PENERAPAN SELF ASSESMENT SYSTEM DI INDON

PENERAPAN SELF ASSESMENT SYSTEM DI INDONESIA MENURUT
UU NOMOR 27 TAHUN 2008 TENTANG KETENTUAN UMUM
DAN TATA CARA PERPAJAKAN

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas dalam Menempuh
Mata Kuliah Hukum Pajak Kelas F

Oleh:
NANDA DWI HARYANTO
E0014288

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan iuran wajib kepada Negara yang terutang oleh pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan

secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Dalam sistem pemungutan pajak dikenal tiga sistem, antara lain Official Assesment
System, Self Assesment System, dan Witholding System.
Sejak tahun 1983, sistem perpajakan Indonesia menganut sistem Self Assesment
System yang menggantikan Official Assesment System. Dalam sistem Official Assesment
System, penghitungan pajak atau jumlah utang pajak dihiyung dan ditetapkan oleh fiskus atau
petugas pajak. Sedangkan Self Assesment System merupakan sistem pemungutan pajak
dimana Wajib Pajak harus menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan
jumlah pajak yang terutang, dalam hal ini fiskus bersifat pasif.
Sistem Self Assesment System ini sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Selain itu, penerapan sistem
Self Assesment System ini juga terdapat dalam pelaksanaan pembayaran pajak penghasilan
sebagaimana pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Sepenuhnya Wajib Pajak atau badan usaha melakukan sendiri penghitungan sendiri atas
pajaknya. Self Assesment System memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk
melakukan penghitungan sendiri kewajiban perpajakannya. Dari hal tersebut maka akan
timbul celah-celah yang banyak dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan dalam hal
perhitungan pajak terutang.
B. Rumusan Masalah
Apa tujuan penerapan sistem Self Assesment System di Indonesia dan apa saja masalahmasalah yang timbul akibat penerapan sistem tersebut?


BAB II
PEMBAHASAN

Penerapan Self Assesment System di Indonesia menurut UU Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan UU Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan
Pada dasarnya sistem pemungutan Self Assesment System memberikan konsekuensi
yang berat bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan yang
dibebankan kepadanya. Secara otomatis, sanksi yang akan dijatuhkan akan lebih berat, yakni
berupa denda bunga, ataupun kenaikan jumlah pajak terutang. Dalam beberapa hal, hukum
yang dikenakan akan sangat berat. Oleh karena itu, Self Assesment System mewajibkan wajib
pajak untuk lebih mendalami peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku agar
Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik.
Kelemahan Self Assesment System ini adalah dalam hal pengawasan ataupun
pemeriksaan kepada Wajib Pajak oleh Pemungut Pajak (Fiskus). Hal ini disebabkan karena
jumlah Wajib Pajak otomatis lebih banyak daripada Pemungut Pajak. Banyak Wajib Pajak
yang tidak mengerti benar bagaimana sebenarnya perhitungan pajaknya terutama pajak
tahunan. Sehingga akhirnya wajib pajak ini akhirnya menyerahkan perhitungan pajaknya
dengan menggunakan jasa keuangan untuk perhitungan pajaknya. Dengan keterampilan

perusahaan penyedia jasa keuangan ini dalam laporan keuangan Wajib Pajak lebih banyak
berada pada status “kurang bayar”. Fiskus akan menilai status “kurang bayar” tersebut
sebagai laporan keuangan yang wajar, karena status “kurang bayar” tersebut Wajib Pajak
tinggal membayar kekurangan kewajiban pajaknya. Dalam hal ini, Fiskus hanya akan
melakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang status pajak terhutangnya adalah “lebih
bayar”. Jika terjadi hal “lebih bayar” dalam suatu hutang merupakan hal yang aneh, sehingga
fiskus dapat menyimpulkan bahwa terjadi kesalahan dalam perhitungan oleh Wajib Pajak.
Status “lebih bayar” dapat mengakibatkan laporan keuangan Wajib Pajak diperiksa
laporan keuangan dan juga transksi keuangannya oleh petugas pajak, pada akhirnya Wajib
Pajak akan berpikir bagaimana agar laporan tersebut rapi dan pada akhir tahun statusnya
menjadi “kurang bayar”. Sehingga pada akhirnya laporan keuangan dibuat menjadi dua versi
yaitu laporan keuangan yang sebenarnya (laporan intern) dan laporan keuangan untuk
petugas pajak (laporan eksternal).

Dari uraian diatas bahwa permasalahan pajak tersebut dikarenakan karena kurangnya
pengawasan terhadap wajib pajak yang dikarenakan tidak sebandingnya petugas dengan
wajib pajak, yang tentunya jumlah wajib pajak yang lebih banyak dari petugas pajak akan
menimbulkan permasalahan. Solusi terbaik dari problematika perpajakan di Indonesia
tersebut ialah menjadi wajib pajak yang taat pajak dan tetap pada koridor yang telah
ditetapkan. Selain itu, petugas pajak yang memiliki mental tinggi dan tidak mudah tergoda

akan suap yang diberikan oleh Wajib Pajak yang nakal agar diloloskan status laporan
keuangan yang diberikan oleh Wajib Pajak, sehingga pada akhirnya juga merugikan Negara.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pada dasarnya, sistem pemungutan pajak Self Assesment System merupakan sistem
yang menuntut agar wajib pajak sadar akan kewajiban pajaknya. Wajib pajak bersikap
mandiri dalam hal penghitungan pajak yang dibebankan pada dirinya tersebut. Apabila wajib
pajak tidak memenuhi kewajiban-kewajiban pajak yang dibebankan kepadanya, menurut UU
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan , maka wajib
pajak akan dikenakan sanksi berupa denda atau bunga tambahan dalam pajaknya. Self
Assesment System mewajibkan wajib pajak untuk lebih mendalami peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku agar Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban
perpajakannya dengan baik. Dalam hal ini permasalahan yang terjadi di Indonesia tidak
memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Sebagaimana seperti yang dilihat dari uraian diatas
tentang fiskus yang akan memeriksa laporan keuangan wajib pajak yang memiliki status
“lebih bayar” sedangkan bagi wajib pajak yang status laporan keuangannya “kurang bayar”
fiskus menganggap wajar hal tersebut. Sehingga memunculkan persoalan, wajib pajak harus
memenuhi status “kurang bayar” agar fiskus menganggap wajar laporan keuangannya.