PENDIDIKAN PESANTREN DALAM TINJAUAN FILS

PENDIDIKAN PESANTREN DALAM TINJAUAN FILSAFAT
ESENSIALISME
Oleh :
M. Nur Kholis
UNIVERSITAS GADJAH MADA
NIM: 16/397384/FI/ 04249
Abstrak
Pesantren tradisional sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia
telah memberikan kontribusi besar dalam membentuk masyarakat yang memiliki
komposisi intelektual serta spiritual yang seimbang. Namun di zaman modern ini,
pesantren tradisional yang masih mempertahankan cara-cara tradisional dalam
proses pendidikannya mendapat tantangan teramat besar. Disisi lain, output dari
pendidikan di Indonesia sekarang juga memprihatinkan, dimana dari aspek kognitifakademis bagus, namun dari psikomotorik-afektif amat memprihatinkan. Maka dalam
tulisan ini akan ada kajian mengenai sejarah, kurikulum dan metode pembelajaran
dalam pesantren tradisional, yang ditinjau dengan kacamata filsafat esensialisme.
Dalam tulisan ini

akan menjelaskan hubungan antara

pendidikan pesantren


tradisonal dengan system pendidikan filsafat esensialisme. Selain itu juga akan
dipaparkan mengenai relevansi pendidikan pesantren tradisional dengan kebutuhan
pendidikan dewasa ini.
Kata kunci : Pesantren, Pendidikan, Esensialisme

A. PENDAHULUAN
Pesantren tradisional, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang
masih mempertahankan cara-cara tradisional dalam proses pendidikannya mendapat
tantangan teramat besar. Banyak gugatan-gugatan dilayangkan pada proses
pendidikannya, mulai dari penyempitan cakupan orientasi kurikulum (Yasmadi,
2005:78), dikatakan tidak menjawab tantangan zaman, metode pembelajaran
dehumanis, berlangsung searah, sistem pendidikannya relative teosentris dan kurang

berorientasi pada pendidikan keduniawian (Qomar, 2009: 66), proses pembelajaran
membosankan, tidak kreatif-inovatif.
Disisi lain, output dari pendidikan di Indonesia sekarang juga memprihatinkan,
dimana dari aspek kognitif-akademis bagus, namun dari psikomotorik-afektif amat
memprihatinkan.
Berangkat dari situasi yang dilematis inilah, maka jurnal ini akan mencoba
mengkaji mengenai bagaimanakah sebenarnya proses pendidikan pesantren

tradisional berlangsung, apakah proses itu masih relevan dengan keadaan zaman dan
paradigma pendidikan Indonesia? Dan apakah pendidkan di pesantren tradisional bisa
menjawab permasalahan yang ada dalam pendidikan di Indonesia?
B. PESANTREN
1. Sejarah Perkembangan Pesantren
Mendengar istilah pesantren, siapapun yang pernah bersinggungan dengan
realitasnya akan terbawa ke dalam suatu nuansa kehidupan yang dinamis, religius,
ilmiah, dan eksotis. Tidak menutup kemungkinan term pesantren akan membawa pada
bayangan sebuah tempat menuntut ilmu agama yang ortodoks, statis, tertutup, dan
tradisional. Pondok pesantren sebagai lembaga tertua di Indonesia memang senantiasa
melestarikan nilai-nilai edukasi berbasis pengajaran tradisional. Pelestarian akan
sistem dan metodologi tradisional itulah yang lantas menjadikan pesantren semodel
ini disebut sebagai pesantren tradisional. Pelestarian nilai-nilai tersebut dapat dengan
mudah dilacak dalam kehidupan santri yang sehari-harinya hidup dalam
kesederhanaan, belajar tanpa pamrih dan penuh tanggung jawab, serta terikat oleh
rasa solidaritas yang tinggi (Geertz, 1981: 242)
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren telah
memberikan kontribusi besar dalam membentuk masyarakat yang memiliki komposisi
intelektual serta spiritual yang seimbang. Pesantren lahir sejak ratusan tahun (300400) lalu dan menjadi bagian mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar rakyat
indonesia. Karena itu, wajar saja Cak Nur menyebut pesantren sebagai artefak

peradaban Indonesia.
Dari awal terbentuk, pesantren bukan hanya menekankan misi pendidikan,
namun juga misi sosial dan penyiaran keagamaan. Pesantren berjuang menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar. Selain dari itu, terkadang pesantren juga menghadapi

serangan penguasa yang merasa tersaingi kewibawaannya (Qomar, 2009: 11),sebagai
upaya defensi. Sebagai contoh, adalah pada masa penjajahan Jepang, pesantren
berkonfrontasi dengan imperialis baru ini lantaran penolakan KH. Hasyim Asy’ari –
dikuti kiaikiai pesantren lainnya– terhadap saikere (penghormatan terhadap Kaisar
Jepang

Tenno

Haika

sebagai

keturunan

dewa


Amaterasu)

dengan

caramembungkukkan badan 90 derajat menghadap Tokyo setiap pukul 07.00,
sehingga mereka ditangkap dan dipenjara. Ribuan santri berdemonstrasi mendatangi
penjara, kemudian membangkitkan dunia pesantren untuk memulai gerakan bawah
tanah menentang Jepang.
Setelah mengalami masa-masa sulit akibat penjajahan, pesantren akhirnya
memasuki era baru yaitu kemerdekaan. Sebuah momentum bagi seluruh sistem
pendidikan untuk berkembang lebih bebas, demokratis dan terbuka. Pada dekade ini,
pesantren turut serta dalam mempertahankan sekaligus mengisi era kemerdekaan
bersama dengan komponen-komponen bangsa lainnya (Haedari, 2004:11).
Namun, meskipun demikian, bukan berarti pesantren benar-benar sudah
terbebas dari permasalahannya. Pasca kemerdekaan Indonesia, sekolah sekolah
umum, baik ytang negeri maupun swasta banyak sekali yang bermunculan, dan
mendapatkan sambutan baik dari masyarakat, sehingga secara otomatis nilai pesantren
pun turun dimata masyarakat. Dengan adanya hal ini, maka pesantren dihadapkan
dalam dua pilihan yang dilematis, yaitu memilih tetap mempertahankan tradisinya,

atau mengikuti perkembangan. Dari sini, maka kita mengenal kategorisasi pesantren.
Pesantren yang mempertahankan tradisi klasiknya diidenfikasi sebagai pesantren
salafi atau tradisional, sedangkan pesantren yang memilih untuk beradaptasi serta
mengikuti perkembangan disebut pesantren khalafi atau lebih familiar dengan istilah
pesantren modern.
Tantangan yang dihadapi oleh pesantren dewasa ini memang jauh lebih
kompleks serta mendesak, sebagai akibat meningkatnya kebutuhan pembangunan dan
kemajuan IPTEK. Dalam kondisi demikian, pesantren benar-benar diharapkan
sanggup menentukan sikap ideal yang memberi pemecahan atas berbagai tantangan
zaman, tentu dengan tetap mempertahankan fungsi pesantren sebagai lembaga
pendidikan serta dakwah (Al Baihaqi, 2014: 17).
2. Kurikulum Pesantren
Menurut Iskandar W., kurikulum merupakan program pendidikan sekolah
yang disediakan untuk siswa (Wiryokusumo, 1988:6).

Kurikulum pesantren, dalam hal ini pesantren “salaf” yang statusnya sebagai
lembaga pendidikan non-formal, hanya mempelajari agama, bersumber pada kitabkitab klasik meliputi bidang-bidang studi: Tauhid, Tafsir, Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh,
Tashawuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balagah, dan Tajwid), Mantiq, dan Akhlak,
yang kesemuanya dapat digolongkan ke dalam 3 golongan yaitu: 1) kitab dasar, 2)
kitab menengah, 3) kitab besar (Dhofier, 1990: 34).

Kurikulum dalam jenis pendidikan pesantren berdasarkan tingkat kemudahan
dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal,
tingkat menengah, dan tingkat lanjut. Setiap kitab bidang studi memiliki tingkat
kemudahan dan kompleksitas pembahasan masing-masing, sehubungan dengan itu,
maka evaluasi kemajuan belajar pada pesantren juga berbeda dengan evaluasi dari
madrasah dan sekolah umum.
Jenis madrasah dan sekolah umum bersifat formal, dan kurikulumnya
mengikuti ketentuan pemerintah. Madrasah mengikuti ketentuan dari Departemen
Agama, dengan menggunakan perbandingan 30% berisi matapelajaran agama, dan
70% berisi matapelajaran umum. Berbeda dengan pesantren, dengan bobot
perbandingan 20% berisi matapelajaran umum, dan 80% berisi matapelajaran agama.
Tetapi, pada umumnya masing-masing pesantren menyesuaikan kurikulum-kurikulum
yang datang dari Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional tersebut
menurut kepentingan dan keyakinan masing-masing (Mastuhu, 1994:140).
Karakteristik kurikulum dalam pesantren yang terfokus pada ilmu agama
seperti di atas, tidak lepas dari tujuan pondok pesantren itu sendiri. Adapun tujuan
pondok pesantren dibagi menjadi dua bagian, sebagai berikut.
a. Tujuan umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islami
yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballigh Islam dalam masyarakat

sekitar melalui ilmu dan amalnya.
b. Tujuan khusus
Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang
diajarkan oleh Kiai yang bersangkutan, serta mengamalkannya dalam masyarakat
(Arifin, 1991:248). Dewasa ini, kalangan pesantren (termasuk pesantren salaf) mulai
menerapkan sistem madrasati. Kelas-kelas dibentuk secara berjenjang dengan tetap
memakai kurikulum dan materi pelajaran dari kitab-kitab kuning, dilengkapi pelatihan
ketrampilan seperti menjahit, mengetik, dan bertukang. Sistem ini kurikulumnya

masih sangat umum tidak secara jelas dan terperinci. Tetapi, yang jelas semua
pelajaran tersebut telah mencakup segala aspek kebutuhan santri dalam sehari
semalam (Wahjoetomo, 1997: 83). Kurikulum yang berkaitan dengan materi
pengajian berkisar pada ilmu-ilmu agama dengan segala bidangnya seperti disebut
sebelumnya. Kendati demikian, tidak berarti ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan di
pesantren-pesantren sama dan seragam. Pada umumnya, setiap pesantren mempunyai
penekanan atau ciri tersendiri dalam hal-hal ilmu yang diberikan. Oleh karena itu,
sulit bahkan mustahil menyamaratakan sistem dan kurikulum pesantren seperti yang
pernah diusulkan.
3. Metode Pembelajaran Di Pesantren
Dalam kasus pendidikan di pesantren tradisional, metode pembelajaran yang

digunakan adalah metode-metode pembelajaran tradisional. Metode-metode tersebut
menurut Mastuhu terdiri atas metode: sorogan, bandongan, halaqoh, hafalan
(1994:142).
a. Sorogan
Yaitu belajar secara individu di mana seorang murid/santri
berhadapan dengan seorang guru (Mastuhu, 1994: 61).

Dalam metode

pembelajaran di pesantren, metode ini merupakan metode yang paling sulit karena
membutuhkan kesabaran, kerajinan serta disiplin pribadi dari setiap peserta didik.
Dengan sorogan, seorang kiai atau ustadz dapat mengetahui skill individual dari
setiap santri secara akurat dan lebih pasti.
b. Bandongan
Bandongan atau juga disebut wetonan, merupakan metode utama di
lingkungan pesantren. Pada metode ini, seorang guru akan membaca,
menterjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islami dalam Bahasa
Arab, sedang kelompok santri mendengarkan, memperhatikan bukunya sendiri
serta membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata
atau buah pikiran yang dianggap sulit (Qomar, 2009: 143).

c. Halaqoh
Dalam praktiknya, halaqoh ini dikategorikan sebagai diskusi untuk memahami
isi suatu kitab, bukan untuk mempertanyakan tentang kemungkinan benar
salahnya, tetapi guna memahami maksud yang diajarkan kitab. Santri yakin bahwa
kiai tidak akan mengajarkan hal-hal yang salah, serta mereka juga yakin bahwa isi
kitab yang dipelajari adalah juga benar (Mastuhu, 1994: 61).

d. Hafalan
Hafalan ini pada umumnya diterapkan pada mata pelajaran yang berupa
Nadham (syair), dan biasanya kebanyakan membahas kaidah bahasa Arab serta
ilmu aqidah. Metode hafalan ini memberikan tugas pada santri untuk
menghafalkan bait-bait nadham, yang kemudian tidak hanya dihafal namun juga
harus dipahami, karena nanti selain akan dites kelancarannya, juga akan ditanya
mengenai isinya.
C. FILSAFAT PENDIDIKAN ESENSIALISME
1. Sejarah
Abdul Aziz dan Abdusy Syakir (2006: 20) berpendapat bahwa Esensialisme
merupakan aliran filsafat yang muncul pada awal tahun 1930 sebagai akibat
Renaisance. Titik puncak refleksi dari aliran esensialisme ialah pada pertengahan
kedua abad ke-19. Para sejarahwan menganggap esensialisme sebagai “Conservative

Road to Culture”, yaitu aliran yang ingin kembali kepada kebudayaan lama yang telah
terbukti memberi kontribusi positif bagi kehidupan manusa. Kebudayaan saat ini telah
menyimpang jauh dari ketentuan warisan budaya lama. Esensialisme sendiri, dalam
filsafat pendidikan adalah suatu aliran filsafat pendidikan kombinasi filsafat idealisme
dan realisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung namun tidak lebur menjadi
satu –apalagi melepaskan sifat utama pada dirinya masing-masing. Aliran ini
berdasarkan pada nilai kebudayaan yang ada sejak awal peradaban umat manusia –di
samping mendasarkan dirinya pada lingkungan social.
Esensialisme dirumuskan sebagai kritik terhadap trend-trend progresif di sekolahsekolah, yang disebabkan oleh bias dari filsafat progresivisme. Dalam hal ini Bagley
dan rekan-rekannya yang memiliki kesamaan pemikiran perihal pendidikan, sangat
kritis terhadap praktek pendidikan progresivis. Mereka berpendapat bahwa pergerakan
progresif telah merusak standar intelektual serta moral. Sekolah-sekolah yang
menjadikan pemikiran progresif sebagai pijakan telah gagal dalam mengemban tugas
mentrasmisikan warisan sosial dan intelektual (Sadulloh, 2003: 159).
Esensialisme menghendaki agar manusia kembali kepada budaya lama karena
kebudayaan lama telah banyak melakukan kebaikan untuk manusia Bagi esensialisme,
nilainilai dalam warisan budaya/sosial adalah nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk
secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras sekaligus susah payah selama
ratusan tahun, gagasan-gagasan serta cita-citanya telah teruji dalam perjalanan waktu.


Kaum esensialis mengemukakan bahwa sekolah harus melatih atau mendidik
siswa untuk berkomunikasi dengan jelas dan logis, keterampilan-keterampilan inti
kurikulum haruslah berupa membaca, menulis, berbicara dan berhitung, serta sekolah
memiliki tanggung jawab untuk memperhatikan penguasaan terhadap keterampilanketerampilan tersebut. Menurut filsafat esensialisme, pendidikan sekolah harus
bersifat praktis dan memberi pengajaran yang logis yang mempersiapkan untuk hidup
mereka, sekolah tidak boleh mempengaruhi atau menetapkan kebijakan-kebijakan
sosial.
2. Tokoh – Tokoh
Guna mendapat pemahaman pola dasar yang lebih rinci kita harus mengenal dari
referensi pendidikan esensialisme. Imam Barnadib menyebut beberapa tokoh
terkemuka yang berperan dalam penyebaran esensialisme sekaligus memberikan pola
dasar pemikiran mereka :
a. Desiderius Erasmus; humanis Belanda, hidup pada abad ke-15 dan
permulaan abad ke-16. Dia merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan
hidup berorientasi dunia lain. Erasmus berusaha supaya kurikulum sekolah
bersifat humanis dan internasional sehingga bisa mencakup lapisan menengah
dan kaum aristokrat.
b. Johan Amos Comenius (1592-1670); dia adalah tokoh renaissance pertama
yang berusaha mensistematiskan proses pengajaran. Johan memiliki pandangan
realis-dogmatis. Dunia ini menurutnya dinamis dan bertujuan. Oleh karena itu,
tugas kewajiban pendidikan adalah menbentuk anak sesuai dengan kehendak
Tuhan.
c. John Locke (1632-1704); seorang tokoh berkebangsaan Inggris yang
berpandangan bahwa pendidikan haruslah selalu dekat dengan situasi dan
kondisi, memiliki sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
f. Johan Frederich Herbert (1776-1841); dia berpendapat bahwa tujuan
pendidikan ialah menyesuaikan jiwa dengan kebajikan yang Mutlak. Hal ini
berarti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan yang disebut pengajaran
mendidik dalam proses pencapaian pendidikan (Zuhraini, 1995: 25-26).
3. Tujuan Pendidikan
Tujuannya adalah untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui
pengetahuan inti yang terakomulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama,
serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu yang lama, selain itu

tujuan pendidikan esensialisme adalah mempersiapkan manusia untuk hidup, tidak
berarti sekolah lepas tangan tetapi sekolah memberi kontribusi bagaimana merancang
sasaran mata pelajaran sedemikian rupa, yang pada akhirnya memadai untuk
mempersiapkan manusia hidup.
4. Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum esensialisme, yaitu
kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran (subjek matter centered) dan berpangkal
pada landasan ideal dan organisasi yang kuat. Pengusaan materi kurikulum tersebut
merupakan dasar yang esensialisme general education (filsafat, matematika, IPA,
sejarah, bahasa, seni dan sastra) yang diperlukan dalam hidup belajar dengan tepat
berkaitan dengan disiplin tersebut akan mampu mengembangkan pikiran (kemampuan
nalar) siswa dan sekaligus membuatnya sadar akan dunia fisik sekitarnya (Barnadib,
1994).
Jadi, tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia didunia
dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal
yang mampu menggerakan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme
merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan,
kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum
esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum, seperti pola idealisme, realisme
dan sebagainya. Sehingga peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa
berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada dimasyarakat.
5. Metode Pembelajaran
Dalam dunia pendidikan dan pembelajaan, pemilihan serta penerapan metode
yang benar-tepat sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Esensialisme
telah memberikan formula tentang dasar-dasar pemikiran bagaimana sebuah metode
pembelajaran yang paling efektif dan efisien, sebagaimana berikut:
1. Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered).
2. Umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang
diinginkan, dan mereka harus dipaksa belajar. Karena itu pedagogik bersifat
lemah-lembut harus dijauhi, dan memusatkan diri pada penggunaan metode
latihan tradisional yang tepat.
3. Metode utama ialah latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian
tugas; dan penguasaan pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi
dan membaca (Mudyaharjo, 2001: 163).

D. MENINJAU PENDIDIKAN DI PESANTREN DENGAN FILSAFAT
ESENSIALISME
Nurcholis Madjid pernah menegaskan bahwa pesantren merupakan artefak
peradaban Indonesia yang dikonstruk sebagai institusi pendidikan keagamaan
bercorak tradisional, unik dan indigenous (Haedari, 2004: 3). Sebagai satu artefak
peradaban, pesantren muncul serta berkembang dari pengalaman sosiologis
masyarakat di lingkungannya. Dengan kata lain, pesantren memiliki ikatan kuat
dengan sejarah dan kebudayaan Indonesia. Bahkan dapat dikata bahwa pesantren
merupakan bagian terdalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam
Indonesia yang merupakan golongan mayoritas bangsa ini (Mastuhu, 1994: 55).
Sebagai institusi pendidikan Islam, orientasi pendidikan pesantren sebenarnya
tidak pernah terformulasikan dengan jelas –baik dalam tataran institusional, kulikuler
maupun instruksional. Mastuhu menerangkan bahwa tidak pernah dijumpai
perumusan tujuan pendidikan pesantren yang jelas serta strandar yang berlaku umum
bagi semua pesantren. Sistem pendidikan pesantren didasarkan, digerakkan serta
diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang berdasar ajaran al-Qur’an dan Hadits. Baik
al-Qur’an maupun Hadits, keduanya menyuratkan bahwa tujuan dari hidup manusia
adalah untuk senantiasa beribadah kepada Allah Swt. Sebab itulah, seluruh proses
maupun aktifitas yang terselenggara di pesantren senantiasa berorientasi pada
kepentingan akhirat, sedang nilai-nilai keduniawian sama sekali tidak diprioritaskan –
bahkan relatif dihindari. Ajaran Islam menyatu dengan struktur kontekstual atau
realitas sosial dalam kehidupan pesantren. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
tujuan utama pendidikan pesantren adalah memberikan bekal hidup bagi umat
manusia agar tujuan hidup dapat tercapai (Al Baihaqi, 2014: 47).
Dalam mencapai tujuan tersebut, maka pesantren tradisional telah membuat
sebuah rumusan tentang disiplin keilmuan atau pengetahuan yang harus dikuasai,
sehingga manusia dapat memenuhi hajat tersebut. Disiplin keilmuan atau pengetahuan
yang dimaksud ialah ilmu-ilmu agama sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu,
yaitu; Tauhid, Tafsir, Hadits, Fiqh, Usul-Fiqh, Tasauf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharf,
Balaghah, dan Tajwid), Mantiq serta Akhlaq. Oleh pesantren tradisional, disiplindisiplin keilmuan ini merupakan mater esensial yang posisinya telah terbakukan dan
tidak dapat diganti.
Namun zaman kini telah berubah, tantangan yang dihadapi makin kompleks, dan
mendesak sebagai akibat meningkatnya kebutuhan pembangunan, kemajuan ilmu

pengetahuan serta teknologi. Pesantren hidup di masyarakat industri yang lebih
rasional, dinamis dan kompetitif. Kerja kependidikan akan semakin didominasi oleh
kegiatan pengembangan sains dan teknologi.
Memang benar bahwa tujuan dari seluruh aktivitas hidup manusia dalam Islam
adalah berorientasi teosentris atau serba Tuhan. Namun dibalik itu, juga ada perintah
untuk menguasai disiplin Ilmu yang lain demi kelangsungan hidup dan agar bisa
bersaing, khususnya dalam masyarakat yangh serba modern seperti sekarang ini.
Berdasarkan pandangan filsafat esensialisme, bahwa pendidikan sudah seharusnya
didasarkan pada pada nilai-nilai yang mendatangkan stabilitas, kejelasan tata serta
telah teruji. Nilai-nilai ini ada dalam nilai dan budaya lama yang telah terbukti
memberi kontribusi positif bagi hidup manusia. Materi pembelajaran Islam pada
dasarnya merupakan keterpaduan antara pengetahuan agama dan umum. Memang
benar bahwa pusat pengembangan keilmuan pesantren adalah ilmu agama. Namun
aplikasi ilmu agama tidak akan berjalan sempurna tanpa ditunjang ilmu lainnya (Al
Baihaqi, 2014: 52).
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa pesantren tradisional
masih mempertahankan metode tradisional dalam menyampaikan materi ajar.
Sorogan, wetonan, halaqoh, serta hafalan adalah metode yang diyakini telah berhasil
menghantarkan peserta didik (baca: santri) menguasai dasar-dasar keilmuan yang
akan membantu mereka mencapai tujuan hidup, yaitu sebagai ‘abdullah dan
khalifatullah. Konon, model pengajaran seperti itu diilhami model pembelajaran Nabi
pada para sahabatnya di madinah (Sukamto, 1999: 145). Dalam proses pembelajaran
pesantren, metode-metode tersebut saling terkait serta memiliki kelemahan sekaligus
kelebihan masing-masing, hingga pesantren tradisional sampai sekarang masih
mempertahankan –selain karena sebagai lambang supremasi serta ciri khas metode
pembelajaran pesantren.
Sedangkan dewasa ini, pendidikan di Indonesia sangat bertolak belakang dari hal
tersebut. pendidikan di Indonesia tak lagi berdasarkan nilai adiluhung dan kebudaya
nasional. Namun mengambil dari warisan budaya dari orang lain. Akibatnya,
kebijakan-kebijakan pendidikan berorientasi pada paradigma pendidikan yang
cenderung materialistik dan jauh dari ruh agama. Padahal kita tahu bahwa penduduk
Indonesia, lebih dari 80-nya adalah pemeluk Islam, tentu dengan kecenderungan
paradigm pendidikan yang dapat dipastikan akan sangat kontradiktif .

Alasan ini menjawab pertanyaan kenapa banyak output pendidikan Indonesia
yang walaupun dari aspek kognitif-akademis bagus, namun dari psikomotorik-afektif
amat memprihatinkan. Tujuan dari pendidikan tereduksi hanya pada domain
pengembangan kecerdasan intelektual, sedang wilayah kecerdasan sosial terabai.
Hasilnya hanya manusia pintar yang dikuasai oleh nilai-nilai keserakahan, kekerasan
serta tumpul rasa kemanusiaan (Priatna, 2004). Itu disebabkan karena ilmu yang
diperoleh peserta didik banyak yang tidak diilhami oleh tradisi-tradisi yang luhur.
Dalam pandangan filsafat esensialis, sebuah upaya pendidikan atau pembelajaran
hakikinya membawa misi transmisi warisan budaya sekaligus sejarah pada generasi
muda. Karena itu, jika pendidikan di sekolah telah meninggalkan tradisi pendidikan
yang telah terbentuk serta bertahan sekian lama maka dapat ditebak bahwa produknya
tidak akan mewarisi nilai-nilai adiluhung sebagaimana termuat dalam tradisi
pendidikannya dahulu. Dalam perjalanan sejarah pendidikan Indonesia, pesantren
tradisional dianggap oleh banyak kalangan sebagai lembaga yang melestarikan nilai
tersebut, sehingga mungkin dapat dikata bahwa tradisi pesantren merupakan tradisi
Indonesia.
Paradigma pendidikan esensialisme melihat seorang peserta didik sebagai
makhluk yang pasif-tunduk, lemah secara kognitif, serta tidak benar-benar
mengetahui kebutuhan mereka. Jika proses pembelajaran didominasi oleh peserta
didik seperti ini maka proses pembelajaran akan relatif lambat. Ini tentu
kontraproduktif dengan tujuan pendidikan berparadigma progresif yang menghendaki
efektivitas-efisiensi. Karena itu mereka memerlukan bimbingan sekaligus arahan dari
guru. Ini menjadi sebab kenapa metode pembelajaran di pesantren tradisional
dipusatkan kepada kiai/guru (teacher centered) (Al Baihaqi, 2014: 60).
E. KESIMPULAN
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren telah
memberikan kontribusi besar dalam membentuk masyarakat yang memiliki komposisi
intelektual serta spiritual yang seimbang. Dari awal terbentuk, pesantren bukan hanya
menekankan misi pendidikan, namun juga misi sosial dan penyiaran keagamaan.
Pesantren berjuang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Kurikulum pesantren, dalam hal ini pesantren “salaf” yang statusnya sebagai
lembaga pendidikan non-formal, hanya mempelajari agama, bersumber pada kitabkitab klasik meliputi bidang-bidang studi: Tauhid, Tafsir, Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh,
Tashawuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balagah, dan Tajwid), Mantiq, dan Akhlak,

yang kesemuanya dapat digolongkan ke dalam 3 golongan yaitu: 1) kitab dasar, 2)
kitab menengah, 3) kitab besar (Dhofier, 1990: 34).
Dalam kasus pendidikan di pesantren tradisional, metode pembelajaran yang
digunakan adalah metode-metode pembelajaran tradisional. Metode-metode tersebut
menurut Mastuhu terdiri atas metode: sorogan, bandongan, halaqoh, hafalan
(1994:142).
Sedangkan filsafat Esensialisme dirumuskan sebagai kritik terhadap trendtrend progresif di sekolah-sekolah, yang disebabkan oleh bias dari filsafat
progresivisme. Dalam hal ini Bagley dan rekan-rekannya yang memiliki kesamaan
pemikiran perihal pendidikan, sangat kritis terhadap praktek pendidikan progresivis.
Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar intelektual
serta moral. Sekolah-sekolah yang menjadikan pemikiran progresif sebagai pijakan
telah gagal dalam mengemban tugas mentrasmisikan warisan sosial dan intelektual
(Sadulloh, 2003: 159).
Tujuannya adalah untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui
pengetahuan inti yang terakomulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama,
serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu yang lama, selain itu
tujuan pendidikan esensialisme adalah mempersiapkan manusia untuk hidup, tidak
berarti sekolah lepas tangan tetapi sekolah memberi kontribusi bagaimana merancang
sasaran mata pelajaran sedemikian rupa, yang pada akhirnya memadai untuk
mempersiapkan manusia hidup.
Pesantren tradisional, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia
yang masih mempertahankan cara-cara tradisional dalam proses pendidikannya
mendapat tantangan teramat besar. Banyak gugatan-gugatan dilayangkan pada proses
pendidikannya. Kemudian dengan perspektif filsafat esensialisme masalah itu
terjawab dengan menambah displin ilmu yang harus dikuasai, pelajaran mengenai
agama dan akhlaq adalah yang esensial, namun juga perlu ditunjang oleh ilmu-ilmu
yang lainnya.
Dalam pandangan filsafat esensialis, sebuah upaya pendidikan atau
pembelajaran hakikinya membawa misi transmisi warisan budaya sekaligus sejarah
pada generasi muda. Karena itu, jika pendidikan di sekolah telah meninggalkan tradisi
pendidikan yang telah terbentuk serta bertahan sekian lama maka dapat ditebak bahwa
produknya tidak akan mewarisi nilai-nilai adiluhung sebagaimana termuat dalam
tradisi pendidikannya dahulu. Dalam perjalanan sejarah pendidikan Indonesia,

pesantren tradisional dianggap oleh banyak kalangan sebagai lembaga yang
melestarikan nilai tersebut, sehingga mungkin dapat dikata bahwa tradisi pesantren
merupakan tradisi Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin H.M. 1991. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. Jakarta: Bumi
Aksara.
Aziz Abdul, dan Abdusy Syakir. 2006. Analisis Matematis terhadap Filsafat AlQur’an. Malang: UIN Malang Press.
Baihaqi, Dausat Al. 2014. "PENDIDIKAN PESANTREN TRADISIONAL
PERSPEKTIF FILSAFAT ESENSIALISME." Undergraduate Thesis,
UIN Sunan Ampel Surabaya 1-64.
Dhofier, Zamakhsyari. 1990. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiai.
Jakarta: LP3ES.
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka.
Haedari, Amin. 2004. Masa Depan Pesantren; dalam Tantangan Modernitas dan
Tantangan Kompleksitas Global. Jakarta: IRD Press.
Ma'ruf,

Ahmad.

n.d.

"ALIRAN

PENDIDIKAN

DALAM

PERSPEKTIF

PENDIDIKAN PROGRESIVISME DAN ESENSIALISME." 87-97.
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren; Suatu Kajian tentang Unsur
dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.
Mudyahardjo, Redja. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nawawi. 2006 . "Sejarah dan Perkembangan Pesantren." Ibda` Vol. 4 No. 1 4-19.
Priatna, Tedi. 2004. Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam; Ikhtiar Mewujudkan
Pendidikan Berilahiah dan Insaniah di Indonesia. Bandung: Pustaka Bani
Quraisy.
Qomar,

Mujamil.

2009. Pesantren;

dari Transformasi

Metodologi

Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Flsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sukamto. 1999. Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren. Jakarta: LP3ES.

menuju

Wahjoetomo. 1997. Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan.
Jakarta: Gema Insani Press.
Wiryokusumo, Iskandar dan Mulyadi, Usmani. 1988. Dasar-Dasar Pengembangan
Kurikulum. Jakarta: Bina Aksara.
Yasmadi. 2005. Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan
Islam Tradisional. Ciputat: Quantum Teaching.
Zuhairini. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.