MAKALAH NILAI NILAI KEADILAN DALAM AGAMA

MAKALAH
NILAI-NILAI KEADILAN DALAM AGAMA BUDHA
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi-studi Agama
Dosen Pembina :
Drs. Faridi, M.Si

Disusun Oleh :
Moch. Khoirul Hasbi

(201310010311007)

Akbarlita Ari Kurnia

(201310010311019)

Cela Petty Susanti

(201310010311034)

Rahmad Rafid


(201310010311040)

Hanif Zafrullah

(201310010311043)

TARBIYAH A
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan karuniaNyalah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Meskipun banyak rintangan yang harus kami
hadapi namun dalam proses pembuatan makalah ini kami dimudahkan jalan oleh-Nya. Tidak lupa
salawat dan salam kami haturkan kepada junjungan kita sang Revolusioner serta pencerah bagi umat
manusia, Nabi Muhammad Saw dan keluarga serta para sahabatnya. Makalah ini membahas tentang
“Nilai-nilai Keadilan dalam Agama Budha”.
Kami membuat makalah ini selain untuk mengerjakan tugas juga dengan harapan dapat
menambah pengetahuan bagi siapa saja yang membacanya. Kami menyadari bahwa makalah kami ini

masih jauh dari kesempurnaan karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.
Oleh sebab itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca sangat kami harapkan
untuk perbaikan makalah ini ke depannya. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Malang, 16 Desember 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN....................................................................................................1
Latar Belakang.....................................................................................................1
Rumusan Masalah...............................................................................................2
Tujuan Penulisan.................................................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN.....................................................................................................3
Keadilan dalam Budha........................................................................................3
Konsep Keadilan Gender dalam Budha..............................................................6
PENUTUP...........................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................16

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Sebab Akibat menjamin semua orang akan “menerima apa yang telah
mereka tuai” dan oleh karena itu,“mereka yang hidup dengan pedang akan mati oleh
pedang.” Pada sisi lain, orang yang hidup dalam perdamaian, akan memulai sebuah gerakan
yang akan memberikan ketenangan dan kedamaian bagi orang lain pula dan masyarakat pun
akan dijauhkan dari kebencian dan kekerasan. Semua yang terjadi adalah sebuah rangkaian
yang tak terpisahkan. Kita berbuat kebaikan maka akan menerima kebaikan demikian
sebaliknya.
Ini tidak berarti bahwa seseorang yang mengikuti Dharma hanya berdiam diri
terhadap sebuah tindak kejahatan dan ketidakadilan. Apa yang dimaksudkan dalam padangan
Buddhis ini adalah bahwa pengunaan kekuatan senjata atau kekuasaan adalah usaha
terakhir yang sebenarnya adalah sebuah kegagalan. Buddhisme mengatakan bahwa
pengunaan senjata untuk menghentikan kekerasan dan ketidakadilan untuk jangka pendek
mungkin terlihat berhasil, namun pada masa mendatang memunculkan persoalan baru yakni
tumbuhnya benih-benih kebencian baru, dan akhirnya akan timbul masalah yang sama lagi.
Penyelesaian secara Buddhisme adalah menemukan cara-cara yang tidak mengunakan

kekerasan untuk menyelesaikan persoalan pribadi, sosial dan internasional. Dengan
semangat dan kreatifitas, kebijaksanaan dan rasa welas asih, sebuah solusi untuk
menyelesaikan masalah secara damai akan dapat ditemukan .
Persoalan Bangsa Indonesia juga berada dalam konteks yang sama. Selagi segala
kebencian dan kekerasan serta kepentingan pribadi dikedepankan maka tidak ada kedamaian,
ketenangan
dan kebahagiaan bagi semuanya. Sebuah langkah bijak adalah membuang semua
sikap curiga, benci dan egoisme kelompok dalam menyikapi persoalan adalah kunci
penyelesaian. Bangsa yang selalu melihat ke belakang tidak akan pernah maju. Masa lalu
hanyalah sebuah pelajaran untuk masa mendatang. Bangsa ini harus mengembalikan nilainilai kebersamaan, keharmonisan, hormat menghormati, saling menghargai, toleransi antar
sesama masyarakat, dan antara masyarakat dan pemerintah. Peranan para pemuka
masyarakat, tokoh agama, politisi, birokrat harus bekerja secara sinergi dalam satu tujuan
untuk mengembalikan kejayaan bangsa. Para umat beragama juga hendaknya menerapkan
nilai-nilai keagamaan yang harmonis, dan toleransi, serta melenyapkan segala paham yang

kaku dan sempit. Alam dan manusia adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, ketika
kesesatan terjadi dalam diri manusia, maka alam pun akan berubah. Alam tidak ramah
karena manusia yang tidak ramah.
Hal yang terpenting menjadi tujuan dari segala kepercayaan dan agama adalah
peningkatan diri dan dunia secara keseluruhan. Sebagai contoh, Nichiren Shu, sebagai sebuah

kelompok Buddhis dan seluruh pengikutnya harus dengan tegas berusaha menciptakan
perdamaian, kebahagiaan, dan pencerahan bagi seluruh mahluk hidup. Hidup manusia harus
dilindungi dan dihargai, dan seluruh masyarakat harus didorong ke arah perdamaian dan
kebahagiaan. Oleh karena itu, Nichiren Shu secara tegas menolak segala bentuk peperangan,
segala kekerasan, kebencian, pengembangan senjata nuklir, dan turut menyebarluaskan
keadilan dan kedamaian dalam masyarakat. Selain menyebarluaskan nilai-nilai ini dalam
masyarakat, kita percaya bahwa ajaran Sang Buddha yang dibabarkan dalam Saddharma
Pundarika Sutra dan dengan mengikuti ajaran dari Nichiren Shonin, kita dapat mewujudkan
sebuah kehidupan yang alami dan wajar sesuai dengan nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Kita
juga harus selalu berusaha menciptakan kedamaian dan kebahagiaan melalui pelaksanaan
ajaran-ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Berkaca pada pemaparan latar belakang di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam
penulisan makalah ini terdapat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah nilai keadilan menurut agama Budha ?
2. Bagaimanakah konsep keadilan gender dalam agama Budha ?
C. Tujuan Penulisan
Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui bahwa tujuan dari penulisan
ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui nilai keadilan menurut agama Budha.

2. Mengetahui konsep keadilan gender dalam agama Budha.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Keadilan Menurut Budha
Sang Buddha sebelumnya bernama Siddharta Gautama yang tinggal di utara India
hampir 2500 tahun yang lalu. Beliau dikenal sebagai inspirasi spiritual dan pendiri aliran
religius yang sekarang disebut agama Buddha. Buddha sebenarnya merupakan sebutan dan
bukanlah sebuah nama. Kata ini berarti orang yang tersadarkan atau tercerahkan akan kodrat
hidup dan maknanya. Buddha merupakan sebutan yang diberikan sebagai tanda bagi
pencapaian spiritual tertinggi dan kebahagiaan abadi.1
Sang Buddha hidup sekitar tahun 563 – 483 SM (kaum terpelajar masih mendebatkan
masa hidup dan ajaran Sang Buddha ini). Konon ia dilahirkan pada waktu bulan purnama di
Taman Lumbini, Utara India, pada sebuah bukit di kaki pegunungan Himalaya, di dekat
wilayah yang sekarang dikenal sebagai Nepal. Ia menikmati kehidupan yang nyaman sejak
dilahirkan sebagai Pangeran, tetapi kemudian tertarik untuk mempelajari kebenaran spiritual
setelah menyadari penderitaan yang menyertai kehidupan.2
Dalam versi lain, Huston Smith menceritakan: Fakta historis mengenai kehidupan
beliau kira-kira seperti berikut: beliau dilahirkan sekitar tahun 560 Sebelum Masehi di India

Utara, kira-kira seratus mil dari Benares. Ayahnya seorang raja. Namun, karena pada waktu
itu India belum bersatu, lebih tepat kiranya menganggap ayahnya sebagai seorang bangsawan
feodal. Lingkungan hidup putranya itu mirip dengan suasana Puri bangsawan Skotlandia
dalam abad pertengahan. Nama lengkap beliau adalah Siddharta Gautama dari Sakya.
Siddharta adalah nama kecilnya, Gautama adalah nama keluarganya, dan Sakya adalah nama
marga keluarganya.3
Dalam konteksnya dengan sejarah Sang Buddha, menarik diketengahkan pendapat
Karen Armstrong yang menyatakan: Saat kita berusaha meneliti tentang kehidupan Buddha,
kita bergantung pada risalah-risalah agama Buddha yang banyak sekali jumlahnya, yang
ditulis dalam berbagai bahasa yang ada di Asia yang bila dikumpulkan bisa memenuhi rak
buku di perpustakaan. Tak mengejutkan, sejarah penulisan ajaran-ajaran Buddha ini sangat
1

Gillian Stokes, Seri Siapa Dia Buddha, alih bahasa, Frans Kowa, (Jakarta : Erlangga
2001), hlm. 1
2
Ibid, hlm. 1
3
Huston Smith, Agama-Agama Manusia, Terj. Safrudin Bahar, (Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia Anggota IKAPI 2001, hlm. 107.


kompleks dan banyak isi di antara sumber-sumber itu yang kontroversial. Tapi secara umum
terdapat kepercayaan bahwa teksteks keagamaan ajaran Buddha yang paling berguna (sebagai
rujukan) adalah yang ditulis dalam bahasa Pali, sebuah bahasa berdialek India utara dengan
asal yang tidak jelas yang tampaknya serumpun dengan ragam bahasa Magadha, bahasa yang
mungkin digunakan oleh Gautama sendiri.4
M. Arifin dalam bukunya memaparkan tokoh Sang Buddha dengan paparan sebagai di
bawah ini: Agama ini timbul pada abad ke VI SM di India Utara (Daerah Kerajaan
Magadha). Diajarkan oleh Sang Gautama atau Siddharta (hidup 560 SM s/d 480 SM),
seorang putra Raja Magadha bernama Suddodhana. Menurut riwayat hidupnya, Gautama
mula-mula beragama Hindu sebagaimana orang tuanya. Untuk mencegah pengaruh
kehidupan masyarakat sekitar yang mungkin dapat melemahkan kepercayaan/keimanannya
dalam agama, maka dia tidak diizinkan melihat kenyataan hidup di luar istana. Dia
mengalami pendidikan isolatif dari masyarakat luas luar istana.5
ajaran pokok yang disampaikan oleh Buddha Gautama kepada murid-muridnya
berupa empat kebenaran mulia yang disebut Catur Arya Satyani yang terdiri dari:
a.

Dukkha, atinya penderitaan
Maksudnya bahwa hidup di dunia adalah penderitaan seperti terasa sakit menjadi tua,


mati, dan berpisah dari segala yang dicintai dan tidak tercapai apa yang dicita-citakan. Oleh
karena itu kesenangan sebenarnya pangkal penderitaan.
b.

Samudya, artinya sebab penderitaan
Yang menyebabkan penderitaan adalah keinginan untuk hidup yang disebut tanha.

c.

Nirodha, artina pemadaman
Maksudnya bahwa cara pemadaman atau menghilangkan penderitaan itu dengan jalan

menghapuskan Tanha.
d.

Margha, artinya jalan untuk menghilangkan tanha
Bila tanha telah dihilangkan maka seeseorang akan mencapai nirwana yaitu alam

kesempurnaan dimana ia akan merasakan kenikmatan yang abadi.

Untuk menghilangkan tanha manusai harus menempuh delapan jalan yang mulai yang
disebut Astha, Arya, Margha yaitu:

4

a)

kepercayaan yang benar

b)

niat dan pikiran yang benar

Karen Armstrong, Buddha, Terj. T.Widyantoro, (Yogyakarta : Bentang Budaya 2003),
hlm. vii
5
M. Arifin, Belajar Memahami Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta : CV. Sera Jaya 1991),
hlm. 79

c)


perkataan yang benar

d)

perbuatan yang benar

e)

mata pencaharian yang benar

f)

usaha yang benar

g)

kesadaran yang benar

h)

semedi yang benar.6

Buddha mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki hakikat keBudha-an di dalam
dirinya. Shakyamuni (rahib atau yang bijaksana dari kaum Shakya) menganggap kebaikan
dan potensi-potensinya di dalam hakikat manusia tidak terikat dengan tubuh jasmani.
Walaupun ajaran Buddha mengandung ajaran yang terbuka bagi penafsiran yang negatif,
namun dia tetap memiliki konsep positif tentang kearifan dan cinta kasih tak terbatas yang
terdapat di dalam pikiran manusia. Cinta kasih Buddha demikian luas dan menyentuh aspek
keadilan sosial. Inilah yang kemudian dikembangkan menjadi ajaran Enam Paramita:
1)

Dana-Paramita: persembahan yang sempurna

2)

Sila-Paramita: aturan yang sempurna

3)

Ksanti-Paramita: tekad yang sempurna

4)

Virya-Paramita: usaha yang sempurna

5)

Dhyana-Paramita: meditasi yang sempurna

6)

Prajna-Paramita: kearifan yang sempurna.7

Menurut ajaran Budha, yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya adalah
watak mereka yang dibentuk oleh tingkah laku sehari-hari. Sedangkan etika sosial Budha'
menekankan bahwa setiap orang harus melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab masingmasing sesuai dengan kedudukan sosialnya, yang ditentukan oleh hubungannya dengan
warga masyarakat lain, berdasarkan prinsip-prinsip moral. Dengan demikian orang akan
mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan dalam masyarakat. Sebaliknya orang
yang tidak menjalankan kewajiban, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam masyarakat
tidak pantas diakui atau dihargai kedudukan sosialnya.
Untuk menjalankan tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, agama Budha
berpegang dan melaksanakan ajaran-ajaran tentang kebaikan (dharma). Lebih dari itu normanorma tingkah laku sosial merupakan akar atau landasan yang akan menghasilkan apa yang
disebut emosi sosial yang membangkitkan kesadaran sosial pada manusia, membina ikatan
6

Moh.Rifa'i, Perbandingan Agama, (Semarang : PT Wicaksana 1980), hlm. 95
Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha, Jalan Menuju Pencerahan, (Jogjakarta : Penerbit
Saujana 2004), hlm. 85.
7

moral dan spiritual dalam hubungan sosial, memupuk dan memperkuat hubungan sosial, dan
dengan demikian menciptakan kebahagiaan hidup dalam masyarakat.
Di tengah-tengah masyarakat luas bangsa Indonesia, umat Budha Indonesia sebagai
suatu kelompok umat beragama yang berpedoman kepada Dhamma Vinaya ajaran Sang
Budha Gautama sebagaimana tercantum dalam Kitab Suci Tripitaka (Pali) sesungguhnya
telah memiliki suatu ajaran serta pegangan hidup yang sempurna, guna membina kehidupan
jasmani dan rohani yang luhur dan sejahtera, baik secara pribadi maupun secara bersamasama di kalangan umat Budha sendiri.
Dengan keadilan, umat Buddha Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama.
Dalam rangka menciptakan keadilan sosial maka perlu dikembangkan perbuatan yang luhur,
yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Di dalam Sigalavada Sutta, Sang Budha Gautama telah membabarkan patokan bagi
Umat Budha untuk melaksanakan pergaulan dengan sesama manusia yang berbeda
kelompok, kedudukan dan peranannya, yaitu hubungan timbal balik antara anak dan orang
tua, guru dan siswa, suami dan istri, teman dengan sahabat, majikan dengan pekerja, para
bikhhu dengan umat, yang pada hakekatnya mengembangkan sikap adil terhadap sesama,
menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta menghormati hak-hak orang lain.
Demikian pula dipupuk sikap suka memberikan pertolongan kepada orang yang
memerlukan agar dapat berdiri sendiri. Demikian juga dipupuk sikap suka bekerja keras dan
sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan
kesejahteraan bersama.
B. Konsep Keadilan Gender dalam Buddha
Buddha bersabda: "Perempuan, dari perumah tangga sampai yang telah meninggalkan
keduniawian, dapat mencapai tingkat Pemenang-Arus (tingkat kesucian pertama), Tingkat
yang kembali sekali lagi (tingkat kesucian kedua), Tingkat Yang Tak Kembali (tingkat
kesucian ke-tiga), Tingkat Arahat (tingkat kesucian terakhir). Oleh karenanya perempuan
seharusnya diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki.
Pandangan Buddha pada kemampuan pencapaian Pencerahan oleh perempuan dirangkum
dengan baik oleh seorang murid perempuan beliau bernama Soma.
Kodrat sebagai perempuan tidaklah berperan Tatkala batin tenang dan kokoh Tatkala
pengetahuan berkembang hari ke hari Dan ketika dia merenungkan Dhamma. Seseorang yang

berpikir seperti ini: Oleh karena "Saya perempuan " atau "Saya pria" Ataupun setiap pikiran
"Saya adalah ..."Mara (penggoda) akan dapat menyapanya.8
Buddha mengajarkan, bahwa perempuan sebagai halnya laki-laki bebas untuk
memilih perannya; sebagai ibu, isteri, pengusaha, biarawati, dan lainnya.
Kedudukan perempuan dalam Budha Dharma adalah sangat istimewa. Sang Budha
memberikan kebebasan penuh kepada kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam
kehidupan yang religius. Sang Budha adalah guru spiritual pertama yang memberikan
kebebasan religius kepada kaum perempuan. Keadaan spiritual tertinggi dapat diraih baik
oleh laki-laki atau perempuan. Tidak hanya dalam hal spiritual, tetapi juga dalam hal
duniawi. Sang Budha membebaskan perempuan dari konsep bahwa perempuan harus
menikah atau harus mempunyai anak laki-laki. Langkah Sang Budha untuk mengizinkan
perempuan memasuki kehidupan suci termasuk sangat radikal untuk masa itu. Sekalipun
begitu Sang Budha memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk membuktikan
bahwa mereka juga mempunyai kapasitas untuk mencapai tingkatan tertinggi dalam
kehidupan religius.9
Dalam naskah Budhis, ajaran Sang Budha menganjurkan dengan kuat kesamaan
antara perempuan dan laki-laki dalam moral spiritual dan kemampuan sosial. Sasana atau
persaudaraan Budhis terdiri dari Bhikkhu, Bhikkhuni, Upasaka dan Upasika, baik organisasi
Bikkhu dan Bhikkhuni memiliki status yang sama. Disamping perempuan yang
meninggalkan keduniawian menjadi bikkhuni, upasika, dalam masyarakat Budhis juga aktif
dan sangat kuat dalam jalan spiritual mereka. Sang Budha menyatakan bahwa untuk
keduanya laki-laki dan perempuan diperlukan praktek yang sama yang membawa seorang ke
Nirwana.10 Keadaan spiritual tertinggi dapat diraih baik laki-laki maupun perempuan dan
tidak membutuhkan pertolongan laki-laki atau perantara pendeta untuk mencapainya, tidak
ada arti jenis kelamin dalam melaksanakan Dharma jika orang memiliki kebijaksanaan,
pengetahuan dan ketenangan.
Dalam periode Rg-Veda, perempuan kelihatan mempunyai tempat terhormat dalam
masyarakat India, tetapi selanjutnya bersamaan dengan dominasi masyarakat oleh kasta
pendeta Brahmana, trend posisi perempuan yang menurun mulai nyata. Hukum Brahmana,
yang dikatakan hukum yang paling kejam dan anti perempuan. Ada kepercayaan yang sangat
8

Bhikkhuni Sasanakosalla Santini, “Kebodohan dan Egoisme Penyebab Ketidaksetaraan”,
dalam Jo Priastana (ed), Buddhadharma dan Kesetaraan Gender, (Jakarta : Yasodhara
Puteri 2004), hlm. 42 - 43
9
Yayasan PMVBI, Wanita dan Budha Dharma, (Jakarta : Karania 1990), hlm. 2
10
Ibid, hlm. 7

kuat bahwa hanya anak laki-laki yang dapat menjaga kelangsungan garis keluarga.
Perempuan yang menikah tergantung apakah ia dapat melahirkan seorang anak laki-laki atau
tidak, seorang gadis muda yang tidak menikah dianggap rendah oleh masyarakat dan
dijadikan sebagai obyek kecaman mereka. Dipercaya bahwa perempuan tidak mempunyai
kapasitas untuk mencapai surga melalui kebaikannya sendiri, tetapi hanya dapat melalui
kepatuhan mutlak kepada suaminya. Sudah jelas bahwa posisi perempuan dalam ajaran
Budhis berbeda dengan yang dijelaskan diatas. Tidak hanya dalam hal spiritual, tetapi juga
dalam hal duniawi. Sang Budha membebaskan perempuan dan konsep bahwa perempuan
harus menikah atau harus mempunyai anak laki-laki. Dalam Sigalovada Sutta Budha
mengajarkan hubungan antara suami dan istri dalam kehidupan berumah tangga, menekankan
pentingnya hubungan timbal balik saling mengisi pada tugas dan tanggung jawab yang sama
penting dengan laki-laki dalam kehidupan keluarga.11
Dalam naskah Budhis, Sang Budha mengajarkan kelemahan umat manusia tidak
dilihat dan jenis kelamin. Perhatian Sang Budha bukan pada kelemahan laki-laki atau
perempuan, tetapi kelemahan seluruh umat manusia tanpa memperhatikan jenis kelamin.
Secara fisik, laki-laki dan perempuan berbeda, seperti yang dinyatakan oleh Alisan Jaggar
tidak ada hal yang begitu murni seperti "kewanitaan". Seseorang tidak hanya produk jenis
kelamin, tetapi merupakan produk golongan, kebudayaan, pendidikan, masyarakat, ekonomi,
ras, kepribadian, dan sebagainya. jenis kelamin hanyalah sebagian lagi yang kita punya. Sang
Budha membuang semua label ini dan mengungkapkan sifat alami manusia itu sendiri.
Perhatian utama Budha Dharma adalah pada bagaimana mengubah kelemahan dari laki-laki
dan perempuan yaitu seperti sikap egois, keramahan/kebencian, keserakahan dan ketidak
tahuan.12
Abad ini diwarnai dengan berbagai tantangan dan perombakan tata dunia yang lebih
baik, yang membutuhkan persepsi dan sikap baru manusia, timbulnya emansipasi perempuan
yang kemudian mendalami jati dirinya dalam gerakan feminis merupakan hal baru dalam
kehidupan perempuan yang juga merupakan perjuangan untuk meningkatkan harkatnya
sebagai manusia yang terhormat pula. Studi perempuan dan peranannya dewasa ini menjadi
penting, terutama setelah adanya pertemuan-pertemuan para wali perempuan di dunia
internasional untuk bersama meningkatkan peranan dan harkat martabat dari berbagai segi.
Suatu analisis baru berdasarkan agama yang dipelopori oleh kaum theologi feminis
mulai berkembang dan merintis suatu studi kaitan antara agama dan peran perempuan dalam
11
12

Ibid, hlm. 9
Ibid, hlm. 10

cahaya kitab suci masing-masing. Banyak perubahan terjadi dari institusi keagamaan dengan
makin banyak ditahbiskannya pendeta-pendeta dan ulama perempuan, partisipasinya yang
makin bertambah dalam lembaga keagamaan maupun bergesernya pandangan terhadap
norma dan nilai keagamaan yang merugikan perempuan. Karena agama merupakan dasar
perilaku manusia yang dianut, maka banyak masalah timbul dari kaum perempuan apabila
dalam pengabdiannya dibatasi oleh peraturan yang merugikan kemajuan jiwanya. Umumnya
masyarakat masih dipengaruhi oleh interpretasi pemuka agama yang umumnya kaum lakilaki, yang tentu saja akan tetap memantapkan kekuasaannya.
Sebenarnya penampilan perempuan dalam agama-agama di dunia telah banyak ditulis
dengan peringatan yang ditunjukkan kepada para perempuan yang dianggap pelopor atau suci
di abadnya. Terbukti kemajuan kepada makhluk perempuan atau Dewi yang melambangkan
kesucian sudah ada semenjak berabad-abad lampau dalam sejarah manusia. Mulai Mesir
purba, Yunani purba sampai berkembangnya agama dan kepercayaan diberbagai benua,
selalu ada sosok atau simbol kesucian perempuan yang dipuja. Di abad dua puluh ini dengan
timbulnya emansipasi perempuan, maka mulailah tergerak dari kalangan kaum agama
terutama tokoh perempuannya untuk mengadakan studi yang mendalam tentang hakikat
perempuan ditinjau dari segi agama, dengan ini dikatakan, kalau perempuan sudah
beremansipasi, ia seharusnya menyelami jati dirinya inilah yang disebut feminisme, mencari
hakiki sebagai manusia. Posisi signifikan perempuan dalam Budha seperti dicontohkan oleh
Prajapati Gautami sebagai Theolog Feminis Budhis Abad 5 SM.
Putri Gautami dikenal sebagai Maha Prajapati, lahir sebelum Sang Budha lahir, ia
sebagai putri dari raja Suppabudha. Kakaknya adalah Putri Mahamaya yang menikah dengan
Raja Sudhodana, sebagai ibu dari pangeran Sidharta. Karena permaisuri Mahamaya wafat
raja Sudhadana menikahi Gautami dan memelihara Sidharta sejak bayi dengan penuh kasih
sayang. Sesudah Sidharta menjadi Budha, maka banyak para bangsawan mengikuti jejak
kesucian menjadi Bikkhu. Pada suatu waktu Sang Budha berkhotbah kepada lima ratus putri
bangsawan di tepi sungai Rohini. Sesudah mendengarkan Dhamma semua putri bangsawan
tersebut ingin ditahbiskan menjadi anggota Sangha, ialah perkumpulan para Bikkhu. Banyak
yang meminta izin suami mereka yang kemudian menganjurkan agar meminta nasehat ibu
suri Prajapati Gautami. Semula Budha menolak permintaan tersebut (sebagai Sanghal),
karena tidak ada tempat untuk perempuan dalam Sangha (perkumpulan Bikkhu). Untuk
kedua kalinya diulangi permohonan tersebut, dan masih juga ditolak. Dengan segala cara
dilakukan oleh Gautami dan kelima ratus pengikutnya, sampai melakukan tindakan

pencukuran rambut dan memakai jubah kuning, dengan tujuan Budha bisa mengizinkan
masuk pada perkumpulan Bikkhu.
Seorang Bikkhu senior, Thera Ananda melihat itu semua terharu dan ikut
memperjuangkan permohonan Prajapati Gautami yang tanpa menyerah itu sebagai simpati
rohaniawan laki-laki kepada wanita. Dan Thera Anandapun bertanya kepada Budha "Yang
mulia Budha, apakah perempuan dapat pula mempunyai kemampuan untuk menaiki titian
kesucian sebagai Sotupanna, anagami dan Arahat apabila ia membebaskan din dari
keduaniwian kearah pembebasan agung Nirvana dibawah disiplin yang diajarkan Sang
Budha? Jawab Sang Budha "Bila Prajapati Gautami bisa menerima peraturanperaturan,
dapatlah ia diakui sebagai bentuk pentahbisannya". Kemudian diuraikan peraturan tersebut
dalam Vinaya bagi para Bikkhu, Gautami menyatakan bahwa bersedia mengikutinya. Selesai
mengucapkan ditahbiskanlah Gautami sebagai Bikkhuni pertama, yang kemudian diikuti oleh
kelima ratus pengikutnya. Dengan demikian terbentuklah Sangha Bikkhuni. Organisasi
wanita yang demokratis pertama dalam kalangan umat Budhis, ketuanya dipilih dari mereka
yang mahir dalam Dharma, bukan karena kedudukan atau asal-usul. Kemudian diajarkan pula
oleh Budha, bahwa martabat manusia ditentukan oleh perbuatannya, oleh amal dan
kebijakannya dan bukan oleh keturunan, suku atau jenis kelamin.
Dengan terbukanya tingkat kesucian, lembaga latihan bagi kaum perempuan, maka
kedudukannya menjadi berubah. Persepsi terhadap perempuan tidak lagi sebagai makhluk
biologis untuk pemuas nafsu, tetapi dapat dihormati layaknya rohaniawan yang dapat
mengajarkan agama dan menjadi tauladan membawa kesejahteraan batiniah bagi masyarakat
dan bangsa. Aktualisasi diri wanita sebagai manusia yang dapat mencapai puncak pencapaian
kemanusiaan mendapat wadah kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki. Sejak itu
Sangha (perkumpulan) Bhikkhuni meluas diberbagai negara. Putri Sanghamita anak raja
Asoka dengan restu ayahnya pergi ke Sri Langka untuk menahbskan para Bhikkhuni sejak
abad 35 SM, perkumpulan Bhikkhuni mendapat pengikut di Cina, Korea, Taiwan dan
sekitarnya, di Indonesia menurut Moh. Yamin, Candi Sewu merupakan asrama dari ratusan
Bhikkhuni sejak abad kedelapan masehi.
Dalam ajaran Buddha dikenal istilah “Enam Paramita”. Disiplin pertama dalam Enam
Paramita adalah "Dana Paramita", yang juga disebut "persembahan yang sempurna". Ajaran
tentang persembahan ini adalah salah satu ajaran terpenting Shakyamuni. Memberi
persembahan adalah cara orang Budha mengekspresikan cinta, dan sama dengan ide cintakasih dalam ajaran Kristiani. Persembahan yang sempurna dijadikan disiplin pertama dari
Enam Paramita membuktikan arti penting yang diberikan Shakyamuni pada konsep cinta,

atau lebih khusus lagi, perasaan sayang terhadap orang lain baik pada tetangga maupun
masyarakat. Dalam hal ini cinta kasih dapat diwujudkan dengan selaku berlaku adil pada
semua makhluk tanpa memandang jenisnya.
Ada berbagai macam persembahan. Yang paling umum adalah persembahan hartabenda misalnya, pakaian, barang perabotan atau perhiasan kepada para pencari kebenaran,
pemimpin agama atau orang miskin. Mempersembahkan sesuatu kepada orang lain adalah
wujud cinta, bahkan sekalipun tidak memberikan berupa barang, orang dapat memberikan
senyuman. Senyuman di wajah akan membantu dunia menjadi lebih baik. Senyuman harus
diberikan pada semua orang tanpa memandang status sosial.
Persembahan berupa ajaran adalah tingkatan yang lebih tinggi, karena ini merupakan
persembahan spiritual. Cara memberi persembahan ajaran, dengan kata lain, mengajarkan
kebenaran, adalah persembahan cinta kasih yang terbaik kepada orang-orang yang kurang
secara spiritual; seperti gurun pasir yang merindukan siraman kebenaran untuk
menghilangkan dahaga spiritualnya. Di zaman Shakyamuni, orang-orang awam biasanya
mempersembahkan berbagai macam barang kepada para biksu atau biarawati, tapi apa yang
mereka terima kemudian jauh lebih berharga dari apa yang mereka berikan. Para pencari
kebenaran mengungkapkan rasa terima kasih mereka kepada orang-orang awam dengan cara
mengajarkan kebenaran. Sementara orang-orang awam yang telah mengikuti ajaran Budha
menjelaskan ajaran ini kepada mereka yang belum tersadarkan keyakinannya. Ini pun dapat
dianggap sebagai Persembahan Ajaran dan cinta kasih yang besar.
Jenis persembahan yang lain adalah mempersembahkan kedamaian pikiran kepada
orang yang sedang cemas dan takut, menderita atau bersedih hati dengan jalan mencarikan
jalan keluar bagi persoalan yang mereka hadapi. Persembahan dalam bentuk harta-benda,
ajaran atau kedamaian pikiran disebut "Tiga Persembahan" yang sangat besar maknanya
dalam hubungannya dengan cinta kasih pada semua makhluk.
Dalam konteksnya dengan cinta kasih bahwa wujud konkret cinta kasih Buddha
terlihat misalnya jika membuka kembali perjalanan semedi sang Buddha. Pada suatu malam
di bulan Waisak ketika bulan purnama, di tepi sungai Neranjara, ketika ia sedang
mengheningkan cipta di bawah pohon Assatta (pohon Bodi) dengan duduk padmasana
melakukan meditasi dengan mengatur pernafasannya, maka datanglah petunjuk kepadanya,
sehingga ia mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi yang meliputi hal berikut:
a) Pubbenivasanussati, yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali,
b) Dibacakkhu, yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin,

c) Cuti upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentukbentuk kehidupan,
baik atau buruk, bergantung pada prilaku masingmasing,
d) Asvakkhayanana, pengetahuan tentang padamnya semua kecenderungan pada Avidya,
tentang menghilangkan ketidaktahuan.
Dengan pengetahuan tersebut, ia mendapatkan penerangan yang sempurna,
pengetahuan sejati dan kebebasan batin yang sempurna. Dia telah mendapatkan jawaban
teka-teki kehidupan yang selama ini dicarinya, dengan pengertian penuh sebagaimana
tercantum dalam empat ‘Kasunyatan mulia’ yaitu Penderitaan, Sumber Penderitaan,
Lenyapnya Penderitaan, dan delapan cara yang utama menuju lenyapnya penderitaan itu.13
Dengan telah tercapainya penerangan tersebut maka Siddharta Gautama telah menjadi
Buddha pada umur 35 tahun, ia telah menjadi ‘Accharya Manusa’ atau guru dari manusia.
Satu minggu setelah mendapatkan penerangan sejati itu, ia terus saja duduk di bawah pohon
Bodi menikmati pengalaman rohaninya. Pada Minggu terakhir melalui perenungan
mendalam, ia berhasil mengetahui sebab akibat dari rangkaian penderitaan. Yaitu ‘Karena
adanya Karma maka terjadilah bentuk karma, karena adanya bentuk karma maka terjadi
kesadaran; karena terjadi kesadaran, terjadilah bentuk batin karena adanya keinginan, terjadi
ikatan terjadi proses ‘dumadi’, karena proses dumadi terjadilah tumimbal lahir, karena
tumimbal lahir, terjadilah umur tua, kelapukan, kesusahan, rapat tangis, kesakitan, kesedihan,
kematian, dan sebagainya.14
Pada saat kedua malam ia menemukan sebab akibat yang saling tergantungan terbalik,
misalnya bila tidak ada ini tidak ada itu dan seterusnya, karena lenyapnya proses dumadi,
lenyaplah umur tua, kelapukan, kesusahan, ratap tangis, dan lenyaplah semua rangkaian
penderitaan. Pada saat malam ketiga Buddha merenungkan sebab akibat yang saling
bergantungan itu dengan cara langsung dan terbalik sekaligus.
Kemudian setelah tujuh Minggu menetap dengan tujuh kali bergeser tempat di
sekeliling pohon Bodi, maka hari terakhir dari peristiwa-peristiwa yang suci itu, datanglah
dua saudara, Tapusa dan Bhaluka yang terpesona melihat wajah Sang Buddha. Keduanya lalu
mempersembahkan nasi, jajan dan madu serta memohon menjadi pengikutnya. Itulah
pengikut Buddha yang pertama.
Setelah itu Sang Buddha masih ragu-ragu untuk menyampaikan darmanya kepada
orang lain, karena darmanya hanya dapat diterima orang arif bijaksana. Jadi kepada siapakah
darma itu harus diajarkan, kepada bekas gurunya, mereka sudah mati, kepada bekas muridnya
13

Abdurrrahman, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta : PT Hanindita ofset IAII Sunan
Kalijaga Press 1988), hlm. 109.
14
Ibid, hlm. 52

barang kali, maka ia pergi ke Benares untuk menemukan murid-muridnya. Pada mulanya
para murid itu ragu, tetapi setelah melihat keagungan Buddha maka kelima muridnya
bersedia kembali mengikuti ajarannya. Kepada mereka lalu diajarkan empat kasunyatan itu.
Tentang pengembaraan dia ketika bermeditasi untuk mencapai pencerahan bahwa apa
yang ditempuh Sang Buddha dalam hidupnya adalah rangka menebarkan cinta kasihnya
kepada semua makhluk. Buddha pernah disakiti orang, kemudian tidak membalasnya tetapi ia
minta pengampunan.
Peristiwa-peristiwa tersebut di atas sangat penting di dalam agama Buddha, yang
disebut ‘dharma cakra pravartana sutera’, yaitu ‘pemutaran roda dharma’ yang selalu
diperingati oleh para penganut agama Buddha.
Begitu juga Taman Isipatana di Benares yang merupakan tempat asal mula kelahiran
ajaran Buddha dan Sangha, para pemula penganut ajaran Buddha, merupakan tempat suci
bagi ummat Buddha. Sejak peristiwa pemutaran roda dharma tersebut mulailah Siddharta
Gautama yang telah menjadi Buddha itu, menyebarkan ajarannya di seluruh India mulai dari
kota Rajagraha, yang berpokok pada ‘tiga kebajikan kebenaran’, bahwa:
 Kehidupan manusia itu pada dasarnya tidak bahagia, sebab-sebab tidak bahagia karena
memikirkan kepentingan diri sendiri, terbelenggu oleh nafsu,
 pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu dapat ditekan habis jika semua nafsu dan
hasrat dapat ditiadakan, yang dalam ajaran Buddha adalah ‘Nirwana’,
 menimbang benar, berpikir benar, berbuat benar, mencari nafkah yang benar, berusaha
yang benar, mengingat yang benar, meditasi yang benar.15
Selama 45 tahun lamanya Buddha menyampaikan ajaran-ajarannya sehingga dari
sekitar 60 orang anggota Sangha kemudian menjadi ribuan orang banyaknya yang
memerlukan banyak’ Wihara’.
Pada akhirnya dalam umur 80 tahun wafat di Kusiwara yang letaknya sekitar 180 km
dari kota Benares. Ia meninggal tanpa menunjuk siapa yang menjadi penerusnya, sehingga di
kemudian hari ajarannya terpecah menjadi dua golongan yaitu Theravada (Hinayana) dan
Mahasangika (Mahayana).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif Buddha
tampaknya keadilan tidak jauh artinya dengan pengertian secara umum yaitu esensinya
adalah persamaan hak antara pria dan wanita dalam berbagai aspek kehidupan. Demikian
pula dalam masalah gender ditemukan konsep yang tidak membedakan antara pria dengan
15

Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Terj. H.
Mahbub Junaidi, (Jakarta : Pustaka Jaya 1982), hlm. 49.

wanita baik dalam menempuh kesucian diri maupun dalam keterlibatannya pada peran-peran
sosial, negara dan bangsa.

BAB III

Kesimpulan
Semua agama yang ada dimuka bumi mempunyai nilai-nilai keadilan sebagaimana
apa yang mereka yakini dalam agama yang dianutnya.nilai keadilan dalam sebuah agama
merupakan tempat untuk menciptakan kedamaian, toleransi antar agama. Menurut agama
budha jika manusia lebih mengedepankan kekerasan, kebencian dan kepentingan pribadi
maka tidak akan ada kedamaian dalam dunia ini.
Buddha mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki hakikat keBudha-an di dalam
dirinya. Shakyamuni (rahib atau yang bijaksana dari kaum Shakya) menganggap kebaikan
dan potensi-potensinya di dalam hakikat manusia tidak terikat dengan tubuh jasmani.
Walaupun ajaran Buddha mengandung ajaran yang terbuka bagi penafsiran yang negatif,
namun dia tetap memiliki konsep positif tentang kearifan dan cinta kasih tak terbatas yang
terdapat di dalam pikiran manusia. Cinta kasih Buddha demikian luas dan menyentuh aspek
keadilan sosial. Menurut ajaran Budha, yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya
adalah watak mereka yang dibentuk oleh tingkah laku sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Gillian Stokes, Seri Siapa Dia Buddha, alih bahasa, Frans Kowa, (Jakarta : Erlangga 2001), hlm. 1
Huston Smith, Agama-Agama Manusia, Terj. Safrudin Bahar, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Anggota IKAPI 2001, hlm. 107.
Karen Armstrong, Buddha, Terj. T.Widyantoro, (Yogyakarta : Bentang Budaya 2003), hlm. Vii.
M. Arifin, Belajar Memahami Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta : CV. Sera Jaya 1991), hlm. 79
Moh.Rifa'i, Perbandingan Agama, (Semarang : PT Wicaksana 1980), hlm. 95.
Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha, Jalan Menuju Pencerahan, (Jogjakarta : Penerbit Saujana
2004), hlm. 85.
Bhikkhuni Sasanakosalla Santini, “Kebodohan dan Egoisme Penyebab Ketidaksetaraan”, dalam Jo
Priastana (ed), Buddhadharma dan Kesetaraan Gender, (Jakarta : Yasodhara Puteri 2004), hlm. 42 –
43.
Yayasan PMVBI, Wanita dan Budha Dharma, (Jakarta : Karania 1990), hlm. 2.
Abdurrrahman, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta : PT Hanindita offset IAIN Sunan Kalijaga
Press 1988), hlm. 109.
Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Terj. H. Mahbub Junaidi,
(Jakarta : Pustaka Jaya 1982), hlm. 49.