UNSUR PORNOGRAFI DALAM PROGRAM ACARA TEL

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perkembangan media saat ini adalah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat akan informasi. Hal ini secara tidak langsung telah digunakan
namun pada dasarnya seluruh media memiliki peranan yang sama yaitu
memberikan informasi, hiburan, edukasi, serta kontrol sosial. Media massa
dapat menjadi media pembelajaran dalam kehidupan masyarakat karena media
massa membawa nilai-nilai baru ataupun mengubah nilai-nilai yang sudah ada
di dalam masyarakat dan berdampak dalam kurun waktu tertentu. Hal ini
seperti yang dikatakan Nurudin (2009, h. 255) media massa mampu
mengarahkan, membimbing, dan mempengaruhi kehidupan di masa kini dan
di masa mendatang. Nilai-nilai kehidupan masyarakat itu sendiri merupakan
bagian dari kebudayaan.
Manusia memiliki nilai-nilai tertentu yang dipelajari sejak ia lahir.
Bukan berarti nilai luhur yang telah ia miliki tidak dapat digeser oleh nilainilai yang baru seperti yang sempat disinggung sebelumnya. Seperti yang
dikatakan Koentjaraningrat (1985, h. 85) budaya merupakan sebagai seluruh
total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada
nalurinya karena hal tersebut hanya bisa dicetuskan melalui proses belajar.
Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan hasil dari sebuah proses
pembelajaran sehingga kebudayaan pun dapat bergeser ataupun berubah

seperti masalah mengenai Pornografi pada Media.

2

Pornografi merupakan salah satu produk dari kebudayaan yang sudah
terbentuk dari satu generasi ke generasi. Kebudayaan telah membentuk makna
Pornografi bagi lelaki ataupun perempuan yang dilahirkan ke dunia. Nilainilai kebudayaan tersebut tentu sangat berpengaruh terhadap makna
Pornografi, seperti yang dikatakan Beynon (2001, h.1) bahwa yang
menjadikan kita sebagai masyarakat yang informatif. Informasi-informasi
didapatkan salah stunya melalui media massa.
Media massa tentunya tidak terlepas dari peranannya sebagai alat
untuk menyebarkan pesan dan menjadi hal yang tak terpisahkan dari
komunikasi manusia. Media dalam proses komunikasi adalah alat yang
digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima (Cangara,
2004, h. 23). Salah satunya adalah media massa. Media massa memiliki
dampak yang luas, hal ini disebabkan karena mampu menyebarkan pesan
secara massal kepada khalayak luas dan juga heterogen. Seperti yang
dikatakan Rakhmat (2004, h. 65), komunikasi massa diartikan sebagai jenis
komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar melalui
massa seperti media cetak, surat kabar, majalah, elektronik, radio dan televisi,

sehingga pesan dapat diterima secara serentak. Media massa dapat
dikategorikan menjadi media cetak dan media elektronik (Ardianto, 2004, h.
98). Tentu masing-masing dari kedua jenis media tersebut memiliki kelebihan
dan kekurangan. Keefektifan dalam menyampaikan pesan melalui mediamedia tersebut tentunya dipengaruhi media apa yang menentukan sifat
perempuan dan laki-laki salah satunya adalah kebudayaan.

3

Salah satu media yang berperan dalam kehidupan masyarakat adalah
Televisi. Pada dasarnya televisi berfungsi sebagai media komunikasi untuk
medapatkan informasi, pendidikan dan hiburan, tentu tidak ada permasalahan
yang kontroversial dengan fungsi tersebut. Barulah pada sisi televisi sebagai
media bisnis banyak muncul program acara yang mengabaikan isi acara yang
berdampak negatif. Ketika demi bisnis terjadi banyak eksploitasi yang
berlebihan

untuk

menarik


pengiklan

sebanyak-banyaknya

tanpa

mempersoalkan ruang publik. Media televisi adalah media yang menggunakan
ruang publik dan seharusnya menghormati hak pihak atau individu lain yang
juga termasuk di wilayah itu.
Salah satu program acara televisi yang menjadi sorotan adalah Mister
Tukul Jalan-Jalan. Mister Tukul Jalan-Jalan merupakan suatu program acara
yang mengajak penonton untuk berjalan-jalan keseluruh pelosok atau daerahdaerah Indonesia untuk berwisata mistik dengan mengunjungi tempat-tempat
yang angker dimana tempat tersebut dihuni oleh mahluk-mahluk astral atau
mahluk yang tak kasat mata dan dipercayai oleh warga memiliki sesuatu hal
yang gaib. Hingga warga harus mengikuti apa yang terjadi di tempat angker
tersebut. Seperti mendo’akan leluhur, tidak boleh mengambil pusaka-pusaka
yang berada di tempat tersebut, membeli sesajen, dan ritual-ritual lainnya,
dalam program acara Mister Tukul Jalan-Jalan bukan hanya mengajak
penonton untuk berwisata mistik, tetapi juga mengungkap misteri yang terjadi
di tempat atau daerah Indonesia yang dianggap angker.


4

Program ini ditayangkan setiap satu minggu dua kali yakni setiap hari
sabtu dan minggu pukul 21.00-22.00 WIB di saluran televisi nasional di Trans
7. Program ini masih mengedepankan sejarah tentang tempat yang dianggap
mistik yang berada di Indonesia. Selain itu, konten dari program acara ini
menghadirkan seperangkat alat untuk menggambar mahluk astral atau tak
kasat mata dan menghadirkan para ahli spiritual untuk mendeteksi dan
menjelaskan keberadaan mahluk gaib apa saja yang ada di tempat angker
tersebut, dan untuk mengetahui mengapa tempat tersebut dianggap angker.
Dalam materi pembahasan format acara televisi. Program acara Mister
Tukul Jalan-Jalan ini dikatagorikan pada format reality show karena didalam
tubuh programnya terdapat adanya interaksi dan gambar mahluk gaib tersebut
yang membuat mahluk gaib itu nyata adanya. Jika melihat tayangan Mister
Tukul Jalan-Jalan yang menceritakan sebuah kondisi mistis disuatu tempat
angker dimana dihuni oleh mahluk-mahluk astral dan disitulah letak
menariknya bagi sebagian orang karena manusia bisa berinteraksi dengan
mahluk astral.


5

Gambar 1.
Capture tayangan Mister Tukul Jalan-jalan menampilkan perempuan
berpakian seksi (lekukan dada terlihat dan celana hotpant yang mengekspos
paha). (Sumber: Youtube)
Dari hal itulah penulis memilih program acara Mister Tukul JalanJalan untuk dijadikan subjek penelitian, hal ini penulis angap bahwa sudah
terdapat beberapa sisipan-sisipan dalam beberapa scene yang kemudian sudah
tidak lagi sejalan dengan konsep awal Mister Tukul Jalan-Jalan tayang di
televisi. Salah satunya yang dianggap menjadi “pemanis” dalam tayangan ini
adalah hadirnya peran wanita seksi yang dijadikan sebagai magnet bagi
penonton untuk tidak melwatkan acara ini satu episode pun.
Penulis memilih empat episode sebagai sample penelitian pada
beberapa edisi untuk bisa membuktikan frekuensi atau berapa porsi
kemunculan pornografi pada tayangan prime time tersebut. Empat episode
yang dipilih pun sudah melalui proses pemilihan yang diteliti sebelumnya,
artinya empat episode tersebut adalah episode yang mengandung beberapa
gestur atau symbol tentang pornografi dalam program Mister Tukul JalanJalan.

6


Dalam konteks media massa, pornografi, pornoteks, porno suara, dan
porno aksi dalam buku pronomedia (Bungin Burhan 2003,h.134) menjadi
bagian-bagian yang saling berhubungan sesuai dengan karakter media yang
menyiarkannya. Bahkan varian-varian porno ini menjadi satu dalam media
jaringan,seperti internet yaitu yang sering dikenal dengan cyber sex, cyber
porno, dan sebagainya. Agenda media tentang varian porno dan penggunaan
media massa dan telekomunikasi ini untuk menyebarkan varian tersebut inilah
yang dimaksud dengan pornomedia. Dengan demikian, konsep porno media
meliputi realitas porno yang diciptakan oleh media, seperti antara lain gambargambar dan teks porno yang dimuat di media cetak, film-film porno, cerita
cerita cabul dan provider telepon yang menjual jasa suara-suara rayuan porno.
Dalam (Agus Sudibyo 2008) tulisannya berjudul UU Pornografi
Sebagai Masalah Media mengatakan media massa adalah locus publicus. Di
sana aneka ekspresi budaya dari masyarakat yang plural dan multikultur bisa
tampil setiap saat. Untuk kebutuhan produksi pemberitaan, talk show, variety
show, iklan, dan lain-lain. Media juga tak terelakkan mengangkat realitasrealitas yang barangkali bisa ditafsirkan mengandung muatan pornografi atau
semacamnya.
Posisi media rentan terhadap sasaran kritik, kemarahan, bahkan
kekerasan oleh kelompok tertentu yang menganggap media melanggar
prinsip-prinsip kesusilaan dan kepantasan.


7

Dalam konteks itulah, RUU Pornografi harus dilihat sebagai masalah
pers di Indonesia. Konstruksi berpikir yang dominan dalam RUU Pornografi
dan dalam benak pendukungnya notabene merujuk pada asumsi, dugaan, dan
fakta tentang pornografi dalam representasi media. Khususnya setelah term
pornoaksi dihilangkan, jelas sekali porsi terbesar dalam RUU Pornografi
sesungguhnya adalah regulasi tentang pornografi media.
Pasal 4 RUU Pornografi menjelaskan ruang lingkup pornografi adalah
(1) produksi materi pornografi media, (2) penggandaan materi media massa
atau media lain yang mengandung unsur pornografi, (3) penyebarluasan
materi media massa atau media lain yang mengandung unsur pornografi, (4)
penggunaan materi media massa atau media lain yang mengandung unsur
pornografi,

(5)

penyandang


dana,

prasarana,

sarana

media

dalam

penyelenggaraan pornografi. Meski ketentuan itu mengatur materi dan
medium yang luas cakupannya, semua kategori (produksi, penggandaan,
penyebarluasan, penggunaan, dan penyelenggaraan) terfokus pada entitas
media.
Persoalannya,

RUU

Pornografi


belum

mempertimbangkan

kompleksitas media sebagai ruang publik sosial dengan nilai-nilai yang
spesifik dan membutuhkan pendekatan sendiri. Karena itu, definisi pornografi
yang terlalu luas dan multitafsir sulit diterapkan dalam konteks kerja media.
Pasal 1 RUU Pornografi menjelaskan,” Pornografi adalah hasil karya
manusia yang memuat materi seksualitas dalam bentuk gambar, sketsa,

8

ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair,
percakapan, atau bentuk-bentuk pesan komunikasi lain dan/atau melalui
media yang dipertunjukkan di depan umum dan/atau dapat membangkitkan
hasrat seksual serta melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat
dan/atau

menimbulkan


berkembangnya

pornoaksi

dalam

masyarakat ”(Sidobyo, 2008. h. 3).
Topik

mengenai

masalah

seksualitas,

erotika

dan

pornografi


belakangan ini kembali menarik perhatian dan menjadi bahan perbincangan
oleh banyak kalangan. Perdebatan mengenai batasan antara nilai-nilai moral
dan pendapat yang menempatkan seksualitas, erotika dan pornografi dalam
tataran seni tidak pernah habis dibahas. Walaupun hal ini bukanlah sesuatu
yang baru namun karena sifatnya yang timbul tenggelam, maka tema
perbincangan ini seolah tidak pernah berakhir.
Hal ini sangatlah bergantung pada tempat dan kondisi atau keadaan
dimana unsur erotika, seksualitas dan pornografi itu muncul dalam tampilan
yang beragam dari berbagai tayangan televisi. Beberapa artis sampai aksi
panggung artis yang dipandang terlalu mengeksploitasi unsur sensualitas
pada tubuh artis tersebut.
Eksploitasi dalam pornografi tidaklah dilihat dalam suatu pemahaman
sempit mengenai bagaimana proses keikutsertaan atau keterlibatan perempuan
didalamnya. Pada banyak kasus para perempuan yang terlibat dalam
pornografi kemungkinan besar berangkat dari keinginan/kesadaran sendiri dan
tidak dipaksa yang dilatarbelakangi banyak faktor, misal masalah ekonomi,

9

ingin terkenal, jalan pintas untuk populer dan sebagainya. Namun yang
dimaksud eksploitasi disini adalah lebih pada gagasan yang dibawa oleh
pornografi itu sendiri, artinya melalui pornografi kaum perempuan secara
konsisten dan berkelanjutan ditampilkan dalam posisi yang rendah.
Perempuan dianggap sebagai mahkluk yang hanya bermodalkan daya tarik
seksual semata. Kaum perempuan yang tampil dalam media pornografi secara
tidak langsung telah mempertegas eksploitasi terhadap kaumnya sendiri dan
memperkokoh cara pandang bahwa pada dasarnya perempuan hanyalah
sebatas obyek seks semata. Akibat yang ditimbulkan dari cara pandang yang
demikian adalah makin subur dan langgengnya berbagai bentuk pelecehan,
penindasan dan eksploitasi perempuan baik yang bersifat fisik maupun nonfisik.
Seperti yang dikutip dari pornomedia (Bungin Burhan 2003, h. 234)
menjelaskan Lebih jauh lagi secara khusus pornografi juga dianggap sebagai
salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan di media massa karena: (a)
media dengan sengaja menggunakan objek perempuan untuk keuntungan
bisnis mereka, dengan demikian penggunaan pornomedia dilakukan secara
terencana untuk mengabaikan, menistakan dan mencampakkan harkat
manusia, khususnya perempuan, (b) objek pornomedia (umumnya tubuh
perempuan) dijadikan sumber kapital yang dapat mendatangkan uang,
sementara perempuan sendiri menjadi subjek yang disalahkan, (c) media
massa telah mengabaikan aspek-aspek moral dan perusakan terhadap nilainilai pendidikan dan agama serta tidak bertanggung jawab terhadap efek

10

negatif yang terjadi di masyarakat, (d) selama ini berbagai pendapat yang
menyudutkan perempuan sebagai subyek yang bertanggung jawab atas
pornomedia tidak pernah mendapat pembelaan dari media massa dengan
alasan pemberitaan dari media harus berimbang, (e) media massa secara
politik menempatkan perempuan sebagai bagian dari kekuasaan mereka secara
umum.
Dalam peraturan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) tentang Pedoman
Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) terdapat Bab
tentang pelarangan program siaran yang memuat adegan seksual, yakni di Bab
XII Pasal 18.
menggambarkan

Selain tidak boleh (a) menampilkan adegan yang
aktivitas

seks

dan/atau

persenggamaan;

juga

(b) mengeksploitasi dan/atau menampilkan bagian-bagian tertentu seperti:
paha,

bokong,

payudara,

secara

close-up

dan/atau

medium

shot;

(c) menampilkan gerakan tubuh dan/atau tarian erotis; dan (d) mengesankan
ciuman bibir; dan/atau (e) menampilkan kata-kata cabul.
Di Bab XII Pasal 16 P3 (Pedoman Perilaku Penyiaran) pun termuat
peraturan, “Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan
dan/atau pembatasan program siaran bermuatan seksual“. Sementara di Pasal
22 peraturan SPS (Standar Program Siaran) sudah diatur tentang, “(1)
Program siaran yang berisikan pembicaraan atau pembahasan mengenai
masalah seks wajib disajikan secara santun, berhati-hati, dan ilmiah

11

didampingi oleh praktisi kesehatan atau psikolog, dan hanya dapat disiarkan
pada klasifikasi D, pukul 22:00-03:00 waktu setempat”.
Dari dasar inilah kemudian peneliti tertarik untuk mengamati tayangan
Mister Tukul Jalan-Jalan kedalam sebuah penelitian yang berjudul “UNSUR
PORNOGRAFI PADA PROGRAM ACARA TELEVISI (ANALISIS ISI
UNSUR PORNOGRAFI PADA TAYANGAN “MISTER TUKUL JALANJALAN” DI STASIUN TELEVISI TRANS 7)”.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah
dari penelitian ini adalah seberapa besar kemunculan unsur pornografi pada
tayangan Mister Tukul Jalan-Jalan di stasiun televisi Trans 7?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami
seberapa besar kemunculan unsur pornografi pada tayangan Mister Tukul
Jalan-Jalan di stasiun televisi Trans 7.

12

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitan yang dilakukan ini mempunyai manfaat sebagai berikut:
1.4.1. Secara akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan wawasan
kepada mahasiswa khususnya Jurusan Ilmu Komunikasi agar mengetahui
unsur kekerasan terutama pornografi yang disampaikan atau yang terdapat
pada sebuah tayangan di media televisi.
1.4.2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan gambaran
umum tentang analisis isi pada sebuah tayangan televisi. Penelitian ini
juga diharapkan agar pembuat program acara pada televisi khususnya
sineas muda mampu menangkap realitas sosial sehingga kedepannya
tayangan-tayangan televisi di Indonesia bisa lebih berkualitas dan pesan
yang disampaikan dapat diterima masyarakat umum.