REPRESENTASI INDIA DAN BALI INDONESIA SE

REPRESENTASI INDIA DAN BALI (INDONESIA) SEBAGAI
DEPENDENT
DALAM FILM EAT PRAY LOVE
Amida Yusriana
Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM)
Universitas Diponegoro
amida@unissula.ac.id
Abstrak
Eat Pray Love merupakan film yang diangkat dari novel karya Elizabeth Gilbert, Eat Pray
Love: A Woman’s Search for Everything Across Italy, India and Indonesia. Film tersebut
berisi tentang perjalanan hidup sang penulis ke tiga negara yakni Italia, India dan
Indonesia. Perjalanan tersebut merupakan upayanya memperoleh kembali makna kehidupan
setelah perceraiannya.
Film ini merupakan bentuk klise dari orientalisme. Salah satu perwujudan orientalisme
adalah bagaimana media mainstream masih cenderung menggambarkan dunia timur sebagai
primitif, perlu diselamatkan (tergantung/dependent), sensual, terjadi tekanan terhadap
seksualitas wanita, diktator, terdapat kekerasan, eksotis/misterius/spiritual, tidak modern
dan ekstremis. Dalam kajian ini orientalisme akan dipersempit fokusnya pada dependent.
Dependent merupakan penggambaran bahwa timur perlu diselamatkan oleh barat yang jauh
lebih modern. Objek kajian ini adalah film Eat Pray Love. Kajian ini berusaha memaparkan
bagaimana film Eat Pray Love menggambarkan ketergantungan timur terhadap barat.

Kajian dilakukan melalui pemaparan teori, analisa data sekunder dan analisa script. Teori
yang digunakan adalah Teori Orientalisme, Teori Postcolonial dan Teori Hegemoni. Dalam
kajian ini ditemukan bahwa representasi dependent ditemukan dalam penggambaran
hubungan antara Liz dengan tiga tokoh pembantu yakni Tulsi dari India, Ketut dan Wayan
dari Indonesia. Melalui naskah dan pengambilan angle kamera yang dikaji, diperoleh hasil
representasi dependent pada tokoh – tokoh tersebut.

Kata Kunci: Orientalisme, Eat Pray Love, Dependent

THE REPRESENTATION OF INDIA AND BALI (INDONESIA)
AS DEPENDENT
IN EAT PRAY LOVE MOVIE
Amida Yusriana
Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM)
Universitas Diponegoro
amida@unissula.ac.id
Abstract
Eat Pray Love is an adaptation film of the novel by Elizabeth Gilbert, Eat Pray Love: A
Woman's Search for Everything Across Italy, India and Indonesia. The film is about the
author's journey to three countries, Italy, India and Indonesia as an attempt to regain the

meaning of life after her divorce.
This film is an orientalism cliche. Orientalism is how the mainstream media tends to portray
the eastern world as primitive, need to be saved (dependent), sensual, sexual pressure,
dictator, violence, exotic / mysterious / spiritual, unmodern, and extremism. In this study, The
Orientalism will be narrowed to the dependent. Dependent is depiction of eastern that need
to be rescued by the modern western. The object in this study is the movie. This study tries to
describe how Eat Pray Love movie depicts the dependence east to west.
The study was conducted through theory exposure, secondary data and script analysis. The
theories are Orientalism, Postcolonial Theory and Hegemony Theory. This study found that
dependent representations found in the depiction of the relationship between Liz and the
three figures: Tulsi from India, Ketut and Wayan from Indonesia. Through the script and the
camera angle, those characters shows the dependent representations.

Keywords: Orientalism, Eat Pray Love, Dependent

REPRESENTASI INDIA DAN BALI (INDONESIA) SEBAGAI
DEPENDENT
DALAM FILM EAT PRAY LOVE
Pendahuluan
Film Eat Pray Love adalah film yang diangkat dari novel perjalanan hidup karya Elizabeth

Gilbert yang berjudul Eat Pray Love: A Woman’s Search for Everything Across Italy, India
and Indonesia . Novel tersebut berada dalam daftar New York Times Best Seller List selama
187 minggu. Novel tersebut berisi perjalanan sang penulis setelah perceraiannya ke tiga
negara tersebut dan menemukan pelajaran hidup selama perjalanannya. Novel tersebut
dipublikasikan pada tahun 2006 dan baru diadaptasi menjadi film pada tahun 2010 di bawah
naungan Coumbia Pictures (http://en.wikipedia.org/wiki/Eat,_Pray,_Love).
Film Eat Pray Love dibintangi oleh Julia Robert. Film tersebut berada dalam
kategori drama komedi romantis. Dipublikasikan secara resmi tanggal 13 Agustus 2013. Film
tersebut mengangkat kisah dengan alur yang sama dengan novelnya. Menceritakan Elizabeth
Gilbert atau dipanggil Liz, memiliki segalanya yang seharusnya diinginkan oleh wanita
modern, seorang suami, sebuah rumah dan karier yang berhasil. Namun seperti lainnya, dia
menemukan dirinya hilang, kebingungan dan mencari apa yang sebenarnya ia inginkan dalam
hidup. Baru saja bercerai dan berada dalam persimpangan, Liz keluar dari zona nyamannya
dan mengambil resiko atas segalanya untuk mengubah hidupnya, memulai perjalanan
mengelilingi dunia yang menjadi pencarian atas dirinya. Dalam perjalanannya tersebut, dia
menemukan kenikmatan yang sebenarnya dari makanan di Italia, kekuatan doa di India dan
akhirnya dan tidak terduga kedamaian dalam diri dan keseimbangan cinta sejati di Indonesia.
Film tersebut memiliki prestasi yang baik, dengan perolehan $ 23.104.523 dalam
hari pertamanya dan meraup keuntungan mencapai $ 204.594.016 total seluruh dunia
(http://www.hollywood.com/news/boxoffice/7097176/julia-roberts-vs-eric-roberts-at-boxoffice/diunduh tanggal 1 Agustus 2013 pukul 20:57). Film tersebut memperoleh review

sebagai berikut:
Gambar 1

Sumber: http://www.metacritic.com/movie/eat-pray-love
Film tersebut memperoleh review yang beragam, banyak kritik yang setuju bahwa
film tersebut menghilangkan kedalaman dalam buku karya Elizabeth Gilbert (Connolly 2010,
Honeycutt, 2010).
Terlepas dari kesuksesan film tersebut ternyata didalamnya masih mengandung
pesan klise dari film – film Hollywood lainnya tentang bagaimana pandangan barat terhadap
dunia timur. Dalam film ini terdapat tiga negara yang menjadi sorotan, yakni Italia, India dan
Indonesia. Liz menemukan kenikmatan makanan dan keceriaan kehidupan di Italia,
menemukan doa dan meditasi di India, menemukan cinta dan keseimbangan spiritual di
Indonesia. India dan Indonesia menjadi negara timur yang ada dalam film tersebut. Sama
halnya dalam film Sex and The City 2 dan Cairo Time, film ini menggambarkan tentang
penemuan jati diri orang barat di negara timur. Dalam media mainstream, sering
digambarkan bahwa
timur adalah negara primitif, perlu diselamatkan

(tergantung/dependent), sensual, terjadi tekanan terhadap seksualitas wanita, diktator,
terdapat kekerasan, eksotis/misterius/spiritual, tidak modern dan ekstremis. Atau

menggambarkan wanita timur sebagai dragon lady atau lotus blossom (Dow, 2008: 289).
Penggambaran yang biner tersebut sering muncul dalam film – film hollywood sehingga
akhirnya memberikan konsepsi yang salah tentang dunia timur. Dikotomi penggambaran
tersebut menghilangkan keragaman karakter sesungguhnya dari wanita timur.
Perjalanan semacam itu dikenal juga dengan The Imperialist Nostalgia yakni adanya
kecenderungan mengeneralisasikan ‘Liyan’, membuang beberapa konteks sejarah dengan
menggunakan cara kemanusiaan. Selama sebuah film diputar, maka muncul apa yang disebut
dengan The Claim of Power atau klaim kekuasaan yang mana melakukan kesamaan nilai
dalam kemanusiaan (Dyer, 2005: 10).
Eat Pray Love sebagai film tahun 2010 masih tidak lepas dari kondisi tersebut,
orientalisme barat masih menjadi bagian dari penggambaran perjalanan Liz selama berada di
India dan Indonesia. Sebuah NPR melaporkan adanya tema orientalisme dalam film Eat Pray
Love (Mask, 2010). Bahkan novelnya pun memperoleh kritikan yang sama dari New York
Post yakni adanya pandangan bahwa novel tersebut adalah ‘bacaan narsis era baru’ dan
kritikan atas penguatan pemikiran barat terhadap budaya dan pemikiran timur. Dalam film
tersebut muncul penggambaran masyarakat India yang seolah hidupnya didedikasikan untuk
berdoa terhadap dewa – dewa, mengenakan pakaian sari, lingkungan yang kumuh, bising dan
masyarakat yang tampak sangat sederhana. Sedangkan saat berada di Indonesia, Bali
digambarkan seperti surga dalam perspektif barat. Orang – orang mandi di sungai, membawa
buah – buahan di kepala, mengenakan baju tradisional, tidak menggunakan pengobatan

modern melainkan dukun, Liz bersepeda di tengah kebun, munculnya ungkapan ‘everybody
have love affair in Bali’. Penggambaran tersebut merupakan bentuk penggambaran dunia
timur sebagai liyan, primitif, eksotis, dll.
Dalam kajian ini permasalahan akan difokuskan pada penggambaran timur sebagai
dependent atau dunia yang menunggu diselamatkan oleh barat. Dalam film Eat Pray Love,
digambarkan melalui tiga tokoh di India dan Indonesia. Liz digambarkan sebagai tokoh yang
modern yang menyelamatkan ketiganya. Di India ia seolah menjadi penyelamat seorang gadis
India bernama Tulsi, korban budaya perjodohan India. Tulsi yang entah bagaimana tiba – tiba
menjadikan Liz sebagai teman bercerita. Tulsi ditunjukkan sebagai wanita yang tidak seperti
India kebanyakan, memiliki cita – cita dan berambisi terhadap karier, namun sayangnya ia
dijodohkan oeh keluarga.
Tokoh kedua adalah Wayan (Christine Hakim). Seorang janda berprofesi sebagai
dukun obat tradisional yang tidak memiliki rumah akibat membiayai proses perceraiannya.
Wayan hidup bersama anaknya Tutti. Mereka berdua selama ini mengontrak rumah yang
membuat Wayan selalu kehilangan pelanggan dan Tutti terpaksa selalu berpindah sekolah.
Liz kemudian dengan sukarela meminta teman – temannya di New York dan teman – teman
yang ia temui dalam perjalanannya untuk menyumbangkan uangnya untuk membeli rumah
Wayan dan anaknya Tutti sebagai hadiah ulang tahunnya.
Tokoh ketiga adalah Ketut Liyer, seorang dukun yang ditemui Liz selama dua kali
kunjungannya ke Bali. Ketut cenderung digambarkan sebagai tokoh yang bijaksana namun

dalam saat yang sama adalah tokoh sentra lelucon dalam film tersebut. I Ketut menjadi guru
spiritual Liz dan meminta Liz membantunya membuat salinan resep dan ramuan yang
diwariskan kepadanya secara turun temurun. Di akhir film, Liz memberikan buku salinan
sebagai hadiah.
Melalui penggambaran tokoh Tulsi, Wayan dan Ketut, India dan Indonesia
digambarkan sebagai dunia timur yang menunggu diselamatkan dengan berbagai
keterbatasannya (dependent). Hal – hal keliyanan tersebut mungkin dalam pandangan awam
hanyalah bagian dari keindahan sinematografi maupun bumbu cerita, namun bagaimana jika

penggambaran tersebut dipandang dalam kacamata khalayak yang tidak benar – benar
mengenal negara tersebut? Mereka akan percaya begitu saja bahwa di India semua orang
selalu berdoa kepada dewa, semua orang dijodohkan, tempatnya kumuh dan berdebu atau di
Indonesia (Bali) semua orang hidup santai seperti berlibur, semua orang jatuh cinta, semua
orang hidup mengenakan baju tradisional, semua orang pergi ke dukun dan seolah hidup
dalam zaman yang masih mengedepankan tradisionalisme. Lalu bagaimana dengan mereka
yang berada di India dan Indonesia, mereka merasa tidak terwakili dari penggambaran
tersebut. Eat Pray Love merupakan satu dari banyak film hollywood yang masih
menggunakan penggambaran orientalisme. Dunia Barat digambarkan sebagai rasional dan
timur sebagai emosional. Barat sebagai modern dan timur sebagai liar. Serta kecenderungan
menggambarkan timur sebagai dunia yang menunggu diselamatkan.

Perumusan Masalah
Eat Pray Love merupakan film yang diangkat dari novel perjalanan hidup Eizabeth Gilbert
sang penulis. Film tersebut menggambarkan Liz yang mencoba mencari jati diri dan
kebahagiaan hidup dengan melakukan perjalanan selama satu tahun ke Italia, India dan
Indonesia. Liz meninggalkan New York dan kehidupannya setelah bercerai. Melalui
perjalanannya tersebut ia menemukan kenikmatan makanan di Italia, doa dan meditasi di
India, cinta dan keseimbangan spiritual di Indonesia (Bali). Dalam film tersebut terdapat tiga
tokoh yakni Tulsi, gadis India yang dijodohkan, Wayan, janda beranak satu yang dibelikan
rumah hasil sumbangan sukarela Liz dan teman – temannya dan Ketut Liyer, seorang dukun
yang diberi salinan buku resep dan ramuan turun – temurun dari keluarganya oleh Liz.
Dalam film tersebut, hollywood masih menggunakan penggambaran yang klise
yakni penggunaan pandangan barat terhadap timur, salah satunya menggambarkan dunia
timur sebagai dunia yang sedang menunggu diselamatkan oleh barat. Tokoh – tokoh tersebut
merupakan tokoh yang dibangun untuk menunjukkan bagaimana barat berusaha menjadi
penyelamat timur. Masalah muncul saat penggambaran tersebut tidak sesuai dengan
kenyataan sebenarnya, bahwa masyarakat di Indonesia dan India merasa tidak terwakili
dengan gambaran tersebut.
Bagaimana film Eat Pray Love menggambarkan ketergantungan timur terhadap
barat? Bagaimana Eat Pray Love masih menggunakan paham klise orientalisme dalam
menggambarkan India dan Indonesia?

Objek Kajian, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Objek dalam kajian teoritis ini adalah film Eat Pray Love yang diadaptasi dari karya
Elizabeth Gilbert yang menjadi tokoh sentra dalam film tersebut dan diperankan oleh Julia
Robert. Sumber data yang digunakan adalah data primer yakni film Eat Pray Love dan data
sekunder yakni data pendukung yang diperoleh dari sumber tambahan yang berasal dari
sumber-sumber tertulis seperti buku-buku, artikel, ataupun bahan bacaan dari internet. Teknik
Pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi. Dokumentasi adalah cara
pengumpulan data dengan melakukan pemaknaan pada naskah film Eat Pray Love.
Pembahasan
a. Kerangka Teori
Kasus representasi India dan Indonesia sebagai Dependent dalam film Eat Pray Love dapat
dipandang dengan menggunakan paradigma kritis. Paradigma Kritis (critical theories)
mengacu pada alternative paradigm yang mengartikulasikan ontologi berdasarkan realisme
historis (historical realism), epistemologi yang bersifat transaksional, dan metodologi yang
dialogic dan dialectical (Denzin dan Lincoln, 2000:160)

Teori yang digunakan adalah teori Orientalisme oleh EdwardSaid, Teori Postcolonial dan
Teori Hegemoni.
1. Orientalisme
Sejarah awal perkembangan kajian Orientalisme adalah dari Inggris dan Perancis, namun

dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Amerika. Orientalisme merupakan kajian dimana
Timur menjadi objek kajian sedangkan Barat menjadi subjek yang mengkaji. Kajian
Orientalisme menunjukkan adanya wacana yang tidak seimbang yang dimunculkan dalam
kekuatan politik, kekuatan budaya dan kekuatan moral. Orientalisme merupakan distribusi
kesadaran geopolitik dalam teks – teks estetika, ekonomi, sosiologis, historis dan Filologi.
Artinya Orientalisme bukan hanya subjek politik atau kajian yang tampak pasif dalam
budaya, pendidikan serta institusi dan bukan pula sebuah representatif dan ekspresif dari
beberapa skenario imperialis barat dalam rangka menekan dunia Timur. Orientalisme
dipandang sebagai sebuah elaborasi dari perbedaan geografis dasar dengan rangkaian
kepentingan yang dikonstruksi dalam penemuan ilmiah, rekonstruksi filologi, analisis
psikologis, lanskap dan deskripsi sosiologis, yang tidak hanya menciptakan tetapi juga
mempertahankan, daripada mengungkapkan, kemauan atau keinginan untuk memahami,
dalam beberapa kasus untuk mengontrol, memanipulasi, bahkan untuk menggabungkan apa
itu dunia berbeda secara nyata (Said, 1978: 1 – 30).
Secara ringkas bahwa orientalisme merujuk pada politik, ideologi dan wacana
kontrol dunia timur oleh Eropa dan kemudian Amerika. Menurut Edward Said dan peneliti
postcolonial (Bhabha, 1994; Mohanty, 1988; Spivak, 1988) mengkritisi penggambaran yang
dikurangi dan polarisasi yang diproduksi kembali dan memperkuat kembali kontrol barat atas
timur melalui pembedaan biner antara ‘kita’ dan ‘mereka’. Menurut mereka, konten yang
dianggap oriental timur dan dunia ketiga tidak merujuk pada realitas obyektif, namun

merupakan konstruksi manusia atas nilai sejarah, budaya dan geografis. Konstruksi ini
diperkuat melalui perbedaan kekuatan, representasi media dan wacana akademis populer.
Dalam perkembangannya, orientalisme banyak digunakan dalam film – film
Hoywood, timur digambarkan sebagai negara primitif, perlu diselamatkan
(tergantung/dependent), sensual, tekanan terhadap seksualitas wanita, diktator, kekerasan,
eksotis/misterius/spiritual, tidak modern dan ekstremis. Dalam film Eat Pray Love
kemunculan tiga tokoh tersebut dan kisahnya merupakan bentuk dari orientalisme.
Bagaimana orang – orang dari negara timur seolah masih jauh dari modernitas dan butuh
pertolongan dari Liz yang berasal dari barat (New York). Tulsi yang masih terikat oleh
budaya perjodohan secara tiba – tiba bercerita banyak tentang cita – citanya kepada Liz.
Orang barat sering digambarkan sebagai pusat modernisme, tempat munculnya gerakan
pemberdayaan wanita, dimana para wanita bebas menentukan pilihan dan dapat berkarier
layaknya pria.
Tulsi dalam film tersebut digambarkan memiliki cita – cita layaknya wanita barat. Ia
menolak tradisi perjodohan dalam India dan menolak berpikir statis seperti remaja India
kebanyakan. Ia ingin berkembang dan meraih cita – cita sebagai psikolog. Dalam film ini,
budaya India jadi digambarkan kaku dan tidak mengikuti perkembangan zaman dimana saat
ini wanita dapat berkarier, padahal kenyataannya, banyak Wanita India dapat bekerja dan
berprofesi baik. Penggambaran Tulsi yang seolah meminta tolong kepada Liz untuh
memahami pikirannya menunjukkan gambaran bagaimana Liz dianggap lebih modern dan
terbuka dibanding wanita india disekeliling Tulsi yang tidak dapat memahami keinginan
Tulsi. Lalu saat pernikahan Tulsi, Liz mengenang pesta pernikahannya dan memahami
sebuah nilai spiritual untuk memaafkan diri sendiri. Kemudian menyampaikan bahwa Tulsi
akan bahagia, seolah ia memberikan jaminan bahwa Tulsi pasti bahagia. Hanya dengan
sedikit kalimat dari Liz tersebut membuat Tulsi percaya akan bahagia. Begitu saja seolah Liz
berhasil menyelesaikan kegalauan perasaan Tulsi.

Di Bali, Wayan digambarkan sebagai dukun pengobatan tradisional yang ramah,
akrab dengan siapa saja dan ingin memiliki rumah. Liz yang dengan mudah memperoeh uang
untuk membeli rumah bagi Wayan menjadi penyelamat wanita tersebut. Penggambaran
kemudahan memperoleh uang dengan nilai dolar yang nilainya lebih tinggi dibanding rupiah
menunjukkan kekuatan barat sebagai superior dalam hal ekonomi. Persoalan Wayanpun
terselesaikan dengan mudah, hanya dengan email dan sumbangan. Padahal membangun
rumah membutuhkan biaya banyak, namun dalam film Liz digambarkan menggunakan
kekuatan eknomi barat untuk dapat membeli rumah yang mahal dalam kacamata orang timur.
Sedangkan dalam kasus I Ketut Liyer, ia menjadi pria tua yang terselamatkan karena
mesin fotokopi. Liz yang awalnya dilarang memfotokopi buku mantra tersebut diam – diam
mengkopi tanpa sepengetahuan wanita penjaga rumah Ketut. Lalu menjilidnya sebagai buku
yang diberi nama Ketut. Di sini menunjukkan seolah orang timur jauh dari teknologi, masih
menggunakan metode menyalin, padahal ada mesin fotokopi. Buku fotokopi tersebut dibuat
seolah menyelamatkan hidup Ketut. Modernitas dan kepraktisan barat sekali lagi dianggap
menyelamatkan keprimitifan negara timur yang seolah tidak mengenal mesin fotokopi.
Bentuk – bentuk penyelamatan tersebut merupakan bentuk orientalisme, dimana film
Hollywood menggambarkan sebagian saja bentuk negara timur. Mereka hanya menyoroti
aspek – aspek dalam orientalisme. Khususnya dalam film ini adalah ketergantungan
(penyelamatan). Modernisme pandangan (Tulsi), kekuatan ekonomi barat (Wayan) dan
modernisme teknologi (Ketut) menyelamatkan para Asia tersebut.
2. Teori Postcolonial
Teori Postcolonial adalah postmodernime dalam kritiknya atas kolonialisme. Teori
ini berusaha memahami Eurocentrism, Imperialism dan proses kolonialisasi serta
dekolonialisasi. Teori ini berusaha meneliti, memahami dan yang paling utama
menghilangkan struktur sejarah yang dikreasi, dipelihara dan terus direproduksi dalam
pengalaman kolonialisme. Para peneliti dalam teori ini juga mengkaji tentang
neokolonialisme, yakni seperti kajian penggunaan kata negara dunia ketiga dan invasi budaya
Amerika yang menjadikan negara timur sebagai Liyan. Teori ini fokus pada bagaiamana
dunia barat melalui berbagai bentuk wacana menerima dan berbicara tentang dirinya dan
negara – negara lain selain dirinya. Bicara di sini adalah pembicaraan tentang legitimasi
struktur kekuatan tertentu dan penguatan kembali praktik kolonialisme atas negara – negara
tersebut (Stephen, 2005: 331 – 332).
Teori Postcolonialism tidak mengacu pada teori tunggal, melainkan mengacu pada
teori – teori yang diistilahkan dengan ‘postcolonial theories’. Istilah post- di sini mengacu
pada beyond (melampaui), yang mengandaikan adanya pengakuan atas sekaligus upaya
mengatasi continuing effects dari kolonialisme (Budiawan, 2010:vii). Postcolonialism
menandai masa di mana dominasi terhadap masyarakat postcolonial masih berlangsung
meskipun masa kolonialisme telah usai. Keberlangsungan kolonialisme ini bersifat lintas
waktu dan seringkali dideskripsikan sebagai sebuah neo-kolonialisme, atau dengan kata lain
sebuah keberlanjutan dari imperialisme yang terjadi akibat sebagian besar kaum kolonial
masih tetap menjadi ‘orang yang sama’ yang menjajah dalam wajah dan tampilan yang
berbeda (Ramutsindela, 2003:1; Sutrisno dan Putranto, 2004: 123).
Biasanya bentuk penjajahan tersebut menggunakan media sebagai mediumnya.
Menyebarkan ideologi dominan terhadap masyarakat postcolonial. Eat Pray Love menjadi
bentuk media yang menyampaikan ideologi barat terhadap masyarakat postcolonial yakni
India dan Indonesia. India merupakan negara bekas jajahan Inggris dan Indonesia bekas
jajahan Belanda. Keduanya merupakan negara postcolonial. Penggambaran dalam Eat Pray
Love berusaha menempatkan mereka kembali dalam bawah jajahan barat dengan
menanamkan ideologi dependent.

3. Teori Hegemoni
Hegemoni adalah dominasi dari ideologi yang salah atau cara pikir yang menutupi kondisi
yang sebenarnya. Ideologi dominan tersebut memiliki ketertarikan untuk menguasai budaya
tertentu dan media memainkan peranan terbesar dalam proses ini. Teori Hegemoni dapat
berada dalam kajian kritis dan juga dalam kajian budaya. Perbedaannya, dalam kajian kritis
teori ini mengacu pada dominasi suatu kelas/kelompok terhadap kelompok lain, sedangkan
dalam kajian budaya, hegemoni mendesain dominasi seperangkat ide atas ide lainnya
(Stephen, 2005: 292 – 293).
Dalam kajian teoritis ini, teori hegemoni berada dalam ranah kajian budaya. Teori
Hegemoni menggunakan kekuatan media untuk mendominasi ide lainnya. Selama ini film
Hollywood merupakan media mainstream yang menyalurkan gagasan – gagasan barat ke
seluruh dunia. Media memiliki pengaruh besar dalam membentuk gagasan dalam benak
penontonnya. Misalnya saja, film Hollywood selalu menggambarkan timur tengah sebagai
wilayah rawan konflik, sering terjadi perang. Akibatnya orang negara lain cenderung
mengidentikan timur tengah sebagai wilayah perang. Padahal timur tengah tidak selalu
berperang, mereka hidup biasa seperti negara lain. Hal tersebut yang kemudian memberikan
gagasan salah dalam benak penontonnya.
Dalam film Eat Pray Love, gagasan akan kekuatan ekonomi, modernitas teknologi
dan kemajuan pandangan dikemas menjadi sebuah aksi patriotik Liz. Aksi tersebut
merupakan hasil gagasan ideologi barat tentang kekuatan mereka atas dunia timur yang
dianggap Liyan. Penyampaian gagasan dalam bentuk aksi patriotik tersebut kemudian akan
membentuk makna pesan positif dalam benak orang yang menonton. Mereka yang menonton
akan mengamini perbuatan Liz sebagai perbuatan baik dan tertanam dalam benak mereka
bahwa barat lebih maju pandangannya, lebih modern penggunaan teknologinya dan kekuatan
ekonominya sangat kuat, sehingga persoalan – persoalan yang dianggap rumit di dunia timur
dapat diselesaikan dengan mudah oleh mereka. Gagasan tersebutlah yang merupakan bentuk
teori hegemoni yang memanfaatkan film Hollywood sebagai medianya.
b. Analisa Sumber Sekunder
Peneliti tentang orientalisme dalam Eat Pray Love sebelumnya pernah dilakukan melalui
presentasi NPR dan jurnal penelitian komunikasi dalam ICA Conference. Penelitian
keduanya menjelaskan tentang bagaimana Eat Pray Love masih berbau orientalisme.
Perbedaan dengan kajian teoritis ini adalah bahwa kajian ini hanya akan difokuskan pada
posisi Liyan sebagai dependent. Berdasarakan penelitian sebelumnya, terdapat 4 karakter
yang memperkuat orientalisme yakni Tulsi, Wayan, Ketut dan Pembantu Ketut. Namun
dalam kajian ini akan diambil 3 tokoh saja yakni Tulsi, Wayan dan Ketut yang merupakan
tokoh yang menunjukan bagaimana Liyan dibantu.
1. Tulsi
Tulsi adalah tokoh yang muncul dalam konteks pernikahan remaja India yang ditemui oleh
Liz saat berada di Ahsram. Tulsi mengakui bahwa dia akan dijodohkan dengan seorang pria
yang tidak ia cintai di pertemuan pertamanya dengan Liz. Di akhir cerita, Liz menyatakan
akan mendedikasikan doanya untuk Tulsi. Hal ini menunjukan naratif familiar atas One-Third
World ‘Feminist’ yang membantu Third World Women. Liz Berdoa untuk Tulsi agar
berbahagia dalam pernikahannya dan dalam film, pernikahan digambarkan dengan banyak
sudut pandang orientalisme. Tulsi mengenakan permata dan kerudung, menari di antara nyala
api dimana para saksi pernikahan melihat mereka. Gambar tersebut menunjukkan pandangan
orientalisme bahwa wanita dunia ketiga sebagai obyek untuk dipajang dalam pandangan
negara maju. Kerudung merupakan gambaran ‘bungkus hadiah’ yang berarti wanita adalah
hadiah bagi pria.

2. Ketut
Berdasarkan NPR bahwa ketika penonton diajak mempercayai adanya persahabatan antara
Liz dan Ketut maka sebenarnya karakter Ketut adalah guyonan. Dalam film, Pria Bali yang
mana dijadikan sebagai guru spiritual oleh Liz digambarkan sebagai seorang pria ompong
yang bahasa inggrisnya dibuat-buat dan tersendat-sendat. Dalam satu poin di film, Liz
bercanda dengan temannya bahwa pria tersebut tampak seperti Yoda, tokoh di Star Wars.
Meskipun memperoleh peran besar dalam film, Ketut secara dominan hanya muncul sebagai
tokoh yang memfasilitasi pertumbuhan jiwa Liz. Salah satu cara menunjukan dominasi
orientalisme adalah angle kamera yang dibuat menyorot dari bawah saat merujuk ke Ketut
dan dilihat ke atas saat merujuk pada Liz. Jika hal tersebut disebabkan karena perbedaan
tinggi, sangat tidak masuk akal karena saat berada di Italia, teman Swedia Liz memiliki tinggi
yang sama dengan Ketut namun sorot kamera tidak diperlakukan sama dengan Ketut dan Liz.
3. Wayan
Fenomena angle kamera yang sama dan pandangan mata terjadi pada karakter Wayan. Saat
Liz menyerahkan amplop bantuan dana, angle kamera membuat seolah Liz berada di atas dan
menyorot Wayan yang jauh di bawah. Wayan dibuat menjadi sama dengan status bawahan.
Wayan adalah seorang wanita dukun tradisional menjadi kasus charity yang dilakukan oleh
Liz. Liz mengadakan penggalangan dana untuk membantu Wayan membangun rumah.
Sebenarnya penceritaan tersebut tidak ada di buku. Sekali lagi, sama dengan Tulsi. Bahwa
ada upaya menunjukan wanita kulit putih membantu wanita kulit cokelat dari pria kulit
cokelat ( Spivak, 1988; Mohanty, 1988).Wayan disiksa oleh suaminya, kehilangan segalanya
dalam pernikahan dan hukuman sosial tampaknya membuat wacana penyelamatan menjadi
semakin efektif. Disebut juga dengan System Of Truths (Said, 1978: 204)
Berdasarkan data sekunder diperoleh bagaimana tokoh – tokoh tersebut
digambarkan dalam film. Penggambaran cenderung tidak seimbang dan dinyatakan adanya
upaya menjadikan Liyan sebagai Dependent.
c. Analisa Script
Dalam penggambaran Liyan sebagai dependent, maka selain berdasarkan dukungan data
sekunder di atas perlu dilakukan analisa naskah film Eat Pray Love. Naskah yang akan
dianalisa adalah potongan dialog yang digunakan saat muncul interaksi antara tokoh Tulsi –
Ketut – Wayan dengan Liz. Berikut analisa naskah masing – masing tokoh saat berinteraksi
dengan Liz:
1. Tulsi
SCENE 1
Situasi: Liz dan Tulsi bertemu saat bertugas mengepel lantai ruang berdoa
Tulsi : Is there anything in this world skinnier than an lndian teenage boy?
l'm Tulsi.
Liz
: Liz
Where are you from?
Tulsi
The next town. My parents have been devotees of the guru for many years.
We spend a lot of time here.
But...
...they are trying to marry me off.
That's the custom.
Liz
: That's not what you want?
Tulsi : No way. lt sucks.
I want to study psychology, just as our guru did when she attended college.
I prefer to be with God than boys my age.

No one in my family understands my coming all the way to India.
Do you ever look at them and wonder, "What am I doing in this family?"
Liz
: You have no idea.
Dalam percakapan tersebut Tulsi mengawali perkenalan dengan melakukan sindiran
terhadap fisik anak laki – laki India. Lalu setelah menyebutkan nama ia langsung dengan
terbuka mengungkapkan bagaimana nasibnya yang menjadi korban perjodohan tradisi India.
Ia memiliki mimpi sebagai wanita karier, seorang psikolog seperti Guru Gita. Dalam
percakapan tersebut dapat ditafsirkan pesan bahwa wanita Liyan kurang progresif
dibandingkan sikap liberal kemerdekaan wanita barat yang diklaim dan diwujudkan dalam
budaya barat. Dalam naskah tersebut Liz hanya 4 kali angkat bicara: saat memperkenalkan
diri, menanyakan asal Tulsi, bertanya pendapat Tulsi tentang pernikahan tersebut dan
pendapat atas pertanyaan Tulsi. Sedikitnya kalimat Liz dan pandangan yang diberikan Liz
pada Tulsi menunjukan adanya ketidaktertarikan. Tulsi digambarkan jauh lebih bersemangat
dibandingkan Liz terhadap Tulsi. Selama bercerita, Tulsi melihat ke arah Liz secara penuh
dan berhenti mengepel. Sebaliknya, Liz mendengarkan tanpa memperhatikan 100%, hanya
sesekali menoleh dan tetap melakukan pekerjaannya.
SCENE 2
Situasi : Liz dan Tulsi makan siang bersama di bangsal ruang makan
Tulsi
: It is most commendable that you ended your marriage.
You seem like such a happy, free person now.
Liz
: I think my ex-husband would describe me as selfish.
Tulsi
: You mustn't be angry with yourself or disappointed.
You don't have to make children or be married to have a family.
Richard : Oh, man. They got mosquitoes here big enough...
...to stand flat-footed and screw a chicken.
Tulsi
: l love you.
Liz, have you met...
Richard : ...Richard from Texas?
Liz
: Hello, Richard from Texas.
Percakapan Liz dan Tulsi berikutnya masih menunjukan bagaimana pandangan Tulsi
terhadap pernikahan. Tulsi digambarkan mencintai kebebasan, menganggap pernikahan
sebagai kungkungan. Sekali lagi Liz digambarkan tidak banyak bicara dan tidak 100%
menanggapi setiap perkataan Tulsi. Sama dengan kondisi scene perkenalan dimana Tulsi
bercerita seraya memandang ke arah Liz, dalam scene ini kembali Liz sibuk makan dan tidak
menanggapi serius pembicaraan Tulsi. Sementara Tulsi berhenti makan dan berbicara dengan
penuh semangat.
SCENE 3
Setting: Setelah pernikahan Tulsi. Di depan meja sembahyang, antara Liz dan Tulsi
Liz
: I owe you a wedding gift. I didn't know what was appropriate.
I wanted to tell you l've been...
...dedicating my Guru Gita to you.
Imagining you happy is what got me through it.
Tulsi
: What did it look like...
...when I was happy?
Liz
: I imagine you and Rijul...
...smiling and looking

at each other...
...with love and kindness.
Percakapan tersebut berada di scene akhir persahabatan antara Liz dan Tulsi. Liz
kali ini membuka pembicaraan terlebih dahulu, namun tetap Tulsi menjadi pihak yang
mencari Liz. Upaya Tulsi untuk selalu mendekati Liz pertama menunjukan adanya kesan
‘devotion’ dari Tulsi terhadap Liz yang digambarkan tidak setertarik Tulsi. Liz mendoakan
Tulsi. Yang mengganjal adalah kalimat dorongan Liz tersebut ditanggapi dengan senyuman
lega Tulsi, seolah Liz berhasil meyakinkannya akan kebahagiaan yang akan ia peroleh. Liz
digambarkan sebagai wanita ‘maha tahu’. Tulsi menjadikan Liz sebagai yang lebih
memahami, yang lebih mengerti dan lebih tahu. Karenanya saat Liz mengatakan demikian,
dengan mudah Tulsi menyatakan rasa terima kasihnya.
Pada scene sebelumnya, saat Tulsi sedang didandani untuk upacara pernikahan,
tampak scene Liz yang didandani dengan busana India. Tulsi dan Liz dari jauh saling
bertukar pandang. Tulsi nampak membutuhkan dukungan dan ketakutan, mengharapkan
penenangan dari Liz. Pandangan tersebut disambut pandangan menenangkan dari Liz, ia
menenangkan Tulsi dengan menganggukan kepala sedikit sembari memejam sejenak.
Selanjutnya dilanjutkan ke pesta pernikahan dimana seluruh pengunjung pesta
menari bersama mempelai, Tulsi lagi – lagi melemparkan pandangan ke arah Liz, seolah
tengah meminta pertolongan. Kali ini Liz balas memandang Tulsi dengan pandangan sedih
dari jauh seraya mengingat saat pesta pernikahannya dulu.
Dari beberapa scene tersebut menggambarkan persahabatan antara Liz dan Tulsi yang tidak
sama dengan persahabatan antara Liz dengan wanita Swedia yang ia temui sebelumnya di
Italia. Wanita Swedia tersebut digambarkan sejajar, mereka tertawa bersama dan
pembicaraan berlangsung seimbang. Liz dan wanita swedia tersebut bergurau dan melakukan
hal – hal layaknya teman lama. Sedangkan Tulsi dan Liz tidak demikian.

2. Ketut
SCENE 1
Situasi: Liz bertemu pertama kali dengan Ketut di pendopo rumah Ketut
Liz
: I'm Liz Gilbert. I'm writing a magazine article on Bali.
I wanted to meet a medicine man.
Everyone said I should meet Ketut Liyer.
Am l in the right place?
Wait.
l mean, here I am with a ninth-generation medicine man...
...and what do I wanna ask him about?
Getting closer to God?
Saving the world's starving children? (monolog)
Ketut : Happy to see you. l am Ketut Liyer.
Liz
: Nope. l wanna discuss my relationship (monolog)
Ketut : You are a world traveler.
You will live a long time...
...have many friends, many experiences.
You will have two marriages.
One long, one short.
Liz
: Am l in the long one or the short one?
Ketut : Can't tell.

Also you will lose all your money.
I think in next six to 10 months.
Don't worry.
You will get it all back again.
And you will come back to Bali...
...and live here for three or four months and teach me
English.
I never had anybody to practice my English with.
And then...
l will teach you everything l know.
Demikian cuplikan pertemuan pertama antara Liz dan Ketut. Pertemuan tersebut
terjadi di awal film. Dalam percakapan tersebut tergambarkan situasi dimana seseorang
dengan mudah terbuka kepada Liz. Sama dengan Tulsi yang langsung membuka percakapan
tentang masalah pribadinya yang dijodohkan, dalam scene pertemuan Liz dan Ketut, sekali
lagi digambarkan Ketut yang langsung meminta Liz membantunya mengajari bahasa inggris
seperti seseorang yang sudah kenal lama. Selain itu ada adegan dimana Ketut menarik tangan
Liz seusai memperkenalkan diri. Padahal bukan kebiasaan masyarakat Indonesia untuk
langsung menyentuh orang yang baru kenal. Selain itu sekali lagi angle kamera menyorot dari
atas saat merujuk pada Ketut dan sebaliknya saat merujuk pada Liz.
SCENE 2
Situasi: Liz dan Ketut bertemu kembali di pendopo rumah Ketut
Liz
: Hello, Ketut.
Ketut
: I'm very happy to meet you.
You are a world traveler.
Liz
: No, I came to see you about a year ago.
Ketut
: You girl from California?
Liz
: No, I girl from New York.
Ketut
: Don't remember.
Liz
: Well, you told me I should come back here to Bali.
You said I could help you with your English...
...and you would teach me the things that you know.
You gave me this.
Ketut
: Okay.
You. You. l remember you.
Liz
: Oh, good.
Ketut
: You sad girl from New York.
Liz
: Yes.
Ketut
: You Liss. You came back.
Liz
: l came back.
Ketut
: You, you, you.
Liz
: Me, me, me.
Ketut
: So long ago we meet.
Last time, you have too much worry, too much sorrow.
Last time, you look like sad old woman.
Now you pretty.

Why so different?
Liz
: Well...
...a lot of things, really.
But l was in Rome for four months, just feeding myself...
...and then I went to live at an ashram in lndia.
Ketut
: Now, we put together.
Liz
: Exactly. That's why l'm here.
Ketut
: Good for that.
Pembantu Wayan : What'd you give him?
Liz
: Do you still want me to help you with your English?
Ketut
: English later, Liss.
First, better idea.
Liz
: How old are these?
Ketut
: From grandfather.
Very important spells.
Also mantras, cures.
Thousand years' worth.
All I have, all l know, right here.
You copy for me?
Liz
: Absolutely. l can go to town
and take these-Ketut
: No. You don't take.
You copy here, better, Liss.
I take a nap now. l very old.
Liz
: How old are you, Ketut?
One hundred and one...
...or maybe 64.
Don't remember
Dialog tersebut menunjukan kembali bagaimana Ketut dengan mudah dekat dengan
Liz dan meminta tolong sesuatu. Mengingat mereka baru saja bertemu kembali seharusnya
kepercayaan tidak dengan mudah terbentuk, namun Ketut dengan mudah menyerahkan kertas
– kertas mantra yang adalah warisan turun-temurun keluarganya yang berharga. Yang bahkan
terlalu berharga hingga tidak boleh dibawa keluar, namun dapat dengan mudah diserahkan
kepada orang asing yang dikenal sebentar saja.
SCENE 3
Situasi: Pepisahan di pendopo rumah Ketut
Liz
: For you.
A goodbye gift. Ketut.
Ketut
: Liss...
...you healed me.
Liz
: You healed me too, Ketut.
If it wasn't for you, I wouldn't have come back to Bali...
...and l wouldn't have come back to myself.
Pembantu Ketut
: You want coffee? Roast pig?
Liz
: Coffee.

Pembantu Ketut
Ketut
Liz

:
:
:

I get you coffee.
You fly back to America soon?
In two hours.
Have you ever been on an airplane, Ketut?
Ketut
: Ketut cannot fly on aeroplane.
Ketut have no teeths.
You are good friend to me.
You are like daughter.
When I die...
...you will come back to Bali?
Come to my cremation?
Balinese cremation ceremony is very fun.
You will like it.
Liz
: Okay.
Ketut
: You still smile with your liver, like l tell you?
Liz
: Yes.
You still meditate like your guru in India teach you?
Liz
: Yes.
Ketut
: You happy now with God?
Liz
: Yes.
Ketut
: You love your new boyfriend?
Liz
: I ended it.
Percakapan tersebut merupakan yang terakhir antara Liz dan Ketut sekaligus
menjelang penutup film Eat Pray Love. Situasinya Liz hendak pamit pulang. Ia menyerahkan
buku hasil fotokopi yang diminta oleh Ketut ia salin. Ucapan: ‘You healed me’ menunjukan
bagaimana hadiah salinan buku tersebut sangat berharga, hingga bersifat ‘menyembuhkan’.
‘Healed’ di sini disetarakan dengan ‘healed’ yang terjadi pada Liz atas bantuan Ketut. Liz
memperoleh bantuan spiritual sedangkan Ketut memperoleh bantuan dengan bantuan
teknologi fotokopi. Spiritual menjadi milik Liyan sedangkan modernitas identik dengan barat.

3. Wayan
SCENE 1
Situasi: Liz menulis email kepada teman – temannya di negara maju dilanjutkan progress
cerita film
Liz
: (Monolog)
Dear friends and loved ones:
My birthday's coming up soon.
If I were home, l'd be planning a stupid, expensive...
...birthday party and you'd all be buying me gifts and bottles of
wine.
A cheaper, more lovely way to celebrate would be to...
...make a donation to help a healer
named Wayan Nuriyasih...
...buy a house in Indonesia.
She's a single mother.
ln Bali, after a divorce...

Tutti

:

Wayan
Liz

:
:

Wayan

:

...a woman gets nothing, not even her children.
To gain custody of her daughter, Tutti, Wayan had to sell
everything...
...even her bath mat, to pay for a lawyer.
For years, they've moved from place to place.
Each time, Wayan loses clientele and Tutti has to change schools.
This little group of people in Bali have become my family.
And we must take care of our families, wherever we find them.
Today l saw Tutti playing with a blue tile she'd found in the road...
...near a hotel construction site.
She told me:
Maybe if we have a house someday...
...it can have a pretty blue floor like this.
When I was in Italy, I learned a word-It's "tutti" with double T.
--which in ltalian means "everybody."
So that's the lesson, isn't it?
When you set out in the world to help yourself...
...sometimes you end up helping Tutti.
Tell me again.
Eighteen thousand American dollars.
I brought you the e-mails to look at.
Oh, my God.
We get a house.
It can be the house for everybody!
I can have a pharmacy!
I can have a library!

Dalam monolog Liz saat menulis email ada kalimat yang menyatakan:
If I were home, l'd be planning a stupid, expensive...
...birthday party and you'd all be buying me gifts and bottles of
wine.
A cheaper, more lovely way to celebrate would be to...
...make a donation to help a healer
named Wayan Nuriyasih...
...buy a house in Indonesia.
Kedua kalimat tersebut adalah hal yang sangat kontras. Pesta ulang tahun yang
MAHAL dan cara yang lebih MURAH untuk merayakannya. Dan diakhiri dengan membeli
rumah di Indonesia. Hal tersebut menunjukan perbandingan ekonomi antara negara maju dan
negara dunia ketiga. Seolah dikomparasikan harga rumah dengan harga sebuah pesta dan
hadiah ulang tahun.
Uang yang terkumpul senilai $ 18.000 atau dalam rupiah senilai Rp 176.400.000,00.
Uang yang tidak sedikit. Uang tersebut dapat untuk membangun sebuah rumah dan uang
yang begitu besar diperoleh melalui donasi beberapa teman Liz saja. Dari script tersebut
menunjukan adanya upaya menunjukkan kekuatan ekonomi barat dalam menyelesaikan

persoalan ekonomi Liyan. Bahwa nilai yang begitu besar bagi Liyan sebenarnya hanya
seharga sebuah pesta ulang tahun.
Selain itu terdapat kalimat yang menyudutkan hukum di Indonesia terhadap wanita,
yakni monolog berikut:
“ln Bali, after a divorce...
...a woman gets nothing, not even her children.”
Penggalan kalimat tersebut menggambarkan bagaimana wanita liyan tidak memperoleh
haknya setelah bercerai. Ada makna tersirat bahwa wanita di barat tidak akan memperoleh
perlakuan demikian. Selain itu wanita timur dianggap tidak setara dengan pria berdasarkan
kalimat tersebut. Cara Liz menceritakan menunjukkan hal tersebut tidak terjadi di Amerika.
Kalimat tersebut menunjukan upaya me’liyan’ kan Bali.
D. PENUTUP
Wacana Orientalisme ternyata masih kental dalam berbagai produk Amerika khususnya
dalam hal ini adalah film Hollywood yang diadaptasi dari novel terkenal karya Eizabeth
Gilbert ‘Eat Pray Love’. Dalam film tersebut, orientalisme salah satunya terjadi dengan
menunjukan pihak negara dunia ketiga sebagai dependent. Dalam hal ini India dan Indonesia.
Liz tokoh sentra dalam film tersebut menjadi tokoh yang melakukan tindakan patriotik
dengan membantu tiga tokoh dalam film yakni Tulsi (India), Ketut dan Wayan (Indonesia).
Dalam kajian ini upaya merepresentasi Liyan sebagai dependent dibuktikan dengan
data sekunder analisa penelitian sebelumnya yang meneliti Orientalisme secara keseluruhan
dalam film Eat Pray Love dan sebuah presentasi indikasi Orientalisme dalam film Eat Pray
Love oleh NPR. Pembuktian lainnya dilakukan dengan melakukan dekodifikasi script Eat
Pray Love dalam scene yang menunjukkan interaksi antara Liz dan ketiga tokoh tersebut.
Hasil menunjukkan bahwa film Eat Pray Love merepresentasikan Liyan sebagai dependent.
Kajian teoritis ini dapat berguna untuk memperkaya penelitian atau kajian tentang
orientalisme dan menjadi referensi bagi akademisi dalam melakukan kajian orientalisme.
Bagi penelitian selanjutnya dapat dilakukan breakdown penggambaran Liyan lainnya dengan
menggunakan metode yang lebih lengkap seperti analisis semiotika.

DAFTAR PUSTAKA
Bhabha, H. K. (1994). The location of culture. New York: Routledge.
Budiawan. (2010). Ambivalensi: Post Kolonialisme Membedah Musik Sampai
Agama di Indonesia . Yogyakarta: Jalasutra
Connolly, M. (2010, August 12). Eat pray love, film review. Slant
Magazine.http://www.slantmagazine.com /film/review/eat-pray-love/4945.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). (2000). Handbook of
Qualitative Research. New York: Sage Publications
Dow, Bonnie J. & Julia T. W ood. (2006). The SAGE Handbook of Gender and
Communication. California: SAGE Publication, Inc.
Dyer, R. (2005). The matter of whiteness. In P. S. Rothenberg (Ed.), White privilege:
Essential readings on the other side of racism (pp. 9-18). New York: Worth
publishers.
Honeycutt, K. (2010, August 11). Eat pray love: Film review. The Hollywood Reporter.
Mask, M. (2010). Eat, pray, love, leave: Orientalism still big onscreen . NPR.
http://www.npr.org/templates/story/story.php?storyId=129254808. Accessed on
May 5, 2011.
Mohanty, C. T. (1988). Under western eyes: Feminist scholarship and colonial discourses .
Feminist Review, 30, 65-88.
Ramutsindela, Maano. (2004). Parks and People in Postcolonial Societies:
Experiences in Southern Africa . New York: Kluwer Academic Publisher
Said, Edward. (1978). Orientalism. New York: Pantheon.
Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism
and the interpretation of culture (pp. 24-28). London: Macmillan.
Stephen W, Littlejohn & Karen A. Foss. (2005). Theories of Human Communication : Eighth
Edition.CA: Wadsworth.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (eds.). (2004). Hermeneutika Pascakolonial:
Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius
Rujukan data sekunder:
The Punitive Theater of the Western Gaze: Staging Orientalism in Eat Pray Love. Visual
Communication Studies Division ICA Conference 2012
Sumber Internet:
http://en.wikipedia.org/wiki/Eat,_Pray,_Love
http://www.hollywood.com/news/boxoffice/7097176/julia-roberts-vs-eric-roberts-at-boxoffice/diunduh tanggal 1 Agustus 2013 pukul 20:57
http://www.metacritic.com/movie/eat-pray-love
http://www.springfieldspringfield.co.uk/movie_script.php?movie=eat-pray-love