disertasi ini, maka perlu adanya struktur organisasi yang berfungsi sebagai pedoman penyusunan laporan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

Bab I berisi Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi disertasi. Latar belakang penelitian dimaksudkan untuk menjelaskan alasan peneliti melaksanakan penelitian, pentingnya masalah itu untuk diteliti, dan Model untuk mengatasi masalah. Identifikasi dan perumusan masalah


(25)

menjelaskan tentang analisis dan rumusan masalah dinyatakan dalam bentuk kalimat tanya. Tujuan penelitian menyajikan tentang hasil yang ingin dicapai setelah penelitian selesai dilakukan, tujuan penelitian dirumuskan dalam bentuk kalimat kerja operasional. Manfaat penelitian diharapkan dapat memberikan kegunaan baik bagi peserta didik, guru, peneliti sendiri dan bagi peneliti lain. Definisi operasional menyajikan penjelasan mengenai istilah-istilah yang ada dalam penelitian ini.

Bab II berisi kajian pustaka. Kajian pustaka berfungsi sebagai landasan teoritik dalam menyusun rumusan masalah dan tujuan.

Bab III berisi penjelasan yang rinci mengenai metode penelitian. Komponen dari metode penelitian terdiri dari lokasi dan subjek penelitian, justifikasi penggunaan metode penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, serta analisis data penelitian.

Bab IV berisi hasil penelitian dari analisis data untuk menghasilkan temuan berkaitan tentang masalah penelitian, serta pembahasan yang dikaitkan dengan kajian pustaka.

Bab V berisi tentang kesimpulan dan saran yang menyajikan tentang penafsiran dan pemaknaan peneliti terhadap hasil analisis temuan penelitian. Penulisan kesimpulan untuk disertasi berupa butir demi butir hasil penelitian. Saran dapat ditujukan kepada para praktisi pendidikan, ataupun kepada peneliti berikutnya.

Daftar Pustaka memuat semua sumber yang pernah dikutip dan digunakan dalam penulisan disertasi. Lampiran berisi semua dokumen yang digunakan dalam penelitian.


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Classroom Community Partnership (CCP) merupakan desain model pembelajaran hasil perpaduan dari beberapa model, yang diasumsikan oleh peneliti dapat dimanfatkan secara luas, sehingga pemanfaatan metode penelitian yang tepat sangatlah berpengaruh terhadap pembuktian dari asumsi yang dikemukakan bahwa model pembelajaran CCP dapat digunakan tidak hanya dalam konteks terbatas namun dalam konteks dan populasi yang lebih luas. Oleh karena itu metode penelitian yang sesuai dan dapat digunakan dalam penelitian dan pengembangan (Research and Development) oleh Borg & Gall (1983, hlm.624), dengan asumsinya “a process used to develop and validate educational products” dan oleh Borg and Gall (2003, hlm. 569) memberikan defenisi Research and development yang berhubungan dengan pendidikan adalah model pengembangan berbasis industri dimana temuan penelitian digunakan untuk mendesain produk atau prosedur baru yang kemudian secara sistematis diuji lapangan, dievaluasi dan disempurnakan sehingga memenuhi kriteria keefektifan, kualitas, atau standar serupa.

Dari defenisi yang dikemukakan oleh Gall & Borg tersebut dapat diambil pengertian bahwa penelitian dan pengembangan ini merupakan langkah secara bersiklus, tiap langkah yang akan dilalui harus mengacu kepada hasil langkah sebelumnya dan akhirnya menghasilkan suatu produk pendidikan (Model Pembelajaran CCP) .

Model pembelajaran CCP yang coba dikembangan oleh peneliti disini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kognitif sosial (Social cognitive) sekolah dasar dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn). Dengan demikian asumsi tersebut menjadi patokan dalam pengembangan suatu


(27)

produk pembelajaran yaitu model pembelajaran Classroom Community Partnership (CCP). Langkah-langkah penelitian dan pengembangan produk ini mengarah pada siklus, yang berdasarkan siklus dan temuan penelitian kemudian dikembangkan suatu produk yang didasarkan pada temuan kajian pendahuluan, diuji, dalam suatu situasi dan dilakukan revisi terhadap hasil uji coba sampai pada akhir diperoleh suatu model yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan social cognitive skills peserta didik. B.Prosedur Penelitian

Untuk memperoleh gambaran yang tepat tentang manfaat model pembelajaran CCP, dan untuk memperoleh model CCP yang efektif serta dapat digunakan dalam skala terbatas maupun luas, maka digunakan langkah-langkah penelitian menurut Borg&Gall (1979, hlm. 626), yang terdiri dari sepuluh langkah pelaksanaan strategi penelitian dan pengembangan sebagai suatu solusi mengetahui keberhasilan model yang digunakan yaitu prosedur penelitian ini merujuk pada Borg & Gall (2003, hlm. 570-571) yaitu:1) Melakukan studi pendahuluan (research and information collecting), 2) Membuat Perencanaan ( planning), 3) Mengembangkan produk awal (develop preleminary form of product) 4) Melakukan uji lapangan awal ( preliminary field testin 5) Merevisi produk utama (main product revision), 6) Melakukan uji lapangan utama (Main field testing), 7) Merevisi produk operasional (operational product revision), 8) Melakukan Uji Operasional (operasional field testing), 9) Merevisi produk akhir (Final product revision), 10) Implementasi dan Penyebarluasan (dessemination and implementation).

Tahapan penelitian dan pengembangan model pembelajaran dengan menggunakan metode Borg and Gall (1983, hlm. 624) sebagai berikut:

1. Penelitian dan pengumpulan informasi awal (Research and information collecting); Dalam tahap ini dilakukan identifikasi perkiraan kebutuhan, mempelajari literatur berupa kajian-kajian terdahulu dan meneliti dalam skala kecil untuk mengetahui permasalah terkait. Penerapan dari langkah penelitian ini telah dilakukan oleh paa peneliti sebagai berikut:


(28)

Kamarga (2000) dalam penelitian tentang pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan kualitas kurikulum sejarah di sekolah dasar. Pada tahap ini Kamarga melakukan penelitian terhadap proses pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru di kelas untuk merefleksi terhadap bagaimana proses pembelajaran sejarah yang biasa dilakukan. Aspek-aspek yang diteliti pada tahap prasurvey adalah desain dan penerapan pembelajaran yang dilakukan oleh guru, kemampuan dan aktivitas belajar peserta didik,kemampuan dan kinerja guru, kondisi dan pemanfaatan saran, fasilitas dan lingkungan.hasil studi awal ini digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan model (Advance Organizer) dalam implementasi kurikulum sejarah di sekolah dasar. Hasil penelitian pra survey menunjukan: (1) guru kurang memberikan perhatian terhadap pengembangan rencana pengajaran.(2) Proses KBM dilakukan seadanya sedangkan harapan murid adalah perbaikan proses KBM. (3) Guru amat jarang memperhatikan penggunaan media sedangkan murid mengharapkan digunakan media selama proses KBM berlangsung.

Sekarningsih (2013) dalam penelitiannya pengembangan model pembelajaran nilai-nilai sosial pada kegiatan ekstrakurikuler tari untuk membangun kesatuan sosial (studi pada kegiatan kstrakurikuler tari di SMP Kota Bandung). Pada langkah Penelitian dan pengumpulan informasi awal diungkapkan bahwa studi literatur dilakukan untuk pengenalan sementara terhadap produk yang akan dikembangkan. Studi literatur ini dimaksudkan untuk mengumpulkan temuan riset dan informasi lain yang bersangkutan dengan kebutuhan pengembangan produk yang direncanakan yaitu model pembelajaran nilai-nilai sosial untuk menumbuhkan kesantunan peserta didik melalui media tari. Studi literatur juga diperlukan untuk mengetahui langkah-langkah yang paling tepat dalam pengembangan produk tersebut.

Hikmat (2013) dalam penelitiannya pengembangan model pembelajaran PAI multikultur untuk menanamkan sikap kerjasama toleransi dan saling


(29)

menghormati (penelitian pada Sekolah Dasar di Kawasan Pantura Kabupaten Karawang). Studi pendahuluan diarahkan untuk mengkaji terhadap beberapa literatur dan studi lapangan. Studi literatur dimaksudkan adalah untuk memahami terhadap hal-hal yang berhubungan dengan teori tentang kurikulum yang sedang dikembangkan. Studi lapangan merupakan kegiatan penelitian pra-survey yang bersifat deskriptif.

Dari ketiga penelitian tersebut di atas, menggambarkan langkah pertama penelitian Reasearch and development “Research and information collecting” peneliti melakukan hal yang sama yaitu melakukan studi pendahuluan untuk mengkaji literature-literatur berupa kajian teoritis, maupun hasil penelitian sebelumnya, dan observasi lapangan untuk memperoleh informasi dan data pendukung yang terkait dengan hasil penelitian.

Langkah tersebut juga dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh informasi terkait dengan fokus penelitian yaitu model pembelajaran yang tepat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik, dan kemampuan kognitif sosial dalam pembelajaran PPKn pada peserta didik kelas lima di sekolah dasar di Kota Ambon.

2. Perencanaan (planning); Setelah mempelajar literatur selengkapnya dan memperoleh informasi yang diperlukan dari hasil penelitian skala kecil, langkah selanjutnya adalah merencanakan pembuatan produk. Penerapan dari langkah penelitian ini telah dilakukan oleh para peneliti sebagai berikut:

Kamarga (2000) dalam langkah penelitian ini, kemarga mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil penelitian prasurvey pada langkah Research and information collecting , kemudian dibuat produk pembelajaran berupa model pembelajaran advance organizer yang disesuaikan dengan kondisi yang ada.adapun hasil dari perencanaan model berisi uraian tentang (1) model advance organizer yang dikembangkan, (2) Langkah-langkah pengembangan model,(3) bentuk akhir dari model pembelajaran advance organizer. Sekarningsih (2013) mengungkapkan


(30)

dalam langkah perencanaan diperoleh draft desain model mengenai pembelajaran kesantunan yang akan dikembangkan, dalam hal ini pemahaman dan kecenderungan perilaku yang siap diujicobakan. Rancangan model ini meliputi tujuan, materi pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran, teknik evaluasi serta pola interaksi antara guru/pelatih dengan peserta ekstrakurikuler tari sebagai peserta didik.

Hikmat (2013), dalam penggunaan metode penelitian research and development kemudian menggunakan langkah-langkah sederhana yang dikemukakan oleh Sukmadinata (2008) menjadi tiga bagian yaitu 1) studi pendahuluan, 2) pengembangan model, dan 3) uji model. Sehingga pada langkah perencanaan tidak secara rinci dikemukakan oleh Hikmat, tetapi Hikmat menggambungkan langkah perencanaan dalam langkah pengembangan model, dimana hasil studi pendahuluan dapat dijadikan sebagai masukan yang berarti dalam perencanaan drap model yang dikembangkan.

Langkah perencanaan dalam metode penelitian ini merupakan kegiatan yang dilakukan berdasarkan hasil penelitian dan studi literature yang dilakukan oleh para peneliti. Demikian juga dengan perencaan yang peneliti buat merupakan hasil prasurvei dan studi terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya, dan kajian-kajian teoritis yang terkait dengan fokus masalah penelitian yaitu, pengembangan produk pembelajaran (model pembelajaran CCP) dalam meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik dalam pembelajaran PPKn di sekolah dasar.

3. Pengembangan produk awal (develop preliminary form of product) Setelah inisiasi dalam perencanaan v lk-lengkap, langkah utama dalam tahapan penelitian dan pengembangan adalah membuat bentuk awal produk pembelajaran. Penerapan dari langkah penelitian ini telah dilakukan oleh paa peneliti sebagai berikut:


(31)

berupa model pembelajaran advance organizers dalam implementasi kurikulum sejarah di sekolah dasar disesuaikan dengan lingkungan sekolah sebagaimana tergambar dengan hasil prasurvey. Model pembelajaran Advance Organizers yang dikembangkan disesuaikan dengan tuntutan kurikulum sejarah untuk kelas 4 di sekolah dasar. Dari hasil pra survey teridentifikasikan bahwa pelajaran sejarah merupakan mata pelajaran yang kurang disukai oleh murid sebab dianggap sukar untuk dimengerti.

Sekarningsih dan Hikmat pada langkah ini tidak secara terperinci mengungkapkan kesepuluh langkah yang dikembangkan oleh Borg&Gall, kedua peneliti merumuskannya dalam langkah pengembangan model.

Demkian juga peneliti sesuai dengan langkah penelitian dan pengembangan sebelumnya, pengumpulan informasi awal atau studi pendahuluan dan melakukakan perencanaan, peneliti kemudian mengembangan produk pembelajaran yaitu model pembelajaran Classroom Community Patnership (CCP) yang dapat diuji coba dalam pembelajaran PPKn kelas lima sekolah dasar. Dalam tahap pengembangan produk ini termasuk pembuatan instrument untuk mendapatkan umpan balik dari pengguna yaitu guru, orang tua dan peserta didik. Sebelum uji coba dilaksanakan, diperlukan tanggapan dan saran dari teman sejawat dalam bidang yang terkait, yaitu pendidikan kewarganegaraan dan kognitif sosial.

4. Pengujian awal di lapangan (preliminary field ); Uji coba di lapangan pada 1 sampai 3 sekolah dengan 6 sampai 12 subjek.

Kamarga (2000), Sekarningsih (2013) dan (Hikmat 2013) dalam penelitianya diungkapkan pada langkah ini melibatkan satu sampai tiga sekolah dengan menyertakan 6-12 subjek. Dalam pelaksanaanya dilakukan analisis data berdasarkan angket, hasil wawancara dan observasi.

Ketiga peneliti menggunakan subjek sekolah dalam kategori klaster dalam uji coba terbatas dan uji coba lebih luas, demikian juga penelitian ini akan


(32)

menggunakan sekolah berdasarkan klaster. Dengan responen yang terdiri dari guru PPKn, orang tua peserta didik, peserta didik, kepala sekolah. Selama uji coba diadakan, dilakukan pengamatan dan wawacara.

5. Revisi produk hasil uji coba awal (main product revision) Setelah dilakukan uji coba awal.

Kamarga (2000), Sekarningsih (2013) dan (Hikmat 2013) mengungkapkan dalam langkah main product revision didasarkan pada hasil uji coba pendahuluan.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, seperti yang digunakan pada ketiga peneliti tersebut di atas, maka revisi Model Pembelajaran classroom community partnership (CCP) sebagai produk pembelajaran yang akan dikembangkan dalam penelitian ini, maka tahap berikutnya adalah perbaikan produk sesuai dengan data yang diperoleh dari uji coba awal. Mengingat uji coba model pembelajaran CCP sebagai hal yang baru dalam pendidikan formal pada umumnya, maka perbaikan produk akan terjadi dan disesuaikan hasil uji coba model CCP . kemudian hasil dari uji coba akan dikomunikasikan dengan pakar, merupakan Saran dari pakar dapat digunakan untuk menyempurnakan model pembelajaran . 6. Uji coba utama, melibatkan 5-15 sekolah, dengan menyertakan 30-100 subjek.

Kamarga (2000), Sekarningsih (2013) dan (Hikmat 2013) mengungkapkan pada langkah ini data kuantitatif berupa pre-test dan post tes dikumpulkan dan hasilnya dievaluasi sesuai dengan tujuan, dan jika memungkinkan hasil tersebut dibandingkan dengan kelompok kontrol.

7. Revisi produk operasional, dilakukan berdasarkan hasil uji coba utama.

8. Uji coba operasional (operational field testing) dilakukan dalam 10 sampai 30 sekolah melibatkan 40 sampai 200 subjek.


(33)

dikumpulkan data angket, observasi, dan hasil wawancara untuk dianalisis. Pada langkah ini dilakukan pengumpulan data angket dari peserta didik, data wawancara dengan orang tua, guru PPKn dan beberapa murid, serta data observasi selama uji coba model pembelajaran kemudian di analisis.

9. Revisi produk akhir (Final product revision) berdasarkan hasil uji coba operasional.

Dalam langkah ini, Kamarga (2000) dengan model pembelajaran advace organizer, Hikmat (2013) dengan model pembelajaran PAI multikultur. Sekarningsih(2013) dengan model pembelajaran nilai-nilai sosial, melakukakan direvisi revisi uji coba operasional yang dilakukan secara bersiklus, sampai model dikatakan stabil, dan siap untuk didesiminasi dan didistribusikan.

10. Deseminasi dan distribusi produk (Dessemination and distribution );pada langkah ini dilakukan monitoring dan distribusi produk (Model pembelajaran CCP) sebagai kontrol terhadap kualitas produk.

Langkah-langkah penelitian dan pengembangan tergambar dalam bagan sebagai berikut:


(34)

Gambar 3.1. Langkah-langkah penelitian dan pengembangan

Berdasarkan langkah-langkah oleh Borg&Gall di atas, maka untuk mengatasi permasalahan dalam teknis pelaksnaannya yang melibatkan tiga komunitas yang berbeda yakni guru dan orang tua yang memiliki latar belakang yang beragam dan anak dengan karakteristik yang beragam. Dengan demikian, maka perlu adanya pengenalan produk dan pelatihan kepada guru dan orang tua dengan sampel yang ditentukan, sehingga proses dapat berlanjut pada pengujian produk dalam skala yang terbatas dengan sampel yang terwakili, dan berlanjut pada skala yang lebih luas.

Studi Pendahuluan/ Kegiatan Prasurvey Pengembangan Model Classroom Community Patnership(CCP) Pengujian/Eksperimen Model /Validasi

- Kajian kur.PKn - Modelcpembelajaran

yang digunakan pada pembelajaran PKn di saat ini

- PBM

- Social cognitive skills murid

- Kemampuan guru - Kondisi Orang tua - Pemnfaatan Prasarana - Lingkungan Sekolah

Uji coba: - Desain Model

Pembelajaran - Implementasi

model

- Evaluasi: Pretest-Posttes

- Refleksi

Revisi

Uji coba : - Desain Model

Pembelajaran - Implementasi model - Evaluasi :Pretest-Posttest - Refleksi Revisi

Uji coba lebih luas - Desain Model

Pembelajaran - Hasil Evaluasi

Pretest-Posttest - Kesimpulan

Pengujian Model (Uji Validasi)


(35)

untuk maksud tersebut, maka langkah-langkah penelitian kemudian disederhanakan dalam beberapa langkah sebagai berikut:

1. Penelitian Prasurvey

Menurut Singarimbun & Effendi (1995, hlm.3) bahwa “dalam penelitian prasurvey, informasi dikumpulkan dari responden, yakni guru dan orang tua dengan menggunakan teknik angket, wawancara dan observasi kepada sampel dari populasi

yang telah ditentukan”. Selanjutnya prasurvey diungkapkan Sukmadinata (2007, hlm. 82) merupakan “teknik pengumpulan data atau informasi dari populasi yang bersar dengan sampel yang relative kecil. Prasurvey ditunjukan untuk memperoleh gambaran umum tentang karakteristik populasi. Terkait dengan konteks kajian dalam bidang pendidikan”, Sudjana dan Ibrahim (2009, hlm. 74) mengungkapkan “dengan penelitian prasurvey dapat memecahkan masalah-masalah pendidikan”.Arry dalam Sudjana dan Ibrahim (2009, hlm. 74) mengungkapkan bahwa” prasurvey berusaha mengungkapkan jawaban melalui pertanyaan apa, bagaimana, dan mengapa. Tujuan utamanya adalah mengumpulkan informasi tentang variabel bukan informasi tentang individu.”

Dari berbagai pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan pendahuluan atau prasurvey dilakukan untuk lebih mendalami permasalahan serta untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat guna mengembangkan untuk meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik. Pada tahap ini dilakukan penelitian terhadap proses pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru PPKn. Bentuk kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi:

a) Mengkaji teori-teori yang relevan yaitu teori social cognitive Bandura, teori Vigotsky, teori perkembangan kognitif Piaget, teori Patnership Epstein, teori ecologi system dalam kontribusinya terhadap Model Pembelajaran Classroom Community Patnership (CCP) yang dikembangkan, teori-teori dan penelitian terdahulu tentang kemampuan kognitif peserta didik pada sekolah dasar.


(36)

b) Kegiatan prasurvey dilakukan pada sekolah yang akan dijadikan sebagai objek penelitian yaitu SD K1W, SD A2A, SD N1A, SD N9A, SD N10A, SD N6A, N13 A. Sekolah–sekolah dasar ini dipilih dengan pertimbangan perkembangan sekolah yang ditandai dengan hasil akreditasi, karakeristik sekolah yaitu ada sekolah yang memiliki karateristik peserta didiknya rata-rata beragam Islam dan beragama Kristen, pertimbangan lain yaitu sekolah letak geografis sekolah yang berada pada pusat kota yang memiliki heterogenitas dari tingkat ekonomi, sosial, dan kebudayaan dan sekolah yang berada pada daerah pedesaan yang memiliki karakteristik homogenitas dari beberapa aspek. Kondisi tersebut menjadi pertimbangan peniliti dalam menentukan objek dan populasi penelitian.

c) Dalam pra penelitian aktivitas yang dilakukan peneliti meliputi: mengobservasi pembelajaran PPKn yang sedang berlangsung di sekolah dasr kelas lima. Kelas lima dijadikan sebagai sampel disebabkan pada jenjang ini, peserta didik berada pada tahap perkembangan operasional konkrit menurut Piaget, dimana kemampuan sosial peserta didik benar-benar mulai dibentuk. Selain itu observasi mengenai model pembelajaran yang sedang dipergunakan, kemampuan dan aktivitas belajar peserta didik, kemampuan dan kinerja guru, kondisi dan pemanfaatan sarana dan prasarana, dan intensitas hubungan atau bagaimana guru dan orang tua membangun relasi dalam peningkatan kemampuan kognitif sosial anak, menjadi objek dalam kegiatan dimaksud.

d) Studi dokumentasi: (1) mengkaji Kurikulum dan Silabus SD kelas lima beserta suplemenny; (2) desain pembelajaran mengenai program tahunan, program caturwulan dan rencana pengajaran PKn, (3) Program layanan dan kerja sama antara sekolah dan orang tua peserta didik.

e) Melakukan kegiatan pendahuluan lapangan pada SD yang dijadikan tempat penelitian di Kota Ambon terhadap: (1) desain dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan guru, (2) Kemampuan kognitif sosial peserta didik, (3) kondisi guru, (4) Karakteristik peserta didik dengan latar belakang sosial dan


(37)

ekonomi,(5). Karakteristik pendidikan dan ekonomi keluarga/orang tua peserta didik pada sekolah dasar kelas lima, (6) intensitas orang tua dalam mengontrul proses belajar peserta didik di rumah dan di sekolah(6) Kondisi dan pemanfaatan fasilitas lingkungan pendukung Model pembelajaran CCP yang akan dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik dalam mata pelajaran PPKn.

2. Pengembangan Model

Pengembangan model pembelajaran Classroom Community Partnership (CCP) yang diujicobakan dan diperbaiki pada peserta didik, dengan teknik pelaksanaannya adanya kerjasama antara guru dan orang tua dalam peningkatan keterampilan sosial kognitif peserta didik di sekolah dasar pada pembelajaran pendidikan kewarganegaraan. Dalam tahapan pengembangan di kelas action research menjadi dasar dalam pengembangan model.

Hasil studi pendahuluan ini digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan Model CCP untuk meningkatkan kemampuan kognitif sosial peserta didik yang disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan setempat. Tahapan ini terbagi atas beberapa cara sebgai berikut:

a) Tahap perencanaan dan penyusunan model

Kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan sebagai berikut :

1) Mengkaji kurikulum PPKn SD Kelas lima sebagai acuan program pengajaran. Pada tahapan ini peneliti melakukan studi lapangan, berupa studi dokumentasi terhadap kurikulum yang digunakan selama ini dalam pembelajaran PPKn di sekolah dasar kelas lima.untuk mendapatkan informasi terkait kurikulum yang digunakan, maka peneiti melakukan wawancara dengan kepala sekolah dan guru kelas lima pada : SD K1W, SD A2A, SD N1A, SD N9A, SD N10A, SD N6A, N13 A.

Dari hasil studi lapangan ini ditemukan kurikulum yang dipergunakan oleh ketujuh sekolah penelitian adalah kurikulum KTSP, kondisi ini memciptakan sedikit


(38)

perbedaan dengan tujuan pengembangan model pembeljaaran CCP yang mempergunakan kurikulum 2013. Untuk mengatasi permasalahan ini kemudian dilakukan sosialisasi kepada guru mata pelajaran PPKn tentang kurikulum 2013 pada pembelajaran PPKn yang akan dipergunakan dalam pengembangan model pembelajaran CCP, Setelah guru mata pelajaran maupun guru kelas yang mengajar mata pelajaran PPKn memahami memahami kaitan Kurikulum 2013 dengan pendekatan saitifik yang digunakan dalam proses pembelajaran.

2) Analisis Materi Pembelajaran.

Pada tahapan ini peneliti melakukan analisis materi pembelajaran PPKn kelas lima sekolah dasar, dari hasil analisis ini, dapat ditemukan kesulitan-kesulitan peserta didik dalam memahmi materi pembelajaran, dan kelusitan guru dalam menyampaikan materi, selanjutnya dapat dijadikan sebagai masukan bagi pengembangan rancangan pembelajaran dan draf model pembelajaran.

Keberhasilan guru dalam menganalisi materi pembelajaran PPKn yang tepat bagi kebutuhan peserta didik, sangat mementukan keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam kondisi dimana kurikulum yang dipergunakan adalah kurikulum 2013, diman dalam pembelajaran PPKn secara khusus telah terintegrasi pembelajaran ilmu pengetahuan sosial(IPS), sehingga pada kondisi ini pendekatan terintegrasi sangat diperlukan pada karakteristik peserta didik sekolah dasar yang masih berpikir holitstik (utuh).

Dari hasil analisis materi pembelajaran PPKn dengan menggunakan kurikulum 2013, ada tiga materi pokok yang bersumber dari salah satu tema dalam kurikulum kelas lima SD, Sesuai dengan kebutuhan dan spesifikasi penelitian dalam pembelajaran PPKn, ada tiga materi pokok yang digunakan yaitu berperilaku sopandalam pergaulan di sekolah, berperilaku soapan dalam kejemukan, dan berperilaku sopan dalam pergaulan di jalan raya.

3) Merumuskan tujuan pembelajaran dan Pengembangan draf model pembelajaran dengan mempertimbangkan media yang akan digunakan. Langkah sebelumnya


(1)

Locke, E. A., & Latham, G. P. (1990). A theory of goal setting and task performance. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Luszczynska, A., Gutiérrez-Doña, B., & Schwarzer, R. (2005). General self-efficacy invarious domains of human functioning: Evidence from five countries. International Journal of Psychology, 40, 80-89.

Lunenburg, F. & Irby, B. (2002). Parent involvement: A key to student achievement. ERIC Document No. ED468558.

McMillan, J.H. dan Schumacher, S. (2010). Research in education (Evidence Based Inquiry) 7Th edition. New Jersey : Pear son Education Inc.

McNeil, J.D. (1981). Curriculum: A comprehensive introduction (2nd ed.).Boston: Little, Brown & Company.

Meece, J. L. (2002). Child and adolescent development for educators (2nd ed.). Boston: McGraw-Hill

Miller.S.M.(2010). Social-cognitive development in early childhood .USA. Encyclopedia on Early Childhood Development.

Miller.J.P & Seller.W (1985). Curriculum perspectives and practice, Longman N.y, Alpine Press.Ministry of Education Singapore.(2009).Primary School Education Preparing your child for tomorrow.Singapore.

Mitchell, C. & Sackney, L. (2008): Profound improvement. Building capacity for a learning community.. Lisse: Swets & Zeitlinger Publishers

Moore, dan Chris. (2010). Social Cognition in Infancy . Canada. Encyclopedia on Early Childhood Development .

Monteiro, A. P. (2009). Estudo do (In) sucesso a Matemática no 6.º e 9.º ano de escolaridade: Auto-regulação e procrastinação. (Unpublished Master‟s Dissertation).Universidade do Minho, Braga, Portugal.

Olivier, D.F. & Cormier, R. (2009). Assesing schools as professional learning communities symposium. Paper presented at the Annual Meeting of the Louisiana Education Research Association Lafayette March


(2)

Lisye Salamor, 2015

Ormrod & Jeanne Ellis. (2008) Psikologi pendidikan Jilid II. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Pajares, F. (2006). Self-efficacy during childhood and adolescence – Implications for teachers and parents. Self-Efficacy Beliefs of Adolescent, 339-367. Retrieved on February 27, 2010 from http://www.des.emory.edu/mfp/ Pajares/tdoed2006.pdf

Pajares ,F.,et al.(2007). Sources of writing self-efficacy beliefs of elementary, middle, and high school students. Research in the teaching of english Volume 42, Number 1,485-499.

Parke, R. & Gauvain,M.(2009). Child psychology A contemporary viewpoint .mcgraw-Hill International.New York.

Pascal dkk. (2011). Sources of self-efficacy: An investigation of elementary school students in france .Journal of Educational Psychology American Psychological Association., Vol. 103, No. 3, 649–663.

Pei-Shan,T ., et al. (2010). Elementary school students’ attitudes and self-efficacy of using PDAs in a ubiquitous learning context. Australasian Journal of Educational Technologi. 26(3), 297-308.

Piaget, J. (1979). Behaviour and Evolution. London: Routledge and Kegan Paul. Piaget, J. (1985). The equilibration of cognitive structures: The central problem of

intellectual development. Chicago: University of Chicago Press.

Primary Programs Framework – Curriculum integration: (2007). Making Connections. Alberta Education, Alberta, Canada,

Print, M. (1993). Curriculum development and design. Sydney: Allen &Unwin. Rauste-von Wright, M. (1986). On personality and educational psychology. Human

Development 29, 328-340.

Rouse, P. C., Ntoumanis, N., Duda, J. L., Jolly, K., & Williams, G. C. (2011). In the beginning: Role of autonomy support on the motivation, mental health and intentions of participants entering an exercise referral scheme. Psychology & Health, 26, 729–749.


(3)

Sagala,S. (2007). Konsep dan makna pembelajaran. Alfabeta.Bandung.

Sapriya & Maftuh, B (2005). Jurnal civicus pembelajaran PKn melalui pemetaan konsep.Bandung.Jurusan PKn. FPIPS. UPI

Sanjaya, W.(2006). Strategi pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Sandler, H. (2007). Parents‟ motivations for involvement in children‟s education: An

empirical test of a theoretical model of parental involvement. Journal of Educational Psychology. 99, 532-544

Saylor, J. G., Alexander, W. M., & Lewis, A. J. (1981). Curriculum planning for better teaching and learning (4th ed.). New York, NY: Holt, Rinehart, & Winston

Schulz, W.,Fraillon, J., Ainley, J., Losito, B., & Kerr, D. (2008). International civic and citizenship education study: Assessment framework. Amsterdam, The Netherlands: International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA)

Schick, B .(2007). Language and theory of mind: A study of deaf children. Child development, Volume 78, Number 2, Pages 376 – 396

Sekarningsih,F. ( 2013). Pengembangan model pembelajaran nilai-nilai sosial pada kegiatan ekstrakurikuler tari untuk membangun kesantunan sosial. (studi pada kegiatan ekstrakurikuler tari di SMP Kota Bandung). Disertasi SPS UPI Bandung: Tidak Diterbitkan

Smit,F., Driessen, G., Sluiter,R. & Sleeger, P. (2007) Types of parents and school strategies aimed at the creation of effective partnerships. International Journal about Parents in Education by European Network about Parents in Education Vol..1, No. 0, 45-52 ISSN:– 3518

Stephen, E.B.& Rademacher, E. W.(1997). (The Age of Indifference‘ revisited: patterns of political interest, media exposure, and Knowledge among Generation X, After the Boom: The Politics of Generation X, eds. Stephen C. Craig and Stephen Earl Bennett (Lanham, MD: Rowman & Little Publishers, Inc..21-43

The Council of the Republic of Belarus. (2011). Study on teacher education for primary and aecondary education in six eastern partnership countries


(4)

Lisye Salamor, 2015

Belarus. Education Code of the republic of Belarus,Minsk, National Register of Legal Acts of the Republic of Belarus,

Suryabrata. (2006). Psikologi pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Schunk, D.H. & Zimmerman, B.J. (Eds). (1998). Self regulated learning : From teaching to self reflective practice. New York : The Guilford Press. Schulz,W.& Ainley,J.(2012).ICCS 2009 Asian report Civic knowledge and attitudes

among lower-secondary students in five Asian countries. Amsterdam, The Netherlands . International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA).

Shapley,K.L.& Case,B.J.(2004).Working with parents :Building Partnerships with Parents. San Antonio . Pearson Education, Inc.

Singaribun dan Effendi. (1995).Metode Penelitian Survey. Jakarta.LP3ES.

Slavin, R. E. (2009). Educational psychology: Theory and practice (9th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson.

Sudjana,N. dan Ibrahim.(2009). Penelitian dan penilaian pendidikan. Bandung.Sinar Baru Algensindo

Sukmadinata.N.S.(2005). Landasan psikologi proses pendidikan. Bandung:PT Remaja Rosdakarya.

Sukmadinata.N.S.(2007).Metode penelitian pendidikan. Bandung.Remaja Rosdakarya

Sukmadinata.N.S.(2008). Metode penelitian tindakan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Supranto.(2003). Statistik teori dan aplikasi, Edisi Lima, Penerbit Aerlangga:Jakarta. Tavakolizadeh dkk (2012). The role of Self regulated learning strategies in

psychological well being condition of students. Elsevier Ltd Procedia - Social and Behavioral Sciences 69 807 – 815.

Terreni ,L.(2012) Providing culturally competent care in early childhood services in New Zealand. New Zealand


(5)

Thurston et al.(2011) .Peer Learning in Primary school science: Theoritical prespectives and implications for calassroom practice.Education and Psichologi.Research, Inovation and solution on-line..

Tilaar. H.A.R. (2005). Manifesto pendidikan nasional. Kompas Media Nusantara. Jakarta

Van der Veer, R. (2007). Lev Vygotsky. London: Continuum International Publishing Group

Van Voorhis, F. L. (2000). The effects of interactive (TIPS) and non-interactive homework assignments on science achievement and family involvement of middle grade students. Unpublished doctoral dissertation, University of Florida, Gainesville

Vygotsky, L.S. (1978). Mind in Society. Cambridge: Harvard University Press

Vygotsky, Lev Semenovich (1896-1934), MIA: encyclopedia of marxism: glossary of people, http://www.marxists.org/glossary/people/v/y.htm

Watkins, C.(2004) Classrooms as learning communities. Institute of Education University of London.

Weiss,B.W., Bouffard,S.M., Bridglall B.l.& Gordon,E.W.(2009)Reframing family involvement in education: Supporting families to support educational equity (Equity Matters: Research Review No. 5). New York: The Campaign for Educational Equity, Teachers College

Winataputra, U.S. (2005) Pendekatan ekspositoris. Jakarta. Universitas Terbuka. Wiriaatmadja,R.(2005). Metode penelitian tindakan kelas, Remaja Rosdakarya:

Bandung

Woolfolk, A. (2004). Educational psychology (9th ed). Boston, MA :Allyn and Bacon.

Wright,R.L. et al. (1979). Best test design. Chicago: Mesa Press.

Woolfolk, A. (2004). Educational psychology, 9th edn., Allyn & Bacon, Boston. Zamroni. (2007). Pendidikan dan demokrasi dalam transisi. Pustaka Nasional.


(6)

Lisye Salamor, 2015

Zamroni.(2011). Dinamika peningkatan mutu. Gavin Kalam Utama. Yogyakarta. Zimmerman,B. J. (1989). A social cognitive view of self-regulated academic

learning. Journal of Educational Psychology .Vol. 81, No. 3, 329-339. Zimmerman,B. J.(2000). Attaining self-regulation: A social cognitive perspective. Zimmerman, B.J. & Schunk, D. H. (Eds.). (1989). Self-regulated learning and

academic achievement: Theory, research and practice. New York: Springer-Verlag.

Zimmerman, B. J. (1998). Developing self-fulfilling cycles of academic regulation: An analysis of exemplary instructional models. In D. H. Schunk & B. J. Zimmerman (Eds.), Self- regulated learning: From teaching to self-reflective practice (pp. 1-19). New York: Guilford Press

Zimmerman, S., Scott, A. C., Park, N. S., Hall, S. A., Wetherby, M. M.& Gruber-Baldini, A. L. (2003). Social engagement and its relationship to service provision in residential care and assisted living. Social Work Research, 27, 6–18

Dokumen:

Dokumen Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 UD

Dokumen Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Dokumen Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Dokumen Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan sd/mi. Jakarta: BSNP.

Dokumen Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. (2006). Peraturan menteri pendidikan nasional no. 22 tahun 2006 tentang standar isi pendidikan. Jakarta.

Dokumen Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggraan Pendidikan.

Dokumen Peraturan Pemerintah nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah).