1. a. PEMANFAATAN DANA DESA DALAM MENDUK

PEMANFAATAN DANA DESA DALAM PEMBANGUNAN DESA DITINJAU DARI
PRESPEKTIF MODAL SOSIAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Oleh
Imam Radianto Anwar Setia Putra
Peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Dalam Negeri
PENDAHULUAN
Pergeseran paradigm pembangunan di Indonesia saat ini memasuki babak baru dengan
ditetapkannya berbagai agenda strategi nasional yang mendorong pembangunan dari desa. Hal
tersebut didukung dengan pemguatan kebijakan nasional yang tercantum dalam program
prioritas pembangunan pada dokumen Perencanaan nasional dimana Desa sebagai area
pembangunan yang strategis dimana pada priode sebelumnya sudah meletakan dasar
pembangunan masyarakat melalui program PNPM Mandiri Perdesaan yang mendorong
Perencanaan partisipatif.
Mendukung kebijakan pemerintah yaitu membangun dari pingiran yang merupakan
nawacita pemerintahan saat ini sekaligus menjadi program prioritas nasional nomor 3 (tiga)
Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan. Selanjunya sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa, Pemerintah mengalokasikan Dana Desa, melalui mekanisme transfer kepada
Kabupaten/Kota. Berdasarkan alokasi Dana tersebut, maka tiap Kabupaten/Kota
mengalokasikannya ke pada setiap desa berdasarkan jumlah desa dengan memperhatikan jumlah

penduduk (30%), luas wilayah (20%), dan angka kemiskinan (50%). Sesuai dengan peraturan
pemerintah, sehingga diharapkan pembangunan desa dapat disiapkan dengan terlebih dahulu
direncanakan dengan baik. Dana Desa di dalam APBN 2015 dianggarkan sebesar Rp 9.066,2
miliar, namun sejalan dengan visi Pemerintah untuk Membangun Indonesia dari Pinggiran dalam
kerangka NKRI maka anggaran ini ditambah alokasinya di dalam APBN-P 2015 menjadi Rp
20.766,2 miliar (Setjen DPR-RI).
Pembangunan Desa saat ini yang diukur dengan Indeks Desa Membangun nilai rata-rata
nasional Indeks Desa Membangun 0,566 klasifikasi status Desa ditetapkan dengan ambang batas
pada desa berkembang dan desa tertinggal. Indeks Desa Membangun merupakan komposit dari
ketahanan sosial, ekonomi dan ekologi. IDM didasarkan pada 3 (tiga) dimensi tersebut dan
dikembangkan lebih lanjut dalam 22 Variabel dan 52 indikator. Penghitungan IDM pada 73.709
Desa berdasar data Podes 2014 dengan angka rata-rata 0,566 menghasilkan data sebagai berikut
(Anwar Sanusi, 2015, p. 5- 6):
 Desa Sangat Tertinggal : 13.453 Desa atau 18,25 %
 Desa Tertinggal : 33.592 Desa atau 45,57 %
 Desa Berkembang : 22.882 Desa atau 31,04 %
 Desa Maju : 3.608 Desa atau 4,89 %
 Desa Mandiri : 174 Desa atau 0,24%
Menggunakan data tersebut dan dibagi pada dua katagor, untuk desa tertinggal masih
sangat banyak mencapai 98, 48 % dan untuk desa maju/mandiri menunjukan terdapat tantangan


tersendiri dalam mendorong pembangunan desa yang tepat dengan berbagai pendekatan dan
strategi diambil dengan menyesuaikan berbagai bentuk/tipe desa yang ada di Indonesia. Menurut
Nurcholis (2011: p 65-66) terdapat empat tipe desa di Indonesia yaitu: 1) Desa Adat (selfgoverning community) 2) Desa Administrasi (local state government) 3) Desa Otonom sebagai
local self-government Desa Campuran (adat dan semiotonom). Selanjutnya berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber dari APBN,
kewenangan Desa diberikan begitu luas dimana gunanya untuk mendorong percepatan
pembangunan serta dalam rangka optimalisasi pemanfaatan Dana Desa, diprioritaskan untuk
membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Pembiayaan Dana Desa yang menjadi salah satu bentuk pendanaan pembangunan di Desa
menngarahkan pembangunan desa kepada dua aspek bersar. Pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat dengan beberapa aspek pembangunan yang menjadi tolok ukurnya. Gambaran
dibawa mengambarkan berbaga upaya pemerintah desa untuk menyediakan infrastruktur desa,
peningkatan kualitas hidup masyarakat desa, dan berbagai pengingkatan kapasitas masyarakat
desa Berdasarkan skema tersebut pembangunan desa mendorong berbagai perubahan guna
mendorong terciptanya kelancaran pertumbuhan perekonomian dan menyasar pada penguatan
masyarakat desa tersebut artinya membangun masyarakat dan membangun/pensediaan
infrasturuktur baik ekonomi dan sosial..

Sumber: Setjen DPR-RI

Pembangunan desa tentunya tidak terlepas dari partisiapasi masyarakat di dalam
menjalankan emapt bidang psasaran pembangaunan yang termuat dalam Pasal 2 Permendagri
No. 114 tahun 2014 tentang pedoman pembangunan desa mencakup bidang penyelenggaraan
pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa dan
pemberdayaan masyarakat Desa. Kebijakan tersebut menekankan 4 bidang pelaksanaan sebagai
penopang pembangunan desa yang diharapkan nantinya dapat meningkatkan kondisi desa yang
ada dari desa tertinggal kepada desa mandiri/maju. Peran penting anggota masyarakat dan
1

pemerintahan desa menjadi motor pengerak pembangunan menjadi sangat penting dan ditambah
anggaran sebagai instrument dalam mendukung pembangaunan. Sedangkan Burt tahun 1992
(dalam Suparman 2012) mendefinisikan, modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk
melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat
penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial
yang lain.
Sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114 tahun 2014,
tentang Pedoman Pembangunan Desa, disebutkan bahwa Perencanaan pembangunan desa adalah
proses tahapan kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah Desa dengan melibatkan Badan
Permusyawaratan Desa dan unsur masyarakat secara partisipatif guna pemanfaatan dan
pengalokasian sumber daya desa dalam rangka mencapai tujuan pembangunan desa. pada

beberapa kasus tertentu khususnya partisipasi masnyarakat dalam perencanaan pembangunan
cukup baik, ini terlihat dengan adanya berbagai perhatian dari masyarakat terhadap semua
perkembangan yang ada di lingkup pemerintahan Desa Ponompiaan, dan masyarakat sangat
respon dan antusias dengan hal tersebut. (Singal, 2014). Proses Perencanaan tersebut merupakan
serangkaian kerja sama antara masyarakat dan lembaga pemerintah desa, hal tersebut dapat
sebagai salah satu bentuk modal sosial yang didefinisikan sebagai serangkaian nilai dan norma
informal yang dimilki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang
memungkinkan terjadinya kerjasama diantara mereka (Francis Fukuyama, 2002). modal sosial
juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain (Coleman, 1988).
Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antar manusia tersebut
menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur
(Fukuyama, 1995).
Pembiayaan menjadi instrumen pembangunan dasa yang harus disinergikan dalam
perencanaan desa sehingga mendorog modal sosial di pedesaan sehingga mempu mengakselerasi
pembangunan desa dalam mewujudkan kesejahtraan masyarakat sebagaimana tujuannya. Hal ini
mendorong penggunaan dana desa yang mendorong pembiayaann untuk penyelenggaraan desa
berdasarkan ketentuan PP no 60 tahun 2014 pada pasal 19 ayat (2) Dana Desa

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk membiayai
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian

pembangunan desa yang dibiayai oleh dana desa tersebut akan
dianalisis dengan 4 empat perspektif Modal sosial yang meliputi the
communitarian view, the network view, the institusional view and the
synergy view (Woolcock & Narayan, 2000)
PEMBANGUNAN DESA
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Pembangunan Desa tersebut memberikan pengertian terhadap pembangunan desa
yaitu, Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Pembangunan desa pada dasarnya menjadikan
manusia/masyarkat menjadi target pembangunan sesungguhanya dengan melihat peningkatan
kapasitas masyarakat melalui berbagai program dan kegiatan yang dirumuskan. Pembanunan
manusia menjadi sangat penting dalam pembangunan di desa, diharakan dengan memiliki
2

manusia yang terampil, mandiri, dan professional selanjuntya akan membawa dampak pada
kehidupan di desa.
Selanjuntya pendapat Portes (1976) mendefinisiskan pembangunan sebagai transformasi
ekonomi, sosial dan budaya. Portes menekankan pada tiga aspek besar dalam yang ketiga aspek
tersebut menjadi titik awal dalam meritis berbagai aspek dalam pembangunan desa. Tiga aspek
menjadi titik focus dalam mendorong berbagai perubahan guna menciptakan pembangunan di

area atau wilayah pedesaan yang melibatkan berbagai dimensi besar sehingga menciptakan
pembangunan desa yang inklusif bersama dengan keterlibatan dengan masyarakat.
Kepala Desa mengokordinasikan kegiatan pembangunan Desa yang dilaksanakan oleh
perangkat Desa dan/atau unsur masyarakat Desa.Pelaksanaan kegiatan pembangunan Desa
meliputi:pembangunan Desa berskala lokal Desa; dan pembangunan sektoral dan daerah yang
masuk ke Desa.(Kessa et al., 2015). Pemerintah desa memiliki peran besar dan kuat dalam
mendorong keberhasilan pembangunan bersama dengan masyarakat desa, keterlibatan
masyarakat menjadi kunci bagaimanan pembentukan berbagai modal sosial. Kepala dasa
memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan bentuk pembangunan yang
dirumuskan melalui berbagai program dan kegitan yang dirumuskan dalam berbagai dokukmen
Perencanaan.
DANA DESA
Dana desa sesuai dengan ketentuannya merupakan pembiayaan yang digunakan untuk
pembanguna desa yang meliputi dua aspek besar yaitu penguatan infrastruktir dan peningkatan
kapsitas masyararkat di desa itu sendiri. Besara dana desa diatur setiap tahunya demgam melihat
londisi kemampuan keuangan Negara pada setiap tahun anggaram yang disiapkan dari tahun
2015 -2019 yang tertera pada roadmap alokasi Dana Desa dibawah ini.

3


Sumber: Paparan Kebijakan dana desa dan Alokasi Dana Desa (Kemenkeu), 2016

Besaran dana desa yang dialkoasikan cendrung meningkat disetiap tahunnya yang dibaca
pada kolom rata-rata perdesa, dimana pada tahun 2015 mencapai pembiayaan sebesar Rp.
749.400.000, besaran tersebut direncanakan terus naik menjadi sekiter 2 milyar lebiha pada
tahun 2019. Pembiayaan tersebut menyasar pembangunan desa yang mendorong penignkatan
infrasturktur kawasan perdesaan, usaha perekonomian masyarakat dan peningkatan kapasitas
masyarakat desa melalui program pembedayaan. Secara umum dan prinsipil sesuai dengan PP
No.60/2014 dan Peraturan Menteri Desa PDTT No.5/2015 jo No.21/2015, Dana desa
diprioritaskan untuk, yaitu:
1. Diprioritaskan untuk mendanai pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat yang
menjadi kewenangan dan tanggung jawab Desa.
2. Diutamakan untuk mendanai kegiatan yang bertujuan meningkatkan kapasitas warga atau
masyarakat Desa dalam pengembangan wirausaha, peningkatan pendapatan, serta
perluasan skala ekonomi individu warga atau kelompok masyarakat dan Desa.
3. Membrikan pelayanan dan dukungan untuk pemberdayaan kaum miskin bukan dalam
bentuk santunan cuma-Cuma, tetapi dengan pola dana bergulir.
4. Diutamakan untuk membiayai kepentingan Desa dan masyarakat Desa, bukan
kepentingan orang per orang.
5. Diutamakan untuk membangun sarana dan prasarana dasar (infrastruktur) untuk

keperluan mendukung transportasi, irigasi dan sanitasi, pelayanan dasar, ketahanan
pangan, energi dan pengembangan ekonomi.
4

6. Dana Desa diutamakan untuk mengembangkan potensi dan aset ekonomi Desa.
EMPAT PRESPEKTIF MODAL SOSIAL DAN PEMBAGUNAN EKONOMI
Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme,
gotong-royong, jaringan, dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap
pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggungjawab
terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya
keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan (Blakeley dan Suggate,
1997; Suharto, 2005a; Suharto 2005b).
Penjelasan dari Cohen dan Prusak, (Hasbullah, 2006) menjelaskan, modal sosial sebagai
segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk
mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi
unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), hubungan timbal balik dan aturanaturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya. Modal sosial tersebut
mendorong berbagai kesempatan dalam pembangunan di desa dan empat persepektif modal
sosial dan pembangunan sosial tersebut yaitu:
1. The communitarian perspective equates sosial capital with such local organizations as clubs,
associations, and civic groups. Communitarians, who look at the number and density of

these groups in a given community, hold that sosial capital is inher- ently good, that more is
better, and that its presence always has a positive effect on a community's welfare. This
perspective has made important contributions to analy- ses of poverty by stressing the
centrality of sosial ties in helping the poor manage risk and vulnerability. As Dordick (1
997) notes, the poor have "something left to lose"- each other(Woolcock & Narayan, 2000,
p. 229).
2. A second perspective on sosial capital, which attempts to account for both its upside and its
downside, stresses the importance of vertical as well as horizontal associations between
people and of relations within and among such organizational entities as community groups
and firms. Building on work by Granovetter (1973), it recog- nizes that strong
intracommunity ties give families and communities a sense of iden- tity and common
purpose (Astone and others 1999). This view also stresses, how- ever, that without weak
intercommunity ties, such as those that cross various sosial divides based on religion, class,
ethnicity, gender, and socioeconomic status, strong horizontal ties can become a basis for the
pursuit of narrow sectarian interests. In the recent popular literature, the former has been
called "bonding" and the latter "bridg- ing" sosial capital (Gittell and Vidal 19) (Woolcock
& Narayan, 2000, p. 230)
3. A third perspective of sosial capital, which we call the institutional view, argues that the
vitality of community networks and civil society is largely the product of the political, legal,
and institutional environment. Where the communitarian and net- works perspectives largely

treat sosial capital as an independent variable giving rise to various outcomes, both good and
bad, the institutional view instead views sosial capital as a dependent variable. This
approach argues that the very capacity of sosial groups to act in their collective interest
depends on the quality of the formal institu- tions under which they reside (North 1990)
(Woolcock & Narayan, 2000, p. 234)
4. In recognition of this disconnect, a number of scholars have recently proposed what might
be called a synergy view, which attempts to integrate the compelling work emerging from
5

the networks and institutional camps. Evans (1992, 1995, 1996), one of the primary
contributors to this view, con- cludes that synergy between government and citizen action is
based on complementarity and embeDana desaedness. Complementarity refers to mutually
supportive relations between public and private actors and is exemplified in legal
frameworks that protect rights of association and in more humble measures such as
chambers of commerce to facili- tate exchanges among community associations and
business groups. EmbeDana desaedness refers to the nature and extent of the ties connecting
citizens and public officials. (Woolcock & Narayan, 2000, pp. 235–236)
Selanjuntya dari ke emapt persepektif modal sosial tersebut menghasilkan dua bentuk
tipologi dalam mendeskripsikan keberhasilan pembangunan desa. Yaitu modal sosial terikat
(Bonding sosial capital) dan model modal sosial yang menjembatani (Bridging Sosial Capital).

“These examples suggest a more formal definition: sosial capital refers to the norms and
networks that enable people to act collectively. This simple definition serves a number of
purposes. First, it focuses on the sources, rather than the consequences, of sosial capital (Portes
1998) while recognizing that important features of sosial capital, such as trust and reciprocity,
are developed in an iterative process. Second, this definition permits the incorporation of
different dimensions of sosial capital recognizes that communities can have access to more or
less of them. The poor, for example, may have a close-knit and intensive stock of "bonding"
sosial capital that they can leverage to "get by" (Briggs 1998; Holzmann and Jorgensen 1999),
but they lack the more diffuse and extensive "bridging" sosial capital deployed by the nonpoor to
"get ahead" (Barr 1998; Kozel and Parker 2000; Narayan 1999)”.(Woolcock & Narayan, 2000,
pp. 226–227)
Memperjelas Bonding sosial capital Hasbullah (2006) menyatakan, pada
masyarakat yang bounded atau inward looking atau sacred, meskipun
hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat kohesifitas yang kuat, akan
tetapi kurang merefeksikan kemampuan masyarakat tersebut untuk
menciptakan dan memiliki modal sosial yang kuat. Hal ini menciptakan
prespektif modal sosial yang negative pada masyarakat diluar kelompoknya.
Factor kohesiftas kelompok menjadi factor pembentuk yang keerata
hubungan emosional kedalam yang sangat erat yang dihasilkan melalui pola
interkasi yang tradisional.
Selanjunya memperjelas Bridging Sosial Capital Mengikuti (Colemen,
1999) tipologi masyarakat bridging sosial capital dalam gerakannya lebih
memberikan tekanan pada Dimensi fight for (berjuang untuk). Hal ini
mendorong masyarakat untuk dapat mampu dan mandiri sehingga
keberadananya semakin memiliki kekuatan. Dimensi ini juga menghilangkan
rasa perbedaan dan pada akhirnya memiliki akses yang sama dalam
berbagai kesempatan.
MODAL SOSIAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI UNTUK PENGGUNAAN DANA
DESA DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN DESA
Dana desa yang besaranya hampir mencapai sekitar 1 Milyar pada
tahun 2016 dimana penggunaan Dana Desa sesuai dengan amana PP N0. 60
tahun 2014 pasal penggunaan dana desa mengacu pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa
saat ini hingga saat ini penggunaan dana des didorong pada prioritas
6

pertama penggunaan dana desa dalam menyiapkan berbagai infrastruktur
dan sarana prasarana di desa. Pengalokasian pendanaan dpada setiap
demensi pembangunan desa ditentukan oleh pemerintah pusat dengan juga
mengacu pada peraturan terkait.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar
menuturkan bahwa dana desa yang telah diterima dapat digunakan untuk pembangunan
infrastruktur, seperti jalan desa, irigasi, jalan usaha tani, dan sanitasi. Hal tersebut, kata
dia, dapat memberikan dampak untuk memulihkan perekonomian di pedesaan.
"Selain menyerap banyak warga desa yang bekerja di proyek-proyek infrastruktur desa,
juga muncul berbagai kegiatan usaha ekonomi yang terkait langsung maupun tidak
dengan proyek-proyek desa," kata Marwan dalam keterangannya. 1

Fokus pemerintah dalam membangun desa yang pembiayaanya melalui dana desa
mempertegas kepetingan Negara terhadap desa-desa yang ada. Pembangunan infrasturktur yang
memerlukan pembiayaan besar diharapkan akan mendorong mulitplyers efek yang peningkatan
taraf hidup masyarakat di desa. Pemahaman ini masih terus digunakan oleh pemerintah pusat
dalam menciptakan pembangunan yang merata diseluruh indonesai. Pembangunan infrasturktur
akan menciptakan interaksi antara pemerintah daerah dengan kelompok usaha dibidang
infrasturuktur atau pembangungan infrastruktur tersebut harus didorong secara swaklola bersama
masyarakat yang akan mendapatkan manfaat lebih besar. Hal ini mendorong kesamaan dan
kebersamaan dalam meciptakan modal sosial di masayrakat. Sinergi tersebut mendorong
pemerintah, kelompok usaha, dan masyarakat di desa didorong untuk melakukan kerjasama.
Penggunaan Dana Desa (DD) nyatanya masih fokus untuk pembangunan
infrastruktur nampaknya menjadi tradisi pemerintah Desa (Pemdes) di kabupaten Tuban.
Padahal, seharusnya dana tersebut juga diperuntukkan pada pemberdayaan masyarakat
Desa. Kepala Bapemas Pemdes dan KB kabupaten Tuban, Mahmudi, kamis (4/8/2016),
mengatakan, sesuai Permendes 21 tahun 2015, dana dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN) tersebut untuk tahun ini memang masih diprioritaskan untuk
pembangunan infrastruktur.2

Pembangunan desa tersebut yang datangnya dari pemerintah pusat melalui kebijakan
dana desa yang arah pembangunannya ditentukan juga dalam kebijakan menteri membagi
pembangunnan tersebut kebeberapa sector yang diperhitungkan oleh pemerintah sangat
dibutuhkan oleh pemerintah desa. Sector tersebut dibagi kedalam tiga sector utama dalam
pembangunan desa.
Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Kementerian
Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Ahmad Erani Yustika
mengungkapkan bahwa dana desa bisa menyerap jutaan tenaga kerja berdasarkan asumsi
bahwa 60% dari total dana desa tahun ini (Rp28,14 triliun) digunakan untuk investasi
pembangunan infrastruktur meski hanya bersifat sementara atau tiga bulan saja.
“Sementara itu sekitar 30% atau setara dengan Rp14,07 triliun dana desa akan digunakan

1

https://bisnis.tempo.co/read/news/2015/09/26/092703998/dana-desa-menteri-marwanbisa-pulihkan-perekonomian-desa
2
http://seputartuban.com/penggunaan-dana-desa-untuk-pemberdayaan-masyarakat-sedikit/

7

untuk pengembangan ekonomi desa dan sisanya 10% atau Rp4,69 triliun disalurkan bagi
pelayanan sosial dasar,” paparnya, Selasa (1 Maret 2016). 3

Besaran pembagian tersebut dititk beratkan pada pembangunan
infrastruktur yang memiliki porsi cukup besar dan hal tersebut menjadi
prioritas sasaran pemerintah pusat dalam membangun desa, diikutik dengan
sector pengembangan ekonomi dan pendanaan terkecil di dapatkan pada
sector pelayanan sosial dasar. Terlihat pembiayaan infrasturktur yang cukup
besar mendorong terciptanya berbagai proyek pengadaan infrasturktur di
desa, sehingga terjadi kontak secara langsung antara pemerintah desa
sebagai pengelola desa dan juga masyarakat sebagai yang melakukan
pekerjaan pembangunan infrastruktur dan juga sebagai pemanfaat hasil
pembangunan infrasturktur tersebut. Hal ini mendorong sinergitas antara
pemerintah desa dan masyarakat di dalamnya yang menjelaskan prespektif
sinergi dalam modal sosial dan pembangunan ekonomi.
Sementara itu dukungan dalam menciptakan prakti pemberdayaan
masyarakat dan peningkatan kapasitas masyarakat belum menjadi prioritas
dalam pembangunan desa pada era saat ini, jumlah 10 % dari total dana
desa yang digunakan untuk pembangunan desa menjadi pilihan kebijakan
pemerintah pusat dalam tetap menumbuhkan serta memelihara kapasitas
dan pemberdayaan yang sudah ada hingga saat ini. Keterlibatan yang
mungkin akan sangat kecil dalam keterlibatan dalam pemberdayaan
masyarakat melalui peningkatan kapasitas tersebut diduga mendorong
untuk lebih memanfaatkan fungsi jaringan yang ada di masyarakat dalam
meningkatkan pengetahuan dan mendorong kemampuan untuk menggali
potensi yang dimiliki, sehingga masyarakat akan memanfaatkan keluarga,
kelompok ataupun komunitas yang ada.
Selanjunya, dengan kisara 30 % dari Dana Desa untuk sector
pengembangan ekonomi masyarakat, hal ini akan menumbuhkan sekaligus
mempraktikan berwirausaha. Setidaknya akan tumbuh UMKM yang baru di
tengah-tengah masyarakat sehingga pemerintah desa akan memberikan
dukungan modal atau kredit guna menjamin keberlangsungan usaha yang
dilakukan. UMKM tersebut juga akan mendorong berbagi interkasi dalam
produksi sehingga keterlibatan dan peranserta kelompok masyarakat akan
semakin terasa. Menurut Mubyarto (1993: 20-41) menekankan dalam proses pemberdayaan
masyarakat diarakan pada pengembangan sumberdaya manusia (di pedesaan), penciptaan
peluang berusaha sesuai dengan keinginan masyarakat
Selain UMKM, sector perekonomian desa yang menjadi salah satu
sector dalam pembangunan desa juga menitikberatkan pada bagaimana
pelembagaan sector tersebut. Pembentukan Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes) menjadi salah satu bentuk strategi dalam memanfaatkan dana
desa dalam pembangunan di desa.

3

https://bisnis.tempo.co/read/news/2016/03/01/090749707/dana-desa-serap-pekerjatumbuhkan-ekonomi-0-04

8

Menurut Eko, kemandirian desa dapat diukur dari tingkat kemampuan mengelola
potensi di tiap desa, misalnya dalam bidang pertanian dan peternakan. Untuk merealisasi
itu, dana desa yang diterima masing-masing desa dengan rata-rata Rp 670 juta dapat
dialokasikan untuk membentuk dan menggerakkan BUMDes. 4
BUMDes sebagai sebuah institusi bisnis yang dikembangakan di desa yang didorong guna
menciptakan berbagai kesempatan dan peluang usaha bagi masyarakat dan menciptakan keuntungan yang
masuk sebagai pendapatan asli desa. Pada BUMDes ini setidaknya melibatakan pemerintah dan
partisipasi masyarakat baik sebagai pekerja yang menjalankan roda usahanya. BUMDes dikelola oleh
masyarakat sekitar desa dan juga minimal modal usaha yang diberikan tersebut menjadi pengerak untuk
mencari bisnis dan pola usaha yang sesuai dengan pasar yang ada di setiap desa. Kebijakan mendorong
terciptanya isntutusi bisnis yang digunakan menciptakan pengahasilan baik bagi pemeritah desa ataupun
masyarakat sebagai pekerjannya. BUMDes juga perlu didorong untuk menciptakan berbagai pelauang
khususnya pada usaha pada bidang ekonomi kreatif yang mendorong kreatifitas dalam mengelola
bisnisnya. Hal ini menjelaskan prespektif institusional yang melihat kekuatan suatu insitusi yang
didukung dengan norma yang tetapkan sebagai kebijakan dalam pemahaman modal sosial dan
pembangunan ekonomi.
Dengan menguatkan potensi ekonomi kreatif desa, menurut Marwan, kelompok
perempuan tak lagi hanya menjadi objek pembangunan desa. "Tetapi juga sebagai subjek.
Karena itu, perempuan harus ikut dalam proses musyawarah rencana pembangunan desa
(Musrenbang Desa), agar bener-bener bisa mengapresiasi suara perempuan," tandasnya. 5

Peran serta partisipasi perempuan dalam pembangunan desa mesti
didukung. Perempuan saat ini yang menjadi objek poembangunan juga harus
berperan aktif sebagai subjek pembangunan, partisipasi perempuan dalam
pembangunan desa dirasa masih perlu ditingkatkan khususnya dalam
mengambil berbagai kebijakan strategis dalam pembangunan desa. Masih
minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan di desa dalam
berbagai perumusan kebijakan tergambar jelas dalam beberapa hasil
peneliti yang dicuplik.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Milad, 2016) “Tingginya tingkat
pendidikan masyarakat ternyata tidak serta merta meningkatkan partisipasi
dalam program pembangunan infrastruktur jalan karena masyarakat
berpendidikan tinggi yang bekerja di sektor formal memiliki keterbatasan
waktu untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan infrastruktur
jalan. Padahal masyarakat yang berpendidikan tinggi potensial berkontribusi
untuk memberi masukan dan pendapat dalam menyukseskan program
pembangunan infrastruktur jalan tersebut, serta mampu menilai dan
memberikan saran yang membangun untuk program-program pembangunan
desa lainnya. Kesimpulan pada penelitiannya mempertegas bahwa
Pemerintah desa perlu menyediakan wadah aspirasi masyarakat untuk
menampung masukan-masukan masyarakat terkait pembangunan desa
sehingga masyarakat yang belum memiliki kesempatan untuk berpartisipasi
4

https://bisnis.tempo.co/read/news/2016/09/26/090807369/menteri-desa-dorongpercepatan-pembentukan-bumdes
5
http://www.republika.co.id/amp_version/nnepi2

9

secara langsung, dapat memberikan masukan atau saran yang membangun
untuk program-program pembangunan desa berikutnya.”
Hasil penelitian yang menjelasakan pembangunan desa yang
pembiayaannya berasal dari dana desa guna mendukung peningkat
perekonomian desa kurang didukung dengan partisipasi masyarakat,
khususnya masarakat yang berpendidikan tinggi. Pembangunan infrastruktur
tampaknya menjadi tidak menarik sehingga peran aktif masyarakat menjadi
masih sangat perlu ditingkatkan oleh pemerintah desa. Diperlukan kreatiftas
pemerintah desa dalam mendorong peningkatan partisipasi masayarakat di
desa. Kasus ini terjadi pada desa yang tidak jauh dari hirukpiku kota besar
seperti kota bogor dan depok. Hal ini, menegaskah lemahnya modal sosial
guna mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa, seperti
yang digambarkan prespekti jaringan dalam modal sosial dan pembangunan
ekonomi yang melihat kelas pada tingkat pendidikan di desa dalam
menciptakan kesejahteraan melalui Perencanaan kebiajakan pembangunan..
Selain itu partisipasi masyarkat pada pembangunan desa yang dibiayai
dari dana desa disampaikan juga oleh (Saputra, 2009, pp. 73–74) yang hasil
penelitiannya memberikan kesimpulan menunjukkan “bahwa partisipasi
masyarakat dalampembangunan kampung melalui penggunaan dana desa
secara keseluruhan masih pada tingkatan non-partisipasi. Masyarakat yang
tergolong masyarakat kurang mampu berada pada kriteria manipulasi,
sedangkan masyarakat yang tergolong golongan masyarakat mampu
sebagian besar berada pada kriteria terapi. Rendahnya patisipasi
masyarakat ini dipengaruhi karena kurangnya kesempatan yang dimiliki
sebagian masyarakat untuk turut serta dan ditambah dengan kemampuan
dan kemauan masyarakat yang masih belum mampu untuk mencapai tahap
yang lebih tinggi. Selanjunya saran dari penelitian ini Bagi pemerintah desa,
berdasarkan temuan di lapangan, partisipasi yang terjadi belum melibatkan
masyarakat secara keseluruhan, sehingga makna pembangunan belum
menjadikan masyarakat sebagai subjek dari pembangunan tersebut. Karena
tidak terjadi pendelegasian kekuasaan membuat partisipasi masyarakat
hanya dalam bentuk formalitas karena adanya struktur organisasi. Interaksi
yang intens dengan masyarakat dan ketransparanan segala sesuatu yang
berhubungan dengan anggaran dana desa terbukti sangat berpengaruh
dengan rasa ingin berpartisipasi masyarakat dalam pembangunan. Agar
pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
yang sebenarnya, perlu diadakan musyawarah dengan setiap kalangan
masyarakat sehingga didapat usulan yang menjadi prioritas bagi
masyarakat”.
Perbedaan kelas yang menjadi pembagi dalam melihat partisipasi
masyarakat dalam pembangunan desa yang dibiayai dana desa makin
melihat dan Nampak jelas. Ditambah partisipasi belum secara massif untuk
menjawab berbagai tantangan pembangunan secara inklusif, sehingga
partisipasi yang didapat hanya sebatas formalitas saja yang hanya
memenuhi persyaratan tanpa menggali kebutuhan yang sesungguhnya
10

dalam pembangunan desa. Hal ini menjelaskan dua prespektif dalam modal
sosial antara lain, perspektif komunitarian dan prespektif jaringan.
MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN DESA DI INDONESIA YANG
TERKALRIFIKASI
Empat presepektif modal sosial dan pembangunan ekonomi terhadap pembangunan di
Indonesia memilik nilai keragama yang berbeda pada setiap perspektif (View) dari ulasan diatas
dapat disarikan sebagai berikut:
 Perspektif Komunitarian, pada persepektif ini, modal sosial yang tercipta pada
dideskripsikan memiliki nilai yang “sedikit agak kuat”, mengingat dukungan kelompok
masyarakat dalam berpartisipasi dalam mendukung pembangunan masih rendah.
 Perspektif Jaringan, pada perspektif ini, model sosial yang tercipta dapat dideskrisikan
memiliki nilai yang kuat, perbedaan kelas dalam masyarakat masih tergambarkan dari
beberapa hasil penelitian yang didiskusikan diatas.
 Persepektif Institusional, dapat disampaikan modal sosial pada prespektif ini
dideskripsikan memiliki nilai yang kuat, dimana seluruh pengelolaan pembangunan desa
terlebih dahulu dirumuskan melalui mekanisme yang tetapkan dalam sebuah kebiajakan
yang datang dari pemerintah pusat, sehingga hubungan antar institusi baik pemerintah
desa, kelompok, dan masyarakat dirumuskan dalam kerangka kebijakan desa terlebih
dahulu.
 Perspektif Sinergi, pembangunan desa di indonesia pada perspektif ini tergambar begitu
kuat, melalui pemahaman pada konstruksi menggabungkan fungsi self-governing
community dengan local self government, juga pada Pratik dilapangan pemerintah desa
yang diberi kewewnangan untuk melakukan kerjasama desa.
KLARIFIKASI INDEKS DESA MEMBANGUN TERHADAP MODAL SOSIAL PADA
PEMBANGUNGAN DESA
Menarik memperhatikan Indeks Desa Membangun (IDM) terdapat variabel modal sosial
pada indeks ketahanan sosial (IKS) dengan memiliki empat sub variabel yang terdiri dari: 1)
Memiliki solidaritas sosial; 2) Toleransi; 3) Rasa aman penduduk; dan 4) Kesejahteraan sosial
dengan menhitung berbagai data nominal yang ada di desa saat ini sehingga menghasilkan
capiain indek sebesar 0.593 untuk tingkat nasional. Dimana capian tersebut berada posisi tengahtengah dari interval yang disusun ganjil yang bisa disebut modal sosial berada pada posisi
berkembang. Data tersebut tersaji dalam grafik Bar dibawah ini.
PERBANDINGAN IDM DAERAH PERBATASAN DAN NASIONAL

11

`Sumber: Indeks Desa Membangun 2015
PENUTUP
Pembangunan Desa di Indonesia yang dibiayai oleh dana desa dodorong pada arah pembnetukam
modal sosial dengan model Bridging, pemerintah desa dengan dukungan pembiayaan yang ada
didorong untuk menyusun berbagai proyek pembangunan secara bersama-sama dengan
masyarakat. Hal tersebut menghadirkan terciptanya rasa kebersamaan, kebebasan dan nilai-nilai
kemajemukan dan juga humanitarian yang menjadi prinsip-prinsip universal.
Kebijakan pemerintah pusat dalam pengelolaan pembangunan desa secara tidak langsung
memberikan dampak pada pembantukan berbagai modal sosial di dalam masyarakat desa.
Sehingga mengerucut pada satu model modal sosial yang teridentifikasi pada uraian diatas. Saat
ini, masyarakat didorong untuk merubah cara pandanga dan pola pikir dalam menterjemahkan
pembangunan di desa saat ini.
Memperhatikan modal sosial yang sampaikan diatas dengan diposisikan pada pada IDM yang
berada di posisi tengah-tengah, menegaskan bahwa modal sosial dengan aspek dan dimensinya
di Indonesia perlu didorong kembali sebagai salah satu strategi percepatan pembangunan desa
dalam mewujudkan kesejahtaraan masyarakat di tingkat desa. Modal sosial dan aspeknya
tersebut menjadi landasan sosiologis dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan pembangunan desa

12

Daftar Pustaka
Anwar Sanusi, S. H. (2015). Indeks desa membangun. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertiggal dan Transmigrasi.
Coleman, J.S. (1988). Sosial capital in the creation of human capital. American Journal of
Sociology, 94:95-120.
Fukuyama, F 1995. Sosial Capital and The Global Economy. Foreign Affairs, 74(5), 89-103. In
Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Sosial Capital. Massachusetts: Edward
Elgar Publishing Limited.
Fukuyama, F 2000. Sosial Capital and Civil Society. International Monetary Fund Working
Paper, WP/00/74, 1-8. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Sosial
Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta:
MR-United Press.
Ismail S. 1999. Sosial Capital A Multifaceted Perspective. Washington DC: World Bank.
James S. Coleman, 1999, Foundations of Sosial Theory, Cambridge Mass: Harvard University
Press
Kessa, W., Jafar, M., Huda, S., Eko, S., Wikantosa, B., Sanusi, A., … Yakub, I. M. (2015).
Perencanaan pembangunan desa. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
13

Dan Transmigrasi Republik Indonesia.
Milad, F. A. Gaya Kepemimpinan Kepala Desa Dan tingka Partisipasi Masyarakat Dalam
Pembangunan Infrastrukrut Jalan (Desa Waringin Jaya, Kecamatan Bojong Gede
Kabupaten Bogor) (2016).
Putnam, RD (1993), “The Prosperous Community: Sosial Capital and Public Life, dalam The
American Prospect, Vol.13, halaman 35-42.
Portes, Alejandro, ed. 1995. The Economic Sociology ofImmigration: Essays on Networks,
Ethnicity, and Entrepreneurship. New York: Russell Sage Foundation.
Saputra, Y. E. (2009). Tingkat Partisipasi masyarakat Dalam pembangunan Desa (Kasus Dana
Desa di Kampung Sungai Rawa, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Riau (Vol. 5).
Singal, R. L. (2014). Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa (Studi di Desa
Ponompiaan Kecamatan Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow).
Sekertaris Jenderal DPR-RI dana desa: alokasi dan potensi inefektivitasnya, jakarta
Woolcock, M., & Narayan, D. (2000). Sosial Capital: Implications for Development Theory.
World Bank Research Observer, Oxford Journals Economics & Sosial Sciences, 15(2P),
225–249.
Peraturan Perundang-Undangan
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran
Belanja Pendapatan Negara
3. Peraturan Pemerintah 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2014 Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Belanja Pendapatan
Negara
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Pembangunan Desa
5. Peraturan Menteri Desa, PDT, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2015 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2016

14