PERTARUNGAN TERSELUBUNG DALAM JIWA Sebua

Universitas Kristen Duta Wacana
-Program Pasca Sarjana TeologiTEOLOGI, SPIRITUALITAS DAN SENI
Pdt. Prof. Dr. (h.c.) E. Gerrit Singgih, Ph.D.
Tugas : Tugas Akhir (Final Paper)
Oleh : Daniel Syafaat Siahaan
NIM : 50140019
PERTARUNGAN TERSELUBUNG DALAM JIWA
(Sebuah Refleksi Melalui Lukisan “Ayam Tarung” Karya Affandi Menurut
Perspektif Teologi, Spiritualitas dan Seni)
PENDAHULUAN
Dalam tulisan kata pengantar buku Syafa’atun Almirzanah, When Mystic
Masters Meet, J.B. Banawiratma menyiratkan pesan bahwa dalam kehidupan
beragama masa kini, sudah seharusnya seseorang meninggalkan sikap arogan
terhadap agamanya sendiri sebagai sebuah kebenaran mutlak dan menganggap agama
lain sebagai kafir, pendosa, dan tidak memiliki kebenaran sama sekali. J.B.
Banawiratma, menuliskan:
Konteks kemajemukan dan intensnya komunikasi melalui berbagai media
komunikasi dewasa ini secara luar biasa memasukkan orang atau kelompok ke
bermacam-macam relasi. Hal itu menumbuhkan kesadaran baru pula bahwa
indentitas akan semakin dilihat tidak terlepas dari relasi. Saya menggambarkan
identitas saya dalam relasi dengan yang lain. Gambaran identitas saya sebagai

orang Kristiani berhubungan dengan bagaimana saya berelasi dengan saudarasaudari yang beriman dan beragama lain. relasi dengan yang lain itu
merupakan bagian dari identitas saya. Orang atau komunitas yang terlepas dari
relasi menjadi orang atau komunitas yang mengisolasikan dan memarginalkan
diri. Suatu club tertutup dengan label Kristiani tidak dapat disebut sebagai
Komunitas Iman Kristiani. Begitu pula yang berlaku bagi iman dan agama
lain. itulah makna to be religious today is to be interreligious yang secara
akademis dikembangkan melalui interreligious studies.1
Melalui pemahaman seperti ini, ada kemungkinan terciptanya masyarakat plural yang
harmonis. Apabila setiap orang dari agama yang berbeda-beda memiliki dasar
pemikiran bahwa ada kebaikan dari agama lain, maka hal inidapat memunculkan rasa
kebersamaan, bukannya malah bersikap arogan dengan beranggapan bahwa hanya
agama yang dimilikinya sajalah yang benar.

1 Syafa’atun Almirzanah, When Mystic Masters Meet, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008),
hal. xviii.

1

2


Meskipun dalam bentuk berbeda, setiap agama memiliki kesamaan
mendasar dalam mengajar tentang kebaikan. Selalu ada dua elemen, yaitu baik dan
jahat, yang diangkat oleh agama-agama. Memang, bentuk kebaikan dan kejahatan
yang dikemas dalam setiap agama berbeda-beda, namun, tidak dipungkiri bahwa di
setiap agama dua elemen ini selalu hadir. Baik dan jahat. Konsep baik dan jahat ini
juga terdapat dalam agama-agama suku, budaya, bahkan sistem hukum. Kehadiran
dua elemen mendasar dari kehidupan manusia ini jugalah yang menjadi kegelisahan
Affandi. Affandi kemudian mencoba menerjemahkan dua elemen kehidupan manusia
yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan manusia ini, ke dalam sebuah materi
gamblang, lukisan.
Affandi, Si Maestro Seni Lukis Indonesia
Affandi Koesoema (Cirebon, Jawa Barat, 1907 - 23 Mei 1990) adalah
seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, mungkin pelukis
Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, dilahirkan di Cirebon pada
tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug,
Cirebon.2 Sosok sederhana ini ternyata memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Dari
segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup
tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan
selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh
segelintir anak negeri.3 Sulit menemukan alasan logis untuk seseorang yang memiliki

pendidikan cukup tinggi seperti Affandi, akhirnya menjadi seorang pelukis sederhana,
yang apabila melihat langsung penampilannya, orang tidak akan percaya ia memiliki
latarbelakang pendidikan demikian. Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental
mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan
namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.4
Gamal Kartono, seorang dosen seni rupa di Universitas Negeri Medan
berusaha menjelaskan sumber inspirasi Affandi, dengan menuliskan demikian:
Konsistensi pada humanisme merupakan titik tolak penciptaan dan
perjuangannya dalam melukis, dan tentu saja ekspresi emosi yang tercurah
disertai dengan eksperimen. Indikasi ini terlihat dari visualisasi karya
karyanya yang terdiri dari berbagai teknik dan objek pelukisan. Affandi
termasuk seniman yang harus melukis dengan objek nyata di hadapannya, oleh
karena itu objeknya harus akrab dengannya. Kondisi sosial, lingkungan alam,
2 http://id.wikipedia.org/wiki/Affandi, diakses pada tanggal 18 Desember 2014, pukul 13.43.
3 Ibid.
4 Ibid.

3

keluarga, sampai pada wajahnya sendiri merupakan situasi lingkungan

kesehariannya.5
Penulis sendiri juga sudah melakukan perkunjungan langsung ke Museum Affandi,
tepat di sebelah aliran Sungai Gajah Wong, utara kampus UIN itu. Di sebelah tempat
parkir sepeda motor, terdapat patung raksasa Affandi yang memiliki tangan sebanyak
empat. Di antara tiga tangan patung itu, Affandi terlihat memegang pipa rokok, cat
lukis, dan ayam jago. Sepertinya, maksud dari objek-objek yang terdapat di tangan
patung itu hendak menyiratkan benda-benda terdekat yang ada di sekitar Beliau.
Menarik, ketika melihat bahwa ayam jago juga menjadi salah satu objek yang disukai
beliau. Ternyata, memang beberapa (bahkan banyak) lukisan Affandi menjadikan
ayam jago sebagai objeknya. Penulis akhirnya memahami dan setuju dengan pendapat
Gamal Kartono, bahwa Affandi merupakan seniman yang melukis objek nyata di
hadapannya dan akrab dengan objek itu. Melalui salah satu objek kesukaan Affandi
inilah yang akhirnya menuntun penulis untuk mengangkat dan meminjam salah satu
“gambar ayam” Affandi ini, sebagai rujukan tugas perkuliahan Teologi, Spiritualitas
dan Seni.

Lukisan “Ayam Tarung”
Lukisan ini terpampang indah di deretan lukisan-lukisan karya Affandi, di
salah satu galeri lukisnya, di Museum Affandi, sebelah Sungai Gajah Wong dengan
judul “Ayam Tarung”. “Pelukis: Affandi, Tahun karya: 1979, Judul : "Ayam

tarung",Ukuran : 136cm X 91cm, Media : Oil on Canvas,”6 demikianlah deskripsi
yang diberikan kepada lukisan ini. Apabila melihat sekilas lukisan ini, setiap orang
akan sulit untuk menyadari apa sebenarnya objek dari lukisan ini. Ya, memang
Affandi adalah pelukis yang terkenal dengan lukisan-lukisan abstraknya. Namun,
dengan sedikit memerhatikan lebih jeli, pada bagian tengah lukisan ini, paduan warna
merah tersebut akan membentuk dua kepala ayam jago. Penegasan bahwa objek ini
adalah dua ayam jago semakin terlihat dengan memerhatikan bentuk kaki ayam yang
seakan sedang melompat, di sisi kiri dan sisi kanan lukisan ini. Akhirnya, dengan
sedikit menajamkan imajinasi lagi, penulis sendiri dapat melihat ada dua ayam jago
yang sedang bertarung. Satunya berwarna kuning keemasan, dan satunya berwarna
5 Gamal Kartono, Bagaimana Cara Mengamati Lukisan Karya Affandi, (Medan: Fakultas Bahasa dan
Seni Universitas Negeri Medan, 2008), hal. 2.
6 http://blog-senirupa.blogspot.com/2012/11/lukisan-affandi-ayam-tarung.html, diakses pada tanggal
18 Desember 2014, pukul 13.43.

4

hitam. Goresan-goresan abstrak yang langsung dari jari-jari sang Maestro, seolah
menegaskan betapa sengitnya pertarungan antara dua ayam jago tersebut.
Tepat di bawah lukisan ini, ada tulisan yang kurang lebih seperti ini:

Dalam lukisan Affandi ini Melukiskan sebuah pertarungan ayam yang sangat
sengit, antara Ayam jago berwarna putih keemasan dan Ayam jago berwarna
hitam keemasan, yang merupakan simbol pertarungan antara kejahatan dan
kebenaran, itulah yang terjadi dalam kehidupan, dalam setiap diri manusia,
dimana setiap waktu selalu dihadapkan antara dua pilihan baik dan buruk,
selalu terjadi pertarungan antara keduanya, adakalanya kebenaran harus
tersingkirkan, adakalanya kejahatan harus terhapuskan, namun yang pasti
kebenaran akan selalu menang pada akhirnya.7
Setidaknya, tulisan kecil inilah yang akhirnya menolong para pengamat lukisan di
galeri itu untuk memahami lukisan apa itu, dan apa makna di baliknya. Benar-benar
menarik cara Affandi mengajarkan sebuah ajaran moral dengan lukisan, dan objek
lukisan sendiri berada sangat dekat dirinya, bahkan sangat dekat di kebanyakan
masyarakat Indonesia.
REFLEKSI LUKISAN “AYAM TARUNG” MELALUI PERSPEKTIF
TEOLOGI, SPIRITUALITAS DAN SENI
Sebagai orang Indonesia, khususnya bagi mereka Suku Jawa, sepertinya
kegiatan mempertandingkan ayam satu dengan yang lain merupakan kegiatan yang
sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan inilah yang akhirnya dipakai
Affandi untuk mencoba menyisipkan ajaran moral tentang baik dan buruk dalam
lukisannya. Dua ayam, yang satu berwarna keemasan sebagai yang baik, dan yang

lain berwarna hitam sebagai yang jahat. Pertarungan antara baik dan jahat menurut
Affandi juga selalu ada di dalam diri setiap orang, ketika diperhadapkan dengan
pilihan untuk melakukan yang baik atau yang jahat.
Peminjaman, atau katakanlah metafor yang dipakai Affandi dengan
menggunakan ayam sebagai objek yang eksplisit, untuk mencoba menjelaskan makna
yang implisit tentang pertarungan antara kebaikan dan kejahatan dalam batin/jiwa
seseorang adalah merupakan pemikiran yang cemerlang. Hal ini kemudian dapat
memudahkan pemahaman setiap orang tentang bagaiman kebaikan dan kejahatan
selalu ada dan bertarung di dalam benak setiap orang.
“Ayam Tarung” Melalui Kacamata Teologis,
Bahkan Paulus juga Mengalaminya
7 Ibid.

5

Pertarungan antara yang baik dan jahat dalam jiwa, sebagaimana pesan
yang hendak dikemukakan oleh Affandi dalam lukisannya, menuntun penulis untuk
mengingat sebuah teks Kitab Suci, yang kurang lebih berbicara demikian. Tulisan
Paulus. Paulus dalam Roma 7:18-23 menuliskan:
(7:18) Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai

manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam
aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. (7:19) Sebab bukan apa yang aku
kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku
kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. (7:20) Jadi jika aku berbuat apa
yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi
dosa yang diam di dalam aku. (7:21) Demikianlah aku dapati hukum ini: jika
aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. (7:22)
Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, (7:23) tetapi di dalam
anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan
hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada
di dalam anggota-anggota tubuhku (Lembaga Alkitab Indonesia, ITB).
Ada permasalahan serupa yang dikemukakan Paulus, dengan apa yang diangkat
Affandi dalam lukisannya. Pertarungan antara baik dan jahat, yang ada dalam jiwa.
Bahkan Paulus, seorang tokoh yang cukup besar di kalangan Kristiani juga ternyata
masih mengalami hal demikian. Dalam jiwanya, masih ada gejolak pertarungan antara
yang baik dan yang jahat.
Bob Utley dalam karyanya, Surat Paulus kepada: Jemaat di Roma
memberikan tema “Pergumulan abadi tentang kebaikan dan kejahatan dalam diri
orang percaya”8 secara spesifik untuk bagian kitab Roma 7:15-25. Sedikit
mengagetkan bagi penulis, bagaimana kesamaan pengajaran ini bisa didapatkan dari

dua cara berbeda, lukisan dan teks, bahkan banyak aspek yang berbeda di antaranya.
Anak Allah memiliki “sifat keIllahian” (lih. II Pet 1:4), namun juga sifat
kejatuhan (lih. Gal 5:17). Secara potensial, dosa sudah dibuat tidak bekerja
(lih. Rom 6:6), namun pengalaman manusia mengikuti pasal 7 kitab Roma ini.
Orang Yahudi mengatakan bahwa dalam tiap hati manusia ada seekor anjing
hitam dan seekor anjing putih. Mana yang diberi makan lebih banyak akan
menjadi yang paling besar. Membaca bagian ini seolah-olah menghantarkan
pembaca masa kini untuk merasakan kepedihan Paulus sebagaimana ia
menjelaskan pertentangan harian antara kedua sifat ini.9
Kemiripan semakin jelas terlihat. Di kalangan orang Yahudi sebagaimana dijelaskan
Bob Utley, terdapat metafor yang menganggap bahwa di dalam tiap hati manusia
8 Bob Utley, Surat Paulus kepada; Jemaat di Roma, (Marshall: Bible Lessons International, 2010), hal.
5.
9 Ibid., hal. 137.

6

terdapat dua ekor anjing, yang satu putih mewakili kebaikan, yang lain hitam
mewakili kejahatan. Yang mana diberikan makan paling banyak, ialah yang tumbuh
menjadi paling besar.

Ternyata, kegelisahan Affandi mengenai dua pertentangan dalam batin
manusia sudah ada sejak lama, bahkan di masa abad pertama, masa Paulus. Penulis
tidak memiliki informasi apakan Affandi sempat mengetahui ajaran metafor Yahudi
tentang dua anjing dalam hati manusia. Tetapi, ini merupakan sebuah kejutan bagi
penulis sendiri, karena adanya kesamaan pola pikir yang dimiliki Affandi yang
kemudian mengejewantahkan pemikirannya ke dalam lukisan dua ayam tarung,
dengan pemikiran orang-orang Yahudi di masa Paulus, yang menggunakan metafor
dua anjing.
Sekali lagi, setiap orang di masa kapanpun dan di tempat manapun,
memiliki pergumulan yang sama, pertarungan yang abadi. Pergumulan abadi tentang
kebaikan dan kejahatan dalam diri tiap individu. Bahkan Paulus juga mengalaminya.
Hal penting yang harus diingat adalah, melakukan kejahatan atau melakukan kebaikan
adalah pilihan. Setiap orang dapat memilih melakukan kejahatan, dengan demikian
anjing hitam itu akan terus bertumbuh, atau ayam hitam itu akan menang melawan
ayam putih keemasan itu. Setiap orang juga dapat memilih melakukan kebaikan, dan
hal sebaliknya terjadi. Ini merupakan pertarungan terselubung dalam jiwa, dan
pertarungan ini berlaku selama hidup.
“Ayam Tarung” Melalui Kacamata Spiritualitas,
Pentingnya Pemurnian Motivasi
Motivasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti: dorongan

yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu
tindakan dengan tujuan tertentu.10 Setiap tindakan yang dilakukan seseorang selalu
berawal dari motivasi, entah dia sadar atau tidak. Motivasinya pun bisa beragam,
melalui

emosi: seperti cinta, benci, senang, sedih; dan melalui rasio. Entah

berdasarkan motivasi apapun, selalu ada nilai baik atau jahat. Motivasi jahat
umumnya berujung kepada tindakan jahat. Motivasi baik juga umumnya berujung
kepada tindakan baik. Tetapi, bisa saja motivasi jahat menghasilkan tindakan baik,
atau motivasi baik menghasilkan tindakan jahat, namun jelas ini sama sekali bukan
pilihan yang baik.
10 Kamus Besar Bahasa Indonesia Elektronik v.1.1

7

Dalam usaha pemurnian motivasi, Matthew Fox berusaha menjelaskan
pandangan Eckhart dengan mengatakan demikian:
For Eckhart, all deeds that are authentic imitate the original deed of creation
and well out of life and love. Thus they are without why or wherefore. For
what Eckhart interprets John’s phrase “God is love” to mean is that God loves
without a why or wherefore.11
Live without a why memang agaknya memunculkan pertentangan di benak sebagian
orang. Penulis sendiri awalnya juga demikian. Bagaimana mungkin seseorang
bertindak tanpa ada alasan dari pertanyaan why di balik tindakan itu. Tetapi, melalui
penjelasan Eckhart yang dikutip dikutip Matthew Fox, yang berbunyi demikian:
God does not look for any “why” outside himself, but only for what is for his
own sake. He loves and works all things for his own sake. Therefore, when
people love him himself and all things and do all their works not for reward,
for honor or happiness, but only for the sake of God and his glory, that is a
sign they are sons of God12
Akhirnya membuka konsepsi penulis secara pribadi. Bagi Eckhart, “hidup tanpa
alasan mengapa” adalah suatu hidup di mana seseorang tidak berbuat atas dasar
pamrih atau imbalan tertentu, baik itu duniawi maupun rohani.13
Cukup

jelas

penjelasan,

baik

Syafa’atun

maupun

Fox

dalam

menginterpretasikan pemahaman Eckhart. Ini merupakan usaha pemurnian motivasi,
dengan melakukan sesuatu karena sesuatu itu memang harus dilakukan, bukan karena
adanya harapan (entah itu baik atau buruk) apabila sesuatu itu sudah dilakukan.
“Hidup tanpa alasan mengapa” berarti hidup dan mencintai seperti halnya Tuhan
hidup dan mencintai.14 Tuhan sebagai contoh yang “hidup tanpa alasan mengapa”
merupakan puncak dari penjelasan to live without a why ini. Melalui contoh gamblang
yang sudah dilakukan oleh Tuhan ini, akhirnya memberikan gambaran gamblang pula
bagi setiap manusia untuk dapat menghayati teladan yang diberikan Tuhan, dalam
rangka perwujudan manusia (yang adalah ciptaan) sebagai imitasi dari Tuhan (Sang
Pencipta).
Pemurnian motivasi membawa kepada usaha pengembalian tujuan awal
penciptaan manusia sebagai perwujudan atau imitasi dari Tuhan. Cita-cita ini ini

11 Matthew Fox, Breakthrough: Meister Eckharts Creation Spirituality in New Translation, (Garden
City, New York: Image Books, 1980), hal 205.
12 Ibid.
13 Syafa’atun Almirzanah, When Mystic Masters Meet, hal. 204.
14 Ibid., hal. 203.

8

senada dengan cita-cita dari konsep spiritualitas yang ditawarkan oleh Emmanuel
Gerrit Singgih (EGS) dalam tulisannya. EGS menuliskan:
Kerajaan Allah batiniah mendorong untuk menyadari kembali dunia
sebenarnya, dunia selaras atau harmonis yang diciptakan Tuhan, dan
meninggalkan dunia ciptaan manusia yang tadinya dianggap dunia yang
sebenarnya itu. . . . konsep spiritualitas ini diharapkan bisa mendorong orang
Kristiani berjuang di dunia ini, mengembalikan dunia seperti pada saat
diciptakan oleh Tuhan, yaitu ciptaan yang baik, bahkan yang “amat baik” (Kej.
1:31).15
Menarik ketika EGS menarik jauh kembali ke masa silam, ke masa di mana Tuhan
pertama kali menciptakan bumi dan isinya. Ya, dalam Kejadian pasal satu, segala
sesuatu dijadikan Tuhan baik, tidak ada yang jahat. Pastinya, konsep anjing hitam dan
anjing putih (menurut ajaran Yahudi) ataupun konsep ayam putih emas dan ayam
hitam (menurut lukisan Affandi) sebagai metafor kebaikan dan kejahatan belum ada di
masa ketika Tuhan menciptakan bumi dan isinya. Segala sesuatunya baik, bahkan
amat baik. Oleh karena itu, kesadaran akan entitas tulen dari ciptaan akan membawa
kepada usaha pemurnian diri dan motivasi, sebagai bentuk tanggung jawab ciptaan
yang merupakan imitasi dari Penciptanya.
Melalui pemahaman kehidupan spiritualitas yang demikian (to live without
a why) ataupun pemahaman akan keautentikan ciptaan Tuhan, akan memudahkan
kemenangan kebaikan atas kejahatan dalam pertarungan dalam jiwa, sebagaimana
kegelisahan Affandi itu. Karena, memang pada dasarnya dan pada awalnya, Tuhan
menciptakan semuanya itu baik, tidak ada yang buruk ataupun jahat.
“Ayam Tarung” Melalui Kacamata Seni,
Buah dari Ekspresionisme
Tangan dingin Affandi agaknya selalu menghasilkan karya-karya yang luar
biasa. Siapa yang menyangka oretan-oretan yang terlihat asal-asalan dari lukisan
“Ayam Tarung” ini dihargai Rp. 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, memiliki gaya
ekspresionisme dan romantisme yang khas.16 Lukisan “Ayam Tarung” ini juga
merepresentasikan dirinya sebagai seorang ekspresionis. Ekspresionisme adalah aliran
seni yang melukiskan perasaan dan pengindraan batin yang timbul dari pengalaman di
15 Emmanuel Gerrit Singgih, Keluar dari Dunia Maya, Masuk ke Dunia yang Sebenarnya:
Spiritualitas untuk Masa Kini di Indonesia, sebuah catatan kuliah Pascasarjana Teologi UKDW, mata
kuliah Teologi, Spiritualitas dan Seni (Yogyakarta: Wisma Labuang Baji, 2008), hal. 3-6.
16 http://id.wikipedia.org/wiki/Affandi, diakses pada tanggal 18 Desember 2014, pukul 13.43.

9

luar yang diterima tidak saja oleh pancaindra, melainkan juga oleh jiwa seseorang. 17
Affandi berhasil mengejawantahkan bukan hanya apa yang diterimanya dari
pancaindera, tetapi juga apa yang dimilikinya dalam jiwanya, ke dalam sebuah
lukisan “Ayam Tarung”.
Edmund Burke Feldman berpendapat demikian: “Pada tataran elemen
visual terdiri dari: Garis, warna, tekstur, komposisi, dan lainlainnya, termasuk
pertimbangan desain.18” Burke menjelaskan bahwa lukisan memiliki elemen visual.
Di sisi lain, Bernard S. Meyer menjelaskan elemen lain dari sebuah lukisan, yaitu
unsur ide. Ia mengatakan, unsur ide merupakan aspek yang diekspresikan, meliputi
intelektual, emosi, simbol, religi, dan unsur lain yang bersifat subjektif. 19 Berdasarkan
dua pemahaman terhadap dua elemen yang berbeda ini, tampaknya Affandi telah
berhasil mewakili keduanya, dan menunjukkan bahwa ia memang seorang
ekspresionis sejati.
Perkawinan antara materi dan ide dalam buah-buah tangan Affandi seolah
mengabaikan pertentangan abadi yang telah terjadi dalam ranah filsafat antara materi
dan ide. Materi dan ide yang dianggap sebagi dua hal berbeda karena dualisme yang
keliru, dipatahkan Affandi dalam karyanya. Berbicara dalam ranah filsafat, Charles
Taylor merasakan juga kegelisahan ini, ia mengatakan, Ada kekeliruan dikotomi yang
telah dibuat, antara faktor ide dan materi sebagai dua hal berbeda. Yang mana yang
lebih dahulu, materikah? Atau ide? Keduanya jelas tidak bisa terpisah. 20 “Ayam
Tarung” merupakan buah dari ekspresionisme Affandi yang mengawinkan ide dan
materi.
PENUTUP
Satu lukisan “Ayam Tarung” saja mampu membuktikan kepiawaian
Affandi sebagai seorang Maestro Seni Lukis Indonesia. Aliran ekspresionisme yang
begitu kental, terlihat dalam salah satu buah tangannya “Ayam Tarung” ini. “Ayam
Tarung” sebagai bentuk ejawantah dari ide pertarungan dalam jiwa antara kebaikan
dan kejahatan sangat membantu penulis untuk membayangkan pertarungan seperti
apa yang terjadi dalam ranah ide tersebut. Pesan yang hendak disampaikan pun lebih
17 Kamus Besar Bahasa Indonesia Elektronik v.1.1
18 Edmund Burke Feldman, Seni Sebagai Citraan dan Gagasan, diterjemahkan oleh SP. Gustami,
(Yogyakarta: FSRD ISI Yogyakarta, 1991), hal. 221.
19 Bernard S. Meyers, Understanding The Arts, (New York: Holt Rinehart and Wiston, 1961), hal. 156.
20 Charles Taylor, Modern Social Imaginaries, (Durham: Duke University Press, 2004), hal. 31.

10

mudah dicerna dalam wujud materi ini, bahwa ternyata ada pertarungan terselubung
dalam setiap jiwa manusia, antara kebaikan dan kejahatan, tidak perduli siapa dia, dan
kapan dia hidup. Pertarungan itu merupakan pertarungan seumur hidup. Selama
manusia hidup, ia akan “dipaksa” untuk memilih antara baik dan jahat. Tetapi,
pertarungan itu akan semakin mudah dijalankan untuk memenangkan yang baik,
apabila memahami konsep spiritual yang benar. Pemahaman akan keaslian ciptaan
akan memudahkan pertarungan itu. Pemurnian motivasi dengan konsep to live
without a why memungkinkan kemudahan kemenangan yang baik atas yang jahat.
Karena, memang pada awalnya segala ciptaan itu baik (bahkan amat baik), dan tidak
ada yang jahat, semulanya.

Yogyakarta, 20 Desember 2014,
“Asrama Sehat”,
Yogyakarta.

BIBLIOGRAFI
Artikel Internet

11

http://blog-senirupa.blogspot.com/2012/11/lukisan-affandi-ayam-tarung.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Affandi
Buku-buku
Almirzanah, Syafa’atun. When Mystic Masters Meet. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2008.
Feldman, Edmund Burke. Seni Sebagai Citraan dan Gagasan, diterjemahkan oleh SP.
Gustami. Yogyakarta: FSRD ISI Yogyakarta, 1991.
Fox, Matthew. Breakthrough: Meister Eckharts Creation Spirituality in New
Translation. Garden City, New York: Image Books, 1980.
Kartono, Gamal. Bagaimana Cara Mengamati Lukisan Karya Affandi. Medan:
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, 2008.
Meyers, Bernard S. Understanding The Arts. New York: Holt Rinehart and Wiston,
1961.
Singgih, Emmanuel Gerrit. Keluar dari Dunia Maya, Masuk ke Dunia yang
Sebenarnya: Spiritualitas untuk Masa Kini di Indonesia, catatan kuliah
Pascasarjana Teologi UKDW, mata kuliah Teologi, Spiritualitas dan Seni.
Yogyakarta: Wisma Labuang Baji, 2008.
Taylor, Charles. Modern Social Imaginaries. Durham: Duke University Press, 2004.
Utley, Bob. Surat Paulus kepada; Jemaat di Roma. Marshall: Bible Lessons
International, 2010.
Aplikasi Software
Kamus Besar Bahasa Indonesia Elektronik v.1.1