HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN EMPATI PADA MAHASISWA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi) Program Studi Psikologi

  HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN EMPATI PADA MAHASISWA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi) Program Studi Psikologi Disusun oleh : Yohanes Batista NIM : 059114050 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

  HALAMAN PERSEMBAHAN Karya ilmiah ini aku persembahan untuk Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan pencerahan dan anugerah hingga hari ini PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya ataupun bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dari daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah

  Yogyakarta, 10 Juli 2012 Penulis

  Yohanes Batista

  

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN EMPATI

PADA MAHASISWA

Yohanes Batista

  

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan empati pada

mahasiswa. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara konsep diri dan empati.

Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1. Subjek berjumlah 80 mahasiswa dari Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma dengan menggunakan teknik convenience sampling. Metode

pengumpulan data menggunakan skala konsep diri dan skala empati. Uji validitas alat ukur

menggunakan validitas isi. Data dari hasil ujicoba diperoleh reliabilitas 0,939 untuk skala konsep

diri dan reliabilitas 0, 924 untuk skala empati. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebaran data

normal dan memiliki korelasi yang linear. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan

menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Carl Pearson dan menghasilkan koefisien

korelasi sebesar 0,393 (p<0,01). Artinya, ada hubungan positif antara konsep diri dan empati pada

mahasiswa. Kata kunci : konsep diri, empati mahasiswa

  

THE CORRELATION BETWEEN SELF CONCEPT AND EMPATHY ON

UNDERGRADUATE STUDENTS

Yohanes Batista

  

ABSTRACT

The purpose of this study was to examine the relationship between self concept and

empathy on undergraduate students. The hypothesis proposed in this research is there is a positive

correlation between self concept and empathy on undergraduate students. The subject of this

research are 80 undergraduate students at Psychology Faculty of Sanata Dharma, that acquired

by convenience sampling. The method of data collection in this research are self concept scale and

empathy scale. The reliability coefficient for self concept is 0,939 and the reliability coefficient for

empathy is 0,924. The result of data analysis show that the normal data spread and have linear

correlation. The data of research result analyzed by correlation Product Moment technique from

Carl Pearson and the result of correlation coefficient is 0,393 (p<0,01). It means, there is a

positive correlation between self concept and empathy on undergraduate students.

  Keywords : self concept, empathy of undergraduate students

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Yohanes Batista Induk Mahasiswa : 059114050

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul

  

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN EMPATI PADA

MAHASISWA

  beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Yogyakarta, 10 Juli 2012 Yang menyatakan,

  Yohanes Batista

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari peran dan bantuan berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

  1. Tuhan Yesus Kristus yang dengan rahmat dan pencerahannya senantiasa membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

  2. Dr. Christina Siwi Handaya selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

  3. Ibu Tanti Arini, S.Psi., M.Psi selau dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik yang telah sabar serta meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan dan petunjuk agar bisa menyelesaikan skripsi.

  4. Orangtua yang dengan sabar menerima dan memahami anaknya satu ini yang lulus dengan cukup baik.

  5. Eka Shanti Budi Asih, seorang wanita yang dengan setia menemani dan membantu saat pengerjaan skripsi.

  6. Pak bos, yang sudah membantu dalam menganalisis data.

  7. Teman-teman kontrakan yang sudah sering mengingatkan untuk segera

  8. Teman-teman seangkatan (2005) yang sudah saling menguatkan dan membantu yang tidak bisa disebut satu persatu

  9. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, saya ucapkan terimakasih banyak.

  Yogyakarta, Yohanes Batista Hanes

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL.................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI..................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA....................................................... v ABSTRAK.................................................................................................... vi ABSTRACT.................................................................................................. vii PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.......... viii KATA PENGANTAR.................................................................................. ix DAFTAR ISI................................................................................................. xi DAFTAR TABEL......................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN.............................................................................

  1 A. Latar Belakang Masalah.................................................................

  1 B. Rumusan Masalah..........................................................................

  7 C. Tujuan Penelitian...........................................................................

  7 D. Manfaat Penelitian.........................................................................

  7 BAB II LANDASAN TEORI.......................................................................

  8 A. Empati............................................................................................ 8 1. Definisi Empati..........................................................................

  8

  4. Aspek Empati............................................................................

  14 B. Konsep Diri....................................................................................

  19 1. Definisi Konsep Diri..................................................................

  19 2. Aspek Konsep Diri....................................................................

  20 3. Perkembangan Konsep Diri.......................................................

  24 4. Jenis Konsep Diri......................................................................

  26 C. Pengertian Mahasiswa....................................................................

  29 D. Hubungan antara Konsep Diri dan Empati pada Mahasiswa.........

  30 E. Hipotesis......................................................................................... 32 BAB III METODE PENELITIAN...............................................................

  34 A. Jenis Penelitian...............................................................................

  34 B. Identifikasi Variabel Penelitian......................................................

  34 C. Definisi Operasional......................................................................

  34 D. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel....................................

  36 E. Metode dan Alat Pengumpulan Data.............................................

  36 F. Validitas dan Reliabilitas...............................................................

  41 G. Metode Analisis Data.....................................................................

  45 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..............................

  44 A. Pelaksanaan Penelitian...................................................................

  44 1. Proses Penelitian......................................................................

  44 2. Identitas Subjek dan Deskripsi Statistik Penelitian..................

  44

  2. Uji hipotesis.............................................................................

  47 C. Pembahasan.................................................................................... 47 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN........................................................

  51 A. Kesimpulan..................................................................................... 51

  B. Saran............................................................................................... 51 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................

  53 LAMPIRAN

  DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Spesifikasi Aitem-aitem Skala Empati (uji coba)............................. 38Tabel 3.2 Spesifikasi Aitem-aitem Skala Konsep Diri (uji coba)..................... 40Tabel 3.3 Spesifikasi Skala Empati Sebelum dan Sesudah Uji Coba............... 43Tabel 3.4 Spesifikasi Skala Konsep Diri Sebelum dan Sesudah Uji Coba....... 43Tabel 4.1 Identitas Subjek Penelitian................................................................ 44Tabel 4.2 Deskripsi Data Penelitian.................................................................. 45Tabel 4.3 Uji Normalitas................................................................................... 45Tabel 4.4 Uji Linearitas..................................................................................... 46

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang tidak bisa hidup sendiri dan akan

  senantiasa berinteraksi terus dengan orang lain. Diperlukan sebuah ketrampilan sosial yang mampu memfasilitasi interaksi antar pribadi menjadi lebih membangun dan menyenangkan. Keterampilan ini salah satunya adalah empati. Dengan mengembangkan empati, individu mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain dan melihat situasi dari sudut pandang orang lain (Devito, 2004).

  Empati memiliki peran yang penting dalam kehidupan manusia. Salah satunya adalah menghilangkan perasaan egoistik individu. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sari, Ramdhani dan Eliza (2003), mengenai perilaku merokok dan empati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi empati, maka perilaku merokok di depan umum juga semakin berkurang, hal ini dikarenakan si perokok bisa merasakan ketidaknyamanan para perokok pasif terhadap asap yang ditimbulkan. Pentingnya empati dalam interaksi antar manusia juga diungkapkan oleh Kurtinez dan Grwitz (dalam Setyawan, 2009), bahwa empati penting dalam meningkatkan kualitas hubungan sosial. asertif terhadap orang lain, menghormati orang lain, kontrol diri yang baik dan kepemimpinan. Selain itu, empati membuat individu mampu merasakan penderitaan dan rasa sakit yang dialami oleh orang lain, sehingga dengan begitu kehadiran empati mampu mengurangi perilaku kenakalan dan agresi dalam interaksi individu dengan sesama dan lingkungannya (Garaigordobil, 2009).

  Goleman (1995), berdasarkan pengamatannya terhadap perilaku bayi yang menangis ketika mendengar bayi lain menangis, menyimpulkan bahwa secara biologis, manusia sudah dilahirkan dengan adanya kemampuan empati. Namun, walaupun empati sudah ada semenjak bayi, tidak berarti kemampuan empati akan meningkat terus seiring dengan bertambahnya usia. Goleman (1995), menyatakan empati seorang anak mulai luntur saat mulai berusia 2,5 tahun, saat dimana seorang anak menyadari bahwa dirinya berbeda dengan orang lain dan kesedihan yang dialami orang lain bukanlah kesedihan yang juga dialami oleh si bayi. Hal ini menunjukkan bahwa selain faktor biologis, terdapat faktor lain yang turut mempengaruhi perkembangan kemampuan empati individu.

  Berdasarkan literatur yang diperoleh, faktor-faktor lain yang mempengaruhi empati, yaitu pengalaman dan lingkungan (Rogers, 1980), usia (Hakansson, 2003), jenis kelamin (Garaigordobil, 2009), pelatihan (Shapiro, Morrison dan Boker, 2004). Selain itu, Rogers (1980) juga mengungkapkan mengembangkan konsep diri secara positif. Oleh karena itu, secara teoretis konsep diri memiliki hubungan atau pengaruh terhadap empati. Disebutkan oleh Buhrmester, dkk (1988) bahwa empati merupakan salah satu aspek dari kompetensi interpersonal, dan terdapat penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara konsep diri dan kompetensi interpersonal (Nashori, 2000 dan Hartanti, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa secara empirik konsep diri memiliki kemungkinan hubungan atau pengaruh terhadap empati.

  William D. Brooks (dalam Rakhmat, 2007), menjelaskan konsep diri sebagai persepsi individu dari segi fisik, sosial dan psikologis terhadap dirinya sendiri, yang di peroleh dari pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Konsep diri yang dikembangkan oleh individu akan cenderung mengarah ke positif atau negatif. Individu dengan konsep diri negatif akan cenderung peka terhadap kritikan, hiperkritis dan memunculkan permusuhan terhadap orang lain. Sementara itu, konsep diri yang positif terlihat pada individu yang merasa setara dengan orang lain, menyadari bahwa orang lain itu berbeda dan cenderung hangat terhadap orang lain.

  Konsep diri yang positif adalah modal bagi seseorang dalam berinteraksi di kehidupan bermasyarakat. Individu yang mengembangkan konsep diri positif mampu menerima perbedaan antarpribadi sebagai sesuatu hal yang lumrah, hal ini memberikan keuntungan sosial pada individu, karena mereka lebih mampu menerima perbedaan dan mengatasi konflik secara perasaan minder, harga diri yang rendah dan memunculkan perilaku yang tidak mendukung interaksi hubungan interpersonal.

  Individu dengan konsep diri yang positif, menggambarkan dirinya secara positif dan mencintai setiap pengalaman, serta kekurangan dan kelebihan yang dimiliki. Mereka memahami secara menyeluruh siapa diri mereka, dan melihat permasalahan yang dihadapi orang lain secara obyektif.

  Individu yang mengembangkan konsep diri secara positif, mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, termasuk didalamnya emosi marah maupun cinta. Dikemukakan oleh Goleman (dalam Sari dkk, 2003), bahwa kesadaran diri dalam mengenali sinyal emosi yang muncul pada reaksi tubuh adalah syarat individu mampu berempati dengan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang dengan konsep diri yang positif mampu memahami orang lain dan berpikir dari sudut pandang orang lain dengan tetap mempertahankan obyektifitas individu, sementara individu yang memiliki konsep diri negatif, pengetahuan terhadap diri sendiri masih sempit dan belum teratur, membuat mereka sulit untuk bisa menempatkan diri pada sudut pandang orang lain dan berpikir secara obyektif.

  Masyarakat memiliki harapan yang lebih terhadap mahasiswa. Mahasiswa mewakili generasi muda yang dianggap sebagai kelompok intelektual. Keahlian dan pengetahuan yang diperoleh di perguruan tinggi, nantinya akan diaplikasikan dalam lingkungan pekerjaan dan masyarakat. harapan yang tinggi sebagai generasi penerus bangsa, tidak hanya mementingkan keunggulan intelektual semata, tetapi juga harus diimbangi dengan kompetensi lainnya yang berhubungan dengan interaksi mereka dengan lingkungan sosial. Boediono (2007) dalam pidatonya saat acara pemberian beasiswa di UGM, berpesan bahwa mahasiswa harus siap jadi pemimpin. Boediono juga menambahkan sebagai seorang pemimpin tidak hanya membutuhkan kemampuan teknis, tetapi juga keterampilan sosial (www.SwaraWongkito.com).

  Bertolak belakang dengan harapan masyarakat, mahasiswa sering belum bisa mengelola konflik yang muncul secara konstruktif, seperti yang terjadi di lampung. Rabu, tanggal 21 September 2011 (www.lampungpost.com) terjadi tawuran antara mahasiswa Fakultas Teknik (FT) dengan mahasiswa Fakultas Sosial dan Ilmu politik (FISIP) UNILA.

  Pemicu tawuran berawal dari teguran yang dilakukan oleh salah satu mahasiswa senior dari FISIP, terhadap mahasiswa FT yang sedang pawai sebagai bentuk perayaan sesudah wisuda. Merasa tersinggung dengan teguran tersebut, akhirnya tawuran pun terjadi. Tawuran ini muncul karena adanya perbedaan dalam mengekspresikan kebahagiaan. Lingkungan kampus yang identik dengan sisi intelektualitas dan toleransi antar individu di dalamnya, menjadi ajang tawuran antar mahasiswa yang semata-mata berusaha mempertahankan ego masing-masing. Seandainya kedua belah pihak bisa mengganggu orang lain, sehingga bisa memaklumi teguran dari mahasiswa Fisip. Dengan begitu kedua belah pihak bisa sama-sama mencari jalan tengah tanpa harus merugikan satu sama lain, dan tawuran bisa terhindarkan

  Berdasarkan penjabaran sebelumnya menunjukkan bahwa konsep diri secara teoretik dan empirik memiliki hubungan dengan empati. Namun, sayangnya dua penelitian sebelumnya (Nashori, 2000 dan Hartanti, 2006), tidak melihat secara khusus hubungan antara aspek empati dengan konsep diri.

  Penelitian lain juga dilakukan oleh Lukman (2000), hasil dari penelitian tersebut menunjukkan adanya korelasi antara konsep diri dengan kompetensi interpersonal, namun disebutkan bahwa korelasi yang linear antara 2 variabel tersebut dikarenakan adanya faktor yang sama, yaitu percaya diri. Selain itu, masih adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang terjadi pada mahasiswa, serta pentingnya empati dalam meningkatkan kualitas hidup mahasiswa, sehingga penulis tertarik untuk meneliti mengenai ada tidaknya hubungan antara konsep diri dan empati pada mahasiswa,. Penelitian ini akan memberikan gambaran seberapa besar hubungan antara konsep diri dan empati pada mahasiswa.

  B. Rumusan masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat ditarik suatu masalah penelitian yaitu, “Adakah hubungan antara konsep diri dan empati pada mahasiswa ?”.

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data empiris tentang ada tidaknya hubungan antara konsep diri dan empati pada mahasiswa.

  D. Manfaat Penelitian   Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang psikologi terutama pada psikologi perkembangan dan psikologi sosial, yaitu berupa literatur ilmiah mengenai peran konsep diri pada kehidupan sosial dan interpersonal.

  2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pada praktisi dan profesi lainnya yang berminat dalam pengembangan diri. Melalui pengetahuan tambahan terhadap pentingnya peran konesp diri dalam interaksi sosial dan interpersonal.

BAB II LANDASAN TEORI A. Empati

1. Definisi Empati

  Sekitar tahun 1880, seorang psikolog kebangsaan jerman, Theodore Lipps menyebutkan sebuah istilah “einfuhlung” untuk menjelaskan mengenai apresiasi emosi terhadap perasaan orang lain (Olckers dan Grobler, 2010). Devito (2004) menjelaskan empati sebagai suatu kemampuan emosi individu untuk mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain dan melihat situasi dari sudut pandang orang lain. Empati muncul saat individu mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya serta mampu selaras dengan orang lain maupun lingkungan sekitarnya (Goleman, 1995).

  Rogers (1980) mendefinisikan empati sebagai suatu proses bagaimana individu mampu ‘masuk’ dalam dunia orang lain dan merasa nyaman tanpa larut sepenuhnya dalam perasaan maupun situasi orang lain. Hampir senada dengan Rogers, Mehrabian dan Epstein (1972) secara singkat menjelaskan bahwa empati bisa dilihat dan diukur dengan menggali aspek emosi yang ada di dalam empati. mengkritisi pengembangan alat ukur empati yang dikembangkan oleh Mehrabian. Davis (1980), menyimpulkan dari alat ukur yang dikembangkannya, bahwa empati merupakan sebuah fenomena multidimensional, dimana aspek emosi saja tidak cukup untuk menggambarkan empati, tetapi juga harus dilengkapi dengan aspek kognisi. Pernyataan Davis ini didukung juga oleh Decety dan Jackson (2004) yang mendefinisikan empati sebagai kemampuan untuk berbagi perasaan dengan orang lain, berpikir secara tepat mengenai apa yang dirasakan orang lain dan mampu memahami peristiwa atau pengalaman buruk yang dialami orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa untuk bisa melihat dan mengukur empati seseorang, harus memperhatikan aspek kognisi dan emosi.

  Penggunaan istilah empati sering disamakan dengan simpati, namun kedua istilah ini memiliki perbedaan yang mendasar. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, empati berarti menempatkan pikiran dan perasaan pada orang lain sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain, sementara simpati cenderung muncul sebagai sebuah bentuk reaksi emosi yang kurang memiliki kontrol karena menempatkan diri individu dalam situasi orang lain, namun tidak memikirkan pikiran dan perasaan orang lain sesungguhnya.

  Dari pengertian di atas, disimpulkan bahwa empati merupakan menggunakan kognisi nya secara tepat dalam mengartikan atau memaknai hal yang dirasakan orang lain tanpa melibatkan unsur prasangka atau judgment apapun.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati

  a) Biologis Faktor genetis memiliki pengaruh terhadap tingkat empati individu, terutama pada masa awal kehidupan individu. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rushton, dkk (dalam Antony, Manstead dan Hewstone, 1996). Mereka meneliti mengenai tingkat empati pada individu yang kembar identik, dan ditemukan tingkat empati yang cenderung sama diantara pasangan kembar identik.Selain itu, Goleman (1995) meyakini bahwa empati sudah muncul semenjak individu lahir, beliau menyimpulkan dari pengamatannya terhadap bayi yang akan ikut menangis saat mendengar ada bayi lain di sekitarnya yang menangis.

  b) Lingkungan Pada masa awal kehidupan hingga menginjak usia remaja, orangtua menjadi bagian yang penting dalam perkembangan empati individu. Perilaku orangtua yang hangat dan ramah, serta menunjukkan sikap penerimaan terhadap anaknya di rumah mampu

  Pada masa remaja dan dewasa, empati dipelajari melalui orang-orang yang dianggap sebagai guru atau pembimbing mereka.

  Bentuk kehangatan dan penerimaan yang ditunjukkan oleh para guru atau pembimbing, kemudian akan dipelajari dan dihayati oleh individu, dan akan berperilaku sama terhadap orang lain. Begitupula sebaliknya, jika sosok yang dipandang sebagai guru atau pembimbing jarang menunjukkan sifat kehangatan dan penerimaan diri apa adanya terhadap diri individu, maka individu tersebut pun akan cenderung menunjukkan hal yang sama terhadap orang lain (Rogers, 1980).

  c) Pengalaman Rogers menyatakan bahwa empati seseorang akan semakin tinggi, seiring dengan kuantitas serta kualitas pengalaman individu dalam memunculkan empati. Pernyataan Rogers ini awalnya merupakan pandangan pribadi terhadap terapis dalam dunia psikoterapi dan konseling, bahwa semakin berpengalaman seorang terapis dalam memunculkan dan menggunakan empati dalam proses terapi, semakin tinggi pula kemampuan empati si terapis. Hal ini dikarenakan seorang terapis akan semakin peka dan lebih mudah menerima serta memahami situasi atau pengalaman klien (Rogers, 1980).

  d) Usia salah satu fungsi kematangan, yang berarti bahwa segala bentuk emosi termasuk empati akan semakin berkembang kualitasnya seiring dengan perkembangan usia. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Garaigordobil (2009), bahwa kematangan usia berpengaruh terhadap perkembangan empati dalam diri individu.

  e) Jenis kelamin Salah satu hasil yang ditemukan dalam penelitiannya

  Garaigordobil (2009), adalah adanya pengaruh jenis kelamin terhadap tingkat empati individu. Wanita cenderung lebih mampu berempati dibandingkan pria.

  f) Pelatihan Hampir sama dengan bentuk ketrampilan lainnya, empati juga bisa dibentuk atau ditingkatkan melalui bentuk pelatihan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Shapiro, Morrison dan Boker (2004), mengenai efektivitas pelatihan empati pada mahasiswa kedokteran tingkat pertama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa empati subjek mengalami peningkatan yang cukup signifikan setelah mengikuti pelatihan tersebut.

  g) Konsep diri Rogers (1980) menyatakan bahwa empati akan menjadi lebih efektif saat seseorang mampu menerima dirinya sendiri apa adanya. mengembangkan konsep dirinya secara positif, mengakui dan menerima dirinya sendiri apa adanya, sehingga melihat segala perilaku manusia sebagai sesuatu hal yang wajar. Hal ini menunjukkan bahwa secara teoretis, konsep diri memiliki pengaruh atau hubungan terhadap empati. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis, belum menemukan penelitian yang secara khusus meneliti hubungan antara konsep diri dan empati, oleh karena itu penulis tertarik untuk melihat secara khusus hubungan antara konsep diri dan empati.

3. Komponen Empati

  Brownell (dalam Eisenberg dan Strayer, 1990) mengungkapkan bahwa setidaknya ada 3 komponen yang mampu menggambarkan empati secara menyeluruh, yaitu :

  a) Kognitif Empati mengacu pada bagaimana individu mampu melihat situasi yang dialami orang lain melalui sudut pandang atau segi kognitif orang tersebut. Misalnya, seorang pria membawa pacarnya dalam acara keluarga. Si wanita terkesan pendiam padahal dalam kesehariannya dia seorang yang mudah bergaul. Sepulang dari acara, si pria dengan nada yang agak keras bertanya apakah memiliki empati terhadap pacarnya, maka dia harusnya cukup peka bahwa pacarnya malu dan juga bingung bagaimana harus menempatkan diri di tengah-tengah keluarga si pria, sehingga dia lebih banyak berdiam diri dan jarang terlibat dalam percakapan terutama dengan orangtuanya.

  b) Afeksi Selain mampu melihat dari sudut pandang orang lain, empati juga muncul dalam bentuk perasaan. Empati mampu membuat individu mengerti apa yang dirasakan orang lain. Gejolak emosi yang sedang dialami oleh orang lain mampu dipahami oleh individu, walaupun tidak ditunjukkan secara verbal.

  c) Perilaku Empati juga mengacu pada kemampuan individu untuk menunjukkan perilaku verbal dan nonverbal yang mengindikasikan perilaku mendengarkan dan peduli terhadap orang lain. Tatapan mata yang hangat, bahasa tubuh yang menarik dan mampu merangkum secara tepat sesuatu yang dibagikan orang lain merupakan bagian dari aspek tingkah laku.

4. Aspek Empati

  Mehrabian dan Epstein (1972) menggolongkan aspek empati

  a) Susceptibility to emotional contagion

  Artinya mudah tidaknya individu terpengaruh oleh emosi orang lain. Misalnya, saat ada teman yang bercerita mengenai kematian anjingnya yang tragis, individu tersebut kemudian merasa terharu dengan mata yang berkaca-kaca

  b) Appreciation of the feelings of unfamiliar and distant others

  Aspek ini menjelaskan mengenai kemampuan apresiasi individu terhadap sesuatu yang terasa aneh dan tidak biasa bagi dirinya.

  c) Extreme emotional responsiveness

  Aspek ini memuat unsur emosi yang sangat tinggi, artinya tingkat respon emosi individu terhadap sesuatu yang mampu menimbulkan suasana emosional.

  d) Tendency to be moved by others positive and emotional experience

  Menjelaskan mengenai tingkat kecenderungan individu dalam merespon peristiwa positif atau negatif yang dialami orang lain

  e) Sympathetic tendency

  Mengukur mengenai kecenderungan simpati yang dimiliki orang lain

  f)

Willingness to be contact with others who have problems

  Meliputi tingkat kesediaan individu untuk mau mendengarkan dan terlibat dalam masalah yang sedang dialami oleh orang lain.

  Sedikit berbeda dengan pemahaman Mehrabian dan Epstein (1972) yang cenderung menekankan pada komponen emosi dalam empati, Davis (1983) cenderung melihat empati sebagai multidimensi aspek yang mengandung komponen afeksi dan kognitif. Penggolongan aspek yang diusulkan oleh Davis, yaitu : a) Fantasy, aspek ini mengungkapkan mengenai kecenderungan respon individu secara imajinatif terhadap perasaan dan perilaku karakter dalam komik, film atau novel.

  b) Perspective taking, aspek ini menggambarkan kecenderungan atau kemampuan individu dalam melihat situasi dari sudut pandang orang lain

  c) Empathic concern, aspek ini mengungkapkan mengenai kecenderungan respon positif individu disaat berhadapan dengan pengalaman buruk atau negatif dari orang lain.

  d) Personal distress, aspek ini mengukur kecenderungan tingkat kecemasan dan kenyamanan individu dalam kaitannya dengan interaksi interpersonal. a) Empathic suffering, artinya tingkat empati individu terutama dalam merasakan dan memahami penderitaan yang dialami orang lain b) Positive sharing, artinya kemampuan individu dalam berbagi dan merasakan perasaan positif bersama orang lain c) Responsive crying, artinya mudah tidaknya individu menangis saat pada situasi tertentu d) Emotional attention, artinya keinginan individu untuk mengenali dan berbagi perasaan kepada orang lain e) Feeling for others, artinya merasakan perasaan yang sedang dialami oleh orang lain f) Emotional contagion, artinya mudah tidaknya individu ‘tertular’ perasaan atau situasi yang ada saat bersama dengan orang lain

  Berdasarkan kajian literatur, akhirnya penulis memutuskan untuk mengadaptasi skala empati yang dikembangkan oleh Davis (1980). Alasan untuk mengadaptasi skala, antara lain (1) melihat bahwa pengertian empati yang dikembangkan oleh Davis, sejalan dengan pengertian empati yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu hubungan antara konsep diri dan empati pada mahasiswa. (2) Dibandingkan dengan skala yang dikembangkan oleh Mehrabian (1972) dan Caruso (1980), skala milik davis lebih lengkap terutama dasar bahwa empati itu harus diukur secara multidimensi, yaitu

  Dari keempat aspek yang digunakan oleh Davis (1980), peneliti tidak menggunakan aspek Personal Distress, dan menggantikannya dengan Emotional Contagion. Alasannya adalah pengertian Personal Distress, tidak sejalan dengan pengertian empati yang dikembangkan untuk penelitian kali ini. Secara lengkap aspek yang digunakan untuk skala empati adalah sebagai berikut :

  a) Fantasy, yaitu kecenderungan individu dalam melakukan proses identifikasi terhadap tokoh atau karakter dalam film, buku maupun cerita fiksi

  b) Perspective/role taking, yaitu aspek yang menggambarkan kemampuan individu dalam melihat permasalahan yang dihadapi orang lain, melalui sudut pandang orang lain tersebut

  c) Empathic concern, yaitu tingkat atau kadar seseorang dalam menunjukkan kehangatan, kasih sayang dan perhatian pada orang lain.

  d) Emotional contagion, yaitu tingkat respon individu dalam merasakan hal yang sama atau tertular perasaan yang dialami orang lain.

B. Konsep Diri

1. Definisi Konsep Diri

  Konsep diri merupakan keseluruhan informasi dan pandangan yang dimiliki individu terhadap dirinya sendiri (Calhoun dan Accocela, 1990). Menurut Black (dalam Devito, 2004), konsep diri merupakan perasaan dan pikiran individu terhadap kekuatan dan kelemahan, kemampuan dan keterbatasan serta aspirasi nya sendiri, selain itu juga memuat informasi mengenai pandangan dunia atau lingkungan sekitar terhadap diri individu. Ditambahkan juga oleh Brooks (dalam Rakhmat, 2000), konsep diri merupakan persepsi mengenai diri sendiri yang bersifat fisik, sosial maupun psikologis, yang diperoleh melalui pengalaman individu dalam interaksinya dengan orang lain.

  Allport (dalam Schultz, 1991) menyinggung juga mengenai konsep diri, namun istilah yang digunakan adalah proprium. Proprium adalah hal atau proses yang penting dan bersifat pribadi, yang menentukan keunikan individu sebagaimana yang dirasakan dan diketahuinya. Menurut Jamaludin, dkk. (2009), konsep diri merupakan cara individu melihat siapa dirinya, yang terbentuk melalui interaksi dirinya dengan lingkungan.

  Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara dirinya. Informasi yang dimaksud meliputi gambaran fisik, sosial dan psikologis.

2. Aspek Konsep Diri

  Devito (2004), menyatakan bahwa konsep diri mengandung aspek kognitif dan afektif yang mencakup kekuatan dan kelemahan, kemampuan dan keterbatasan serta aspirasi dan pandangan dunia terhadap diri individu. Senada dengan pendapat Devito, Brooks (dalam Rakhmat, 2007) mengungkapkan bahwa konsep diri terdiri dari komponen kognitif dan afektif artinya konsep diri meliputi apa yang dipikirkan dan dirasakan seseorang terhadap dirinya sendiri.

  Markus dan nurius (dalam Calhoun dan Accocela, 1990) mengemukakan 4 aspek yang berkaitan dengan konsep diri, yaitu : a) Physical selfyaitu penilaian individu terhadap dirinya sendiri dari segi fisik dan biologis. Kekurangan dan kelebihan yang ada pada fisik individu, mempengaruhi penilaian individu terhadap dirinya sendiri.

  b) Self as process meliputi perilaku, kognisi dan emosi individu dalam kaitannya dengan interaksi individu terhadap orang lain dan lingkungan.

  c) Social self meliputi peran sosial individu di lingkungannya dan bagaimana individu melihat kualitas perannya tersebut. d) Ideal self menyangkut kesesuaian hasil atau pencapaian individu dengan harapan dan keinginannya.

  Hampir senada dengan Markus, Berzonsky (1990) mengemukakan aspek konsep diri yang terdiri dari : a) Aspek fisik

  Aspek ini menggambarkan mengenai kondisi dan penampilan fisik individu.

  b) Aspek sosial Aspek ini meliputi penilaian individu terhadap kualitas perannya dalam lingkungan sosial. Aspek ini mengukur bagaimana individu menilai dirinya sesuai dengan perannya baik dalam hubungannya dengan teman sebaya, pekerjaan maupun keluarga.

  c) Aspek moral Aspek ini menggambarkan bagaimana individu menilai dirinya dari segi nilai dan prinsip yang dipegang, serta penilaian terhadap baik buruknya nilai dan prinsip tersebut dalam kehidupan.

  d) Aspek psikologis Aspek ini memuat pengetahuan dan penilaian Jamaludin, Ahmad, Yusuf, Dan Abdullah (2009), mengemukakan bahwa aspek konsep diri meliputi : a) Fisik

  Meliputi informasi mengenai hal-hal fisik individu, seperti kesehatan, daya tarik fisik, dan ciri fisik lainnya.

  b) Etika dan moral Meliputi hal-hal yang menyangkut baik buruknya perilaku dan kepribadian dari sisi moral dan etika pada lingkungan individu tersebut tinggal.

  c) Personal Meliputi hal-hal yang menyangkut kepribadian dan sikap individu.

  d) Keluarga Meliputi pandangan individu terhadap keluarga dan bagaimana individu menilai dirinya sendiri melalui perilaku keluarga

  e) Sosial Meliputi interaksi dan sikap individu terhadap lingkungannya f) Identitas

  Meliputi pandangan orang lain terhadap individu g) Kepuasan diri Menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan tingkat kepuasan individu terhadap dirinya sekarang.

  h) Perilaku Menyangkut sikap individu terhadap orang lain dan lingkungan. i) Self-criticism

  Kecenderungan individu dalam menyikapi stimulus dan bersikap terhadap orang lain dan juga lingkungannya.

  Uraian di atas, menunjukkan bahwa para ahli dan peneliti belum memiliki kesepakatan bersama mengenai aspek konsep diri.

  Namun, ada beberapa aspek yang sama dan digunakan dalam penelitian mereka. Oleh karena itu disimpulkan bahwa aspek konsep diri setidak-tidaknya meliputi :

  a) Aspek fisik Aspek ini meliputi penilaian individu mengenai kondisi fisik. Disini bentuk penilaiannya adalah mengenai negatif dan positif. Artinya bentuk penilaian yang dilakukan adalah mengenai penerimaan individu terhadap kondisi fisiknya, bukan bagus tidaknya bentuk tubuh yang dimiliki.

  b) Aspek kepribadian menghadapi situasi tertentu. Aspek ini juga meliputi hal-hal seperti sensitivitas terhadap kritikan, responsif terhadap pujian serta penerimaan dan pengakuan terhadap sisi baik buruk kepribadian individu.

  c) Aspek nilai Aspek ini menyangkut nilai dan prinsip yang dipegang individu dalam kehidupan sehari-hari. Kesenjangan antara prinsip dan perilaku yang ditunjukkan akan berpengaruh pada konsep diri individu. Semakin sinkron antara prinsip/nilai dan kenyataan individu dalam perilakunya sehari-hari, maka semakin tinggi pula kecenderungan konsep diri positif muncul dalam diri individu.

  d) Aspek keluarga Aspek ini menyangkut kualitas hubungan individu dengan keluarga.

  e) Aspek sosial Aspek ini mengukur penilaian individu terhadap perannya baik dalam lingkungan kampus, sekolah, komunitas dan lingkungan sosial lainnya.

3. Perkembangan Konsep Diri

  Allport (Schultz, 1991) mengatakan bahwa manusia tidak kehidupannya. Allport menambahkan pula bahwa manusia pada awal kelahiran (bayi) tidak mampu membedakan antara diri dan lingkungan.

  Sekitar usia 15 bulan, tahap pertama perkembangan konsep diri dimulai dengan menyadari diri secara fisik (diri jasmaniah). Pada tahap ini, bayi mulai berpikir mengenai “saya” dan “bukan saya”, dimana pemikiran secara konseptual mengenai diri dan lingkungan mulai berkembang serta mampu melihat perbedaan keduanya. Misalnya bayi mulai menyadari bahwa ia sedang menghisap jari, dan jari itu adalah miliknya. Selain itu, individu sudah mulai memberikan label bahwa orang lain yang sedang tertawa melihat tingkah ku itu adalah “bukan saya” (Calhoun & Acocella, 1990).

  Saat mulai memasuki sekolah, individu tidak lagi sekedar membandingkan diri dengan saudara kandung, tetapi sudah mulai membandingkan diri dengan kehidupan sosial atau teman sebaya di sekolah. Nilai-nilai yang mempengaruhi konsep individu terhadap dunia dan dirinya, juga mulai dipengaruhi oleh guru dan teman-teman sebaya. Guru sebagai sosok yang lebih tua berperan pula sebagai orangtua kedua selain orangtua aslinya, sehingga pandangan dan pemikiran dari guru akan membentuk konsep diri individu.

  Hurlock (2004) mengatakan bahwa pada usia anak-anak, individu belum bisa membedakan dengan jelas antara konsep diri sebenarnya dan berdiri sendiri-sendiri. Semakin dewasa individu, dua aspek ini akan semakin menyatu dengan diri individu.

4. Jenis Konsep Diri

  Konsep diri merupakan gambaran atau pandangan individu mengenai dirinya sendiri. Dalam perkembangannya, konsep diri memiliki kecenderungan terbentuknya menjadi negatif maupun positif.

a) Konsep Diri Negatif

  Individu dengan konsep diri yang negatif, hanya mengetahui sedikit dari dimensi konsep dirinya (evaluasi, pengetahuan dan pengharapan). Terdapat 2 tipe karakteristik konsep diri negatif tipe pertama digambarkan pada individu yang pandangan terhadap dirinya benar-benar tidak teratur. Individu ini memiliki pengetahuan maupun pengharapan terhadap diri sendiri yang cenderung berubah-ubah.

  Selain itu, individu dengan konsep diri yang negatif memiliki pengetahuan yang sangat sedikit mengenai kelebihan dan kekurangan serta value yang menjadi pegangan dalam hidupnya. Tipe yang kedua, dijelaskan sebagai kebalikan dari tipe yang pertama. Konsep diri individu cenderung terlalu stabil dan terkesan kaku. (dalam Calhoun dan Accocela, 1990)

  Brooks & Emmert, (dalam Rakhmat, 2007), menjabarkan ciri- ciri individu dengan konsep diri yang negatif yaitu : a. Peka terhadap kritikan

  Individu dengan konsep diri yang negatif akan mudah tersinggung apabila sikap atau pemikirannya dievaluasi dan di kritik oleh orang lain. Oleh karena itu, individu dengan konsep diri yang negatif cenderung menghindari komunikasi secara terbuka dengan orang lain, serta berusaha mempertahankan segala pemikirannya walaupun dengan logika atau alasan yang kurang tepat.

  b. Responsif terhadap pujian Individu dengan konsep diri yang negatif memiliki kebutuhan yang tinggi untuk dihargai. Pujian dari orang lain menjadi syarat utama agar harga dirinya meningkat. Dengan kata lain, individu tersebut tergila-gila dengan pujian, walaupun terkesan menghindari.

  c. Hiperkritis Sikap bermusuhan dalam bentuk perilaku mencela, mengeluh dan meremehkan orang lain, sering ditunjukkan oleh individu dengan konsep diri yang negatif. Selain itu, mereka kurang mampu menghargai atau mengakui kelebihan orang d. Merasa tidak disenangi orang lain Individu dengan konsep diri yang negatif memiliki tingkat kecemasan yang tinggi. Salah satu bentuk kecemasan ditimbulkan karena individu sering merasa bahwa dirinya tidak disukai oleh orang lain.

b) Konsep Diri Positif

  Callhoun dan Accocela (1990) mengungkap beberapa ciri individu dengan konsep diri yang positif, yaitu : a. Mampu menerima diri apa adanya

  b. Mampu mengakui kekurangan dalam dirinya

  c. Mampu menerima kekurangan maupun kelebihan orang lain

  d. Memiliki kehendak bebas, tidak terperangkap dalam penjara pikiran seperti individu dengan konsep diri yang negatif.

  e. Spontan dan berani menghadapi masalah

  f. Memperlakukan orang lain dengan hormat dan hangat Hampir serupa dengan karakteristik konsep diri positif yang dikemukakan Callhoun (1990), D.E. Hamachek (dalam Rakhmat,

  2007) juga mengungkapkan beberapa karakteristik individu dengan konsep diri yang positif, antara lain : a. Memiliki prinsip dan nilai yang dipegang teguh. Namun, jika dirinya, mereka mau dengan terbuka mengubah nilai dan prinsip lama.

  b. Perilaku dan tindakan yang muncul, didasari oleh penilaian yang tepat dan bijak. Oleh karena itu, tidak mudah terpengaruh oleh pihak tertentu.

  c. Peka terhadap kebutuhan dan situasi orang lain.

  d. Tidak berlebihan dalam menanggapi suatu hal yang terjadi di masa lalu, masa depan ataupun masa sekarang.

  e. Menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati dan menerima pujian tanpa disertai kecemasan.

  f. Memiliki keyakinan dan ketahanan diri yang tinggi dalam memperoleh sesuatu atau saat menghadapi permasalahan.

  g. Terbuka terhadap perasaan nya pada diri sendiri maupun pada orang lain dan berani mengungkapkan emosi atau hasrat terhadap orang lain.

  h. Merasa setara dengan orang lain dan memiliki harga diri yang tinggi. i. Menikmati pekerjaan yang sedang dilakukan. j. Menerima dan menghargai diri apa adanya C.

   Pengertian Mahasiswa

  S1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011), mahasiswa berarti individu yang belajar di perguruan tinggi. Sementara, dalam Peraturan Pemerintah (PP) mahasiswa diartikan sebagai peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi. Ditambahkan oleh Sarwono (1978), mahasiswa adalah individu yang terdaftar secara resmi untuk mengikuti perkuliahan di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun.

D. Hubungan antara Konsep Diri dan Empati pada Mahasiswa

  Dalam kehidupan sosial, empati memiliki peran penting terutama perannya dalam meningkatkan kualitas hubungan interpersonal. Empati mampu membuat individu memahami cara pandang orang lain, memotivasi orang lain dan juga membantu menangani stress yang muncul dalam interaksi antarpribadi. Oleh karena itu, empati menjadi bekal penting dalam menjalani kehidupan mereka baik di masyarakat maupun untuk kepentingan profesi. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Olckers dan Grobler (2010), bahwa profesi dengan tinggi nya frekuensi interaksi antar manusia memerlukan kemampuan empati yang tajam

  Allport menjelaskan bahwa dasar dari empati adalah “diri” yang sehat. Diri yang sehat memahami segala bentuk emosi (negatif maupun positif) yang muncul sebagai hal yang wajar dan manusiawi. Diri yang sehat menurut Allport memiliki kesamaan makna dengan konsep diri yang luas terhadap siapa dirinya, mampu menilai sesuatu secara obyektif dan tidak memproyeksikan sesuatu yang negatif kepada orang lain (dalam Schultz, 1991).

  Individu dengan konsep diri yang positif cenderung lebih peka terhadap kebutuhan orang lain. Begitupula dengan mahasiswa, mahasiswa yang mengembangkan konsep diri positif akan memiliki cara pandang yang lebih objektif dan memahami kelemahan orang lain. Sementara mereka yang mengembangkan konsep diri negatif, cenderung diliputi rasa cemas dan kekecewaan, sehingga mempengaruhi cara pandang mereka terhadap dunia dan orang lain. Mahasiswa dengan konsep diri negatif, akan memiliki kecenderungan untuk menghakimi dan sulit menempatkan diri mereka pada posisi orang lain. (Rakhmat, 2007)