PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DAN BIROKRASI. pdf

PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DAN BIROKRASI DI HINDIABELANDA PADA MASA KOLONIAL BELANDA PADA ABAD KE-19

Ditulis oleh: Afifah Rahmatika Furzaen, Mochammad Doni Akviansyah, Risqi
Aditya Auliaurrohman, Teti Ermawati.
Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang 5 Malang 65145 Telp. (0341) 551312

Abstrak: Perkembangan sistem pemerintahan dan birokrasi di HindiaBelanda perlu dikritisi dengan baik, terutama dari segi kebijakan apa yang
diterapkan kemudian dampak dari sistem pemerintahan yang diterapkan,
dan sebagainya. Penulisan artikel ini bertujuan untuk: (1) mengetahui
pengertian dan konsep pemerintahan serta birokrasi Hindia-Belanda, (2)
mengetahui politik pemerintahan tidak langsung dan negara-negara
pribumi, dan (3) perkembangan dan keruntuhan pemerintahan dan
birokrasi di Hindia-Belanda pada masa kolonial belanda pada abad ke-19.
Tekad Belanda melalui VOC (kongsi dagang) hingga mengalami
kemunduran.
Kata Kunci: Sistem Pemerintahan, Birokrasi, Hindia-Belanda,Kolonial
Belanda, VOC.

Pendahuluan

Indonesia memiliki letak strategis sehingga adanya keinginan bangsa Barat
untuk menguasahi sebuah daerah sangat penting. Indonesia memiliki kekayaan
yang berlimpah dan tanahnya subur. Berbagai Negara ingin menguasahi Indonesia
dan salah satunya adalah Belanda. Awalnya tekad Belanda membentuk VOC,
yaitu sebuah kongsi dagang (mengatur segala aktivitas perdagangan). Pada akhir
abad ke-18 Belanda mengalami pergolakan politik. Konflik dengan Inggris
menimbulkan kemerosotan pada perdagangan VOC selain itu korupsi juga
terlepas dari pengawasan, sehingga utang VOC menjadi menumpuk setiap
pemimpin pada dasarnya menerapkan tujuan pokok dalam pemerintahannya.
Keserakahan VOC membuat para penguasa lokal pun menjadi tidak bersungguhsungguh dalam membantu VOC. Berbagai upaya hingga mengisi kas Belanda
yang kosong juga dilakukan mulai dari penyerahan paksa dan sebagainya.

Berbagai usaha dilakukan untuk mengutamakan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi,
terkadang tidak sesuai dengan apa yang diterapkan. Pentingnya pemerintahan dan
birokrasi untuk menjalankan politik sangat penting terutama untuk mengetahui
berhasilnya politik pemerintahan itu sendiri. Akan tetapi mengkritisi sistem
pemerintahan dan birokrasi kolonial Belanda sangat penting dimana banyak hal
penyelewengan yang telah dilakukan kepada rakyat pribumi.

Pengertian dan Konsep Pemerintahan serta Birokrasi Hindia Belanda pada

Abad ke-19
Birokrasi kolonial adalah langkah untuk menuju sebuah proses yang lebih
modern, yaitu dalam pengangkatan anggota birokrasi tidak lagi didasarkan pada
ikatan genealogis seperti halnya dilakukan oleh sistem

birokrasi tradisional

kerajaan, tetapi berdasarkan kriteria rasional. Birokrasi pemerintahan kolonial
disusun secara hirarki yang puncaknya ada pada raja Belanda, dalam
mengimplementasikan

kebijakan

pemerintahan

di

negara-negara

jajahan.


Kekuasaan dan kewenangan Gubernur Jenderal meliputi seluruh keputusan politik
diatas wilayah yang dikuasainya (Wibawa, 2001:30).
Setelah Indonesia diambil alih oleh pemerintahan Belanda, maka birokrasi
pemerintahaanya diperbaiki dengan menggunakan prinsip-prinsip birokrasi
modern. Pemerintahan Belanda mengatur Indonesia dengan membuat perundangundangan yang rasional, yang berlandaskan pada Grondwet Belanda tahun 1814.
Grondwet ini mengalami perubahan dari tahun ketahun. Pemerintahan Hindia-

Belanda berupaya menggunakan sistem pemerintahan desentralisasi untuk
mengatur kekuasaan di wilayah jajahannya. Pada dasarnya pemerintahan
desentralisasi

Hindia-Belanda

bertujuan

diadakannya daerah-daerah yang memiliki

untuk


membuka

kemungkinan

pemerintahan sendiri tetapi tetap

memiliki pemerintahan sendiri namun tetap memiliki tanggung jawab dan berada
dibawah pengawasan pusat (Wibawa, 2001:30).
Pada awalnya gubernur jenderal yang merupakan wakil ratu Belanda
memiliki kekuasaan yang sangat luas, sehingga untuk melaksanakan tugasnya, ia
dibantu oleh organisasi-organisasi pemerintah yang diisi oleh pejabat-pejabat baik
pusat maupun daerah. Akan tetapi, kekuasaan yang tak terbatas timbul protes dari

komunitas-komunitas pengusaha Belanda, karena mereka juga ingin menyuarakan
pendapatnya. Untuk mengatasi hal itu diusulkan untuk membentuk Rewesteli
Raden, yaitu suatu dewan dimana warga Eropa dapat berbicara untuk
menyuarakan maksud dan tujuannya. Inilah yang mengawali terbentuknya
decentralisatie wet. Sebelum tahun 1900 (sebelum sistem politik etis) sistem

pemerintahan untuk daerah jajahan (Hindia Belanda) masih bersifat sentralistis.

Sistem sentralistis ini dimana tidak ada partisipasi dari perangkat lokal segala
sesuatu diatur oleh pemerintahan pusat. Tidak ada sama sekali otonomi untuk
mengatur sendiri rumah tangga daerah sesuai dengan kepentingan daerah
(Wibawa, 2001:30).
Struktur kekuasaan dalam sistem politik kolonial bertumpu dalam model
sistem tradisional. Ada hierarki ketat dari penyalur bawah ke atas, maupun
sebaliknya. Kedudukan raja sebagai puncak pimpinan digantikan oleh penguasa
kolonial sehingga ini menjadi sebuah konsepan. Hierarki pada pejabat
administrasi kolonial juga berjalan pararel dengan pejabat pribumi. Hal ini
menjadi tujuan pengawasan terhadap pekerjaan yang ada di pribumi. Konsepan
birokrasi kolonial menempatkan sebagai perantara juga melibatkan para Bupati
serta bawahannya dalam posisi strategis pada bidang struktural (unsur sosial uang
terpaksa melakukan adaptasi terhadap perubahan politik serta nilai-nilainya. Pada
politik Belanda pun mendorong mereka untuk mempertahankan gaya hidup
tradisional (seni dan sastra). Pada bidang politik, dukungan kekuasaan kolonial
memperkuat kedudukan politik Belanda, oleh karena itu gaya hidupnya meniru
gaya tradisional demi menyemarakkan kedudukannya (Kartodirdjo, 2014b: 99100).
Delapan tahun setelah bangsa Belanda menginjakkan kaki dibumi
Nusantara, berdirilah Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang diberikan
otonomi penuh untuk melakukan monopoli terhadap segala aktivitas perdagangan

di negeri-negeri jajahan kerajaan Belanda. Selama kurang 2 abad berkuasa, VOC
yang semula hanyalah sebuah persatuan kongsi dagang telah menjadi sebuah
birokrasi pemerintahan yang kuat dengan pegawai-pegawai

dan kekuatan

pertahanan untuk mengamankan kepentingannya, disamping keberadaan armada
pelayaran yang begitu besar (Supriadi, 2003).

Politik Pemerintahan Tidak Langsung dan Negara-Negara Pribumi
Pada abad ke-19 banyak kerajaan atau negara pribumi masuk dibawah
kedaulatan pemerintahan Hindia Belanda. Dasar hukum atas hubungan kedua
pihak tersebut ditentukan dalam sebuah perjanjian yaitu pernyataan panjang
(Lange Verklaring) dan pernyataan pendek (Korte Verklaring). Pada perjanjian
pertama ada lima belas negara yang menandatangani perjanjian tersebut,
sedangkan 254 negara yang menandatangi perjanjian kedua. Berdasarkan
pernyataan tersebut Gubernemen Hindia Belanda mempunyai kekuasaan untuk
mengarahkan dan mengawasi. Pegawai-pegawai lainnya berfungsi sebagai utusan
dan penasihat dari kepala negara itu. Pada bidang anggaran Belanda mulai diatur
dan disesuaikan dengan anggaran belanja wilayah administrasi kolonial yang lebih

luas dan mencakup pada negara tersebut (Kartodirdjo, 2014a: 404).
Kepala negara mengakui bahwa wilayahnya masuk atau menjadi bagian
dari Hindia Belanda, kepala negara juga menyatakan loyalitasnya kepada Raja
Belanda serta Gubernur Jendral, Berdasarkan pernyataan tersebut banyak lembaga
tradisional menjadi tidak berfungsi, dan tidak terkontrol dan pembatasannya
menggeser kekuasaan pribumi ke pejabat asing. Berbagai pengambilan keputusan
dalam pengelolaan pemerintahan dilakukan oleh pejabat pusat. Prinsip dualisme
tetap dipegang oleh pemerintahan pribumi tidak hanya peraturan-peraturan akan
tetapi juga dari hal-hal yang lain seperti eks teritorialitas dinegara-negara dibagi
kedalam beberapa kategori penduduk yaitu golongan Eropa, golongan asingTimur, pegawai pribumi dan Gubernemen (pribumi dari daerah luar negara);
pribumi dari penduduk negaranya tetapi yang membuat kontrak dengan
perusahaan asing (Kartodirdjo, 2014a: 404).
Pada sistem administrasi dualisme tampak jelas adanya birokrasi
tradisional sebagai peralatan pemerintahan negara

yang semakin intensif

pengarunya, berikut ini pertimbangan beberapa faktor untuk menentukan sistem
pemerintahan langsung atau tidak langsung. (1) Bagaimana daerah tertentu
menghadapi penetrasi kekuasaan kolonial secara damai atau dengan perlawanan

keras dan (2) seberapa jauh kelembagaan politik dalam sistem lama, dapat
berfungsi atau tidak dalam situasi baru (Kartodirdjo, 2014a: 404-405).

Sistem pemerintahan tidak langsung dipilih maka penguasa setempat maka
akan diakui otoritasnya. Pemerintahan kolonial secara bijaksana mengakui dan
menerima lembaga-lembaga pribumi yang autentik sehingga rakyat disuruh
memilih sendiri kepala pemerintahannya, mengatur dan mengelola keuangan,
memungut pajak, menjatuhi hukuman kepada pelanggar peraturan daerah dan
sebagainnya. Politik ini sesuai dengan anggapan bahwa dari lembaga politik tidak
dapat berfungsi secara efektif. Pada unsur kebudayaan dari luar tidak mempunyi
kaitan dengn kehidupan serta pikiran rakyat, maka tidak akan mudah diterima.
Penguasa kolonial juga mengalami dilema, yaitu sistem pemerintahan tidak
langsung lebih efektif dan menjamin stabilisasi; pada dasarnya sistem colonial
akan mendorong terciptanya birokrasi modern sebagai bagian dari proses
modernisasi (sebuah proses yang tidak bisa dihentikan (Kartodirdjo, 2014a: 404405).
Selama zaman VOC kepentingan perdagangan sangat diutamakan
sehingga keterlibatan dalam perang intern atau konflik- konflik politik dapat
dibatasi, maka perannya lebih bersifat reaktif atau reaksi dan sehingga tidak
bersifat agresif. Setelah VOC dihapus dan hak serta kekuasaanya diserahkan
kepada pemerintahan Belanda serta politik pasifikasi dijalankannya, maka timbul

penetrasi yang itensif diseluruh kepulauan Indonesia. Peraturan-peraturan yang
ditetapkan VOC dalam melaksanakan monopoli perdagangan antara lain:
a. Verplichte Laverantie, yaitu penyerahan wajib hasil bumi dengan harga
yang telah ditetapkan oleh VOC, dan melarang rakyat menjual hasil
buminya selain kepada VOC.
b. Contingenten, yaitu kewajiban bagi rakyat untuk membayar pajak berupa
hasil bumi. Peraturan tentang ketentuan areal dan jumlah tanaman rempahrempah yang boleh ditanam.
c. Ekstirpasi, yaitu hak VOC untuk menebang tanaman rempah-rempah agar
tidak terjadi over produksi yang dapat menyebabkan harga rempah-rempah
merosot.
d. Pelayaran Hongi, yaitu pelayaran dengan perahu kora-kora (perahu
perang) untuk mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan VOC dan
menindak pelangganya.

Adapun Sistem birokrasi yang diterapkan oleh VOC bertujuan untuk
memerintah wilayah-wilayah di Nusantara. VOC mengangkat seorang gubernur
jenderal yang dibantu oleh 4 orang yang disebut Raad van Indie (Dewan India).
Dibawah gubernur jenderal diangkat beberapa gubernur yang memimpin suatu
daerah. Dibawah gubernur terdapat beberapa Residen yang dibantu oleh asisten
Residen,


pemerintahan

dibawahnya

lagi

diserahkan

pada

pemerintahan

tradisional, seperti raja dan bupati. VOC yang merupakan sistem pemerintahan
tidak langsung (Indirect rule) dengan memanfaatkan sistem Feodalisme. Hingga
akhirnya VOC mengalami kemunduran, kemunduran tersebut disebabkan oleh:
1. Banyak korupsi yg dilakukan oleh pegawai-pegawai VOC.
2. Anggaran pegawai terlalu besar sebagai akibat makin luasnya wilayah
kekuasaan VOC.
3. Anggaran pegawai terlalu besar sebagai akibat makin luasnya wilayah

kekuasaan VOC.
4. Biaya perang untuk memadamkan perlawanan rakyat terlalu besar.
5. Persaingan dengan kongsi dagang negara lain, misalnya dengan EIC
milik Inggris.
6. Hutang VOC yang sangat besar.
7. Pemberian deviden kepada pemegang saham walaupun usahanya
mengalami kemunduran.
8. Berkembangnya paham liberalisme sehingga monopoli perdagangan yg
diterapkan VOC tidak sesuai lagi untuk diteruskan.
9. Pendudukan Perancis terhadap negara Belanda pada tahun 1795.

Pada akhir dari tahun 1799 VOC dibubarkan, dan seluruh miliknya
diambil alih oleh pemerintahan Belanda sejak tahun 1795 menjadi Bataafsche
Republiek. Berdasarkan hal tersebut maka sejak hari pertama tahun 1800

Indonesia menjadi jajahan negeri Belanda. Bataafsche Republiek adalah sekutu
perancis, dan dengan demikian terlibat dalam peperangan yang terus menerus
dengan Inggris beserta sekutu sekutunya (peperangan-peperangan koalisasi sejak
1793 sampai jatuhnya Napoleon dalam tahun 1815). Peperangan ini
dilangsungkan pula di Indonesia yaitu dimulai dari Sumatra Barat dan Maluku,

Kepulauan Nusantara menjadi jajahan Inggris (Soekmono, 1981:113). Pergantianpergantian kekuasaan di Indonesia, yang menjadi bagian dari perebutan kekuasaan
internasional oleh bangsa Indonesia dimulai sejak pertengahan abad ke-18 dan
mengalami masa kemalasan. Akan tetapi tekanan – tekanan lahir dan batin sejak
Daendels, lalu Raffles, dan kemudian pemerintah kolonial Belanda yang harus
memulai menegakkan kewibawaannya, membangkitkan bangsa Indonesia untuk
bergerak pula dengan nyata.

Perkembangan dan Keruntuhan Pemerintahan dan Birokrasi di Hindia
Belnda Pada Masa Kolonial Belanda Pada Abad ke-19
Memasuki abad 19 di Indonesia terjadi perkembangan pemerintahan yang
dapat dilihat dari bubarnya VOC pada tanggal 31 Desember 1799 karena izinnya
dibatalkan pada tahun 1795. Latar belakang keruntuhan VOC sebagian besar
dikarenakan mutu pegawai yang merosot, manajemen yang buruk, pengeluaran
yang besar yakni membiayai intervensi politiknya, sistem monopoli yang sudah
tidak sesuai lagi, dan alasan yang paling membuat runtuhnya VOC adalah korupsi
yang merajalela. Penyebab lain sekaligus ancaman bagi Belanda adalah
persaingan dari perusahaan dagang Inggris yang meluas hingga ke ranah politik
dengan perebutan-perebutan hegemoni dan wilayah. Pada saat itu di negeri
Belanda sendiri terkena efek pergolakan politik yaitu perluasan Revolusi Perancis
yang dilakukan oleh Napoleon Bonaporte yang mengakibatkan Belanda jatuh
dalam kekuasaan Perancis yang tidak lain adalah musuh utama Inggris. Setelah
menguasai Belanda dengan menyingkirkan Raja Willem van Oranje, Napoleon
Bonaporte mendudukkan saudaranya, Louis Napoleon sebagai raja baru Belanda
(Wiharyanto, 2015: 2).
Hal-hal tersebut mendorong pemerintahan Belanda langsung berubah,
terutama setelah bubarnya VOC. Pemerintahan Belanda mengambil alih seluruh
kekuasaannya di kepulauan Indonesia yang pemerintahannya berpusat di Batavia.
Dalam perubahan pemerintahan itu, Raja Belanda mengirimkan seorang
kepercayaannya untuk menjadi Gubernur Jendral, orang kepercayaan Raja
Belanda yakni Wilhem Herman Daendels sebagai panglima perang. Daendels
sendiri dikenal sebagai sosok pemuja prinsip-prinsip pemerintahan yang

revolusioner, perpaduan antara semangat pembaruan dan metode-metode
kediktatoran. Setelah mendapat tugas dan amanat, Daendels langsung menyusun
kembali sistem pemerintahan yang berantakan dan membangun pertahanan
(Wiharyanto, 2015: 2).
Daendels membangun suatu birokrasi dan Tentara yang profesional
meniru model Revolusi Perancis. Selain itu juga Daendels mengubah sistem
politik tradisional dan mengerahkan tenaga milisi (wajib militer). Dalam masa
transisi ini, pemerintahan di Pulau Jawa di bagi dalam daerah prefektur , peradilan
tradisional di perluas dan diperbarui, dan para Bupati dijadikan pegawai
pemerintah kolonial walaupun masih memegang beberapa kuasa politik
sebelumnya (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:1).
Politik Daendels (1800-1811) pada dasarnya hanya memprioritaskan
pertahanan di pulau Jawa. Berbagai hal dilakukan Daendels hingga untuk
keperluan mobilitas pasukannya, dia membangun jalan dari Anyer sampai
Panarukan,

yang

terkenal

sebagai

jalan

pos

besar

(hetgrotepostweg ).

Pembangunan jalan raya pos bukan hanya demi kepentingan militer saja yang
terlayani akan tetapi, jalan tersebut sangat penting bagi pengembangan sosial,
ekonomi dan politik, selain itu tidak hanya sebagai bidang transportasi tetapi juga
dalam bidang administrasi pemerintahan serta mobilitas sosial. Daendels memiliki
sifat gila hormat, gila kuasa, dan keras kemauannya, oleh karena itu mengundang
kebencian rakyat dan juga para pegawainya. Louis Napoleon yang merasa
bertanggung jawab atas baik-buruknya pemerintahan di Indonesia merasa
tersinggung dengan perilaku Daendels sehingga pada tahun 1811 ia dipanggil ke
Eropa dan dicopot jabatannya hingga digantikan oleh Jansens (Wiharyanto, 2015:
4).
Ketika Daendels digantikan oleh Jansens maka, Jansens dapat merebut
Batavia karena mendapat simpati dari raja-raja Jawa, pada masa itu Jawa
mendapat serangan tentara Inggris dibawah kuasa Lord Minto. Pada 1811 Jansens
menyerah tanpa syarat kepada Inggris di Tuntang sehingga terdapat rekapitulasi
Tuntang yng berisikan: (1) seluruh kekuatan militer Belanda di Asia Tenggara
harus diserahkan kepada Inggris, (2) hutang pemerintah Belanda tidak diakui oleh

Inggris, dan (3) Pulau Jawa, Madura, dan semua pangkalan Belanda di luar Pulau
Jawa menjadi milik Inggris (Wiharyanto, 2015: 4).

Penutup
Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hirarki yang puncaknya
ada pada raja Belanda, dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di
neagra-negara jajahan maka ada wakil yang ditunjuk raja Belanda untuk mengtaur
sebuah daerah jajahan. Kekuasaan dan kewenangan yang ada pada Gubernur
Jenderal meliputi seluruh keputusan politik diatas wilayah yang dikuasainya.
Delapan tahun setelah bangsa Belanda menginjakkan kaki dibumi Nusantara.
berdirilah Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang memiliki otonomi
penuh untuk melakukan monopoli terhadap segala aktivitas perdagangan di
negeri-negeri jajahan kerajaan Belanda. Perkembangan system pemerintahan dan
birokrasi Hindia Belanda pada nyatanya mengalami keruntuhan. Berbagai faktor
yang ada menyebabkan keruntuhan VOC. Berbagai pemimpin di tanah jajahan
juga memiliki sifat yang berbeda-beda dan kebijakan sendiri-sendiri oleh karena
itu system pemerintahan dan birokrasi yang diterapkan selalu ada dan ditegakkan.
Tidak semua orang Belanda itu buruk, dapat dilihat dari orang Indonesia sendiri
misalnya Bupati daerah juga dapat melakukan penyelewengan.

Daftar Rujukan
Kartodirdjo, Sartono. 2014a. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari
Emporium sampai Imperium Jilid I. Yogyakarta: Ombak.

Kartodirdjo, Sartono. 2014b. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Pergerakan
Nasionl Jilid II. Yogyakarta: Ombak.

Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah
Nasional Indonesia V (Cet. VIII, Edisi Pemutakhiran). Jakarta: Balai

Pustaka.
Soekmono. R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta :
Yayasan Kanisius.

Supriadi, Dedi. 2003. Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan, dan
Perjuangannya sejak Zaman Kolonial hingga Era Reformasi . Jakarta:

Depdikbud.
Wibawa, Samudra. 2001. Negara-negara di Nusantara dari Negara Kota Hingga
Negara Bangsa, dari Modernisasi hingga Reformasi Administrasi.
Yogyakarta : Gajah Mada University.

Wiharyanto, A. Kardiyat. 2015. Masa Kolonial Belanda 1800-1825. (Online),
(sumber: http://eprints.dinus.ac.id/14367/1/[Materi]A.Kardiyat
Wiharyanto–MASA KOLONIAL BELANDA.pdf.) diakses pada tanggal
12 Maret 2017.