KRITIK SOSIAL DALAM SEJUMLAH PUISI SINGA

KRITIK SOSIAL
DALAM SEJUMLAH PUISI SINGAPURA DAN INDONESIA
Ibnu Wahyudi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Ancangan Komparatif
Dari segi kuantitas atau populasi, pembandingan antara karya sastra yang terbit di
Singapura dalam Bahasa Melayu dengan sastra di Indonesia (berbahasa Indonesia; bukan
yang berbahasa daerah) pasti akan terasa timpang atau tidak seimbang. Jumlah penduduk
Singapura yang hanya sekira 5,31 juta orang1 jelas jauh di bawah penduduk Indonesia yang
pada tahun 2012 ini kemungkinan berjumlah lebih dari 235 juta. 2 Dengan kenyataan itu, juga
sangat tidak mungkin bahwa jumlah terbitan karya sastra di Singapura, seberapa pun
tingginya, akan mampu menyaingi terbitan buku di Indonesia pada umumnya, dan karya satra
khususnya, meskipun buku yang terbit di Indonesia setiap tahunnya juga masih tergolong
rendah.3
Permasalahan yang hendak dikemukakan dalam tulisan ini bukan pada sepadantidaknya buku atau karya yang terbit pada setiap tahunnya melainkan pada kenyataan dalam
karya sastra itu sendiri—khususnya puisi—yang memperlihatkan adanya dimensi yang tidak
jauh berbeda atau yang serupa. Memang, selain karena jumlah penduduk Singapura yang
hanya sekira seperempatpuluh penduduk Indonesia, jumlah karya sastra yang terbit pun dapat
dikatakan sangat sedikit, khususnya yang berbahasa Melayu. Tidak sebagaimana kehidupan
sastra di Indonesia, yang disebut dengan “Sastra Singapura” itu mewujud menjadi empat

entitas, yaitu yang berbahasa Inggris, China, Tamil, dan Melayu, sementara sastra yang
berbahasa Melayu ini jumlah terbitannya dapat dikatakan sebagai paling sedikit.

4

Di lain

pihak, produksi karya sastra berbahasa Melayu di Singapura dekade belakangan ini juga
1

Jumlah ini diperoleh dari http://internasional.kompas.com/read/2012/09/28/17040660/Jumlah.
Penduduk Singapura.Naik; diunduh 20 November 2012. Lihat juga http://www.singstat.gov.sg/stats/ latestdata.
html; diunduh 1 September 2012.
2
Data resmi penduduk Indonesia tahun 2012 belum disiarkan. Yang selama ini dipakai sebagai acuan
adalah sensus tahun 2010 yang menyatakan bahwa penduduk Indonesia berjumlah 237.424.363. Lihat
http://worldpopulationreview.com/population-of-indonesia-2012/; diunduh 15 November 2012.
3
http://www.solopos.com/2012/10/30/jumlah-terbitan-buku-di-indonesia-minim-343152; diunduh 21
November 2012.

4
Lihat “Modern Literature of Singapore,” Modern Literature of Asean, Jakarta: Asean Committee on
Culture and Information, 2000, h. 120-135.

1

belum mampu menyaingi terbitan tahun 1970-an yang banyak disebut sebagai puncaknya
terbitan di sana.5
Kendati demikian, tidak berarti bahwa sedikitnya terbitan karya sastra dari sesuatu
negara serta merta tidak perlu diberi perhatian. Kenyataan yang ada sejauh ini di Indonesia
memang menampakkan gambaran seperti itu, terbukti dengan hampir tidak adanya perhatian
terhadap khazanah Sastra Singapura yang berbahasa Melayu seperti halnya terjadi juga untuk
Sastra Brunei Darussalam. Telah menjadi pandangan umum kiranya bahwa Sastra Singapura
adalah kekayaan yang kurang terlalu penting untuk diperhatikan, bersebab oleh populasinya
yang sedikit itu dan barangkali juga oleh kurang signifikansinya bagi wawasan kesastraan
yang regional sifatnya. Beruntung bahwa sejak tahun 2011 saya menjadi dosen atau
pensyarah-terbang di SIM (Singapore Institute of Management) University di Singapura
dalam mata kuliah Modern Indonesian Literature dan Comparative Malay-Indonesian
Literature yang memungkinkan saya sedikit demi sedikit mulai membaca dan mengoleksi
karya-karya sastra yang ditulis oleh kawan-kawan pesastra di Singapura. Tulisan ini adalah

bagian dari kehendak untuk melaporkan atau sedikit banyak menelisik situasi kesastraan di
negara yang sering pula disebut Temasek itu, khususnya pada topik yang berhubungan
dengan “kritik sosial” yang mengemuka.
Kritik Sosial dalam Sejumlah Puisi Singapura dan Indonesia:
Sebuah Perbandingan Sederhana
“Poetry,” menurut Nnamdi Anumihe, “has proved most effective as an instrument of
social criticism.6 Di Indonesia, apa yang dikatakan oleh Anumihe ini telah terbukti semenjak
lama, khususnya ketika puisi dimanfaatkan untuk menyuarakan semacam ketidakpuasan atas
suatu kebijakan pemerintah atau untuk melancarkan protes kepada penguasa yang ditengarai
telah berlaku kurang bijaksana, menindas rakyat, dan semacamnya. Sajak-sajak Wiji Thukul
yang begitu populer beberapa tahun lalu, misalnya, khususnya dari kumpulan sajak Aku Ingin
Menjadi Peluru7 yang dalam salah satu puisinya ada bait berbunyi //Apabila usul ditolak
tanpa ditimbang/ Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/ Dituduh subversif dan
mengganggu keamanan/ Maka hanya ada satu kata: lawan!” menunjukkan adanya potensi
provokatif yang lebih kental pada diksi dari puisi dibandingkan genre lain. Puisi Wiji Thukul,
5
Mohamad Pitchay Gani bin Mohamed Abdul Aziz, Leksikon: Direktori Penulis Melayu Singapura
Pasca 1965, Singapura: NLB dan Asas 50, 2005, h. 43.
6
Lihat Nnamdi Anumihe dalam http://www.thenewblackmagazine.com/view.aspx?index=2739;

diunduh 21 November 2012.
7
Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru, Magelang: IndonesiaTera, 2000.

2

dalam kaitan ini, dapat dikatakan sebagai puisi yang amat digemari oleh para demonstran di
Indonesia, khususnya pada awal tahun 2000-an. Akibatnya, bukan hanya sajaknya yang dicari
penguasa agar tidak dibacakan atau dilisankan lagi, Wiji Thukul sendiri pun mengalami nasib
yang memprihatinkan sebab hingga kini ia masih raib dan tidak jelas nasibnya.
Sementara itu, dalam tulisannya yang berjudul “Mata Penyair, 1960-2002” Sapardi
Djoko Damono mencatat bahwa sajak sudah cukup lama dipakai sebagai semacam kendaraan
untuk menyampaikan atau mengemukakan perlawanan atas berbagai hal. Dalam salah sebuah
tilikannya, sekadar contoh, Sapardi menyatakan bahwa “setidaknya empat di antara enam
kumpulan sajak yang diterbitkan tahun 1995 oleh Forum Sastra Bandung berurusan dengan
masalah ketimpangan sosial.8 Pernyataan ini menggarisbawahi akan potensi dan peran puisi
sebagai wadah atau sarana menyalurkan rasa kesal, marah, dan semacamnya.
Untuk situasi di Indonesia, demonstrasi—istimewanya setelah jatuhnya rezim Orde
Baru atau sekitar dan setelah tahun 1998—adalah hal yang dapat dikatakan lumrah. Seiring
dengan pernyataan bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis yang menjamin

warganya untuk berserikat dan menyuarakan pendapat, maka puisi cukup sering dipakai
untuk menyemarakkan unjuk rasa. Bentuk sastra yang lain, seperti novel dan drama, tentu
merepotkan dan belum tentu mengenai sasaran. Cerpen memang mungkin, tapi untuk suatu
demonstrasi politik, kiranya juga kurang tepat.
Hal berbeda harus dihadapi oleh warga Singapura sebab mereka tidak diizinkan untuk
melakukan demostrasi di luar tempat yang telah ditentukan. Untuk menggelar demonstrasi,
warga Singapura harus memperoleh izin dari kepolisian dan tempatnya pun telah ditentukan
yaitu di sebuah taman yang dikenal sebagai Speaker’s Corner. Itu sebabnya, banyak
ungkapan yang mengatakan bahwa mungkin hanya di Singapura yang warganya tidak pernah
sekalipun melakukan demonstrasi secara terbuka sebagaimana di negara lain. 9 Kenyataan
seperti ini agaknya turut pula menyumbang akan sedikitnya karya puisi yang berisi semacam
protes sosial itu. Jika pun ada, bentuk protesnya agak terselubung dan cenderung kurang
langsung atau tidak secara tegas menyerang penguasa atau suatu kebijakan yang diterapkan.
Realitas ini bukan berarti bermakna bahwa warga Singapura nyaman dengan kondisi tersebut
sebab dari percakapan dengan sejumlah mahasiswa dan pengemudi taksi di sana yang
beberapa kali saya lakukan, terungkap bahwa sesungguhnya ada semacam api dalam sekam.
8

Lihat Agus Dermawan T., Antologi Seni 2003: Panorama dan Isu Dominan Seni Indonesia 19602003, Jakarta: Yayasan Seni Cherry Red, 2003, h. 198.
9

Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Public_demonstrations_in_Singapore; diunduh 20 Agustus 2012,
dan tengok pula http://singaporemind.blogspot. com/2007/10/why-peaceful-protests-are-not-allowed.html; yang
diunduh 20 Agustus 2012.

3

Jika pun kemudian ada sebentuk kritik atau protes dalam puisi, umumnya lebih
berkaitan dengan permasalahan yang horizontal sifatnya atau di antara mereka sendiri yang
bertumpu pada permasalahan nilai dan adat dalam kehidupan yang lazimnya berkaitan
dengan permasalahan perbedaan generasi. Sajak yang agak panjang karya Abdul Ghani
Hamid (Kg Siglap, Singapura, 13 April 1933) berikut ini, misalnya, merupakan contoh
bentuk “kritik” atas suatu moralitas yang agaknya tengah mengada.
CALITAN HITAM YANG MEMANJANG10
Apabila ditegur seketika
disambut menyangkal lantang
dengan liar mengejek nada tua
“Berikan kami petua”, katanya.
Menentang mencakar,
“Bagaimana kami akan maju dan menjadi baru
kalau itu, ini dan segalanya

ditegah, disekat dan menghalang tujuan?”
Jadilah dulu
gadis melayu mengucupi teruna
ditontoni khalayak jalanan
menggores peradaban
yang dibangga dan dipujanya
Dan itulah didedahkan yang amat realiti
tidak membohongi sesiapa
walaupun keberanian yang menghitamkan
Kemudian ketika mengenal avant-garde
mereka meluru memburu
ikut-ikutan dan menjadi terdulu
dengan slogan ketelusan segala
serta realiti kembalikan ‘yang benar’
di pentas bukan drama lakonan
tapi kenyataan, kata mereka
serta menyelakkan yang tertutup.
Segala kelucahan terdedah, terbuka
satu amalan yang berani, kata mereka,
ini bukan bohong, tegas mereka,

yang baru berlatih di pentas seni.
Satu pembaharuan meskipun tiruan
kemurnian tradisi bukan lagi penggaris batasan
dan atas nama kebebasan yang terkini
lahirlah amalan memamah nilai seni murni.
Kelucahan bagai satu keberanian
10

Abdul Ghani Hamid, Aku Bukan Penyair, Singapura: Angkatan Sasterawan ’50, 2008, h. 21-22.

4

seniman yang berani sudah menulis lucah
dan melukis segala apa
dan menari apa saja
irama dan warna bukan faktor utama, kata mereka,
lebih radikal dan lebih revolusioner
katanya, kita adalah seniman Melayu Baru
tidak perlukan sebarang kriteria yang menyekat.
Mereka sudah jadi baru

mengubah segala kemurnian budaya
telah mendaki ke kemuncak
di atas peradaban yang dipijak-pijak
30 Oktober 2003
Dari sajak ini, terasa sekali adanya permasalahan yang muncul antara “aku lirik” yang
tersembunyi dengan “mereka” yang sangat mungkin adalah generasi baru—dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam dunia kesenian—seperti ditegaskan pada bait terakhir: //Mereka
sudah jadi baru/ mengubah segala kemurnian budaya/ telah mendaki kemuncak/ di atas
peradaban yang dipijak-pijak//. Ada nada geram dalam sajak di atas yang seperti menegaskan
bahwa ada kesalahpahaman atau ketidanberterimaan akan aturan atau adat yang selama ini
sangat mungkin telah dipelihara dengan baik, namun kemudian ditentang oleh mereka yang
berbeda generasi itu dengan suatu alasan: //“Bagaimana kami akan maju dan menjadi baru/
kalau itu, ini dan segalanya/ ditegah, disekat dan menghalang tujuan?”//
Bukan hanya merasa tidak nyaman dengan nilai-nilai yang selama ini ada atau yang
sudah menjadi penjaga budaya turun-temurun, “mereka” itu agaknya juga telah dituduh
berlaku kurang ajar dan jauh dari moralitas yang luhur dengan cara ucap atau cara
berkesenian yang cenderung “lucah” atau cabul atau tidak pantas. Cuplikan berikut
menyatakan hal ini: /Kelucahan bagai satu keberanian/ seniman yang berani sudah menulis
lucah/ dan melukis apa saja/ dan menari apa saja/ ... /katanya, kita adalah seniman Melayu
baru/ tidak perlukan sebarang kriteria yang menyekat//.

Masih dari penyair yang sama, Abdul Ghani Hamid, yang pernah menerima SEA
Write Award pada tahun 1998, dapat kita baca semacam lanjutan kegemasannya terhadap
para seniman generasi baru ini. Dalam salah sebuah sajaknya, berjudul “Cerita Biasa”, dapat
dibaca bait-bait sebagai berikut, yang mengisyaratkan adanya sikap “mereka” yang tidak lagi
mau mendengar petuah atau contoh baik dari generasi sebelumnya.
...
“Akulah penulis yang punya gelaran”
5

menjadi ayat pertama dan penutup warkah
nama sendiri kerap terpapar di dada akhbar,
katanya tegas, janji pasti tepat
terselit desakan mewarna honorarium pasti cepat
jangan ditangguh-tangguh pada karya termuat
dan pasti dihargai setiap sayembara
kerana “aku sudah punya gelaran”.
“Kita sudah maju,” kata mereka
“kita sudah jauh dari mereka!”
Kata mereka biasa
Mereka selalu enggan ditegur sejak dulu.11

Inti dari permasalahan yang banyak dikemukakan oleh Abdul Ghani Hamid ini, jika
ditelusur dengan seksama, adalah pada perbenturan nilai antara generasi (seniman) yang
berbeda zaman maupun pengalaman. Cuplikan sajak “Memahami Nilai” berikut ini mudahmudahan dapat memberikan cukup penjelasan: //Kita mencari nilai seni/ kita lupa nilai budi/
dan kita tidak temui nilai diri/ Namun terlalu bangga pencapaian sejenak/ perjalanan terlalu
singkat/ makna nilai belum sebati dengan budaya//.
Sementara itu, Mohamed Latiff Mohamed (Geylang, Singapura, 20 Maret 1950) yang
juga pernah menerima SEA Write Award pada tahun 2002, lebih mengungkapkan kritiknya
pada permasalahan kehidupan yang menurutnya sudah jauh dari peradaban Melayu yang
seharusnya tetap dijunjung dan dipelihara. Pengaruh luar dan perkembangan atau kemajuan
teknologi, dianggapnya telah merusak nilai-nilai yang selama ini telah menjadi arus utama
dalam keseharian mereka. Adanya kecenderungan anak muda yang “menentang” kodrat
dengan menerakan tato di tubuhnya, misalnya, ia anggap sebagai semacam pencemar dari
sebuah jati diri dan karena itu sangat mengecewakannya. Dalam sajaknya yang berjudul
“Tatu”, ia menengarai bahwa apabila seseorang sudah berani “merusak” ciptaan-Nya, sangat
mungkin nantinya ia pun akan mengharapkan Tuhan untuk menghalalkan apa saja. Kita baca
sajak “Tatu” di bawah ini.
TATU
Potretmu songsang dan sumbang
dengan tatu di pusatmu
leher dan dadamu
kaumahu menafsirkan
nafas dunia
dengan ciuman di buah dada
di perut tangga
11

Ibid., h. 51.

6

di pantai bercuka
kauminta Tuhan halalkan
semua perzinahan
yang kaulakukan
atas nama kebebasan
potretmu penuh darah
sosokmu penuh nanah
malam-malam di kota menjadi resah
masjid dan kubah menjadi basah
raung bangsamu menjadi sepi
dalam awan gelap berkaca airmata bangsa
ribuan tahun dalam kecewa.12
Ungkapan yang sangat tajam dari sajak di atas adalah pada larik yang berbunyi
/kauminta Tuhan halalkan/ semua perzinahan/ yang kaulakukan/ atas nama kebebasan/ yang
seolah dikemukakan dengan nada geram sebab seolah-olah “kamu lirik” tidak lagi
menganggap penting akan keberadaa dan keesaan Sang Pencipta. Nada geram bercampur
kesal memang kuat mengalir dalam sajak-sajaknya. Sebagai penyair, pemenang Singapore
Literature Prize tahun 2004 dan 2006 ini bahkan seolah sampai pada titik frustrasinya dengan
ketidakpahamannya akan topik atau permasalah apa lagi yang harus ia tulis. Memang ada
nada kecewa di sana namun jika disimak dengan lebih baik dan seksama, akan terasa betul
mengalirnya nuansa ironi dalam sajak yang repetitif pada larik pertamanya ini. Silakan simak
sajaknya di bawah ini.
APA YANG HARUS KUTULIS LAGI
Apa yang harus kutulis lagi
tentang wangi mawar
harum cempaka
atau lendir pelacur di hujung pagi
apa yang harus kutulis lagi
tentang kekayaan negeri
rakyat setia yang selalu dibohongi
atau tentang pelacur kelas pertama
meladeni lelaki
yang telah tujuh kali naik haji.
Apa yang harus kutulis lagi
tentang malam kota
generasi bertatoo
atau dahaga seks seorang guru agama
12
Mohamed Latiff Mohamed, Bila Rama-Rama Patah Sayapnya: Puisi Pilihan 2002-2006, Singapura:
Angkatan Sasterawan ’50, 2007, h. 32.

7

yang merogol anak sendiri
setelah diatur dan direlakan oleh isteri sendiri
Apa yang harus kutuliskan lagi
jika semuanya telah terlalu terang
langit makin merah
bumi makin pasrah
dan para ulama bungkam dalam setia
Apa yang harus kutulis lagi
tentang mimpi
cinta yang abadi
jika segalanya telah membusuk
menanahkan peribadi
Apa yang harus kutuliskan lagi?13
Sebagaimana telah dikemukakan, bentuk protes dalam sajak-sajak dari Singapura,
yang dalam makalah ini hanya diwakili oleh karya dari dua penyair ini, cenderung pada
kritikan kepada generasi masa kini—baik yang terjun dalam dunia kesenian maupun dalam
kehidupan awam—yang sangat boleh jadi sekaitan dengan hukum atau ketatnya sensor di
Singapura. Sangat mungkin ada sejumlah karya yang “berani” mengritik penguasa atau
kebijakan pemerintah, namun sayang sekali hingga saat ini saya belum memperolehnya.
Kenyataan ini berbeda dengan beberapa sajak Indonesia yang sedari dulu memang banyak
yang tidak hanya berkutat atau mengangkat permasalahan antarmanusia, melainkan sudah
masuk ke dalam wilayah kritik terhadap pemerintah. Rendra, misalnya, dengan sajak-sajak
pamflet yang ia buat pada yahun 1970-an, jelas sekali membidik pemerintah dan
kebijakannya sebagai sasaran. Mengenai sengkarutnya perekonomian, kesenian, dunia
pendidikan, dan segala segi kehidupan, sebagai contoh saja, pernah dikemukakan Rendra,
paling tidak seperti dalam “Sajak Sebatang Lisong” di bawah ini.
Menghirup sebatang lisong,
Melihat Indonesia Raya,
Mendengar 130 juta rakyat,
Dan di langit
Dua tiga cukong mengangkang,
Berak diatas mereka
Delapan juta kanak-kanak
Menghadapi satu jalan panjang,
Tanpa pilihan,
Tanpa pohonan
13

Ibid., h. 33.

8

Tanpa dangau persinggahan,
Tanpa ada bayangan ujungnya
Menghisap udara
Yang disemprot deodorant,
Aku melihat sarjana-sarjana menganggur
Berpeluh di jalan raya;
Aku melihat wanita bunting
Antri uang pensiun
Dan di langit
Para teknokrat berkata:
Bahwa bangsa kita adalah malas
Bahwa bangsa mesti dibangun
Mesti di up-grade,
Disesuaikan dengan teknologi yang diimport.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
Berkunang-kunang pandang matanya,
Di bawah iklan berlampu neon.
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
Menjadai gembalau suara kacau,
Menjadi karang di bawah muka samudra.
Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode
Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
Keluar ke desa-desa,
Mencatat sendiri semua gejala,
Dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamflet masa darurat,
Apakah arti kesenian,
Bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
Bila terpisah dari masalah kehidupan.
Utamanya terhadap dunia pendidikan, Rendra pernah mengkritik dengan tajam akan
kebijakan atau arah pendidikan di Indonesia. Dalam karyanya yang berjudul “Sajak
Seonggok Jagung” yang pernah dibacakan di TIM pada tanggal 12 Juli 1975, ia menyatakan
bahwa /Seonggok jagung di kamar/ tidak menyangkut pada akal/ tidak akan menolongnya. /
Seonggok jagung di kamar/ tak akan menolong seorang pemuda/ yang pandangan hidupnya
berasal dari buku/ dan tidak dari kehidupan/ Yang tidak terlatih dalam metode/ dan hanya
penuh hafalan kesimpulan/ Yang hanya terlatih sebagai pemakai/ tetapi kurang latihan bebas
berkarya// Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan/ Aku bertanya:/ Apakah gunanya
kehidupan/ bila hanya akan membuat seorang menjadi asing/ di tengah kenyataan
9

persoalannya?/ Apakah gunanya pendidikan/ bila hanya mendorong seseorang/ menjadi
layang-layang di ibukota/ kikuk pulang ke rumahnya?/ Apakah gunanya seseorang/ belajar
filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,/ atau apa saja,/ bila pada akhirnya,/ ketika ia
pulang ke daerahnya, lalu berkata:/ “Di sini aku merasa asing dan sepi!”
Bukan hanya Rendra atau Wiji Thukul, di Indonesia, yang lantang menyuarakan kritik
atau protes sosialnya. Sangat banyak pemuisi Indonesia yang tertarik untuk mengemukakan
pendapatnya mengenai karut-marutnya kehidupan atau kacaunya pemerintahan, bukan hanya
di era ketika kebebasan berpendapat begitu leluasa seperti sekarang, namun juga ketika
Indonesia masih di bawah penjajahan atau di bawah rezim yang otoriter. Sudah barang tentu,
nada untuk menyampaikan pendapatnya itu ada yang dengan cara “mengepalkan tangan”,
dikemas dengan kejenakaan, atau mengalir tenang sebagai kisah biasa.
F. Rahardi, misalnya, sajak-sajaknya jelas sekali hendak menyampaikan kegerahan
batin atau kekesalan jiwanya dengan cara becanda atau dengan cara menertawakan keadaan
kendati yang ditulisnya itu penuh dengan nada miris dan memprihatinkan kita semua. Buku
sajaknya yang berjudul Soempah WTS atau Catatan Harian Sang Koruptor, sebagai contoh
saja, yang pernah mengalami pelarangan ketika akan dibacakan di Taman Ismail Marzuki,
Jakarta, dengan kuat menunjukkan kecenderungan F. Rahardi dalam mengemas kritik secara
menggelitik. Para pembaca tidak diajak hanyut atau serta merta terbawa emosinya untuk
kemudian turun ke jalan atau melakukan sweeping di mana-mana, namun hanya diajak untuk
berkaca akan realita yang meruyak di sekitar, yang barangkali saja sudah menjadi semacam
hal yang dianggap wajar. Di bawah ini adalah sajak yang menjadi judul kumpulannya itu,
“Soempah WTS”, yang sempat menimbulkan sejumlah kontroversi dalam wilayah apresiasi
maupun praksis dalam kehidupan.
satu,
kami bangsa tempe
bersorga satu
sorga dunia.
dua,
kami bangsa tahu
bergincu batu
berbantal pantat.
tiga,
kami bangsa tokek
bertarget satu
menggaet tuhan jadi langganan.
10

Di wilayah lain, seorang Sapardi Djoko Damono yang biasa menghanyutkan
pembacanya dengan sajak-sajak imajis atau sajak suasana, tidak tahan pula untuk tidak
mengemukakan pendapatnya yang kritis melalui sajak. Akan tetapi, gaya atau cara ucap yang
dipilih tentu bukan dengan cara “mengepalkan tangan” sebagaimana gaya Rendra, namun
tetap dengan kekhasan sajaknya yang mengalir tenang. Cuplikan dari sajaknya yang berjudul
“Dongeng Marsinah” dikemukakan di bawah ini.
/3/
Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lengkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.
Dalam perhelatan itu,
Kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.
Detik pun tergeletak,
Marsinah pun abadi.14
Marsinah adalah aktivis buruh yang mengalami nasib sangat mengenaskan karena
menjadi korban kebiadaban aparat yang berkuasa pada waktu itu. Bukan hanya Sapardi
Djoko Damono yang tertarik mengangkat peristiwa Marsinah ini; Ratna Sarumpaet 15 pun
pernah mengangkatnya ke atas pentas, dan mungkin masih ada lagi seniman lain yang
mengolahnya menjadi suatu karya seni. Sebuah film mengenai Marsinah juga pernah dibuat
oleh Slamet Rahardjo pada tahun 2000 meski banyak memperoleh kritik.

14
15

Sapardi Djoko Damono, Arloji, Jakarta: Yayasan Puisi, 1998, h. 2.
Ratna Sarumpaet, Marsinah Menggugat. Jakarta: Satu Merah Panggung, 1997.

11

Terlepas dari kasus atau permasalahan yang pernah terjadi, seperti pada tragedi
Marsinah yang telah begitu banyak menimbulkan simpati atau perhatian, tidak sedikit
pesastra Indonesia yang melihat permasalahan Indonesia secara makro. Indonesia bukan
ditelisik dari hal-hal atau permasalahan konkretnya, semisal kasus Marsinah ini, atau kasus
serupa lainnya, namun dikonklusi dari keseluruhannya, sebagaimana juga sudah
dikemukakan oleh Rendra. Seorang mantan juru bicara Gus Dur semasa menjadi presiden,
yang juga berasal dari keluarga sastrawan, Adhie Massardi, membuat sebuah sajak dengan
judul yang lumayan galak, “Puisi Negeri Para Bedebah”, seperti terbaca di bawah ini.
Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah
Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan
Gambaran protes atau kritik sosial dalam karya sastra di Indonesia tentu saja
berbagai-bagai wujudnya; ada yang menyangkut ranah sangat luas, ada pula yang hanya
berkenaan dengan permasalahan domestik atau pendidikan dalam keluarga. Seorang penyair
Indonesia lainnya, Husni Djamaluddin, pernah mengangkat permasalahan yang “kecil”, yaitu

12

hubungan antara orangtua dengan anaknya, ke dalam sajak. Silakan simak sajak yang
berjudul “Orang-tua” berikut ini.
orang-tua mengajar anak-anaknya mulai bicara
orang-tua mengajar anak-anaknya pintar bicara
orang-tua mengajar anak-anaknya bicara benar
orang-tua bingung kalau anak-anaknya mulai bicara
orang-tua tersinggung kalau anak-anaknya pintar bicara
orang-tua marah-marah kalau anak-anaknya bicara benar
orang-tua menganggap
anak-anak yang bicara benar
adalah anak-anak yang kurang-ajar
orang-tua menyekap
anak-anak yang kurang ajar
di dalam kamar
yang pengap16
Penutup
Membandingkan khazanah Sastra Singapura dengan Indonesia secara berhadaphadapan barangkali memang sangat kurang patut. Tulisan ini pun diharapkan mampu
memberi kesan bahwa adanya upaya membandingkan dalam tulisan ini pertama-tama
dimaksudkan bukan untuk “mengadu” sajak-sajak dari dua negara bertetangga ini melainkan
hanya sebagai semacam gambaran atau penambah wawasan kita, pembaca Indonesia, bahwa
di negeri jiran sana ada pula khazanah sastra, khususnya puisi, yang sedikit banyak juga
berupa kritik atau protes sosial. Hanya saja, kandungan atau isinya yang mau tidak mau harus
berbeda lantaran ada pembatas atau kendala yang bagaimanapun berada di luar kekuasaan
sastra. Pembatas atau kendala yang saya maksud di sini tentu bersangkut paut dengan
permasalahan ideologi atau kebijakan politik yang secara pragmatis memang tidak mungkin
diintervensi.
Kendati demikian, sebagai penutup, menarik juga untuk masih mendengarkan nada
ironi yang disampaikan oleh salah seorang penyair dari Singapura ini berkenaan dengan
“perseteruannya” dengan suatu “kelompok” lain yang dalam hal ini agaknya adalah generasi
di bawahnya atau penerusnya. Silakan simak sajak berjudul “Aku Bukan Penyair” yang
menjadi tajuk bagi antologi sajak Abdul Ghani Hamid.
Aku masih tertinggal
kalau taraf seniman begitu tinggi
16

Husni Djamaludin, Bulan Luka Parah, Jakarta: Puisi Indonesia, 1986

13

di luar jangkaan dan impianku
dan walau sudah jauh perjalanan
namun itu bukan ukuran pengalaman,
walau sejauh itu telah ku kesani
ada kumpulan yang laungkan diri ‘seniman’.
Dan aku bukan penyair
kerana ku tidak punya ruang
kalau tidak segar berdiri dan mengejar
kalau tidak punya tulang rempuh
kalau tidak setegap penggempur
bukanlah aku penyair yang berwatak radikal
bukanlah aku seorang penyair nusantara.
Seorang penyair, kata memorandum,
berani dengan kekata agresif walau lucah
berani menentang pendapat orang lain
walau kebenarannya jelas benar,
kemudian disulam dengan egoisme tinggi
individualisme dan keangkuhan yang liar
dan tegakkan metafora yang kontroversial selalu.
Aku bukan penyair
Aku masih tertinggal dalam buruan itu
Tidak mampu bersaing demikian,
Aku hanya merindu keindahan yang diredai-Nya.

Tulisan ini saya tutup dengan harapan mudah-mudahan akan semakin banyak muncul
pengarang dari Singapura dengan karya yang semakin mudah diperoleh di Indonesia serta
memberikan tambahan wawasan akan kemelayuan yang seharusnya semakin kokoh.***
Depok, 25 November 2012
Bibliografi
Aziz, Mohamed Pitchay Gani bin Mohamed Abdul, ed. Leksikon: Direktori Penulis Melayu
Singapura Pasca 1965. Singapura: Angkatan Sasterawan ’50 dan National Library Board,
2005.
__________. Dari Gerhana ke Puncak Purnama: Biografi Asas ’50, 55 Tahun dalam Persuratan.
Singapura: Angkatan Sasterawan ’50, 2005.
Damono, Sapardi Djoko. “Mata Penyair, 1960-2002,” Antologi Seni 2003: Panorama dan Isu
Dominan Seni Indonesia 1960-2003, ed. Agus Dermawan T. Jakarta: Yayasan Seni Cherry
Red, 2003.
__________. Sastra Bandingan. Ciputat: Editum, 2009.
__________. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta: PT Gramedia, 1983.
Djamaluddin, Husni. Bulan Luka Parah. Jakarta: Puisi Indonesia, 1986.
Hamid, Abdul Ghani. Aku Bukan Penyair. Singapura: Angkatan Sasterawan ’50, 2008.

14

Masuri SN. Dalam Merenung Dalam: Kumpulan Esei & Kritikan, 1977-2005, ed. Mohamed Pitchay
Gani bin Mohamed Abdul Aziz. Singapura: Angkatan Sasterawan ’50, 2006.
Mohamed, Mohmed Latiff. Bila Rama-Rama Patah Sayapnya: Puisi Pikihan 2002-2006. Singapura:
Angkatan Sasterawan ’50, 2007.
Sarumpaet, Ratna. Marsinah Menggugat. Jakarta: Satu merah Panggung, 1997.

15