RESTRUKTURISASI PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN aset
RESTRUKTURISASI PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN PENYULUHAN PERTANIAN
DI TENGAH PERUBAHAN ZAMAN*)
Slamet Widodo
Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura
[email protected]
Abstrak
Pendidikan sosiologi dan penyuluhan pertanian perlu direstrukturisasi sehingga dapat
menyesuaikan dengan tuntutan yang ada di masyarakat. Bahan kajian pada pendidikan
sosiologi sudah selayaknya memasukan isu yang sedang berkembang pada masyarakat,
khususnya masyarakat pedesaan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa isu mengenai
konflik agraria, perubahan sosial dan sistem nafkah di pedesaan merupakan permasalahan
utama dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Apabila ditarik lebih jauh isu-isu
tersebut tidak dapat lepas dari pokok bahasan pendidikan sosiologi yang sudah ada.
Pendidikan penyuluhan pertanian perlu diarahkan pada model pemberdayaan dan
pengembangan masyarakat.
Kata kunci : pendidikan sosiologi, penyuluhan pertanian, pedesaan, pembangunan
perrtanian.
Pendahuluan
Sosiologi telah lama menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa Fakultas Pertanian
(FP). Sosiologi disampaikan pada mahasiswa semester dasar sebagai bekal mereka untuk
memahami fenomena sosial, utamanya di daerah pedesaan. Pada praktiknya, pendidikan
sosiologi berkembang dan terdapat kemajemukan baik dalam nama mata kuliah maupun
rumusan pembelajaran yang disampaikan antar perguruan tinggi. Beberapa perguruan tinggi
memberikan pendidikan sosiologi dalam Mata Kuliah (MK) Sosiologi Umum, Sosiologi
Pertanian maupun Sosiologi Pedesaan. Walaupun terdapat ragam dalam pendidikan
sosiologi ini, namun kesemuanya mempunyai muara yang sama, yaitu memberikan
pemahaman mahasiswa terhadap teori-teori dasar sosiologi dan kemampuan dasar analisis
sosiologi di bidang pertanian dan pedesaan.
Ketika berbicara mengenai FP, ada isu yang cukup menarik yang perlu kita jadikan
bahan diskusi bersama. Berdasarkan kesepakatan Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi
Pertanian Indonesia (FKPTPI), beberapa program studi dibawah Fakultas Pertanian
dikerucutkan menjadi hanya dua program studi saja, yaitu Agro[eko]teknologi dan Agribisnis.
Kesepakatan ini telah ditetapkan pada Lokakarya Nasional FKPTPI ke-VII di Yogyakarta
pada tahun 2007. Kesepakatan ini juga telah mempunyai payung hukum dari pemerintah
yaitu melalui SK Dirjen Dikti No. 163 Tahun 2007.
Sebelum restrukturisasi program studi ini, di FP terdapat program studi yang muatan
sosiologi dan penyuluhan pertanian nya lebih kental, yaitu Program Studi Penyuluhan dan
Komunikasi Pertanian. Kini, ketika program studi tersebut dilebur menjadi Program Studi
Agribisnis, terdapat tantangan baru dalam mendesain pendidikan sosiologi dan penyuluhan
pertanian. Berdasarkan Lokakarya Nasional FKPTPI ke-X di Pontianak tahun 2010, terdapat
peluang untuk memunculkan peminatan atau konsentrasi sesuai dengan sumberdaya dan
potensi yang telah ada di perguruan tinggi masing-masing. Kebijakan ini menghasilkan
beberapa ragam konsentrasi dibawah Program Studi Agribisnis yang memberikan muatan
atau nuansa sosiologi dan penyuluhan pertanian menjadi lebih kental, misalnya pada
konsentrasi pengembangan masyarakat.
* )
Makalah disajikan pada Lokakarya Nasional Pendidikan Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian,
Universitas Padjadjaran, 25-26 Januari 2012
Pendidikan Sosiologi dan Peran Kritis Mahasiswa Pertanian
Newby (1982) menyatakan bahwa perhatian khusus sosiologi pedesaan adalah pada
hubungan antara kepemilikan tanah dan struktur sosial dan pengembangan agribisnis. Tren
masa depan di bidang sosiologi pedesaan, berkonsentrasi pada tema-tema pembangunan
pedesaan, sosiologi pertanian dan sosiologi sumber daya alam. Jika kita berkaca dari
pernyataan tersebut, sudah selayaknya pendidikan sosiologi bagi mahasiswa FP perlu
diarahkan pada bidang atau topik pembangunan pertanian dan pedesaan. Usman (2003)
mengungkapkan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara pada saat ini tidak
akan dapat lepas dari pengaruh globalisasi yang melanda dunia. Persoalan politik dan
ekonomi tidak dapat lagi hanya dipandang sebagai persoalan nasional. Keterkaitan antar
negara menjadi persoalan yang patut untuk diperhitungkan. Masalah ekonomi atau politik
yang dihadapi oleh satu negara membawa imbas bagi negara lainnya dan permasalahan
tersebut akan berkembang menjadi masalah internasional.
Berdasarkan hal tersebut, sikap kritis mahasiswa FP perlu kita tumbuhkan sehingga
mereka dapat menganalisis proses pembangunan pertanian dan pedesaan dalam kaidah
hubungan ekonomi dan politik antar negara. Permasalahan dalam pembangunan pertanian
dan pedesaan secara mikro tidak dapat lepas dari hubungan antar negara atau kebijakankebijakan yang bersifat makro. Selain itu, pendidikan sosiologi dan penyuluhan pertanian
perlu diarahkan pada upaya peningkatan pasrtisipasi masyarakat, khusunya masyarakat
pedesaan. Midgley (1986) menyatakan bahwa partisipasi bukan hanya sekedar salah satu
tujuan dari pembangunan sosial tetapi merupakan bagian yang integral dalam proses
pembangunan sosial. Partisipasi masyarakat berarti eksistensi manusia seutuhnya. Tuntutan
akan partisipasi masyarakat semakin menggejala seiring kesadaran akan hak dan kewajiban
warga negara. Kegagalan pembangunan berperspektif modernisasi yang mengabaikan
partisipasi negara miskin (pemerintah dan masyarakat) menjadi momentum yang berharga
dalam tuntutan peningkatan partisipasi negara miskin, tentu saja termasuk di dalamnya
adalah masyarakat.
Beberapa isu yang dapat dimasukkan dalam pendidikan sosiologi bagi mahasiswa FP
antara lain berkaitan dengan konflik agraria, kemiskinan, perubahan sosial dan sistem
nafkah rumah tangga di pedesaan. Isu ini harus bisa diberikan pada mahasiswa FP lebih dari
sekedar pemahaman dasar tentang konsep sosiologi secara umum seperti struktur sosial,
organisasi sosial, stratifikasi sosial dan lain sebagainya.
Isu Konflik Agraria
Tahun 2011 terjadi peningkatan jumlah konflik agraria dibandingkan tahun 2010. Pada
tahun 2011 terjadi 120 kasus meningkat, sekitar lima kali lipat dari jumlah kasus tahun 2010
yang tercatat 22 kasus. Konflik perebutan lahan menjadi suatu permasalahan yang tidak
pernah berakhir sampai saat ini. Isu reforma agraria menjadi sebuah isu yang sangat ditakuti
oleh negara dan kaum kapitalis. Bahkan, kaum pencari keadilan atas kepemilikan dan akses
terhadap tanah dianggap sebagai musuh ideologi oleh pemerintah terlebih selama
pemerintahan orde baru. Pengambilalihan hak atas tanah yang dilakukan oleh pemerintah
atau kaum kapitalis selama ini selalu mengusung isu pembangunan sehingga mereka yang
menentangnya dianggap sebagai anti pembangunan dan kemapanan. Berbagai stigma
negatif terlontar bagi mereka yang gigih berjuang unuk mendapatkan haknya. Diakui atau
tidak, isu tanah menjadi sebuah isu yang sangat ”menakutkan”.
Ketimpangan agraria merupakan warisan sejarah pada masa feodal dan kolonial,
dimana kaum kolonial dan feodal menguasai sumber-sumber agraria terutama tanah. Petani
selama ini selalu menjadi korban keserakahan konspirasi tuan tanah dan pemerintah.
Menurut Soetarto dan Shohibuddin (2006) terdapat tiga bentuk ketimpangan yang
dimunculkan oleh struktur agraria yang bercorak kolonial tersebut. Pertama, ketimpangan
dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah akibat penguasaan tanah dalam
skala besar oleh swasta asing dan tuan tanah feodal. Kedua, ketimpangan dalam hal
“peruntukan” tanah, misalnya dengan adanya penetapan hutan-hutan produksi untuk
kepentingan ekstraksi hasil hutan oleh pemerintah kolonial. Dan ketiga, ketimpangan yang
timbul akibat incompatibility dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria, yaitu antara
penguasa kolonial yang menggunakan konsep-konsep hukum positif dari Barat yang mereka
ciptakan dan komunitas lokal atau masyarakat adat yang mengenal berbagai macam hak
yang berbeda atas tanah yang berasal dari tradisi dan budaya mereka. Ketimpangan terjadi
ketika tata cara penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria yang bersumber dari
hukum positif Barat sering menafikan apa yang telah lama dipraktikkan dan dikenal oleh
masyarakat setempat.
Fauzi (2002) menyatakan bahwa land reform tidak hanya dimaknai secara sempit
sebagai redistribusi tanah. Land reform dapat berbentuk suatu kolektivitas untuk mencapai
skala ekonomi tertentu yang memungkinkan perimbangan antar faktor-faktor produksi.
Sehingga penataan kembali hubungan sewa atau bagi hasil yang dapat memberikan
kepastian penguasaan garapan bagi penggarapnya juga termasuk dalam pengertian land
reform. Lebih lanjut Pinuji (2011) menyatakan bahwa pola bagi hasil merupakan salah satu
bentuk penyelesaian konflik agraria yang bersifat saling menguntungkan baik secara sosial
maupun ekonomi.
Isu Kemiskinan
Pada bulan September 2011, jumlah penduduk miskin mencapai 29,89 juta jiwa.
Sebagin besar penduduk miskin tinggal di daerah pedesaan, yakni sebanyak 18,94 juta jiwa.
Sebagian besar tenaga kerja yang ada di perdesaan mengandalkan sektor pertanian (dalam
arti luas), padahal sektor pertanian sudah tidak mampu lagi menampung jumlah tenaga kerja
yang ada. Sektor pertanian yang selama ini menjadi tumpuan bagi sebagian besar penduduk
di perdesaan saat ini sudah tidak mampu menampung mereka. Konsep kemiskinan berbagi
(shared proverty) yang disampaikan oleh Geertz semakin terbukti saat ini. Permasalahan
sektor pertanian juga dialami oleh sektor perikanan. Peningkatan jumlah penduduk tidak
diimbangi dengan dukungan jumlah sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan.
Kemiskinan dibagi dalam tiga dimensi yaitu ekonomi, sosial dan politik. Kemiskinan
ekonomi adalah keadaan dimana terjadi kekurangan sumberdaya yang digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan sosial merupakan kemiskinan
sebagai akibat rendahnya kemampuan dalam membangun jaringan sosial serta struktur
yang tidak mampu mendukung usaha peningkatan produktivitas. Sedangkan kemiskinan
politik adalah kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi sumberdaya
untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Ellis, 2000).
Ketika berbicara mengenai masalah kemiskinan, utamanya di pedesaan,
pembelajaran sosiologi perlu dilengkapi mengungkapkan fenomena kemiskinan muali dari
akar penyebab hingga strategi pengentasannya. Ketika membahas kemiskinan, kita bisa
mengawalinya dengan konsep social inequality yang merupakan konsep dasar yang
menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang
saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada
ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu
masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan.
Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max
Weber.
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati
kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan
Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada
penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam
pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan
seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada
gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor,
seperti ras, usia dan agama.
Kajian empiris beberapa penelitian, diantaranya (Pattinama, 2009; Widodo, 2011b)
yang mengungkapkan bahwa fenomena kemiskinan pada masyarakat pedesaan perlu
dijadikan rujukan dalam pembelajaran sosiologi. Harapannya tentu saja lahir sikap kritis
mahasiswa dalam menyikapi permasalahan kemiskinan di daerah pedesaan.
Perubahan Sosial
Perubahan sosial dan kebudayaan pada masyarakat pedesaan menjadi suatu
keniscayaan sebagai dampak dari pembangunan. Moore (2002), berusaha memberikan
suatu pengertian tentang perubahan sosial. Ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsurunsur kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Penekannya adalah pada
pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.
Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan
fungsi masyarakat.
Proses transformasi pertanian yang gencar dilakukan oleh pemerintah sejak lama
dengan konsep revolusi hijaunya mau tidak mau juga menyentuh masyarakat pedesaan.
Pada dasarnya pengertian modernisasi mencakup suatu transformasi total kehidupan
bersama yang tradisional atau pra-modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial
menuju kearah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara barat yang stabil.
Modernisasi adalah suatu persoalan yang harus dihadapi oleh masyarakat. Setiap manusia
dalam masyarakat sangat sulit untuk lepas dari pengaruh modernisasi yang melanda dunia
saat ini.
Pembangunan yang selama ini telah membawa perubahan pada tatanan sosial
masyarakat. Pola migrasi tenaga kerja, alih fungsi lahan, perubahan struktur penduduk,
introduksi teknologi pertanian, perkembangan teknologi informasi dan era perdagangan
bebas dapat menjadi topik kajian yang menarik dalam pembelajaran sosiologi. Pudarnya
nilai-nilai lokalitas pada beberapa komunitas dan berganti dengan tatanan nilai-nilai baru
atas nama modernisasi tentu juga menjadi kajian menarik bagi mahasiswa FP.
Sistem Nafkah Rumah Tangga Pedesaan
Ellis (2000), mengungkapkan bahwa untuk memahami coping strategis, sangatlah
penting memahami konsep mata pencaharian (livelihood) karena merupakan bagian dari
atau bahkan kadang-kadang dianggap sama dengan strategi mata pencaharian (livelihood
strategies). Suatu mata pencaharian meliputi pendapatan (baik yang bersifat tunai maupun
barang), lembaga-lembaga sosial, relasi gender, hak-hak kepemilikan yang diperlukan guna
mendukung dan menjamin kehidupan. Strategi nafkah merupakan pilihan dari berbagai
sumber nafkah yang ada. Secara jelas dalam bidang pertanian digambarkan dengan adanya
pola intensifikasi dan diversifikasi. Strategi nafkah juga dapat ditinjau dari sisi ekonomi
produksi melalui usaha cost minimization dan profit maximization. Selain adanya pilihan,
strategi nafkah mengharuskan adanya sumber daya manusia dan modal. Pola hubungan
sosial juga turut memberikan warna dalam strategi nafkah. Pola relasi patron-klien dianggap
sebagai sebuah lembaga yang mampu memberikan jaminan keamanan subsistensi rumah
tangga petani (Crow, 1989).
Pemahaman mengenai sistem nafkah pedesaan menjadi bagian penting bagi
mahasiswa FP untuk bisa menganalisis permasalahan yang ada pada masyarakat. Pola
penghidupan masyarakat pedesaan. Menurut Dharmawan (2007), terdapat tiga elemen
sosial yang penting dalam menentukan strategi nafkah, yaitu infrastruktur sosial
(kelembagan, tatanan norma yang berlaku), struktur sosial (struktur demografi, struktur
agraria) dan supra-struktur soaial (ideologi, etika moral ekonomi).
Ketika membahas sistem nafkah rumah tangga pedesaan, pada dasarnya akan
banyak isu lain yang bisa kita kembangkan. Fenomena migrasi tenaga kerja dan peran
perempuan dalam nafkah rumah tangga merupakan temuan yang berharga dalam
membahas sistem nafkah rumah tangga pedesaan. Kajian Widodo (2011a) memberikan
informasi mengenai pola strategi nafkah yang dijalankan oleh rumah tangga di pedesaan,
termasuk di dalamnya adalah pola migrasi tenaga kerja dan peran perempuan.
Pemberdayaan Komunitas; Perubahan Paradigma Penyuluhan Pertanian
Masyarakat adalah sebuah komunitas utuh, yang mempunyai potensi terhadap pola
organisasi, kepemimpinan, wilayah, dan kepentingan yang terbentuk dengan proses. Salah
satu misi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan pembangunan adalah melakukan
pemberdayaan masyarakat, menciptakan, memfasilitasi terciptanya iklim yang kondusif dan
membuka akses sumber daya dan informasi serta mengoptimalkan pendayagunaan
sumberdaya pendukung lainnya. Implementasi dari konsep pemberdayaan masyarakat disini
adalah penyelenggaraan pembangunan yang berbasis pada komunitas. Dalam konsep ini
diselenggarakan suatu proses peningkatan peluang kesempatan yang mandiri dan bermitra
dengan pelaku pembangunan yang lain. Proses pembangunan yang bertumpu kepada
masyarakat merupakan suatu proses yang spesifik sesuai dengan karakteristik
masyarakatnya, yang meliputi tahapan identifikasi karakteristik komunitas, identifikasi
permasalahan, perencanaan, pemrograman mandiri, serta pembukaan akses kepada
sumber daya dan informasi.
Pendekatan penyelenggaraan pembangunan yang berorientasi untuk masyarakat
perlu diubah menjadi membangun bersama masyarakat. Persoalannya adalah terletak
kepada bagaimana menyiapkan dan menciptakan kondisi masyarakat sebagai pelaku utama
pembangunan. Dalam rangka menggali potensi komunitas masyarakat, maka peran
pendampingan oleh tenaga pendamping/fasilitator adalah sangat strategis. Pendampingan
masyarakat merupakan suatu hubungan setara antara masyarakat dengan individu atau
kelompok pendamping yang memiliki kemampuan profesional dalam menerapkan kaidah
proses pendampingan yang dibutuhkan masyarakat.
Pemberdayaan merupakan sebuah solusi untuk memecahkan masalah
pembangunan yang selama ini masih dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Kurangnya
partisipasi masyrakat menyebabkan “rasa memiliki” dari masyarakat sangat rendah. Kritik
yang sering dilontarkan adalah pembangunan dengan model top down hanya berhasil jika
agen pembangunan masih berada di lapangan. Apabila agen tadi telah pergi, maka
masyarakat akan kembali pada keadaan awal sebelum adanya pembangunan.
Nilai-nilai budaya lokal dan pengetahuan lokal yang telah lama tertanam pada
masyarakat akan dapat senantiasa terpelihara dan berkembang menjadi modal yang tak
ternilai dalam pembangunan. Model pemberdayaan memberikan peran yang sangat besar
terhadap komunitas lokal untuk menentukan sendiri nasibnya. Pola pemberdayaan lebih
menekankan pada aspek partisipasi komunitas lokal daripada introduksi dari luar. Sebagai
agen pemberdayaan sangat berbeda dengan agen penyuluhan. Agen penyuluhan lebih
memposisikan diri sebagai orang luar yang akan menangani masalah di dalam komunitas.
Sedangkan agen pemberdayaan lebih menekankan pada bantuan memfasilitasi saja
sedangkan keputusan bahkan alternatif pemecahan merupakan hasil kresi komunitas itu
sendiri.
Pemberdayaan komunitas menjadi isu yang sangat penting yang berkembang
dengan pesat di negara berkembang. Kepeduliannya terhadap isu lingkungan, kesetaraan
gender, keadilan serta keberlanjutan menjadikannya mudah diterima oleh komunitas yang
mungkin sudah bosan dengan model pembangunan top down yang selama ini dilakukan
oleh pemerintah.
Peranan agen pemberdayaan baik kalangan LSM maupun pemerintah menjadi
sangat besar untuk menunjang keberhasilan pemberdayaan komunitas. Tak kalah
pentingnya juga peran media massa dalam meningkatkan partisipasi komunitas. Gerakan
sosial yang dilakukan oleh komunitas perlu untuk disebarluaskan melalui media. Komunitas
dapat mengembangkan media massanya sendiri yang tentu akan lebih sesuai dengan
kebutuhan dan selera komunitasnya. Tidak heran bermunculanlah “radio komunitas” sebagai
bentuk partisipasi komunitas dalam menyebarluaskan informasi dan “memberdayakan”
komunitas lain di sekitarnya.
Penutup
Pendidikan sosiologi dan penyuluhan pertanian perlu dirombak mengikuti
perkembangan zaman. Mahasiswa FP perlu mendapatkan bekal kemampuan berpikir kritis
dalam menganalisis pembangunan pertanian dan pedesaan. Ruang pendidikan sosiologi
yang hanya 2 hingga 3 sks perlu untuk dikembangkan sehingga kompetensi mahasiswa FP
dapat meningkat, tidak saja pada level pemahaman teori saja, namun lebih dekat pada isuisu yang kontemporer. Demikian pula dengan pendidikan penyuluhan pertanian, sudah
seharusnya tidak lagi berpedoman pada paradigma penyuluhan namun lebih pada
pemberdayaan dan pengembangan masyarakat.
Daftar Pustaka
Ellis, F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford: Oxford
University Press.
Crow, G. 1989. "The Use of The Concept of Strategy in Recent Sosiological Literature".
Sociology, 23(1), XXX.
Dharmawan, A.H. 2007. "Sistem Nafkah dan Penghidupan Pedesaan; Pandangan Sosiologi
Nafkah Mahdzab Barat dan Mahdzab Bogor". Sodality. Volume 1. Nomor 2.
Fauzi, Noor. 2002. "Land Reform sebagai Variabel Sosial; Perkiraan tentang Rintangan
Politik dan Finansial Pelaksanaan Land Reform". Makalah Seminar “Mengkaji
Kembali Land Reform di Indonesia. BPN, LLI dan RDI. Jakarta, 8 Mei 2002.
Midgley, James. 1986. Community Participation, Social Development and The State. London.
Metheun.
Moore, Wilbert E. 2000. Social Change. The Macmillan Company. New York.
Newby, H. 1982, "Rural Sociology and Its Relevance to The Agricultural Aconomist: A
Review". Journal of Agricultural Economics, 33:125–165. doi:10.1111/j.14779552.1982.tb00721.x
Pattinama, Marcus J. 2009. "Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal; Sudi Kasus
Di Pulau Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat". Makara Sosial Humaniora.
Volume 13. Nomor 1.
Pinuji, Sukmo. 2011. "Restrukturisasi Konflik Sumberdaya Pertanian Melalui Pola Bagi Hasil;
Sebuah Wacana Alternatif". Prosiding Seminar Nasional Reformasi Pertanian
Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan. Universitas trunojoyo Madura. 20
Oktober 2011.
Soetarto, Endriatmo dan Mohammad Sohibuddin. 2006. Tantangan Pelaksanaan Reforma
Agraria dan Peran Lembaga Pendidikan Kedinasan Keagrariaan. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional “Reforma Agraria Sebagai Solusi Mengatasi
Kemiskinan,” diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Pertanahan Indonesia.
Jakarta 19 September 2006.
Usman, Sunyoto. 2003. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta.
Pustaka Pelajar.
Widodo, Slamet. 2011a. "Strategi Nafkah Berkelanjutan Bagi Rumah Tangga Miskin di
Daerah Pesisir". Makara Sosial Humaniora. Volume 15. Nomor 1.
. 2011b. "Efektifitas Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan di
Daerah Pedesaan". Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Universitas Gadjah Mada. 8 Desember 2011.
DI TENGAH PERUBAHAN ZAMAN*)
Slamet Widodo
Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura
[email protected]
Abstrak
Pendidikan sosiologi dan penyuluhan pertanian perlu direstrukturisasi sehingga dapat
menyesuaikan dengan tuntutan yang ada di masyarakat. Bahan kajian pada pendidikan
sosiologi sudah selayaknya memasukan isu yang sedang berkembang pada masyarakat,
khususnya masyarakat pedesaan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa isu mengenai
konflik agraria, perubahan sosial dan sistem nafkah di pedesaan merupakan permasalahan
utama dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Apabila ditarik lebih jauh isu-isu
tersebut tidak dapat lepas dari pokok bahasan pendidikan sosiologi yang sudah ada.
Pendidikan penyuluhan pertanian perlu diarahkan pada model pemberdayaan dan
pengembangan masyarakat.
Kata kunci : pendidikan sosiologi, penyuluhan pertanian, pedesaan, pembangunan
perrtanian.
Pendahuluan
Sosiologi telah lama menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa Fakultas Pertanian
(FP). Sosiologi disampaikan pada mahasiswa semester dasar sebagai bekal mereka untuk
memahami fenomena sosial, utamanya di daerah pedesaan. Pada praktiknya, pendidikan
sosiologi berkembang dan terdapat kemajemukan baik dalam nama mata kuliah maupun
rumusan pembelajaran yang disampaikan antar perguruan tinggi. Beberapa perguruan tinggi
memberikan pendidikan sosiologi dalam Mata Kuliah (MK) Sosiologi Umum, Sosiologi
Pertanian maupun Sosiologi Pedesaan. Walaupun terdapat ragam dalam pendidikan
sosiologi ini, namun kesemuanya mempunyai muara yang sama, yaitu memberikan
pemahaman mahasiswa terhadap teori-teori dasar sosiologi dan kemampuan dasar analisis
sosiologi di bidang pertanian dan pedesaan.
Ketika berbicara mengenai FP, ada isu yang cukup menarik yang perlu kita jadikan
bahan diskusi bersama. Berdasarkan kesepakatan Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi
Pertanian Indonesia (FKPTPI), beberapa program studi dibawah Fakultas Pertanian
dikerucutkan menjadi hanya dua program studi saja, yaitu Agro[eko]teknologi dan Agribisnis.
Kesepakatan ini telah ditetapkan pada Lokakarya Nasional FKPTPI ke-VII di Yogyakarta
pada tahun 2007. Kesepakatan ini juga telah mempunyai payung hukum dari pemerintah
yaitu melalui SK Dirjen Dikti No. 163 Tahun 2007.
Sebelum restrukturisasi program studi ini, di FP terdapat program studi yang muatan
sosiologi dan penyuluhan pertanian nya lebih kental, yaitu Program Studi Penyuluhan dan
Komunikasi Pertanian. Kini, ketika program studi tersebut dilebur menjadi Program Studi
Agribisnis, terdapat tantangan baru dalam mendesain pendidikan sosiologi dan penyuluhan
pertanian. Berdasarkan Lokakarya Nasional FKPTPI ke-X di Pontianak tahun 2010, terdapat
peluang untuk memunculkan peminatan atau konsentrasi sesuai dengan sumberdaya dan
potensi yang telah ada di perguruan tinggi masing-masing. Kebijakan ini menghasilkan
beberapa ragam konsentrasi dibawah Program Studi Agribisnis yang memberikan muatan
atau nuansa sosiologi dan penyuluhan pertanian menjadi lebih kental, misalnya pada
konsentrasi pengembangan masyarakat.
* )
Makalah disajikan pada Lokakarya Nasional Pendidikan Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian,
Universitas Padjadjaran, 25-26 Januari 2012
Pendidikan Sosiologi dan Peran Kritis Mahasiswa Pertanian
Newby (1982) menyatakan bahwa perhatian khusus sosiologi pedesaan adalah pada
hubungan antara kepemilikan tanah dan struktur sosial dan pengembangan agribisnis. Tren
masa depan di bidang sosiologi pedesaan, berkonsentrasi pada tema-tema pembangunan
pedesaan, sosiologi pertanian dan sosiologi sumber daya alam. Jika kita berkaca dari
pernyataan tersebut, sudah selayaknya pendidikan sosiologi bagi mahasiswa FP perlu
diarahkan pada bidang atau topik pembangunan pertanian dan pedesaan. Usman (2003)
mengungkapkan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara pada saat ini tidak
akan dapat lepas dari pengaruh globalisasi yang melanda dunia. Persoalan politik dan
ekonomi tidak dapat lagi hanya dipandang sebagai persoalan nasional. Keterkaitan antar
negara menjadi persoalan yang patut untuk diperhitungkan. Masalah ekonomi atau politik
yang dihadapi oleh satu negara membawa imbas bagi negara lainnya dan permasalahan
tersebut akan berkembang menjadi masalah internasional.
Berdasarkan hal tersebut, sikap kritis mahasiswa FP perlu kita tumbuhkan sehingga
mereka dapat menganalisis proses pembangunan pertanian dan pedesaan dalam kaidah
hubungan ekonomi dan politik antar negara. Permasalahan dalam pembangunan pertanian
dan pedesaan secara mikro tidak dapat lepas dari hubungan antar negara atau kebijakankebijakan yang bersifat makro. Selain itu, pendidikan sosiologi dan penyuluhan pertanian
perlu diarahkan pada upaya peningkatan pasrtisipasi masyarakat, khusunya masyarakat
pedesaan. Midgley (1986) menyatakan bahwa partisipasi bukan hanya sekedar salah satu
tujuan dari pembangunan sosial tetapi merupakan bagian yang integral dalam proses
pembangunan sosial. Partisipasi masyarakat berarti eksistensi manusia seutuhnya. Tuntutan
akan partisipasi masyarakat semakin menggejala seiring kesadaran akan hak dan kewajiban
warga negara. Kegagalan pembangunan berperspektif modernisasi yang mengabaikan
partisipasi negara miskin (pemerintah dan masyarakat) menjadi momentum yang berharga
dalam tuntutan peningkatan partisipasi negara miskin, tentu saja termasuk di dalamnya
adalah masyarakat.
Beberapa isu yang dapat dimasukkan dalam pendidikan sosiologi bagi mahasiswa FP
antara lain berkaitan dengan konflik agraria, kemiskinan, perubahan sosial dan sistem
nafkah rumah tangga di pedesaan. Isu ini harus bisa diberikan pada mahasiswa FP lebih dari
sekedar pemahaman dasar tentang konsep sosiologi secara umum seperti struktur sosial,
organisasi sosial, stratifikasi sosial dan lain sebagainya.
Isu Konflik Agraria
Tahun 2011 terjadi peningkatan jumlah konflik agraria dibandingkan tahun 2010. Pada
tahun 2011 terjadi 120 kasus meningkat, sekitar lima kali lipat dari jumlah kasus tahun 2010
yang tercatat 22 kasus. Konflik perebutan lahan menjadi suatu permasalahan yang tidak
pernah berakhir sampai saat ini. Isu reforma agraria menjadi sebuah isu yang sangat ditakuti
oleh negara dan kaum kapitalis. Bahkan, kaum pencari keadilan atas kepemilikan dan akses
terhadap tanah dianggap sebagai musuh ideologi oleh pemerintah terlebih selama
pemerintahan orde baru. Pengambilalihan hak atas tanah yang dilakukan oleh pemerintah
atau kaum kapitalis selama ini selalu mengusung isu pembangunan sehingga mereka yang
menentangnya dianggap sebagai anti pembangunan dan kemapanan. Berbagai stigma
negatif terlontar bagi mereka yang gigih berjuang unuk mendapatkan haknya. Diakui atau
tidak, isu tanah menjadi sebuah isu yang sangat ”menakutkan”.
Ketimpangan agraria merupakan warisan sejarah pada masa feodal dan kolonial,
dimana kaum kolonial dan feodal menguasai sumber-sumber agraria terutama tanah. Petani
selama ini selalu menjadi korban keserakahan konspirasi tuan tanah dan pemerintah.
Menurut Soetarto dan Shohibuddin (2006) terdapat tiga bentuk ketimpangan yang
dimunculkan oleh struktur agraria yang bercorak kolonial tersebut. Pertama, ketimpangan
dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah akibat penguasaan tanah dalam
skala besar oleh swasta asing dan tuan tanah feodal. Kedua, ketimpangan dalam hal
“peruntukan” tanah, misalnya dengan adanya penetapan hutan-hutan produksi untuk
kepentingan ekstraksi hasil hutan oleh pemerintah kolonial. Dan ketiga, ketimpangan yang
timbul akibat incompatibility dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria, yaitu antara
penguasa kolonial yang menggunakan konsep-konsep hukum positif dari Barat yang mereka
ciptakan dan komunitas lokal atau masyarakat adat yang mengenal berbagai macam hak
yang berbeda atas tanah yang berasal dari tradisi dan budaya mereka. Ketimpangan terjadi
ketika tata cara penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria yang bersumber dari
hukum positif Barat sering menafikan apa yang telah lama dipraktikkan dan dikenal oleh
masyarakat setempat.
Fauzi (2002) menyatakan bahwa land reform tidak hanya dimaknai secara sempit
sebagai redistribusi tanah. Land reform dapat berbentuk suatu kolektivitas untuk mencapai
skala ekonomi tertentu yang memungkinkan perimbangan antar faktor-faktor produksi.
Sehingga penataan kembali hubungan sewa atau bagi hasil yang dapat memberikan
kepastian penguasaan garapan bagi penggarapnya juga termasuk dalam pengertian land
reform. Lebih lanjut Pinuji (2011) menyatakan bahwa pola bagi hasil merupakan salah satu
bentuk penyelesaian konflik agraria yang bersifat saling menguntungkan baik secara sosial
maupun ekonomi.
Isu Kemiskinan
Pada bulan September 2011, jumlah penduduk miskin mencapai 29,89 juta jiwa.
Sebagin besar penduduk miskin tinggal di daerah pedesaan, yakni sebanyak 18,94 juta jiwa.
Sebagian besar tenaga kerja yang ada di perdesaan mengandalkan sektor pertanian (dalam
arti luas), padahal sektor pertanian sudah tidak mampu lagi menampung jumlah tenaga kerja
yang ada. Sektor pertanian yang selama ini menjadi tumpuan bagi sebagian besar penduduk
di perdesaan saat ini sudah tidak mampu menampung mereka. Konsep kemiskinan berbagi
(shared proverty) yang disampaikan oleh Geertz semakin terbukti saat ini. Permasalahan
sektor pertanian juga dialami oleh sektor perikanan. Peningkatan jumlah penduduk tidak
diimbangi dengan dukungan jumlah sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan.
Kemiskinan dibagi dalam tiga dimensi yaitu ekonomi, sosial dan politik. Kemiskinan
ekonomi adalah keadaan dimana terjadi kekurangan sumberdaya yang digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan sosial merupakan kemiskinan
sebagai akibat rendahnya kemampuan dalam membangun jaringan sosial serta struktur
yang tidak mampu mendukung usaha peningkatan produktivitas. Sedangkan kemiskinan
politik adalah kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi sumberdaya
untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Ellis, 2000).
Ketika berbicara mengenai masalah kemiskinan, utamanya di pedesaan,
pembelajaran sosiologi perlu dilengkapi mengungkapkan fenomena kemiskinan muali dari
akar penyebab hingga strategi pengentasannya. Ketika membahas kemiskinan, kita bisa
mengawalinya dengan konsep social inequality yang merupakan konsep dasar yang
menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang
saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada
ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu
masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan.
Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max
Weber.
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati
kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan
Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada
penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam
pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan
seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada
gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor,
seperti ras, usia dan agama.
Kajian empiris beberapa penelitian, diantaranya (Pattinama, 2009; Widodo, 2011b)
yang mengungkapkan bahwa fenomena kemiskinan pada masyarakat pedesaan perlu
dijadikan rujukan dalam pembelajaran sosiologi. Harapannya tentu saja lahir sikap kritis
mahasiswa dalam menyikapi permasalahan kemiskinan di daerah pedesaan.
Perubahan Sosial
Perubahan sosial dan kebudayaan pada masyarakat pedesaan menjadi suatu
keniscayaan sebagai dampak dari pembangunan. Moore (2002), berusaha memberikan
suatu pengertian tentang perubahan sosial. Ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsurunsur kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Penekannya adalah pada
pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.
Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan
fungsi masyarakat.
Proses transformasi pertanian yang gencar dilakukan oleh pemerintah sejak lama
dengan konsep revolusi hijaunya mau tidak mau juga menyentuh masyarakat pedesaan.
Pada dasarnya pengertian modernisasi mencakup suatu transformasi total kehidupan
bersama yang tradisional atau pra-modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial
menuju kearah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara barat yang stabil.
Modernisasi adalah suatu persoalan yang harus dihadapi oleh masyarakat. Setiap manusia
dalam masyarakat sangat sulit untuk lepas dari pengaruh modernisasi yang melanda dunia
saat ini.
Pembangunan yang selama ini telah membawa perubahan pada tatanan sosial
masyarakat. Pola migrasi tenaga kerja, alih fungsi lahan, perubahan struktur penduduk,
introduksi teknologi pertanian, perkembangan teknologi informasi dan era perdagangan
bebas dapat menjadi topik kajian yang menarik dalam pembelajaran sosiologi. Pudarnya
nilai-nilai lokalitas pada beberapa komunitas dan berganti dengan tatanan nilai-nilai baru
atas nama modernisasi tentu juga menjadi kajian menarik bagi mahasiswa FP.
Sistem Nafkah Rumah Tangga Pedesaan
Ellis (2000), mengungkapkan bahwa untuk memahami coping strategis, sangatlah
penting memahami konsep mata pencaharian (livelihood) karena merupakan bagian dari
atau bahkan kadang-kadang dianggap sama dengan strategi mata pencaharian (livelihood
strategies). Suatu mata pencaharian meliputi pendapatan (baik yang bersifat tunai maupun
barang), lembaga-lembaga sosial, relasi gender, hak-hak kepemilikan yang diperlukan guna
mendukung dan menjamin kehidupan. Strategi nafkah merupakan pilihan dari berbagai
sumber nafkah yang ada. Secara jelas dalam bidang pertanian digambarkan dengan adanya
pola intensifikasi dan diversifikasi. Strategi nafkah juga dapat ditinjau dari sisi ekonomi
produksi melalui usaha cost minimization dan profit maximization. Selain adanya pilihan,
strategi nafkah mengharuskan adanya sumber daya manusia dan modal. Pola hubungan
sosial juga turut memberikan warna dalam strategi nafkah. Pola relasi patron-klien dianggap
sebagai sebuah lembaga yang mampu memberikan jaminan keamanan subsistensi rumah
tangga petani (Crow, 1989).
Pemahaman mengenai sistem nafkah pedesaan menjadi bagian penting bagi
mahasiswa FP untuk bisa menganalisis permasalahan yang ada pada masyarakat. Pola
penghidupan masyarakat pedesaan. Menurut Dharmawan (2007), terdapat tiga elemen
sosial yang penting dalam menentukan strategi nafkah, yaitu infrastruktur sosial
(kelembagan, tatanan norma yang berlaku), struktur sosial (struktur demografi, struktur
agraria) dan supra-struktur soaial (ideologi, etika moral ekonomi).
Ketika membahas sistem nafkah rumah tangga pedesaan, pada dasarnya akan
banyak isu lain yang bisa kita kembangkan. Fenomena migrasi tenaga kerja dan peran
perempuan dalam nafkah rumah tangga merupakan temuan yang berharga dalam
membahas sistem nafkah rumah tangga pedesaan. Kajian Widodo (2011a) memberikan
informasi mengenai pola strategi nafkah yang dijalankan oleh rumah tangga di pedesaan,
termasuk di dalamnya adalah pola migrasi tenaga kerja dan peran perempuan.
Pemberdayaan Komunitas; Perubahan Paradigma Penyuluhan Pertanian
Masyarakat adalah sebuah komunitas utuh, yang mempunyai potensi terhadap pola
organisasi, kepemimpinan, wilayah, dan kepentingan yang terbentuk dengan proses. Salah
satu misi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan pembangunan adalah melakukan
pemberdayaan masyarakat, menciptakan, memfasilitasi terciptanya iklim yang kondusif dan
membuka akses sumber daya dan informasi serta mengoptimalkan pendayagunaan
sumberdaya pendukung lainnya. Implementasi dari konsep pemberdayaan masyarakat disini
adalah penyelenggaraan pembangunan yang berbasis pada komunitas. Dalam konsep ini
diselenggarakan suatu proses peningkatan peluang kesempatan yang mandiri dan bermitra
dengan pelaku pembangunan yang lain. Proses pembangunan yang bertumpu kepada
masyarakat merupakan suatu proses yang spesifik sesuai dengan karakteristik
masyarakatnya, yang meliputi tahapan identifikasi karakteristik komunitas, identifikasi
permasalahan, perencanaan, pemrograman mandiri, serta pembukaan akses kepada
sumber daya dan informasi.
Pendekatan penyelenggaraan pembangunan yang berorientasi untuk masyarakat
perlu diubah menjadi membangun bersama masyarakat. Persoalannya adalah terletak
kepada bagaimana menyiapkan dan menciptakan kondisi masyarakat sebagai pelaku utama
pembangunan. Dalam rangka menggali potensi komunitas masyarakat, maka peran
pendampingan oleh tenaga pendamping/fasilitator adalah sangat strategis. Pendampingan
masyarakat merupakan suatu hubungan setara antara masyarakat dengan individu atau
kelompok pendamping yang memiliki kemampuan profesional dalam menerapkan kaidah
proses pendampingan yang dibutuhkan masyarakat.
Pemberdayaan merupakan sebuah solusi untuk memecahkan masalah
pembangunan yang selama ini masih dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Kurangnya
partisipasi masyrakat menyebabkan “rasa memiliki” dari masyarakat sangat rendah. Kritik
yang sering dilontarkan adalah pembangunan dengan model top down hanya berhasil jika
agen pembangunan masih berada di lapangan. Apabila agen tadi telah pergi, maka
masyarakat akan kembali pada keadaan awal sebelum adanya pembangunan.
Nilai-nilai budaya lokal dan pengetahuan lokal yang telah lama tertanam pada
masyarakat akan dapat senantiasa terpelihara dan berkembang menjadi modal yang tak
ternilai dalam pembangunan. Model pemberdayaan memberikan peran yang sangat besar
terhadap komunitas lokal untuk menentukan sendiri nasibnya. Pola pemberdayaan lebih
menekankan pada aspek partisipasi komunitas lokal daripada introduksi dari luar. Sebagai
agen pemberdayaan sangat berbeda dengan agen penyuluhan. Agen penyuluhan lebih
memposisikan diri sebagai orang luar yang akan menangani masalah di dalam komunitas.
Sedangkan agen pemberdayaan lebih menekankan pada bantuan memfasilitasi saja
sedangkan keputusan bahkan alternatif pemecahan merupakan hasil kresi komunitas itu
sendiri.
Pemberdayaan komunitas menjadi isu yang sangat penting yang berkembang
dengan pesat di negara berkembang. Kepeduliannya terhadap isu lingkungan, kesetaraan
gender, keadilan serta keberlanjutan menjadikannya mudah diterima oleh komunitas yang
mungkin sudah bosan dengan model pembangunan top down yang selama ini dilakukan
oleh pemerintah.
Peranan agen pemberdayaan baik kalangan LSM maupun pemerintah menjadi
sangat besar untuk menunjang keberhasilan pemberdayaan komunitas. Tak kalah
pentingnya juga peran media massa dalam meningkatkan partisipasi komunitas. Gerakan
sosial yang dilakukan oleh komunitas perlu untuk disebarluaskan melalui media. Komunitas
dapat mengembangkan media massanya sendiri yang tentu akan lebih sesuai dengan
kebutuhan dan selera komunitasnya. Tidak heran bermunculanlah “radio komunitas” sebagai
bentuk partisipasi komunitas dalam menyebarluaskan informasi dan “memberdayakan”
komunitas lain di sekitarnya.
Penutup
Pendidikan sosiologi dan penyuluhan pertanian perlu dirombak mengikuti
perkembangan zaman. Mahasiswa FP perlu mendapatkan bekal kemampuan berpikir kritis
dalam menganalisis pembangunan pertanian dan pedesaan. Ruang pendidikan sosiologi
yang hanya 2 hingga 3 sks perlu untuk dikembangkan sehingga kompetensi mahasiswa FP
dapat meningkat, tidak saja pada level pemahaman teori saja, namun lebih dekat pada isuisu yang kontemporer. Demikian pula dengan pendidikan penyuluhan pertanian, sudah
seharusnya tidak lagi berpedoman pada paradigma penyuluhan namun lebih pada
pemberdayaan dan pengembangan masyarakat.
Daftar Pustaka
Ellis, F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford: Oxford
University Press.
Crow, G. 1989. "The Use of The Concept of Strategy in Recent Sosiological Literature".
Sociology, 23(1), XXX.
Dharmawan, A.H. 2007. "Sistem Nafkah dan Penghidupan Pedesaan; Pandangan Sosiologi
Nafkah Mahdzab Barat dan Mahdzab Bogor". Sodality. Volume 1. Nomor 2.
Fauzi, Noor. 2002. "Land Reform sebagai Variabel Sosial; Perkiraan tentang Rintangan
Politik dan Finansial Pelaksanaan Land Reform". Makalah Seminar “Mengkaji
Kembali Land Reform di Indonesia. BPN, LLI dan RDI. Jakarta, 8 Mei 2002.
Midgley, James. 1986. Community Participation, Social Development and The State. London.
Metheun.
Moore, Wilbert E. 2000. Social Change. The Macmillan Company. New York.
Newby, H. 1982, "Rural Sociology and Its Relevance to The Agricultural Aconomist: A
Review". Journal of Agricultural Economics, 33:125–165. doi:10.1111/j.14779552.1982.tb00721.x
Pattinama, Marcus J. 2009. "Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal; Sudi Kasus
Di Pulau Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat". Makara Sosial Humaniora.
Volume 13. Nomor 1.
Pinuji, Sukmo. 2011. "Restrukturisasi Konflik Sumberdaya Pertanian Melalui Pola Bagi Hasil;
Sebuah Wacana Alternatif". Prosiding Seminar Nasional Reformasi Pertanian
Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan. Universitas trunojoyo Madura. 20
Oktober 2011.
Soetarto, Endriatmo dan Mohammad Sohibuddin. 2006. Tantangan Pelaksanaan Reforma
Agraria dan Peran Lembaga Pendidikan Kedinasan Keagrariaan. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional “Reforma Agraria Sebagai Solusi Mengatasi
Kemiskinan,” diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Pertanahan Indonesia.
Jakarta 19 September 2006.
Usman, Sunyoto. 2003. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta.
Pustaka Pelajar.
Widodo, Slamet. 2011a. "Strategi Nafkah Berkelanjutan Bagi Rumah Tangga Miskin di
Daerah Pesisir". Makara Sosial Humaniora. Volume 15. Nomor 1.
. 2011b. "Efektifitas Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan di
Daerah Pedesaan". Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Universitas Gadjah Mada. 8 Desember 2011.